You are on page 1of 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Menstruasi

2.1.1. Definisi Menstruasi

Pada remaja putri adanya kematangan organ-organ seks primer ditandai

dengan adanya berkembangnya rahim, vagina, ovarium (indung telur secara cepat)

serta terjadi menstruasi pertama atau yang biasa disebut dengan menarche yang

menandakan kematangan reproduksi wanita.

Menarche atau terjadinya haid pertama kali selama usia kehidupan pada

seorang wanita sangat bervariasi, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-rata terjadi

pada usia 12,5 tahun. Usia menarche ini secara statistik dipengaruhi oleh faktor

keturunan, keadaan gizi, kesehatan umum yang membaik dan berkurangnya

penyakit menahun pada seorang wanita. Menarche biasanya terjadi di tengah-

tengah masa pubertas pada seorang wanita. Kemudian menarche ini dilanjutkan

dengan masa reproduksi selama kira-kira 30-40 tahun kemudian. Selanjutnya

diakhiri dengan masa menopause yang didahului sebelumnya dengan masa

klimakterium (Wiknjosastro, 2007). Terjadinya haid pertama kali ini adalah salah

satu tanda bahwa remaja tersebut telah mengalami perubahan didalam dirinya dan

juga disertai dengan berbagai masalah dan perubahan-perubahan baik fisik,

biologi, psikologik maupun sosial, harus dihadapi oleh remaja karena ini

merupakan masa yang sangat penting karena merupakan masa peralihan kemasa

5
6

dewasa (Mursintawati, 2008). Menstruasi atau haid adalah perubahan fisiologis

dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon

reproduksi. Hal ini terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai menopause

(Josep dan Nugroho, 2010). Pada menstruasi terjadi pelepasan satu sel telur dari

salah satu ovarium. Jika sel telur ini tidak mengalami pembuahan dan terjadi

peluruhan dinding rahim yang terdiri dari darah dan jaringan tubuh yang terjadi

setiap bulan dan merupakan suatu proses normal bagi perempuan (Agustina dan

Sheyla, 2012).

2.1.2. Siklus Menstruasi

Menurut Wiknjosastro (2005) siklus menstruasi yang dimaksud disini

adalah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu dan mulainya haid berikutnya.

Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus haid

umumnya adalah 28 hari, tetapi tidak jarang adanya perbedaan lama siklus

menstruasi pada setiap wanita. Panjang siklus yang biasa pada wanita adalah 25-

32 hari. Terdapat 4 fase menstruasi yakni :

a) Fase Menstruasi

Fase menstruasi adalah fase dimana luruhnya sel ovum matang yang

tidak dibuahi bersamaan dengan dinding endometrium yang robek.

Hanya lapisan tipis yang tinggal yang disebut stratum basale. Fase ini

umumnya terjadi 4 hari. Banyaknya pendarahan selama haid normal

±50 cc.
7

b) Fase Poliferasi

Dinamakan juga fase folikuler. Fase Poliferasi ini ditandai dengan

menurunnya hormon progresteron sehingga memicu kelenjar hipofisis

untuk mensekresikan FSH dan merangsang folikel dalam ovarium,

sehingga dapat membuat hormon estrogen diproduksi kembali. Sel

folikel berkembang menjadi folikel degraff yang matang dan

menghasilkan hormon estrogen yang merangsang keluarnya LH dari

hipofisis. Estrogen dapat menghambat sekresi FSH tetapi dapat

memperbaiki dinding endometrium yang robek. Menurut Hendrik

(2006) fase poliferasi yaitu suatu fase yang menunjukkan waktu

(masa) ketika ovarium beraktivitas membentuk dan mematangkan

folikel-folikelnya serta uterus beraktivitas menumbuhkan lapisan

endometriumnya yang mulai pulih dan dibentuk pada fase regenerasi

atau pasca haid. Pada siklus haid klasik, fase poliferasi berlangsung

setelah pendarahan haid berakhir, dimulai pada hari ke-5 sampai hari

14 (terjadinya fase ovulasi). Fase ovulasi berguna untuk

menumbuhkan lapisan endometrium uteri agar siap menerima sel

ovum yang telah dibuahi oleh sel sperma, sebagai persiapan terjadinya

proses kehamilan.

c) Fase Ovulasi atau fase luteal

Dinamakan juga fase sekresi atau fase prahaid, yaitu suatu fase yang

menunjukkan waktu ketika ovarium beraktivitas membentuk korpus

luteum dari sisa-sisa folikel-folikel matangnya (folikel degraaf) yang


8

sudah mengeluarkan sel ovumnya pada saat terjadi ovulasi dan

menghasilkan hormon progesteron yang akan digunakan sebagai

penunjang lapisan endometrium uteri untuk bersiap-siap menerima

hasil konsepsi (jika terjadi kehamilan) atau melakukan proses

deskuamasi dan penghambatan masuknya sperma (jika tidak

terjadinya kehamilan). Pada hari ke-14 (setelah terjadinya proses

ovulasi) sampai hari ke-28, berlangsung fase luteal (Hendrik, 2006).

Fase ovulasi ditandai dengan sekresi LH (luteinizing hormone) yang

memacu matangnya sel ovum pada hari ke-14 sesudah menstruasi. Sel

ovum yang matang akan meninggalkan folikel dan folikel akan

mengkerut dan berubah menjadi corpus luteum. Corpus luteum

berfungsi untuk menghasilkan hormon progesteron yang berfungsi

untuk mempertebal dinding endometrium yang kaya akan pembuluh

darah.

d) Fase pasca ovulasi atau fase sekresi

Fase sekresi ditandai dengan corpus luteum yang mengecil atau

menghilang dan berubah menjadi corpus albicans yang berfungsi

untuk menghambat sekresi hormon estrogen dan progesteron

sehingga hipofisis aktif mensekresikan FSH (folikel stimulating

hormone) dan LH (luteinizing hormone). Sekresi progesteron yang

terhenti menyebabkan penebalan dinding endometrium akan terhenti

sehingga menyebabkan endometrium mengering dan robek, maka

terjadi fase perdarahan atau menstruasi.


9

Gambar Siklus Menstruasi


Sumber: Anonim, 2012

2.1.3. Gangguan Menstruasi

Berikut adalah gangguan menstruasi menurut Manuaba (2009):

a) Amenorea yaitu keterlambatan menstruasi lebih dari 3 bulan berturut-

turut, menstruasi wanita teratur setelah mencapai usia 18 tahun

b) Polimenorea menstruasi yang sering terjadi dan tidak normal.

Menurut Wiknjosastro (2007) pada polimenorea siklus haid lebih

pendek dari biasanya (kurang dari 21 hari). Pendarahan yang kurang

lebih sama atau lebih banyak dari haid biasa. Hal yang terakhir ini

diberi nama polimenorea atau epimenoragia. Penyebabnya bisa jadi

oleh gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi atau


10

menjadi pendeknya masa luteal. Sebab lain adalah kongesti ovarium

karena peradangan, endometriosis, dan sebagainya

c) Oligomenorea dimana siklus menstruasi melebihi 35 hari. Sedangkan

dengan darah yang keluar relatif sama. Menurut Wiknjosastro (2007)

apabila panjang siklus sudah lebih dari 3 bulan sudah disebut

amenorea. Oligomenorea dan amenorea sering kali punya dasar yang

sama. Pada kebanyakan kasus oligomenorea kesehatan wanita tidak

terganggu, dan fertilitas cukup baik. Siklus haid biasanya juga

ovulator dengan masa poliferasi lebih panjang dari biasanya

d) Menorrhagia atau hipermenorea, yaitu pada bentuk gangguan siklus

menstruasi tetap teratur dan jumlah darah yang dikeluarkan cukup

banyak, penyebabnya kemungkinan terdapat mioma uteri atau

pembesaran rahim. Menurut Wiknjosastro (2007) sebab kelainan ini

terletak pada kondisi dalam uterus, misalnya adanya mioma uteri

dengan permukaan endometrium lebih luas dari biasa dan dengan

kontraktilitas yang terganggu, polip endometrium pada waktu haid

(irregular endometrial shedding), dan sebagainya. Pada gangguan

pelepasan endometrium biasanya terdapat juga gangguan dalam

pertumbuhan endometrium yang diikuti dengan gangguan pelepasan

waktu haid

e) Hippomenorea jumlah darah yang dikeluarkan jumlahnya sedikit.

Dengan penyebabnya kemungkinan gangguan hormonal, kondisi


11

wanita yang kurang gizi atau wanita dengan gangguan penyakit

tertentu

f) Ketegangan sebelum masa menstruasi (Pre mestruasi tention), terjadi

karena keluhan yang dimulai sekitar seminggu sebelum dan sesudah

haid. Terjadi karena ketidakseimbangan estrogen dan progesteron

menjelang menstruasi. Ketegangan sebelum haid terjadi pada waktu

umur sekitar 30-49 tahun, pengobatanya tergantung pada keadaan dan

memerlukan konsultasi dengan ahlinya

g) Dysmenorrhea adalah rasa nyeri saat menstruasi dapat berupa kram

ringan pada bagian kemaluan sampai mengganggu aktivitas sehari-

hari. Menurut Wiknjosastro (2007) gangguan dysmenorrhea bersifat

subjektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai. Walaupun frekuensi

dysmenorrhea hanya dipakai jika nyeri haid demikian hebatnya,

sehingga memaksa penderita untuk beristirahat dan meninggalkan

pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari, untuk beberapa jam hingga

beberapa hari.

2.2. Dysmenorrhea

2.2.1. Definisi dan Klasifikasi Dysmenorrhea

Dysmenorrhea atau nyeri haid adalah gejala yang paling sering

menyebabkan perempuan untuk pergi ke dokter untuk konsultasi dan untuk

mendapatkan penanganan. Hal ini mengandung arti bahwa kebanyakan

perempuan mengalami dysmenorrhea dalam proses menstruasinya (Wiknjosastro,


12

2007). Dysmenorrhea adalah istilah medis untuk gangguan menstruasi, gejala-

gejala dari dysmenorrhea dapat berupa rasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada

perut bagian bawah dan punggung bawah, sakit kepala, mual hingga pingsan pada

sebelum atau selama menstruasi (Maulana, 2009). Karena gangguan

menstruasinya ini sifatnya subjektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai.

Walaupun frekuensi dysmenorrhea cukup tinggi dan penyakitnya ini sudah lama

dikenal, namun sampai sekarang patogenesisnya belum dapat dipecahkan. Oleh

karena hampir semua wanita mengalami rasa tidak nyaman di perut bawah

sebelum dan selama haid hingga timbulnya rasa mual, maka istilah dysmenorrhea

hanya dipakai jika nyeri haid demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita

untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaannya (Wiknjosastro, 2007).

Menurut Wiknjosastro (2007), dysmenorrhea dibagi menjadi 2 yaitu

dysmenorhrrea primer dan dysmenorrhea sekunder:

a) Dysmenorrhea Primer

Dysmenorrhea primer adalah nyeri haid yang dijumpai tanpa adanya

kelainan pada alat-alat genital. Dysmenorrhea primer terjadi beberapa

waktu setelah menarche biasanya setelah 12 bulan atau lebih, oleh karena

siklus-siklus haid pada bulan bulan pertama setelah menarche umumnya

berjenis anovulator yang tidak disertai dengan rasa nyeri. Rasa nyeri

timbul tidak lama sebelumnya atau bersama-sama dengan permulaan haid

dan berlangsung singkat. Rasa nyeri bersifat kejang berjangkit-jangkit,

biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah

pinggang dan paha. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa
13

mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas dan sebagainya. Menurut

Smeltzer dan Bare (2002), dysmenorrhea primer diduga sebagai akibat

pembentukan prostaglandin yang berlebihan, yang juga menyebabkan

uterus mengalami kontraksi secara berlebihan dan juga mengakibatkan

vasospasme arteriolar. Dengan bertambahnya usia wanita, nyeri cenderung

menurun dan akhirnya hilang setelah melahirkan. Anurogo dan Wulandari

(2011) mengungkapkan bahwa dysmenorrhea primer adalah nyeri haid

yang dijumpai tanpa kelainan alat-alat genitalia yang nyata, terjadi dalam

6-12 bulan pertama setelah haid pertama segera setelah siklus ovulasi

teratur ditentukan

b) Dysmenorrhea sekunder

Dysmenorrhea disebabkan oleh kelainan ginekologik seperti

salpingitis kronis, edometriosis, adenomiosis uteri, stenosis serviks uteri,

dan lain-lain. Menurut French (2005) perbedaan antara dysmenorhrrea

primer dengan dysmenorhrrea sekunder mengacu pada ada atau tidaknya

kondisi patologi pada organ pelvis.

2.2.2. Etiologi Dysmenorrhea Primer

Penyebab pasti dysmenorrhea primer hingga kini belum diketahui secara

pasti. Namun penelitian dalam tahun-tahun terakhir ini menunjukkan adanya

peranan faktor prostaglandin, terhadap timbulnya nyeri. Teori ini menyatakan

bahwa nyeri menstruasi timbul karena peningkatan produksi prostaglandin oleh

dinding rahim saat menstruasi. Anggapan ini mendasari pengobatan dengan anti

prostaglandin untuk meredakan nyeri menstruasi. Prostaglandin memiliki peran


14

dalam mengatur proses yang terjadi di dalam tubuh, seperti kontraksi uterus,

aktivitas usus dan perubahan diameter pembuluh darah. Apabila kadar

prostaglandin berlebihan saat menstruasi, maka kontraksi uterus akan bertambah

sehingga mengakibatkan terjadinya nyeri yang hebat yang disebut dysmenorrhea

(Proverawati dan Misaroh, 2009).

Menurut Wiknjosastro (2007) beberapa faktor memegang peranan sebagai

penyebab dysmenorrhea primer, antara lain:

a) Faktor kejiwaan : pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil,

apabila mereka tidak mendapatkan penerangan yang baik tentang

proses haid maka mudah timbul terjadinya dysmenorrhea. Menurut

Anurogo dan Wulandari (2011) rasa bersalah, ketakutan seksual, takut

hamil, hilangnya tempat berteduh, konflik dengan masalah jenis

kelaminnya, dan imaturitas

b) Faktor konstitusi : faktor konstitusi erat hubunganya dengan faktor

kejiwaan dan juga dapat menurunkan ketahanan rasa nyeri. Faktor-

faktor seperti anemia, penyakit menahun, dan sebagainya dapat

mempengaruhi timbulnya dysmenorrhea

c) Faktor obstriksi kanalis servikalis: salah satu teori yang paling tua

untuk menerangkan terjadinya dysmenorrhea primer ialah

stenoiskanalis servikalis, pada wanita dengan uterus dalam

hiperantefleksi mungkin dapat terjadi stenosis kanalis servikalis, akan

tetapi hal ini sekarang tidak dianggap sebagai faktor yang penting

sebagai penyebab dysmenorrhea. Banyak wanita menderita


15

dysmenorrhea tanpa stenosis servikalis dan tanpa uterus dalam

hiperantefleksi. Sebaliknya, terdapat banyak wanita tanpa keluhan

dysmenorrhea, walaupun ada stenosis servikalis dan uterus terletak

dalam hiperantefleksi atau hiperretrofleksi. Mioma submukosum

bertangkai atau polip endometrium dapat menyebabkan dysmenorrhea

karena otot-otot uterus berkontraksi keras dalam usaha untuk

mengeluarkan kelainan tersebut

d) Faktor endokrin: faktor endokrin mempunyai hubungan dengan soal

tonus dan kontraktilitas otot usus. Menurut Anurogo dan Wulandari

(2011) rendahnya kadar progesteron pada akhir fase corpus luteum.

Hormon progesteron menghambat atau mencegah kontraktilitas

uterus, sedangkan hormon estrogen merangsang kontraktilitas uterus.

Di sisi lain, endometrium dalam fase sekresi memproduksi

prostaglandin F2 sehingga menyebabkan kontraksi otot-otot polos.

Jika kadar prostaglandin yang berlebihan memasuki peredaran darah,

maka selain dysmenorrhea dapat juga dijumpai efek lainnya seperti

nausea (mual), muntah, dan diare

e) Faktor alergi : faktor alergi ini dikemukakan setelah memperhatikan

adanya asosiasi antara dismenorrhea dengan urtikaria, migraine, atau

asma bronkhiale.

2.2.3. Tata Laksana Dysmenorrhea

Berikut adalah penanganan dan beberapa hal yang dapat dilakukan ketika

terjadi dysmenorrhea menurut Wiknjosastro (2007) adalah :


16

a. Penanganan dan Edukasi

Perlu dijelaskan kepada penderita bahwa dysmenorrhea primer adalah

gangguan siklus menstruasi yang tidak berbahaya untuk kesehatan.

Hendaknya dalam masalah ini diadakan penjelasan dan diskusi

mengenai informasi dysmenorrhea, penanggulangan yang tepat serta

pencegahan agar dysmenorrhea tidak mengarah pada tingkat yang

sedang bahkan ke tingkat berat. Tidak menutup kemungkinan bahwa

ketahanan tubuh meningkat dan gangguan menstruasi dapat dicegah.

Nasehat mengenai makan bergizi, istirahat dan olahraga cukup dapat

berguna dan terkadang juga diperlukan psikoterapi

b. Pemberian Obat Analgesik

Jika dirasakan nyeri berat, diperlukan istirahat di tempat tidur, dan

kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi nyeri yang

dirasakan. Obat analgesik yang sering digunakan adalah preparat

kombinasi aspirin, fenasetin, dan kafein. Contoh obat paten yang

beredar dipasaran antara lain ponstan, novalgin, acetaminophen dan

sebagainya

c. Terapi Hormonal

Tujuan terapi hormonal adalah menekan ovulasi. Tindakan ini bersifat

sementara dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan benar

berupa dysmenorrhea primer, sehingga wanita dapat tetap melakukan

aktivitas sehari-hari. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian pil

kombinasi kontrasepsi
17

d. Terapi dengan Obat Nonsteroid Antiprostaglandin

Obat ini memegang peranan penting terhadap dysmenorrhea primer.

Termasuk disini indometasin dan naproksen. Kurang lebih 70%

penderita mengalami perbaikan. Hendaknya pengobatan diberikan

sebelum haid mulai, satu sampai tiga hari sebelum haid dan pada hari

pertama.

2.2.4. Faktor-faktor Risiko Dysmenorrhea

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), faktor risiko terjadinya dysmenorrhea

adalah:

a) Menarche pada Usia Lebih Awal

Menarche didefinisikan sebagai pertama kali menstruasi, yaitu

keluarnya cairan darah dari alat kelamin wanita berupa luruhnya

lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung pembuluh

darah. Menarche atau terjadinya haid pertama kali selama usia

kehidupan pada seorang wanita sangat bervariasi, yaitu antara 10-16

tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 12,5 tahun (Wiknjosastro,

2007). Menurut Proverawati dan Misaroh (2009), usia saat seorang

anak perempuan mulai mendapat menstruasi sangat bervariasi.

Terdapat kecenderungan bahwa saat ini anak mendapat menstruasi

yang pertama kali pada usia yang lebih muda. Ada yang berusia 12

tahun sudah mendapat menstruasi yang pertama kali, yang usia 8

tahun sudah mengalami dan ada juga yang usia 16 tahun baru

mengalami. Menarche pada usia lebih awal menyebabkan alat-alat


18

reproduksi belum berfungsi secara optimal dan belum siap mengalami

perubahan-perubahan sehingga timbul nyeri ketika menstruasi

b) Belum Pernah Hamil dan Melahirkan

Wanita yang hamil biasanya terjadi alergi yang berhubungan dengan

syaraf yang menyebabkan adrenalin mengalami penurunan, serta

menyebabkan leher rahim melebar sehingga sensasi nyeri haid

berkurang bahkan hilang

c) Lama Menstruasi Lebih Dari Normal (Hipermenorea)

Yang disebut hipermenorea atau menorhagia adalah pendarahan

berkepanjangan atau berlebihan pada waktu menstruasi teratur

(Smeltzer dan Bare, 2002). Menurut Wiknjosastro (2005)

hipermenorea adalah pendarahan haid yang lebih banyak dari normal

atau lebih lama dari normal lebih dari 8 hari.

Menurut Proverawati dan Misaroh (2009), hipermenorea adalah

pendarahan menstruasi yang banyak dan lebih lama dari normal, yaitu

6-7 hari dangan ganti pembalut 5-6 kali perhari. Menstruasi normal

biasanya 3-5 hari (3-7 hari masih normal), jumlah darah rata-rata 35

cc (10-80 cc masih dianggap normal), kira-kira 2-3 kali ganti

pembalut perhari. Penyebab hipermenorea bisa berasal dari rahim

berupa mioma uteri, tumor jinak dari otot rahim, infeksi pada rahim

atau hiperplasia endometrium (penebalan lapisan dalam rahim) dan

dapat juga disebabkan oleh kelainan diluar rahim seperti kelainan


19

darah misalnya anemia, gangguan pembekuan darah, serta juga bisa

disebabkan oleh kelainan hormon atau gangguan endokrin.

Smeltzer dan Bare (2002) menyebutkan bahwa penyebab

hipermenorea biasanya berhubungan dengan gangguan endokrin dan

juga disebabkan karena adanya gangguan inflamasi, tumor uterus, dan

gangguan emosional juga dapat mempengaruhi pendarahan. Lama

menstruasi lebih dari normal, menstruasi menimbulkan adanya

kontraksi uterus, bila menstruasi terjadi lebih lama mengakibatkan

uterus lebih sering berkontraksi dan semakin banyak prostaglandin

yang dikeluarkan

d) Perokok

Merokok dapat mengakibatkan nyeri saat haid karena di dalam rokok

terdapat kandungan zat yang dapat mempengaruhi metabolisme

estrogen, sedangkan estrogen bertugas untuk mengatur proses haid

dan kadar estrogen harus cukup di dalam tubuh. Apabila estrogen

tidak tercukupi akibat adanya gangguan dari metabolismenya akan

menyebabkan gangguan pula dalam alat reproduksi termasuk nyeri

saat haid (Megawati, 2006)

e) Kebiasaan Olahraga

Olahraga merupakan serangkaian gerak raga yang teratur dan

terencana yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan

kemampuan fungsionalnya (Irianto, 2012). Disebutkan juga oleh

Sumintarsih (2006), kebanyakan orang yang melakukan olahraga


20

secara teratur dan terukur menyebabkan perasaan lebih enak, olahraga

juga dapat mencapai dan mempertahankan keadaan sehat dan bugar.

Kejadian dysmenorrhea akan meningkat dengan kurangnya aktivitas

selama menstruasi dan kurangnya olahraga, hal ini dapat

menyebabkan sirkulasi darah dan oksigen menurun. Dampak pada

uterus adalah aliran darah dan sirkulasi oksigen pun berkurang dan

menyebabkan nyeri. Olahraga merupakan salah satu teknik relaksasi

yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Hal ini disebabkan

saat melakukan olahraga tubuh akan menghasilkan endorphin.

Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang.

Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang

diproduksi otak sehingga menimbulkan rasa nyaman (Harry, 2007).

Pada sebagian besar wanita, latihan olahraga aerobik mampu

mengurangi gejala-gejala gangguan menstruasi seperti dysmenorrhea

yaitu mengurangi kelelahan dan stress. Latihan ini dapat berupa jalan

cepat, joging, senam, bersepeda, dan berenang. Latihan olahraga

aerobik juga mampu memperbaiki kesehatan hati atau jantung dan

mampu membantu mengendalikan tekanan berat, serta latihan fisik

juga meningkatkan rangsangan simpatis yaitu suatu kondisi yang

menurunkan detak jantung dan mengurangi sensasi cemas (Laila,

2011).

Dengan olahraga dapat meningkatkan pasokan darah ke organ

reproduksi sehingga memperlancar peredaran darah. Olahraga teratur


21

seperti jalan cepat, jogging, berlari, berenang, bersepeda atau aerobik

dapat memperbaiki kesehatan secara umum dan menjaga siklus

menstruasi agar tetap teratur. Beberapa wanita mencapai keringanan

melalui olahraga, yang tidak hanya mengurangi stress tapi juga

meningkatkan produksi endorphin di otak, penawar sakit alami tubuh.

Tidak ada pembatasan aktivitas selama haid. Olahraga latihan aerobik

dapat membantu memproduksi bahan alami yang dapat memblok rasa

sakit ketika haid (Proverawati dan Misaroh, 2009).

f) Stress

Stress menimbulkan penekanan sensasi syaraf-syaraf pinggul dan

otot-otot punggung bawah sehingga menyebabkan dysmenorrhea.

2.2.5. Patofisiologi Dysmenorrhea

Selama fase luteal dan menstruasi, prostaglandin F2 alfa (PGF2a),

disekresi. Pelepasan PGF2a yang berlebihan meningkatkan amplitudo dan

frekuensi kontraksi uterus yang menyebabkan vasospasme arteriol uterus,

sehingga mengakibatkan iskemia dan kram abdomen bawah yang bersifat siklik.

Respon sistemik terhadap PGF2a meliputi nyeri punggung kelemahan

pengeluaran keringat gejala saluran cerna (anoreksia, mual, muntah, dan diare)

dan gejala sistem syaraf pusat meliputi: pusing, sinkop, nyeri kepala dan

konsentrasi buruk (Bobak, 2004).

Prostaglandin F2 alfa (PGF2a) adalah perantara yang berperan penting

dalam terjadinya dysmenorrhea primer. Peningkatan PGF2a dalam endometrium

diikuti dengan adanya penurunan progesteron pada fase luteal, yang


22

mengakibatkan membran lisosom menjadi tidak stabil dan terjadi pelepasan enzim

lisosomal. Pelepasan enzim lisosomal akan merangsang pelepasan enzim

phospholipase A2 yang akan menghidrolisis senyawa fosfolipid menjadi asam

arakidonat. Melalui siklus endoperoxidase dengan perantara prostaglandin G2

(PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2) selanjutnya akan menjadi

PGFprostaglandin E2 (PGE2) (Slap, 2008). Pelepasan PGF2a2a dan yang

berlebihan dapat meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus dan

menyebabkan vasokontriksi arteriol uterus sehingga terjadi iskemia dan kram

abdomen bawah (Dawood, 2008).

2.2.6. Penegakan Diagnosis Dysmenorrhea Primer

Diagnosis terhadap dysmenorrhea primer mengacu pada gejala dan hasil

pemeriksaan secara fisik. Pada dysmenorrhea primer gejala yang terjadi yaitu

nyeri di perut bagian bawah dan tungkai. Nyeri dirasakan sebagai kram yang

hilang timbul atau sebagai nyeri tumpul yang terus menerus ada. Biasanya rasa

nyeri mulai timbul sesaat sebelum atau selama menstruasi. Dan rasa nyeri

mencapai puncaknya dalam waktu 24 jam, namun setelah 2 hari akan menghilang

(Andrini, 2014). Rasa nyeri bersifat kejang berjangkit-jangkit, biasanya terbatas

pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha.

Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit kepala,

diare, iritabilitas hingga pingsan (Wiknjosastro, 2007).

2.2.7. Alat Ukur Dysmenorrhea Primer

Alat ukur yang digunakan untuk menentukan dysmenorrhea primer adalah

dengan menggunakan kuesioner penegakan diagnosis dysmenorrhea primer yang


23

mengacu pada gejala yang terjadi yaitu nyeri di perut bagian bawah dan tungkai.

Dysmenorrhea primer juga bisa disertai sakit kepala, mual, muntah, sakit kepala,

diare hingga pingsan dan terganggunya aktivitas sehari-hari.

2.3. Aktivitas Fisik

2.3.1. Definisi Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan

oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi (Almatsier, 2004).

Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko

independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan

menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010).

2.3.2. Jenis-jenis Aktivitas Fisik

Nurmalina (2011) menyebutkan bahwa aktivitas fisik dapat digolongkan

menjadi tiga tingkatan, aktivitas fisik yang sesuai untuk remaja sebagai berikut:

a) Kegiatan ringan : hanya memerlukan sedikit tenaga dan biasanya tidak

menyebabkan perubahan dalam pernapasan atau ketahanan

(endurance). Contoh : berjalan kaki, menyapu lantai, mencuci

baju/piring, mencuci kendaraan, berdandan, duduk, les di sekolah, les

di luar sekolah, mengasuh adik, nonton TV, aktivitas main play

station, main komputer, belajar di rumah, nongkrong.

b) Kegiatan sedang : membutuhkan tenaga intens atau terus menerus,

gerakan otot yang berirama atau kelenturan (flexibility). Contoh:


24

berlari kecil, tenis meja, berenang, bermain dengan hewan peliharaan,

bersepeda, bermain musik, jalan cepat.

c) Kegiatan berat : biasanya berhubungan dengan olahraga dan

membutuhkan kekuatan (strength), membuat berkeringat. Contoh :

berlari, bermain sepak bola, aerobik, bela diri (misal karate,

taekwondo, pencak silat) dan outbond. Lakukan minimal 30 menit

olahraga sedang untuk kesehatan jantung, 60 menit untuk mencegah

kenaikan berat badan dan 90 menit untuk menurunkan berat badan.

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fisik

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik pada

remaja menurut Karim (2002) :

a) Umur

Aktivitas fisik remaja sampai dewasa meningkat sampai mencapai

maksimal pada usia 25-30 tahun, kemudian akan terjadi penurunan

kapasitas fungsional dari seluruh tubuh, kira-kira sebesar 0,8-1% per

tahun, tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini dapat dikurangi

sampai separuhnya

b) Jenis Kelamin

Sampai pubertas biasanya aktivitas fisik remaja laki-laki hampir sama

dengan remaja perempuan, tapi setelah pubertas remaja laki-laki

biasanya mempunyai nilai yang jauh lebih besar


25

c) Pola Makan

Makanan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas, karena bila

jumlah makanan dan porsi makanan lebih banyak, maka tubuh akan

merasa mudah lelah, dan tidak ingin melakukan kegiatan seperti olah

raga atau menjalankan aktivitas lainnya. Makanan yang beragam yaitu

dengan serat yang cukup, mineral yang terpenuhi dan berbagai

vitamin yang bisa kita dapat dari berbagai macam buah dan sayuran

yang berlimpah akan banyak mempengaruhi tubuh untuk melakukan

aktivitas sehari-hari ataupun berolahraga, maka dari itu makanan yang

akan dikonsumsi dipertimbangkan kandungan gizinya agar tubuh

tidak mengalami kelebihan energi namun tidak dapat dikeluarkan

secara maksimal

d) Penyakit / Kelainan pada Tubuh

Berpengaruh terhadap kapasitas jantung paru, postur tubuh, obesitas,

hemoglobin/sel darah dan serat otot. Bila ada kelainan pada tubuh

seperti di atas akan mempengaruhi aktivitas yang akan dilakukan.

Seperti kekurangan sel darah merah, maka orang tersebut tidak

diperbolehkan untuk melakukan olah raga yang berat. Obesitas juga

menjadikan kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik (Karim, 2002).

2.3.4. Pengukuran Tingkat Aktivitas Fisik

Tingkat aktivitas fisik diukur oleh 2 variabel, yaitu:

1) Frekuensi yaitu berapa kali atau berapa jam seseorang bekerja dalam

seminggu
26

2) Durasi yaitu berapa lama seseorang melakukan pekerjaan tiap

minggunya

Berdasarkan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ),

kriteria aktivitas fisik dibagi menjadi 3 bagian :

1. Aktivitas Fisik Rendah

Tidak ada aktivitas yang dilaporkan atau beberapa aktivitas dilaporkan

tetapi tidak cukup untuk memenuhi kategori (< 600MET-

menit/minggu)

2. Aktivitas Fisik Sedang

Memenuhi salah satu dari 3 kriteria berikut :

a. 3 hari atau lebih intensitas aktivitas setidaknya 20 menit per hari

b. 5 hari atau lebih aktivitas intensitas sedang dan / atau berjalan

setidaknya 30 menit per hari

c. 5 hari atau lebih dari kombinasi berjalan, aktivitas intensitas

sedang atau kuat intensitas mencapai minimal setidaknya 600

MET-menit/minggu

3. Aktivitas Fisik Berat

Memenuhi salah satu dari 2 kriteria berikut:

a. Aktivitas fisik setidaknya 3 hari intensitas kuat dan

mengumpulkan minimal 1500 MET-menit/minggu

b. 7 hari atau lebih dari kombinasi berjalan, aktivitas sedang atau

intensitas berat mengumpulkan setidaknya 3000 MET-

menit/minggu.
27

Pengukuran tingkat aktivitas fisik menggunakan standar dari International

Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Dimana menggunakan perhitungan

akumulasi waktu dalam seminggu dengan kriteria data frekuensi beraktivitas fisik

dalam seminggu terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Kegiatan aktivitas

fisik dikategorikan ‘cukup’ apabila kegiatan dilakukan terus menerus sekurangnya

10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama

lima hari dalam satu minggu. Selain frekuensi, dilakukan pula pengumpulan data

intensitas, yaitu jumlah hari melakukan aktivitas ‘berat’, ‘sedang’ dan ‘berjalan’.

Perhitungan jumlah menit aktivitas fisik dalam seminggu mempertimbangkan

pula jenis aktivitas yang dilakukan, dimana aktivitas diberi pembobotan, masing-

masing untuk aktivitas ‘berat’ empat kali, aktivitas ‘sedang’ dua kali terhadap

aktivitas ‘ringan’ atau jalan santai (Laksono, 2013).

2.4. Hubungan Aktivitas Fisik Dan Dysmenorrhea

Dysmenorrhea menurut Prawirohardjo (2008) adalah nyeri selama haid

yang dirasakan di perut bawah atau di pinggang, bersifat seperti mulas-mulas,

seperti ngilu, dan seperti ditusuk-tusuk. Dysmenorrhea menyebabkan nyeri pada

daerah panggul akibat menstruasi dan produksi zat prostaglandin. Seringkali

dimulai segera setelah mengalami menstruasi pertama (menarche).

Kejadian dysmenorrhea akan meningkat dengan kurangnya aktivitas fisik

selama menstruasi dan kurangnya olahraga, hal ini dapat menyebabkan sirkulasi

darah dan oksigen menurun. Dampak pada uterus adalah aliran darah dan sirkulasi

oksigen pun berkurang dan menyebabkan nyeri. Olahraga merupakan salah satu
28

teknik relaksasi yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri. Hal ini

disebabkan saat melakukan olahraga tubuh akan menghasilkan endorphin.

Endorphin dihasilkan di otak dan susunan syaraf tulang belakang. Hormon ini

dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang diproduksi otak sehingga

menimbulkan rasa nyaman (Harry, 2007). Pada sebagian besar wanita, latihan

olahraga aerobik mampu mengurangi gejala-gejala gangguan menstruasi seperti

dysmenorrhea yaitu mengurangi kelelahan dan stress serta latihan fisik juga

meningkatkan rangsangan simpatis yaitu suatu kondisi yang menurunkan detak

jantung dan mengurangi sensasi cemas. Latihan ini dapat berupa jalan cepat,

joging, senam, bersepeda, dan berenang (Laila, 2011).

You might also like