You are on page 1of 18

1

KARYA TULIS ILMIAH


FEVER MANAGEMENT PADA PASIEN DENGAN HIPERTERMIA DI
RST BHAKTI WIRATAMTAMA
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Ajar Komperehensif

Oleh:
SAFINA AFRIANI
22020113210051

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XXII


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
JULI, 2014
2

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT


yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulisnya yang berjudul “FEVER MANAGEMENT PADA
PASIEN DENGAN HIPERTERMIA DI RST BHAKTI WIRATAMTAMA”
sesuai dengan apa yang penulis harapkan.
Karya tulis ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam mata kuliah
Komprehensif di Program Pendidikan Profesi Ners Angkatan XXII Universitas
Diponegoro Semarang.Dalam karya tulis ini, banyak pihak yang telah membantu.
Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Niken Safitri D.K., S.Kep, M.Kep selaku pembimbing komprehensif yang
telah membimbing dan mendampingi penulis melakukan intervensi pada pasien.
2. Tn. A beserta keluarganya yang telah bersedia menjadi responden dan membantu
penulis dalam study ini.
3. Kedua orang tuaku selaku pemberi dukungan bagi Penulis.
4. Perawat ruang Nusa Indah RS Bhakti Wira Tamtama Semarang yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan praktek keperawatan.
5. Teman-teman profesi Ners angkatan XXII atas kebersamaaannya selama ini.
6. Pihak-pihak yang telah membantu penyusunan penelitian ini yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu per satu
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan karya ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dengan ini penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua
pihak yang bersifat sifat membangun untuk perbaikkan lebih lanjut.

Semarang, Juli 2014

Penulis
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar
paratyphi A, B, dan C juga dapat me- nyebabkan infeksi yang disebut
demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid ter- masuk ke dalam demam
enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik ada- lah demam
tifoid. ( Nelwan, 2012) Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering
diperbincangkan.
Di Indonesia kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-undang
nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia insidens penyakit tersebut
tergolong masih tinggi. Penyakit tersebut diduga erat hubungannya dengan
hygiene perorangan yang kurang baik, sanitasi lingkungan yang jelek
(misalnya penyediaan air bersih yang kurang memadai, pembuangan
sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan,
pengawasan makanan dan minuman yang belum sempurna), serta fasilitas
kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (Henry, 2009).
Di Indonesia, prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19
tahun. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi proses tumbuh
kembang, produktivitas kerja, prestasi kerja atau belajar, karena bila
penderita terkena penyakit ini setidaknya akan mengurangi jam kerja antara 4-6
minggu, terlebih bila disertai dengan komplikasi intestinal (perdarahan
intestinal, perforasi usus) atau komplikasi ekstra intestinal (komplikasi
hematologik, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, miokarditis, tifoid toksik).(
Henry, 2009)
4

Penyakit demam thypoid ditularkan melalui konsumsi makanan atau


minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala
biasanya muncul 1-3 minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat.
Gejala meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu
makan, sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose spots),
dan pembesaran limpa dan hati. (Inawati, 2009)
Demam terjadi akibat dari adanya infeksi pada saluran pencernaan. Demam
yang berkepanjangan dapat meningkatkan beberapa resiko seperti resiko
kekurangan volume cairan bahkan bisa menyebabkan kejang. Oleh karena itu,
penatalaksanaan demam pada demam thypoid perlu dilakukan untuk
mengurangi resiko tersebut.
Demam tidak hanya terjadi pada pasien dengan demam thypoid. DHF juga
merupakan salah satu penyakit yang ditandai dengan terjadinya peningkatan
suhu di atas normal. Hal tersebut juga serupa dengan thypoid, peningkatan suhu
yang disebabkan oleh suatu infeksi namun yang membedakan adalah DHF
merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Namun, demam pada
DHF memiliki fase- fase dimana terdapat fase kritis yang ditunjukan dengan
penurunan suhu tubuh.
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan di ruang Nusa Indah
didatapkan hasil bahwa Tn. A dengan diagnosa medis demam thypoid. Data
subjektif menunjukan keluarga Tn. A mengatakan Tn. A sudah demam sejak
sore. Data objektif suhu tubuh Tn. A 38,2 0 C, kulit merah terasa hangat. Hasil
laboratorium menunjukan S. Parathypi B O 1/80 (high), S. Parathypy C O 1/160
(high), S. Parathypi B H 1/80 (high). Dari hasil pengkajian tersebut ditemukan
masalah keperawatan hipertermia, oleh karena itu perlu dilakukan intervensi
keperawatan guna mengatasi masalah tersebut. dalam karya tulis ini, penulis ingin
menggambarkan pengaruh intervensi keperawatan Fever Management untuk
mengatasi masalah hipertermia.
5

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memberikan perawatan secara komprehensif dalam pengelolaan pasien
dengan masalah hipertermia.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menyiapkan klien dengan pemenuhan kebutuhan
nutrisi baik secara fisik, psikologis, dan sosial selama di rumah sakit dan
setelah pulang ke rumah.
b. Mahasiswa mampu meningkatkan perawatan yang berkelanjutan pada
klien dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi
c. Mahasiswa mampu membantu merujuk klien dengan pemenuhan
kebutuhan nutrisi pada sistem pelayanan kesehatan.

C. Manfaat
1. Bagi Klien
Membantu klien mencapai kesehatan yang optimal yang dibantu oleh pihak
keluarga dalam melakukan melakukan perawatan di rumah sakit serta
meningkatkan kualitas hidup dengan menurunkan komplikasi penyakit.
2. Bagi Pelayanan Rumah Sakit
Memberikan informasi dan gambaran kepada pihak rumah sakit mengenai
discharge planning pada klien sehingga pihak rumah sakit dapat
memberikan tindak lanjut yang sistematis yang digunakan untuk menjamin
kontinuitas perawatan klien.
3. Bagi Penulis
Menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan asuhan
keperawatan secara komprehensip pada pasien dengan demam thypoid.
6

BAB II
MIND MAPING

A. Kasus 1

Bakteri Salmonella typhii


masuk melalui saluran cerna

Sebagian besar bakteri


Demam Infeksi
mati oleh asam lambung
yang meningkat

Hipertermia

Mual muntah

Tujuan: Termoregulasi dalam


kondisi normal Resiko kekurangan
Kriteria hasil:
volume cairan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam:
 Suhu tubuh klien dalam
Fever Management
batas normal (36-37,50 C)
a. Beri kompres air hangat di
 Kulit tidak kemerahan bagian leher atau ketiak.
 Kulit tidak terasa panas b. Anjurkan klien banyak
minum air putih
c. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang
tipis
d. Observasi tanda- tanda vital
e. Kolaborasi pemberian
antipiretik dan antibiotik.
7

B. Kasus 2

Hepatomegali

Demam Infeksi virus dengue Permeabilitas vaskuler naik

Kebocoran plasma
Resiko dehidrasi Mual muntah

Resiko kekurangan volume hipovolemia


cairan

Hipertermia

Fever Management
Tujuan: Termoregulasi dalam f. Beri kompres air hangat di
kondisi normal bagian leher atau ketiak.
Kriteria hasil: g. Anjurkan klien banyak
Setelah dilakukan tindakan minum air putih
keperawatan selama 3 x 24 h. Anjurkan pasien untuk
jam: menggunakan pakaian yang
 Suhu tubuh klien dalam tipis
batas normal (36-37,50 C) i. Observasi tanda- tanda vital
 Kulit tidak kemerahan j. Kolaborasi pemberian
 Kulit tidak terasa panas antipiretik dan antibiotik.
8

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Kasus 1
1. Perawatan di Rumah Sakit
Klien datang ke IGD RS. Bhakti Wiratamtama pada tanggal 16 Juni 2014
Pukul 08.05 WIB dengan keluhan demam, mual, muntah satu kali berwarna
putih kecokelatan, BAB cair satu kali berwarna kuning tidak berlendir. Di
IGD didapatkan hasil pengkajian tekanan darah 90/60 mmHg, HR 74 bpm,
RR 22 rpm dan Suhu 38.2 0C, kulit terasa hangat dan kemerahan, hasil widal
menunjukan S. Parathypi B O 1/80 (high), S. Parathypy C O 1/160 (high), S.
Parathypi B H 1/80 (high).
Pada pukul 08.30 WIB klien dipindahkan di ruang Nusa Indah untuk
mendapatkan perawatan. Dari data hasil pengkajian dan observasi diatas,
perawat melakukan analisa data berdasarkan dignosa NANDA tahun 2012-
2014 dan kemudian membuat rumusan masalah diagnose keperawatan yang
harus segera mendapatkan penanganan agar tidak menimbulkan masalah baru
lain yang lebih gawat. Diagnosa yang dapat diangkat adalah Hiperterima
berhubungan dengan proses infeksi penyakit yang ditunjukan dengan data
pengkajian keluhan pasien demam selama satu hari. Data Objektif Suhu 38.2
0
C, kulit terasa hangat dan kemerahan, hasil widal menunjukan S. Parathypi B
O 1/80 (high), S. Parathypy C O 1/160 (high), S. Parathypi B H 1/80 (high).
Intervensi atau rencana keperawatan yang disusun berdasarkan diagnose
keperawatan NIC dan kriteria hasil NOC adalah dengan Fever management
dan Health Education pada keluarga. Adapun tindakan yang dilakukan pada
Fever Management adalah memberikan kompres air hangat dan diletakkan di
leher klien. Keluarga diberikan Health Education tentang pemberian kompres
air hangat. Selain itu, penerapan dari Fever Management yang lainnya adalah
menganjurkan klien untuk meminum air putih yang banyak, serta
9

menggunakan pakaian yang tipis untuk pengeluaran panas tubuh klien. Klien
dan keluarga diberikan informasi tentang manfaat dan tujuan dari anjuran
untuk meminum air putih yang banyak seperti mengurangi resiko dehidrasi.
Tindakan lainnya yang dilakukan adalah dengam mengobservasi tanda- tanda
vital klien guna mengetahui perkembangan kondisi klien, apakah terjadi
penurunan suhu atau pun peningkatan tekanan darah maupun nadi klien.
Tindakan lain dari Fever Management yang dilakukan adalah kolaborasi
dengan farmakilogi, yakni penggunaan antipiretik dan antibiotik. Adapun
antipiretik yang diberikan pada klien adalah paracetamol 3x 500 mg dan
antibiotik yang diberikan kepada klien adalah ceftriaxone 2x 1000 mg melalui
IV.
Implementasi Fever Management di rumah sakit telah dilakukan mulai
tanggal 16 juni 2014 pukul 09.00 WIB sampai dengan 18 Juni 2014. Suhu
pasien. Data subjektif selama perawatan keluarga klien mengatakan sudah
mampu melakukan kompres air hangat sendiri, selain itu keluarga juga
mengaku sering memotivasi dan memberikan klien air putih untuk diminum.
Data objektif menunjukan pada hari kedua dan hari ketiga implementasi Fever
Management pada saat pengukuran tanda- tanda vital, suhu tubuh klien
menunjukan 37,30 C dan 36,50 C. keluarga juga melaporkan badan klien
sudah tidak terasa panas lagi dan klien bisa tidur dimalam hari.
Evaluasi dilakukan setelah di rawat selama 3 hari yaitu pada tanggal 18
Juni 2014 pukul 13.15 WIB. Data yang didapatkan adalah keadaan klien
cukup membaik, klien mengatakan sudah tidak demam lagi, badanya lebih
segar dari pada sebelumnya. Klien mengatakan sudah minum air putih
banyak. Kulit terasa hangat tidak berwarna kemerahan, suhu tubuh 36,50 C.
Masalah hipertermia pada klien pun bisa diatasi. Dischrage planning yang
disusun untuk masalah klien tentang hipertermia adalah dengan tetap
memonitoring suhu tubuh dan hasil laboratorium klien. Menganjurkan klien
10

untuk banyak minum air putih serta memberikan kompres hangat dan
kolaborasi antipiretik jika sewaktu- waktu demam timbul kembali.

2. Perawatan di rumah
Pada saat proses home care tanggal 20 Juni 2014, didapatkan hasil dari
pemeriksaan tanda- tanda vital sebagai berikut, tekanan darah 100/60 mmHg,
nadi 80x/menit, pernapasan 19 x/menit, dan suhu 36,40 C. klien mengatakan
sudah tidak demam lagi, dan masih memiliki obat paracetamol yang dia
konsumsi kalau demam datang kembali.

B. Kasus 2
1. Perawatan di Rumah Sakit
Pasien datang ke IGD RS Bhakti Wira Tamtama Semarang dengan
keluhan demam dan pusing sejak 3 hari yang lalu. Klien mengalami pingsan
selama tiga kali hingga kejadian pingsan yang terakhir menyebabkan injury
pada telinga kiri klien. Daun telinga klien sebelah kiri robek sepanjang 4 cm.
Teman klien memutuskan untuk membawa klien ke IGD RS Bhakti
Wiratamtama Semarang.
Setelah di IGD didapatkan hasil pegkajian pasien tampak lemas, kulit
teraba hangat dengan kesadaran komposmentis, Vital sign : Tekanan darah
100/60 mmHg, Heart rate 76 bpm dengan pulsasi kuat, Respiration rate 19
x/menit dan 380 C. Di IGD dilakukan pengambilan lab CITO didapatkan hasil
Hb 12,4 %dl, leukosit 3.800 sel/mm3 Trombosit 151.000 sel/mm3 dan
sehingga klien dianjurkan untuk rawat inap di ruang Nusa Indah atau Dahlia
dengan diagnosa CKR dan Febris (Susp. DHF). Namun karena lebih
memperhatikan kondisi injury di telinga pasien, pasien akhirnya di rawat di
ruang bedah Dahlia. Di ruang Dahlia dilakukan pengkajian kembali
didapatkan hasil bahwa klien masih mengeluh pusing, dan demam, Vital Sign
11

Tekanan darah 100/60 mmHg, Heart rate 76 bpm dengan pulsasi kuat,
Respiration rate 20 rpm dan 38 0C
Berdasarkan prioritas masalah diatas diagnosa pertama yang diangkat
adalah hipertermia berhubungan dengan proses infeksi. Rencana tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah dengan Fever management yang meliputi
monitor TTV klien terutama suhu tubuh, berikan kompres hangat dilipatan
leher dan ketiak klien, anjurkan klien untuk banyak beristirahat dan anjurkan
klien untuk banyak minum air sesuai balance cairan. Selain itu juga dengan
berkolaborasi dalam pemberian antipiretik berupa paracetamol 3x 500 mg.
Masalah hipertermia yang terjadi pada klien menjadi pusat perhatian
peneliti karena tim medis spesialis penyakit dalam tidak mau berkinjung ke
ruang Dahlia. Oleh karena itu, klien hanya dikelola oleh seorang dokter
bedah. Peneliti memberikan edukasi pada klien serta kompres air hangat.
Respon klien dan keluarga saat itu adalah mau mencoba memberikan kompres
air hangat. Klien juga dianjurkan untuk minum air putih yang banyak.
Kolaborasi dengan memberikan paracetamol 3x 500 mg dan injeksi
Ceftriaxone 2x 1000 mg.
Setelah dilakukan implementasi selama 3 hari suhu tubuh klien
cenderung menurun. Evaluasi dilakukan pada tanggal 24 Juni 2014. Data
subjektif klien mengatakan sudah tidak pusing dan badan terasa lebih nyaman.
Suhu tubuh 36,80 C, kulit terasa hangat dan tidak kemerahan, tekanan darah
110/80 mmHg, klien terlihat lebih segar terlihat dari mobilitasnya berjalan
turun dari tempat tidur pasien. Hasil laboratorium tidak terlihat karena tidak
ada program dari tim medis untuk pengecekan ulang hasil laboratorium klien.
Klien dan keluarga mengatakan tidak ingin pulang sebelum bertemu doktern
internal. Masalah hipertermia klien teratasi. Dischrage planning yang disusun
untuk masalah klien tentang hipertermia adalah dengan tetap memonitoring
suhu tubuh dan hasil laboratorium klien. Menganjurkan klien untuk banyak
12

minum air putih serta memberikan kompres hangat dan kolaborasi antipiretik
jika sewaktu- waktu demam timbul kembali.
13

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas proses keperawatan berdasarkan evidence
based practice yang telah dilakukan di rumah sakit (16 -18 Juni 2014). Prinsip
pembahasan ini sendiri adalah dengan lebih memfokuskan pada sistem termoregulasi
di dalam proses keperawatan yang muncul yaitu hipertermia pada Tn. A dengan
demam thypoid. Demam thypoid itu sendiri merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Salmnella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan
atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau pun urin seseorang yang terkena
infeksi. Salah satu gejala yang umum terjadi pada penderita demam thypoid adalah
demam tinggi. Demam yang terjadi akibat dari infeksi oleh bakteri Salmonella yang
memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan.
Masalah hipertermia dapat diberikan tindakan Fever management. Ada beberapa
tindakan yang dapat dilakukan pada Fever Management. Adapun tindakan pertama
pada Fever Management adalah memberikan kompres air hangat pada bagian leher
atau ketiak. Kompres diletakkan di bagian leher atau ketiak karena di area tersebut
terdapat arteri yang besar yang mempu mempengaruhi penurunan suhu tubuh secara
cepat. Pemberian kompres hangat untuk mengatasi demam pada anak lebih efektif
dari pada kompres air biasa. Hal ini sesuai dengan penelitian Purwanti yang
membuktikan bahwa kompres air hangat efektif untuk mengatasi demam, memicu
vasodilatasi yang dapat meingkatkan pengeluaran panas tubuh. (Purwanti, 2008)
Penelitian yang lainnya juga membuktikan bahwa kompres hangat efektif dalam
menurunkan demam pada typhoid yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
pembuluh darah yang besar akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Saat reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus di rangsang,
sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilator perifer.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan panas melalui keringat dan
menurunkan suhu tubuh menuju ke nilai normal.(Mohammad, 2012)
14

Penelitian yang lainnya juga membuktikan bahwa komres air hangat lebih efektif
dalam menurunkan panas tubuh klien jika dibandingkan dengan kompres daun
kembang sepatu yang di dalamnya mengandung beberapa zat yang memberikan efek
sebagai antipiretik seperti flavonida, saponin, dan polifenol. Hasil dalam penelitian
tersebut membuktikan penurunan suhu tubuh dengan kompres air hangat sebesar
0,560 C, sedangkan penurunan suhu tubuh dengan kompres daun kembang sepatu
sebesar 0,240 C. (Rahayuningsih, 2011)
Implementasi selanjutnya dari Fever Management adalah menganjurkan klien
untuk banyak minum air putih. Hal itu terjadi karena demam dapat menimbulkan
terjadinya dehidrasi, sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut klien dianjurkan
untuk banyak minum air putih selain pemberian terapi cairan ringer laktat melalui
intraven (Purwanti, 2008). Tindakan selanjutnya yaitu menganjurkan klien untuk
menggunakan pakaian tipis, rasionalisasi dari impelementasi tersebut adalah
mempercepat proses evaporasi panas pada tubuh klien sehingga diharapkan panas
tubuh klien banyak yang keluar dan suhu tubuh klien kembali ke nilai normal.
Tindakan yang dapat dilakukan selanjutnya yaitu memonitor tanda- tanda vital
yang terdiri dari pengukuran tekanan darah, pengukuran suhu tubuh klien,
pengukuran nadi klien serta pernapasan klien. Melalui pengukuran tekanan darah
beserta nadi pada klien dapat mengidentifikasikan suatu tanda adanya dehidrasi pada
klien dengan demam typhoid. Tekanan darah yang sangat lemah pada klien yakni
90/60 mmHg disertai nadi yang tidak begitu cepat 74x/menit menandakan adanya
resiko kekurangan volume cairan akibat demam dan pengeluaran cairan aktif.
Pengukuran suhu tubuh dilakukan untuk memantau kenaikan maupun penurunan
suhu tubuh klien. Hal itu penting dilakukan untuk dijadikan sebagai salah satu
penentuan tindakan pada klien.
Implementasi yang dapat dilakukan selanjutnya pada Fever Management adalah
kolaborasi denan pemberian obat antipiretik dan antibiotik. Pemberian antipiretik
paracetamol 500 mg dapat menurunkan demam sekaligus mengurangi gejala lainnya
seperti pusing daqn lemah. Pemberian antibitok yang dilakukan pada pasien adalah
15

menggunakan antibiotk ceftriaxone 1000 mg. Pemberian antibiotik ini merupakan


salah satu tata laksana dalam demam typhoid. Anti biotik ceftriaxone ini menjadi
salah satu pilihan terbaik untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh salmonella
typii. Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa ceftriaxone
merupakan antibiotk kedua setelah kloramfenikol yang menjadi pilihan dalam
alternatif pengobatan demam typhoid di rumah sakit Fatmawati pada tahun 2001-
2002. (Musnelima, 2004)
Penelitian terbaru menyebutkan hal yang sedikit berbeda. Pada sebuah
penelitian menyebutkan bahwa nilai resistensi ceftriaxone terhadap bakteri
salmonella typhi cukup tinggi, yakni sebanyak 68,4% dan nilai yang masih sensitif
31, 6% di RSUD Dr. Soetomo Surabaya (Suswati, 2010). Adapun faktor- faktor yang
mempengaruhi terjadinya sensitivitas suatu antibiotik terhadap salmonella typhi
adalah riwyaat penyakit demam typhoid, riwyat pemakaian obat antibiotik yaitu pada
saat sakit, cara mengetahui aturan pakai dari antibiotika yang diperoleh dengan resep
dokter dan tanpa resep dokter yaitu apakah sesuai anjuran dokter atau tidak, baik
dalam hal dosis, cara, dan lamanya pemberian (Mandala et ll, 2004)
16

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Masalah hiperterima pada seseorang merupakan masalah yang berhubungan
dengan ada tidaknya proses infeksi pada diri seseorang. Demam thypoid dan
Febris (susp. DHF) merupakan beberapa diagnosa medis yang berkaitan erat
dengan termoregulasi dimana ditemukan peningkatan suhu diatas normal. Untuk
mengatasi masalah hipertermi tersebut, dapat dilakukan melalui intervensi sesuai
NIC yakni Fever Management yang memerikan kompres air hangat di bagian
leher atau ketiak, menganjurkan klien banyak minum air putih menganjurkan
pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis, mengobservasi tanda- tanda vital,
mengkolaborasikan pemberian antipiretik dan antibiotik.

B. Saran
1. Bagi Perawat
Perawat mampu memberikan asuhan keperawatan secara komperehensif
kepada klien yang mengalami masalah keperawatan hipertermia berhubungan
dengan proses infeksi sehingga klien dan keluarga sebagai support system
mampu merawat secara mandiri dan mencegah kekambuhan.
2. Bagi Keluarga
Keluarga sebaiknya mampu melakukan tugas dan fusngsi keperawatan
keluarga guna mencapai kesehatan keluarga secara menyeluruh.
3. Bagi Rumah Sakit
Pihak rumah sakit sebaiknya memberikan discharge planning yang lebih
mendetail dengan tujuan kesehatan secara berkelanjutan sehingga klien dan
keluarga dapat mengetahui apa yang harus dilakukan pada saat perawatan
pasca rawat inap.
17

Daftar Pustaka

1. McCloskey, Joanne C & Gloria M. Bulechek. Nursing Intervensions


Classification (NIC). Ed 3. Mosby, Inc: United State of America; 2000.
2. NANDA Internasional. Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC; 2010.
3. Nelwan. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. CDK 192. Vol. 39. N0.4. 2012
4. Henry Santoso. Kajian Rasional Penggunaan Antibiotik pada Kasus
Demam Tifoid yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr.
Kariadi Semarang Tahun 2008. Skripsi: Fakultas Kedokteran. Universitas
Diponegoro. 2009.
5. Inawati. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. 2008.
6. Sri Purwanti & Winarsih Nur Ambrawati. Pengaruh Kompres Hangat
Terhadap Perubahan Suhu Tubuh pada Pasien Anak Hipertermia di
Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Berita Ilmu
Keperawatan ISSN 1979-2697. Vol. 1 no.2. pp 81-86. 2008.
7. Lili Musnelina et all. Pola Pmeberian Antibiotika Pengobatan Demam
Tifoid Anak Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002. Makara
Kesehatan. Vol. 8. No. 1. Pp 27-31. 2004.
8. Ike Rahayuningsih et all. Efektivitas Penurunan Suhu Tubuh Menggunakan
Kompres Air Hangat dan Kompres Daun Kembang Sepatu pada Anak
dengan Demam Di Ruang Cempaka RSUD dr. R. Goeteng Troenadibrata
Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. 2011.
9. Irm Suswati & Ayu Juniarti. Sensitivitas Salmonellat typhi Terhadap
Kloramfenikol dan Seftriason di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan di
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2008-2009. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang. Pp 27-32. 2010
10. Ine P.R. & Eman Sutrisna. Cost Effectiveness Pengobatan Demam Tifoid
Anak Menggunakan Sefitasim dan Kloramfenikol Di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health. Vol. 5. No. 2. 2011.
18

Lampiran

Grafik Penurunan Suhu Tubuh Kasus 1

38.5

38

37.5

37

36.5 suhu tubuh

36

35.5

Grafik Penurunan Suhu Tubuh Kasus 2

38.2
38
37.8
37.6
37.4
37.2
37
36.8 suhu tubuh
36.6
36.4
36.2

You might also like