You are on page 1of 15

BAGIAN ANESTESIOLOGI Text Book Reading

FAKULTAS KEDOKTERAN September 2007


UNIVERSITAS HASANUDDIN

TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF PADA ANAK


(Terjemahan dari Text Book Perioperative Fluid Therapy, Robert G. Hahn, Donald S.
Prough, Chrisier H. Svensen, Chapter 31, Page 423 – 433)

Oleh :
ALWI DWIANTO / C11101018

Pembimbing :
dr. KENANGA MARWAN S.

Penguji :
dr. ANDI SALAHUDDIN, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2007

1
31 TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF PADA ANAK

Isabelle Murat
Bagian Anestesi, Rumah Sakit d’Enfants Armand Trousseau, Paris, Perancis

PENDAHULUAN

Konsep lama seperti hubungan pertambahan usia terhadap komposisi cairan tubuh
maupun hubungan baru mengenai bahaya hiperglikemi mendorong terciptanya penatalaksanaan
modern dalam terapi cairan perioperatif pada anak. Neonatus (0-28 hari) dan bayi prematur
mewakili subgrup dengan kebutuhan-kebutuhan khusus yang sangat berbeda dari pedoman yang
sering digunakan untuk bayi dan anak.

FISIOLOGI
Komposisi Tubuh

Selama kehidupan janin dan selama dua tahun pertama kehidupan, distribusi cairan tubuh
mengalami perubahan yang signifikan pada setiap tahapan (1). Total body water (TBW)
mewakili sekitar 80% berat badan pada bayi prematur, 78% pada neonates aterm, dan 65% pada
bayi usia 12 bulan dibandingkan dengan orang dewasa sebesar 60% (tabel 1).

Tabel 1 Data Komposisi Tubuh dan Morfometrik pada Anak


Prematur Cukup Bulan 1 Thn 3 Thn 9 Thn Dewasa
Berat Badan (kg) 1,5 3 10 15 30 70
Luas Permukaan Tubuh (m2) 0,15 0,2 0,5 0,6 1 1,7
Luas Permukaan Tubuh/Berat Badan 0,1 0,07 0,05 0,04 0,03 0,02
Total Cairan Tubuh (% BB) 80 78 65 60
Cairan Ekstraseluler (% BB) 50 45 25 20
Cairan Intraseluler (%BB) 30 33 40 40

Perubahan TBW tergantung pada usia ini terutama digambarkan dengan perubahan cairan
ekstraseluler (ECF) dalam pertumbuhan. Dengan berproliferasinya sel-sel tubuh dan
perkembangan organ secara cepat, volume ECF menurun secara proporsional. Ini
menggambarkan 50% dari berat badan pada bayi prematur, 45% neonates aterm, dan 25% pada
bayi usia 12 bulan dan 20% pada orang dewasa. Cairan kompartemen intraseluler meningkat
hanya secara moderat/sedang selama tahun pertama kehidupan, mewakili 33% berat badan pada

2
saat lahir dan 40% dari berat badan pada akhir tahun pertama kehidupan, dan tidak mengalami
perubahan setelahnya.

Maturasi Ginjal

Maturasi fungsi ginjal pada dasarnya telah tercapai pada akhir bulan pertama kehidupan.
Filtrasi glomerular meningkat dengan cepat sejak usia kehamilan 34 minggu, ketika struktur
nefron ginjal telah sempurna (2-4). Setelah kelahiran, resistensi vaskuler ginjal menurun dengan
tajam, sedangkan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan arterial meningkat. Konsekuensinya,
aliran darah ginjal meningkat secara dramatis. Hal ini menjelaskan mengapa laju filtrasi
glomerorus tetap rendah selama 24 jam pertama kehidupan, lalu meningkat sangat cepat
setelahnya. Selama 6 minggu pertama setelah kelahiran, area nefron kortikal dan
juxtraglomerulus, dan juga volume kapiler-kapiler glomerulus dan ukuran pori-pori membran
gromerulus mengalami peningkatan. Fungsi tubular kurang matur dibandingkan fungsi
glomerulus saat lahir. Ambang renal untuk glukosa bersifat rendah, menjelaskan tingginya
insiden glikosuria setelah hiperglikemia moderat kapasitas tubular untuk reabsorbsi natrium
rendah pada bayi prematur. Pada yang matur, nefron neonates mulai me reabsorbsi natrium lebih
aktif sebagai respon terhadap kebutuhan pertumbuhan. Ekskresi natrium sebagai respon
pemberian natrium parentral juga dikurangi. Keseimbangan natrium harus dikontrol dengan hati-
hati sangat penting pada pembedahan neonatus prematur, karena hiponatremia dan hipernatrimia
keduanya dapat memberikan efek buruk pada otak.
Pada saat lahir, neonatus tidak mampu mengkonsentrasikan urinnya secara efektif.
Klirens cairan bebas lebih rendah dibandingkan orang dewasa, yang menjelaskan kemampuan
yang lemah bayi baru lahir untuk mengatasi kelebihan cairan maupun kekurangan cairan.
Pada akhirnya, sistem renin-angiotensin-aldosteron berfungsi pada neonatus (6), tetapi
mekanisme umpan balik masih belum matang, khususnya pada bayi prematur (7).

Perubahan Perkembangan Kardiovaskuler

Neonatus dan bayi prematur memiliki cadangan kardiovaskuler yang terbatas terhadap
peningkatan preload dan afterload (8-10). Setiap pengurangan preload juga kurang baik terhadap
daya tahan yang tampak pada pengurangan complains ventrikel kanan dan dengan cepat diikuti
oleh volume ejeksi sistolik. Cardiac output menjadi tinggi untuk mengkompensasi afinitas

3
oksigen yang tinggi dari hemoglobin fetal dan untuk mengimbangi konsumsi oksigen yang tinggi
(11). Cardiac output sangat tergantung pada heart rate selama periode neonatus. Akan tetapi,
selama akhir bulan pertama kehidupan, kemampuan adaptasi sistem kardiovaskuler hampir sama
pada kebanyakan orang dewasa. Pada bayi prematur, kelebihan cairan akan memicu patent
ductus arteriosus persistent (12).

KEBUTUHAN RUMATAN
Kebutuhan Kalori

Kecepatan metabolisme bayi cukup bulan pada keadaan normal 32 kkal/kg/hari selama
satu jam pertama kehidupan. Kebutuhan meningkat dengan cepat selama minggu pertama
kehidupan dan kemudian melambat sejalan dengan pertumbuhan (13).
Pada tahun 1957, Holiday dan Segar (14) memperkirakan kebutuhan metabolik pada
pasien saat istirahatdan perkiraan ini tetap digunakan dalam praktek sehari-hari. Pada bayi
dengan berat badan 3-10kg kalori yang digunakan 100kkal/kg, 1000kkal + 50 kkal/kg untuk
setiap kg diatas 10kg tetapi kurang dari 20kg untuk anak dengan BB 10-20kg dan 1500 kkal + 20
kkal/kg untuk setiap kg diatas 20 kg untuk anak dengan berat 20 kg atau lebih. Setengah
kebutuhan kalori itu digunakan untuk kebutuhan metabolisme dasar dan sisanya digunakan untuk
pertumbuhan.
Demam meningkatkan kebutuhan kalori 10 % -12 % setiap kenaikan 1 derajat.
Anestesi umum pada dasarnya mengurangi kebutuhan kalori sampai tingkat kebutuhan
basal metabolisme yang dibutuhkan terpenuhi (15).

Kebutuhan Cairan

Dalam keadaan normal, 1 ml air dibutuhkan untuk metabolisme 1 kkal. Ini di butuhkan
dalam bentuk insensible water loss yang dikeluarkan melalui kulit dan traktus respiratorius dan
pengeluaran urine. Oleh karena itu, ketika anak kecil sedang bangun, konsumsi kalori dan air
benar-benar seimbang (tabel 2).

Tabel 2 Cairan Rumatan Per Jam dan Per Hari Menurut Berat Badan Anak
Berat Badan Kebutuhan Cairan Per Jam Kebutuhan Cairan Per Hari
< 10 kg 4 mL/kg 100 mL/kg
10-20 kg 40 mL + 2 mL/kg dibawah 10 kg 1000 mL + 50 mL/kg dibawah 10 kg
>20 kg 60 mL + 1 mL/kg dibawah 20 kg 1500 mL + 25 mL/kg dibawah 20 kg

4
Pada anestesi anak, Lindahl (15) menghitung bahwa 166 mL air dibutuhkan untuk
metabolisme 100 kal. Dengan menggunakan kalorimetri indirek, dia menghitung kebutuhan
cairan per jam agar seimbang mengikuti persamaan:
Keseimbangan cairan per jam (mL/jam) = 2,5 x kg + 10
Insensible water loss meningkat dengan berkurangnya berat badan pada bayi-bayi
prematur, khususnya ketika mereka berada dalam inkubator. Beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya insensible water loss pada bayi prematur adalah: ukuran yang kecil,
peningkatan rasio BSA (luas permukaan tubuh) terhadap rata-rata berat tubuh, peningkatan
konduktansi suhu, kurus, kulit yang lebih permiabel dan banyak vaskularisasinya, kecepatan
bernapas yang tinggi.

Kebutuhan Elektrolit

Kebutuhan natrium dan kalium perhari adalah 2-3 mmol/kg dan 1-2 mmol/kg, pada anak.
Kombinasi dari kebutuhan rumatan cairan dan kebutuhan elektrolit menghasilkan larutan
elektrolit yang hipotonik. Karenanya, kebutuhan cairan rumatan intravena yang biasa diberikan
dokter anak pada anak di rumah sakit adalah ¼-⅓ saline. Pada bayi-bayi prematur, kebutuhan
natrium dan kalium lebih tinggi yaitu 3-5 mmol/kg pada natrium dan 2-4 mmol/kg untuk kalium.
Kebutuhan kalsium antara 0,8-1 mmol/kg/hari.

PENILAIAN PREOPERATIF

Penilaian volume cairan preoperatif dan variasi hidrasi pada pasien-pasien operasi elektif
dengan tanpa atau adanya defisit cairan yang lambat pada beberapa pasien trauma yang sedang
mengalami defisit darah yang dinamis dan volume intertisial menjadi sulit di evaluasi
keseimbangan cairannya. Hanya pada situasi-situasi khusus anak yang dievaluasi.

Dehidrasi

Dehidrasi dapat dilihat pada beberapa keadaan klinik seperti muntah, diare, dan demam.
Perkiraan derajat dehidrasi didasarkan pada gejala klinik yang klasik (Tabel 3). Pada keadaan
klinis akut, penurunan berat badan pada anak biasanya menjadi indikasi yang sangat baik
terhadap total kehilangan air. Ini seharusnya menjadi tanda yang paling penting dari status
dehidrasi normal yaitu fungsi ginjal. Monitoring pengeluaran urine sangat penting untuk

5
mengevaluasi dan mengatasi defisit cairan. Koreksi 1 % kebutuhan dehidrasi setara dengan 10
mL/kg cairan. Kebutuhan cairan bergantung pada derajat dehidrasi dan kecepatan dehidrasi.

Tabel 3 Taksiran Derajat Dehidrasi dalam Persen Sesuai Berat Badan, Menurut Tanda Fisik
Tanda < 5% 5-10% 10-15%
Turgor Kulit Baik Kurang Buruk
Perabaan pada Kulit Lembab Kering Basah
Membran Mukosa Lembab Kering Sangat Kering
Bola Mata Normal Cekung Sangat Cekung
Fontanela Rata Cekung Sangat Cekung
Sistem Sarat Pusat Baik Rewel Letargi, Koma
Sistem Kardiovaskuler Normal Normal Penurunan Tekanan Darah
dan Pengisian Kapiler

Ketika kehilangan cairan relatif lebih banyak dibandingkan kehilangan natrium terjadi
dehidrasi hipernatremi. Tanda gangguan otak dapat dilihat dari natrium plasma lebih dari 165
mmol/L. Koreksi seharusnya secara progresif, menggunakan larutan dekstrosa hipotonik yang
mengandung 1-2 gram NaCl per liter, yang disesuaikan dengan kekurangan air.
Hiponatremia paling sering terjadi pada periode postoperatif dan keadaan-keadaan
darurat ketika larutan hipotonik telah terjadi atau kehilangan garam lebih banyak dibandingkan
kehilangan cairan (18,19). Hiponatremia adalah keadaan darurat dan harus diterapi dengan cepat
dengan memberikan normal saline atau NaCl hipertonik ketika gangguan-gangguan neorologik
terjadi. Gangguan neurologik yang paling sering terjadi adalah kejang, biasanya terjadi ketika
kadar natrium darah kurang dari 120 mmol/L. Hiponatremia dapat terjadi jika sekresi
antideuretic hormone ADH tidak sesuai, biasanya terjadi setelah operasi besar intrakranial atau
sering pada operasi-operasi minor (20-22). Terapinya terdiri dari restriksi cairan dan pemberian
saline isotonik. Hiponatremia setelah pemberian desmopressin (seperti pada pasien dengan Von
Willebrand disease untuk mencegah perdarahan perioperatif) membutuhkan terapi yang sama.
Pada semua keadaan klinik yang telah disebutkan diatas, pemberian kalium bergantung
pada pengeluaran urine.
Tujuan pemberian cairan perioperatif adalah untuk mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga memberikan keadaan kardiovaskuler yang stabil. Tentu saja,
dehidrasi dan beberapa kondisi medis berpengaruh terhadap sekuestrasi cairan ruang ketiga
(seperti sumbatan pada usus) atau memberikan efek terhadap volume cairan vaskuler.
Penggantian volume cairan vaskuler yang adekuat penting untuk menjaga stabilitas
kardiovaskuler, perfusi organ, dan oksigenasi jaringan yang adekuat. Transfer cairan isotonis dari

6
ekstraseluler kompartemen ke ruangan interstitial non fungsional dalam bentuk volume rongga
ketiga. Penggantian kehilangan volume intravaskuler seharusnya dengan memberikan cairan
normotonik atau normo-osmolar. Larutan kristaloid seperti RL atau normal saline atau bahkan
cairan koloid seperti albumin dapat digunakan. Prognosis beberapa keadaan medis seperti syok
septik, tergantung pada jumlah dan kecepatan pemberian cairan, semakin muda anak semakin
besar jumlah pemberian dikaitkan dengan berat badan.

Pedoman Puasa

Puasa perioperatif diharuskan pada operasi elektif sejak didemonstrasikan oleh


Mendelson bahwa ada hubungan antara makan dan aspirasi pulmoner akibat cairan lambung
pada persalinan (24). Bagaimanapun, penemuan baru-baru ini menunjukkan bahwa puasa yang
lama tidak mengurangi resiko pneumonitis aspirasi selama anestesi dan semakin menekankan
puasa dapat menghindari regurgitasi isi lambung. Ini penting untuk mereduksi waktu puasa dan
lebih berperan terhadap beberapa faktor resiko untuk regurgitasi dan aspirasi (25-27).
Mengurangi puasa membuat pasien lebih nyaman dan hidrasi dan menguragi hipoglikemia
selama anestesi pada neonatal yang berusia <48 jam (28).
Saat ini ada bukti bahwa tubuh yang besar yang bebas dari intake cairan (artinya yang
memungkinkan untuk read newsprint) sampai 2 jam preoperatif tidak berpengaruh terhadap PH
dan volume isi lambung pada induksi anestesi terhadap anak (29-33) atau orang dewasa (34).
Meskipun banyak studi yang dapat dikritik karena tidak cukup kontrol yang adekuat dan/atau
jumlah sampel, sebuah studi meta-analisis terhadap 12 orang dewasa tidak merubah kesimpulan
utama bahwa intake air putih lebih dari 2 jam preoperatif adalah aman (35). Disamping beberapa
studi pada bayi, sugesti ini bahwa bayi-bayi dapat minum air putih sampai 2 jam dan minum ASI
4 jam sebelum operasi (36,37). Ada juga fakta yang menunjukkan bahwa bayi-bayi berumur < 3
bulan mungkin aman bila diberikan susu formula (susu sapi) sampai 2 jam preoperatif (36).
Bagaimanapun, 6 jam puasa sebelum operasi telah direkomendasikan oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA), meskipun anestesiolog anak menyepakati 4 jam puasa sebelum operasi
pada bayi < 3 bulan (Tabel 4) (26). Karena berbeda, ada sedikit bukti yang mendukung reduksi
puasa 6 jam untuk susu sapi atau makanan padat pada bayi dan anak.

7
Tabel 4 Pedoman Puasa untuk Operasi Elektif
Bahan yang di Konsumsi Lama Puasa minimum (Jam)
Air Putih 2
ASI 4
Susu Formula Anak 6 (tidak dianjurkan oleh konsultan)
Selain ASI 6
Makanan Ringan 6
Sumber: dari referensi 26

Perbedaan pedoman puasa merupakan potensi masalah pada terapi cairan preoperatif
dibolehkan atau tidak. Meskipun sebuah studi menyarankan kebebasan pemilihan cairan dapat
menjadi tidak terpenuhi untuk makanan padat, dan ini tidak dikonfirmasi. Kebalikannya, orang
tua dari anak yang diperbolehkan minum air putih sampai 2 jam preoperatif melaporkan tidak
terlalu sulit untuk memberikan makanan preoperatif karena anak-anak mereka kurang cengeng
dan rata-rata pengalaman preoperatif orang tua kontrol lebih baik. Selanjutnya, jika anak kurang
hati-hati minum air putih 2 jam sebelum operasi, hal ini hanya memperlambat operasi (30-60
menit) dan tidak ada penundaan.

MANAJEMEN CAIRAN INTRAOPERATIF


Jumlah Cairan Intraoperatif

Terapi cairan intraoperatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan basal metabolisme


(maintainance cairan), sebagai kompensasi terhadap defisit saat puasa preoperatif, dan mengganti
cairan yang hilang saat operasi.

Tabel 5 Pedoman Pemberian Cairan Larutan Garam Seimbang pada Anak Sesuai dengan Umur dan Beratnya
Trauma Jaringan
Satu Jam Pertama 25 mL/kg pada anak usia ≤ 3 tahun
15 mL/kg pada anak usia ≥ 4 tahun
Jam Selanjutnya Maintenance + trauma = cairan dasar per jam
Volume Maintenance = 4 mL/kg/jam
Maintenance + trauma ringan = 6 mL/kg/jam
Maintenance + trauma sedang = 8 mL/kg/jam
Maintenance + trauma berat = 10 mL/kg/jam
Pengganti darah 1:1 dengan darah atau koloid atau 3:1 dengan kristaloid
Sumber: dari referensi 39.

Ketika pedoman Nil Per Os (NPO) yang baru diikuti, kekurangan cairan selama puasa
diperkirakan minimal. Dimana hal ini tidak selalu dapat diterapkan atau diikuti, dan beberapa
anak dipuasakan beberapa jam sebelum di operasi. Defisit selama puasa dihitung melelui
perkalian cairan rumatan perjamya (tabel 2) dengan jumlah jam retriksi. Pada tahun 1975,

8
Furman dkk (38) mengusulkan penggantian 50% defisit cairan selama puasa pada 1 jam pertama
dan 25% pada jam kedua dan ketiga. Pada tahun 1986, Berry (39) mengusulkan penyederhanaan
panduan pemberian cairan, seperti pada tabel 5, berdasarkan umur anak dan derajat trauma
bedah. Jumlah hidrasi cairan yang dibutuhkan selama 1 jam pertama anestesi lebih besar pada
bayi dan anak yang lebih muda dibandingkan anak yang lebih tua. Untuk memenuhi jumlah
defisit yang lebih besar karena kehilangan volume ECF yang besar. Panduan ini diterapkan pada
anak yang puasa 8 jam mengikuti rekomendasi “NPO lewat tengah malam”. Jumlah cairan yang
diberikan selama satu jam pertama harus dikurangi pada anak yang berpuasa selama periode
yang lebih singkat atau anak yang telah menerima cairan intravena sebelum operasi. Panduan ini
hanya merupakan panduan dan sebaiknya disesuaikan dengan situasi klinik. Kehilangan pada
rongga ketiga bervarasi dari 1 ml/kg BB/jam pada prosedur bedah minor sampai 15-20 ml/Kg
BB/jam pada prosedur bedah abdomen mayor, atau bahkan mencapai 50 ml/kg BB/jam untuk
bedah enterokolitis nekrotikan pada bayi prematur kehilangan darah diganti dengan rasio 1:1
dengan darah atau koloid atau 3:1 dengan kristaloid. Kehilangan cairan rongga ketiga sebaiknya
diganti cairan dengan larutan kristaloid (ringer laktat atau normal saline), tetapi cairan rumatan
pada dasarnya hipotonik seperti yang sudah didiskusikan di atas. Selain itu, pemberian cairan
intraoperatif memerlukan dua tipe cairan yang berbeda yang diberikan dengan kecepatan
berbeda. Yang pertama untuk rumatan pada kecepatan yang telah ditetapkan (tabel 2), dan yang
satu untuk cairan pengganti. Tetapi hal ini jarang digunakan, dan sebagian besar ahli
anestesiologi lebih memilih untuk hanya memberikan larutan garam fisiologis, dengan anggapan
bahwa ginjal dapat mengekskresi setiap kelebihan air dan natrium. Hal ini akan menurunkan
resiko hiponatremia dilusional postoperatif (40,41).

Glukosa: Perlu atau Berbahaya?

Pertanyaan berikutnya adalah apakah pemberian dekstrosa dibutuhkan atau tidak selama operasi.
Selama beberapa tahun terakhir, telah dilakukan reevaluasi sempurna tentang pemberian larutan
ini secara rutin intraoperatif. Sebagaimana yang sudah di diskusikan sebelumnya, energi
dibutuhkan selama operasi untuk memenuhi tingkat basal metabolisme, pemberian dekstrosa
diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menghindari hipoglikemia perioperatif, yang sulit

9
didiagnosis pada anak yang sedang dianestesi, tetapi resiko hiperglikemia yang terjadi pada saat
itu tidak boleh diremehkan.
Beberapa anak cenderung mengalami episode hipoglikemi, seperti halnya pasien yang
akan menjalani operasi jantung terbuka atau pasien yang mengkonsumsi obat-obat beta bloker
(42-45). Neonatus juga memiliki resiko hipoglikemia selama operasi, terutama jika larutan
glukosa diberikan selama preoperatif dan terputus selama intraoperatif (28). Sebaliknya, resiko
hipoglikemia preoperatif nampaknya lebih jarang terjadi pada bayi dan anak sehat yang normal
(1-2%), walaupun selama periode puasa (40,41,46-51). Karena hal ini, tidak ada kesepakatan
dalam literatur tentang definisi hipoglikemia (52). Nilai 2,4 mmol/L sering dianggap sebagai
level yang dapat diterima pada bayi dan anak. Resiko hipoglikemia mungkin terjadi tidak
sesering yang dipikirkan, bahkan pada anak dibawah satu tahun. Kemudian akan nampak bahwa
pada sebagian besar pasien yang berpuasa, tidak diperlukan pemberian glukosa selama periode
perioperatif atau untuk memonitor glukosa darah.
Sebaliknya, bahaya hiperglikemia selama periode perioperatif, merupakan masalah klinis
yang sebenarnya sering dibahas (53,54). Sebagaimana diketahui bahwa hiperglikemia dapat
mengindukasi diuresis dan sebagai akibatnya adalah dehidrasi dan gangguan elektrolit, terutama
pada bayi prematur dengan fungsi tubular yang belum matang. Beberapa penelitian terbaru
menunjukkan bahwa hiperglikemia akan meningkatkan resiko hipoksik-iskemik pada otak dan
kerusakan medula spinalis (55-60). Pada anak cenderung untuk mengalami kegagalan sirkulasi
hipotermik berat saat pembedahan jantung, tingginya kadar glukosa darah sebelum gagal
sirkulasi berhubungan dengan defisit neurologis postoperatif (61). Pada tahun 1995, Bush dan
Steward menguraikan cedera otak permanen dikaitkan dengan hiperglikemia berat (glukosa
darah 24 mmol/L) pada anak perempuan usia 8 tahun yang di operasi karena suspek apendisitis
yang menerima sejumlah besar larutan mengandung glukosa selama operasi, tetapi episode
hipoksik-iskemik perioperatif tidak dapat seluruhnya dikeluarkan dari laporan ini (62,63).
Sebagai dasar dari seluruh studi ini, pemberian glukosa yang tidak diperlukan yang
mengakibatkan hiperglikemia intraoperatif harus dihindari, khusunya pada anak dengan resiko
episode hipoksik-iskemik, misalnya selama bypass kardiopulumoner atau resusitasi, karena
hiperglikemia dapat memperburuk kondisi neurologik, atau hiperglikemia dapat menyebabkan
kerusakan otak.

10
Disamping itu, pemberian larutan hidrasi isotonik bebas glukosa intraoperatif merupakan
tindakan rutin untuk kebanyakan prosedur pada anak diatas usia 4-5 tahun. Pada bayi dan anak,
larutan dekstrosa 5% harus dihindari, tetapi dekstrosa 1% atau 2,5% dalam ringer’s laktat
bermanfaat (40,41,51). Infus glukosa dengan kecepatan 120 mg/kg/jam mampu untuk
mempertahankan kadar glukosa darah yang dapat ditolerir/diterima dan untuk mencegah
pemecahan lemak pada bayi dan anak (64-66). Larutan mengandung glukosa ini dapat diberikan
pada anak yang mendapat anestesi ragional sebagai bagian dari anestesi mereka, karena anestesi
kaudal, epidural dan spinal telah menunjukkan kemampuan untuk mengurangi respon stres
terhadap pembedahan (67-69). Kadar glukosa darah pada anak yang mendapat kombinasi
anestesi umum dan regional secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak yang hanya
mendapatkan anestesi umum (70,71). Berkurangnya respon hiperglikemi mengindikasikan
bahwa pemberian glukosa mungkin dibutuhkan selama pembedahan untuk mencegah
hipoglikemia pada anak yang mendapat kombinasi anestesi umur dan regional, atau kadar
glukosa darah harus dimonitor jika larutan bebas glukosa diberikan (70,72).

Perhatian Khusus selama Periode Neonatal

Sebagian besar perhatian selama periode neonatal telah dijelaskan pada paragraf
sebelumnya. Yang meliputi volume ECF yang lebih besar, dan dampak immaturitas dari sistem
renal dan fungsi kardiovaskuler. Sebagai tambahan, bayi baru lahir memiliki cadangan glikogen
rendah dan gangguan glukoneogenesis. Bayi prematur dan neonatus kurang dari 2 hari diketahui
cenderung untuk menderita hipoglikemia, khususnya jika mereka mendapatkan nutrisi
parenteral. Karena alasan ini, biasanya digunakan dua jalur intravena yang berbeda, satu untuk
menyediakan glukosa dan kebutuhan metabolik dan yang kedua untuk mengganti cairan. Untuk
anak yang lebih tua, hiperglikemia harus dihindari, oleh karena peningkatan resiko kerusakan
otak ditandai dengan adanya iskemik otak seketika atau dehidrasi seluler osmotik yang pada
akhirnya menyebabkan perdarahan intraventrikuler pada bayi prematur. Akan tetapi resiko
hipoglikemia tidak dapat dikurangi. Hal ini mendukung bahwa hiperglikemia moderate kurang
menganggu dibandingkan dengan normoglikemia atau hipoglikemia pada binatang baru lahir
yang dibuat asfiksia (73,74). Olehnya itu hal ini memerlukan monitor glukosa darah selama
prosedur pembedahan yang lama pada periode neonatal.

11
PENGGANTIAN VOLUME SELAMA MASA KANAK-KANAK
Indikasi dan Pemilihan Kristaloid dan Koloid

Kristaloid (normal saline atau ringer laktat) merupakan yang pertamakali diberikan untuk
menangani defisit volume darah absolut dan relatif yang lebih sering ditemukan selama
pembedahan pada anak. Keuntungannya meliputi harganya yang murah, kurangnya efek
koagulasi, dan tidak adanya resiko reaksi anafilaktik dan resiko penularan agen infeksi yang
diketahui dan tidak diketahui. Tindakan ini sebaiknya juga di berikan pada bayi prematur dan
baru lahir. Dalam hal ini studi terbaru yang dilakukan pada bayi prematur hipotensif atau bayi
baru lahir (neonatus) polisitemia telah menunjukkan bahwa normal saline sama efektifnya
dengan albumin dalam mengembalikan dan mempertahankan tekanan arteri dan atau mengobati
neonatus yang polisitemia (75,76). Sebagai tambahan pada bayi prematur, pemberian kristaloid
menyebabkan retensi cairan yang lebih sedikit dalam 48 jam pertama dibandingkan albumin 5%.
Pemberian sejumlah besar normal saline dapat menyebabkan asidosis dilusi atau asidosis
hiperkloremik (77), sedangkan sejumlah besar larutan garam seimbang (78), seperti larutan
ringer’s laktat, dapat menurunkan osmolalitis serum yang tidak menguntungkan pada pasien
dengan penurunan tekanan intrakranial (77,78). Jumlah pemberian cairan akan diindikasikan
sesuai kondisi kardiovaskuler. Normalnya 15-20 ml/kg Larutan ringer laktat setelah 15-20 menit
akan menstabilkan kembali stabilitas kardiovaskular. Setelah pemberian sebanyak 50 ml/kg BB
larutan kristaliod, diindikasikan pemberian larutan koloid (albumin atau koloid sintetik) untuk
mempertahankan tekanan osmotik intravaskuler (81).
Larutan Hydroxyethyl starch (HES) menjadi sangat populer untuk loading vaskuler pada
orang dewasa dan anak (82). Bagaimanapun, sejumlah penelitian pada anak dengan tujuan
mengevaluasi efisiensi HES dan batas toleransinya. Larutan HES tidak digunakan sebagai
larutan pengganti untuk hemodelusi pada anak (83,84). Volume HES sebesar 55 mL/kg
memberikan toleransi yang baik tanpa efek keracunan pada ginjal, fungsi hati dan koagulasi
darah. Larutan HES seefektif 6% dekstran 60 untuk mempertahankan oksigenasi seluruh jaringan
(84). Pemberian HES menyebabkan edema postoperatif yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan Ringer laktat pada bayi dan anak (83). Tiga penelitian yang membandingkan larutan HES
dengan albumin 5% atau 20% selama pembedahan umum atau pembedahan jantung pada bayi
dan anak (85-87). Pada ketiga penelitian ini, HES sama efektifnya dengan albumin, dan tidak ada
efek samping yang dilaporkan. Bagaimanapun, efek jangka pendek dan jangka panjang telah

12
direevaluasi baru-baru ini setelah pemberian HES (88-90). Di banyak negara, jumlah harian
rendah dan durasi harian terpendek pemberian HES dibatasi oleh ahli kesehatan. Pada anak,
hanya satu kasus yang dilaporkan menggambarkan koagulopati berat setelah pengganti dengan
HES pada anak usia 13 tahun pengikut Jehovah’s Witness (91). Pengetahuan yang baik tentang
efek samping dari HES telah menuntun kebanyakan dokter ahli anestesi anak dan dokter anak
untuk tidak menggunakan HES pada bayi baru lahir dan prematur, kemudian pilihan koloid akan
terbatas pada gelatin atau albumin.
Gelatin telah digunakan bertahun-tahun pada anak tapi juga pada awal masa kanak-kanak
untuk menangani defisit cairan intravaskuler. HaemaccelTM tidak lagi digunakan dibanyak negara
karena tingginya resiko reaksi anafilaktik. HaemaccelTM telah membuktikan sama efektifnya
dengan albumin 4,5% dalam mempertahankan tekanan darah selama operasi mayor pada
neonatus, tetapi kurang efektif dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma dan
konsentrasi albumin plasma (92).
Walaupun penggunaan albumin telah diganti karena biaya mahal dan resiko transmisi dari
agen nonkonvensional yang tidak dinginkan, hal itu menyebabkan koloid penting yang
digunakan pada periode neonatus dan awal masa kanak-kanak untuk penambahan volume
(93,94). Pada bayi prematur yang hipotensi, albumin 4,5% telah membuktikan sama efektifnya
dengan fresh frozen plasma untuk mengembalikan tekanan darah, tetapi lebih efektif dari pada
albumin 20% (95). Dianjurkan pemberian volume albumin lebih penting daripada konsentrasi
albumin dalam mempertahankan atau mengembalikan stabilitas kardiovaskuler. Disamping itu,
albumin 5% adalah koloid pilihan pada bayi baru lahir, karena sebagai iso-onkotikuntuk plasma
dan sangat efektif dalam mempertahankan tekanan darah dan tekanan perfusi koloid plasma (92).
Penggunaan fresh frozen plasma sebaiknya dikurangi pada neonatus dan anak dengan
gangguan koagulasi.

MASALAH CAIRAN POSTOPERATIF

Intake cairan oral biasanya diperbolehkan setelah 3 jam pertama postoperatif pada
sebagian besar pasien anak. Intake cairan oral sedini mungkin telah dianjurkan pada sebagian
besar institusi, sebelum pasien keluar dari rumah sakit. Pendapat ini sekarang bertentangan
karena telah dilaporkan bahwa menghentikan cairan oral postoperatif pada anak sampai beberapa
hari setelah pembedahan memicu terjadinya muntah (96-98).

13
Jika intake oral harus diperlambat (seperti setelah pembedahan abdomen), terapi cairan
biasanya harus diberikan melalui vena perifer, jika lama infus intravena diharapkan tidak lebih
dari 5 hari atau melalui akses vena sentral jika diperlukan nutrisi parentral dalam jangka waktu
lama. Terapi cairan harus memenuhi kebutuhan metabolik dasar, dan kompensasi kehilangan
melalui gastrointestinal (seperti bilas lambung) dan kehilangan melalui cara lainnya (seperti
demam). Kebutuhan metabolik dasar biasanya dipenuhi dengan menggunakan cairan hipotonik,
seperti pembahasan diatas, tetapi semua kehilangan yang lain harus digantikan dengan larutan
garam seimbang. Informasi tentang jumlah kehilangan melalui gastrointestinal seringkali tidak
diperhitungkan, menerangkan tingginya insiden hiponatremi delusi selama periode postoperatif
sebagai akibat dari kurangnya intake natrium dan/atau akibat dari sekresi ADH postoperatif.
Hiponatremi postoperatif paling sering akibat gangguan elektrolit pada periode
postoperatif. Hiponatremi berat (<120-125 mmol/L) bisa mengakibatkan kerusakan otak
sementara atau permanen. Kebanyakan hiponatremi postoperatif yang diamati pada pasien anak
dengan ASA 1 berkaitan dengan pemberian cairan hipotonik pada saat jumlah ekskresi cairan
bebas terganggu. Penyebab lain hiponatremi termasuk gangguan fungsi pituitari atau adrenal,
cedera otak atau tumor otak yang berkaitan dengan kehilangan garam, dan sekresi ADH yang
terganggu. Kadar ADH dalam plasma seringkali meningkat selama periode postoperatif akibat
hipovolemi, stress, nyeri, atau tarikan pada duramater. Kombinasi antara sekresi ADH dan cairan
infus hipotonik akan mengakibatkan hiponatremi delusi. Hiponatremi berat mencetuskan
terjadinya udem otak, yang meliputi tanda-tanda klinik seperti penurunan tingkat kesadaran,
disorientasi, muntah, dan pada kasus yang berat terjadi kejang. Hiponatremia simtomatik akut
merupakan kegawatdaruratan medis yang memerlukan penanganan segera. NaCl hipertonik
harus diberikan untuk meningkatkan kadar natrium plasma sampai lebih dari 125 mmol/L,
karena diatas nilai ini resiko terjadinya kejang menurun. Restriksi air mungkin terbatas hanya
pada pasien normovolemi tanpa tanda klinis. Diuretik dapat digunakan pada pasien dengan
volum vaskuler normal atau tinggi. Hiponatremi postoperatif harus dicegah dengan menghindari
penggunaan larutan hipotonik selama pembedahan dan periode awal postoperatif.

14
KESIMPULAN

Konsep lama, seperti perubahan komposisi cairan tergantung pada usia menjelaskan
pentingnya untuk memberikan volume cairan yang lebih besar selama masa pertumbuhan oleh
karena kebutuhan rumatan lebih tinggi dibandingkan usia setelahnya, tetapi juga diberikan cairan
yang lebih banyak untuk mengganti kehilangan cairan rongga ketiga atau untuk mengembalikan
volume vaskuler secara efektif pada syok septik. Studi terbaru telah mengevaluasi ulang resiko
hiperglikemia, khususnya pada anak yang beresiko mengalami episode iskemik-hipoksik dan
hiponatremia, gangguan elektrolit post operatif yang paling sering, keduanya sama-sama memicu
atau memperburuk kerusakan otak permanen atau sementara. Akhirnya, pilihan terhadap koloid
selama masa anak-anak adalah pertanyaan yang belum terpecahkan seperti yang dimuat dalam
literatur orang dewasa yang meragukan efek HES potensial jangka pendek (terhadap koagulasi
darah) dan jangka panjang (dihasilkan dari akumulasi dan penyimpanan) dan dari albumin
(resiko yang tidak diketahui dari penularan varian penyakit Creuzfeldt-Jacob).

15

You might also like