You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sangat penting dan
menentukan dalam setiap kegiatan pemerintahan. PNS sebagai abdi negara, abdi
masyarakat, pelaksana pemerintahan dituntut untuk menyelenggarakan
pembangunan dalam mencapai tujuan nasional.

Peranan PNS yang begitu besar perlu memperoleh pembinaan. Pada masa
Demokrasi Liberal, PNS kurang mendapat perhatian. Karena saat itu ada permainan
politik yang tidak wajar dari partai politik/golongan tertentu, sehingga
menimbulkan kekacauan di bidang kepegawaian. Akibatnya, sering terjadi di
antara pegawai yang satu kantor, tetapi tidak satu partai/golongan, terdapat suasana
saling curiga mencurigai, saling mencari kesalahan dan sulit menciptakan suasana
kerja sama. Pada hal kerja sama merupakan salah satu unsur penting dalam suatu
organisasi. Banyak perkerjaan terlantar dan menimbulkan ketidakpuasan
masyarakat. Akibat selanjutnya, timbul hierarki disiplin dan loyalitas ganda, yaitu
di satu pihak ia harus tunduk kerpada atasannya, di lain pihak ia harus tunduk pula
kepada pimpinan partai politik. PNS dalam kondisi apapun sebenarnya tetap
melaksanakan tugas, kewajiban dan peranannya.

B. Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN

Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde


Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan
aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Awalnya monoloyalitas ini berlaku
terhadap birokrasi untuk menciptakan sebuah netralitas dalam memandang sebuah
urusan politik. Namun kemudian pada perkembangannya disalah-gunakan menjadi
sikap loyal terhadap pemerintah selaku penguasa negara. Hal ini terjadi pada masa
pemerintahan Orde Baru, sehingga birokrasi cenderung harus tunduk terhadap
dominasi kekuasaan Golkar yang berkuasa atas pemerintahan pada masa itu. Hal
tersebut dilakukan pemerintahan Orde Baru semata-mata untuk mempertahankan
kekuasaan Soeharto selaku penguasa eksekutif (dan Golkar selaku penguasa
parlemen nasional) untuk mereduksi secara ketat perkembangan komunisme di
Indonesia. Peraturan Monoloyalitas diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru
dimana semua pegawai negeri sipil diharuskan untuk memilih Golongan Karya
dalam setiap pemilihan umum. Pada masa Orde Baru, PNS dipolitisasi dengan cara
monoloyalitas terhadap Golkar, yang menjadikan PNS dari sebagai abdi
masyarakat menjadi abdi penguasa. Secara formal pegawai negeri memang tidak
dipaksa menjadi anggota dan memilih Golkar dalam pemilihan umum, namun pada
kenyataannya mereka dimobilisasi untuk memenangkan Golkar. Kebijakan
monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan
menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar.

Pada era Orde Baru, ketentuan yang mengatur PNS berkaitan dengan partai
politik adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya. Dalam pasal 8 ayat (2) menetapkan bahwa (a) PNS dapat menjadi
anggota Partai Politik dan Golongan Karya dengan sepengetahuan pejabat yang
berwenang; (b) PNS yang memegang jabatan-jabatan tertentu tidak dapat menjadi
anggota Partai Politik dan Golongan Karya, kecuali dengan izin tertulis dari
pejabat yang berwenang. Ketentuan pasal 8 asyat (2) ini, secara normatrif
memberikan kebebasan kepada PNS untuk menjadi anggota Partai Politik dan
Golongan Karya, namun secara realistis izin tersebut menjadi permasalahan hukum
tersendiri. Pemberian izin pada masa Orde Baru sering disalahgunakan oleh
pejabat yang berwenang. Izin digunakan sebagai alasan penolakan dengan alasan
mengganggu pelaksanaan tugas.

Selain itu, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang menguntungkan


Sekber Golkar, misalnya menggiring Pegawai Negeri Sipil yang tergabung dalam
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) untuk memilih Sekber Golkar
termasuk menekan aparatur desa dalam mengawal masyarakatnya demi
kepentingan Sekber Golkar dll. Hal ini teerjadi diberbagai tempat yang terletak di
bumi nusantara, dimana banyak PNS yang tidak bersedia memilih Golkar kemudian
harus rela disingkirkan dari karirnya. Begitu pula dengan kepala desa yang tidak
bersedia, mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Kemenangan Golkar pada
beberapa Pemilu memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat nasional
maupun tingkat lokal selama Pemerintah Orde Baru. Fakta sejarah itu sangat
menarik untuk dikaji terutama pada tingkat lokal yang merupakan basis massa
partai politik di tingkatan akar rumput (grass root) yang juga menjadi bagian dari
kompetisi politik Golkar dengan partai-partai politik lain peserta. Dalam hal ini
sepanjang Pemilu Orde Baru, Golkar dengan kondisi riil (ditengah tantangan
potensi kekuatan politik Islam) tersebut mampu keluar sebagai pemenang dengan
perolehan angka di atas 50%.

Dominasi Golkar dalam hal ini tidak berjalan sendiri karena terdapat
kelompok berkekua yang mendukungnya, yaitu militer dan birokrasi. Dalam kiprah
politiknya selama Orde Baru, pengaruh militer sangat dalam terhadap Golkar.
Dewan pembina yang memiliki kekuasaan sangat besar ketika itu diduduki Presiden
Soeharto yang merupakan personifikasi dari kekuatan militer Indonesia. Disamping
itu sebagai penguasa pemerintahan, Soeharto juga secara tidak langsung berkuasa
atas para birokrat beserta jajarannya (bahkan hingga lingkaran keluarga birokrasi).
Hal inilah yang menunjukan sinergisitas pengelolaan kekuasaan yang dilakukan
oleh Golkar untuk menghegemoni kekuatan politik di Indonesia pada era Orde
Baru.

Menurut Muslim Mufti aktivitas politik pada zaman orde baru didominasi
oleh ABRI, Birokrat, dan Golkar sebagai sebuah kekuatan politik nasional. Dalam
hal ini Orde Baru senantiasa diidentikan dengan dominasi kekuatan militer dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini termanifestasikan kedalam konsep dwi
fungsi ABRI dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya perluasan peranan
dan fungsi militer kedalam jabatan politik dan struktur pemerintahan pada masa itu.
Perluasan disini dilakukan untuk membuka akses pengawasan dan keterlibatannya
ke seluruh lapisan dan struktur pemerintahan sipil. Dengan demikian militer
memiliki akses, peranan dan fungsi yang tersebar luas dalam setiap lini struktur
pemerintahan secara bertingkat dan berkelanjutan. Dalam hal ini dwi fungsi ABRI
memiliki tugas pokok untuk menciptakan dan melindungi stabilitas nasional dengan
membenarkan keterlibatan tentara kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat
guna menjaga kedaulatan bangsa. Dengan melihat kembali pemberlakuan dwi
fungsi ABRI maka dapat diketahui bahwa sektor ekonomi yang dijadikan sebagai
panglima pembangunan dan stabilitas ekonomi yang dijadikan orientasi dari
pembangunan itu sendiri, dimana militer diberdayakan sebagai alat pertahanan
kekuasaan penguasa untuk dapat melakukan konfrontasi terhadap segala macam
pemberontakan terhadap penguasa

Penempatan militer kedalam jabatan-jabatan strategis masyarakat sipil


seperti gubernur, bupati, bahkan hingga ketingkatan desa membuat ABRI memiliki
akses yang lebih luas dalam mengelola sumber daya negara. Hal ini memungkinkan
militer untuk menjaga arus pergerakan dan pertumbuhan perekonomian nasional
guna mereduksi kekuatan PKI. Menurut UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian menyatakan dengan jelas bahwa ABRI dapat digolongkan
kedalam pegawai negeri. Misalnya dalam pasal 3 yang mengedepankan bahwa
seorang abdi negara (yang dikemudian diplesetkan menjadi alat negara/penguasa).
Hal ini semakin memberikan keleluasan pada militer untuk memperoleh kuota
kekuasaan yang relatif besar atas masyarakat. Dwifungsi teritorial terwujud dalam
bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah
pusat, propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan sampai kelurahan/ desa. Mendagri
adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden.
BAB III
PENUTUP

http://wisnualdhi666.blogspot.co.id/2016/06/sistem-birokrasi-masa-orde-
baru.html

http://korpspegawairepublikindonesia.blogspot.co.id/2008/11/pns-dan-parpol.html

http://muhammadekoatmojo.blogspot.co.id/2014/11/rekrutmen-birokrasi-di-
indonesia.html

http://anggia-megani.blogspot.co.id/2012/06/perbandingan-sistem-
kepegawaian.html

https://danielmaringantua.wordpress.com/2015/01/23/golkar-sebagai-kekuatan-
politik-di-era-orde-baru-1971-1982/

You might also like