Professional Documents
Culture Documents
BAB I .............................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 3
BAB II............................................................................................................................................. 4
DIAGNOSA KEPERAWATAN............................................................................................... 10
PENUTUP..................................................................................................................................... 11
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010). Istilah usus buntu yang
dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah
sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di saluran pencernaan.
Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas
(syamsyuhidayat, 2005). Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara
bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada
diit harian (Santacroce,2009).
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut
merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan
operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi
di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008). Dinkes jateng menyebutkan pada
tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita
diantaranya menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka
kejadian appendisitis di RSUD salatiga, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak
102 penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki
peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Salatiga. Hal ini membuktikan
tingginya angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Salatiga.
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat
dalam bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko
terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi
dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan
peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses,
maka akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan
2
memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri
hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005).
Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di negara-negara
barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung
meningkat oleh karena pola dietnya yang mengikuti orang barat (www.ilmubedah.info.com,
2011).
1.3 Tujuan
3
BAB II
KOSEP MEDIS
2.1.Defenisi
4
2.2.Etilogi
2.3.Patofisiologi
5
tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
2.4.Manifestasi Klinik
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri
akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan
pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan
pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002),apendisitis akut sering tampil
dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan
spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi
atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di
belakang sekum, nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda
ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung
apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks
dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan
dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks
telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi
pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens
6
perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis
apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan
seringkali muntah.
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari
bagian bawah otot rektus kanan.
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme
otot, dan konstipasi serta diare kambuhan.
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang
menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah).
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi
abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
2.5.Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis
akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah
lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil
diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat
pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat
membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut
antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-
7
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang
mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini
dilakukan terutama pada anak-anak.
2.6. Penatalaksanaan
8
abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan
foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas
dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan
aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol
ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya
diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai
praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya
disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah
sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler.
Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan.
Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa
diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam
selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan
hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk
tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar
kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
9
2.7.Komplikasi
2.8. Pencegahan
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam
saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan
membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
2.9. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat.
Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre-op :
1. Ganggan rasa nyaman (nyeri) b/d adanya perangsangan pada epigastrium.
Post-op :
2. Resiko terjadi infeksi b/d diskontinuitas jaringan sekunder terhadap luka insisi bedah.
3. Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan pascaoperasi sekunder terhadap proses
penyembuhan.
4. Kurang pengetahuan b/d tidak mengenal informasi tentang kebutuhan pengobatan/
perawatan pasca pembedahan.
10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda
buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.
12