You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses kehamilan sampai melahirkan merupakan rantai satu kesatuan dari hasil
konsepsi. Gangguan dan penyulit pada kehamilan umumnya ditemukan pada kehamilan
resiko tinggi. Yang dimaksud dengan kehamilan resiko tinggi adalah kehamilan yang akan
menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar baik terhadap ibu maupun
terhadap janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas bila
dibandingkan dengan kehamilan persalinan dan nifas normal. Secara garis besar,
kelangsungan suatu kehamilan sangat bergantung pada keadaan dan kesehatan ibu, plasenta
dan keadaan janin.
Makrosomia adalah salah satu komplikasi pada kehamilan yang akan berdampak
buruk pada persalinan dan pada saat bayi lahir apabila komplikasi tersebut tidak dideteksi
secara dini dan segera ditangani. Bayi besar (makrosomia) adalah bayi yang begitu lahir
memiliki bobot lebih dari 4000 gram.Padahal pada normalnya, berat bayi baru lahir adalah
sekitar 2.500-4000 gram.Berat neonatus pada umumnya kurang dari 4000 gram dan jarang
melebihi 5000 gram. Frekuensi berat badan lahir lebih dari 4000 gram adalah 5,3% dan yang
lebih dari 4500 gram adalah 0,4%.
Persalinan dengan penyulit makrosomia umumnya faktor keturunan memegang
peranan penting.Selain itu janin besar dijumpai pada wanita hamil dengan diabetes mellitus,
pada postmaturitas dan pada grande multipara.Apabila kepala anak sudah lahir tetapi
kelahiran bagian-bagian lain macet janin dapat meninggal akibat asfiksia.Pada disproporsi
sefalopelvik (tidak seimbang kepala panggul) karena janin besar, seksio sesarea perlu
dipertimbangkan.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 DATA SUBJEKTIF

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. G
Umur : 31tahun
Suku/Bangsa : Melayu/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jln. DR.Tazar No. 34 RT 16 Buluran Kenali

Suami
Nama Suami : Tn. R
Umur : 27 tahun
Suku/Bangsa : melayu/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. DR.Tazar No. 34 RT 16 Buluran Kenali
No. MR : 361002

II. Anamnesis
Keluhan utama :
Os. Datang dengan keluhan mules - mules disertai keluarnya lendir bercampur
darah dari jalan lahir.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poli Rumah Sakit Raden Mattaher dengan rujukan dari bidan
setempat, pasien mules-mules dan mengatakan keluar lendir bercampur darah sejak 12
jam SMRS, mules-mules dirasakan menjalar sampai kepinggang dan semakin sering.
Gerakan janin dirasakan aktif.Pasien mengatakan bahwa dia rutin memeriksa keadaan
kehamilannya di bidan dan praktek dokter.Riwayat tekanan darah tinggi, jantung, asma
dan diabetes mellitus disangkal oleh pasien. Pada usia kehamilan 36 minggu, pasien
memeriksakan kehamilannya ke praktek dokter dengan TBJ 2500gr, dokter mengatakan
bahwa sejauh kehamilan 36 minggu ini masih dapat di lahirkan pervaginam dengan
syarat pola makan dijaga, agar berat janin tidak terlalu bertambah. Pada usia kehamilan
38 minggu pasien mengeluh mules-mules dan keluar lendir bercampur darah, kemudian
melakukan pemeriksaan kebidan setempat, kemudian bidan mengatakan bahwa telah
terjadi pembukaan 1 pada kehamilan pasien. Kemudian esok harinya pasien
memeriksakan kondisi kehamilannya ke poli, pada saat itu tidak terjadi kemajuan
persalinan, kemudian dokter menganjurkan untuk melakukan operasi SC.

.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), Hepatitis (-)

Riwayat Haid
Menarche umur : 13 tahun
Haid : teratur
Lama haid : 7 hari
Siklus : 28 hari
Warna : Merah tua
Bentuk Perdarahan/Haid : Encer
Bau Haid : Anyir
Flour Albus :-
Riwayat Perkawinan
Status perkawinan : Ya
Jumlah : 1 kali
Lama : 6tahun
Umur : 31 tahun
a. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
NN Tahun Umur Jenis Anak Ket
Penolong Penyulit Nifas
o partus Kehamilan Persalinan JK BB (gr)
1. 2014 Aterm Sc Dokter Bayi - LK 4600 Hidup
Besar
2. Ini

b. Riwayat KB

Pernah mendengar tentang KB : Pernah


Pernah menjadi aseptor KB : Pernah
Alat kontrasepsi yang pernah di pakai : IUD
III. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keturunan kembar : Tidak Ada
Hipertensi : Tidak ada
DM :+
Hepatitis : Disangkal
PJK : Disangkal
TB : Disangkal
2. Perilaku Kesehatan yang Lalu

DM : Disangkal
Hepatitis : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Tifoid : Disangkal
PJK : Disangkal
TB : Disangkal

2.2 DATA OBJEKTIF


a. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 78x/menit
Temperatur : 36,2 ºC
Pernapasan : 20x/menit
BB : 100 kg
TB : 156 cm
b. Pemeriksaan Obstetri
1. Inspeksi
a. Kepala : DBN
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Telinga : Dalam batas normal


Mulut dan gigi : Dalam bartas normal

b. Leher

Pembesaran Kelenjar Tiroid : Tidak ada


Pembesaran Kelenjar Limfe : Tidak ada
Pembesaran Vena Jugularis : Tidak ada
2. Dada
Inspeksi : Simetris, mammae tidak ada benjolan (+), pembesaran
mammae simetris (+), bekas luka (-), retraksi (-).

Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV
Perkusi : apex jantung berapa di ICS IV
Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop s3 (-)

Pulmo :

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri


Palpasi : Masa (-), Nyeri tekanan (-), krepitasi (- ), fremitus
taktil sama kanan dan kiri
Perkusi : vocal fremitus sama pada paru kiri dan kanan, sonor
seluruh lapangan paru kiri dan kanan
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/- basah halus, wheezing -/-
3. Abdomen
Inspeksi : Memanjang dan membesar , linea (+), striae (+), luka bekas
operasi (+)

Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), pembesaran hepar (-),
pembesaran lien (-)
Perkusi : Tympani (+) pada seluruh bagian abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
4. Ekstremitas : akral hangat, pucat (-),Edema (-/-),Simetris kiri dan kanan.

5 .GenitaliaExterna:
Labia Mayora/Minora : simetris
Pembengkakan Kelenjar Bartholini :Tidak ada

3. Palpasi
TFU : 40 cm
Leopold I : teraba massa lunak tidak melenting
Leopold II : punggung kiri
Leopold III : teraba masa keras melenting
Leopold IV : belum masuk PAP
TBJ : 4,495 gr
HIS :2x10’x15”

4. Auskultasi
Lokasi DJJ : Di bawah pusat
Frekuensi DJJ : 145x
Bising Usus : Positif

5. Pemeriksaan dalam
Portio : Tebal
Pembukaan :-
Ketuban :+
Penunjuk : UUK anterior kanan
Presentasi :Kepala
Penurunan :Hodge I
6. Pemeriksaan panggul:
a) Pintu Atas Panggul:
- Linea ingeminta: tidak dilakukan
- Promontorium : tidak dilakukan
- Conjugata vera : -
b) Pintu Tengah panggul:
- Dinding Panggul: tidak dilakukan
- Os sacrum: tidak dilakukan
- Spina Ischiadica: tidak dilakukan
c) Pintu Bawah Panggul
- Oc Coccygeus:
- Arcus Pubis:-

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Rutin (23-09-2017)
WBC : 7,12 x 10 3 /mm3
RBC : 3,99 x 10 6 /mm3
Hb : 10 g/dl
Ht : 31,2 %
PLT : 227x 109/mm3
MCV : 78,2
MCH : 25,1
MCHC : 321
b.GDS : 99 mg/dl

DIAGNOSIS
G2P1A0 gravida 38-39 minggu inpartu kala 1 fase laten JTH intrauterin, preskep +
Riwayat SC + Makrosomia

PENATALAKSANAAN
IFVD RL 500cc 20 tpm
Observasi KU dan TTV
Ceftiaxone 1x2 gr
R/ SC cito
LAPORAN OPERASI
Nama dokter : dr. Firmansyah, Sp.OG
Diagnosa pre operatif : G2P1A0 gravida 38-39 minggu inpartu kala 1 fase laten JTH
intrauterin, preskep + Riwayat SC + Makrosomia
Diagnosa post operatif : P2A0 Post SCTP dengan bekas SC + makrosomia
Tanggal operasi : 23 September 2017 pukul 17.30 wib
- Os tidur di meja operasi dengan anastesi spinal, desinfeksi daerah tindakan dengan
aseptik dan antiseptik
- Insisi dinding abdomen secara pfannenstel / Mediana sampai peritoneum terbuka
- Buka Plika Vesica Uteria
- Insisi SBR Seminular
- Luksir ( Kepala/ Bokong ) bayi hingga bayi lahir
JK: P BB:29kg PB:48 Jam: 13:25 A/S :7/8
- Lahir Plasenta secara manual, kesan lengkap
- Jahit SBR Secara jelujur dan over hecting, lakukan reperionisasi
- Bersihkan Cavum abdomen
- Perdarahan baru tidak ada
- Tutup dinding abdomen lapis demi lapis
- Tindakan Selesai

Instruksi post op :
- Observasi tanda-tanda vital
- Tidur memakai bantal
- Boleh minum perlahan
Terapi :
- Terpasang kateter
- Boleh minum bertahap
- Pengawasan TTV

Jam 18:30 SC selesai


FOLLOW UP
No Tanggal Follow up

1 24-09-2017 S : Os merasa nyeri pada luka bekas operasi


O : KU sedang GCS : 15 ( E4 M6 V5)
N: 80x/i
TD : 130/80
RR : 20 x/i
S : 36,2 C
Pemeriksaan fisik :
Thorax :
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-,
pupil isokor +/+
Pulmo: vesikuler (+/+), Rhonki basah halus (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop s3 (-), mumur (-)
Abdomen: soepel (+) konut : baik. TFU : 1 jari
dibawah pusat
Ektremitas : akral hangat, CRT< 2 detik , edema (-)
A : P2A0 post SCTP hari ke I a/i bekas sc dan
makrosomia

P:
Non medika mentosa :
- Asupan nutrisi
- Pantau TTV

Medika Mentosa :
- IVFD RL + drip ketorolac 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Tramadol 3x1amp
- Cek HB post op

2 25-09-2017 S : Os merasa sedikit nyeri pada luka bekas operasi


O : KU sedang GCS : 15 ( E4 M6 V5)
N: 80x/i
TD : 120/80
RR : 20 x/i
S : 36 C
Pemeriksaan fisik :
Thorax :
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-,
pupil isokor +/+
Pulmo: vesikuler (+/+), Rhonki basah halus (-/-)
Cor : BJ I/II regular, gallop s3 (-), mumur (-)
Abdomen : TFU: 2 jari dibawah pusat
Ektremitas : akral hangat, CRT< 2 detik , edema (-)

A : P2A0 post SCTP hari ke II a/i bekas sc dan


makrosomia
Non medika mentosa :
- Observasi KU dan TTV
- Menginformasikan hasil pemeriksaan pada
pasien

Medika Mentosa :
- Cefixime 2x100 mg
- As. Mafenamat 3x500 mg
- Vit. C 2x1
- Aff infus
- GV
- BLPL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Makrosomia adalah bayi yang berat badannya pada saat lahir lebih dari 4.000
gram..Berat neonatus pada umumnya kurang dari 4000 gram dan jarang melebihi 5000 gram.
Frekuensi berat badan lahir lebih dari 4000 gram adalah 5,3% dan yang lebih dari 4500 gram
adalah 0,4%. 1

B. ETIOLOGI
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan terjadinya kelahiran bayi besar / baby
giant.1
Faktor-faktor dari bayi tersebut diantaranya :
1. Bayi dan ibu yang menderita diabetes sebelum hamil dan bayi dari ibu yang
menderita diabetes selama kehamilan. Sering memiliki kesamaan, mereka
cenderung besar dan montok akibat bertambahnya lemak tubuh dan membesarnya
organ dalam, mukanya sembab dan kemerahan (plethonic) seperti bayi yang
sedang mendapat kortikosteroid. Bayi dari ibu yang menderita diabetes
memperlihatkan insiden sindrom kegawatan pernafasan yang lebih besar dari pada
bayi ibu yang normal pada umur kehamilan yang sama. Insiden yang lebih besar
mungkin terkait dengan pengaruh antagonis antara kortisol dan insulin pola sintesis
surfakton.
2. Terjadinya obesitas pada ibu juga dapat menyebabkan kelahiran bayi besar (bayi
giant).
3. Pola makan ibu yang tidak seimbang atau berlebihan juga mempengaruhi kelahiran
bayi besar.

C. TANDA DAN GEJALA1


 Berat badan lebih dari 4000 gram pada saat lahir
 Wajah menggembung, pletoris (wajah tomat)
 Besar untuk usia gestasi
 Riwayat intrauterus dari ibu diabetes dan polihidramnion
D. FAKTOR RESIKO1
Risiko bayi dan anak
Kemungkinan komplikasi makrosomia janin bagi bayi mungkin berupa:
• Kadar gula darah yang lebih tinggi dari ukuran normal. Seorang bayi yang didiagnosis
makrosomia janin lebih mungkin dilahirkan dengan tingkat gula darah yang lebih
tinggi (toleransi glukosa menjadi terganggu).
• Obesitas anak. Penelitian menunjukkan bahwa risiko obesitas meningkat seiring dengan
meningkatnya berat badan saat lahir.
• Sindrom metabolik. Sindrom metabolik merupakan sekelompok kondisi – peningkatan
tekanan darah, peningkatan gula darah, kelebihan lemak tubuh di sekitar pinggang,
atau kadar kolesterol abnormal- yang terjadi bersama-sama, sehingga meningkatkan
risiko penyakit jantung, stroke dan diabetes. Jika bayi anda didiagnosis dengan
makrosomia janin, dia berada pada risiko untuk mengembangkan sindrom metabolik
selama masa kanak-kanak.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah efek ini bisa meningkatkan
risiko diabetes dewasa, obesitas, dan penyakit jantung

Risiko Ibu
Kemungkinan komplikasi makrosomia janin bagi ibu mungkin mencakup:
• Masalah kelahiran. Makrosomia janin dapat menyebabkan bayi menjadi terjepit di jalan
lahir, mengalami cedera lahir, atau memerlukan penggunaan forsep atau perangkat
vakum selama persalinan (persalinan pervaginam operatif).Kadang-kadang C-section
juga diperlukan.
• Laserasi saluran kelamin. Selama persalinan, makrosomia janin dapat menyebabkan
bayi melukai jalan lahirnya - seperti dengan merobek jaringan vagina dan otot-otot
antara vagina dan anus (perineum otot).
• Perdarahan setelah melahirkan. Makrosomia janin meningkatkan risiko
ketidaksempurnaan kontraksi otot rahim sang ibu pasca melahirkan (atonia uteri).
Hal ini dapat menyebabkan pendarahan yang serius setelah melahirkan.
• Uterine yang pecah. Jika anda sudah pernah melakukan C-section atau operasi rahim
besar sebelumnya, maka makrosomia janin meningkatkan risiko pecahnya rahim -
komplikasi yang jarang namun serius, dimana rahim tergores hingga terbuka di
sepanjang garis bekas luka akibat C-section atau operasi rahim lainnya.C-section
darurat biasanya diperlukan untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK1
 Pemantauan glukosa darah, kimia darah, analisa gas darah
 Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht)

F. KOMPLIKASI1
Bayi besar juga kerap menjadi penyulit pada saat persalinan normal, karena dapat
menyebabkan cedera baik pada ibu maupun bayinya.
Kesulitan yang dapat terjadi adalah :
1. Kesulitan pada ibu :
a) Robekan hebat jalan lahir
b) Perdarahan
c) Terjadi peningkatan persalinan dengan sectio caesaria.
d) Ibu sering mengalami gangguan berjalan pasca melahirkan akibat
peregangan maksimal struktur tulang panggul. Keluhan keluhan tersebut bisa
sembuh dengan perawatan yang baik.
2. Pada bayi :
a) Terjadinya distosia bahu yaitu kepala bayi telah lahir tetapi bahu tersangkut
di jalan lahir.
b) Asfiksia pada bayi sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan untuk
melahirkan bahu.
c) Brachial Palsy (kelumpuhan syaraf di leher) yang ditandai dengan adanya
gangguan motorik pada lengan.
d) Patah tulang selangka (clavicula) yang sengaja dilakukan untuk dapat
melahirkan bahu.
e) Kematian bila bayi tidak dapat dilahirkan.
Makrosomia dapat meningkatkan resiko pada bayi mengalami hipoglikemia,
hipokalsemia, hiperviskostas, dan hiperbilirubinemia.

1. Hipoglikemia
Hipoglikemi sering terjadi pada bayi dari ibu yang menderita penyakit DM
karena cadangan glukosa rendah. Pada ibu DM terjadi transfer glukosa yang
berlebihan pada janin sehingga respon insulin juga meningkat pada janin. Saat lahir di
mana jalur plasenta terputus maka transfer glukosa berhenti sedangkan respon insulin
masih tinggi (transient hiperinsulinisme) sehingga terjadi hipoglikemi.
Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat
menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksi otak. Bila tidak dikelola
dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf pusat bahkan sampai
kematian.
Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup
selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir. Setiap stress yang terjadi
mengurangi cadangan glukosa yang ada karena meningkatkan penggunaan cadangan
glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermi, gangguan pernapasan.
Istilah hipoglikemia digunakan bila kadar gula darah bayi secara bermakna
dibawah kadar rata-rata. Dikatakan hipoglikemia bila kadar glukosa darah kurang dari
30 mg/dl pada semua neonatus tanpa menilai masa gestasi atau ada tidaknya gejala
hepoglikemia. Umumnya hepoglikemia terjadi pada neonatus umur 1 – 2 jam.

2. Hipokalsemia
Bayi menderita hipokalsemia bika kadar kalsium dalam serum kurang dari 7
mg/dl (dengan/tanpa gejala), atau kadar kalsium 10 n kurang dari 3 mg/dl.
Kejadiannya adalah kira-kira 50% pada bayi dari ibu penderita DM. Beratnya
hipokalsemia berhubungan dengan beratnya diabetes ibu dan berkurangnya fungsi
kelenar paranoid kadar kalsium terendah terjadi pada umur 24-72 jam.

3. Polestemia dan Hiperviskositas


Penyebab polestemia kurang jelas akan tetapi mungkin disebabkan oleh
meningkatnya produksi sel darah merah yang sekunder disebabkan oleh hipoksia intra
uterin kronik pada ibu dengan penyakit vaskuler dan oleh transfusi plasenta intra
uterin akibat hipoksia akut pada persalinan atau kelahiran.
Dengan adanya polisetemia akan menyebabkan hiperviskositas darah dan akan
merusak sirkulasi darah. Selain itu peningkatan sel darah yang akan dihemolisis ini
meningkatkan beban hederobin potensial heperbilirubinemia. Bayi makrosomia dapat
menderita fraktur klavikula, laserasi limpa atau hati cedera flesus brakial, palsi fasial,
cedera saraf frenik atau hemoragi subdural.
Hiperviskositas mengakibatkan menurunnya aliran darah dan terjadinya
hipoksia jaringan serta manifestasi susunan saraf pusat berupa sakit kepala, dizziness,
vertigo, stroke, tinitus dan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, skotoma
dan diplopia.

4. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit.Bilirubin
mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5.
Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa
minggu. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis,
kecuali:
a) Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
b) Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang
bulan >10 mg/dL
c) Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam
d) Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL
e) Ikterus menetap pada usia >2 minggu
f) Terdapat faktor resiko
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan
berumur lebih pendek.
- Fungsi hepar yang belum sempurna
SECTIO CAESAREA

a. Definisi
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan janin melalui
insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi).Definisi ini tidak
mencakup pengangkatan janin dari kavum abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan
abdominal.Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena
kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut
berlangsung pervaginam.

b. Epidemiologi
Seksio sesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk melahirkan
janin melalui sayatan perut dan dinding rahim.Seksio sesaria makin meningkat sebagai
tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan.Indikasi yang banyak dikemukakan adalah;
persalinan lama sampai persalinan macet, ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan
perdarahan antepartum.
Sejak tahun 1986 di Amerika satu dari empat persalinan diakhiri dengan seksio
sesaria. Di Inggris angka kejadian seksio sesaria di Rumah Sakit Pendidikan relatif stabil
yaitu antara 11-12 %, di Italia pada tahun 1980 sebesar 3,2% - 14,5%, pada tahun 1987
meningkat menjadi 17,5%. Dari tahun 1965 sampai 1988, angka persalinan sesarea di
Amerika Serikat meningkat progresif dari hanya 4,5% menjadi 25%. Sebagian besar
peningkatan ini terjadi sekitar tahun 1970-an dan tahun 1980-an di seluruh negara barat. Pada
tahun 2002 mencapai 26,1%, angka tertinggi yang pernah tercatat di Amerika Serikat.2,3,4,5
Di Indonesia angka persalinan dengan seksio sesaria di 12 Rumah Sakit Pendidikan
berkisar antara 2,1%-11,8%. 2,6,7

c. Klasifikasi Seksio Sesarea


Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu:
a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan dengan
melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari seluruh kasus seksio
sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan menggunakan teknik ini, karena
memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak
menimbulkan perlekatan. Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam
mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat
menimbulkan perdarahan. Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang
(secara Kronig).
b. yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila
segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang
erat pada vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada
segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan letak
terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga memiliki beberapa kerugian
yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit, kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada
kehamilan berikutnya dan kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen
lebih besar.
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelah seksio
sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain, pada uterus
miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi
dengan jahitan.2
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke dalam
rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek obstetri
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi peritoneum
dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke
garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.

d. Indikasi Seksio Sesarea


Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan suatu
persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan ibu), psikologi ibu
dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu faktor tersebut akan mengakibatkan
persalinan tidak berjalan dengan lancar bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat
membahayakan ibu dan janin jika keadaan tersebut berlanjut.
Indikasi untuk sectsio caesareaantara lain meliputi:
1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage
2. Indikasi Ibu
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan
3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat
Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang lebih lama
akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan keduanya, atau bila
persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan aman.

e. Kontraindikasi Seksio Sesarea


Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin sehingga
dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea. Dalam hal ini adanya
gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan pervaginam lebih dianjurkan karena
insisi yang ditimbulkan dapat seminimal mungkin.2

f. Komplikasi Seksio Sesarea


Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya.Morbiditas
pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan dengan persalinan pervaginam.Ancaman
utama bagi wanita yang menjalani seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan
sepsis yang berat, serangan tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada
luka.
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai 38,50C. Demam
pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah diagnosis yang menandakan
adanya suatu komplikasi serius .Morbiditas febris merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pasca pembedahan seksio seksarea.
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai kehilangan darah
lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat kegagalan mencapai homeostatis
di tempat insisi uterus maupun pada placental bed akibat atoni uteri.Komplikasi pada bayi
dapat menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma
persalinan.
VBAC (Vaginal Birth After Cesarean-section)

A. Definisi
VBAC (Vaginal Birth After Cesarean-section) adalah proses melahirkan normal
setelah pernah melakukan seksio sesarea. VBAC menjadi isu yang sangat penting dalam
ilmu kedokteran khususnya dalam bidang obstetrik karena pro dan kontra akan tindakan
ini. Baik dalam kalangan medis ataupun masyarakat umum selalu muncul pertanyaan,
apakah VBAC aman bagi keselamatan ibu.Pendapat yang paling sering muncul adalah
orang yang pernah melakukan seksio harus seksio untuk selanjutnya.Juga banyak para ahli
yang berpendapat bahawa melahirkan normal setelah pernah melakukan seksio sesarea
sangat berbahaya bagi keselamatan ibu dan seksio adalah pilihan terbaik bagi ibu dan
anak.
VBAC belum banyak diterima sampai akhir tahun 1970an. Melihat peningkatan
angka kejadian seksio sesarea oleh United States Public Health Service, melalui
Consensus Development Conference on Cesarean Child Birth pada tahun 1980
menyatakan bahwa VBAC dengan insisi uterus transversal pada segmen bawah rahim
adalah tindakan yang aman dan dapat diterima dalam rangka menurunkan angka kejadian
seksio sesarea pada tahun 2000 menjadi 15%.8 Pada tahun 1989 National Institute of
Health dan American College of Obstetricans and Gynecologists mengeluarkan statemen,
yang menganjurkan para ahli obstetri untuk mendukung "trial of labor" pada pasien-
pasien yang telah mengalami seksio sesarea sebelumnya, dimana VBAC merupakan
tindakan yang aman sebagai pengganti seksio sesarea ulangan. Walau bagaimanapun,
mulai tahun 1996 jumlah percobaan partus pervaginal telah berkurang dan menyumbang
kepada peningkatan jumlah partus secara seksio sesarea ulang.
Berbagai faktor medis dan nonmedis diperkirakan menjadi faktor penurunan
jumlah percobaan partus pevaginam ini.Faktor-faktor ini sebenarnya masih belum
difahami dengan jelas.Salah satu faktor yang paling sering dikemukan para ahli adalah
resiko ruptur uteri.Pada tindakan percobaan partus pervaginal yang gagal, yaitu pada
maternal yang harus melakukan seksio sesarea ulang didapati resiko komplikasi lebih
tinggi berbanding VBAC dan partus secara seksio sesarea elektif.Faktor nonmedis
termasuklah restriksi terhadap akses percobaan partus pervaginal.

B. Prasyarat VBAC
Panduan dari American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun
1999 dan 2004 tentang VBAC atau yang juga dikenal dengan trial of scar memerlukan
kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anastesi dan staf yang mempunyai
keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea emergensi. Sebagai penunjangnya
kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang telah di-crossmatch disiapkan dan alat
monitor denyut jantung janin manual ataupun elektronik harus tersedia .
Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap unit persalinan yang
melakukan VBAC harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio sesarea emergensi
dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi fetal distress atau ruptur
uteri.9

C. Faktor yang Berpengaruh


Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea
kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah syarat persalinan
pervaginam terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini dokter mendiskusikan dengan
pasien tentang pilihan serta resiko masing-masingnya. Tentu saja hak pasien untuk
meminta jenis persalinan mana yang terbaik untuk dia dan bayinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan persalinan pada pasien bekas
seksio sesarea telah diteliti selama bertahun-tahun. Ada banyak faktor yang dihubungkan
dengan tingkat keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio.
1. Teknik operasi sebelumnya
Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal merupakan
salah satu syarat dalam melakukan persalinan pervaginam, dimana pasien dengan tipe
insisi ini mempunyai resiko ruptura yang lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya.
Bekas seksio sesarea klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada
seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan kontraindikasi
melakukan persalinan pervaginam.
2. Jumlah seksio sesarea sebelumnya
Flamm tidak melakukan persalinan pervaginam pada semua bekas seksio
sesarea korporal maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan
atau lebih, sebab pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik
dibandingkan persalinan pervaginam
Risiko ruptura uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea
sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang
lebih tinggi untuk terjadinya ruptura uteri. Ruptura uteri pada bekas seksio sesarea 2
kali adalah sebesar 1.8 – 3.7 %. Caughey dan kawan-kawan mendapatkan bahwa
pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai risiko ruptura uteri lima kali
lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali. Spaan dkk mendapatkan bahwa riwayat
seksio sesarea yang lebih satu kali mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih
tinggi.
Jamelle menyatakan diktum sekali seksio sesarea selalu seksio sesarea tidaklah
selalu benar, tetapi beliau setuju dengan setelah dua kali seksio sesarea selalu seksio
sesarea pada kehamilan berikutnya , dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu dan
anak lebih tinggi.
Farmakides dkk (1987) melaporkan 77 % dari pasien yang pernah seksio
sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan pervaginam dan berhasil
dengan luaran bayi yang baik. ACOG 1999 telah memutuskan bahwa pasien dengan
bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan pervaginam dengan pengawasan yang
ketat
Miller 1994 melaporkan bahwa insiden ruptura uteri terjadi 2 kali lebih sering
pada persalinan ibu dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Keberhasilan
persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 1 kali adalah 83 % dan 75 % keberhasilan
persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 2 kali atau lebih.
3. Penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya
Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui
"potongan bikini" dan kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi kulit
vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang
ditutupi oleh kandung kencing disebut segmen bawah rahim, hampir 90 % insisi uterus
dilakukan di tempat ini berupa sayatan kesamping (seperti potongan bikini). Cara
pemotongan uterus seperti ini disebut " Low Transverse Cesarean Section ". Insisi
uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2 – 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat
dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini
dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat
pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan
berikutnya. Depp R menganjurkan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea,
terkecuali ada tanda-tanda ruptura uteri mengancam, parut uterus yang sembuh
persekundum pada seksio sesarea sebelumnya atau jika adanya penyulit obstetrik lain
ditemui.
Rosenberg menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan Ultra sonografi USG trans
abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat diketahui ketebalan segmen bawah rahim
. Ketebalan SBR 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang
sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR <
3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai
alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea.
Willams menyatakan bahwa penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu
regenerasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik. Dasar dari
keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas
sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya :
a. Tidak tampak atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada uterus pada
waktu dilakukan seksio sesarea ulangan.
b. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya
ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa
ditemukannya sikatrik diantaranya.
Mason menyatakan bahwa kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan
luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah
dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan
beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Ternyata pada regangan
maksimal terjadi ruptura bukan pada jaringan sikatriknya tetapi pada jaringan
miometrium dikedua sisi sikatrik.
Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang
mengalami ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya
utuh. Yang mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif
lebih kuat dari jaringan miometrium itu sendiri.
Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga
menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah :
a. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.
b. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak tepatnya pertemuan kedua
sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak beraturan,
penyimpulan yang tidak tepat, dan lain-lain.
Cooke menyatakan jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan
nekrosis jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik,
hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun technical error sebagai penyebab
lemahnya sikatrik.
Alasan melakukan seksio sesarea ulangan secara rutin sebagai tindakan
profilaksis terhadap kemungkinan terjadinya ruptura uteri tidak benar lagi. Pengetahuan
tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka
operasi yang baik dan pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang dapat
mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi panduan
apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan atau
tidak.
Pada sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi
uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan
multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginam
4. Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu
Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan persalinan
pervaginam pada bekas seksio sesarea, CPD memberikan keberhasilan persalinan
pervaginam sebesar 60 – 65 %. Fetal distress memberikan keberhasilan sebesar 69 – 73
%.
Keberhasilan persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea
ditentukan juga oleh keadaan dilatasi servik pada waktu dilakukan seksio sesarea yang
lalu. Persalinan pervaginam berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9
cm. Keberhasilan persalinan pervaginam menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea
yang lalu dilakukan pada keadaan distosia pada kala II.
Menurut Troyer (1992) pada penelitiannya mendapatkan keberhasilan
penanganan VBAC boleh dihubungkan dengan indikasi seksio sesarea yang lalu seperti
pada tabel dibawah ini :
Indikasi Seksio Lalu Keberhasilan VBAC (%)
Letak Sungsang 80.5
Fetal Distress 80.7
Solusio Plasenta 100
Plasenta Previa 100
Gagal Induksi 79.6
Disfungsi Persalinan 63.4
5. Usia ibu
Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 34 tahun.
Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun digolongkan resiko tinggi. Dari
penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun mempunyai angka
seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang berumur lebih dari 40 tahun dengan
bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk persalinan pervaginam lebih
besar tiga kali dari pada wanita yang berumur kurang dari 40 tahun.
Weinstein dkk mendapatkan pada penelitian mereka bahwa faktor umur tidak
bermakna secara statistik dalam mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginam
pada bekas seksio sesarea.
6. Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya
Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta
previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan insisi
uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian korpus uteri yang
mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea klasik.
7. Riwayat persalinan pervaginam
Riwayat persalinan pervaginam baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea
mempengaruhi prognosis keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio
sesarea.
Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan
pervaginam memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginam yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginam . Pada bekas seksio sesarea
yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginam, makin berkurang
kemungkinan ruptura uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan datang.
Walaupun demikian ancaman ruptura uteri tetap ada pada masa kehamilan maupun
persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio sesarea harus juga
diperhitungkan ruptura uteri pada kehamilan trimester ketiga terutama saat menjalani
persalinan pervaginam.
8. Keadaan serviks pada saat inpartu
Flamm mengatakan bahwa penipisan serviks serta dilatasi serviks memperbesar
keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Guleria dan Dhall 1997
menyatakan bahwa laju dilatasi seviks mempengaruhi keberhasilan penanganan
persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Dari 100 pasien bekas seksio sesarea
segmen bawah rahim di dapat 84 % berhasil persalinan pervaginam sedangkan sisanya
adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea
yang berhasil pervaginam pada fase laten rata-rata 0.88 cm/jam. Fase aktif 1.25
cm/jam. Sedangkan laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal
pervaginam pada fase laten rata-rata 0.44 cm / jam dan fase aktif adalah 0.42 cm
/jam.
Induksi persalinan dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptura uteri
pada wanita dengan bekas seksio sesarea. Dijumpai adanya 1 kasus ruptura uteri bekas
seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama dilakukan pematangan serviks
dengan transvaginal misoprostol sebelum tindakan induksi persalinan.
9. Keadaan selaput ketuban
Carrol melaporkan pasien dengan ketuban pecah dini (KPD) pada usia
kehamilan diatas 37 minggu dengan bekas seksio sesarea (56 kasus) proses
persalinannya dapat pervaginam dengan menunggu terjadinya inpartu spontan dan
didapat angka keberhasilan yang tinggi (91 % ) dengan menghindari pemberian induksi
persalinan dengan oxytosin, dengan rata-rata lama waktu antara terjadinya KPD sampai
terjadinya persalinan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi baik.

D. Induksi Persalinan
McDonagh MS et al dalam suatu sistematik review mengidentifikasi 14 penelitian
dan belum ada suatu penelitian yang baik untuk mengetahui keuntungan dan kerugian
induksi persalinan pada pasien dengan persalinan sesar sebelumnya. Mereka mendapatkan
bahwa induksi lebih sering mengakibatkan persalinan secara sesar dibandingkan dengan
persalinan spontan, yang secara tak terduga konsisten terlihat pada pasien tanpa parut
uterus.Angka persalinan sesar pada pasien dengan riwayat sesar yang mengalami
persalinan spontan dan induksi dengan oksitosin kira-kira 20% (11-35%) dan 32% (18-
44%). (Wing)
Dodd JM et al pada suatu sistematik review yang lain menduga risiko ruptura parut
uterus pada lebih dari 20 ribu pasien dengan riwayat sesar antara tahun 1987-1996. Rata-
rata terjadi ruptur 4,5 per 1000 (91 dari 20.095). Pada persalinan dengan induksi perlu
pertimbangan selanjutnya terhadap risiko yang berhubungan dengan induksi prostaglandin
dan non-prostaglandin. Sedangkan McDonagh mengemukakan OR ruptur uteri adalah
6,15 (95% CI 0,74-51,4) untuk induksi persalinan dibanding dengan persalinan spontan.
1. Induksi dengan oksitosin
Suatu sistematik review secara retrospektif mengumpulkan data bahwa pada
pasien dengan riwayat persalinan sesar tidak didapatkan gangguan parut uterus yang
lebih besar pada pasien yang menggunakan oksitosin dalam persalinan dibandingkan
dengan persalinan spontan. (OR 2,1 95% CI 0,76-5,78). Hasil ini memberikan
pengertian yang serius karena tidak adanya data yang cukup dari percobaan random,
kualitas kontrol penelitian yang kurang baik dan pengamatan yang kebanyakan
rangkaian dilaporkan tentang peningkatan risiko ruptura uteri dengan induksi tetapi
dengan interval kepercayaan yang luas sehingga arti statistik tidak bisa ditunjukkan.
Penting juga dicatat bahwa maksimal dosis oksitosin yang digunakan jarang dilaporkan
dengan begitu ambang batas dosis yang dapat menyebabkan ruptura uteri tidak dapat
dipastikan dari data yang ada.

Suatu penelitian prospektif terbesar mengevaluasi risiko ruptura pada wanita


dengan satu atau lebih persalinan sesar (n=17.898 trials of labor dan 15.801 seksio
sesar ulangan) tidak tercakup dari analisis tersebut di atas. Dalam rangkaian ini wanita
yang di induksi dengan oksitosin secara signifikan mempunyai risiko tertinggi terjadi
ruptura uteri dibanding dengan persalinan spontan (OR 3.01, 95% CI 1,66-5,46). Angka
kategori kejadian ruptura uteri adalah:

a. Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 0


b. Persalinan spontan adalah 4 dari 1000
c. Induksi persalinan dengan oksitosin adalah 11 dari 1000

Data ini tidak memberikan kesimpulan yang pasti seperti pada penggunaan
oksitosin untuk induksi persalinan pada wanita yang mencoba vaginal birth after
caesarean (VBAC) yang berhubungan peningkatan risiko ruptura uteri. Yang pasti
pengambilan keputusan klinis seperti pada penggunaan oksitosin pada pasien dengan
riwayat sesar dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ada tidaknya aktivitas uterus
sebelumnya, kondisi pembukaan serviks, usia kehamilan saat induksi, riwayat
persalinan vaginal sebelumnya dan indikasi induksi. Tidak adanya data yang pasti
menunjukkan risiko tinggi ruptura, Wing et all menggunakan oksitosin untuk induksi
persalinan pada VBAC jika ada indikasi standar obstetrik.
2. Induksi dengan prostaglandin

Sama halnya dengan oksitosin, pada penggunaan prostaglandin belum ada data
dari percobaan random yang besar dan kurangnya data dari kontrol penelitian yang
berkualitas sebagai dasar rekomendasi penggunaan prostaglandin atau agen lain untuk
induksi pada VBAC.
Perhatian tentang penggunaan prostaglandin muncul setelah adanya publikasi
penelitian cohort dari 20.095 primipara yang melahirkan bayi tunggal secara sesar dan
sesudahnya melahirkan bayi kedua. Angka kejadian rupture adalah:
a. Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 1,6/1000
b. Persalinan spontan adalah 5,2/1000
c. Induksi bukan prostaglandin adalah 7,7/1000
d. Induksi prostaglandin adalah 24,5/1000
Kejadian ruptura pada persalinan spontan dan persalinan induksi bukan dengan
prostaglandin secara signifikan tidak berbeda, tetapi keduanya lebih tinggi dibanding
dengan seksio sesar ulangan belum dalam persalinan.Risiko ruptura tertinggi terjadi
pada induksi persalinan dengan prostaglandin. Dibandingkan dengan seksio sesar
ulangan belum dalam persalinan risiko rupture pada persalinan spontan adalah RR
3,3(95% CI 1,8-6,0) dan dengan prostaglandin RR 15,6 (95% CI 8,1-30,0).
Landon (2004) membandingkan risiko ruptura penggunaan prostaglandin
(140/10.000) dengan foley kateter (89/10.000) untuk dilatasi serviks. Suatu penelitian
retrospektif yang besar di skotlandia pada lebih 36.000 wanita dengan riwayat sesar,
4.600 diantaranya menggunakan prostaglandin menunjukkan peningkatan risiko ruptura
uteri sebagai penyebab utama kematian perinatal yang berhubungan dengan
penggunaan prostaglandin.
ACOG ( American College of Obstetricians and Gynecologists) menyarankan
adanya konseling seperti risk dan benefit terhadap induksi persalinan, seleksi wanita
yang akan menjalani VBAC dan menghindari penggunaan prostaglandin E1 dan
oxytosin. SOGC (Society of Obstericians and Gynaecologists of Canada) juga
merekomendasi hal yang sama.

3. Induksi dengan mekanik


Data metode mekanik untuk cervical ripening sangat terbatas. Menggabungkan
hasil dari dua penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian ruptura pada induksi
dengan transervikal foley kateter/oksitosin sama dengan persalinan spontan pada
VBAC yaitu 5 dari 384 (1,3%) atau 22 dari 2081 (1,1%).

E. Indikasi dan Kontraindikasi VBAC


1. Indikasi
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 1999
dan 2004 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan untuk
persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea.

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria seleksinya adalah berikut :


a. Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim.
b. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik.
c. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus.
d. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinan dan
seksio sesarea emergensi.
e. Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea darurat.

Menurut Cunningham FG (2001) kriteria yang masih kontroversi adalah :


a. Parut uterus yang tidak diketahui
b. Parut uterus pada segmen bawah rahim vertikal
c. Kehamilan kembar
d. Letak sungsang
e. Kehamilan lewat waktu
f. Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram
2. Kontraindikasi
Menurut Depp R (1996) kontra indikasi mutlak melakukan VBAC adalah :
a. Bekas seksio sesarea klasik
b. Bekas seksio sesarea dengan insisi T
c. Bekas ruptur uteri
d. Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas
e. Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri contohnya miomektomi
f. Disproporsi sefalopelvik yang jelas
g. Pasien menolak persalinan pervaginal
h. Panggul sempit
i. Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi persalinan
pervaginal

F. Resiko VBAC10
1. Terhadap ibu
Menurut Kirt EP dan Goldberg menyatakan resiko terhadap ibu yang melakukan
persalinan pervaginal dibandingkan dengan seksio sesarea ulangan elektif pada bekas
seksio sesarea adalah seperti berikut :
a. Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan pervaginal yang
berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan elektif
b. Pada persalinan pervaginal yang gagal yang dilanjutkan dengan seksio sesarea
insiden demam lebih tinggi
c. Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan pervaginal
dibanding dengan seksio sesarea elektif
d. Dehisensi atau ruptur uteri setelah gagal persalinan pervaginal adalah 2.8 kali dari
seksio sesarea elektif
e. Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan pervaginal sangat
rendah
f. Kelompok persalinan pervaginal mempunyai rawat inap yang lebih singkat,
penurunan insiden transfusi darah pada paska persalinan dan penurunan insiden
demam paska persalinan dibanding dengan seksio sesarea elektif
2. Terhadap bayi
Angka kematian perinatal dari hasil penelitian terhadap lebih dari 4.500
persalinan pervaginal adalah 1.4% serta resiko kematian perinatal pada persalinan
percobaan adalah 2.1 kali lebih besar dibanding seksio sesarea elektif namun jika berat
badan janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat tidak diperhitungkan maka angka
kematian perinatal dari persalinan pervaginal tidak berbeda secara bermakna dari seksio
sesarea ulangan elektif (Kirk, 1990).
Menurut Flamm BL melaporkan angka kematian perinatal adalah 7 per 1.000
kelahiran hidup pada persalinan pervaginal, angka ini tidak berbeda secara bermakna
dari angka kematian perinatal dari rumah sakit yang ditelitinya yaitu 10 per 1.000
kelahiran hidup.
Menurut Caughey AB melaporkan 463 dari 478 (97 %) dari bayi yang lahir
pervaginal mempunyai skor Apgar pada 5 menit pertama adalah 8 atau lebih. Menurut
McMahon bahwa skor Apgar bayi yang lahir tidak berbeda bermakna pada VBAC
dibanding seksio sesarea ulangan elektif.Menurut Flamm BL juga melaporkan
morbiditas bayi yang lahir dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal VBAC lebih
tinggi dibandingkan dengan yang berhasil VBAC dan morbiditas bayi yang berhasil
VBAC tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal.

G. Sistem Skoring
Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal bekas seksio
sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring.Flamm dan Geiger menentukan
panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem
skoring.Weinstein dkk juga telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio
sesarea.
Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger yang ditentukan untuk memprediksi
persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera pada table
dibawah ini:
No Karakteristik Skor

1 Usia < 40 tahun 2

2 Riwayat persalinan pervaginam


- sebelum dan sesudah seksio sesarea 4
- persalinan pervaginam sesudah seksio sesarea 2
- persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea 1
- tidak ada 0

3 Indikasi seksio sesarea pertama bukan kegagalan kemajuan 1


persalinan
4
Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah Sakit
dalam keadaan inpartu:
- 75 % 2
- 25 – 75 % 1
- < 25 % 0
5 Dilatasi serviks 4 cm 1

Dari hasil penelitian Flamm dan Geiger terhadap skor development group
diperoleh hasil seperti tabel dibawah ini:
Skor Angka Keberhasilan (%)
0–2 42-49
3 59-60
4 64-67
5 77-79
6 88-89
7 93
8 – 10 95-99
Total 74-75

Weinstein juga telah membuat suatu sistem skoring yang bertujuan untuk
memprediksi keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea, adapun sistem
skoring yang digunakan adalah :
Faktor Ya Tidak

Bhisop Score ≥ 4 0 4

Riwayat persalinan pervaginal sebelum seksio sesaria 0 2

Indikasi seksio sesaria


 Malpresentasi, Preeklamsi/Eklamsi, Kembar 0 6
 HAP, PRM, Persalinan Premature 0 5
 Fetal Distress, CPD, Prolaps tali pusat 0 4
 Makrosomia, IUGR 0 3

Angka keberhasilan persalinan pervaginal pada bekas seksio sesarea pada sistem
skoring menurut Weinstein adalah seperti di tabel berikut :
Skor Angka Keberhasilan (%)
≥4 ≥4
≥6 ≥ 67
≥8 ≥ 78
≥ 10 ≥ 85
≥ 12 ≥ 88

H. Monitoring
Ada beberapa alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan
persalinan pervaginam.Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea lebih
tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah yang banyak,
peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah lama rawatan masa nifas di
Rumah Sakit. Juga akan memperlama perawatan di rumah dibandingkan persalinan
pervaginam. Sebagai tambahan biaya Rumah Sakit akan dua kali lebih mahal.
Walaupun angka kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam setelah seksio
sesarea adalah rendah, tapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada janin dan ibu. Untuk
antisipasi perlu dilakukan monitoring pada persalinan ini.
Pasien dengan bekas seksio sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu
antenatal maupun pada waktu persalinan. Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui
monitor kardiotokografi kontinu; denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat
membantu untuk mengidentifikasi ruptura uteri lebih dini sehingga respon tenaga medis
bisa cepat maka ibu dan bayi bisa diselamatkan apabila terjadi ruptura uteri.

I. Komplikasi
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan
pervaginam adalah ruptura uteri. Ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea sering
tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang khas. Dilaporkan bahwa kejadian ruptura
uteri pada bekas seksio sesarea insisi Segmen Bawah Rahim lebih kecil dari 1 % (0,2 – 0,8
% ). Kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat insisi seksio
sesarea korporal dilaporkan oleh Scott dan American College of Obstetricans and
Gynekologists adalah sebesar 4 – 9 %. Farmer melaporkan kejadian ruptura uteri selama
partus percobaan pada bekas seksio sesarea sebanyak 0,8% dan dehisensi 0,7%
Apabila terjadi ruptur uteri maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan keluar
dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
pada ibu, gawat janin dan kematian janin serta ibu. Kadang-kadang harus dilakukan
histerektomi emergensi. Kasus ruptura uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea
klasik dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptura uteri pada
seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada segmen bawah
rahim 0,5-1 %
Tanda yang sering dijumpai pada ruptura uteri adalah denyut jantung janin tak
normal dengan deselerasi variabel yang lambat laun menjadi deselerasi lambat,
bradiakardia, dan denyut janin tak terdeteksi. Gejala klinis tambahan adalah perdarahan
pervaginam, nyeri abdomen, presentasi janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu.

Tanda-tanda ruptura uteri adalah sebagai berikut :


a. Nyeri akut abdomen
b. Sensasi popping (seperti akan pecah)
c. Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan Leopold
d. Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi
e. Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginam
f. Perdarahan pervaginam
Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan
persalinan pervaginam karena risiko ruptura 2-10 kali dan kematian maternal dan perinatal
5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim.
Bila infeksi sebagai penyebab keputihan tidak diobati maka dapat menimbulkan
beberapa keadaan seperti infeksi di saluran kencing, abses bartolini, peradangan panggul,
bahkan sampai menimbulkan gangguan haid dan kemandulan. Dari segi psikis juga
menimbulkan rasa takut dan cemas akan bahaya keputihan, persepsi yang salah bahwa
keputihan merupakan awal dari penyakit kelamin atau awal dari kanker bisa menyebabkan
penderita mengalami depresi dari ringan sampai berat.
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis

Anamnesis
Teori Kasus
 Riwayat Obstetri: Riwayat  Merupakan kehamilan kedua
persalinan SC, janin besar pasien dengan usia kehamilan 38-
 Riwayat penyakit DM 39 minggu
 Pasien riwayat persalinan SC dan
bayi besar
 Riwayat penyakit DM tidak ada

Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
 Antropometri Ibu  Berat badan ibu 100kg.
- Terjadinya obesitas pada ibu juga
dapat menyebabkan kelahiran bayi
besar.
- Pola makan ibu yang tidak
seimbang atau berlebihan juga
mempengaruhi kelahiran bayi
besar.
 Pada Palpasi didapatkan TFU= 40
 Pemeriksaan Abdomen cm
- Ukuran janin > 4 kg  Taksir berat badan janin: (40-11)
Kepala masih diatas PAP x 155 = 4,495 gram

Pemeriksaan leopold

 Leopold I : teraba bokong


 Leopold II :terabapunggung
disebelah kiri ibu
 Leopold III : teraba kepala
 Leopold IV : belum masuk PAP

Pemeriksaan Dalam
Teori Kasus

VT :vulvovagina normal, portio tebal,


pembukaan(-), ketuban (+), bagian
terdepan kepala, penurunan hodge I ,
pelepasan lendir dan darah (+).

Kemajuan Persalinan
Teori Kasus
Distosia adalah persalinan yang Pasien sudah mengalami pembukaan 1
abnormal atau sulit dan ditandai sejak jam 23:00 malam satu hari sebelum
dengan terlalu lambatnya kemajuan ke rumah sakit, pada jam 11 siang
persalinan. 30% ibu dengan berikutnya , dipoli rumah sakit masih
persalinan berkepanjangan mengalami pembukaan 1 tidak ada kemajuan dari
disproporsi sefalopelvik. pembukaan serviks.

Penunjang Diagnostik
Teori Kasus
 Pemantauan glukosa darah,  Selama masa kehamilannya,
kimia darah, analisa gas darah pasien rutin melakukan
 Hemoglobin (Hb), Hematokrit pemeriksaan kehamilan di bidan
(Ht) dan selalu melakukan
pemeriksaan USG di Praktek
Dokter.
 pemeriksaan glukosa darah : 99
 Hb : 10 gr% Ht :31,2 %

Tatalaksana

Teori Kasus
 Partus Percobaan Pada pasien dilakukan sectio caesarea
- Trial of labor
- Test of labor
 Seksio caesarea
BAB V

KESIMPULAN

Makrosomia adalah bayi yang berat badannya pada saat lahir lebih dari 4.000
gram.Faktor-faktor dari bayi tersebut diantaranya :Bayi dan ibu yang menderita diabetes
sebelum hamil dan bayi dari ibu yang menderita diabetes selama kehamilan,terjadinya
obesitas pada ibu pola makan ibu yang tidak seimbang atau berlebihan.
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan janin melalui
insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi ).
VBAC (Vaginal Birth After Cesarean-section) adalah proses melahirkan normal
setelah pernah melakukan seksio sesarea.Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan
dilakukan seksio sesarea kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah
syarat persalinan pervaginam terpenuhi atau tidak

You might also like