Professional Documents
Culture Documents
Sebelum kiamat datang ada beberapa tanda yang menjadi peringatan akan
kedatangannya. Tanda-tanda inilah yang disebut dengan Asyraatussa’ah (tanda-tanda
kiamat). Firman Allah :’ Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari
kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya
telah datang tanda-tandanya..”. QS. Muhammad/47 : 18
Dari sisi keberadaan dan waktunya, tanda-tanda kiamat itu, dapat dikelompokkan dalam
tiga kelompok berikut ini.
a. diutusnya Nabi Muhammad SAW. Sabda Nabi : “Aku di utus dan hari kiamat itu
bagaikan dua jari (sambil menunjukkan dua jari, telunjuk dan tengahnya”
b. terbukanya Baitul Makdis
c. terbunuhnya Utsman bin Affan. Berkata Hudzaifah :”Fitnah pertama adalah
terbunuhnya Utsman”
d. munculnya firqah-firqah yang menyesatkan
e. banyaknya orang-orang yang mengaku menjadi nabi
f. berlimpahnya harta kekayaan.
3. Menunjukkan aqidah sebagai amal hati yang lebih fundamental dari pada amal
organ lainnya
POKOK MATERI
1. Definisi Aqidah
Menurut bahasa Arab kata aqidah diartikan sebagai sesuatu yang diikat oleh hati dan
jiwa manusia. Sering pula disebut sebagai hal-hal yang diyakini dan dipatuhi manusia
2
Dalam pengertian istilahiy, aqidah diartikan sebagai tashdiq (pembenaran) terhadap
sesuatu dan diyakini tanpa ada keraguan atau kebimbangan, semakna dengan kata al
iman.
Imam Syahid Hasan Al Bana mendefinisikan aqidah sebagai : hal-hal yang harus
dibenarkan oleh hati, tenang bagi jiwa dan keyakinan yang tidak dapat digoyahkan oleh
keraguan atau bercampur dengan kebimbangan.
Pada kenyataannya kuat atau lemahnya aqidah umat ini bermacam-macam ragamnya
sesuai dengan kekuatan dalil/bukti-bukti yang mereka terima, dan yang mereka yakini.
- Ada yang menerima dalil itu dengan talaqqi, lalu diyakini secara tradisional.
Mereka ini sangat rentan terhadap syubhat yang meragukan.
- Ada yang berfikir dan menganalisa dalil yang mereka terima, sehingga imannya
menjadi semakin bertambah
- Ada pula mereka yang terus menganalisa dan mengamalkan apa yang mereka
yakini dengan senantiasa meminta pertolongan Allah, sehingga ia mendapatkan cahaya
kebenaran dalam jiwanya (Q.S. 47: 17)
Aqidah Islamiyyah terbagi dalam empat bagian utama, yaitu : al Ilahiyyat (ketuhanan),
an Nubuwat (kenabian), ar Ruhaniyyat (alam gaib), dan as Sam’iyyat (wahyu).
Sebaran aqidah ini terangkum dalam bagian akhir dari surah Al Baqarah/2: 285 atau
yang terangkum dalam hadits Jibril ketika mendatangi Nabi Muhammad dan
menanyakan kepadanya tentang Iman, Islam, Ihsan dan hari kiamat.
a. Aqidah merupakan fondasi utama dalam bangunan Islam, dari aqidah inilah
terpancar seluruh aktifitas manusia, baik berupa ucapan, perbuatan bahkan
keberadaannya di dunia
b. Akidah seseorang akan sangat menentukan kualitas amal perbuatannya, sah atau
batal, diterima atau ditolak, dibalas atau terbuang sia-sia.
c. Hati menjadi ruang bagi akidah untuk tumbuh dan berkembang,menjadi kuat atau
lemah sesuai dengan faktor-faktor pendukung yang mempengaruhinya.
d. Aqidah adalah al ashl (fundamen), dan siapapun tahu bahwa hal-hal yang
fundamen jauh lebih harus diutamakan dari pada furu’ (cabang-cabang) apalagi
komplementer lainnya.
3
a. Amal perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan akidah yang benar, maka amal
itu tidak diterima Allah SWT. QS. 14:18, QS. 24:39, QS:5:27
b. Akidah yang batil akan menyebabkan semua amal perbuatan yang pernah
diperbuat menjadi hangus. QS. 5:5, QS. 6:88, QS 3:21
c. Hubungan aqidah dan amal adalah bagaikan hubungan antara pohon dan buah,
dari itulah dalam banyak ayat Al Qur’an, amal perbuatan selalu dikaitkan dengan
keimanan. QS. 2:25, QS. 16:97, QS. 19: 96.
Wallau a’lam
Bulan Desember dan dua bulan sesudahnya adalah bulan yang di dalamnya banyak
terdapat beberapa hari raya orang kafir. Hari Natal, tahun baru masehi, Imlek, dan
Valentine day. Konyolnya, kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, ikut latah
meramaikannya, bergembira dengan hari-hari tsb, bahkan tidak sedikit yang ikut
merayakannya. wallahul musta’an.
Fenomena kacoe-kacoe (ikut-ikutan) ini adalah salah satu bukti betapa minimnya
pengetahuan kaum Muslimin terhadap agamanya. Sebab andai mereka tahu kemuliaan
Din ini mereka pasti berlepas diri dari semua itu. Andai mereka tahu bahwa
konsekuensi kalimat laailaaha illallah adalah tidak ikut latah menyemarakkan hari raya
kekufuran, maka pasti mereka tidak terjerumus di dalamnya, pada hal Allah telah
memberi kita dua hari raya yang jauh lebih mulia. Pembaca yang budiman…pada edisi
kali ini al-Balagh akan mengangkat tema al-walaa’ dan al-baraa’ yang merupakan
kandungan kalimat tauhid laailaaha illallah. Selamat menyimak…
Walaa’ adalah masdar dari kata kerja “walaya” yang artinya dekat. Dan yang dimaksud
dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai, membantu
dan menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya serta bertempat tinggal
dengan mereka. Sedangkan al-baraa’ adalah masdar dari baraa’ah yang berarti memutus
atau memotong. Maksudnya adalah memutus hubungan dengan musuh atau memutus
ikatan hati dengan orang kafir.
Di antara kandungan kalimat Tauhid adalah mencintai orang yang telah mengucapkan
kalimat itu, serta memutuskan hubungan dengan orang-orang yang menyalahiNya.
Allah ta’al berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,RasulNya dan
orang-orang beriman, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada
Allah. Dan siapa yang mengambil Allah, rasuNya, dan orang-orang beriman menjadi
penolongnya, maka pengikut agama Allah itulah yang akan menang” (Qs.al-
4
Maaidah:55-56)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh
dengan mereka dalam hal yang khusus bagi hari raya mereka seperti makanan, pakaian,
mandi, menyalakan lilin, meliburkan hari kerja dan yang lainnya. Tidak halal
mengadakan kenduri, memberi hadiah, menjual barang guna yang diperlukan untuk hari
raya. Tidak halal mengizinkan anak-anak melakukan permainan hari itu. Ringkasnya
tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas hari raya mereka”
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “…jika bertahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang
khusus menjadi milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan
mengatakan,”selamat hari natal” atau “berbahagialah pada hari ini raya ini” atau yang
senada dengan itu, maka kalaupun ia selamat dari kekufuran, ia tidak bisa lepas dari
kemaksiatan dan keharaman. Sebab itu sama saja dengan memberi ucapan selamat atas
sikap mereka yang menyembah salib”. Selanjutnya beliau mengatakan, “maka
barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah,
maksiat atau kekufuran maka ia telah memantik murka Allah…”
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa memberi ucapan selamat, bergembira dengan
hari raya orang kafir dilarang karena yang demikian menunjukkan kerelaan kepada
agama mereka.
5
Allah Ta’ala berfirman tentang sikap Nabi Ibrahim-alaihissalam-:”Sesungguhnya telah
ada suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu pada) Ibrahim dan orang-orng besertanya;
ketika mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian
dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah
nampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya,
sampai kalian beriman kepada Allah” (QS.al-Mumtahanah: 4)
Wallahu Ta’alaa A’laa Wa A’lam
Sumber: Kitab Tauhid, Dr. Shalih Fauzan al-Fauzan (dengan disertai sedikit perubahan
AQIDAH ISLAM
JALAN LURUS MENCAPAI KEBAHAGIAN
Siapapun orang di kalangan kaum muslimin pasti pernah mendengar kata ‘aqidah’. Di
berbagai kesempatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keagamaan perkataan
ini sering terucap. Bahkan para ustadz, kiyai dan da’i menyatakan bahwa aqidah
merupakan pondasi bangunan Islam.
Apa sebenarnya faedah dan keutamaan dari aqidah Islam itu ? tulisan berikut akan
sedikit mengulas tentang hal tersebut.
Bilal adalah seorang budak hitam milik seorang qurays yang bernama Umayah. Ketika
terbit cahaya Islam, Bilal merupakan salah seorang yang Allah beri hidayah untuk
merasakan cahaya Islam tersebut. Beliau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah. Kian hari semakin kokoh dan subur benih Islam di hati beliau.
Sampai suatu ketika tuan beliau yang masih kafir mengetahui keislaman beliau dan
murka. Bilal dipaksa untuk kembali kepada kekafiran dan beribadah kepada beragam
sesembahan yang ada.
Iman yang bersemayam di hati Bilal membuatnya tegar menghadapi berbagai siksaan
yang luar bisa kejamnya. Bilal disiksa dengan dijemur di tengah terik matahari padang
pasir, ditindih tubuhnya dengan batu besar dan disiksa dengan berbagai siksaan lain
yang luar biasa kejam. Namun di saat diuji dengan siksaan itu, hati beliau merasakan
sejuknya sebuah keimanan, sehingga terlontar dari mulut beliau yang mulia....Ahad
(Allah Maha Esa)...Ahad... Kita akan terheran, dan mungkin akan segera bertanya
mengapa Bilal dan para sahabat yang lain begitu tegarnya menghadapi ujian, intimidasi
dan siksaan yang seberat itu ? Jawabnya adalah, karena mereka telah mendapatkan
sebuah kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang tidak banyak dipahami oleh
kebanyakan orang. Karena umumnya manusia menyatakan bahwa bahagia itu adalah
kekayaan yang melimpah, rumah indah, kendaraan mewah dan terpenuhinya segala
6
fasilitas keduniaan. Memang itu semua adalah pendukung kebahagiaan di dunia, namun
dalam dataran kehidupan, kita banyak menemukan orang yang telah terpenuhi segala
materi dunianya tetap saja merasakan kesumpekan hidup, tidak tenang, stress, bahkan
tak jarang mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri... naudzubillah min dzaalik.
Inikah kebahagiaan ?
Mungkin ada pula yang akan berkata, kalau demikian bahagia itu harus meninggalkan
urusan dunia, hidup miskin, mengembara, tidak usah punya isteri dan keluarga
atau………...? Itu juga bukan sebuah kebahagiaan yang benar, karena kebahagiaan bisa
dinikmati oleh si kaya maupun si miskin, tua atau muda dan segala kalangan.
Berkaitan dengan hal ini para ulama mendefinisikan, kebahagiaan adalah ketenangan
hati, lapangnya dada, dan merasa cukup dengan pemberian Allah. Itulah kebahagiaan,
dan segalanya hanya bisa diraih dengan keimanan yang benar, sebagaimana sabda
Nabi .shallallaahu alaihi wasallam “Sungguh mengherankan perkaranya orang mukmin,
karena setiap perkaranya akan baik baginya, apabila dia mendapatkan kenikmatan maka
dia bersyukur dan itu baik bagi dia, dan apabila ia mendapatkan musibah maka ia
bersabar maka itupun baik bagi dia” (HR Bukhari).
Inilah peran sebuah keimanan atau aqidah yang benar, yang mengantarkan seseorang
kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Dunia memang tidak pernah sepi dari kesedihan
dan kesenangan, kemudahan dan kesukaran. Menghadapi hal tersebut seorang insan
muslim yang beraqidah lurus akan selalu tegar menghadapi goncangan badai
kehidupan. aneka ragam musibah, seperti kekurangan harta, kekurangan jiwa (kematian
anak atau keluarga), kekurangan bahan pangan, pakaian atau ancaman, insya Allah akan
mampu diatasi dengan ketegaran. Di dalam hatinya dipenuhi rasa harap kepada Allah,
ketergantungan kepada Allah, tawakkal, sabar , dan ridha terhadap ketentuan Allah. Tak
goyah imannya dengan ujian-ujian tersebut bahkan semakin kokoh, mendorongnya
untuk lebih mendekat kepada Allah dan mengikhlaskan doa hanya kepadaNya semata.
Ia mengaplikasikan sabda Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam “Apabila engkau
meminta mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan maka
mohonlah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi).
Maka disaat itulah bertambah ketenangan dan kebahagiaan di dalam hatinya, yang
kebahagiaan itu tak dirasakan oleh mereka yang tak kenal akan Tuhannya. Ia pun yakin
akan firman Allah : “Apabila Allah menimpakan bahaya kepadamu maka tidak ada
yang mampu mengangkatnya kecuali Dia.” (QS Al An ‘am). Hal tersebut di atas
berbeda dengan mereka yang lemah aqidah dan imannya. Ujian yang datang sering
membuat goncang, putus asa, mengumpat takdir atau terkadang lari kepada hal-hal
yang lemah seperti meminta bantuan paranormal atau jin. Insan yang beraqidah lurus
akan menjadi pribadi yang penuh dengan keindahan. Hal ini karena jelasnya tujuan
hidup yang ia miliki, hendak kemana, untuk apa dan mengapa dia hidup di dunia. Maka
jelaslah arah perjalan dia, sangat pasti ia melangkah dan tak ragu-ragu untuk menapak
kehidupan. Ia sangat paham dengan tujuan hidup dia…….
7
“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS Adz
dzariyat : 56).
Maka, penggalian nilai-nilai kesempurnaan Islam yang diawali dengan aqidah adalah
hal yang tak tertawarkan lagi.
Pada prinsipnya, berkurban itu hanya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya, mereka berkurban atas
nama diri mereka dan keluarga mereka.
Adapun apa yang dikira oleh sebagian orang awam bahwa berkurban hanya bagi orang
yang sudah mati saja, adalah tidak ada dasarnya. Berkurban atas nama orang yang
sudah mati ada tiga macam:
Pertama: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati dengan diikutkan
kepada orang yang masih hidup. Seperti: bila seseorang berkurban atas nama dirinya
sendiri dan keluarganya, baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Dasarnya:
kurban yang dilakukan oleh Rasulullah atas nama diri beliau dan ahli baitnya, padahal
diantara mereka ada yang sudah mati.
Kedua: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati, untuk melaksanakan
wasiatnya. Dasarnya: “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-
Baqarah: 181)
Ketiga: Menyembelih kurban dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah
mati; hal ini boleh. Dan para fuqaha’ madzhab Hambali telah menegaskan bahwa
pahalanya sampai kepada orang yang sudah mati dan bermanfaat baginya, dikiaskan
kepada sedekah untuk orang yang sudah mati. Namun, kami tidak berpandangan
bahwa mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah mati termasuk sunnah, karena
Nabi tidak pernah berkurban khusus atas nama orang yang telah mati; tidak pernah
berkurban atas nama paman beliau Hamzah, padahal dia adalah orang yang paling
dihormatinya, tidak pernah pula berkurban atas nama anak-anaknya yang sudah mati
lebih dahulu, dan tidak pernah pula berkurban atas nama istrinya Khadijah, padahal dia
8
istrinya yang tercinta. Tidak pernah juga diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat,
semasa beliau, menyembelih kurban atas nama seseorang dari kerabatnya yang sudah
mati.Dan kami berpendapat bahwa tidak benar apa yang dilakukan sebagian orang,
yaitu: menyembelih kurban setahun setelah wafatnya seseorang dengan meyakini
bahwa tidak boleh ada orang lain yang disertakan dalam pahalanya; atau menyembelih
binatang sebagai sedekah bagi orang yang sudah mati, atau berdasarkan wasiatnya,
sementara mereka tidak menyembelih kurban atas nama diri mereka sendiri dan
keluarganya. Andaikata mereka tahu bahwa apabila seseorang menyembelih kurban dari
harta kekayaannya atas nama dirinya sendiri dan juga keluarganya telah mencakup
keluarganya yang hidup maupun yang telah mati, niscaya mereka tidak berpaling dari
sunnah ini kepada perbuatan mereka itu.
Dalam riwayat lain disebutkan; “Maka jangan menyentuh sesuatu dari rambut atau pun
kulitnya sehingga ia menyembelih binatang kurbannya.” Dan jika berniat
menyembelih kurban di antara sepuluh hari tersebut, hendaklah ia menahan diri dari
larangan tersebut mulai saat berniat. Sedangkan apa yang telah dicabut atau
dipotongnya sebelum itu, maka tidak apa-apa.
Adapun hikmah dalam larangan ini, bahwa orang yang berkurban karena mengikuti
jama’ah haji dalam sebagian amalan manasik, yaitu bertaqarrub kepada Allah dengan
menyembelih kurban maka ia pun mengikutinya dalam sebagian larangan ihram, yaitu:
dengan menahan diri dari memotong rambut dan lain-lainnya. Karena itu,
diperbolehkan bagi keluarga orang yang hendak menyembelih kurban untuk mencabut
atau memotong rambut, kuku dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Hukum ini khusus bagi orang yang hendak menyembelih kurban saja. Sedang
keluarganya atau orang yang menjadi wakilnya, tidak ada kaitannya dengan larangan
ini. Karena Nabi bersabda: “Dan seseorang diantara kamu hendak berkurban...”, beliau
tidak mengatakan: “... atau orang-orang yang diwakilinya dalam berkurban”; dan
karena Nabi ketika menyembelih kurban atas nama keluarganya tidak disebutkan bahwa
beliau menyuruh mereka juga untuk menahan diri dari larangan tadi. Apabila orang
yang hendak menyembelih kurban mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku
atau kulitnya; maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah l dan tidak mengulanginya
lagi. Tidak ada kafarat (denda) yang harus dibayarnya dan tidak pula menghalanginya
untuk melaksanakan kurbannya, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang
awam. Kalaupun dia mencabut atau memotong sesuatu dari hal-hal tersebut karena
lupa, atau tidak tahu, atau karena memang terlepas tanpa sengaja, maka tidak apa-apa.
Namun jika memerlukan untuk dicabut atau dipotong; seperti karena terkoyak kukunya
9
sehingga merasa sakit dan perlu dipotong, atau rambutnya masuk ke mata dan perlu
dicabut, atau rambutnya perlu dipotong untuk pengobatan luka dan semisalnya; maka
dalam keadaan seperti ini boleh dia melakukannya dan tidak apa-apa.
1. Menunjukkan perintah Allah untuk senantiasa bersatu dan tidak berselisih pendapat
2. Menunjukkan alasan kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
3. Mengungkapkan bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah sunnatullah
4. Menunjukkan jenis-jenis perbedaan dalam beragama
5. Membedakan perbedaan yang terpuji dan perbedaan yang tercela
6. Menunjukkan adab dalam perbedaan pendapat
POKOK-POKOK MATERI
A. PESAN PERSATUAN
Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam
beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari’ah-Nya (QS.
3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam
perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)
B. KEMUNGKINAN PERBEDAAN
Perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi
harmonis. Perbedaan warna membuat kehidupan menjadi indah, kita tidak akan dapat
mengetahui putih jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau dan warna lainnya. Kita
tidak akan dapat bekerja dengan baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan bentuknya
10
sama, seperti telunjuk semua misalnya, atau kita akan kesulitan mengunyah makanan
jika bentuk gigi kita semuanya sama, taring semua misalnya, dst. Demikanlah harmoni
kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan fungsinya.
Perbedaan pada wasa’ilulhayat (sarana hidup).
Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup).
Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin (esensi
agama). Firman Allah : “ Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya” QS. 40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang
telah ditetapkan oleh Al Qur’an, AS Sunnah, maupun Ijma’. Sebab prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan oleh Al Qur’an, As Sunnah maupun Ijma’ adalah esensi dasar dari
ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para Nabi
sebelumnya (QS. 29: 69, 5:15-16, 2:208), kemudian perbedaan tanawwu’ (penganeka
ragaman) dalam pelaksanaan syari’ah, antara wajib atau sunnah. Wajib ain atau
kifayah, dst.
Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu”. QS. 11: 118-119
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan
Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” QS 2:213
Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan pada dasar prinsipil agama Islam.
Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita fahami dari hadits Nabi yang
memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh puluh tiga golongan. Perbedaan ini
lebih terjadi pada minhaj (konsep) akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep
lainnya. Seperti akibat infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb.
Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat
sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali
tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah
(benar), sunnah dan bid’ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah, Qadariyah,
Rafidhah, dsb.
11
3. Perbedaan pada Furu’iyyah (cabang).
Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-
masalah dasar prinsipil dan kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin
terjadi karena memang Allah telah jadikan furu’ (cabang) syari’ah agama terbuka untuk
dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :” …mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah
…”QS 11: 118-119, ia katakan : “adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat
Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.
Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan
referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59)
Porsi perbedaan ini dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu’iyyah
setelah terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun
yang mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang
tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam masalah
furu’iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah fiqh saja
terdapat dua alur:
a. pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam masalah fiqh, atau
dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu’iyyah adalah “semua benar”
b. pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang
bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak
tersesat.
Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna yang
mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam masalah-masalah furu’iyyah tidak
boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Setiap mujtahid telah
memperoleh balasannya. Sabda Nabi : “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya
benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu
pahala”.
C. MENYIKAPI PERBEDAAN
Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti ijtihad Rasulullah pada
peristiwa qath’ulliynah (penebangan pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang
Badr ( QS. 8:67) dsb.
Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat,
dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang berbeda pendapat dalam ijtihad
aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah,
antara yang shalat ashar di tengah perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di
tempat tujuan setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat
yang berbeda pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air.
Kemudian sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada
yang tidak.
Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat
Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :” Saya tidak suka jika para sahabat tidak
berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan
menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah (para pemimpin) yang menjadi teladan,
siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.
Ketika Abu Ja’far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada Al
Muwattha’nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik : “ Jangan kamu lakukan
wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa,
mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai
panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit, maka
biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka fahami ”
Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap
mujtahid dalam melakukan penelitian masalah khilaf far’iy sebagaimana yang pernah
ada pada sahabat dan para pengikutnya. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam
semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta’awun (kerja sama) untuk mencapai
kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme aliran.
13
Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka
mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha
Allah dalam penelitian dapat terealisir. Adab itu ialah :
1. Tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu
kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy. Ada ulama yang
mengatakan :”Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan
diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka
anggapannya itu dusta”
2. Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin
terjadi pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang terjadi atau
mungkin terjadi.
3. Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar
maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah)
dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum
terbuka akan mendorong kecenderungan riya’ atau semangat mengalahkan lawan, benar
atau salah.
4. Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran
itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara sebagai
pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan. Bersyukur ketika
ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah
menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak
ketetapan itu, kata Umar : “Betul wanita itu dan Umar salah”. As Syafi’iy berkata: “
Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran
akan keluar darinya”
5. Tidak menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu
probelem ke problem lain.
6. Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil
ilmunya.
Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah
fillah (cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan
terealisir.
14
BERLAKU ADIL
TUJUAN
Adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam
memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam
memberikan hak orang lain., tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi. Seperti yang
dijelaskan Al Qur’an dalam surah Ar Rahman/55:7-9
“ Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)
suapaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu
dengan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”
Kata adil sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth
(moderat/seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim.
Dalam Al Qur’an kata adil dan anak katanya diulang sekitar 30 (tiga puluh) kali. Al
Qur’an mengungkapkannya sebagai salah satu dari asma’ al husna Allah dan perintah
kepada Rasulullah untuk berbuat adil dalam menyikapi semua umat yang muslim
15
maupun yang kafir. Begitu juga perintah untuk berbuat adil ditujukan kepada kaum
mukminin dalam segala urusan.
Jika kita perhatikan alam raya sekitar kita, maka akan kita dapatkan prinsip
adil/keseimbangan itu menjadi ciri utama keberlangsungan dunia. Malam dan siang,
gelap dan terang, panas dan dingin, basah dan kering, bahkan udara tersusun dalam
susunan keseimbangan yang masing-masing fihak tidak ada yang
mengambil/mengurangi hak sisi lain.
Tata surya kita, matahari, bumi bulan dan planet lainnya berada dalam jalur/garis edar
obyektif yang tidak ada satupun dari tata surya itu merampas jalur fihak lain, jika
perampasan fihak lain itu terjadi bisa kita bayangkan bagaimana jadinya alam ini, pasti
akan terjadi benturan-benturan yang berarti kebinasaan dan kehancuran. (QS. Al
Qamar: 49, Al Mulk: 3, Yasin: 40, Ar Rahaman:5-7)
5. Sikap adil/moderat adalah simbol kekuatan. Kita perhatikan dalam rentang usia
manusia, usia yang paling dibanggakan adalah rentang usia tengah antara masa
kanak-kanak dan masa tua renta.
6. Posisi adil/moderat adalah pusat persatuan dan kesatuan. Berapapun sisi yang
dimiliki oleh sebuah bidang, maka titik sentral akan mempersatukan semua sisi
itu. Perhatikan sebuah roda yang memiliki banyak jeruji, bagaimana jika tidak
ada titik tengahnya, di mana mereka bisa bersatu?
Sikap adil dalam syariah Islam dapat kita lihat dalam setiap sendi ajarannya, baik secara
teoritis maupun aplikatif, tarbawiy (pendidikan) maupun tasyri’iy (peraturan). Islam
sangat moderat dalam bidang akidah, pemahaman, ibadah, ritual, akhlaq, adab, hukum
dan peraturan.
1. Aqidah
Dalam bidang akidah, Islam merupakan konsep moderat anatara kaum khurafat yang
mempercayai semua kekuatan sebagai tuhan dan kaum mterealis yang tidak
mempercayai kecuali yang tertangkap alat inderanya saja.
2. Ibadah
Islam membuat keseimbangan ibadah bagi umatnya antara kebutuhan ukhrawiy dan
kebutuhan duniawiy. Pemeluk Islam yang baik bukanlah yang menghabiskan waktunya
hanya untuk ibadah ritual tanpa memperhatikan bagian duniawinya, begitu juga bukan
pemeluk yang baik jika hanya memeperhatikan duniawi tanpa memberikan porsi
ukhrawi. Contoh jelas dalam hal ini adalah, hari juma’t, ada perintah untuk shalat
juma’h, larangan melakukan perdagangan pada waktu itu, tetapi kemudian disusul
perintah mencari rizki begitu usai shalat jum’at. (QS. 62: 9-10)
3. Akhlaq
17
Pandangan normatif Islam terhadap manusia adalah pertengahan antara mereka yang
idealis memandang manusia harus berada dalam kondisi prima, tidak boleh salah
sebagaimana malaikat, dan mereka yang menganggap manusia sebagai makhluk hidup
(hewan) yang bebas melakukan apa saja yang disukai, tanpa ada norma yang
mengikatnya. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang berpotensi salah
sebagaimana ia berpotensi benar (QS. Asy Syams: 7-10).
Dalam memandang dunia, Islam memiliki sikap moderat antara yang menganggapnya
segala-galanya (Dan mereka mengatakan: “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia
saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan” QS. AL An’am/6:29), dengan mereka
yang menganggap dunia sebagai keburukan yang harus dijauhi. Islam memandang
dunia sebagai ladang akherat, Islam menuntun manusia pada kebaikan dunia dan
akhirat.
4. Tasyri’
Dalam bidang halal-haram Islam adalah pertengahan antara Yahudi yang serba haram
(QS. 4:160-164) dan Nasrani yang serba halal. Islam menghalalkan yang baik dan
mengharamkan yang buruk (QS. 7:157)
Dalam urusan keluarga Islam adalah pertengahan antara mereka yang melarang nikah
sama sekali (seperti dalam kerahiban nasrani) dan mereka yang memperbolehkan nikah
tanpa batas (jahiliyyah), begitu juga dengan perceraian, antara mereka yang melarang
cerai sama sekali (seperti nasrani), dan yang memperbolehkan perceraian tanpa batas.
Dalam kepemilikan, konsep Islam adalah pertengahan antara mereka yang menafikan
milik pribadi (sosialis) dan yang menafikan milik sosial/memanjakan milik pribadi
(kapitalis). Islam mengakui milik pribadi, tetapi mewajibkan adanya hak sosial dalam
setiap kepemilikan pribadi. Dst.
E. DISTRIBUSI KEADILAN
1. Menetapkan hukum
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.” QS.4:58
18
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan..” QS.
16:90
3. Dalam berbicara
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabatmu.”QS. 6:152
4. Dalam kesaksian
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatnu. QS. 4:135
8. Pemberian balasan
“…dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya
ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu …QS. 5:95
9. Imam As Syafi’iy menegaskan kepada para qadli (hakim) agar bersikap adil
dalam lima hal terhadap dua orang yang berselisih, yaitu :
Berlaku adil memerlukan kejelian dan ketajaman, di samping mutlak adanya mizan
(standar) yang dipergunakan untuk menilai keadilan atau kezaliman seseorang. Mizan
keadilan dalam Islam adalah Al Qur’an. Firman Allah :
Rasyid Ridla, dalam Tafsir al Manar menjelaskan ayat ini dengan mengatakan :
“Sebaik-baik orang adalah orang yang bisa berhenti dari kezaliman dan permusuhan
dengan hidayah Al Qur’an, kemudian orang yang berhenti dari kezaliman karena
kekuasaan (penguasa) dan yang paling buruk adalah orang yang tidak bisa diterapi
kecuali dengan kekerasan. Inilah yang dimaksudkan dengan al Hadid (besi)”.
Kesalihan dunia ini hanya bisa ditegakkan dengan Al Qur’an yang telah mengharamkan
kezaliman dan pengrusakan-pengrusakan lainnya. Sehingga manusia menjauhi
kezaliman itu karena rasa takutnya kepada murka Allah di dunia dan akhirat, di
samping untuk mengharapkan balasan/ganjaran dunia akhirat. Kemudian dengan
keadilan hukum yang ditegakkan penguasa untuk membuat jera umat manusia dari
dosa.
POKOK-POKOK MATERI
a. Definisi
Menurut bahasa kata “bid’ah” berarti segala sesuatu yang baru, yang belum pernah ada
sebelumnya. Sedangkan menurut pengertian syar’iy bid’ah berarti :sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran agama tetapi dianggap sebagai bagian ajaran agama,
biasanya dengan menambahkan atau mengurangi ajaran agama yang sudah ada.
Ar Rabi’ meriwayatkan dari As Syafi’i yang mengatakan bahwa bid’ah itu ada dua
macam, pertama sesuatu yang baru dan bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah dan
Ijma’. Kedua sesuatu yang baru dan tidak bertentangan dengan konsep sebelumnya.
b. Dalil-dalil
20
Dalil-dalil yang banyak membicarakan tentang bid’ah antara lain :
1. Hadits Aisyah ra. Rasulullah bersabda “Hal yang mengada-ada dalam urusanku,
yang tidak ada perintahku, maka hal itu akan tertolak”. Muttafaq alaih
3. Hadits Irbadh ibn Sariyah yang menceritakan: Suatu hari Rasulullah SAW shalat
bersama kami, lalu ia menghadapi kami dan menasehati kami dengan nasehat yang
melelehkan air mata, menggetarkan hati. Berkatalah salah seorang dari kami: “Ya
Rasulullah sepertinya ini adalah nasehat perpisahan, maka apa yang akan engkau
pesankan untuk kami? Sabda Nabi: “Aku wasiatkan kalian untuk selalu bertaqwa
kepada Allah, mendengar dan mentaati kepada pemimpin kalian, meskipun ia adalah
budak hitam. Maka sesungguhnya barang siapa yang akan hidup berumur panjang,
pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka tetaplah kalian dalam
sunnahku, sunnah khalifah rasyidin yang mendapatkan hidayah. Peganglah dan
gigitlah dengan gigi taringmu. Dan waspadalah dengan hal-hal baru, karena setiap
yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”. An Nasa’iy menambahkan: “
dan setiap bid’ah akan masuk neraka.” HR Ahlussunan.
Bid’ah dalam agama lahir disebabkan oleh banyak sebab. Secara global penyebab itu
dapat dikategorikan dalam dua kelompok: penyebab intern dan ekstern.
1. Penyebab-penyebab intern
21
h. Syubhat (ketidak jelasan) antara bid’ah dan al mashalih al mursalah ( kebaikan
yang tidak disebutkan dalam tekstual dalil syar’iy)
2. Penyebab-penyebab ekstern
Penyebab ekstern munculnya bid’ah adalah rekayasa dari luar yang dilakukan oleh
musuh-musuh Islam seperti yang dilakukan kaum zindiq (kafir ateis) dengan
menyebarkan pemikiran dan pemahaman yang merusak akidah dan konsep Islam,
seperti pengkultusan kepada orang-orang shalih, atau penghentian pemberlakuan
syariah Islam, sehingga umat Islam mencari alternatif syariah lainnya.
B. HUKUMNYA
Secara umum bid’ah adalah perbuatan dosa yang haram dikerjakan. Hal ini dapat kita
perhatikan dari dalil-dalil yang menerangkan tentang bid’ah sebagaimana tersebut di
atas. Meski begitu tingkatan haramnya berbeda-beda sebagaimana tingkatan maksiyat
yang lain.
Hukum bid’ah dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu bid’ah kabirah (besar) dan
bid’ah shaghirah (kecil).
1. Bid’ah Shaghirah
Bid’ah Shaghirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah furu’iyyah (cabang), karena
adanya syubhat (ketidak jelasan) dalil. Bid’ah ini akan terus kecil jika:
2. Bid’ah Kabirah
Bid’ah Kabirah adalah bid’ah yang terjadi pada masalah-masalah pokok, tidak pada
masalah furu’iyyah, pelakunya diancam dengan ancaman Al Qur’an maupun As
Sunnah. Sebagaimana tingkatan bobot yang ada dalam dosa besar, begitu juga
perbedaan tingkatan dalam bid’ah kabirah. Bahkan ada yang membuat pelakunya
menjadi kufr.
C. MACAMNYA
22
Macam bid’ah dapat dikelompokkan dalam kelompok-kelompok berikut ini :
Bid’ah Haqiqah adalah sesuatu yang baru dan sama sekali tidak ada dalil syar’inya,
baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Tidak ada istidlal (petunjuk dalil) yang
digali oelh para ulama mu’tabar.
Bid’ah Idlafiyyah adalah sesuatu yang secara prinsip memiliki dasar syar’iy, tetapi
dalam penjelasan dan operasionalnya tidak berdasar dalil syar’iy.
a. Dari sisi waktu seperti :shalat, raghaib, shalat nisfu sya’ban. Secara prinsip
shalat malam diajarkan dalam agama, tetapi pembatasan waktu dan kerangka
tertentu inilah yang tidak ditemukan dalil syar’inya.
b. Dari sisi penyimpangan prinsip, seperti Talhin (lagu) dalam adzan. Adzannya
sendiri diajarkan dalam agama, tetapi melagukan adzan dalam nada tertentu
menjadi bid’ah
c. Dari sisi sifat pelaksanaan, seperti : mengeraskan dzikir dan bacaan Al Qur’an
di hadapan jenazah. Dzikir dan tilawah Al Qur’an adalah ibadah yang masyru’,
tetapi pelaksanaannya di hadapan jenazah menjadi lain.
Penolakan pada bid’ah kelompok ini adalah sikap penolakan pada kaifiyah (cara),
bukan pada prinsipnya.
4. Bid’ah Iltizam dengan Ibadah Muthlaqah (mewajibkan diri dengan ibadah yang
bebas )
Bid’ah Iltizam adalah pembatasan diri pada syari’ah yang mutlak, dengan waktu atau
tempat tertentu. Syari’ah yang mutlak itu bisa berupa ucapan, perbuatan. Seperti
bershalawat Nabi, dsb. Secara prinsip bershalawat diajarkan agama dan diperintahkan
untuk banyak melakukannya, kecuali yang dibaca pada shalat. Bid’ah dalam hal ini
muncul ketika ada pembatasan waktu atau tempat tertentu, tidak bisa dilakukan di luar
waktu atau tempat yang telah ditentukan itu.
23
Imam Hasan Al Banna memandang bid’ah selain bid’ah haqiqah, tidak termasuk dalam
bid’ah prinsip yang menyesatkan, akan tetapi lebih merupakan keberagaman ijtihad
dalam masalah furu’iyyah. Ada dalil prinsip yang menjelaskan pokok masalah, lalu
muncul ijtihad dalam penerapan dan pelaksanaannya.
D. BAHAYA BID’AH
Tersebarnya bid’ah dalam kehidupan umat akan berakibat buruk dan akan
memperlemah umat. Akibat yang ditimbulkan antara lain :
1. Memperlemah iman umat, karena bid’ah lebih mendasarkan pada hawa nafsu,
bukan pada wahyu Allah.
E. CARA MENGHADAPINYA
Menghadapai bid’ah yang menyesatkan ini, kita wajib melakukan sesutu untuk
menghentikannya. Cara efektif dalam menghadapi bid’ah adalah lewat bentuk-bentuk
pengingkaran/penolakan dengan hikmah (bijak), bashirah (ketajaman mata hati),
dialog yang sehat dan metode-metode lain yang tidak menimbulkan bid’ah yang lebih
besar dari yang hendak dihapuskan.
Metode efektif menghadapi bid’ah adalah metode yan dapat diukur tingkat
pencapaiannya dengan biaya yang paling ringan dan korban yang paling minimal.
Sarana dan cara menghadapi bid’ah tidak baku dan kaku, tetapi berkembang sesuai
dengan situasi, ruang dan waktu bid’ah itu muncul.
Rasulullah saw telah memberikan teladan dalam menghadapi bid’ah dengan hikmah
dan bashirah agar tidak menimbulkan bid’ah yang lebih besar lagi. Dalam ruang dan
waktu yang berbeda diperlukan sikap yang berbeda. Rasulullah membedakan sikapnya
dalam menghadapi bid’ah di Makkah, di Madinah dan di Makkah seusai Fathu Makkah.
Hal ini bisa kita lihat dari sikap Nabi terhadap berhala yang ada di sekitar Ka’bah,
antara sebelum hijrah dan sesudah fathu Makkah. Dan adakah yang lebih bid’ah
dibandingkan dengan berhala di sekeliling Ka’bah?
24
HARI AKHIR
Hari Akhir adalah hari kiamat yang diawali dengan pemusnahan alam semesta ini
dimana semua manusia semenjak dari nabiyullah Adam AS sampai terjadinya hari akhir
akan dibangkitkan untuk mendapatkan balasan semua aktifitasnya.
Iman kepada hari akhir adalah masalah yang esensial dalam kehidupan ini untuk
menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan iman kepada hari akhir
secara benar kita terhindar dari tiga hal di bawah ini :
3. Tidak sempurna Islam dan Iman seseorang tanpa meyakini kebenaran hari akhir.
25
3. BUKTI-BUKTI HARI AKHIR
3. Bukti logika (aqliyah). Perhatikanlah lingkungan yang ada di sekitar Anda yang
ada kalanya tanam-tanaman di sekitar Anda menguning, kering lalu mati. Setelah
beberapa hari hujan turun kembali tumbuh dan menghijau seperti semula.
Al Qur’an kalamullah memberikan banyak dalil tentang adanya dan kebenaran hari
akhir. Melalui sifat-sifat Nya yang Maha Kuasa (Qudrat) sangatlah mudah mematikan,
menghidupkan dan mengembalikan tubuh-tubuh yang berserakan, tulang-tulang yang
remuk hancur untuk dikembalikan seperti semula (36:78,79/25:5-7/50:15/21:105/23:16)
Kalau kita memperhatikan Al Qur’an dengan seksama maka kita menemukan beberapa
ayat yang mengandung persoalan hari akhir baik yang berhubungan langsung dengan
keimanan kepada Allah maupun oleh sebab-sebab lainnya.
26
6. NAMA-NAMA HARI AKHIR
2. Hari Pembalasan (1 :4 )
Semua ciptaan Allah mempunyai hikmah karena Allah tidak menjadikan sesuatu sia-sia
belaka tanpa guna dan hikamah. Di bawah ini beberapa hikmah iman kepada Hari Akhir
:
1. Adanya rasa kebencian yang dalam kepada kema’siatan dan kebejatan moral yang
mengakibatkan murka Allah di dunia dan di akhirat.
Iman kepada hari akhir adalah masalah yang paling berat dari segala macam aqidah dan
kepercayaan manusia, dari zaman purbakala sampai zaman moderen dikalangan
pemikir dan filosof, karena eksistensi iman kepada hari akhir belum terlintas dipelupuk
mata manusia, maka adakalanya diremehkan oleh sebagian manusia terutama mereka
yang materialistis dan sekuleris. Maka dengan demikian iman kepada hari akhir
mempengaruhi jiwa kepribadian manusia, seperti di bawah ini :
1. Dengan iman kepada hari akhir senantiasa memotivasi untuk beramal kebajikan
dengan ikhlas mengharap ridho Allah semata.
27
2. Senantiasa pula membendung niat-niat yang buruk apalagi melaksanakannya.
3. Menjauhkan diri dari asumsi-asumsi yang mengkiaskan apa yang ada di dunia
ini dengan apa yang ada di akhirat.
Sehubungan terjadinya hari akhir, terdapat beberapa hal yang wajib pula diimani dan
diyakini kebenarannya :
2. Kiamat dan tanda tandanya. Peristiwa hari kiamat diawali dengan beberapa
tanda yang dilukiskan Al Qur’an pada banyak ayat (22:1,2/81:1-14/54:1/39:68/82:1-
5/89:21-25/79:6-10).
Wallahu a’lam.
29