Professional Documents
Culture Documents
Laporan Kasus
Februari, 2009
Hernia Diafragma
Traumatik
Oleh:
FERDINANDO KAOSE
Pembimbing:
dr.WAHYUDI, Sp.An
Pada hari kamis, 18 Desember 2008 jam 14.00 wita diterima konsul dari bagian anak
untuk penatalaksanaan anestesi atas penderita anak laki-laki, umur 6 tahun dengan
diagnosa hernia diaframatika rencana oparasi laparatomi dan repair diafragma pada
Jumat, 19 Desember 2008 jam 09.00 wita.
Pada pemeriksaan fisik didapati pernapasan spontan torako abdominal, tidak simetris
dimana dada sebelah kiri tertinggal. Frekwensi pernapasan 26 kali permenit, saturasi
oksigen 98% dengan O2 via nasal. Perkusi sonor pada dada kanan pada dada kiri
kesan timpani. Auskultasi dada kanan terdengar suara pernapasan vesikuler sedangan
pada dada kiri suara pernapasan tidak terdengar. Suara pernapasan tambahan seperti
rhonkhy dan whezing tidak didapati pada kedua lapangan paru. Tekanan darah 70/40
mmHg, denyut nadi 80 kali permenit, reguler lemah, terpasang infus intravena
dengan cairan Ringer Laktat tapi tidak jalan. Dari anamnesa dan melihat status,
penderita telah ditranfusi 2 unit whole blood. Tingkat kesadaran GCS 15 (Glasgow
coma scale), gelisa dan bingung dengan refleks pupil normal. Produksi urin warnanya
pekat, kesan volume cukup. Pada pemeriksaan perut, palpasi lemas nyeri tekan pada
daerah epigastrium, pekak berpindah tidak ada, peristaltik ada. Udem tungkai dan
lengan tidak ada . tetapi di dapati fraktur tibia fibula kanan tertutup.
Pada pemeriksaan laratorium, hemoglobin 12,5 gr% (post tranfusi), hemaokrit
37,7%, trombosit 163.000/mm3, lekosit 13.200/mm3, ureu 32 mg/l, kreatinin
0,3mg/L, PT 11,2 dari nilai control 12,2, APTT 31,9 dari nila kontrol 33,0. SGOT
54mg/L, SGPT 55 mg/L, natrium 135 meq/L, kalium 4,2 meq/L, klorida 101 meq/L,
Blooding time 3menit , clothing time 8 menit, gula darah sewaktu 53 mg% dan
albumin 3,4 gr/L.
Pada pemeriksaan X ray didapati gambaran massa berongga udara di paru kiri
menekan/mendorong jantung, trakhea dan bronkhial ke kanan.
Selain itu pada pelvis dan tungkai bawah didapati gambaran frktur pubis tertutup dan
fraktur tibia fibula kiri tertutup.
Dari anamnesa dan hasil pemeriksaan disimpulkan penderita dengan diagnosa hernia
diafragmatika traumatik termasuk ASA III dengan masalah medis saat ini syok
kemungkinan disebabkan hipovolemik dengan gejala hipoperfusi berupa gelisah dan
kebingungan.
Prioritas masalah yang harus ditangani segera saat pemeriksaan preoperatif ini adalah
keadaan syok pada penderita sambil mencari penyebabnya. Selain itu keadaan ini
dikomunikasikan dengan dokter bedah agar ada kesesuaian pemahaman dan terjalin
kerjasama yang baik dalam menangani pasien tersebut. Dugaan awal penyebab syok
adalah hipovolemik (dehidrasi atau perdarahan?) maka dilakukan fluid challenge tes
250 cc ringer laktat diberikan dalam 30 menit dan dinilai respon hemodinamiknya.
Dan didapati respon hemodinamik baik dengan pemberian cairan, tensi menjadi 90 /
60 mmHg, denyut nadi 76 x permenit, selain itu pernapasan stabil, penderita menjadi
lebih tenang dan produksi urine cukup. Pemberian cairan dilanjutkan secara kontinyu
melalui intravena 60 cc/jam (RL) sesuai dengan kebutuhannya (maintenance)
berdasarkan berat badan. Obsevasi ketat gejala dan tanda vital minimal setiap jam
hingga jadwal operasinya.
Masalah dan tantangan penderita dalam menjalani operasi dan perawatan post
operasinya seharusnya diantisipasi dengan baik. Pada penderita ini:
Intra Anestesi
Pada pagi hari, 19 Desember 2008 jam 10.15 wita penderita masuk kamar operasi
dengan infus sudah terpasang RL makrodrips 10-15 tetes/menit. AC kamar operasi
dimatikan sementara, penderita dibaringkan supine head up, pasang monitor tensi,
EKG, saturasi, dan stateskop prekordial. Oksigen 7 liter/menit via masker. Monitoring
tanda vital preinduksi : Tensi 100/65 mgHg, Heart rate 105 kali/menit, suhu 37 oC,
respirasi rate 28 kali/menit dan saturasi 95%. Dugaan penderita mengalami
hipovolemik ringan, diberikan bolus cairan RL 100 cc kemudian dinilai hemodinamik
berespon baik, heart rate 95 kali permenit, tensi stabil.
Setelah dipastikan alat dan obat anestesi siap dan dilakukan suction pada NGT,
penderita diberikan obat premedikasi intravena midazolam 1 mg, sulfas atropin 0,18
mg. Selanjutnya induksi anestesi dengan ketamin 20 mg, respirasi spontan dengan
face mask dari breathing circuits Jacson rees ,oksigen 100% 6 liter /menit, inhalasi
isofluran 1-2 vol%. Setelah penderita cukup teranestesi (tidak respon dengan
rangsangan nyeri) dan telah dilakukan spray lodokain 2% pada plika vokalis
dilakukan intubasi orotrakheal dengan ett no 5 cuf 4cc, kemudian ett difksasi setelah
dipastikan ujung ett terletak intra trakheal. Maintenance anestesia dengan inhalasi
isofluran 1-2 vol %, oksigen 6 liter/menit, analgetik dengan fentanyl intermiten 10-
15µgr iv diberikan setiap 45-60 menit dan pelumpuh otot dengan vecuronium juga
intermiten 1 mg iv diberikan setiap 45-60 menit. Tanda vital, perdarahan, pruduksi
urine, dan pemberian cairan diobservasi ketat.
Operasi dimulai dengan laparatomi dan didapati adanya ruptur diafragma, dengan
hernia organ intra abdomen (lambung, limpha, sebagian usus dan omentum) kedalam
rongga thoraks serta laserasi non perforasi pada usus dan omentum dan dilakukan
reevakuasi hernia diafragma organ intra abdomen, penjahitan (repair) laserasi
diafragama dan organ lain dan kontrol perdarahan. Chest tube (WSD) dipasang
setelah ruptur diafragma selesai dijahit.
Ekstubasi dilakukan setelah penderita sadar dan obat pelumpuh otot yang diberikan
sudah di-reverse . Selanjutnya penderita ditransfer ke ICU untuk diobservasi dan
perawatan selanjutnya.
Perawatan di ICU
Hari 0 (saat setelah post operasi), pada pemeriksaan didapati panderita tenang,
keadaan umum cukup, pernapasan spontan simetris thorako-abdominal 24 kali/menit,
auskultasi suara pernapasan vesikuler kiri sama dengan kanan, rhonchi dan whezee
tidak ada, tekanan darah 120/70 mmHg, heart rate 95 kali/menit reguler, GCS 15,
produksi urine 20-40 cc/jam, palpasi perut lemas, nyeri tekan perut (-), auskultasi
bising usus normal. Terapi cairan RL diberikan rumatan maintenance 56 cc/jam, obat
analgesi tramadol 1 mg/kgBB /8 jam kontinyu intravena dikombinasikan dengan
ketorolac 10 mg/8 jam bolus intravena, juga pemberian anti biotik.
Hari I setelah operasi keadaan umum penderita baik, tanda vital dalam batas normal,
produksi urin cukup, penderita diberikan intake oral dimulai dengan clear fluid ,
terapi sebelumnya diteruskan.
Hari II setelah operasi keadaan umum penderita baik, tanda vita stabil, produksi urine
cukup, intake oral baik, patah tulang tungkai bawah kiri tertutup terimobilisasi baik,
sedang patah tulang pubis dalam kondisi stabil. Penderita direncanakan pindah ruang
perawatan untuk penanganan selanjutnya.
Diskusi
Trauma diafragma terjadi pada 1-7% penderita dengan trauma tumpul yang serius,
dan 3% dari trauma abdomen. Semakin besar BMI penderita semakin meningkat
resiko terjadinya trauma hingga ruptur pada diafragma. Pada trauma tumpul,
kerusakan diafragma jarang terjadi sendiri, sekitar 80-100% bersamaan dengan
trauma organ yang lain. Lebih dari pada itu, kerusakan pada diafragma
mengindikasikan kemungkinan terjadi kerusakan yang berat pada organ lain. Pada
penderita yang terdiagnosa rupture diafragma angka kematian adalah 17%, dimana
penyebab utama disebabkan adanya komplikasi pada paru. Trauma organ lain yang
menyertai antara lain trauma kepala, aorta, patah tulang panggul, tulang panjang, dan
laserasi pada liver dan limfa. Trauma yang berhubungan ini terjadi pada lebih dari ¾
kasus 1,2.
Hal di atas sesuai yang terjadi pada penderita yang dilaporkan dimana pada penderita
ini ruptur diafragma terjadi akibat trauma tumpul abdomen dari kecelakaan lalu lintas
dan hal ini bersamaan dengan kerusakan pada organ lain yaitu patah tulang pubis dan
tibia fibula kiri tertutup 1,2.
Dari literatur dikatakan bahwa nyeri pada abdomen atas dan dada bagian bawah,
sesak, sianosis dan hipotensi adalah gejala khas dari trauma/perlukaan pada
diafragma. Gejala ini mungkin ditutupi oleh gejala akibat kerusakan berat organ lain.
Pada kerusakan kecil atau tidak adanya herniasi, gejala spesifik diatas tidak ada.
Dengan adanya lesi yang besar dan herniasi dari organ rongga abdomen, suara
pernapasan menurun dan mungkin terdengar bunyi usus pada thoraks bagian bawah.
Bila terjadi hernia yang masif, akan ada tanda akibat pendorongan mediastinum ke
sisi yang lain. Pada beberapa kasus kelainan baru diketahui beberapa minggu hingga
bulan setelah suatu trauma. Luka tembus diafragma biasanya didapati saat
pemeriksaan perlukaan yang lain. Untuk mendiagnosa adanya rupture diagragma
akibat trauma tumpul seharusnya berdasarkan besarnya kemungkinan tsb. Adanya
kandugan udara dengan batas jelas seperti atelektasis di atas diafragma adalah
indikasi kuat adanya rupture diafragma. Pemeriksaan x ray pada thoraks setelah
penderita terlebih dahulu dipasang NGT (nasogastric tube) pada pasien dengan
pengembangan paru kiri yang kurang dapat menunjukkan adanya perpindahan
lambung ke rongga pleura kiri. Konfirasi diagnosa dapat dilakukan dengan
pemeriksaan x ray menggunakan kontras pada penderita dengan posisi
Trendelenburg. Selain itu Insuflasi udara ke dalam tube nasogastric dapat
memperjelas batas dari lambung 1,2,3,4.
Pemeriksaan CT scan sensifitasnya hanya 50-78% tetapi pemeriksaan MRI memiliki
sensitifitas yang tinggi. Akan tetapi teknik ini tidak dapat dilakukan pada keadaan
emergensi atau pasien dengan multitrauma. Hernia diafragma traumatic biasanya
memerlukan penanganan bedah sedini mingkin sehingga obstruksi usus, strangulasi
dan gangguan pada jantung dan paru. Laparaskopi rutin dilakukan untuk
mengevaluasi trauma abdomen dan mencegah laparatomi yang tidak perlu
selanjutnya laparaskopi juga dapat dilakukan untuk menjahit rupture diafragma.
Laparatomi penting dilakukan bila ada dugaan perlukaan intra abdomen yang
berhubungan, sedangkankan thorakotomi dilakukan bila terdapat perlukaan pada
thoraks, herniasi yang besar dan adanya empyema. Penjahitan diafragma seharusnya
menggunakan benang silk dua lapis dengan teknik interuptus. Diagnosa dan
penanganan lebih awal akan mengurangi angka kesakitan dan kematian intra dan post
operasi 1,2,3,4.
Dikatakan di atas bahwa salah satu tanda klinis dari hernia diafragmatika adalah
hipotensi. Saat pemeriksaan pre anestesi penderita didapati hipotensi yaitu 70/40
mmHg. Adanya hipotensi mengharuskan penelusuran lebih lanjut akan penyebabnya
sehingga penanganan yang sesuai dapat segera dilakukan. Penyebab hipotensi pada
penderita hernia diafragmatika traumatik antara lain adalah:
- hipovolemia, dapat terjadi akibat dehidrasi atau perdarahan
- hambatan aliran balik vena akibat penekanan pembuluh darah intrathorakal
oleh hernia.
Operasi yang dilakukan pada penderita ini dilakukan dengan pendekatan laparatomi,
karena trauma tumpul yang terjadi sebagian besar pada abdomen sehingga selain
ruptur dan hernia diafragma pada penderita ini diduga terjadi perlukaan organ intra
abdomen, Jadi laparatomi dilakukan untuk me-repair diafragma dan mengevaluasi
organ intra abdomen. Selesai operasi penderita dipasang chest tube pada thoraks kiri
untuk membantu pengembangan paru yang colaps, mencegah pneumothoraks, dan
drainase/kontrol adanya hemothoraks 1.
General anestesi dengan intubasi endotrakheal sebagai pilihan anestesi pada pasien ini
dengan pertimbangan penderita pediatri, wilayah operasi mencakup abdomen hingga
rongga thoraks, dan untuk mengontrol ventilasi dan oksigenasi sebaik mungkin
(mengingat pasien gangguan paru restriksi ekstrinsik potensi hipoksia). Obat induksi
digunakan ketamin sebab ketamin kurang mendepresi kardiovaskuler mengingat
penderita dalam keadaan hipotensi. Analgesi intraoperasi digunakan fentanyl sebagai
analgesi poten untuk menjamin balans anestesi. Pelupuh otot digunakan vecuronium
dengan pertimbangan vecuronium adalah pelumpuh otot non depolarisasi kerja
sedang yang tidak menginduksi pelepasan histamin (pelepasan histamin dapat
menyebabkan takikardi dan hipotensi).sedangkan maintenance anestesi mengguankan
inhalasi isofluran 5,6
Analgesi post operasi menggunakan kombinasi tramadol dan ketorolak sesuai metode
balance analgesia dimana tramadol sebagai analgesi yang bekerja sentral dan
ketorolak yang bekerja perifer. Kedua obat ini diteruskan post operatif.5,6
Selesai operasi, pada penderita ini dilakukan ekstubasi ett setelah sadar (dapat
mengikuti perintah), pernapasan spontan dengan tidal volume kesan cukup, saturasi
normal, dan terbukti pulih dari pengaruh obat pelumpuh otot (penderita mampu
mengangkat kepala saat tidur) hal ini sesuai algoritma ekstubasi dengan pendekatan
sistemik. Selain itu penderita diobservasi lebih dar 2 jam post ekstubasi (hingga
perawatan di icu) dan didapati respirasi dan hemodinamik stabil dan tidak didapati
tanda klinis adanya kegagalan ekstubasi menurut kriteria radiness yaitu gejala
keringatan yg berlebihan, peningkatan upaya bernapas, takikardi (HR bertambah
>40%), disritmia, hipotensi, apnoe atau saturasi yang menurun di bawah 5%7,8 .
Daftar Pustaka
1. Shah R et al.,Traumatic Rupture of Diaphragm Ann Thorac Surg
1995;60:1444 1449 Current ReviewsDepartment of Thoracic Surgery,
Bradford Royal Infirmary, Bradford, United Kingdom
1. diskusi mengenai fluid challenge test, dosis cairan dan indikasi , cara
pemberian dan kepustakaan.
2. strategi ventilasi pada anastesia pasien dengan restriksi paru ekstrinsik