Professional Documents
Culture Documents
DIFTERI
Oleh:
Preseptor :
dr. Novialdi, Sp.THT-KL(K)
Gambar 1. Anatomi Tonsil 2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus
diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO
Tonsil palatine terdapat sepasang, umumnya South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus difteri di
berbentuk oval, terletak di dinding lateral orofaring. Walaupun Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013
biasanya hanya terbatas pada orofaring, pembesaran yang (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus
berlebihan dari tonsil dapat meluas ke nasofaring menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus
menyebabkan insufisiensi velofaringeal atau obstruksi nasal. SEAR). Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat
Lebih sering lagi, pembesaran tonsil tersebut meluas sampai pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529
ke hipofaring, ke tempat yang dikenal sebagai posterior airway kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian
pula jumlah kabupaten / kota yang terdampak mengalami toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif.
kenaikan dibandingkan tahun 2015, dimana pada tahun 2015 Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan
terdapat 89 kabupaten / kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
2 7,6
kabupaten / kota. menimbulkan efek toksik pada sel.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak usia Toksin diphtheria mula mula menempel pada
kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya
tahun, walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim
2
penyakit ini. translokase. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak
Etiologi berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
Tonsilitis difteri merupakan peradangan akut pada diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas
tonsil palatina yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi
diphteria strain toksin yang termasuk dalam kuman Gram lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
negatif , tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi
dan berbentuk batang pleomorfis. Kuman ini hidup di saluran toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
nafas bagian atas seperti hidung, faring dan laring. Tidak terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang
semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
Hal ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga
Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila
6,2
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
7,8
penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan
jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan
pernafasan / suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit
ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin
yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan
pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang
Gambar 2. Corynebacterium diphteria dengan pewarnaan bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah
methylen blue terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam
Manusia adalah satu-satunya reservoir Coryne sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya
bacterium diphteria. Penularan terjadi melalui droplet dari manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam
batuk, bersin, muntah, melalui alat makan atau kontak 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
2
langsung dari lesi di kulit. minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis
Patofisiologi toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi
berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan
limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
7,8
Diagnosis
Diagnosis difteri sebaiknya dibuat berdasarkan
manifestasi klinisnya yang khas, karena keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan penyakitnya bertambah lanjut
9,2
dan berat
9
1. Diagnosis awal cepat (presumptive diagnosis)
Diagnosis awal dapat dilakukan dengan menggunakan
pewarnaan methylene blue, pewarnaan Gram, dan
imunoflouresens.
a. C.diphteriae terlihat sebagai basil gram positif,
berkelompok, tidak bergerak, dan tidak berkapsul.
b. Dengan pewarnaan Gram jarang ditemukan klaster
basil
Tabel 1. Pembagian wilayah pemeriksaan laboratorium khusus difteri
Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas,
hipersensitivitas terhadap ADS; pemberian antitoksin dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan
secara dini sangat penting dalam hal kesembuhan. prednisone 2mg/KgBB selama 2 minggu kemudian
diturunkan bertahap
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit
g. Pada fase kovalesens diberikan vaksin difteri
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS
toksoid.
dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000.
Beberapa hal yang harus di perhatikan dalam Komplikasi difteri dapat berupa:
2
pemulangan pasien difteri 1. Gagal nafas
1. Setelah pengobatan, tetap dilakukan pengambilan 2. Miokarditis
kultur pada pasien (sebaiknya pada hari ke 8 dan 3. Pneumonia bakterialis sekunder
ke 9 pengobatan). 4. Aritmia
2. Apabila klinis pasien setelah terapi baik (selesei 5. Ensefalopati anoksik
masa pengobatan 10 hari) maka dapat pulang 6. Sepsis dan syok sepsis
tanpa menunggu hasil kultur laboratorium
9
Prognosis
3. Sebelum pulang pasien diberi penyuluhan
Prognosis bergentung pada:
komunikasi risiko dan pencegahan penularan oleh
1. Virulensi basil difteri
petugas
2. Lokasi dan perluasan membrane
4. Setelah pulang, pasien tetap dipantau oleh Dinas
3. Status kekebalan penderitanya
Kesehatan setempat sampai hasil kultur terakhir
4. Cepat/lambatnya pengobatan diberikan
negative
5. Perawatan
5. Semua pasien pulang harus melengkapi imunisasi
difteri sesuai usia
Secara keseluruhan angka kematian difteri adalah 5-10%,
6. Pasien yang mendapat ADS harus diimunisasi dengan angka kematian tertinggi pada pasien yang tidak mendapat
lengkap 3x setelah 4-6 minggu dari saat ADS imunisasi yang sempurna dan pasien yang menderita kelainan
diberikan sistemik. Angka kematian pada pasien yang tidak diobati adalah
sebanyak 50%. Difteri yang disebabkan oleh jenis gravis biasanya
Pencegahan
prognosisnya paling jelek, bullneck diphtheria mempunyai angka
Cara yang paling baik untuk pencegahan adalah
kematian 50%. Difteri laring lebih cepat menimbulkan obstruksi
pemberian imunisasi aktif pada masa anak-anak. Biasanya
saluran napas, bila pertolongan terlambat dan pengawasan tidak
pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis
ketat, akan menimbulkan kematian mendadak. Keterlambatan
dan tetanus (DPT). Anak-anak berumur 7 tahun atau lebih
9
9 pengobatan bisa meningkatkan angka kematian 20 kali lipat.
diberikan booster setiap 10 tahun.
Orang yang kontak erat dengan penderita difteri
terutama yang tidak pernah/tidak sempurna mendapat KESIMPULAN
imunisasi aktif dianjurkan booster dan melengkapi vaksin. Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan
Kemudian diberikan profilaksis yaitu penisilin prokai 600.000 dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri ditandai dengan
U IM/hari atau eritromisin 40 mg/KgBB/hari selama 7-10 adanya peradangan pada tempat infeksi terutama di mukosa
2
hari. Bila tidak memungkinkan utuk pengawasan sebaiknya faring, laring, tonsil, hidung dan kulit.
diberikan antitoksin difteri 10.000 U IM. 2 minggu sesudah Difteri ditandai dengan peradangan pada tenggorok,
diberikan dilakukan kultur untuk meyakinkan eradikasi hasil demam yang tidak tinggi dan pembengkakan leher (bullneck) serta
9
C.dyphtheriae. terjadi pembentukan membran (pseudomembran) keputihan pada
9
Komplikasi tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah apabila dilepas.
Timbul komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan Peradangan dapat menyebabkan kematian dengan menyumbat
keadaan sebagai berikut: saluran napas. Komplikasi dapat terjadi karena efek toksin dari
1. Virulensi basil difetri kuman yang menyerang saraf menyebabkan kelumpuhan dan
1
2. Luas membran yang terbentuk menyerang jantung menyebabkan miokarditis .
3. Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri Diagnosis awal dapat dilakukan dengan menggunakan
4. Waktu antara mulainya timpul penyakit sampai pewarnaan methylene blue, pewarnaan Gram, dan
pemberian antitoksin imunoflouresens. Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya
Corynebacterium diphtheriae dengan melakukan pemeriksaan
9
kultur dari lesi yang dicurigai.
Dokter Muda THT-KL Periode Desember 2017 – Januari 2018 11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Tatalaksana dimulai dengan pemberian Anti Difteri 9. Acang N. 2014. Difteri. Dalam: buku ajar ilmu penyakit
Serum (ADS)dan antibiotik tanpa perlu konfirmasi dalam edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen FK UI
laboratorium (kultur baik swab/apus tenggorok). Pasien p1858-1861
difteria diisolasi sampai tidak menular yaitu 48 jam setelah 10. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2016. Difteri.
pemberian antibiotik. Namun tetap dilakukan kultur setelah Available in: http://hmpd.fk.ub.ac.id/difteria/ -Accessed at
2
pemberian antibiotik. January 30th 2018.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono. Penyakit tropis. Epidemiologi, penularan,
pencegahan & pemberantasannya. Second revised.
Jakarta: Erlangga, 2011. 22-27pp.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman pencegahan dan pengendalian difteri.
2017. Available in:
http://gudangilmu.farmasetika.com/wp-
content/uploads/2017/12/buku-pedoman-
pencegahan-dan-penanggulangan-difteri.pdf
Accessed at January 30th 2018.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Imunisasi efektif cegah difteri. 2017. Available in:
http://www.depkes.go.id/article/view/17120500001/-
imunisasi-efektif-cegah-difteri.html Accessed at
January 31th 2018.
4. Casteleyn C, et al. The Tonsils Revisited: Review of
the Anatomical Localization and Histological
Characteristics of the Tonsils of Domestic and
Laboratory Animals. Clinical and Developmental
Immunology. 2011
5. Brodsky L, Poje C. Tonsilitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT (editors).
th
Head and Neck otolaryngology 4 Edition Volume
One. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins. 2006.
6. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan
Hipertrofi Adenoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
VII. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012. Hal 195-203.
7. Bruce M Lo. Diphthreria. Available in:
https://emedicine.medscape.com/article/782051-
overview#a4. Accessed at January 30th 2018.
8. Dass J FP, Deepika V. Implications from predictions
of HLA-DRB1 binding peptides in the membrane
proteins of Corynebacterium diphtheriae.
Bioinformation. 2008. 3(3):111-3.
Dokter Muda THT-KL Periode Desember 2017 – Januari 2018 11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas