You are on page 1of 14

DIMENSI INTEGRASI SOSIAL DALAM TRADISI LISAN KATOBA

PADA MASARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

LA ODE ALI BASRI


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari
E-mail: basri.uho74@gmail.com

Abstract
This study aims to examine and analyze the dimensions of social integration in the katoba
tradition in the Muna society. Data collection techniques were conducted through in-depth
interviews, involved observations, document studies and focused discussions. Data analysis is
done through data reduction, data presentation and conclusion. The results show that the Katoba
tradition in Muna society has the following dimensions of social integration; 1) katoba tradition
gives examples of models of social interaction results in multicultural societies, that is models of
associative social interaction characterized by the acculturation of Islamic and animist values in
katoba culture; 2) katoba tradition teaches the understanding of harmonization in the life of
society through advice dososo, fekakodoho, fomiina, bhotusi and hakunaasi; 3) the
implementation of katoba is a means of knitting togetherness, the intimacy of fellow citizens and
social solidarity. Thus, the katoba tradition is a social and cultural capital in caring for and
maintaining the integrity of the Muna society.

Keywords: social integration, katoba traditions and the Muna society

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji dan menganalisis dimensi integrasi sosial dalam tradisi katoba
pada masyarakat Muna. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam,
pengamatan terlibat, studi dokumen dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan melalui reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi
katoba pada masyarakat Muna memiliki dimensi integrasi sosial sebagai berikut; 1) tradisi
katoba memberikan contoh model hasil interaksi sosial dalam masyarakat multikultur, yakni
model interaksi sosial aosiatif yang ditandai oleh adanya akulturasi nilai-nilai ajaran Islam dan
animisme dalam budaya katoba; 2) tradisi katoba mengajarkan pemahaman tentang harmonisasi
dalam kehidupan bermasyarakat melaui nasihat-nasihat yang bermuatan dososo (penyesalan),
fekakodoho, fomiina, bhotusi dan hakunaasi; 3) pelaksanaan katoba merupakan sarana merajut
kebersamaaan, keakraban sesama warga dan solidaritas sosial. Dengan demikian, maka tradisi
katoba merupakan modal sosial dan budaya dalam merawat dan memeliharan keutuhan
masyarakat Muna.

Kata kunci: integrasi sosial, tradisi katoba dan masyarakat Muna


1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki kurang lebih 1.340-an suku bangsa
dengan keragaman budayanya masing-masing, yang tersebar di 17.000-an pulau, (BPS, 2010).
Fakta ini mengamanatkan suatu keharusan agar informasi mengenai keragaman budaya suku-
suku bangsa tersebut dihimpun, dikemas dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Sebab
keberagaman laksana pisau bermata dua, yakni bisa menjadi rahmat bila dikelola dengan baik,
tetapi bila salah urus maka pluralitas bisa menjadi sumber mala petaka. Pluralitas yang salah
kelola pernah menimpa bangsa-bangsa besar di dunia. Pada abad ke-20 yang silam, kita
mengetahui dua negara bangsa yang ambruk yakni Yugoslavia dan Uni Soviet. Yugoslavia
bertahan 73 tahun dan Uni Soviet bertahan 69 tahun.
Kedua negara tersebut adalah negara besar, di mana Yugoslavia merupakan motor
penggerak Gerakkan Non Blok, sedangkan Uni Soviet adalah pemimpin Blok Timur, dua
kekuatan politik-ekonomi-militer yang memainkan peran penting sepanjang abad ke-20, selain
Blok Barat. Akan tetapi kedua negara bangsa tersebut, saat ini tinggal hidup dan dikenang dalam
catatan sejarah. Subhan (2014) menyatakan bahwa kedua bangsa besar itu ambruk bukan karena
serangan penakluk dari luar, tetapi karena keropos dari dalam bangsa itu sendiri. Yugoslavia
runtuh karena konflik sosial-politik yang berkepanjangan, di mana setiap etnis dan agama di
Yugoslavia saling menyimpan dan menebar kebencian. Demikian pula dengan Uni Soviet yang
selalu menampilkan politik dominasi, hegemoni dan tirani mayoritas.
Bercermin pada nasib Yugoslavia dan Uni Soviet, maka bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang multikultur sepatutnyalah memaknai pandangan Sedyawati, (2014) bahwa kebudayaan
suku-suku bangsa nusantara harus diberi peluang untuk bertahan hidup, serta
mengakomodasikannya di dalam kancah pergaulan nasional bangsa Indonesia. Dalam sejarah
perjalanan bangsa ini, kemajemukkan pernah menjadi pengikat kebersamaan. Hal itu antara lain
terjadi pada zaman pergerakan nasional awal abad ke-20. Pada masa itu orang Jawa, Sunda,
Aceh, Batak, Lombok, Bugis, Buton, Muna, Minangkabau, Bali, Dayak dan suku-suku lainnya di
tanah air, menyadari akan keberagaman dan perbedaan mereka. Namun menurut Subhan (2014),
perbedaan itu justru menjadi tali-temali yang saling mengikat. Etnis-etnis tersebut membawa
benangnya sendiri-sendiri, kemudian mereka merajutnya menjadi “baju besar” bernama
Indonesia. Penganut Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan agama serta aliran
kepercayaan lainnya membawa titian masing-masing untuk dibangun menjadi jembatan bersama.
Para pendiri bangsa ini mendesain perbedaan agama, etnik, bahasa dan budaya menjadi suatu
puncak kesamaan sekaligus kebersamaan.
Namun indahnya perbedaan itu kini hanyalah mozaik sejarah masa silam, karena
kemajemukkan telah menjadi sumbu konflik dan disintegrasi sosial. Mengikuti pemikiran
Kartono (2015) kemajukkan bangsa ini telah kehilangan intimitas organiknya, sehingga relasi-
relasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat majemuk menjadi runyam dan atomistik.
Akibatnya kemajemukkan bukan menjadi kekuatan yang dibangun untuk memperkokoh ikatan
komunal, tetapi justru menjadi jembatan titian bagi lahirnya konflik-konflik lain yang ramai kita
saksikan di negeri kita belakangan ini. Menurut Gufron (2016), ekspresi kemajemukkan bangsa
ini telah mencerminkan perilaku penyimpangan sosial yang berimplikasi pada munculnya
patologi dan disintegrasi sosial. Pandangan ini setali tiga uang dengan pemikiraan Tilaar (2007),
bahwa identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk tengah mengalami goncangan. Citra
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan cinta damai, tercoreng akibat eskalasi konflik.
Bangsa ini seakan-akan telah berubah menjadi bangsa yang beringas dan kehilangan rasa
persatuan sebagai bangsa Indonesia.
Realitas ini, mengamanatkan perlunya kosep kesadaran moral tentang pluralitas dan
integrasi sosial terus digali dan diformulasi untuk mewujudkan multikulturalisme Indonesia.
Konsep ini antara lain dapat digali dari akar budaya lokal masyarakat Indonesia, karena di dalam
budaya lokal terdapat sejumlah kearifan yang menjadi pegangan hidup masyarakat
pendukunganya dalam mewujdukan integrasi dan harmoni sosial. Kajian tentang dimensi
integrasi dan harmoni sosial dalam budaya tradisional, antara lain telah dilakukan oleh Garna
(1993) terhadap orang Baduy, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang Baduy memiliki
perangkat pengawasan sosial yang disebut pikukuh, yakni seperangkat aturan yang mengatur pola hidup
manusia dalam hubungannya dengan sesama, Tuhan dan lingkungan. Kajian lain juga pernah dilakukan
oleh Martodirdjo (1991), terhadap orang Tugutil di Halmahera. Temuan kajian itu menunjukkan
bahwa orang Tugutil memiliki pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang didasarkan
pada tiga konsep kesatuan hidup yakni kesatuan rumah (o tau), kesatuan pemukiman (o gogere),
dan kesatuan hutan (o hinguna). Ketiga kesatuan tersebut memiliki hubungan erat dengan
kehidupan manusia. Oleh karen itu, ketiga kesatuan tersebut harus diberlakukan dengan adil
sebagaimana memperlakukan manusia itu sendiri.
Dalam kontek masyarakat Sulawesi Tenggara, kajian terhadap dimensi integrasi sosial
dalam budaya tradisional juga pernal dilakukan oleh Tarimana (1989) dan Basri, et al (2017).
Tarimana (1998) dalam kajiannya terhadap masyarakat Tolaki menyatakan bahwa masyarakat
Tolaki memiliki kalo o sara (lima lingkaran adat) yang menjadi pokok-pokok pedoman dan
pandangan hidup masyarakat Tolaki. Kelima pokok-pokok adat tersebut adalah (1) adat
pemerintahan (sara wonua); (2) adat persatuan dan kesatuan atau kekeluargaan (sara mbedulu);
(3) adat aktivitas keagamaan dan kepercayaan (sara mbe’ombu); (4) adat pekerjaan yang
berhubungan dengan profesionalisme kerja (sara mandurahia); (5) adat sistem mata pencaharian
terdiri dari sara monda’u (sistem perladangan), sara montapoha (sistem perkebunan/bersawah),
sara mombulai (sistem peternakan), sara melumbu (tata cara berburu), dan sara meoti-oti (tata
cara penangkapan ikan). Sementara Basri, et al (2017) dalam kajiannya terhadap masyarakat
Muna menyatakan bahwa dalam budaya tradisional Muna terdapat nilai-nilai multikulturalisme.
Temuan-temuan dalam hasil kajian di atas, semakin meneguhkan bahwa dalam budaya
tradisional, termasuk budaya tradisional masyarakat Muna, memiliki sejumlah konsep integrasi
sosial untuk mewujudkan harmoni hidup umat manusia yang berkelanjutan. Konsep yang
demikian itu, di antaranya dapat dikaji dalam tradisi lisan katoba.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara. Teknik pengumpulan data yang digunakan, adalah: (1) pengamatan terlibat; (2)
wawancara mendalam; (3) diskusi terfokus dan studi dokumen. Analisis data dilakukan secara
deskriptif-kualitatif, melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) reduksi data, yakni menyusun
satuan-satuan seluruh data yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan
dan diskusi kelompok terfokus dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian
dilakukan reduksi data guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat abstraksi dan
menyusun satuan-satuan data, (2) display yakni penyajian data melalui proses kategorisasi dan
pengelompokkan data sesuai unit analisis sehingga data bisa menjadi lebih baik, menyusun
hubungan antar kategori, membandingkan kategori data yang satu dengan kategori data yang
lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan data tersebut, (3) penarikan
kesimpulan berdasarkan hasil interpretasi data yang ditunjang oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten.

3. Hasil dan Pembahasan


A. Dimensi Integrasi Sosial dalam Tradisi Lisan Katoba
Integrasi sosial adalah penyatuan unsur-unsur sosial dalam masyarakat menjadi satu
kesatuan yang utuh. Garna (1996) menyatakan integrasi sosial merupakan suatu proses
konsensus bersama suatu masyarakat untuk menciptakan tertib sosial. Melalui konsesus tersebut
masyarakat menciptakan identitas bersama berupa norma-norma sebagai pedoman dan pengarah
dalam bertingkahlaku. Norma-norma tersebut dipelihara dan dilestarikan melalui pelembagaan
baik secara sosial maupun budaya di dalam masyarakat. Garna (1996) menyatakan bahwa
integrasi sosial dicirikan oleh berwujudnya keserasian antara norma dengan berbagai tingkah
laku manusia dalam berbagai situasi dan berwujudnya tingkah kepatuhan yang tinggi antara
norma-norma dengan tingkah laku warga masyarakat. Manakalah tingkah laku masyarakat tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku, maka masyarakat tersebut sesungguhnya sedang
mengalami anomali. Sehingga masyarakat menciptakan saluran-saluran mekanisme kontrol
untuk menjaga dan memelihara kesesuaian atau keselarasan antara tingkah laku warga dengan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Mekanisme kontrol tersebut di
ejawantahkan dalam praktik-praktik tradisi berupa adat istiadat, ritual, mitologi, tabo dan
instrumen-instrumen budaya lokal lainnya, di manapun masyarakat itu berada, termasuk
masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara.
Pada masyarakat Muna salah satu mekanisme kontrol yang diciptakan untuk menjaga
keselarasan antara tingkah laku dengan norma-norma yang berlaku adalah tradisi katoba, yakni
suatu tradisi penyucian diri melalui prosesi pertobatan yang diterapkan oleh para orang tua
kepada anak-anak mereka yang telah memasuki masa maturity atau masa remaja, yakni suatu
proses perkembangan ketika anak mengalami transisi untuk menuju kematangan sebelum
memasuki usia kedewasaannya. Katoba adalah salah satu ritus peralihan pada masyarakat Muna
yang di dalam pelaksanaanya mengandung dimensi-dimensi integrasi sosial sebagai berikut.
A. Tradisi Katoba mencontohkan Model Hasil Interaksi sosial yang asosiatif dalam
Masyarakat Multikultur
Tradisi katoba merupakan salah satu produk budaya Muna yang banyak mendapat
pengaruh Islam, sehingga dalam praktiknya tradisi katoba banyak mengadopsi ajaran-ajaran
agama Islam, walaupun tampaknya sangat singkretis. Wujud singkretis tersebut tampak pada
adanya akulturasi budaya islam dengan budaya leluhur masyarakat Muna, melalui
pengakomodasian nilai-nilai islam dan tradisi dalam pelaksanan katoba. Disatu sisi pelaksanaan
katoba mengadopsi nilai-nilai ajaran islam seperti berwudhu, mengucapkan dua kalimat
syahadat, mentauhidkan Allah SWT, mengakui Muhammad SAW sebagai nabi utusan Allah,
melafalkan doa-doa yang ada di dalam Al-Qur’an kitap suci umat islam, tetapi pada sisi yang
lain dalam pelaksanaan katoba juga masih mempraktekkan kebiasaan leluhur masyarakat Muna
yang bercorak animisme, seperti pembakaran kemenyan pada saat membaca doa. Selain itu,
busana yang kenakkan oleh peserta katoba adalah pakaian adat Muna, bukan busana muslim atau
muslimah, materi nasihat-nasihat dalam katoba juga bersumber dari ajaran leluhur masyarakat
Muna, bukan diadopsi dari Al-Qur’an seperti lazimya para ustadz dan ustadzah memberikan
ceramah agama.
Mencermati pelaksanaan katoba yang bersifat kolaboratif dan akomodatif seperti yang
telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan timbal balik antara islam dan tradisi
lokal masyarakat Muna terjadi secara asosiatif sehingga tidak terjadi benturan kebudayaan.
Antara Islam dan budaya lokal Muna tidak saling membunuh tetapi saling melengkapi. Hal ini
menunjukkan bahwa leluhur masyarakat Muna sangat lentur dalam menyikapi suatu perbedaan.
Bahkan para leluhur Muna mendesain perbedaan tersebut menjadi kebersamaan sebagaimana
yang tampak dalam tradisi katoba yang memadukan nilai-nilai islam, animisme dan Munanisme
yang mana tradisi tersebut masih tetap hidup dan dipraktekan oleh masyarakat Muna secara
turun-temurun hingga saat ini.
Dalam tataran praksis sosial, tradisi katoba memberikan suatu pemahaman kepada kita
semua, agar seyogyanya bersikap cair, lentur dan akomodatif dalam menyikapi perbedaan dan
keberagaman. Sehingga perbedaan dan keberagaman tersebut menjadi modal yang dapat
memperkuat identitas komunal, bukan sebaliknya menjadi sumbu konflik komunal. Fay (2002)
menyatakan bahwa terjadinya konflik disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok yang
terpisah terjebak di dalam dunia terpisah dan tidak mampu memahami atau berbagai atau
berkomunikasi dengan orang lain dari kelompok lain. Oleh karena itu, Waston dalam Buchari
(2014) berpandangan bahwa dalam masyarakat multikultur semua manusia seharusnya dapat
menerima perbedaan dan kesetaraan. Mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai
perbedaan di antara orang-orang dan beraneka macam kebudayaan dan sub kultur, maka mereka
memiliki kepekaan multikultural, Fay (2002).

B. Nasihat-Nasihat Katoba Megajarkan Harmonisasi Sosial


` Dalam kacamata rasionalitas, prosesi ritual katoba (upacara pertobatan) untuk
menyucikan diri anak-anak yang memasuki usia remaja, tampak kontradiktif dengan realitas
sosial dan praktik keagamaan yang berlaku dalam masyarakat Muna. Dalam ajaran agama Islam
sebagai agama mayoritas masyarakat Muna, dinyatakan bahwa anak-anak yang belum baliq atau
belum dewasa tidak berdosa apa bila melakukan perbuatan menyimpang sehingga tidak perlu di
katoba (tobat) untuk menyucikan dirinya. Akan tetapi oleh masyarakat Muna prosesi katoba
justru diterapkan kepada anak-anak, tatkala mereka memasuki masa transisi dari anak-anak
menuju dewasa. Dalam pandangan masyarakat Muna ritual katoba ini dilaksanakan pada saat
anak-anak memasuki usia remaja, karena pada usia ini merupakan fase awal bagi seseorang
untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya. sehingga fase ini menjadi saat yang sangat tepat
untuk meletakan dasar-dasar kehidupan secara baik dan benar. Bahkan para orang tua di Muna
menganggap masa peralihan dari anak-anak ke dewasa merupakan fase kelahiran kedua, karena
anak-anak mereka akan dibersihkan segala dosa-dosanya melalui prosesi katoba. Sehingga pada
saat menjalani kehidupan selanjutnya, anak-anak mereka dalam keadaan bersih, suci tanpa dosa.
Oleh karena itu, anak-anak harus dikatoba dan ditanamkan nilai-nilai budaya Muna untuk
menjadi pegangan mereka dalam menjalani kehidupan selanjutnya, sebab katoba mengajarkan
kepada individu-individu agar tingkah laku dan tindakanya senantiasa terkonform dengan norma-
norma dan kebiasaan sosial yang berlaku dalam masyarakat Muna. Hal inilah yang menyebabkan
prosesi katoba dilaksanakan pada anak-anak yang memasuki usia remaja, karena usia ini
merupakan fase peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Berikut ini adalah ajaran pokok
katoba yang mengandung dimensi integrasi sosial.
1. Dososo (Penyesalan)
Dalam pandangan masyarakat Muna letak kesalahan pada diri manusia ada tiga yakni
dukuno lalo (niat/pikiran), feeilino podiu (tindakan atau perbuatan) dan parapuno pogau (tutur
kata). Oleh karena itu dalam katoba diajarkan agar senantiasa menata hati dan pikiran,
mengontrol kata dan perbuatan. Apa bila manusia Muna melakukan kesalahan atau kekeliruan
pada aspek-aspek tersebut, maka hendaklah ia segera menyesali kesalahan tersebut, dengan
menyampaikan permohonan maaf baik dilakukan secara langsung maupun melalui arbitrasi atau
perantaraan orang lain.
2. Fekakodoho (Menjauhkan)
Dalam ritual katoba juga diajarkan untuk menjauhi semua hal yang bertentangan dengan norma-norma
dan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Muna, yang dapat merugikan diri sendiri, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitar. Sehingga ajaran fekakodoho ditopang lagi dengan ajaran berikutnya
yakni fomiina (menidakkan).
3. Fomiina (Menidakkan)
Fomiina (menidakkan) diajarkan kepada anak-anak peserta katoba agar mereka
mengamalkan dan melestarikan salah satu model mekanisme kontrol sosial dalam masyarakat
Muna yakni falia (pantang larang atau tabo). Falia adalah pantang larang yang senantiasa
dijunjung tinggi oleh masyarakat Muna dalam melaksanakan aktivitas keseharian karena diyakini
sebagai sesuatu yang benar, bila dilanggar akan mendatangkan balaa (keburukan) bagi yang
tidak mengindahkannya. Dalam kehidupan masyarakat Muna falia berfungsi sebagai pengontrol
bagi individu dan bagi masyarakat Muna secara kolektif agar tidak bertabiat buruk, tidak
melakukan perbuatan yang merusak lingkungan, tidak melakukan perbuatan yang melanggar
perintah Tuhan, tidak melanggar norma-norma etika dan kesusilaan. Falia mengatur hal-hal yang
yang berkaitan dengan kelangsungan hubungan sesama manusia, kelestarian ekosistem yang
berkelanjutan dan kelangsungan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pandangan
masyarakat Muna falia merupakan hukum karma, jika dilanggar maka karmanya akan menimpa
orang yang melanggarnya atau keluarga dan keturunannya kapan dan di mana saja.
4. Bhotuki (Putuskan)
Bhotuki adalah nasihat katoba yang mengajarkan tentang satunya pikiran, kata dan perbuatan dan
keteguhan dalam pendirian. Manusia Muna diajarkan untuk bhotuki (putuskan) bahwa yang salah
itu salah dan yang benar itu benar.
5. Koise melampai hakunaasi (Jangan mengambil sesuatu yang bukan hak)
Dalam pandangan masyarakat Muna kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah.
Namun kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa, yakni jiwa yang
selalu menerima dengan lapang dada terhadap setiap hasil usaha yang diperolehnya. Oleh karena
itu dalam katoba diajarkan tentang hakunaasi (hak naas yang bukan miliki kita) agar dalam
mengumpul harta tidak dilakukan dengan cara-cara yang kebablasan, melakukan tipu daya,
memanipulasi, dan mengelabuhi orang-orang yang lemah. Berikut adalah ajaran-ajaran katoba
tentang hakunaasi.
1. Setampu deu atawa bulawa ntinilako, setangke karo-roo atawa intani manikamu, satokano
kohakuno panaembali damalae intaidi ini.(Sebesar lubang jarum atau seperti emas batangan,
setangkai daun sirih atau untaian intan berlian, kalau bukan milik kita tidak boleh diambil).
Melalui katoba manusia Muna diajari supaya tidak kalima-lima (panjang tangan) agar tidak
mengambil hak milik orang lain, karena kalmia-lima merupakan perilaku menyimpang.
2. Koe mekangkalahi kokarawuno toneano (Jangan melangkahi bumbungan/pusaran ubi talas
orang lain). Ungakapan ini sangat erat kaitannya dengan suasana tertib sosial, karena ubi talas
dalam masyarakat Muna merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang lezat, namun
tanaman ini membutuhkan perhatian dan perawatan yang lebih untuk memperoleh hasil yang
baik. Supaya tanaman ini bisa produktif dengan baik, maka tanah pada bagian akar tanaman ini
harus senantiasa digemburkan hingga menyerupai pusaran. Bila diinjak atau dilewati akan
mengganggu kelangsungan produksi tanaman ini, sehingga para petani bisa saja marah kalau
tanaman mereka ini diganggu oleh manusia atau binatang peliharaan manusia. Oleh karena itu
dalam katoba manusia Muna diajarkan untuk menghargai dan menghormati apa saja yang telah
menjadi kepemilikan orang lain yang dikiaskan pada pusaran ubi talas. Dalam nasihat katoba
pun diajarkan koe kaempa-empa nekokafembulano (Jangan merusak barang, tanaman, dan
binantang peliharaan orang lain).
3. Koe mekangkalahi kogholeno labuno (Jangan melangkahi pucuk tanaman labu orang lain).
Nasihat katoba yang dipersonifikasikan pada tanaman labu mengandung makna tidak
menyepelehkan orang lain dan perlunya memaksimalkan potensi diri. Labu adalah salah satu
jenis tumbuhan merambat berperawakan kecil, namun demikian tanaman tersebut menghasilkan
buah yang besar-besar. Sederhananya labu saja yang batangnya kecil bisa memproduksi buah
yang besar, apatah lagi manusia yang dikaruniai dengan berbagai kelebihan. Nasihat katoba ini
erat pula kaitannya dengan realitas kehidupan sosial kemasyarakatan, di mana sering terjadi yang
kuat memandang remeh yang lemah, yang mayoritas mendominasi bahkan menguasai yang
minoritas.
Mencermati beberapa ajaran pokok dalan tradisi katoba di atas, maka tergambar bahwa
tradisi katoba mengandung dimensi yang bermuarah pada terwujudnya suatu soliditas dan
keutuhan suatu masyarakat. Kartono (2015) menyatakan bahwa terjadinya disintegrasi sosial
dalam masyarakat disebabkan oleh adanya patologi sosial berupa tingkah laku manusia yang
bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik,
solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, hukum formal dan adat
kebiasaan lainnya yang berlaku dalam masyarakat. Sementara dalam ritual tradisi katoba
diajarkan untuk menjunjung tinggi norma-norma dan adat kebiasaan, atau mengikuti pemikiran
Endraswara (2016) tradisi katoba mengajarkan cara menjaga emosi sosial.

C. Katoba Merupakan Ajang Kebersamaan dan Ekspresi Solidaritas Sosial


Ritual taradisi katoba dapat dilaksanakan sendiri-sendiri oleh warga masyarakat Muna di
rumahnya masing masing dan bisa pula dilaksanakan pada salah satu rumah warga. Namun
umumnya katoba selalu diselenggarakan pada salah satu rumah warga, yakni semua anak yang
akan dikatoba dikumpul pada salah satu rumah warga sehingga pelaksanaanya berlangsung
meriah, sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar: Suasana Pelaksanaan Ritual Katoba


Dari gambar di atas, selain menunjukkan kemeriahan prosesi pelaksanaan katoba juga
mengambarkan adanya semangat kebersamaan dan kekompakkan warga masyarakat. Warga desa
baik kerabat maupun bukan kerabat pihak-pihak penyelenggara katoba, mereka datang
berbondong-bondong untuk menyaksikan pelaksanaan katoba sekaligus memberikan doa restu
kepada anak-anak yang dikatoba agar bisa menjalani kehidupan mereka sesuai dengan norma-
norma yang berlaku dan mendapat rahmat dari Kawasano Ompu (Tuhan Allah Swt). Para warga
umumnya datang tanpa melalui undangan tertulis, tetapi hanya dengan undangan lisan, atau
mendengar berita bahwa ada pelaksanaan katoba di rumah salah seorang warga, atau bahkan
hanya sebatas mendengar bunyi gong warga sudah berdatangan di tempat penyelenggaraan acara
katoba.
Dalam pelaksanaan katoba warga yang datang tidak hanya datang dengan tangan kosong
tetapi mereka datang membawa buah tangan sesuai dengan kemampuan dan kerelaan masing-
masing. Ada yang bawah telur, ayam, jagung, minyak goren, beras, gula, kayu bakar, dan lain-
lain tanpa dimintai oleh tuan rumah atau diperintah oleh pihak lain. Selain itu, antara tuan rumah
dengan warga lain yang anaknya menjadi pesarta dalam ritual katoba tidak saling membebani.
Umumnya segala biaya dan kebutuhan yang diperlukan dalam ritual tersebut ditanggung
bersama-sama. Nuansa kebersamaan, keakraban dan kedermawanan sosial yang demikian
prominensia ini tentunya merupakan modal sosial budaya dalam merawat, menjaga keutuhan
dan eksistensi masyarakat Muna.

4.Simpulan
Tradisi katoba pada masyarakat Muna mengandung dimensi-dimensi integrasi sosial
sebagai berikut.
1. Adanya interaksi sosial masyarakat Muna yang bersifat asosiatif, yang ditandai dengan adanya
akulturasi antara nilai-nilai ajaran Islam dan animisme dalam budaya masyarakat Muna.
2. Ajaran-ajaran dalam nasihat katoba menekankan pada harmonisasi dalam kehidupan
masyarakat secara berkelanjutan, melaui nasihat-nasihat yang bermuatan dososo (penyesalan),
fekakodoho (menjauhi), fomiina (menidakkan), bhotusi (putuskan) dan hakunaasi (hak naas).
3. Pelaksanaan ritual katoba merupakan sarana mempererat dan memupuk kebersamaan,
keakraban dan mewujudkan solidaritas sosial sesama warga masyarakat Muna.
Daftar Pustaka
Basri, Ali.,Ode, La, Aso, La, Momo, H.,A, Mudana, Wayan, I, Taena, L, Salniwati, Janu, L, &
Aswati. (2017). The Valuas of Multicultural Education in Munanese Traditional Culture
.Asian Culture and History, 9(1), 33-39.
BPS. (2010). Kewarganegaraan-sukubangsa-gama-bahasa. Diakses 19 Oktober 2017, dari
http://demografi.bps.go.id.
Buchari, Astuti, Sri. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Endraswara, Suwardi. (2016). Berpikir Positif Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Fay, Brian. (2006). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer.Yogyakarta: Jendela
Garna, K. Judistira. (1993). Tradisi Transformasi Modernisasi dan Tantangan Masa Depan di
Nusantara. Bandung: Primaco Akademika
______,. (1996). Ilmu-ilmu Sosial Dasar Konsep dan Posisi. Bandung: PPs Unpad.
Ghufron, F. (2016). Ekspresi Keberagamaan di Era Milinium, Kemanusiaan Keragaman dan
Kewarganegaraan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Kartono, Kartini. (2015). Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Martodirdjo, S., Haryo. (1991). Orang Tugutil di Halmahera Struktur dan Dinamika Sosial
Masyarakat Penghuni Hutan. (Disertasi tidak diterbitkan) Universitas Pandjdjaran,
Bandung.
Sedyawati, Edi. (2014). Kebudayaan di Nusantara dari Keris Tor-tor Sampai Industri Budaya.
Depok: Komunitas Bambu.
Subhan, M. (2014). Bangsa Plural Tidak Boleh Keropos. Dalam: Tinjauan Kompas Menatap
Indonesia 2014 Tantangan Prospek Politik dan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Tarimana, Rauf, A. (1989). Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tilaar, R.A.H. (2007). Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
CURRICULUM VITAE

Nama : La Ode Ali Basri


Tempat Tanggal La hir : Watuputih, 19 Oktober 1974
Pendidikan : S1 Pendidikan Sejarah FKIP UHO, 2000
: S2 Ilmu Sosial Unpad, 2003
: S3 Kajian Budaya Unud 2010
Pengalaman Organisasi : 1. Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang
Sulawesi Tenggara 2012-Sekarang
2. Wakil Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Sulawesi
Tenggara, 2013- Sekarang
3. Ketua Dewan Pembina Forum Komunikasi Mahasiswa
Watuputih (FKMW), 2016- Sekarang
4. Wakil Ketua Himpunan Sarjana Ilmu Sosial Indonesia,
Cabang Sulawesi Tenggara, 2017-2021

Pengalaman Manajerial
Akademik : 1. Ketua Progaram Studi Magister (S2) Kajian budaya PPs Univ.
Halu Oleo (UHO) Kendari, 2011-2015
2. Dosen FIB UHO Kendari

You might also like