You are on page 1of 153

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Demokrasi yang modern berkaitan erat dengan perwakilan

(representation), atau lebih dikenal saat ini adalah perwakilan yang bersifat politik

(political representation), yaitu perwakilan rakyat melalui partai politik (parpol)

yang memiliki kemampuan untuk atau kewajiban untuk bicara atas orang yang

memilih partai tersebut, 1karena proses politik tidak serta-merta dapat dilakukan

langsung oleh rakyat secara individual, mengingat wilayah dan permasalahan teknis

yang ada dalam setiap daerah yang berbeda-beda. Di negara manapun yang

menganut sistem demokrasi terdapat usaha dalam membangun sistem perwakilan

yang akan menjalankan fungsi keterwakilnya untuk menuntasakan permasalahan

yang dialami negara tersebut dengan baik. Untuk mewujudkan sistem perwakilan

maka diperlukan partai politik sebagai sarana penghubung antara berbagai macam

kepentingan dalam suatu sistem politik.

Di indonesia partai politik bahkan telah terbentuk sebelum kemerdekaan dalam

satu tujuan yaitu Indonesia merdeka, dan setelah merdeka maka pada tanggal 3

November 1945 Maklumat Pemerintah memperkuat adanya eksistensi partai politik

hasil desakan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) untuk

mendirikan sebanyak banyaknya partai politik dimana isi dari maklumat tersebut
1Efriza,Studi Parlemen; Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia,(Malang :Setara
Press,2014).Hlm 3.
2

menyatakan bahwa pemerintah menyukai lahirnya partai-partai politik agar segala

aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat di pimpin kejalan yang teratur.2 Pada

masa itu umumnya partai politik turut membantu Indonesia memperkuat dan

mempertahankan kemerdekaannya. Pada periode sistem politik Demokrasi

parlementer (DPR) merupakan kerangka pokok mekanisme sistem politik. Stabilitas

politik dan pemerintahan sangat tergantung “pada dukungan” partai-partai politik

dalam parlemen. Sistem politik ini diterapkan dalam sistem multi partai. Betapa

sulitnya membangun pola-pola kerja sama (koalisi) antar partai-partai politik dalam

membentuk kabinet, menunjukan tidak stabilnya politik dan pemerintahan pada masa

itu. Itulah penyebab pada periode Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965. Pada 5

Juli 1959 munculah Dekrit Presiden yang kemudian diberi bentuk yuridis berupa

Penetapan Presiden (Perpres) Republik Indonesia No.7 Tahun 1995 yang dalam

diktum pertama Penpres No.7 tahun 1959 tersebut menyatakan “ Mencabut

Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.’’ Penetapan Presiden tersebut

dikuatkan pula oleh Peraturan Presiden No. 13 / 1960 tentang Pengakuan ,

Pengawasan dan Pembubaran partai-partai. Pada tahun 1970 “pemerintah”

menghimbau agar kesembilan partai politik mengambil langkah nyata dalam

penyederhanaan sistem kepartaian. Atas dasar itulah pada tahun 1971 di DPR

muncul kelompok “Persatuan pembangunan” yang merupakan wadah kerjasama

partai-partai NU, Parmusi, PSII dan Perti yang berliran “Islam.” Juga muncul

2A.Gau Kadir, Dinamika Partai Politik Di Indonesia ,Sosiohumaniora,Vol.16, No. 2 Juli 2014,hlm132-
136.
3

kelompok “Demokrasi Pembangunan” sebagai tempat bernaung partai-partai

PNI,Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan parai Murba yang beraliran “nasional /

demokrasi’’ Dengan demikian, tampil tiga oraganisasi kekuatan politik yakni PPP,

Golkar dan PDI, sebagai infrastruktur sistem politik demokrasi Pancasila di Era Orde

Baru, Hal ini diatur dalam Undang-Undang No.3 / 1975 tentang partai politikdan

Golongan Karya. Pada era ini, fungsi dan peranan partai politik melemah. Hal ini

antara lain di sebabkan di tetapkannya “ sistem masa mengambang (floating mass),”

dimana Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 menyatakan tidak diperbolehkan

adanya patai politik membentuk kepengurusan di kecamatan dan desa, ini berarti

partai politik tidak dapat meakukan kegiatan di pedesaan. Meskipun demikian

memasuki era reformasi dimana deranya arus demokrasi dan menyikapi berbagai

tuntutan rakyat maka Undang - Undang No. 2 tahun 1999 tentng partai politik

memberikan peluang bagi seluruh warga negara Republik Indonesia membentuk

partai politik yang sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat

dan berkumpul. Tumbuhnya partai-partai baru pada pemilu legislatif 2009 tampil 48

Partai politik, pemilu legislatif tahun 2004 tampil 24 partai politik jumlah tersebut

turun 50 %, namun pada tahun 2009 jumlah partai politik naik menjadi 38 partai

politik, dan di tahun 2014 tampil 12 partai politik.3

Perubahan tersebut bedampak pada politik memiliki peranan yang sangat

penting bahkan menjadi lembaga yang berikan kepentikan dan aspirasi rakyat yang

merupakan suatu akibat dari konsekuensi dalam sistem perwakilan dan menjadi

3Efriza,Studi Op Cit. hal 3.


4

instrumen terpenting dalam demokrasi.4 Menurut Robert A.Dahl, sebagaima dikutip

oleh Zainal Arifin Mochtar, ada depan jaminan konstitusional yang menjadi syarat

perlu untuk demokrasi, yakni;

Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; Kedua,

adanya kebebasan berekspresi; Ketiga, adanya hak memberikan suara; Keempat,

adanya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik; Kelima, adanya hak para

pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara;

Keenam, adanya tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; Ketujuh, adanya

pemilu yang bebas dan adil;dan Kedelapan, adanya institusi-institusi untuk

menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara suara (pemilih,rakyat) dan

ekspresi pilihan (politik) lainnnya.5

Demokrasi memang tidak semata-mata dengan adanya pemilu yang bebas, yang

mana oleh Huntington disebut sebagai definisi minimal demokrasi. Di dalam sistem

perwakilan, demokrasi juga menuntut adanya pertangguangjawaban dari para wakil

(representative) kepada yang diwakili (representated). Didalam konteks yang lebih

esensial, sebagaimana yang dikemukakan Amartya Sen, bahwa : demokrasi menuntut

adanya kesempatan (opportunity) kepada semua pihak. Termasuk didalamnya adalah

4Jimly Asshiddiqie, Membangun Partai politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi
.Jurnal Konstitusi . Vol. 3 No. 4 , Desember 2006,hlm 7.
5Jimly Asshiddiqie, Hukum tata Negara & Pilar-Pilar demokrasi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012),hlm ix-

x.
5

adanya kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi di dalam semua proses

politik.6

Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang

demokratis, sebagai salah satu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan

untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu,

memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan

secara maksimal kepemimpinan politik secara sah (legitimate)7 dan sebagai wujud

berkerjanya demokrasi dalam suatu negara maka di perlukan ada partai politik,

karena sitem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Begitu

besarnya peranan partai politik dalam sistem demokrasi di suatu negara, membuat

banyak kalangan beropini bahwa partai politik menentukan demokrasi, dan oleh

karena itu partai politik merupakan pilar dalam sistem politik. Dalam sistem

representative democracy, bisa dimengerti bahwa partisipasi rakyat yang berdaulat

terutama disalurkan melalui pemungutan suara rakyat untuk emmberntuk lembaga

perwakilan. Mekanisme ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk maksud

menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam

sistem perwakilan, kedudukan dan peranan partai politik dianggap dominan.8

Para ilmuan politik pada umunya biasa menggambarkan adanya 4 (empat)

fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiarjo,

6Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,


(Jakarta:Kencana,2010).hlm. 11.
7Abdul Mukhtie Fadjar,Partai Politik : Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, (Malang:

Setara Press,2012),hlm 13.


8Jimly Asshiddiqie, Membangun Partai politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi

.Jurnal Konstitusi . Vol. 3 No. 4 , Desember 2006,8.


6

meliputi sarana:9 (i) komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political

socialization), (iii) recruitment politik (political recruitment), dan ( iv) pengatur

konflik (conflict management).10 Dalam istilah Yves meny dan Andrew Knapp ,

fungsi partai politik itu mencangkup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi ; (ii)sarana

pembentukan pengaruh terhadap perilaku pemilih (voting patterns); (iii) sarana

rekruitmen politik ; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan .Semua fungsi

terikat antar satu dengan yang lainya.

Partai Politik hendaknya menjadi wadah atau rumah bagi kader-kader guna

menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, dimana di dalamnya terdapat

mahkamah partai yang sejatinya menjadi hakim yang adil dan transparan, kerika ada

anggota parlemen yang dianggap melanggar Anggaran Dasar Rumah Tangga

partainya, tidak jarang tanpa adanya penjelasan secara terperinci dan hasil investigasi

bahwa anggotnya bermasalah anggota tersebut di berhentikan dari anggota partai

politik, yang secara langsung juga berdampak terhadap keanggotan dewan di

parlemen.

C.F. Strong berpendapat recall adalah memberikan hak bagi para pemilih

yang tidak puas untuk mengusulkan, diantara rentang waktu-waktu pemilihan-

pemilihan, agar wakilnya di berhentikan dan diganti dengan wakil lain menurut

kehendak rakyat.11 Dalam hal ini praktik recall seharusnya mengikut sertakan rakyat

9 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. 1992 hal.163-164.


10Jimly Asshiddiqie ,Op Cit , hal. 8.
11Efriza,Studi Parlemen; Sejarah, Konsep, da Lanskap Politik Indonesia ,(Malang :Setara Press,2014).hlm. 301 .
7

sebagai pemilik suara, tentu ini menjadi perdebatan dimana recall dalam pelaksaanya

di lakukan oleh partai politik yang bersangkutan bukan oleh rakyat sebagai pemilih.

Dalam Kepustakaan definisi recall antara lain di kemukakan oleh sarjana

belanda, Tomassen yang menyatakan bahwa “recall recht, het rech Tubagus

Soenmandjaja wan een politieke partij oom een via haar kandidaten lijst gekozen

parlement lid terug te reopen.” ( hak recall ialah hak suatu partai politik untuk

menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang

diajukannya).12 Jika di telusuri recall di Indonesia melewati dinamika dan perdebatan

yang panjang karena saat recall ada, recall dianggap sebagai alat bagi penguasa

untuk membuat kekuasaan yang sewenang-wenang seenaknya mengganti anggota

parlemen yang sedang menjabat dan recall juga di gunakan untuk membukam lawan

politik. Saat ini recall diatur dalam UU Partai politik 2003, yakni, UU No. 31 Tahun

2002 tentang partai politik, UU No. 22 tahun 2003 tentang Sususnan dan

Kedudukam MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta UU No. 12 tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, secara normatif memasukan

recall di dalam ketentuaanya. Di dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susduk, dan Pasal 12 huruf b mengatur mengenai penggantian

antarwaktu dari anggota DPR. Pasal 85 atat (1) huruf c UU Susduk menyatakan

bahwa “Angota DPR berhenti antarwaktu karena : c. diusulkan oleh partai politik

yang bersangkutan.” Sedangkan Pasal 12 huruf b UU parpol menyatakan “Anggota

12M. Hadi Shubhan,”Recall”, Antar Hak Partai politik dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, “Jurnal
Konstitusi”, Vol.3 no.4,(Desember 2016).hlm.46.
8

partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat apabila :b.

diberhentikan dari keanggotaaan partai politik yang bersangkutan karena

melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.”13

Karena adanya Undang-undang tersebut membuat kekuasaan partai politik

semakin dominan dan seolah menjadi sewenang-wenang. Seperti halnya

pemberhentian atau recall terhadap Fahri Hamzah yang di berhentikan oleh Partai

Keadilan Sejahterah (PKS). Recall atas Fahri Hamzah yang terjadi pada bulan April

karena diduga Fahri Hamzah telah Melakukan Pelanggaran Disiplin Organisasi

Partai Keadilan Sejahterah. Fahri Hamzah enggan menuruti perintah partainya

melepas jabatan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disandangnya.

Pemberhentian Fahri Hamzah dari kenaggotaan partai politik berhubungan dengan

jabatanya sebagai pimpinan DPR RI, merujuk pada instrument Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR , DPD , dan DPRD (UU MD3) serta

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik (UU Parpol), dimana terdapat klausul jika seorang anggota DPR

diberhentikan dari keanggotan partainya maka jabatanya sebagai anggota DPR juga

ikut diberhentikan. PKS lantas mengajukan penggantian posisi Fahri yang menjabat

unsur pimpinan DPR dengan menunjuk Ledia Hanifah atau Muslen Kholil sebagai

13M. Hadi Shubhan,”Recall”, Antar Hak Partai politik dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, “Jurnal
Konstitusi”, Vol.3 no.4,(Desember 2016).hlm.53.
9

pengganti Fahri Hamzah14 dimana sejatinya jabatan pimpinan DPR RI merupakan

jabatan publik yang bukan mandatori langsung dari partai, jabatan pimpinan DPR RI

dipilih melalui mekanisme pemilihan dalam sebuah paket yang bersifat tetap oleh

Anggota Sidang Paripurna DPR RI. Hak recall pada dasarnya digunakan untuk

mengontrol keanggotaan DPR.

Kasus recall terhadap Fahri Hamzah ini, sangat menarik untuk di telusuri

karena banyak menimbulkan akibat hukum dan perdebatan hukum di dalamnya. Saat

ini hak recall partai politik digunakan sebagai alat atau dasar pemberhentian

seseorang dari anggota DPR yang tidak tunduk pada partai politiknya. akibat dari itu

bartai politik menjadi bayang-bayang kelam bagi anggota parlemen yang ingin bebas

berekspresi membela suara rakyat. Namun Unsur pimpinan DPR yang lainya blm

menindak lanjuti pengajuan yang dilakukan Fraksi PKS dengan alasan belum memili

kekuatan hukum tetap (inkracht), karena Fahri masih megajukan upaya hukum ke

Pengadilan Perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan telah memperoleh

putusan pada Rabu 7 Desember 2016. Tentunya sangat menarik untuk diteliti lebih

lanjut karena kasus ini merujuk pada konstruksi “perwakilan rakyat” yang di

praktikkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, karena pasca reformasi

konstitusi (constitutional reform) kedaulatan rakyat telah dikembalikan dan dipegang

lagi oleh rakyat. Dalam Undang – Undang dasar 1955 Pasal 1 ayat (2) bahwa

14http://nasional.kompas.com/read/2014/04/29/2249403/Fahri.Hamzah.Kembali.Melenggang.ke.Senaya

n,diakses pada 26 Agustus 2017, pukul 06.15


10

kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar.15 Meskipun begitu recall menjadi alat kontrol tehadap anggota DPR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, penyusun merumuskan permasalahan Sebagai

berikut :

1. Bagaimana mekanisme hak recall terhadap Fahri Hamzah ?

2. Apa akibat hukum penerapan recall dalam praktek ketatanegaraan Republik

Indonesia ?

3. Bagaimana upaya hukum bagi anggota parlemen yang keberatan terhadap

penjatuhan hak recall oleh partai politik ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, rumusan masalah, dan

sistem pembahasan, maka tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. untuk mengertahui mekanisme recall yang dilaksanakan oleh partai politik;

2. untuk mengetahui akibat hukum bagi anggota parlemen yang dikenakan

recall;

15Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945


11

3. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat diambil oleh anggota

parlemen supaya mendapat keadilan bila terdapat ketidak sesuian putusan

mahkamah partai dalam melakasanakan per-recallan ;

4. serta untuk mengetahui kedudukan Hak recall terhadap anggota parlemen

dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian Ini diharapkan dapat memeperkaya pemikiran dan wawasan

keilmuan dalam ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum tata negara

yang dalam hal ini terkait dengan hak recall partai politik terhap anggota

perlemen.

b. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme hak recall partai politik

terhadap anggota parlemen.

c. Untuk mengetahui akibat hukum bagi anggota parlemen yang di recall

partai politiknya.

d. Diharapakan dengan adanya penilitian ini maka kita menjadi mengerti

upaya hukum apa yang harus di tempus saat seorng anggota parlemen di

recall oleh partai politiknya.

e. Untuk menambah khasanah keilmuan dalam bidang disiplin ilmu

pengetahuan perkembangan hukum pada umumnya dan Hukum Tata

Negara pada khususnya.


12

f. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang ingin

mendalami masalah ini lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk dapat memberikan tambahan pengetahuan dan referensi bagi

peneliti dalam mengetahui hak recall parti politik terhadap anggota

parlemen dalam sistem ketatanegraan di Indonesia.

b. Untuk menambah pengetahuan masyarakat pada umumnya dan

mahasiswa pada khususnya akan pentingnya partai politik dalam

terciptanya suatu tata kelola pemerintahan yang demokratis serta

menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam bernegara dan

berbangsa.

E. Kerangka Teori

Dalam membahas dan memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam

penulisan skripsi ini, dipergunakan landasan teoritis meliputi teori demokrasi, teori

perwakilan dan teori hak. Teori negra hukum dan demokrasi dipilih sebagai grand

theory, karena teori tesebut dapat menjelaskan filosofi tentang konsep politik yang

bersifat makro tentang letak kedaulatan rakyat di dalam sistem politik dan sistem

ketatanegaraan. Teori Perwakilan digunakan sebagai middle range theory, dengan

makna menjadi jembatan antara konsep makro dan realitas mikro tipe pemisahan

kekuasaan. Pilihan terhadap penggunaan teori pemisahan kekuasaan akan


13

menentukan tipe perwakilan yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Teori hak

dipergunakan sebagai applied theory untuk landasan masuk ke masalah mikro yang

menjadi fokus penelitian ini yakni checks and balances.

Dengan demikian jika grand theory (teori negara hukum dan demokrasi ) bersifat

makrofilosofis dan middle range theory (teori pemisahan kekuasaan) bersifat

konseptualimplementatif, maka applied theory (teori checks and balances) bersifat

lebih spesifik.

1. Grand Theory

Dalam penelitian ini Grand Theory menggunakan Teori Negara

Hukum dan Demokrasi. Teori Negara Hukum. Istilah dan konsep “Negara

Hukum” Pemikiran mengenai negara hukum telah muncul sebelum terjadinya

revolusi tahun 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada abad ke–17

dan mulai populer pada abad ke-19. Latar belakang munculnya pemikiran

mengenai negara hukum tersebut merupakan reaksi terhadap kesewenag-

wenangan yang pernah terjadi di masa lampau. Oleh karena itu, unsur-unsur

negara hukum mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah dan

perkembangan masyarakat dari suatu bangsa.16

Teori negara hukum pertamakali dikemukakan oleh plato dan di

pertegas oleh Aristoteles. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintahan

yang baik adalah diatur oleh hukum. Kemudian Aristoteles mempertegas

16 Yopi Morya Immanue Patrio, Direksi Pejabat Publik dan tindak Pidana Korupsi , Bandung: CV Keni
Media,2012,hlm.25.
14

drngan menyatkan bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Bagi Aristoteles,

yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia melainkan pikiran

yang adil dan kesusilaaan, yang menentukan baik atau buruknya suatu

hukum.17

Dalam kepustakaan hukum dan politik di Indonesia, istilah negara

hukum dipadankan dengan istilah rechstaat dan istilah rule of law. Di negara

pengamat civil law teori dan implementasi negara hukum muncul dengan

konsepsi rechstaat, sementara di negara-negara penganut sistem common law

muncul dengan konsepsi rule of law. Adapun di negara Indonesia pengertian

negara hukum menggabungkan kedua pemikiran tersebut baik dari tradisi

rechstaat maupun tradisi rule of law, namun tetap memiliki karakteristik yang

khas sebagai mana di perlihatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.18

Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002,

konsepsi Negara Hukum atau “RechTubagus Soenmandjaja staat” yang

sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan

dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia

17Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah kritis Teori Negara hukum (Konstitusi dan Demokrasi dalam

kerangka pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan UUD 1945, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2005,hlm.14.
18 Imam Soebechi,Judicial review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta :Sinar Grafika , 2012

,hlm.13-14.
15

adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa

yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah

hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa

digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum

adalah ‘the rule of law, not of man’ Yang disebut pemerintahan pada

pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya

bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.19

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl,

Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum

dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of

Law.” Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan

istilah ‘rech Tubagus Soenmandjaja staat’ itu mencakup empat elemen

penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

4. Peradilan tata usaha Negara.

19 Jimly Asshiddiqie,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Revormasi , Jakarta: PT


Bhuana Ilmu Populer, 2007, Hlm.296-297.
16

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam

setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law,”

yaitu:

1. Supremacy of Law.

2. Equality before the law.

3. Due Process of Law.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl

tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip

‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri

Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International

Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi

dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and

impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak

diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri

penting Negara Hukum menurut “The International Com mission of Jurists”

itu adalah:

1. Negara harus tunduk pada hukum.

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.

3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.20

20 Jimly Asshiddiqie ,Ibid,hlm304-305


17

Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau

Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materil atau Negara Hukum

Modern.3 Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat

formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis.

Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materil yang lebih mutakhir

mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang

Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara

‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power,’ dan

‘rule of law’ dalam arti materil yaitu ‘the rule of just law.’ Pembedaan ini

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu,

keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena

pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran

pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran

hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti

peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum

yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu

menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah ‘the rule of

law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk

memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup

pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan

peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang

digunakan tetap ‘ the rule of law’ pengertian yang bersifat luas itulah yang
18

diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk

menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.21

Berbicara tentang negara hukum maka kita tidak dapat lepas dari

demokrasi, terdapat kolerasi yang jelas antara negara hukum dengan

kedaulatan rakyat yang dijalankan memalaui sistem demokrasi. Kolerasi ini

tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem

demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini dengan kata

lain negara hukum harus di topang dengan demokrasi.22

Dari sudut etimologi demokrasi berasal dari kata demos (rakyat), dan

cratein (memerintah). Jadi, secara harafiah kata demokrasi diartikan sebagai

rakyat memerintah23 Demokrasi Atau disebut juga democration theory

(bahasa inggris) atau democratische theorie (bahasa Belanda) terkandung

dalam dua suku kata, yaitu teori dan demokrasi. Hans Kelsen mengartikan

demokrasi sebagai :

“Kehendak yang dinyatakan dalam tatanan hukum tersebut. Lawan

demokrasi adalah perhambaan otokrasi. Di dalam sistem ini subjek tidak

disertakan dalam pembentukan tatanan hukum negara, dan keselarasan antara

tataan hukum dengan kehendak para subjek sama sekali tidak terjamin.”24

Demokrasi merupaka sebuah konsep yang menempatkan kekuasaan tertinggi

21 Jimly Asshiddiqie ,Ibid,hlm.305


22 Sarjana,Negara Hukum:Teori dan Praktek ,Yogyakarta:Thafamedia,2016.hlm.31.
23 B.Hestul Cipto Hadoyo,Hukum Tata Negara,Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta

:Andi Offset,2003,hlm.98.
24 Salim H.S dan Erlies S.N.,Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis,Jakarta :

Rajawali Pers,2014,hlm. 173-174.


19

berada di tangan rakyat, yang mana secara simbolis seringkali di gambarkan

dengan pemerintah dari rakyat, oleh rayat, dan untuk rakyat.25 Menurut

M.Solly Lubis, demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara

terletak sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasaan itu untuk

kepentingan semua orang.26

Demokrasi tidak lahir dengan sendirinya, tetapi muncul melalui

proses pemikiran, perdebatan, dan polemik yang panjang. Bahkan pemikir-

pemikir seperti Plato dan Aristoteles malah menolak dan meragukan

keberadaan demokrasi. Sementara kaum Marxis melihat bahwa demokrasi

hanyalah manipulasi kelas borjuis belaka. Walau demikian, dewasa ini

demokrasi telah menjadi sistem yang dipakai di hampir semua negara.

Dibeberapa negara seperti AS dan Eropa Barat, demokrasi sudah merupakan

bagian dari budaya warga, menjadi sebuah bentuk kebudayaan yang dominan

yang membentuk pola prilaku masyarakat.

Menurut Geertz demokrasi merupakan sebuah nilai budaya atau

kebudayaan karena demokrasi mencakup makna, simbol-simbol, kumpulan

nilai, kepercayaan, sikap, tatacara, dan gaya hidup yang diturunkan sepanjang

sejarah dan dianut bersama. Budaya demokrasi adalah sebuah prilaku,

praktek, dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan rakyat untuk

memerintah diri sendiri, yang dibentuk oleh otoritas yang dipilih secara bebas

25 Anwar(ed dan pen).Teori dan Hukum Konstitusi,Malang:Intra Publishing , 2011,hlm. 49


26 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung : Mandar Maju , 2007, hlm. 59.
20

oleh individu atau kelompok. Warga negara bebas mengejar kepentingan

mereka, menjalankan hak-hak mereka dan bertanggung jawab atas hidup

mereka sendiri.27

Demokrasi Secara etimologi, berasal dari bahasa latin, yakni

demos yang artinya rakyat dan kratos, yang artinya pemerintahan. sementara

menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) merumuskan demokrasi

adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta

memerintah dengan perantara wakilnya, atau disebutjuga pemerintahan

rakyat, dan gagasan atau pandangaan hidup yang mengutamakan persamaan

hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.28

Sedangkan secara epistemology, istilah demokrasi dapat dikemukakan

oleh beberapa ahli diantaranya sebagai berikut :

Menurut H.L. Menceken, demokrasi adalah sbuah teori yang mana

rakyatnya tahu apa yang mereka butuhkan dan pantas dapatkan sanagat

berat.29 Sedangkan G.B swae mengatakan bahwa “demokrasi adalah pemilu

pengganti” oleh pihak yang tidak kompeten dimana banyak kesepakatan yang

diselenggarakan. Dalam kaitan tersebut E.E. SchtTubagus Soenmandjaja

chneider, memberikan pengertian terhadap demokrasi adalah sistem politik

yang kopetitif yang diamana terdapat persaingan antara para pemimpin dan

27 Muhammad Nasir Badu , Demokrasi dan Amerika, The Politics :Jurnl Magister Ilmu Politik

Universitas Hasanudin ,Vol 1 Nub. 1, January 2015.


28 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan di

Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung : fokusmedia,2013,hlm.34.


29Abdy Yuhana ,Ibid,hlm.34.
21

organisasi – organisasi dalam menjabarkan alternative - alternatif kebijakan

publik, sehingga publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan

keputusan.30

Menurut Stephenson inti dari teori demokrasi adalah adanya

pemerintahan – pemerintahan yang mendapatkan kekuasaan dari kesepakatan

mereka yang diperintah. Presiden Abraham Lincoln menyatakan bahwa

prinsip kesepakatan bersama tersebut disebut sebagai “pemerintahan dari

rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.” Bagaimanapun prinsip dasar ini

membutuhkan sistem pemilihan umum, yakni sebuah “ketergantungan pada

rakyat’’ yang menjadi control utama terhadap pemerintah. Artinya, menjadi

suatu keharusan terlaksananya pemilu dalam sebuah negara yang

demokratis.31

2. Middle Range Theory

Dalam penelitian ini, Middle Range Theory menggunakan Teori

pemisahan kekuasaan (separation of power). Dalam salah satu ciri negara

hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan

kekuasaan negara. Pembatasan tersebut di lakukan oleh hukum. Ide

pembatasan kekuasaaan itu dianggap harus ada dan mutlak harus ada, karena

sebelum semua fungsi negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu orang

yaitu diatangan Raja atau Ratu yang memimpin negara secara turun temurun.
30Abdy Yuhana ,Ibid,hlm.35.
31Andi Suhardiyanto dan Puji Lestari , Partisipasi Perempuan :Studi Perempuan Dalam Pemilihan
Kepala Daerah Jawa tengah Tahun 2008, Forum Ilmu Sosial Vol 35, No 2 (2008): December 2008, Portal
Garuda.
22

Bagaimana kekuasaan negara itu di kelola spenuhnya tergantung kepada

kehendak pribadi sang Raja atau Ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang

jelas agar kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan ha-hak rakyat. 32

Upaya untuk mengadakan pembatasan kekuasaan di tunjukan dengan

munculnya teori trias politica yang di kemukakan oleh Montesquieu.

Menurut Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” memngemukakan

pendapat berdasarkan jalan pikiran Jhon Locke, yang membagi kekuasaaan

negara dalam tiga cabang, yaitu ;(i) kekuasaan legislatif sebgai pembuat

undang-undang;(ii) kekuasaan eksekutif sebagai yang melaksanakan;(iii)

kekuasaan untuk menghakimi yudikatif. Dari klasifikasi diatas Montesquieu

ini dikenal sebagai pembagi kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi,

yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the eksekutive or

administrative function) dan yudisial (the judicial function).33 Indonesia

menganut sistem pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip checks and

balances.

Pemisahan Kekuasaan dan checks and balances menurut teori politik

klasik, cara terbaik melindungi demokrasi adalah dengan menciptakan

cabang-cabang pemerintahan terpisah yang memiliki fungsi dan kekuasaan

32Jimlly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,Jakarta:PT RajaGrafindo


Persada,2009,hlm281-282 .
33 Jimlly Asshiddiqie Ibid,hlm283
23

sendiri-sendiri, yang saling mengawasi dan mengimbangin kekuasaan

masing-masing dalam sebuah sistem checks and balances. 34

3. Applied Theory

Dalam penelitian ini Applied Theory menggunakan Teori Checks and

Balances, seperti apa yang dikatakan oleh Montesquieu's dalam The Spirit of

the Laws, pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah adanya

kesewenang-wenangan dalam kekuasaan. Diamana antara satu intitusi dan

insitusi lain yang seleggarakan harus di bagi dan saling memiliki

ketergantunagn atara satu dengan yang lai sehinga tidak ada satu kekuasaan

yang merasa paling unggul tidak melebihi yang lain.35 makadari itu perlu

adanya yang menjamin bahwa antara satu kekuasaan dengan kekuasan yang

lain tidak saling melampaui kekuasaanya meka dari itu munculah sistem

pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) diamana di setiapa

cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan.

Telah dikatakan di awal bahwa Indonesia merupakan Negara yang

berbentuk Republik memiliki sistem politik demokrasi atau kedaulatan rakyat

diamana pada setiap pemilihan kepala negara, kepala daerah, anggota

parlemen, serta pembilan keputusan melalui mekanisme demokrasi atau

sering di sebut pemilihan umum, dimana rakyat dapat berpartisipasi dalam

34 Kenneth Newtown - Jan W. Van Deth , Perbandingan Sistem Politik :Teori dan Fakta , Bandung:
Nusa Media , 2016, hal.91 .
35 Richard Benwell and Oonagh Gay, The Sparation Of Powers, Parliamens and Constitution Journal

,15 Agustus , Uk Parliament .


24

kegiatan bernegara. Maka dari itu munculah Partai politik sebagai wadah

organisasi dimana mereka dapat menyatukan orang-orang yang memiliki

pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa di konsolidasikan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok

terogranisir yang anggota-anggotanya memunyai orientasi, nilai-nilai dan

cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan

politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara kontitusional

untuk melaksanakan programnya, menurut para ahli ilmu klasik dan

kontemporer.

Calr J.Friendrich menuliskan sebagai berikut :

“A political, party is a group of humans being, stably organized with

the objective of securing of maintaining for iTubagus Soenmandjaja leaders

the control of agoverment, with the further objective of giving to members of

the party, through such control ideal and material benefit and advantages“

(Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil

dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap

pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini serta

materiil).
25

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian mempunyai fungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan atau

hasil dari penelitian, sedangkan penelitian hukum merupakan proses kegiatan

berpikir dan bertindak logis, metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis,

peristiwa hukum, atau fakta empiris yang terjadi, atau yang ada di sekitar kita untuk

direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan.36

Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Dalam penyususnan skripsi ini, menggunakan jenis penelitian

normatif. Jenis penelitian hukum norma adalah pendekatan yang dilakukan

berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal-hal yang bersifat teoritis yang

menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin-

doktrin hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya, dengan

mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen yang

berhubungan dengan penelitian.37 Penelian pustaka ini dilakukan dengan

mencari, mengumpulkan, dan mempelajari peraturan perundang-undangan

dan bahan hukum lain yang terkait dengan objek penelitian. Dan dapat

diharapkan menjadi keseimbangan yang memadai untuk menemukan sebuah

titik temu jenis penelitian ini adalah studi pustaka.

36Muhammad Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2.
37Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji .Penelitian Hukkum Normatif;Suatu Tinjauan Singkat . Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2001. Hlm 24
26

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan Penelitian Ialah Pendekatan Perundang-undangan (Statue

Approach), yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Pendekatan ini

dilakukan untuk menelaah Undang-Undang dan regulasi yang berkaitan

dengan penelitian yang akan di teliti.38

Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach), pentingnya

pendekatan dalam ilmu hukum karena dalam bidang hukum tidak di

mungkinkan dilakukan eksperimen, sebagaimana yang bisa dilakukan dalam

ilmu empiris. Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang

digunakan dalam penelitian hukum normatif untuk membandingkan salah

satu lembaga hukum (legal instructions) dari sistem hukum yang satu dengan

lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang lain. Dari

perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan

perbedaan kedua sistem hukum itu.

3. Jenis dan Sumber Hukum

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sementara data yang

diperoleh dari data primer, data sekunder, dan tersier. Data primer adalah semua

data dan atau informasi yang berhubungan dan berguna bagi penelitian ini yang

38Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian hukum, Prenda Media Group, Surabaya, hlm.93.
27

penelitiannya didapat secara langsung melalui studi lapangan, dan data

sekunder adalah :

3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari perundang-undangan dan peraturan lain yang berkaitan dengan materi

penulisan skripsi ini seperti :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Partai Politik;

2. Undang- Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR,DPD,

dan DPRD;

3. Undang-undang nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD,

dan DPRD;

4. AD/ART Partai Politik;

5. Putusan dari Mahkamah Partai Politik ;

6. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;

7. Peraturan perundang-undangan lainya yang berkaitan dengan fokus

pemasalahan dalam penelitian ini.

3.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah
28

maupun artikel-artikel lainya yang berhubungan dengan obyek yaitu suatu

dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan

penelitian, Seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah,

Koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan

dengan persoalan penyususnan skripsi ini. 39

3.3 Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan

keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti : kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 40

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh data sekunder, peneliti melakukan studi

kepustakaan berupa pencarian literatur yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti baik melalui koleksi pustaka pribadi,

perpustakaan umum, perpustakaan khusus, maupun melalui sarana

internet.Untuk mendukung data primer dimaksud, dilakukan

penelusuran data sekunder berupa data-data yang berhubungan dengan

39Roni Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:Ghalia


Indonesia,1988),hlm.64.
40Roni Hanitjo Soemitro,Ibid.hlml.64.
29

hak recall partai politik terhadap anggota parlemen dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia.

5. Teknik Analisa Bahan Hukum

Pada penelitain hukum normatif, pengelolaan bahan hukum

dilakukan dengan cara mensistematika terhadap bahan-bahan hukum

tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-

bahan hukum untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.41

Pada dasarnya pengolahan, analisa dan konstruksi data dapat

dilakukan secara kulitatif. kadang-kadang penyajian hasil-hasil

penelitian (sebagai hasil pengolahan bahan) disatukan dengan analisis

bahan. Tidak jarang pula bahwa kedua hal itu, dipisahkan satu dengan

lainya. Pada hal yang terakhir, maka penyajian hasil penelitian

sifatnya semata deskriptif. Pada penelitian hukum normatif yang

menelaah data sekunder, penyajian dilakukan sekaligus dengan

analisanya.42

Oleh karenanya pen ulis disini melakukan penelitian hukum

normatif, maka penulis menyatuhan hasi analisa bahan hukumnya

yang dikaitkan dengan kasus yang penulis angkat dalam skripsi ini.

41Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif .Jakarta : Raja Grafindo. 2006 .hlm,
29.
42Soerjono soekanto, Pengantar Penelian Hukum. Jakarta : UI-Press.2014.hl. 68-69.
30

6. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yang dilakukan penulis melakukan logika berpikir

deduktif,43 yaitu penalaran yang berlaku umum pada fenomena tertentu dan

kongkrit dihadapi. Proses yang terjadi dalam deduksi ini adalah

kongkretisasi karenal hal-hal yang dirumuskan secara umum dan

diterapkan dalam keadaan khusus.

G. Sistematika Penulisan

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku dan sistematis, maka

penulis membuat sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam 4 (empat)

Bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang pendahuluan sebgai acuan dalam penelitian dan sebagai

pengantar skripsi secara keseluruhan. Bab ini meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka

teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Membahas tentang gambaran umum Peran Partai Politik Dalam Konsep

Negara Hukum dan Demokrasi, Tinjauan tentang Sistem Ketatanegaraan, Tinjauan

43 Beni Ahmad Saebani, 2008, Metode Penelitian Hukum, CV. Pustaka Setia, Bandung, hlm.111.
31

Tentang Parlemen, dan Hak Recall.

BAB III PEMBAHASAN

Membahas mengenai mekanisme penjatuhan hak recall terhadap Fahri

Hamzah , didalamnya dibahas mengenai Kasus Posisi alasan Fahri Hamzah di

jatuhkan hak recall serta dibahs pula mengenai fakta - fakta yang terjadi pada saat

Fahri Hamzah di recall, selanjutnya dibahas mengenai akibat hukum dari

penerapan hak recall dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia, dan kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan mengenai upaya hukum bagi anggota parlemen

yang keberatan di jatuhi hak recall oleh Partai Politiknya.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan penelitian . Berisi

kesimpulan dari apa yang dibahas sebelumnya. Maka, bab ini merupakam jawaban

atas persoalan yang menjadi pokok pembahasan dan kemudian di lengkapi dengan

saran-saran yang membangun.


32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peran Partai Politik Dalam Konsep Negara Hukum dan negara

Demokrasi

1. Pengetian Partai Politik Menurut Ahli

Dalam bukunya yang berjudul Economic et Societe (1959) Max Weber

kemudian mendefinisikan partai politik sebagai organisasi publik yang

bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para

pendukungnya untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai

politik adalah organisasi yang bertujuan untuk membentuk opini publik.

Sebagai suatu organisasi yang khas, partai politik dilihat sebagai suatu

bentukdx organisasi yang berbeda dengan organisasi lain. 44

Appadorai , mengatakan bahwa :

“ A political party is more or less organized groub of citizen who act

together as a political unit, have distinctive aims and opinions on the leanding

political question of controversy in the state, and who, by acting together as a

political unit , seek to obtain control of the government, It is based on two

44 Firmanzah, Ph.D, Mengelola Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm,67.
33

fundamentals of human nature : men differ in their options, and gregarious ;

they try to achive by combination what they cannot achive individually,” 45

Carl J. Fiedrich mendefinisikan partai politik sekelompok

manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut atau

mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya

dan berdasarkan penguasaan ini kemanfaatan yang bersifat idiil maupun

materil kepada anggotanya. 46

Pengertian Partai Politik menurut Edmund Burke :

“Partai Politik adalah kumpulan orang yang bersatu memperjuangkan

kepentingan nasional melalui usaha bersama mereka, berdasarkan pada

prinsip-prinsip tertentu yang mereka semua sepakati.”47

Paige Johnson Tan sependapat dengan Giovani santori yang membuat

devinisi partai politik secara longgar yakni kelompok politik apa saja yang

ikut serta dalam pemilihan umum dan mampu menempatkan orang-orangnya

dalam jabatan – jabatan publik. sejalan dengan itu Ichasul Amal, juga menulis

bahwa pahratai politik merupakan suatu kelompok yang mengajukan calon –

calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat

mengontrol atau mepengaruhi tidakan – tindakan pemerintah. 48

45 Jimmly Asshihiddiqie , op,cit, hlm. 709.


46 Miriam Budiarjo, Op.Cit,161.
47Harifin A. Tumpa, Op.Cit., hlm.70.
48 Anwar Arifin , Perspektif Ilmu Politik , Jakarta : Rajawali Pers, 2015, hlm 91.
34

Pengertian Partai Politik Menurut Meriam Budiarjo adalah suatu

kelompok yang terorganisir di mana para anggotanya mempunyai orientasi,

cita-cita dan nilai-nilai yang sama. Tujuan kelompok ini yaitu memperoleh

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional

untuk melaksanakan kebijakannya.49

Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties,

Mengemukakan definisi sebagai berikut :

Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang

berusaha utuk menguasasi kekuatan pemerintahan serta merebut

dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau

golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda ( A political

party is the articulate organization of society’s active political

agenTubagus Soenmandjaja ; those who are concerned with the

control of governmental polity power, and who compete for popular

support with other grouo or groups holding divergent views).50

2. Pengertian Partai Politik Menurut Undang-Undang

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik ditentukan bahwa:

49Indra Bastian, 2007, Akuntansi untuk LSM dan Partai Politik, Erlangga, Jakarta, hlm.31.
50 Miriam Budiarjo , Op.Cit , hlm 404 .
35

“Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk

oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar

kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta

memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.”

Partai politik adalah unsur penting dalam kehidupan politik dan

pemerintahan. Partai politik menghubungkan masyarakat madani dengan

negara dan lembaga-lembaganya. Selain itu, partai menyuarakan pandangan

serta kepentingan berbagai kalangan masyarakat.

Partai politik dapat berarti organisasi yang mempunyai basis ideologi

yang jelas, dimana setiap anggotanya mempunyai pandangan yang sama dan

bertujuan untuk merebut kekuasaan atau mempengaruhi kebijaksanaan

negara baik secara langsung maupun tidak langsung serta ikut pada sebuah

mekanisme pemilihan umum untuk bersaing secara kompetitif guna

mendapatkan eksistensi.
36

3. Fungsi Partai Politik

Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya

empat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiarjo , meliputi : 51

i. Sarana komunikasi politik ;

ii. Sosialisasi politik (political sozialization);

iii. Sarana rekruitmen politik (political recruitment);

iv. dan pengatur konflik (conflict management).

Menurut Russel J.Dalton dan Martin P.Wattenberg fungsi partai terbagi

menjadi 3 yaitu :

1. Partai di elektorat (parties in the electorate)

Pada bagian ini fungsi partai menunjuk pada penampilan partai

politik dalam menghubungkan individu dalam proses demokrasi.

Terdapat 4 (empat) fungsi partai yang termasuk dalam fungsi

dielektorat.52

a. Menyederhanakan pilihan bagi pemilih

Politik adalah fenomena yang komplek. Pemilih rata-rata

mengalami kesulitan dalam memahami semua persoalan dan

mengkonfrontasi berbagai isu-isu dalam pemilu. Partai politik

51 Miriam Budiarjo , Pengantar Ilmu Politik , Jakarta : Gramedia , 2000 , hlm. 163-164.
52Abdul Mukhtie Fadjar, 2012, Partai Politik Dalam Perkembangan Ketatanegaraan Indonesia, Setara
Press, Jawa Timur, hlm.22.
37

membantu untuk membuat politik “user friendly” bagi warga

negara.53

b. Pendidikan warga negara

Partai politik adalah educator. Pada konteks itu partai politik

adalah mendidik, menginformasikan dan membujuk

masyarakat untuk berperilaku tertentu. Partai politik bertugas

memberikan informasi yang penting bagi warga negara. Selain

itu, partai politik juga mendidik warga negara mengapa mereka

harus mengambil posisi kebijakan tertentu.

c. Membangkitkan simbol identifikasi dan loyalitas

Dalam sistem politik yang stabil, pemilih membutuhkan

jangkar politik, dan partai politik dapat memenuhi fungsi ini.

Lebih lanjut, partai politik menyediakan basis identifikasi

politik yang terpisah dari negara itu sendiri, dan ketidakpuasan

terhadap hasil pemerintahan dapat langsung ditujukan pada

institusi-institusi spesifik dari negara itu sendiri.54

d. Mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi

Dihampir semua negara demokratis, partai politik memainkan

peran penting dalam mendapatkan orang untuk memilih dan

53Sigit Pamungkas, 2011, Fungsi Partai Politik, Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm.15.
54 Sigit Pamungkas Ibid.hlm.15.
38

berpartisipasi dalam proses pemilihan. Partai politik

memainkan peran itu secara langsung dan tidak langsung.55

2. Partai sebagai organisasi (Parties in the organization)

Pada fungsi ini menunjuk pada fungsi-fungsi yang melibatkan

partai sebagai organisasi politik, atau proses-proses didalam

organisasi partai itu sendiri. Pada bagian ini partai politik memiliki

4 (empat) fungsi56, yaitu :

a. Rekrutmen kepemimpinan politik dan mencari pejabat

pemerintahan

Fungsi ini sering disebut sebagai salah satu fungsi paling

mendasar dari partai politik. Pada fungsi ini, partai politik

mencari, meneliti, dan mendesain kandidat yang akan bersaing

pada pemilu. Desain rekrutmen kemudian menjadi aspek

penting yang harus dipikirkan partai untuk menjalankan fungsi

ini.57

b. Pelatihan elit politik

Pada fungsi ini, partai politik melakukan pelatihan dan

pembekalan terhadap elit yang prospektif untuk mengisi

55Ichlasul Amal, 1996, Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Mutiara, Yogyakarta, hlm.23.
56Miriam Budihardjo, 1981, Partisipasi dan Partai Politik-sebuah bunga rampai, PT Gramedia,
Jakarta, hlm.14.
57Surbakti Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,

hlm.10.
39

jabatan-jabatan politik. Fungsi ini dipercaya menjadi bagian

vital kesuksesan kerja-kerja dari sistem demokrasi.58

c. Pengartikulasian kepentingan politik

Pada fungsi ini, partai politik menyuarakan kepentingan-

kepentingan pendukungnya melalui pilihan posisi dalam

berbagai isu politik dan dengan mengekspresikan pandangan

pendukungnya dalam proses pemerintahan.

d. Pengumpulan kepentingan politik

Fungsi ini membedakan partai dengan kelompok kepentingan,

yaitu partai melakukan artikulasi dan pengumpulan

kepentingan sedangkan kelompok kepentingan terbatas pada

artikulasi kepentingan. Fungsi agregasi kepentingan menunjuk

pada aktivitas partai untuk menggabungkan dan menyeleksi

tuntutan kepentingan dari berbagai kelompok sosial ke dalam

alternatif-alternatif kebijakan atau program pemerintahan.59

3. Partai di pemerintahan (Parties in the government)

Pada arena ini, partai bermain dalam pengelolaan dan

pengstrukturan persoalan-persoalan pemerintahan. Partai politik

58Miriam Budihardjo, Op. Cit., hlm.28


59Surbakti Ramlan, Op.Cit., hlm.20.
40

telah identik dengan sejumlah aspek kunci proses demokratik.

Terdapat 7 (tujuh) fungsi utama,60 yaitu :

a. Menciptakan mayoritas pemerintahan

Fungsi ini dilakukan setelah pemilihan. Partai-partai yang

memperoleh kursi di parlemen dituntut untuk menciptakan

mayoritas politik agar dalam sistem parlementer dapat

membentuk pemerintahan atau dalam sistem presidensil

mengefektifkan pemerintahan.61

b. Pengorganisasian pemerintahan

Pada fungsi ini partai politik menyediakan mekanisme untuk

pengorganisasian kepentingan dan menjamin kerjasama

diantara individu-individu legislator.

c. Implementasi tujuan kebijakan

Ketika dipemerintahan, partai politik adalah aktor sentral yang

menentukan output kebijakan pemerintahan. Normalnya,

pelaksanaan fungsi ini dibentuk dari transformasi manifesto

partai dan janji kampanye. Manifesto (pernyataan) partai atau

platform partai dan janji kampanye dengan kebijakan

semestinya adalah linier.62

d. Mengorganisasikan ketidaksepakatan dengan oposisi

60Ibid.
61Firmanzah, 2010, Mengelola Partai Politik, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm.35.
62Ibid.
41

Fungsi ini diperankan oleh partai-partai yang tidak menjadi

bagian dari penguasa (eksekutif). Pada fungsi ini partai oposisi

mengembangkan altenatif kebijakan diluar kebijakan yang

ditempuh penguasa. Harapannya, partai oposisi dapat menarik

simpati pemilih sehingga di pemilihan berikutnya kekuasaan

dapat diambil alih.63

e. Menjamin tanggung jawab tindakan pemerintah

Partai penguasa bertanggung jawab terhadap berbagai tindakan

yang dilakukan pemerintah. Mekanisme ini menjadikan

pemilih lebih mudah untuk memberikan kredit atau

penghukuman atas keberhasilan dan kegagalan sebuah

pemerintahan.

f. Kontrol terhadap administrasi pemerintahan

Fungsi ini terkait dengan peran partai dalam ikut mengontrol

birokrasi pemerintahan. Peran itu diwujudkan dalam

keterlibatan partai menyeleksi sejumlah individu-individu yang

akan menempati jabatan politik tertentu yang sudah disepakati.

g. Memperkuat stabilitas pemerintahan

Stabilitas pemerintahan secara langsung terkait dengan tingkat

kesatuan partai politik. Stabilitas partai membuat stabil

63Arifin Rahman, 1998, Sistem Politik Indonesia, LPM IKIP, Surabaya, hlm.52.
42

pemerintahan, dan stabilitas pemerintahan berhubungan

dengan stabilitas demokrasi.64

Fungsi partai politik itu mencangkup fungsi (i) mobilisasi dan

integrasi; (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih

(Voting Patterns); (iii)ssarana rekruitmen politik ; (iv) sarana elaborasi

pilihan-pilihan kebijakan. Keepat fungsi tersebut sama-sama terkait satu sama

lain. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam

upaya mengartikulasikan kepentingan (interest articulation) atau political

interest yang terdapat atau terkadang yang tersembunyi dlam masyarakat. 65

4. Peran Partai Politik

Di dalam ilmu politik, partai politik mempunyai peranan

yang sangat besar dalam menjamin kelancaran proses politik di dalam sebuah

sistem demokrasi perwakilan. Partai politik merupakan agen demokratisasi di

dalam sebuah sistem politik yang demokratis. Dalam definisinya, partai

politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau

berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dimana partai politik adalah

64 Arifin Rahman ,Ibid.hal.52.


65Jimly Asshiddiqie, Op Cit., hal . 717-718.
43

suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,

nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.66

Dalam hal ini partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan

(role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan

peran penghubung yang sangat strategis antara proses – proses pemerintahan

dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa paratai

politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti yang dikatakan

oleh SchatTubagus Soenmandjaja chneider (1942), “Political parties created

democracy.” Oleh karena itu, paratai politik merupakan pilar yang sangat

penting untuk diperkuat derajat pelembagaanya (the degree of

institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis bahkan, oleh

SchatTubagus Soenmandjaja chneider dikatakan pula, “Modern democracy is

unthinkable save in terms of parties.”67

Partai politik sebagai sebuah organisasi yang secara sadar didirikan

atau dibentuk didasarkan atas kepentingan yang sama dan sekaligus

dirancang dalam kerangka memiliki kekuasaan memerintah.68 Namun

demikian dalam konteks hukum tata negara keberadaan partai politik jelas

tidak mungkin untuk ditolak, mengingat struktur atau anatomi organisasi

kekuasaan tentu membutuhkan perangkat atau piranti untuk melengkapi

66 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 160
67Jimly Asshiddiqie,Pengantar Hukum Tata Negara ,(Jakarta;PT RajaGrafindo Persada,2009),hlm401
68 Sudarsono, , “Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik”, dalam Wiyono, Suko, &

Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang:Malang Press,.hal. 16.
44

anatomi tersebut. Partai politik merupakan salah satu dari sekian piranti yang

dibutuhkan dalam membangun dan membentuk anatomi organisasi kekuasaan

yang disebut negara itu.69

Partai politik sebagai salah satu dari piranti untuk

membangun anatomi organisasi kekuasaan (negara) muncul karena adanya

paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat

terelakkan, jikalau katup demokrasi dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan

menjadi warna dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan. 70 Dominasi

peran partai politik tentu tidak menjadi masalah (besar) jika partai-partai

politik menunjukkan kinerja yang fungsional dan berarti bagi perwakilan

politik rakyat.71

Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan

berkembangnya berbagai partai politik seharusnya juga dibarengi dengan tata

aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh partai politik. Hal ini

mengingat partai politik dalam aktifitasnya berfungsi untuk

merepresentasikan kepentingan publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni

negara atau pemerintah. Oleh sebab itulah persyaratan dan tata cara pendirian

partai politik harus diatur dalam instrumen hukum, yakni undang-undang.

Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk

69 B. Hestu Cipto Handoyo,Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma .Jaya,
2009,hlm. 266.
70 B. Hestu Cipto Handoyo Ibid.,hlm. 267.
71 Tommi A. Legowo, Op.Cit., hlm. 88.
45

mendirikan sebuah partai politik di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak

lain adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah

Tangga (ART) yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke

Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Dengan adanya

persyaratan semacam ini, maka sejatinya partai politik tidak lain adalah

sebuah badan hukum yang merupakan subyek hak. Secara internal posisi

AD/ART yang sudah disahkan melalui akta notaris pada hakikatnya

berkedudukan sebagai konstitusi partai politik. Oleh sebab itu untuk

melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan oleh organ

tertinggi partai politik tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam

bentuk kongres atau muktamar dari partai politik yang bersangkutan.72

Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa

organisasi partai politik dibentuk untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan

kepentingan politik masyarakat serta baru disusul memperjuangkan

kepentingan politik bangsa dan negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan

undang-undang dalam mengartikan partai politik ternyata lebih

mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh rumusan yang hanya

72 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hlm. 267.


46

mementingkan kelompok dan tidak berpihak kepada kepentingan bangsa dan

negara. Ini sangat memprihatinkan.73

Philippe Nonet dan Philip Selznick berpendapat:

“…, legal action comes to serve as a vehicle by which groups and

organizations may participate in the determination of public policy.”74

(…, tindakan hukum menjadi kendaraan bagi sekelompok orang atau

organisasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik.)

Secara prinsipil keberadaan partai politik dalam sistem

ketatanegaraan disamping untuk memenuhi tuntutan demokrasi, juga

merupakan manifestasi dari hak politik warga negara yang dijamin oleh

konstitusi. Intervensi terhadap kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh

pemerintah, secara normatif jelas merupakan pelanggaran terhadap demokrasi

dan hak politik warga negara.75

5. Sistem Partai Politik

Sistem kepartaian di Indonesia kelihatannya belum efektif sebagai

saluran partisipasi politik rakyat, khususnya para anggota dan simpatisannya,

karena lebih menonjol sisi sentralisme dan personalisme ketua umum

73B. Hestu Cipto Handoyo ,Ibid.,hal.208.


74Philippe Nonet & Philip Selznick. Law and Society in Transition:Toward Responsive Law, Harper &
Row : New York.1978., hal. 96.
75 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 271
47

daripada sisi demokrasi dan partisipatif para anggota walaupun menurut UU

dan AD/ART setiap partai politik kedaulatan partai berada pada anggota.76

Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan

fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan

menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan

ditetapkan dalam AD dan ART partai politik. Selain harus demokratik sesuai

dengan asas kedaulatan partai terletak di tangan para anggota, AD/ART partai

politik perlu dirumuskan secara komperhensif dan rinci sehingga mampu

berfungsi sebagai kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam

melaksanakan semua fungsi partai politik. Suatu partai politik dapat

dikatakan sudah melembaga dari segi kesisteman apabila partai politik

melaksanakan fungsinya semata-mata menurut AD/ART yang demokratik

dan dirumuskan secara komprehensif dan rinci tersebut.77

Partai politik tampaknya masih lebih menonjol sebagai organisasi

pengurus yang bersifat sentralistik dan personalistik daripada organisasi

rakyat atau organisasi kader dari, oleh dan untuk para anggota atas dasar

platform politik dan ekonomi tertentu.78 Suatu contoh sederhana sisi

76 Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . ., hlm. 33.


77 Ramlan Surbakti, , “Perkembangan Partai Politik Indonesia”, dalam Ramses M., Andy, Dkk,
Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. 2009., hlm. 143-
144.
78 Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hl. 34
48

sentralisme dan personalisme ketua umum adalah pada Pasal 9 ayat (3) ART

Partai Kebangkitan Bangsa yang menentukan:

“Anggota atau kepengurusan Partai harus tunduk kepada pimpinan

struktur organisasi Partai yang lebih tinggi di dalam hal-hal yang tidak

bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan

disiplin Partai lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai.”

Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan

sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht). Jadi dalam konsep hukum publik,

wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum. Sebagai suatu konsep hukum

publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:

 Pengaruh;

 Dasar hukum;

 Konformitas hukum.

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar

hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan

komponen konformitas hukum, mengandung makna adanya standar

wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus
49

(untuk jenis wewenang tertentu).79 Wewenang adalah kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang

adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang

berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. 80

AD dan ART partai politik merupakan Kode Etik bagi anggota partai

politik, sebagai pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari

pertimbangan yang berdemensi moral. Hal tersebut secara tidak langsung

terkait dengan bidang hukum dan menunjukan bahwa muatannya

mengandung unsur-unsur filosofis, normatif dan teknis.

6. Kewenangan Partai Politik

Philipus M. Hadjon, dalam tulisannya tentang wewenang

mengemukakan bahwa “istilah wewenang disejajarkan dengan istilah

bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Yaitu istilah bevoegheid digunakan

dalam konsep hukum public dan hukum privat, sementara istilah wewenang

atau kewenangan selalu digunakan dalam konsep hukum publik.81

Sebagai hukum publik wewenang (bevoegheid) dideskripsikan

sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht) diaman konsep hukum tersebut

79 Philipus M. Hadjon, “Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi”, Yogyakarta :Gadjah Mada

University Press, , 2011.,hlm. 10-11.


80 S.F. Marbun, , “Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia”,

(Yogyakarta :FAHRI HAMZAH UII Press), 2011,, hal. 144.


81Philipus M.Hadjon, 2006,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to Indonesian

Administrative Law,Yogyakarta:Gajah Mada University Press.hlm.1.


50

berhubungan pula dengan dalam pembentukan besluit (keputusan

pemerintahan) yang harus didasarkan atas suatu wewenang.82 Dengan kata

lain, keputusan pemerintah oleh organ yang berwenag harus di dasarkan pada

wewenang yang secara jelas telah diatur, dimana wewenang telah di tetapkan

secara terlebih dahulu. Secara yuridis kewenangan merukan kekuasan formal

yang berasal dari Undang-Undang, sedangkan wewenang adalah suatu

spesifikasi dari kewenangan itu sendiri. Mudahnya barang siapa diberi

kewenangan oleh undang-undang maka ia berwenang melakukan sesuatu.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia Kewengan diartikan sebgai

hak yang dipunyai dalam melakukan sesuatu.83 Kaitanya dengan Kewengan

Partai politik yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah melalui Undnag-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 pada pasal 12 telah dituliskan.

Partai Politik berhak :

a. Memperoleh perlakuan yang sama adil dan sederajat yang sama ;

b. Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;

c. Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar

Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

82Philipus M.Hadjon,Ibid.hlm.1.
83Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Cetakan Pertama Edisi III,Jakarta:Balai Pustaka,hlm1272.
51

d. Ikut serata dalam pemili xhan umum untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Presiden dan Wakil Presiden serta kepala Daerah dan wakil

Kepala Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e. Membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

f. Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan;

g. Mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai

dengan peraturan perudang-undangan;

h. Mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan

peraturan perudang-undangan;

i. Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden , calon

gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati,

sertacalon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;
52

j. Membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik;dan

k. Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.84

Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2011 pada pasal 12 huruf g memungkinkan adanya pergantian antar waktu

Anggota Dewan Perwakilan rakyat .

B. Tinjauan Tentang Sistem Ketatanegaraan

Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau

menyusun skema atau tatacara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk

mencapai sesuatu atau beberapa tujuan.85

Sistem secara etimologis menurut Webster’s New Collegiate Dictionary

terdiri dari kata “syn” dan “histanai” dari kata Greek, yang berarti to place

together (menempatkan bersama).86 Dilihat dari segi etimologi, sistem adalah

84 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah melalui

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 pada pasal 1.


85 Imam Syaukani & A.Ahsin Thohari , Dasar-Dasar Politik Hukum , Jakarta : Rajagrafindo Persada ,

2010, ,hlm.61.
86 Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia :Pemahaman Secara Teoristik Dan

Empirik,Jakarta :Raja Grafindo,2012,hlm.7.


53

sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama

untuk melakukan suatu maksudnya.87

Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau

elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam sistem tidak menghendaki

adanya konflik antar unsure unsur yang ada dalam sistem, kalau sampai terjadi

konflik maka akan segera diselesaikan oleh sistem tersebut.88

Sistem berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling

hubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti pengetahuan-

pengetahuan yang terkandung didalamnya harus saling berhubungan antara satu

dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem.89 Berpikir secara

sistem, berarti secara menyeluruh hal-hal yang didekati tidak lagi bermula dari

bagian-bagian, tetapi sebaliknya berasal dari keseluruhan.90

Dengan demikian dalam sistem ada tiga unsur:

1. Faktor atau faktor-faktor yang dihubungkan;

2. Hubungan yang tidak dipisahkan antara faktor-faktor itu tadi;

3. Karena hubungannya, maka membentuk suatu kesatuan.91

Sistem adalah sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagian-

bagian) yang berbeda-beda (diverse) yang saling berhubungan (interrealated),

87 Dasril Rajab , Hukum Tata Negara Indonesia , Jakarta:Rineka Cipta , 2005 ,hlm 64.
88 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju
Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012,hlm. 311.
89 A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, Dan Aksiologis,

Jakarta : Bumi Aksara, 2011, hlm. 85.


90 Pandji Santosa, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good Governance, Bandung: Refika

Aditama, , 2009, hlm. 79.


91 Sukarna, Sistim Politik, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 13.
54

saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu

sama lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai

tujuan (output) tertentu dalam lingkungan (environment) yang kompleks. Untuk

mengetahui apakah segala sesuatu itu dapat dikatakan sistem maka harus

mencakup lima unsur utama, yaitu:

1. Adanya sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagian-

bagian, atau elemen-elemen).

2. Adanya interaksi atau hubungan (interrealatedness) antar unsur-unsur

(bagian-bagian, elemen-elemen).

3. Adanya sesuatu yang mengikat unsur-unsur (working independently

and jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling tergantung dan

bekerja sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity).

4. Berada dalam suatu lingkungan (environment) yang kompleks

(complex).

5. Terdapat tujuan bersama (output), sebagai hasil akhir.92

Sistem merupakan keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu

mempunyai hubungan yang membentuk struktur. Sistem mempunyai aturan-

aturan hukum atau norma-norma untuk elemen-elemen tersebut, kesemuanya

berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-aturan yang lebih tinggi.

Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur piramid dan hirarkhi

92 Beddy Iriawan , Sistem Politik Indonesia : pemahaman Secara Teoritik Dan Empirik , Jakarta : Raja
Grafindo , 2012,hlm.8-9.
55

dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya. Hubungannya merupakan

hubungan pembenaran.93

Dengan demikian, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu

rangkaian, yang kait-mengkait satu sama lain. Fungsi sistem bagi unsur-unsur,

elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama

lain berada dalam keadaan kait-mengkait adalah mutlak adanya. Suatu sistem

berfungsi aktif, yaitu menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang

telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten,

sehingga pencapaian tujuan itu membentuk totalitas unit lebih dapat terjamin.

Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan

ketatanegaraan. Yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan ialah hubungan

timbal balik antar lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam Undang-

Undang Dasar untuk mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasarnya. Dengan demikian, untuk mengetahui sistem

ketatanegaraan suatu negara, kita harus mengetahui lebih dulu lembaga-

lembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasarnya.94

Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan dikaitkan dengan sistem

ketatanegaraan Indonesia maka dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan

Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi

93 H.R. Otje Salman S. & Anthon F. SusantoTeori Hukum (Mengingat,Mengumpulkan, Dan Membuka

Kembali), , Bandung :Refika Aditama, , 2010, hlm. 89.


94 Sri Soemantri Martosoewignjo, “Lembaga Negara Dan State Auxiliary Bodies Dalam Sistem

Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, dalam Siti Sundari Rangkuti, Dkk, Editor, Dinamika Perkembangan
Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 2008. hlm. 197.
56

negara Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan kedudukan

lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu

sama lain menurut UUD 1945.95

Istilah “susunan ketatanegaraan” terdiri dari kata “susunan” dan

“ketatanegaraan”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh

W.J.S. Poerwadarminta, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976).

“Susunan” mempunyai 3 (tiga) macam arti, yaitu:

1. tumpukan (an); mis. susunan buku;

2. barang apa yang telah disusun (diatur, dsb); mis. Susunan kalimat,

susunan pegawai, susunan panitia;

3. (penyusunan), perbuatan (cara, dsb) menyusun.

Dalam pada itu menurut kamus yang sama, “ketatanegaraan” diberi arti

“segala sesuatu mengenai tata negara seperti politik, dsb.”. Dalam kamus itu

juga “tata negara” diberi arti “segala sesuatu yang mengenai peraturan-

peraturan, susunan dan bentuk pemerintahan negara; hukum tata negara,

hukum yang bertalian dengan susunan dan peraturan negara; ilmu tata negara,

pengetahuan mengenai tata negara.” Dengan berpedoman pada kamus tersebut,

“susunan ketatanegaraan” dapat diberi arti “segala sesuatu yang berkenaan

95 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan Di
Indonesia Dan Masa Depan MPR, Bandung,: Fokusmedia, , 2009,hlm. 68.
57

peraturan susunan dan bentuk pemerintahan negara, serta hukum tata

negara”.96

M. Solly Lubis berpendapat bahwa kajian atau studi ketatanegaraan

modern (modern constitutionalism), tidak hanya berkutat mengacu secara

normatif kepada aspek hukum (juridical thinking) melulu, tetapi juga, dimana

perlu, harus juga mengacu pada segi filosofis dan politis, karena memang

menurut disiplin ilmu hukum tata negara modern ini, ada 3 (tiga) macam

rujukan paradigmatik dalam metode analisisnya, yaitu:

a. Paradigma filosofis (philosophical paradigm), yang bersumber pada

nilai-nilai (values) dan asas-asas (principles) yang dianut secara

nasional. Bagi kita di Indonesia ialah nilai-nilai dan asas-asas yang

terkandung dalam ideologi Pancasila.

b. Paradigma yuridis (juridical paradigm), yakni prinsip dan patokan

yang terdapat dalam UUD dalam peraturan-peraturan organiknya.

c. Paradigma politis (political paradigm), yakni garis-garis kebijakan

yang berupa haluan negara (state policy), dulu GBHN, sekarang

RPJPN.97

Ciri yang khas pada norma hukum tata negara, ialah bahwa ia adalah

mengenai ketatanegaraan atau pemerintahan negara.98 Definisi hukum tata

96 Sri Soemantri Martosoewignjo, , “Susunan Ketatanegaran Menurut UUD 1945”, dalam Sri Soemantri

M., Dkk, Editor, Ketatanegaran Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia 30 Tahun Kembali Ke Undang-
Undang Dasar 1945, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993. hal. 35-36.
97 M. Solly Lubis, “Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan Hukum Yang Paradigmatik”,

dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-
80 Prof. Solly Lubis, Jakarta: Sofmedia, 2010, hlm. 64.
58

negara adalah sekumpulan peraturan baik tertulis (berwujud peraturan

perundang-undangan) maupun tidak tertulis (kebiasaan/konvensi) yang

mengatur organisas kekuasaan yang disebut negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan

bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar. Selain itu, berdasarkan Pancasila maka dianut pula prinsip

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Sehingga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat

berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat

dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai

demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangakan aspirasi rakyat,

termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan

kehidupan berbangsa dan bernegara.99

Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 tahap pada periode

1999-2002. Perubahan ini akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga

perwakilan di Indonesia. Sehingga pada era reformasi, terjadi masa transisi

menuju Indonesia baru dengan sistem ketatanegaraan yang sama sekali

berubah secara fundamental dari sistem ketatanegaraan sebelumnya

98M. Solly Lubis, , Hukum Tatanegara, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 39.
99Penjelasan Umum Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
59

berdasarkan UUD 1945 yang asali. Salah satu gagasan fundamental yang sudah

diadopsi yaitu anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)

dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan

(distribution of power) yang berlaku sebelumnya dalam sistematika UUD

1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa

kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di tangan Presiden

dan dilakukan dengan persetujuan DPR, maka dalam perubahan pertama dan

kedua UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk undang-

undang (UU) itu ditegaskan berada ditangan DPR, sedangkan Presiden

menurut Pasal 5 ayat (1) yang baru ditentukan hanya berhak mengajukan

rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR. Perubahan ini menegaskan

terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, dengan

konsekuensi berubah pula pengertian tentang anutan prinsip pembagian

kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama ini. 100

Latar Belakang Amandemen UUD 1945:

1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang

bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya

melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berkaitan pada tidak

terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.

2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat

besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang

100 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata …., Op Cit , hlm,. 153.
60

dianut UUD 1945 adalah executive heavy yaitu kekuasaan dominan

berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak

konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi

grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif

karena memiliki kekuasaan membentuk undangundang.

3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan

“fleksibel” sehingga menimbulkan lebih dari satu penafsiran

(multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diamandemen).

4. UUD 1945 terlalu banyak memberii kewenangan kepada kekuasaan

Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.

Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat

merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam undang-

undang.101

Tuntutan reformasi melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dan sistem

ketata negaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut terjadi pada

kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah

(selanjutnya disebut DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang

dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran lembaga baru

101M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, hlm.77—78.
61

dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D. Sebagai

tindaklanjut dari Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang No. 16

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama

ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami

perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga

sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar,

melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahan-perubahan mendasar

dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai

hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara

struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang

mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari

unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip

perwakilan daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan

yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan

mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai

‘supreme body’ yang memilik kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan
62

102
karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar.

Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 (enam) kewenangan

yaitu:

a. menetapkan Undang-Undang Dasar dan Mengubah Undang-Undang

Dasar,

b. menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,

c. memilih Presiden dan Wakil Presiden,

d. meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden,

e. memberihentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR

berubah menjadi: (a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan

UUD, (b) melantik Presiden dan Wakil Presiden, (c) memberihentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden, (d) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden

pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana

messtinya. Ketiga, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of

power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan pasal

5 ayat (1) juncto pasal 20 ayayt (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang

dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945.

Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk

UndangUndang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala

102 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun

1945, Makalah Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan PembinaanHukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14—18 Juli 2003, hlm.15.
63

pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu

rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi

menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem

pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke

lembaga-lembaga Negara di bawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat

dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang sekaligus

dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem presidensial dalam


103
UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu, maka konsep

dan sistem pertanggung jawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan

rakyat, kedaulattan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi

legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan

dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu

paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. 104 Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara ,

dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia

yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang

103
Jimly Asshiddiqie ,Ibid., hlm. 16.
104Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dewan Perwakilan
Daerah
64

secara bersama-sama kewenangannya sederajat dengan Presiden dan Wakil

Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

C. Tinjaun Tentang Parlemen

1. Pengertian Parlemen

Dalam hal ini legislative memiliki banyak nama, seperti : assembly,

parliament, house dan chamber, namun semuanya merujuk pada hal yang sama.

Assembly merupakan tempat berkumpulnya para perwakilan yang terpilih yang

mengadakan rapat mengenai urusan publik ; parliament adalah tempatnya orang

“mengobrol” ; house dan chamber adalah tempat dimana assembly dan parliament

bertemu, yakni Majelis Rendah (House of Common), Majelis Tinggi ( House of

Representative), dan Dewan Legislatif (Chamber of Deputi) di beberapa

parlemen.105

Parliament menurut Oxford Dictionary of Law sebgai noun adalah the

legislature of UK (badan legislative Inggris).106

Parliament menurut Black’s Law Dictionary, yaitu : “The supreme

legislative body of some nations” (badan legislative tertinggi di sebuah negara).107

105 Kenneth Newton – Jan W. Van Deth , Op. Cit, hlm. 94.
106 Elizabeth A. Martin,Oxford Dictionary of Law: Seventh Edition,(New York:Oxford University
Press,2009),hal.393.
107 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary: Ninth Edition, (United State of Amerika : Thomso

Reuters Publishing),hal.1225.
65

1.1 Parlemen Menurut Undang-Undang

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang menjalankan

sistem pemerintahan negara memiliki tugas dan wewenang tersendiri yang

bertujuan agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami ketidakjelasan atau

tumpang tindih dengan lembaga negara lainnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang dimaksudkan dengan DPR adalah

lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1.2 Perlemen Menurut Para Ahli

Perwakilan (representation) yang dikenal saat ini adalah (political

representation ), yaitu perwakilan rakyat yang melalui partai politik (parpol) yang

mempunyai kemampuan atau kewajiban dan bertindak atas nama orang yang

memilih partai tersebut. Lembaga ini di Indonesia disebut juga dengan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) atau parlemen. Namun , dalam perkembangannya

lembaga perwakilan (politik) ini sering disebut lembaga legislatif karena tugas

utamanya adalah membuat UU. 108

K.C. wheare mengemukakan bahwa pengertian parlemen dan legislature

sama, akan tetapi penggunaan nomenklatur legislature dapat menyesatkan karena

fungsi dari lembaga tersebut tidak hanya membuat UU, tetapi juga memiliki

108 Efriza, Op Cit. hlm.3.


66

fungsi lainnya, yaitu mengawasi eksekutif (fungsi pengawasan), bahkan dialami

negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, lembaga ini bertugas

membentuk pemerintahan (eksekutif).109 Parlemen adalah sebuah lembaga yang

mencangkup beberapa orang dari perwakilan rakyat dengan jumlah yang sangat

terbatas, yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain dengan kesamaan

geografis, di bawah naungan apa yang dinamakan dengan negara dalam

kedudukan mereka sebagai wakil rakyat. Parlemen atau Dewan Perwakilan

Rakyat memiliki bentuk dan nama yang berbeda di tiap negara berdasarkan rezim

yang silih berganti pada suatau negara.110

Secara umum, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen pada mulanya di

pandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta

menentukan jalannya pemerintahan. Apa yang diputusakan oleh parlemen, itulah

yang dianggap sebagai keputusan rakyat yang berdaulat.111

2. Struktur Parlemen

Secara umum, ada tiga prinsip perwakilan yang dikenal di dunia , yaitu :

i. Representasi politik (political representation)

ii. Representasi territorial (territorial representation)

109 Fatmawati,Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan sistem Multikameral: Studi

perbandingan Anatara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Pers,2010,hlm.30.


110 Ali Muhammad Ash-Shallabi, “Parlemen di Negara Islam Modern”, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,

2016,hlm.13
111 Jimly Asshiddiqie,”Pokok – Pokok Hukum Tata Negara Indonesia : Pasca Reformasi “, Jakarta : Pt.

Buana Ilmu Populer , hlm.153.


67

iii. Representasi funsional (functional representation)

Yang pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai

salah satu pilar demokrasi modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang

tidak sempurna jika tidak di lengkapi dengan sistem “double- check”

sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat dapat disalurkan dengan

baik. Karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan perwakilan

daerah (regional representation) atau perwakilan territorial (teritorial

representation). Untuk negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-

negara yang berbentuk federal, sistem double-checks ini diangp lebih ideal.

Karena itu, banyak diantaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk

struktur parlemen bicameral atau dua kamar.112

Saat ini di dunia dikenal dengan du sistem perwakilan, yaitu :

i. Parlemen unicameral (monokameral) , dan

ii. Parlemen bikamarel.

Parlemen yang terdiri atas satu lembaga perwakilan disebut unikameral,

sedangkan yang terdiri atas dua lembaga disebut bikameral. Republik

Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan

sangat besar jumlah penduduknya. Karena itu, UUD 1945 yang sejak

semula manganut “semua harus terwakili,” melembagkan ketiga prinsip

perwakilan politik, perwakilan territorial, dan perwakila fungsional

112Jimly Asshiddiqie.,Ibid., hal 154.


68

sekaligus dalam keanggotaan lembaga permusyawaratan rakyat oleh MPR ,

Itu sebabnya maka Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang lama berbunyi,

“ MPR terdiri atas anggota – anggota DPR , di tambah dengan utusan –

utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut yang ditetapkan

dengan undang-undang.” 113

Ketiga metode perwakilan tersebut, yaitu perwakilan politik (political

representation), perwakilan teritorial (territorial representation), dan

perwakilan funsional (functional representation).

3. Tata Tertib DPR Mengenai Recall

Pengaturan mengenai pemberhentian antar waktu pada Dewan

Permusyawaratan rakyat diatur dalam peraturan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib, yaitu :

Bagian Keempat

Pemberhentian Antarwaktu

Pasal 13

(1) Anggota berhenti antarwaktu karena:

a. meninggal dunia;

113 Jimly Asshiddiqie.,Ibid.,hal156


69

b. mengundurkan diri; atau

c. diberhentikan.

(2) Anggota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf c, apabila:

a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-

turut tanpa keterangan apa pun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau

lebih;

d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan

umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;

f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-

undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD;


70

g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; atau h. menjadi anggota

partai politik lain.

Pasal 14

(1) Pemberhentian Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat

(1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g,

dan huruf h diusulkan oleh ketua umum atau sebutan lain pada

kepengurusan pusat partai politik dan sekretaris jenderal kepada

pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.

(2) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib

menyampaikan usul pemberhentian Anggota kepada Presiden untuk

memperoleh peresmian pemberhentian.

(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak usul pemberhentian

Anggota dari pimpinan DPR diterima.

Pasal 15

(1) Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf g dan yang


71

bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan,

pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Dalam hal belum ada putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR tidak menindaklanjuti usulan

partai politik atas pemberhentian Anggota kepada Presiden.

(3) Dalam hal pemberhentian didasarkan atas Putusan Mahkamah

Kehormatan Dewan mengenai pemberhentian tetap, Mahkamah

Kehormatan Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna

DPR untuk mendapatkan persetujuan.

(4) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak usul pemberhentian

Anggota dari pimpinan DPR diterima.

Bagian Kelima

Penggantian Antarwaktu

Pasal 16

(1) Anggota yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13 digantikan oleh calon anggota yang memperoleh suara


72

terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara

dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

(2) Dalam hal calon anggota yang memperoleh suara terbanyak urutan

berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia,

mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon

anggota, Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan

oleh calon anggota yang memperoleh suara terbanyak urutan

berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang

sama.

(3) Masa jabatan Anggota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa

jabatan Anggota yang digantikannya.

Bagian Keenam

Tata Cara Penggantian Antarwaktu

Pasal 17

(1) Pimpinan DPR menyampaikan nama Anggota yang diberhentikan

antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada

Komisi Pemilihan Umum.

(2) Komisi Pemilihan Umum menyampaikan nama calon pengganti

antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


73

13 kepada pimpinan DPR paling lambat 5 (lima) Hari sejak surat

pimpinan DPR diterima..

(3) Paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti

antarwaktu dari Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan nama Anggota yang

diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.

(4) Paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak nama Anggota yang

diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima, Presiden meresmikan

pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.

(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota pengganti antarwaktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengucapkan sumpah/janji yang

dipandu oleh pimpinan DPR, dengan tata cara dan teks sumpah/janji

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10.

(6) Penggantian antarwaktu tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan

Anggota yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan terhitung mundur

dari tanggal pelantikan Anggota yang baru.


74

D. Hak Recall

1. Pengertian Hak Recall Menurut Undang-Undang

Recall dalam UU MD3 disebut sebagai pemberhentian/penggantian

antarwaktu (pemberhentian dalam masa jabatannya), sebagaimana diatur

dalam Bagian Pemberhentian Antar Waktu, Pergantian Antar Waktu, dan

Pemberhentian Sementara anggota DPR dan DPRD kabupaten/kota yang

diatur dalam Pasal 213 ayat (1) dan (2) serta Pasal 383 ayat (1) dan (2) UU

MD3.

Jika recall diartikan dalam arti luas berdasarkan Pasal 213 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya

sebagai instrumen/lembaga yang dapat mengontrol keanggotaan DPR, karena

ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka keanggotaan DPR yang

bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.

Recall diusung pertamakali di tahun 1912 dalam sebuah jurnal yang

artikel tersebut berjudul “initiative,Referendum and Recall” yang di tulis oleh

George W. Guthri di Annals of The American Academy of Political Science,

volume 43 September. Dalam jurnal ini recall di gagas untuk,

“…menyediakan suatu sistem melalui mana mereka (rakyat) dapat mengganti

pejabat eksekutif atau legislative yang mereka pilih, yang telah terbukti tidak
75

mampu atau tidak terpercaya.” Pemahaman ini kemudian di bakukan dalam

Webster’s Third New International Dictionary English Language Un-

abridged, Volume II H to R, yang mendefinisikan recall sebagai, ”hal atau

prosedur melalui mana seorang pejabat eksekutif untuk bisa di turunkan dari

jabatan sebelum akhir masa jabatan melalalui mekanisme pemungutan suara

oleh rakyat yang dilakukan atas dasar pengajuan suatu petisi yang

ditandatangani oleh sejumlah (misalnya 25 persen) pemilih yang sah.114

Menurut Undnag-Undang Nomor 16 ahun 1969 tentang Susunan

Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, hak recall disebut ‘‘hak megganti’’,

sebagaaiana tercantum dalam pasal 43, Yt (1), yang bunyinya : “Hak

mengganti Utusan Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum dalam Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi peserta pemilihan

Umum yang bersangkutan dan dalam pelaksanaan hak tersebut terlebih

dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan”. 115

Recall telah hadir dan dikenal secara formal di bumi Indonesia sejak

Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang

114Jimly Asshiddiqie., Op Cit, hlm.300.


115Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Register Perkara 008/puu-1/2006, Djoko Edhi
Soetjipto Abdurahman.
76

Pemilihan Umum. Undang-undang ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru

naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama. Pencantuman hak recall

dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan

anggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang masih

loyal pada Orde Lama pimpinan Soekarno.116 Dengan demikian hak recall

diatur dalam suatu undang-undang bukan diatur dalam Peraturan Tata Tertib

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, karena didasarkan atas

pertimbangan bahwa Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong hanya mengikat secara intern sedangkan undang-undang

akan mengikat juga secara ekstern partai politik atau organisasi politik yang

mempunyai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Keberadaan

hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 huruf a, huruf b, dan

huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong Menjelang Pemilihan Umum bahwa:

Anggota-anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan

sebagai berikut:

a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan

partai yang bersangkutan.

116 Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.,
(Yogyakarta FAHRI HAMZAH UII Press.),.2011 . hal. 160..
77

b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi

dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya

yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya.

c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi

dengan sesuatu partai politik dapat diganti atas permintaan

organisasinya atau instansi yang bersangkutan.

Rumusan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum diperjelas

dengan Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum sebagai

berikut:

“Perlu dijelaskan, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai penggantian

anggota-anggota menurut pasal 15 ini dengan sendirinya harus didahului oleh

pemberitahuan Pimpinan MPRS DPR-GR sehingga bila ada selisih pendapat

antara anggota yang akan diganti dengan partai/organisasi massa yang

bersangkutan, Pimpinan MPRS/DPR-GR dapat memberikan jasa-jasa

baiknya. Namun demikian dalam taraf terakhir partai/organisasi massa-lah


78

yang menentukan, dengan menghindarkan adanya tindakan yang sewenang-

wenang.”

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

Royong Menjelang Pemilihan Umum telah mengalami perubahan tiga kali.

Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975. Pasal 1 angka 36

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5


79

Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (1) diganti dengan ketentuan yang

berbunyi sebagai berikut:

“Hak mengganti utusan/Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum

dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi

peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan hak

tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan

Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan.”

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah

diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43

ayat (6) diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:

“Tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/

Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

Peraturan pe laksana yang mengatur penggantian keanggotaan DPR

yang berhenti antar waktu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun

1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan


80

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1985. Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru,

sejumlah partai politik yang pernah melakukan recalling terhadap anggota

partainya di lembaga perwakilan rakyat antara lain:

Pertama, PPP di bawah kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan

recall untuk Syarifudin Harahap, Tamin Achda, Murtadho Makmur, Rusli

Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, Ruhani Abdul hakim

(semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun usulan recalling untuk

mereka yang diusulkan sejak Desember 1984 hingga Maret 1985 ditanggapi

dingin oleh pimpinan DPR waktu itu Amir Machmud dan ternyata usul recall

itu tidak diteruskan oleh pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian pada

tahun 1995 Sri Bintang Pamungkas direcall oleh Fraksi Persatuan

Pembangunanan (DPR periode 1992-1p998) dengan alasan melakukan ‘dosa

politik’ (melanggar tata tertib partai). Usulan FPP disetujui oleh ketua DPR

Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. Kedua, PDI di bawah

kepemimpinan Soenawar Soekawati mengusulkan recalling untuk Usep

Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw, Soelomo, Santoso

Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng (semuanya anggota

DPR periode 1977-1982). Kemudian ketika PDI dipimpin Soerjadi pernah

diusulkan recalling untuk Marsoesi, Dudy Singadilaga, Nurhasan, Polensuka,


81

Kemas Fachrudin, Edi Junaedi, Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua

anggota DPR periode 1982- 1987). Ketiga, recalling di tubuh Golkar pertama

menimpa Rahman Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena

dianggap terlibat kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada

Bambang Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang dipandang

melakukan ‘dosa politik’ (melanggar tata tertib partai). Keempat, Fraksi

ABRI pernah me-recall anggotanya di MPR yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen

Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian kapal

perang bekas milik pemerintah Jerman.117

Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme

recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai

politik untuk menyingkirkan ‘lawan politik’ di tubuh partainya, tidak lagi

diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.118

Pengaturan recall kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, yang diatur pada Pasal 85 ayat (1) huruf c sebagai

berikut:
117 Ibid., hal. 161-162
118 Ibid., hal. 163.
82

Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

Rumusan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah diperjelas dengan Penjelasan Pasal 85 ayat (1)

huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai

berikut:

“Usul pemberhentian anggota DPR oleh partai politik didasarkan

alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2002 tentang Partai Politik.”

Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah menegaskan bahwa:

“Pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2) huruf d
83

dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk

diresmikan.”

Dengan demikian pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi

ketentuan pada Pasal 85 ayat (1) huruf c langsung disampaikan oleh Pimpinan

DPR kepada Presiden untuk diresmikan.

Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang

Partai Politik menentukan bahwa:

Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan

rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat

apabila:

b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan

karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Pengaturan recall pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan

bahwa:

1. Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik

2. Apabila: d. melanggar AD dan ART.

3. Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.


84

4. Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota

lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai

Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga

perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada tahun 2009, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Pengaturan recall kembali muncul dalam Pasal 213 ayat (2)

huruf e dan huruf h. Hegemoni partai politik dalam hak recall masih sangat

besar.

2. Pengertian Hak Recall Menurut Para Ahli

Hak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu hal

yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat

sesuatu.119 Maka dapat diartikan bahwa hak adalah kekuasaan yang benar

untuk menuntut sesuatu. Recall secara etimologi adalah penarikan kembali.

Sedangkan, recall menurut Dictionary of Law terbagi menjadi 2 (dua) , yaitu:

1. Sebagai Noun, memiliki arti:

119Tim Penyusun Kamus Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002). hlm.427.
85

a. Asking someone to come back; MPs are asking for the

recall of parliament to debate the crisis; after his recall, the

ambassador was interviewed at the airport.

b. US system of ending the term of office af an elected offcial

early, following a popular vote.120

2. Sebagai Verb, pengertian recall antara lain yaitu:

a. To ask someone to come back; MPs are asking for

parliament to be grecalled to debate the financial crisis; the

witness was recalled to the witness box; to recall an

ambassador = to ask an ambassador to return to his

country (usually as a way of breaking off diplomatic

relations).

b. To remember; the witness could not recall having seen the

papers121

Dalam Black’s Law Dictionary juga terdapat definisi mengenai recall yaitu :

1. Removal of a public official from office by popular vote.

2. A manufacturer’s request to consumers for the return of

defective producTubagus Soenmandjaja for repair of

replacement.

120 P.H.Collin, Dictionary Of Law: Third Edition, (London: Peter Collin Publishing, 2000), hlm. 306.
121 121 P.H.Collin ,Ibid.hlm.306
86

3. Revocation of a judgment for factual or legal reasons.122

Pemaknaan recall dalam Black’s Law Dictionary tersebut dibagi

menjadi 3 (tiga) makna, yaitu penghapusan seorang pejabat publik dari kantor

dengan suara rakyat, sebuah permintaan produsen untuk konsumen untuk

mengembalikan produk yang rusak untuk perbaikan penggantian, dan

pencabutan keputusan untuk alasan faktual atau hukum. Selain definisi recall,

terdapat Recall Election yang memiliki definisi adalah an election in which

voters have the opportunity to remove a public official from office,123 yang

artinya yaitu pemilu di mana pemilih memiliki kesempatan untuk menghapus

pejabat publik dari kantor.

Elizabeth A. Martin dalam Oxford Dictionary of Law mendefinisikan

Recall yaitu The further examination of a witness after his evidence has been

completed. The judge may permit the recall of a witness even after the close

of a party’s case to allow (evidence in rebuttal).124 Senada dengan Elizabeth,

L.B. Curzon dalam Dictionary of Law mengartikan recall sebagai Recall of

Witness yang memiliki definisi yaitu The judge has a discretionary power to

122 Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary: Seventh Edition, (United Staties of America: West Group

ST. Paul Minn,2000), hlm. 1019.


123 Ibid.,Hlm423.
124 Elizabeth A. Martin, Oxford Dictionary of Law: Third Edition, (New York: Oxford University Press,

2000), hlm.329.
87

allow the recall of a witness after the close af a party’s case to allow evidence

in rebuttal.125

Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris , yang terdiri dari kata

“re’ yang artinya kembali dan “call” yang artinya di panggil atau memanggil .

Jika kata ini disatukan maka kata recall ini akan berarti di panggil atau

memanggil kembali . Kata recall ini merupakan suatu istilah yang di temukan

dalam kamus ilmu politik yang di gunakan untuk menerangkan suatu

peristiwa penarikan seseorang atau beberapa wakil yang duduk dalam

lembaga perwakilan (melalui proses pemilu) , oleh rakyat pemilihnya .

Menurut C.F.Strong recall adalah pemberian hak bagi para pemilih

yang tidak puas untuk mengusulkan , di antara rentang waktu-waktu

pemilihan-pemilihan, agar wakilnya diberhentikan dan diganti dengan wakil

lain menurut kehendak rakyat.126, Jadi dalam konteks inin recall merupakan

suatu hak yang diiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya 127

Moh. Mahfud MD mengartikan recall adalah penggantian anggota

lembaga permusyawaratan/perwakilan dari kedudukannya, sehingga tidak

lagi memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut.128 Dari segi,

dihubungkan dengan hak partai untuk me-recall anggotanya dari kursi DPR,

125 L.B. Curzon, Dictionary Of Law: Fifth Edition, (Great Britain: Pitman Publishing, 1998), hlm. 401.
126 Efriza,Studi Parlemen; Sejarah, Konsep, da Lanskap Politik Indonesia ,(Malang :Setara
Press,2014).hlm 300.
127 Haris Munandar(ed),Pembangunan Politik ,Situasi Global dan Hak Asasi Manusia , Jakarta :

Gramdia .1994.hlm.128
128 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia,( Jakarta :Rajagrafindo Persada), hal. 254.
88

dapat dikatakan bahwa pemerintah secara tidak langsung mengontrol

mekanisme dan dinamika kerja DPR dengan menggunakan partai sebagai

kepanjangan tangannya.129 Dengan demikian adanya hal recall ini memberi

kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan intervensi ke DPR.

Denny Indrayana mengungkapkan bahwa recall adalah

mekanisme untuk memberhentikan anggota parlemen sebelum habis masa

jabatannya.130 Hal yang senada, J.J.A. Thamassen juga menyatakan bahwa

Recall Recht: het recht van een politieke partij om een via haar kandidaten

lijst gekozen parlemen Tubagus Soenmandjaja lid terug te reopen. Dengan

demikian, recall merupakan hak suatu partai politik untuk menarik kembali

anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukannya.131

Berdasarkan beberapa pengertian recall tersebut, dapat diartikan

hak recall partai politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian

dalam masa jabatan terhadap anggota parlemen (DPR/DPRD) oleh partai

politiknya. Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud recall dalam penelitian

ini yaitu recall oleh partai politik. Karena recall sebenarnya tidak saja dapat

dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR.

129 Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD
1945, Konpress, Jakarta, hal. 144
130 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 008/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD Serta Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 Tentang Partai PolitikTerhadap UUD 1945.
131 J.J.A. Thamassen (red), “Democratie, Theorie en Praktijk, Alphen aan den Rijn, Brussel, Samson

Uitgeverij”, 1981, hlm. 156, dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 008/PUU-IV/2006.
89

Hak recall atau Penggantian Antar Waktu dapat dilakukan partai

politik terhadap para anggotanya yang duduk sebagai anggota parlemen, baik

di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Hak recall sendiri tidak lepas dari

eksistensi partai politik. Keberadaan partai politik merupakan salah satu dari

bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan, dan

keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Karena itu, keberadaan partai

politik berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kemerdekaan berpendapat

(freedom of expression), berorganisasi (freedom of association), dan

berkumpul (freedom of assembly).

Hak recall itu menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan ada dua

aliran yang bertentangan. Aliran pertama berpendapat bahwa wakil rakyat itu

seyogyanya hanya menjadi delegates atau messenger boy (penyalur suara),

hanya menyalurkan pesan konstituennya. Aliran kedua menyatakan bahwa

wakil rakyat seyogyanya menjadi trustee (utusan yang dipercaya), yakni

wakil rakyat yang menyampaikan pendapatnya di lembaga perwakilan

menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri demi kepentingan seluruh

rakyat. Penganut teori “Representative sebagai Trustee” (Teori Mandat

Penuh) berpendapat bahwa wakil rakyat, setelah memangku jabatan publik,


90

baik eksekutif maupun legislatif, tidak lagi bertindak untuk kepentingan

partainya, melainkan harus bertindak untuk kepentingan seluruh bangsa.132

Prinsip-prinsip diatas diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara eksplisit diatur dalam Pasal

28E ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan

berserikat,133

C.F. Strong mengemukakan:

“If it is applied to legislators, there is a danger of turning the

representative into a mere delegate, making him the victim of the corrupt

attacks of any active and intriguing clique, and this would tend to drive public

spirited men out of public life.”134

(Jika diterapkan pada pejabat legislatif, dikhawatirkan recall akan

mengubah pejabat legislatif hanya menjadi utusan belaka, korban serangan

korup dari kelompok yang aktif dan berintrik, dan cenderung mengarahkan

orang-orang yang memperhatikan kesejahteraan masyarakat keluar dari

kehidupan publik).

132 R.M. Ananda B. Kusuma, 2006, Tentang “Recall”, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,

Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 156-157.
133 Nike K. Runokoy, Kajian Yuridis tentang hak Recall Parta Politik Dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia ,Jurnal Universitas Samratulangi manado , Vol.XX/No.1/Januari-Maret/2012.


134 C.F. Strong., Modern Political Constitutions: An Introduction to Comparative Study of Their

History and Exiting Form, Sidgwick & Jackson Limited, London. 1960., hal. 288.
91

Dengan adanya recall oleh parpol, dia lebih banyak berhutang

kepada konstituen karena terpilih dengan suara terbanyak. Tapi pada saat dia

menjalankan fungsinya sebagai legislator, dia pasti terpikir akan terancam

dengan adanya pranata ini, apalagi nanti kalau bicara soal fraksi, ada suara

kepentingan politik yang dilembagakan, kalau dia berseberangan dengan

pendapat parpolnya akan diancam recall.135

Keterikatan antara Partai politik dengan anggota DPR menegaskan

adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses

pemilu. Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan

pikiran atau pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari

pendirian atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik; bahkan jika

pikiran, pendapat atau tindakan anggota DPR itu sesuai atau mencerminkan

aspirasi dan atau kepentingan masyarakat dari daerah pemilihan anggota DPR

yang bersangkutan.

Manakala partai politik menilai anggota DPR-nya telah berbeda atau

menyimpang dari garis kebijakan partai, partai dapat sewaktu-waktu

menggantinya dengan “utusan” yang lain.136 Penyelenggaraan kekuasaan

negara ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak

135 Bilal Dewansyah, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan
Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke Politico”, dalam Setyanto, Widya P., Dkk,
Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu 2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Salatiga. 2010
hal. 67-68.
136 Tommi A. Legowo, “Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan Politik”, dalam Basyar,

Hamdan, Dkk, Editor, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan Tantangan. Globalisasi, ,


Yogyakarta:Pustaka Pelajar.,2009, hal. 106.
92

langsung. Karena itu apabila hendak memperbaiki kualitas penyelenggaraan

kekuasaan negara niscaya harus melalui partai politik. Suka atau tidak, partai

politiklah yang menentukan arah, gerak dan dinamika penyelenggaraan

negara. Karena perannya yang sangat sentral dalam penyelenggaraan

kekuasaan negara.137 Peranan partai sebagai jembatan adalah sangat penting,

oleh karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada

semua lapisan masyarakat dan di pihak lain pemerintah harus tanggap

terhadap tuntutan masyarakat.138

Menurut Mukthi Fadjar, legal policy mengenai hak recall sangat

dipengaruhi oleh kemauan politik (political will) supra struktur politik

(pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik) sendiri yang

tidak selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa

anggota DPR sebagi wakil rakyat, bukan perwakilan partai.139

Dengan demikian recalling oleh partai politik atas anggotanya yang

duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 16

ayat (1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan

salah satu prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan

137 3 Ramlan Surbakti, “Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif”, dalam Ramses M., Andy, Dkk,

Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. 2009., hal. 141.
138 Miriam Budiardjo, 1981, “Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar”, dalam Miriam

Budiardjo, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta, hal. 15-16.
139Miriam Budiardjo, Ibid., hal. 158.
93

partai politik yang sulit dikontrol oleh publik. Jadi perlu dihadapkan pada

mekanisme hukum (proses peradilan) sehingga keadilan tetap dijunjung

tinggi dan suara yang diberikan rakyat pada pemilu kepada anggota partai

politik yang bersangkutan tidak dapat dengan mudah diciderai oleh

kepentingan partai. Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall partai politik

terhadap keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara

demokrasi yang berdasarkan hukum.


94

BAB III

PEMBAHASAN

1. Mekanisme Penjatuhan Hak Recall Terhadap Fahri Hamzah

1.1. Berikut ini adalah penjelasan kronologis permasalahan Fahri Hamzah:140

Pada awalnya di lakukan forum kepada saudara Fahri Hamzah dilakukan

pada tanggal 1 September 2015 di kantor Dewan Pimpinan Tingkat Pusat

(DPTP) PKS. Dalam pertemuan yang dimulai sekitar jam 15.30 tersebut hadir 3

(tiga) anggota DPTP yaitu Ketua Majelis Syuro (KMS), Wakil Ketua Majelis

Syuro (WKMS), dan Presiden PKS serta Fahri Hamzah.

Bahwa dalam pertemuan tersebut KMS menegaskan bahwa PKS adalah

partai yang berbasis Islami , maka dari itu sebagai kader dan partai dakwah yang

mengutamakan kedisiplinan dan keasantunan. Meminta Fahri Hamzah ntuk lebih

berhati-hati dalam bersikap dan berbicara ketika di depan publik karena di

khawatirkan akan membuat citra buruk bagi partai.

Namun nampaknya permasalahan ini terus berlanjut . Beberapa pernyataan

Fahri Hamzah yang kontroversial, kontraproduktif dan tidak sejalan dengan

arahan Partai saat itu antara lain; (1) Mengucakan perkataan yang tidak sopan

untuk para anggota DPR RI. Pernyataan ini diadukan oleh sebagian anggota

140 http://pks.id/content/penjelasan-pks-tentang-pelanggaran-disiplin-partai-yang-dilakukan-saudara-
fahri-hamzah, diakses pada 18 Desemer 2017 pukul 23:38
95

DPR RI ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan dikemudian hari Fahri

Hamzah diputus oleh MKD melakukan pelanggaran kode etik ringan.; (2)

Mengatasnamakan DPR RI telah sepakat untuk membubarkan KPK; (3) Pasang

badan untuk 7 (tujuh) proyek DPR RI yang mana hal tersebut bukan merupakan

arahan Pimpinan Partai.

Menurut Pasal 26 Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera, mengatur

tentang Penghargaan dan Sanksi. Dan di dalam ayat (3) dinyatakan bahwa Partai

menjatuhkan sanksi berupa sanksi administrative, pembebanan, pemberhentian

sementara, penurunan jenjang keanggotaan dan pemberhentian dari

kepengurusan dan/atau keanggotaan atas perbuatan anggota yang melanggar

aturan syariat dan/atau organisasi, menodai citra partai atau perbuatan lain yang

bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan atau

peraturan-peraturan Partai lainnya. Ayat (5) Pasal ini menyebutkan ketentuan

lebih lanjut berkenaan dengan penjatuhan sanksi diatur dengan Pedoman

Partai.141

Seiring berjalannya waktu, Pimpinan Partai menilai bahwa pola komunikasi

politik Fahri Hamzah tetap tidak berubah. Sikap kontroversi dan kontraproduktif

kembali berulang, bahkan timbul kesan adanya saling silang pendapat antara

Fahri Hamzah selaku pimpinan DPR RI dari PKS dengan pimpinan PKS

lainnya. Beberapa pendapat kontroversial dan kontraproduktif Fahri Hamzah


141Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.tentang Perbuatan
Melawan Hukum, 2016. hlm 57 Kasus Fahri Hamzah.
96

yang mengemuka saat itu di publik adalah (1) Kenaikan tunjangan gaji pimpinan

dan anggota DPR RI dinilai oleh Fahri Hamzah masih kurang, padahal Fraksi

PKS DPR RI secara resmi menolak kebijakan kenaikan tunjangan pejabat

negara, termasuk pimpinan dan anggota DPR RI; (2) Terkait Revisi UU KPK,

Fahri Hamzah menyebut pihak-pihak yang menolak revisi UU KPK sebagai

pihak yang sok pahlawan dan ingin menutupi boroknya, padahal di saat yang

sama WKMS dan Presiden PKS telah secara tegas menolak revisi UU KPK.

Silang pendapat yang terbuka antara Fahri Hamzah dengan Pimpinan Partai ini

tentunya mengundang banyak pertanyaan di publik dan juga dari internal kader

PKS.

Akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2015 di Ruang Kerja DPTP PKS, KMS

memanggil Fahri Hamzah untuk menyampaikan penilaian Pimpinan Partai dan

kebijakan partai selanjutnya untuk Fahri Hamzah. KMS menyatakan bahwa

sikap Fahri Hamzah tidak sesuai dengan arahan Partai dan tidak sesuai dengan

komitmen yang telah disampaikannya kepada Pimpinan Partai pada pertemuan

tanggal 1 September 2015. Untuk itu demi kemaslahatan Partai ke depan dan

kebaikan Fahri Hamzah, Pimpinan Partai memandang penugasan Fahri Hamzah

di posisi Wakil Ketua DPR RI perlu ditinjau. Walau demikian, KMS tetap

memandang Fahri Hamzah sebagai anggota/kader potensial PKS yang harus

dioptimalkan perannya, sehingga Fahri Hamzah akan ditugaskan pada posisi lain

di DPR RI (salah satu pimpinan dari Alat Kelengkapan Dewan DPR RI).
97

Sesuai dengan UU No.17 Tahun 2014 jo UU No.42 Tahun 2014, proses

rotasi jabatan sebagai Wakil Ketua DPR RI dapat dilakukan dengan cara

diberhentikan oleh Partai atau Fahri Hamzah mengundurkan diri.142 Atas

pertimbangan kemaslahatan bersama, maka KMS meminta Fahri Hamzah

mengajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI.

Atas permintaan KMS tersebut, Fahri Hamzah menyatakan mengerti akan

keputusan tersebut dan siap melaksanakannya. Fahri Hamzah juga menyatakan

akan menyiapkan sendiri alasan-alasan pengunduran dirinya dalam surat ke

DPR RI. Fahri Hamzah juga siap mensosialisasikan rencana pengunduran

dirinya kepada kolega sesama pimpinan DPR RI, kepada Presidium Koalisi

Merah Putih (KMP), dan kepada keluarganya. Hanya saja Fahri Hamzah

meminta waktu untuk menuntaskan beberapa hal (di antaranya rencana

kunjungan pimpinan DPR RI ke luar daerah) sehingga Fahri Hamzah

menjanjikan akan mengundurkan diri pada pertengahan Desember 2015. KMS

menyetujui permintaan Fahri Hamzah tersebut dan disepakati bahwa

pengunduran diri Fahri Hamzah akan dilakukan pada pertengahan Desember

2015 sebelum masuk masa reses DPR RI sehingga saat masuk masa sidang

berikutnya posisi Fahri Hamzah sudah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua

DPR RI.

142 Lihat Undang-undang No.17 Tahun 2014 jo UU No.42 Tahun 2014


98

Setelah tanggal 23 Oktober 2015, ternyata pola komunikasi publik Fahri

Hamzah tidak berubah. Bahkan dalam kasus Ketua DPR RI yang diadukan oleh

Menteri ESDM kepada MKD terkait pelanggaran etika (Kasus Freeport), Fahri

Hamzah menunjukkan sikap yang tidak proporsional dan kontraproduktif bagi

Partai. Bahkan Fahri Hamzah juga melontarkan pendapat- pendapatnya ke

publik menyangkut materi persidangan MKD sehingga terkesan mengintervensi

proses persidangan di MKD DPR RI. Hal ini semakin menunjukkan Fahri

Hamzah tidak melaksanakan komitmennya sebagaimana yang telah disampaikan

kepada Pimpinan Partai sejak tanggal 1 September 2015.

Pada tanggal 1 Desember 2015, KMS memanggil Fahri Hamzah untuk

datang ke kantor DPTP PKS. Pada saat itu, KMS menanyakan perkembangan

proses pengunduran diri Fahri Hamzah dari jabatannya sebagai Wakil Ketua

DPR RI sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya oleh Fahri Hamzah

sendiri. Di luar dugaan, Fahri Hamzah menyatakan bahwa dia berfikir ulang

untuk mundur, karena menurut pendapatnnya apabila Fahri Hamzah

mengundurkan diri dari jabatannya itu akan berakibat terjadinya kocok ulang

pimpinan DPR RI,143 sehingga menurut Fahri Hamzah PKS akan kehilangan

kursi pimpinan DPR RI. Meskipun sebenarnya sebelum pertemuan tersebut

KMS telah mempelajari bahwa hal itu tidak akan berakibat kocok ulang dan

kalaupun hal tersebut terjadi maka risiko menjadi tanggungjawab Pimpinan

143 Lihat putusan pengadilan negeri dengan nomor register perkara 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kasus Fahri Hamzah.
99

Partai. Kemudian KMS mempersilahkan Fahri Hamzah untuk mendiskusikan

pendapatnya dengan Tubagus Soenmandjaja karena Tubagus Soenmandjaja

mantan anggota Pansus RUU MD3 tersebut dari unsur FPKS DPR RI.144

Pada tanggal 11 Desember 2015 dilakukan pertemuan antara KMS, Fahri

Hamzah dan Tubagus Soenmandjaja di kantor DPTP PKS. Dalam pertemuan

tersebut Fahri Hamzah tidak dapat membantah penjelasan Tubagus

Soenmandjaja bahwa kekuatirannya soal kocok ulang pimpinan DPR tidaklah

berdasar dan tidak ada presiden sebelumnya. Berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku bahwa apabila ada Pimpinan DPR RI yang

mengundurkan diri, maka akan digantikan oleh anggota dari Fraksi yang

bersangkutan. Atas logika dan fakta yuridis itu, dalam kesempatan tersebut Fahri

Hamzah kembali menyatakan kesiapannya melaksanakan tugas Partai tersebut di

atas dan bahkan menegaskan bahwa dirinya memilih ingin tetap berada dalam

Partai meskipun ditempatkan pada posisi apapun.

Atas dasar komitmen Fahri Hamzah tersebut di atas, tanggal 12 Desember

2015 KMS menugaskan Tubagus Soenmandjaja untuk menyusun rancangan

surat pengunduran diri Fahri Hamzah dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR

RI sebagaimana yang telah dijanjikan dan dikomitmenkan oleh Fahri Hamzah

Setelah rancangan surat tersebut disetujui KMS maka Tubagus Soenmandjaja

ditugaskan untuk menyampaikannya kepada Fahri Hamzah. Penugasan Tubagus


144Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.tentang Perbuatan
Melawan Hukum, 2016. hlm. 41.
100

Soenmandjaja untuk menemui Fahri Hamzah tersebut diberitahukan KMS

kepada Fahri Hamzah melalui pesan singkat WA yang dijawab oleh Fahri

Hamzah dengan: “Baik, Syaikh.”Pada tanggal 13 Desember 2015 terlaksana

pertemuan Tubagus Soenmandjaja dan Fahri Hamzah di Gedung Nusantara V

Lantai 2 Kamar 209 (Sekretariat Fraksi PKS MPR RI). Sesuai dengan amanah

KMS tersebut, Tubagus Soenmandjaja menyampaikan naskah surat

pengunduran diri termaksud secara langsung kepada Fahri Hamzah Pada saat

Tubagus Soenmandjaja meminta agar Fahri Hamzah menandatangani surat

pengunduran dirinya itu,145 Fahri Hamzah secara halus menolak dengan alasan:

(a) meminta izin untuk mempelajari surat pengunduran diri tersebut seraya

meminta waktu untuk mempelajarinya, (b) akan menghadap langsung kepada

KMS untuk menindaklanjuti surat tersebut. Atas permintaan Fahri Hamzah itu,

Tubagus Soenmandjaja menerima dan melaporkannya melaui WA kepada KMS.

Setelah mendapat laporan dari Fahri Hamzah terkait hasil pertemuan di

atas, KMS lalu mengirim pesan kepada Fahri Hamzah yang isinya memberi

kesempatan kepada Fahri Hamzah untuk mempelajari surat tersebut dan

meminta untuk bertemu esok harinya, pada hari Senin, 14 Desember 2015.

Pada tanggal 14 Desember 2015 pukul 01.00 WIB Fahri Hamzah mengirim

pesan kepada KMS yang isinya: (a) belum Tubagus Soenmandjaja (b) hatinya

145 Lihat putusan pengadilan negeri dengan nomor register perkara 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kasus Fahri Hamzah. Hlm. 24
101

belum mantap untuk melaksanakan tugas tersebut, (c) akan bicara pada

LAWYER dan guru besar Tata Negara, (d) alasan lainnya terkait kegiatan DPR.

KMS kemudian membalas pesan tersebut yang isinya memberi waktu

kepada Fahri Hamzah untuk konsultasi kepada siapa saja dan ditunggu sampai

esok harinya tanggal 15 Desember 2015 pukul 09.00 WIB. Tetapi hari itu

FAHRI HAMZAH tidak bisa datang dengan alasan kegiatan di DPR RI.

Kemudian KMS memberi waktu lagi sampai keesokan harinya.

Pada tanggal 16 Desember 2015, sekitar pukul 08.00 WIB akhirnya datang

menemui KMS di kantor DPTP PKS. KMS kembali menanyakan tentang

kesiapan Fahri Hamzah untuk melaksanakan komitmen/janjinya. Fahri Hamzah

kembali menegaskan ketidaksediaannya menunaikan apa yang telah

dikomitmenkan/dijanjikan sebelumnya kepada KMS dengan berbagai alasan,

diantaranya mengaitkan dengan Hukum Tata Negara, agenda DPR RI dan

lainnya. KMS mengingatkan bahwa pertemuan tersebut adalah kesempatan

terakhir bagi Fahri Hamzah, oleh karena itu jika Fahri Hamzah tidak bersedia

berarti menolak penugasan, dan selanjutnya persoalan tersebut akan diproses

menurut AD/ART PKS. KMS mengingatkan hal tersebut hingga dua kali dan

Fahri Hamzah mengatakan dia paham AD/ART PKS dan siap menjalani proses

tersebut.
102

Karena Fahri Hamzah menyatakan paham AD/ART PKS dan siap menjalani

proses sesuai AD/ART PKS sebagaimana disebutkan di atas, berarti Fahri

Hamzah memahami kewajiban Anggota Partai sebagaimana diatur dalam

AD/ART PKS dan Peraturan Partai lainnya antara lain:

AD PKS Bab XVIII terkait Penghargaan dan Sanksi Pasal 26 ayat (3) yang

menyebutkan: 146

“Partai menjatuhkan sanksi berupa sanksi administratif, pembebanan,

pemberhentian sementara, penurunan jenjang keanggotaan dan

pemberhentian dari kepengurusan dan/atau keanggotaan atas perbuatan

anggota yang melanggar aturan syariat dan/atau aturan organisasi, menodai

citra partai atau perbuatan lain yang bertentangan dengan AD/ART dan/atau

Peraturan-Peraturan Partai lainnya.”

Pedoman Partai No.01 Tahun 2015 tentang Pemberian Penghargaan dan

Penjatuhan Sanksi Bab V terkait Obyek Hisbah pada Bagian Kedua Kategorisasi

Pelanggaran Pasal 11 ayat (2) huruf a, b,e, g dan m yang berbunyi:

“Pelanggaran kategori 3 (tiga) merupakan perbuatan yang melanggar

keputusan syuro, Tubagus Soenmandjaja awabit, Anggaran Dasar

dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai, termasuk tetapi tidak terbatas

seperti: (a) melanggar sumpah atau janji setia anggota partai; (b)

146 Lihat AD PKS Bab XVIII terkait Penghargaan dan Sanksi Pasal 26 ayat (3).
103

melanggar peraturan dan keputusan Partai; (e) tanpa alasan sah tidak

melaksanakan hasil musyawarah Partai, tidak mematuhi keputusan

Pimpinan yang harus ditaati, tidak mematuhi kebijakan-kebijakan

dan/atau sikap-sikap Partai; (g) mengutamakan kepentingan diri sendiri,

kelompok, atau pihak lain di atas kepentingan Partai;”

Pada tanggal 16 Desember 2015 pukul 13.00 WIB, rapat DPTP

membahas sikap Fahri Hamzah dan memutuskan melimpahkan persoalan

Fahri Hamzah ke DPP PKS cq Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO)

DPP PKS sesuai AD/ART PKS. Persoalan yang dilimpahkan adalah terkait

ketidakdisiplinan anggota terhadap AD/ART dan peraturan Partai lainnya

serta ketidaktaatan kepada arahan Pimpinan Partai dan mengingkari secara

berulang komitmennya yang telah disampaikan kepada KMS.

1.2. PROSES PENANGANAN ATAS DUGAAN PELANGGARAN

TERHADAP ATURAN DAN DISIPLIN ORGANISASI PKS

Bahwa berdasarkan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib,

mekanisme pemberhentian dan penggantian Anggota DPR diatur dalam Bab III

Pasal 13 sampai dengan Pasal 19. Sedangkan mekanisme pengisian jabatan,

pemberhentian, dan penggantian Pimpinan DPR diatur dalam Bab V Pasal 27

sampai dengan Pasal 46.


104

Pasal 41

Tata cara pemberhentian pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal

37 huruf d, huruf e, dan huruf g :

a. partai politik mengajukan usul pemberhentian salah satu pimpinan DPR

secara tertulis kepada pimpinan DPR ;

b. pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna DPR ;

c. keputusan pemberhentian harus disetujui dengan suara terbanyak

dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR ; dan

d. paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan dalam rapat paripurna DPR

sebagaimana dimaksud dalam huruf b, pimpinan DPR memberitahukan

pemberhentian pimpinan DPR kepada Presiden.

Pasal 46

(1) Dalam hal ketua dan/atau wakil ketua DPR berhenti dari jabatannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, DPR secepatnya mengadakan

penggantian.

(2) Dalam hal penggantian pimpinan DPR tidak dilakukan secara

keseluruhan, salah seorang pimpinan DPR meminta nama

pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR yang berhenti kepada

partai politik yang bersangkutan melalui Fraksi.


105

(3) Pimpinan partai politik melalui Fraksinya sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua

DPR kepada pimpinan DPR.

(4) Pimpinan DPR menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau

wakil ketua DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam rapat

paripurna DPR untuk ditetapkan.

(5) Setelah ditetapkan sebagai ketua dan/atau wakil ketua DPR

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua dan/atau wakil ketua DPR

mengucapkan sumpah/janji.

(6) Pimpinan DPR menyampaikan salinan keputusan DPR sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden.

Berikut adalah urutan proses recall terhadap Fahri Hamzah ;

1. DPP PKS menindak lanjuti pelimpahan DPTP PKS dengan menugaskan

Bidang Kaderisasi DPP PKS untuk bertindak sebagai Pengadu ke BPDO

DPP PKS, sebab Bidang Kaderisasi DPP PKS adalah bidang yang terkait

dengan pengkaderan dan penanaman nilai-nilai kedisiplinan serta ketaatan

kader terhadap aturan-aturan Partai. Selanjutnya Bidang Kaderisasi DPP

PKS pada tanggal 26 Desember 2015 mengadukan persoalan

ketidakdisiplinan dan ketidaktaatan Fahri Hamzah tersebut sesuai aturan


106

Partai kepada BPDO sebagai Badan yang oleh AD/ART PKS diberikan

kewenangan untuk menegakkan kedisiplinan dan ketaatan anggota Partai.

2. Setelah BPDO melakukan verifikasi atas bukti-bukti pengaduan dan

dinyatakan lengkap, selanjutnya BPDO pada tanggal 28 Desember 2015

mengadakan rapat yang menghasilkan keputusan antara lain melakukan

pemanggilan Fahri Hamzah sebagai Teradu, dengan agenda permintaan

keterangan yang akan dilaksanakan pada tanggal 4 Januari 2016.

3. Pada tanggal 2 Januari 2016 Fahri Hamzah mengirimkan surat kepada

BPDO yang menyatakan bahwa Fahri Hamzah tidak bisa hadir pada

tanggal 4 Januari 2016 karena sedang di luar negeri. Selanjutnya surat

tersebut dibahas dalam rapat BPDO pada tanggal 4 Januari 2016. BPDO

memahami alasan di atas dan memutuskan untuk memanggil ulang Fahri

Hamzah guna dimintai keterangan pada tanggal 11 Januari 2016.

4. Pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 19.30 WIB, Fahri Hamzah datang ke

kantor DPP PKS memenuhi pemanggilan BPDO. Pada pemanggilan

tersebut, BPDO mengajukan 28 pertanyaan yang dijawab secara tertulis

oleh Fahri Hamzah. Keterangan itu kemudian dibuatkan berita acaranya

dan ditandatangani oleh Fahri Hamzah dan BPDO.

5. Tetapi sebelum kedatangannya, Fahri Hamzah sudah membuat pernyataan

yang diliput media massa bahwa KMS PKS meminta dirinya


107

mengundurkan diri dari jabatan pimpinan DPR RI dan Fahri Hamzah

mengklaim bahwa itu adalah permintaan pribadi KMS sehingga Fahri

Hamzah memberi tanggapan secara pribadi juga. Padahal permintaan

pengunduran diri oleh KMS terjadi akibat Fahri Hamzah mengingkari

komitmen untuk melaksanakan arahan dan kebijakan Partai sebagaimana

yang telah disampaikan oleh Fahri Hamzah kepada Pimpinan Partai pada

tanggal 1 September 2015. Bahkan pada tanggal 23 Oktober 2015 Fahri

Hamzah berkomitmen di depan KMS untuk mengundurkan diri dari

jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI pada pertengahan bulan

Desember 2015. Pada tanggal 9 Desember 2015, Fahri Hamzah juga

menyatakan kembali komitmennya untuk mengundurkan diri di hadapan

KMS dan disaksikan oleh Tubagus Soenmandjaja. Dan semua peristiwa

tersebut terjadi di ruang kerja KMS di kantor DPTP PKS bukan di rumah

pribadi KMS, sehingga itu tidak benar jika dianggap sebagai permintaan

pribadi KMS.

6. Pada rapat BPDO tanggal 13 Januari 2016, BPDO sesuai dengan

kewenangannya (Pedoman Partai Nomor 2 Tahun 2015) memutuskan: (1)

setelah mempelajari dan menganalisis hasil pemeriksaan keterangan Fahri

Hamzah dan sikap bersangkutan selama proses pemeriksaan di BPDO

maka status perkara Fahri Hamzah ditingkatkan ke persidangan Majelis

Qadha; (2) membentuk Majelis Qadha yang melaksanakan fungsi sebagai


108

qadhi’ atau hakim yang berjumlah 3 orang guna menangani persidangan

Fahri Hamzah; (3) menetapkan jadwal persidangan pertama Majelis Qadha

pada tanggal 19 Januari 2016.

7. Selain itu dalam rapat tersebut, BPDO juga mengundang saksi ahli saudara

Untung Wahono selaku mantan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP)

PKS untuk dimintai pendapatnya sesuai dengan keahliannya dan Tubagus

Soenmandjaja sebagai saksi. Kemudian setelah rapat, BPDO mengirimkan

surat panggilan persidangan kepada Fahri Hamzah untuk hadir dalam

persidangan pertama tanggal 19 Januari 2016.

8. Pada tanggal 14 Januari 2016 Fahri Hamzah mengirimkan surat yang

menyatakan: (1) sedang menghadiri acara PUIC OIC di Baghdad Iraq,

sehingga tidak dapat menghadiri persidangan Majelis Qadha tanggal 19

Januari 2016 dan mengajukan penjadwalan ulang setelah tanggal 27

Januari 2016; (2) meminta 4 orang saksi untuk dihadirkan dalam

persidangan Majelis Qadha yakni Iskan Qolba Lubis, Jazuli Juwaini, Fadli

Zon dan Irman Putra Sidin.

9. Sidang Majelis Qadha tetap diselenggarakan tanggal 19 Januari 2016. Di

antara keputusan Majelis Qadha adalah: (1) tetap menggelar persidangan

meskipun tanpa kehadiran Fahri Hamzah selaku Teradu; (2) menerima

surat Teradu untuk pengajuan penjadwalan ulang persidangan dan


109

memanggil kembali Teradu untuk persidangan pada tanggal 28 Januari

2016; (3) sesuai dengan kewenangannya, Majelis Qadha menerima

sebagian usulan Teradu yang mengajukan saksi yaitu Iskan Qolba Lubis

dan Jazuli Juwaini dan menolak yang lainnya.

10. Pada tanggal 28 Januari 2016 persidangan kedua Majelis Qadha atas

perkara Fahri Hamzah selaku Teradu dilaksanakan di DPP PKS dengan

dihadiri oleh Teradu. Dalam persidangan tersebut, dibacakan laporan hasil

investigasi dan tuntutan terhadap Teradu atas dugaan pelanggaran disiplin

organisasi Partai. Bahwa seluruh tindakan dan pernyataan Teradu tersebut

diduga:

a. Melanggar disiplin organisasi Partai;

b. Melanggar AD PKS Pasal 11 ayat (1) huruf d: “ Anggota

diberhentikan keanggotaannya apabila melanggar Anggaran Dasar

dan Anggaran Rumah Tangga serta Peraturan Partai lainnya”

c. Melanggar ART PKS Pasal 6 Ayat (1), (3) dan (6):

1) Setiap anggota wajib mengikrarkan janji sebagai berikut: “Saya

berjanji untuk senantiasa berpegang teguh kepada AD/ART dan

Peraturan Partai Keadilan Sejahtera serta setia kepada Pimpinan

Partai”
110

2) Setiap anggota wajib taat dan berpegang teguh kepada AD/ART

dan Peraturan Partai Keadilan Sejahtera

6) Setiap anggota wajib menjalankan tugas yang diamanatkan oleh

Partai.

d. Melanggar Pedoman Partai No.01 Tahun 2015 Pasal 11 Ayat (2) huruf

a, b, e, dan m.

Ayat (2) : “Pelanggaran kategori 3 (tiga) merupakan perbuatan yang

melanggar keputusan syuro, Tubagus Soenmandjaja awabit, Anggaran

Dasar dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai, termasuk tetapi tidak

terbatas seperti:

a. Melanggar sumpah atau janji setia anggota partai;

b. Melanggar peraturan dan keputusan Partai;

c. Tanpa alasan sah tidak melaksanakan hasil musyawarah Partai,

tidak mematuhi keputusan Pimpinan yang harus ditaati, tidak

mematuhi kebijakan-kebijakan dan/atau sikap-sikap Partai;

m. Menyebarkan berita yang menyebabkan rusaknya ukhuwah dan

persatuan jamaah.

Dalam persidangan itu Teradu memberikan jawaban, tanggapan, dan

pembelaan secara tertulis dan lisan.


111

11. Pada tanggal 29 Januari 2016 pukul 08.00 WIB, Majelis Qadha memanggil

dan meminta keterangan Saudara Iskan Qolba Lubis dan Saudara Jazuli

Juwaini sebagai saksi yang diajukan oleh Teradu. Kedua saksi sudah

memberikan keterangannya dalam persidangan tersebut dengan baik.

12. Setelah persidangan mendengarkan saksi-saksi, Majelis Qadha

mengadakan rapat dan memutuskan: (1) Fahri Hamzah terbukti melakukan

pelanggaran disiplin organisasi Partai dengan kategori berat; (2)

mengabulkan tuntutan BPDO berupa pemberhentian keanggotan Fahri

Hamzah sebagai Anggota PKS dalam semua jenjang keanggotaan Partai.

Selanjutnya, hasil putusan tersebut dilaporkan kepada BPDO.

13. BPDO menindak lanjuti putusan Majelis Qadha tersebut. Namun

mengingat keputusannya adalah pemberhentian dari Anggota Partai, maka

yang berhak memutuskan final dan mengikat adalah Majelis Tahkim

sebagaimana diatur dalam AD PKS Pasal 11 ayat (2) huruf d: “Anggota

yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta

Peraturan Partai lainnya diberhentikan berdasarkan keputusan dari Majelis

Tahkim.” Dan Pedoman Partai No.2 Tahun 2015 Pasal 44 ayat (4) yang

berbunyi; “Putusan Majelis Tahkim bersifat final dan mengikat.” Oleh

karena itu BPDO menyampaikan rekomendasi keputusan tersebut kepada

Majelis Tahkim dengan nomor No.01/D/PDO/PKS1437 tertanggal 29

Januari 2016 dengan lampiran satu bundel berkas perkara.


112

14. Majelis Tahkim dalam AD/ART PKS yang disebut di atas adalah sebutan

untuk Mahkamah Partai sebagaimana diatur dalam UU No.02 Tahun 2011

tentang Partai Politik. Adapun pembentukan Majelis Tahkim dan

keanggotaannya untuk periode kepengurusan 2015-2020 diputuskan pada

rapat DPTP pada tanggal 28 Januari 2016. DPP PKS sesuai arahan DPTP

melaporkan pembentukan dan susunan anggota dan pimpinan Majelis

Tahkim kepada Kementerian Hukum dan HAM RI pada tanggal 1 Februari

2016.

15. Pada tanggal 11 Februari 2016, Majelis Tahkim mengadakan rapat

pertama dengan agenda: (1) memeriksa hasil rekomendasi BPDO; (2)

memeriksa alat bukti; (3) membuat jadwal pemanggilan Teradu FAHRI

HAMZAH; (4) membuat jadwal mendengarkan keterangan saksi-saksi dan

ahli.

16. Pada tanggal 15 Februari 2016 Majelis Tahkim meminta pendapat saksi

ahli yakni Ustadz Hilmi Aminuddin (Ketua Majelis Syuro periode

sebelumnya) di Lembang terkait kelaziman arahan seorang Ketua Majelis

Syuro, baik lisan atau pun tulisan. Jika sebuah arahan bersifat lisan, apakah

dapat dipahami sebagai arahan pribadi atau Pimpinan Partai.

17. Majelis Tahkim juga meminta kesaksian dari KMS di kantor DPP PKS

pada tanggal 18 Februari 2016 terkait arahan KMS kepada Teradu itu
113

bersifat pribadi atau lembaga. Dalam kesempatan yang sama, Majelis

Tahkim juga meminta keterangan dari Tubagus Soenmandjaja untuk

meminta keterangan terkait arahan KMS kepada Teradu apakah bersifat

pribadi ataukah lembaga dari sudut pandang AD/ART dan Peraturan Partai

lainnya.

18. Pada tanggal 18 Februari 2016 Majelis Tahkim menyelenggarakan rapat

yang memutuskan untuk memanggil Teradu untuk hadir dalam Sidang

Majelis Tahkim tanggal 22 Februari 2016 yang dimaksudkan agar Teradu

dapat melakukan klarifikasi terhadap masalah yang diadukan atau

melakukan pembelaan diri atau perbaikan dan memberikan keterangan lain

yang diperlukan. Karena itu setelah rapat, Majelis Tahkim mengirim surat

kepada Teradu dengan No.04/D/MT-PKS/V/1437.

19. Pada Sabtu, tanggal 20 Februari 2016 pukul 21.44 WIB Teradu

menyampaikan pesan melalui WA kepada Ketua Majelis Tahkim Hidayat

Nur Wahid (HNW) sebagai berikut: “Syaikh, saya mendengar ada

undangan dari antum. Sebetulnya saya terjadwal kembali Senin sore

menjelang malam, sementara undangan antum senin sore, saya berusaha

dipercepat. Tapi jika boleh diundur di pekan yang sama, gak pa- pa, agar

bisa mempersiapkan bahan dan lain-lain. Demikian, Jazakumulah Khairan.

Fahri Hamzah.” Pada saat itu, Fahri Hamzah sedang melakukan kunjungan

muhibah ke Azerbaijan. Terhadap pesan WA tersebut, pada Ahad 21


114

Februari 2016 pukul 05.19 WIB, HNW menjawab sebagai berikut;

“Walaikumussalam. Akan saya sampaikan ke forum Majelis tentang

kondisi dan usulan Antum ini. Wafii amanillah.”

20. Pada hari Ahad tanggal 21 Februari 2016 pukul 14.00 WIB, HNW

mendapat informasi dari Mahfudz Abdurahman (Anggota DPTP PKS yang

juga Anggota DPR RI FPKS) bahwa Fahri Hamzah dan rombongaan yang

melakukan muhibah ke Azerbaijan kepulangannya dipercepat sebab sudah

tidak ada lagi agenda disana, dan saat itu semua sudah tiba di Indonesia.

Artinya dapat disimpulkan bahwa Fahri Hamzah sudah ada di Jakarta dan

seharusnya bisa menghadiri panggilan Majelis Tahkim keesokan harinya

Senin 22 Februari 2016.

21. Pada tanggal 22 Februari 2016 sidang pertama Majelis Tahkim digelar

pukul 16.00 WIB sesuai dengan keputusan rapat Majelis Tahkim

sebelumnya, akan tetapi hingga Majelis Tahkim membuka sidangnya pada

pukul 16.12 WIB, Teradu tidak hadir di tempat dan tidak ada kabar

beritanya. Padahal menurut berita di media, Teradu dan Pimpinan DPR

lainnya sedang ada di istana negara bersama Presiden RI dan pertemuan

tersebut sudah selesai sebelum pukul 15.00 WIB karena pukul 15.00 WIB

sudah diselenggarakan konferensi pers oleh Presiden RI dan Ketua DPR

RI.
115

22. Meskipun Teradu tidak hadir pada sidang Majelis Tahkim pertama di atas,

Majelis Tahkim tetap memutuskan untuk melanjutkan persidangan. Sidang

tersebut juga memutuskan untuk memanggil kembali Teradu agar hadir

pada tanggal 25 Februari 2016 pukul 20.00 WIB. Selanjutnya pada hari itu

juga Majelis Tahkim mengirimkan surat panggilan kepada Teradu untuk

hadir dalam persidangan kedua yang akan diselenggarakan pada tanggal

25 Februari 2016.

23. Setelah sidang Majelis Tahkim ditutup, beberapa saat kemudian sekitar

pukul 18.30 WIB datang utusan Teradu dengan membawa surat dari

Teradu yang ditujukan kepada Ketua Majelis Tahkim PKS HNW yang

isinya; “Saya menyampaikan permohonan maaf belum dapat menghadiri

persidangan Majelis Tahkim hari ini (22- 02-2016). Saya mohon agar

dapat dijadwalkan ulang untuk menyiapkan bahan.”

24. Dengan penyebutan HNW sebagai Ketua Majelis Tahkim dalam surat

Teradu di atas, menandakan bahwa Teradu mengakui keberadaan Majelis

Tahkim PKS. Namun demikian, dalam isi suratnya Teradu masih

mempertanyakan legalitas pengesahan Majelis Tahkim sebagaimana diatur

dalam Pasal 32 UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Padahal

Majelis Tahkim PKS dibentuk secara sah oleh DPTP PKS berdasarkan AD

PKS Pasal 15 Ayat (6) dan Pedoman Partai No.2 Tahun 2015 Pasal 35
116

Ayat (1) serta merujuk kepada ketentuan UU No.2 tahun 2011 tentang

Partai Politik Pasal 32 Ayat (1) s/d (5).

25. Pada tanggal 25 Februari 2016 sekitar pukul 18.00 WIB, Teradu

mengirimkan surat kembali yang isinya menyampaikan bahwa Teradu

tidak mau hadir dalam persidangan kedua Majelis Tahkim yang akan

dilaksanakan pada pukul 20.00 WIB di hari tersebut, dengan alasan

beberapa tuntutan Teradu tidak dipenuhi oleh Majelis Tahkim. Majelis

Tahkim sudah mempelajari tuntutan Teradu di antara yang terpenting

adalah mempertanyakan apa yang menjadi dakwaan terhadap dirinya.

Majelis Tahkim merujuk kepada pendapat Majelis Qadha sebelumnya

yang menilai tuntutan ini tidak relevan dan dakwaan tersebut sudah

dibacakan saat Sidang Majelis Qadha kedua pada tanggal 28 Januari 2016

dimana Teradu juga sudah hadir dalam sidang tersebut. Akhirnya Majelis

Tahkim tetap menjalankan proses persidangan kedua pukul 20.00 WIB

sampai selesai dengan putusan menerima seluruh rekomendasi BPDO dan

rumusan keputusannya akan dibuat pada Rapat Majelis Tahkim

berikutnya.

26. Pada tanggal 26 Februari 2016 DPP PKS menerima surat dari Kementerian

Hukum dan HAM yang pokok isinya memohon DPP PKS untuk

melakukan penyesuaian komposisi Mahkamah Partai (Majelis Tahkim)

yang bersifat tetap. Surat dari Kementerian Hukum dan HAM tersebut
117

merupakan tanggapan atas surat pemberitahuan DPP PKS mengenai

pembentukan dan penyusunan pimpinan dan anggota Majelis Tahkim yang

dikirimkan pada tanggal 1 Februari 2016.

27. Surat dari Kementerian Hukum dan HAM tersebut di atas tidak

membatalkan keputusan DPTP PKS terkait pembentukan Majelis Tahkim

beserta proses persidangan yang telah dilakukan oleh Majelis Tahkim.

Oleh karena itu pada rapat DPTP tanggal 29 Februari 2016, DPTP telah

memutuskan untuk menyesuaikan susunan Majelis Tahkim sebagaimana

yang dimohonkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan menugaskan

DPP PKS untuk segera mengirimkannya kepada Kementerian Hukum dan

HAM. Kemudian, pada tanggal 2 Maret 2016, DPP PKS mengirimkan

surat No.B-36/K/DPP-PKS/1437 kepada Kementerian Hukum dan HAM

perihal penyesuaian susunan pimpinan dan anggota Majelis Tahkim.

28. Pada rapat Majelis Tahkim Tanggal 7 Maret 2016, Majelis Tahkim

memanggil kembali Teradu untuk mengikuti sidang yang ketiga kalinya

sebagai kesempatan terakhir Teradu untuk melakukan pembelaan yang

akan diselenggarakan pada tanggal 11 Maret 2016. Maka pada tanggal 8

Maret 2016, Majelis Tahkim kembali mengirimkan surat panggilan kepada

Teradu untuk hadir dalam sidang Majelis Tahkim yang ketiga tersebut.
118

29. Pada tanggal 10 Maret 2016, Teradu mengirimkan surat yang isinya

menolak kembali untuk hadir, meminta seluruh proses persidangan atas

dirinya dihentikan dan bahkan mempertanyakan kembali legalitas Majelis

Tahkim. Menyikapi hal tersebut, Majelis Tahkim menilai bahwa tuntutan

Teradu tidak relavan dan berlebihan. Oleh karena itu Majelis Tahkim tetap

melanjutkan proses persidangan atas Teradu. Maka pada tanggal 11 Maret

2016, Majelis Tahkim bersidang untuk yang ketiga kalinya tanpa dihadiri

oleh Teradu. Ketidakhadiran Teradu dipandang oleh Majelis Tahkim

bahwa Teradu tidak menghormati proses persidangan Majelis Tahkim dan

dengan sengaja tidak menggunakan hak pembelaannya.

30. Pada sidang ketiga Majelis Tahkim tanggal 11 Maret 2016, setelah

menimbang dan memperhatikan berbagai hal terkait dengan rekomendasi

BPDO atas perkara Teradu dan penyikapan Teradu terhadap proses

persidangan Majelis Tahkim, maka Majelis Tahkim memutuskan melalui

putusan No.02/PUT/MT-PKS/2016 menerima rekomendasi BPDO yaitu

memberhentikan Saudara Fahri Hamzah dari semua jenjang keanggotaan

Partai Keadilan Sejahtera.

31. Pada tanggal 20 Maret 2016, Majelis Tahkim menyampaikan putusannya

kepada DPTP PKS untuk ditindak lanjuti sebagaimana diatur dalam

AD/ART PKS. Selanjutnya, pada tanggal 23 Maret 2016, DPTP


119

melimpahkan kepada DPP PKS untuk menindak lanjuti sebagaimana

diatur dalam AD/ART PKS.

Bahwa pokok perkara yang menjadi inti dari gugatan perbuatan melawan

hukum yang di layangkan oleh Fahri Hamzah dikarenakan masalah prosedural

dan mekanisme pemanggilan, penyidikan dan investigasi, serta pemeriksaan

Yang di lakukan oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi.

PKS menganggap bahwa proses pemanggilan, penyelidikan, pemeriksaan,

mengadili atau menyidangkan dan menjatuhkan putusannya sudah sesuai dengan

procedural dan mekanisme yang benar sebagaimana diatur dalam Anggran Dasar

dan Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera, Pedoman Partai Nomor 1

Tahun 2015 Tentang Pemberian Penghargaan Dan Penjatuhan Sanksi Partai

Keadilan Sejahtara yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015

atau bertepatan dengan 5 Rabiul Awal 1437, Pedoman Partai Nomor 2 Tahun

2015 Tentang Tata Beracara Penegakan Disiplin Organisasi Partai Keadilan

Sejahtera yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 atau

bertepatan dengan 5 Rabiul Awal 1437, Panduan Dewan Pengurus Pusat Tentang

Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera Nomor : 01/DPP-

PKS/1429.
120

1) Bahwa Partai Keadilan Sejahtera adalah Partai yang memiliki Anggaran Dasar,

dengan Perubahan Terakhir, yang ditetapkan dalam Musyawarah Majelis Syura

I pada tanggal 10 Agustus 2015 dan dinyatakan mulai berlaku sejak ditetapkan;

2) Bahwa di dalam Pasal 11 Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera diatur

mengenai :

(1) Anggota diberhentikan keanggotaannya apabila :

a. Meninggal dunia ;

b. Mengundurkan diri ;

c. Menjadi anggota Partai Politik lain ;

d. Melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta

Peraturan Partai lainnya, atau

e. Akan menduduki suatu jabatan yang oleh peraturan perundang-undangan

yang berlaku dilarang dijabat oleh anggota Partai Politik.

(2) Mekanisme pemberhentian anggota diatur dengan ketentuan : .

a. Anggota yang meninggal dunia, keanggotaannya berhenti dengan

sendirinya ;

b. Anggota yang mengundurkan diri atau tidak aktif, keanggotaannya

diberhentikan dengan surat keputusan Partai ;

c. Anggota yang menjadianggota Partai Politik lain, keanggotaannya dicabut

oleh Partai berdasarkan keputusan dari Majelis Tahkim ;


121

d. Anggota yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

serta Peraturan Partai lainnya diberhentikan berdasarkan keputusan

Majelis Tahkim.

Setelah itu Fahri Hamzah menjalani pemeriksaan internal (di BPDO) dan

telah pula melakukan pembelaan diri, dan dengan memperhatikan :

(1) Pasal 15 ayat (5) huruf e dan Pasal 30 ayat (1) Anggaran Dasar PKS ;

(2) Pasal 6 ayat (1), ayat (3) dan ayat (6) Anggaran Rumah Tangga PKS ;

(3) Pasal 11 ayat (2) huruf a,b,e dan m. Pedoman Partai No. 1 tahun 2015

tentang Pemberian Penghargaan dan Penjatuhan Sanksi.

Dan karenanya Majelis Tahkim memutuskan bahwa Penggugat terbukti

melakukan pelanggaran disiplin organisasi Partai dengan kategori berat dan

mengabulkan tuntutan Badan Penegak Disiplin Organisasi DPP PKS berupa

pemberhentian keanggotaan Penggugat sebagai Anggota Partai Keadilan Sejahtera

dalam semua jenjang keanggotaan, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan

Majelis Qadha No. 01/PUT/PDOPKS/ 1437 tanggal 29 Januari 2016. Dan jika

ternyata Penggugat keberatan dengan Putusan tersebut, maka Penggugat

seharusnya meminta penyelesaian dengan Gugatan Perselisihan Partai Politik ke

Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam ketentuan :147

147Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.tentang Perbuatan


Melawan Hukum, 2016. Hlm. 71.
122

1. Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

yang berbunyi :

a. Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik

sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.

b. Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik

atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.

c. Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik

kepada Kementerian.

d. Penyelesaian Perselisihan internal Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam

puluh) hari.

e. Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan

mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan

dengan kepengurusan.

2. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

Tentang Partai Politik ; yang dimaksud dengan perselisihan Partai Politik‟

meliputi antara lain : (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan ;

(2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik ; (3) pemecatan tanpa
123

alasan yang jelas ; (4) penyalahgunaan kewenangan, (5) pertanggungjawaban

keuangan ; dan atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik .148

Fahri Hamzah lalu mengajukan keberatannya mengenai proses per-recallan

terhadap dirinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam gugatan

perbatan melawan hukum karena dalam melakakukan prosedur pemberhentian

partai PKS tidak memperhatikan hak dasar dari Fahri Hmzah untuk membela

dirinya terhadap aduan yang ditimpakan pada dirinya dan hal ini bertentangan

dengan tugas dan fungsi Majelis Tahkim.149

Bahwa menurut pertimbangan majelis hakim karena banyaknya berita buruk

yang membuat nama baik Fahri Hamzah menjadi tercoreng , dan setelah

melakukan pembuktian di persidangan PKS terbukti melakakukan perbuatan

melawan Hukum khususnya pada saat melakukan proses pemeriksaan aduan

terhadap fahri Hamzah maka dari itu majelis hakim memutuskan bahwa segala

keputusan yang diambil oleh partai PKS yang menyangkut mengenai

pemberhentian dan pergantian Fahri Hamzah tidak sah dan tidak memiliki

kekuatan Hukum tetap .

Berdasarkan Keputusan diatas maka Fahri Hamzah tidak Jadi di Recall

karena telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

148Lihat putusan pengadilan negeri dengan nomor register perkara 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.


Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kasus Fahri Hamzah .Ibid., hlm. 72.
149 Lihat putusan pengadilan negeri dengan nomor register perkara 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel.

Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kasus Fahri Hamzah .Ibid., hlm. 156.
124

2. Akibat Hukum dari Penerapan Hak Recall dalam Praktek

Ketatanegaraan di Indonesia

Akibat hukum adalah akibat yang di timbulkan oleh peristiwa hukum.150

Sebagai contoh :

a. Timbulnya Hak dan kewajiban bagi si pembeli dan penjual rumah

merupakan akibat hukum dari perbuatan hukum jual beli rumah antara

pemilik dan pribadi

b. Dihukumnya seorang pencuri adalah akibat hukum dari [erbustan

pencuri tersebut yakni mengambil barang orang lsin tanpa haka tau

secara melawan hukum .

Begitu pula dengan setiap kebijakan pati memiliki akibat hukum dalam

penerapanya . Recall atau yang oleh UU Partai Politik disebut sebagai pergantian

antarwaktu oleh partai politik.151

Harun Al Rasyid mengemukakan bahwa pemberhentian Antar Waktu atau

yang biasa disebut Recall adalah hak suatu partai politik untuk menarik kembali

anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukannya. 152

Dengan adanya recall oleh parpol, dia lebih banyak berhutang kepada

konstituen karena terpilih dengan suara terbanyak. Tapi pada saat dia menjalankan

150 J.B. Daliyo , Pengantar Ilmu Hukum :Buku Panduan Mahasiswa , Jakarta :Prenhallindo,2014,
Hal.104.
151M.Hadi Shubhan, op.cit., hal 32.
152 Malicia Evendia , Iplikasi Hak Recall Partai Politik Terhadap Sistem Kedaulatan Rakyat ,Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum voume 6 No. 3, 2012,. Hlm. 1-2.
125

fungsinya sebagai legislator, dia pasti terpikir akan terancam dengan adanya

pranata ini, apalagi nanti kalau bicara soal fraksi, ada suara kepentingan politik

yang dilembagakan, kalau dia berseberangan dengan pendapat parpolnya akan

diancam recall.153

Hak Recall merupakan produk yang disediakan oleh undang-undang untuk

menjadi dasar bagi anggota parlemen yang terbukti melakukan di berhentikan

karena melakukan pelanggaran, meninggal dunia, dan mengundurkan diri serta di

berhentikan. Memang sejatinya seorang anggota parlemen yang telah menjabat

masih memiliki kaitan dengan partai politiknya, namun hubungan tersebut harus

dikesampingkan karena seorang anggota parlemen telah memperoleh legitimasi

sebagai wakil rakyat untuk menyalurkan aspirasi mereka, bukan lagi aspirasi

partainya.

Pasal 239 ayat (1) UU No. 17 tahun 2004 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Derah menyatakan bahwa; “Anggota DPR berhenti

antarwaktu karena:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri; atau

153 Bilal, Dewansyah, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat
dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke Politico”, dalam Setyanto, Widya P.,
Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu 2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Salatiga
: Persemaian Cinta Kemanusiaan,. 2010,hal.67-68.
126

Lebih lanjut diartur dalam ayat (1) huruf (c) bahwa Anggota DPR

diberhentikan antarwaktu apabila ;

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa

keterangan apa pun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang- undangan;

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum

anggota DPR, DPD dan DPRD;

f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini;

g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; atau

h. menjadi anggota partai politik lain.


127

Mengacu pada Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) maka akibat hukum

bila seorang anggota Parlemen di recall maka dirinya akan di berhentikan dari

jabatannya di parlemen dan di gantikan oleh orang lain sebelum masa jabatanya

berakhir.

Sudah menjadi tugas dari parlemen untuk menyuarakan aspirasi rakyat

sebagaimana asal mula kata parlemen, yakni le parle yang apabila diterjemahkan

ke dalam bahasa inggris berarti to speak, atau bersuara. Tidak menjadi masalah

apabila hak recall berada di tangan partai politik sepanjang penggantian anggota

DPR sesuai dengan syarat dan ketentuan sebagaimana yang diatur dengan jelas

dalam Pasal 213 ayat (1) dan ayat (2) dan dilakukan secara objektif dan

dilandaskan pada parameter yang jelas, konkret dan tidak multi tafsir. Akan tetapi

fakta yang terjadi dalam dinamika ketetanegaraan sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, jelas bahwa recall yang dilakukan oleh partai politik kental dengan

muatan politis.154

Oleh dan sebab itu, recall oleh partai politik memberikan dampak negatif bagi

kehidupan politik Negara ini. Nilai-nilai negatif yang dapat DPR yang kritis dan

ingin menyuarakan suara konstituennya. Kedua, membentuk mentalitas anggota

DPR untuk takut kepada oraganisasi induknya (Partai Politik), yang dapat

154 Rumokoy N.K., Kajian Yuridis Tentang HAk Recall Partai Politik Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia , Jurnal UNSRAT , Vol.XX/No.1/Januari-Maret/2012,hlm. 5.
128

menyebabkan anggota DPR lebih mengutamakan dan mementingkan kepentingan

parpolnya, bukan lagi menyuarakan aspirasi konstituennya.155

Namun alasan mengapa recall masih di adakan di dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia karen ; 156

a. Recall menjadi kontrol terdahap anggota parlemen yang terbukti

melanggar aturan dan norma

b. Menguragi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh anggota parlemen

dalam membuat sebuah kebijakan .

Recall digunakan sebagai pengingat mengingat kekuasaan yang besar


cenderung abuse of power, sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Acton
bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak
pasti disalahgunakan (power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely),157 maka kontrol terhadap orang-orang yang memiliki akses pada
penggunaan kekuasaan sangatlah diperlukan dalam rangka menegakkan
prinsip chek and balances. Diaturnya mekanisme recall dalam sistem
perwakilan merupakan sarana yang dapat dipergunakan sebagai hukuman
(punishment) bagi para politisi yang menyalahgunakan kekuasaan yang
dimilikinya.

Hak Recall partai politik dimaksudkan berfungsi sama dengan fungsi

pengawasan, karena dalam undang-undang seorang anggota parlemen memiliki

155
Rumokoy N.k, ibid , hal 5-6
156
Efriza , Op cit , hal 303.
157Perkataan Lord Acton yangcukup terkenal ini dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara

dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), h. 7


129

hak untuk menyampaikan usul dan pendapat,158 bila mana seorang anggota

parlemen dalam memberi usulan dan pendapat di anggp melanggar atau

mencederai konstitusi, AD ART, atau menimbulkan kerugian bagi rakyat maka

anggota perlemen tersebut dapat di recall.

3. Upaya Hukum Bagi Anggota Parlemen yang keberatan di jatuhi Hak

Recall oleh Partai Politik

Sebagai sebuah organisasi politik, Partai Politik diisi oleh anggota Partai

Politik yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang

yang sebagian daripadanya memiliki kedudukan sebagai pengurus partai politik.

Dalam menjalankan kepengurusannya, pengurus partai politik mendapat

kepercayaan dari anggota-anggota partai politik untuk menentukan arah

kebijakan partai yang secara garis besar dituangkan di dalam Anggaran Dasar

dan Anggaran Rumah Tangga partai. Di samping itu, pengurus partai juga harus

mengacu pada Pancasila sebagai ideologi negara dan tunduk pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang

melingkupi tindakan partai politik yang direpresentasikan oleh pengurusnya

antara lain Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang tentang

Pemilu, Undang- Undang tentang MD3 dan beberapa undang-undang lainnya.159

158
UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR , DPR , DPRD , dan DPD , Pasal 257 huruf (b).
159
Tri Cahya Indra Indra Permana , Model Penyelesaian Perselesihan Partai Politik Secara Internal
Maupun Eksternal , Jurnal Hukum dan Peradilan , Vol.5 No.1, Jakarta : 2016 . Hal.36
130

Dalam menjalankan kepengurusannya, tidak bisa dihindari adanya

perselisihan di antara anggota partai politik, anggota partai politik dengan

pengurus partai politik, bahkan perselisihan di antara sesama pengurus partai

politik. Mengenai jenis perselisihan partai politik diatur di dalam Undang-

Undang tentang Partai Politik, sedangkan mekanisme Pergantian Antar Waktu

anggota Dewan yang juga berpotensi menjadi sebuah perselisihan partai politik

diatur di dalam Undang-Undang tentang MD3. Menurut Penjelasan Pasal 32

ayat (1) Undang-Undang Partai Politik disebutkan jenis-jenis perselisihan partai

politik antara lain: Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan,

Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, Pemecatan tanpa alasan yang

jelas, Penyalahgunaan wewenang, Pertanggungjawaban keuangan, dan atau

Keberatan terhadap keputusan partai politik.160

Di samping yang disebutkan di dalam Undang-Undang Partai Politik

tersebut di atas, perselisihan partai politik juga berkembang di dalam praktek.

Misalnya keberatan terhadap kebijakan pengurus partai politik yang tidak

melakukan pergantian antar waktu (PAW) bagi anggotanya. Keberatan ini

diajukan oleh anggota partai politik yang seharusnya menggantikan anggota

parpol yang di-PAW. Keberatan semacam ini memang tidak lazim sebab pada

umumnya perselisihan terjadi karena anggota parpol di-PAW sehingga timbul

160 Tri Cahya Indra Indra Permana, ibid,hal 36.


131

perselisihan antara anggota partai yang di PAW dengan pengurus Partai yang

melakukan PAW.161

Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, merincikan Perselisihan

Partai Politik:

(1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

(2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik.

(3) pemecatan tanpa alasan yang jelas.

(4) penyalahgunaan kewenangan.

(5) pertanggung jawaban keuangan.

(6) keberatan terhadap keputusan partai politik.

Dalam proses penyelesaian konflik tersebut harus melalui Mahkamah

Partai Politik terlebih dahulu. Keberadaan Mahkamah Partai Politik tersebut

sebagaimana yang telah diatur dalam AD dan ART partai. Mahkamah Partai

bukan media baru dalam tubuh partai politik Indonesia. Keberadaannya sudah

diakui di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, tentu

diharapkan dapat berkerja sebagaimana mestinya. Sebab Mahkamah Partai

selain ia diakui oleh Undang-Undang, ia juga harus menjadi sebuah mediator

yang baik untuk dapat menyelesaikan perselisihan internal partai politik. Bila

161 Tri Cahya Indra Indra Permana, ibid,hal 37.


132

mana konflik tidak terselesaikan melalui Mahkamah Partai, maka

penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui pengadilan.162

Dalam penyelesaian sengketa partai politik telah diatur di dalam

Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dalam pasal 32 yang isinya

menjelaskan tentang peran mahkamah partai dalam menyelesaikan sengketa

dalam partai politik masing-masing. Dalam sengketa perselisihan pemilihan

umum di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 lalu memang sering

ditemukan sengketa antar caleg satu partai politik.163 Mahkamah Konstitusi

selaku lembaga yang berwenang mengadili sengketa hasil pemilu menolak

mengadili sengketa antar caleg di parpol yang sama. Dalam berbagai

putusannya, Mahkamah Konstitusi meminta agar Partai Politik

menyelesaikan sengketa ini secara internal.

Jadi untuk menyelesaikan sengketa internal Parpol haruslah merujuk

pada Pasal 32 ayat (1) UU Partai Poitik.164

Pasal 32 mengatur bahwa:

1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik

sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.

162Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.2 Tahun 2008

Tentang Partai Politik.


163Hani Adhani, 2015, Sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, Gramedia

Pustaka, Jakarta, hlm.32.


164Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik Pasal 32 .
133

2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai

Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.

3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik

kepada Kementerian.

4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60

(enam puluh) hari.

5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final

dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang

berkenaan dengan kepengurusan.

Susunan Mahkamah Partai yang dimaksudkan disini disusun dan

didaftarkan oleh partai politik ke pemerintah. Apabila perselisihan tersebut

tidak dapat terselesaikan melalui mahkamah partai politik maka merujuk

pada Pasal 33 ayat (1) UU Partai Politik.165

Pasal 33 mengatur bahwa:

165 Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik Pasal 32 .


134

1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan

dilakukan melalui Pengadilan Negeri.

2) Putusan Pengadilan Negeri adalah putusan tingkat pertama dan

terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah

Agung.

3) Perkara sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh

Pengadilan Negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak

gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri dan

oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak

memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, dalam kasus sengketa internal sebuah partai tersebut

dapat diselesaikan secara mediasi antara pihak yang saling bersengketa

melalui mahkamah partai politik sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) UU Partai

Politik dan apabila tidak dapat diselesaikan melalui mahkamah partai politik

maka sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UU Tentang Partai Politik sengketa

tersebut diselesaikan melalui pengadilan negeri. Pengajuan gugatan

“Sengketa partai Politik” yang belum diselesaikan terlebih dahulu melalui

mekanisme internal partai atau Mahkamah Partai maka gugatan tersebut

premature, Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut maka


135

Pengadilan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard).166

Batas waktu penyelesaian sengketa Partai politik dijelaskan dalam pasal

33 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik :

Pasal 33 ayat (3) menyebutkan sebagai berikut :

“Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh

pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara

terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling

lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan

Mahkamah Agung.’’167

Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan dalam jangka waktu 60 (enam

Puluh) hari harus sudah putus, sejak gugatan perkara tersebut di daftarkan di

kepaniteraan. Aturan diatas sangat sumir dan susah dalam aplikasi di

lapangan. 60 (enam puluh) hari yang disebutkan di UU tersebut diatas tidak

jelas, apakah hari kalender ataukah hari kerja. Pedoman Pelaksanaan Tugas

dan Administrasi Pengadilan dalam empat Lingkungan Peradilan BUKU II

166Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008

Tentang Partai Politik Partai Politik Pasal 33 ayat (3).


167 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik Partai Politik Pasal 33 ayat (3).
136

edisi 2007 terbitan Mahkamah Agung RI 2009 disebutkan pengertian Hari

tersebut adalah Hari kerja.168

Keberadaan Mahkamah Partai Politik diakui dalam Undang-

undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2

Tahun 2008 Tentang Partai Politik.

Partai Keadilan Sejahtera adalah contoh nyata. saat ini konflik internal

keduanya makin meruncing. Dalam penyelesaian konflik, jalur pengadilan

justru menjadi pilihan utama pihak-pihak bersengketa. Ini menunjukkan,

Mahkamah Partai ternyata belum menjadi pilihan pertama yang dinilai lebih

efektif. Undang-Undang tentang partai politik ini sesungguhnya telah

menentukan apa saja kewenangan Mahkamah Partai Politik. Pasal 32 ayat (2)

pada pokoknya mengatur, penyelesaian perselisihan internal partai politik

dilakukan oleh suatu mahkamah partai politik atau sebutan lain yang dibentuk

oleh partai politik.

Ketentuan tersebut menegaskan, yurisdiksi Mahkamah Partai adalah

menyelesaikan perselisihan internal partai. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU

Partai Politik memerinci apa saja jenis perselisihan internal partai politik,

yaitu:

(1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

168A.A. Oka Mahendra, Op. Cit., hlm.21.


137

(2) pelanggaran terhadap hak anggota partai politik.

(3) pemecatan tanpa alasan yang jelas.

(4) penyalahgunaan kewenangan.

(5) pertanggungjawaban keuangan, dan

(6) keberatan terhadap keputusan partai politik.

Dengan kewenangan itu, tak ada alasan menempatkan mekanisme

penyelesaian sengketa oleh Mahkamah Partai sekadar pelengkap dari sistem

penyelesaian perselisihan internal partai. Sebab, mekanisme itu disediakan

untuk memastikan penyelesaian perselisihan lebih mengedepankan semangat

seperti tertuang dalam AD/ART partai.169

Dengan demikian, eksistensi Mahkamah Partai sebagai lembaga yang

akan memastikan kedaulatan partai politik terjaga dengan baik. Mahkamah

Partai berkedudukan sebagai institusi yang akan mengawal dihormatinya

kekuasaan tertinggi di dalam partai dan memastikan semua proses internal

sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Bahkan, mahkamah ini dapat dinilai

sebagai institusi tumpuan dalam rangka memastikan keutuhan sebuah partai

politik.

169Tri Cahya Indra Permana,Model Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Secara Internal Maupun
Eksternal, Jurnal Hukum dan Peradilan , 2016,
138

Meskipun semua jenis perselisihan parpol harus diajukan terlebih

dahulu melalui mekanisme penyelesaian internal, namun tidak semua

perselisihan dapat diajukan upaya hukum atau diupayakan penyelesaiannya

oleh lembaga eksternal. Undang-Undang Parpol menentukan selain

perselisihan mengenai kepengurusan dapat diajukan upaya hukum sedangkan

terhadap sengketa kepengurusan, final dan mengikat secara internal dengan

putusan Mahkamah Parpol.170

Menurut Undang–Undang perselisihan partai politik tidak boleh

dibiarkan berlarut-larut begitu saja dan harus diselesaikan dengan cepat ,

maka dari itu di bukalah kesempatan Pengadilan Negeri sebagai upaya huku

untuk memutus dan menyelesaikan perkara internal partai politik dalam

waktu maksimal 60 (enam puluh) hari dan Mahkamah agung harus memutus

dan menyelesaikan masalah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari . 171

Jenis perselisihan parpol dan upaya hukum menurut Undang-Undang

Parpol, jika digambarkan adalah sebagai berikut:

No. Jenis Perselisihan Parpol Upaya hukum

1. PAW, Pelanggaran terhadap hak anggota Dapat diajukan upaya

partai politik, Penyalahgunaan wewenang, hukum ke PN dan

170TriCahya Indra Permana, Ibid. , hlm.43.


171 Tri Cahya Indra Permana Ibid, hal 44
139

Pertanggungjawaban keuangan, dan atau Mahkamah Agung

Keberatan terhadap keputusan partai politik

2. Kepengurusan Final dan Mengikat

dengan Putusan MPP


140

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dari uraian pada

bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa melanisme pemberhentian Fahri Hamzah dialaksanakan berdasarkan

Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib pemberhentian dan

penggantian Anggota DPR diatur mekanisme pemberhentian dan penggantian

Anggota DPR sudah diatur dalam Bab III Pasal 13 sampai dengan Pasal 19.

Sedangkan mekanisme pengisian jabatan, pemberhentian, dan penggantian

Pimpinan DPR diatur dalam Bab V Pasal 27 sampai dengan Pasal 46.

Pasal 41

Tata cara pemberhentian pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal

37 huruf d, huruf e, dan huruf g :

e. partai politik mengajukan usul pemberhentian salah satu pimpinan DPR

secara tertulis kepada pimpinan DPR ;

f. pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna DPR ;

g. keputusan pemberhentian harus disetujui dengan suara terbanyak

dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR ; dan


141

h. paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan dalam rapat paripurna DPR

sebagaimana dimaksud dalam huruf b, pimpinan DPR memberitahukan

pemberhentian pimpinan DPR kepada Presiden.

Pasal 46

(7) Dalam hal ketua dan/atau wakil ketua DPR berhenti dari jabatannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, DPR secepatnya mengadakan

penggantian.

(8) Dalam hal penggantian pimpinan DPR tidak dilakukan secara

keseluruhan, salah seorang pimpinan DPR meminta nama

pengganti ketua dan/atau wakil ketua DPR yang berhenti kepada

partai politik yang bersangkutan melalui Fraksi.

(9) Pimpinan partai politik melalui Fraksinya sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau wakil ketua

DPR kepada pimpinan DPR.

(10) Pimpinan DPR menyampaikan nama pengganti ketua dan/atau

wakil ketua DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam rapat

paripurna DPR untuk ditetapkan.

(11) Setelah ditetapkan sebagai ketua dan/atau wakil ketua DPR

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua dan/atau wakil ketua DPR

mengucapkan sumpah/janji.

(12) Pimpinan DPR menyampaikan salinan keputusan DPR sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden.


142

Sesuai dengan UU No.17 Tahun 2014 jo UU No.42 Tahun 2014, proses rotasi

jabatan sebagai Wakil Ketua DPR RI dapat dilakukan dengan cara diberhentikan

oleh Partai atau Fahri Hamzah mengundurkan dirimaka dai itu majelis syuro

partai PKS meminta Fahri Hamzah mengajukan pengunduran diri dari

jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI. Atas permintaan KMS tersebut, Fahri

Hamzah menyatakan mengerti akan keputusan tersebut dan siap

melaksanakannya. Fahri Hamzah menyatakan bahwa dia berfikir ulang untuk

mundur . Fahri Hamzah di jatuhi sanksi administratif oleh majels syuro yang

diartur dalam AD PKS Bab XVIII terkait Penghargaan dan Sanksi Pasal 26 ayat

(3) yang menyebutkan: 172

“Partai menjatuhkan sanksi berupa sanksi administratif, pembebanan,

pemberhentian sementara, penurunan jenjang keanggotaan dan

pemberhentian dari kepengurusan dan/atau keanggotaan atas perbuatan

anggota yang melanggar aturan syariat dan/atau aturan organisasi, menodai

citra partai atau perbuatan lain yang bertentangan dengan AD/ART dan/atau

Peraturan-Peraturan Partai lainnya.”

Pedoman Partai No.01 Tahun 2015 tentang Pemberian Penghargaan dan

Penjatuhan Sanksi Bab V terkait Obyek Hisbah pada Bagian Kedua Kategorisasi

Pelanggaran Pasal 11 ayat (2) huruf a, b,e, g dan m yang berbunyi:


172 Lihat AD PKS Bab XVIII terkait Penghargaan dan Sanksi Pasal 26 ayat (3).
143

“Pelanggaran kategori 3 (tiga) merupakan perbuatan yang melanggar

keputusan syuro, Tubagus Soenmandjaja awabit, Anggaran Dasar

dan/atau Anggaran Rumah Tangga Partai, termasuk tetapi tidak terbatas

seperti: (a) melanggar sumpah atau janji setia anggota partai; (b)

melanggar peraturan dan keputusan Partai; (e) tanpa alasan sah tidak

melaksanakan hasil musyawarah Partai, tidak mematuhi keputusan

Pimpinan yang harus ditaati, tidak mematuhi kebijakan-kebijakan

dan/atau sikap-sikap Partai; (g) mengutamakan kepentingan diri sendiri,

kelompok, atau pihak lain di atas kepentingan Partai;”

Menurut Pasal 34 Pedoman Partai Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemberian

Penghargaan dan Penjatuhan Sanksi Partai Keadilan Sejahtera mengatur tentang :

Badan Penegak Disiplin Organisasi bertugas :

a. Mencatat

b. Menindaklanjuti pelimpahan perkara dari Dewan Syariah Wilayah ;

c. Menerima pelimpahan perkata dari DPTP ;

d. Melakukan pemeriksaan ;

e. Membentuk Majelis Qadha ;

f. Memberikan Putusan Ta‟dib :

g. Melimpahkan ke Majelis Tahkim perkara yang tidak dapat diselesaikan ;

h. Berbagi informasi tentang Putusan Ta‟dib dengan DewannSyariah Pusat dan;

i. Membentuk Majelis Qadha Koneksitas


144

Bahwa, berdasarkan Pasal 1 angka 16 Pedoman Partai Nomor 2 Tahun 2015 Tentang

Tata Beracara Penegakan Disiplin Organisasi Parta Keadilan Sejahtera pengertian

tentang investigasi menurut Pedoman adalah proses penggalian dan pengumpulan

informasi, keterangan,dan bukti. untuk memeriksa dugaan tentang terjadinya

pelanggaran yang dilakukan oleh Fahri Hamzah setelah melakukan investigasi

membentuk Majelis Qadha yang terdiri dari ABDI SUMAITHI,DH. AL YUSNI dan

AINUR RAFIQ SHALEH TAMHID dan Majelis Qadha ini bertugas memeriksa dan

memutus suatu perkara yang diajukan partai PKS sebagaimana diatur dalam Pasal 21

ayat (11) dan Pasal 22 ayat (1) Pedoman Partai Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata

Beracara Penegakan Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera.

penjatuhan hak recall terhadap Fahri Hamzah menurut AD / ART Partai PKS

telah sesuai yang mana proses pemanggilan, penyelidikan, pemeriksaan, mengadili

atau menyidangkan dan menjatuhkan putusannya sudah sesuai dengan prosedural

dan mekanisme yang benar sebagaimana diatur dalam Anggran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga Partai Keadilan Sejahtera, Pedoman Partai Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Pemberian Penghargaan Dan Penjatuhan Sanksi Partai Keadilan Sejahtara yang

ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 atau bertepatan dengan 5

Rabiul Awal 1437, Pedoman Partai Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara

Penegakan Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera yang ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 16 Desember 2015 atau bertepatan dengan 5 Rabiul Awal 1437,
145

Panduan Dewan Pengurus Pusat Tentang Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai

Keadilan Sejahtera Nomor : 01/DPP-PKS/1429.

Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

Tentang Partai Politik ; yang dimaksud dengan „perselisihan Partai Politik‟ meliputi

antara lain : (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan ; (2) pelanggaran

terhadap hak anggota Partai Politik ; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas ; (4)

penyalahgunaan kewenangan, (5) pertanggungjawaban keuangan ; dan atau (6)

keberatan terhadap keputusan Partai Politik. 3. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik yang menyatakan : dalam hal

penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai,

penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri

Berdasarkan undnag-undnag tersebut Fahri Hamzah melalukan gugatan ke

pengadilan negeri , Beliau merasa, bahwa partai PKS merecallmya tidak sesuai

dengan prosedural dan mekanisme pemanggilan , Penyidikan dan investigasi , serta

pemeriksaan Yang di lakukan oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi Tidak Sesuai

dengan peraturan yang benar secara hukum serta melanggar hak hak dasar Penggugat

sebagaimana dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Pengesahan International


146

Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik) , karena mengenyampingkan Hak dasar Fari Hamzah .

Dalam Putusannya dengan nomor register perkara

214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel. majelis hakim berpendapat bahwa jika dihubungkan

dengan ketentuan pasal 18 Pedoman Partai Keadilan Sejahtera Nomor 2 Tahun 2015

tentang Tata Beracara Penegakan Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera (vide

bukti P-40) yang menyatakan bahwa BPDO wajib merahasiakan materi aduan dan

proses investigasi sampai dengan perkara diputus oleh BPDO, Majelis Qodho,

dan/atau Majelis Tahkim Partai, maka jelas bahwa pembentukan Majelis Tahkim

PKS telah menyalahi mekanisme demokratis dalam tubuh partai politik sebagaimana

diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011, khususnya pasal 32. Dan

karena majelis hakim telah berpendapat bahwa keputan yng diail partai PKS

dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum maka dari itu putusan yang di

keluarkan oleh partai PKS mengenai penjatuhan recall kepada Fahri Hamzah

dinyatakan batal demi hukum .

2. Bahwa akibat hukum dari penggunaan hak recall yang di pegang oleh partai politik

dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah diamana para anggita parlemen

tersebut di berhentikan tidak sesuai dengan waktu yang telah di tentukan . Dan Fungsi

dari pengadaan hak recall yang dimiliki oleh partai politik sejatinya merupakan

sebagai alat kontrol terhadap para anggota parlemen . Mengingat kekuasaan yang

besar cenderung abuse of power, yang dapat mengakinbatkan adanya pejabat yang

korup dan kesewenang – wenagan dalam pembuatan kebijakan . maka dari iti
147

mengapa rcall samgatlah di perlukan dalam rangka menegakkan prinsip chek and

balances. Diaturnya mekanisme recall dalam sistem perwakilan merupakan sarana

yang dapat dipergunakan sebagai hukuman (punishment) bagi para politisi yang

menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.

3. Bahwa melakukan Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi seseorang dalam

pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus untuk memberikan jaminan bagi

masyarakat bahwa hukum di Negara kita adalah benar. Prosedur upaya hukum di

Negara kita bisa dikatakan sudah sempurna, namun belum diterapkan sebagaimana

mestinya atau penerapannya masih kurang maksimal.173

Maka dari itu seorang anggota Parlemen yang merasa di rugikan dari penenjatuhan

Pasal 241 Undang – Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPRD, dan

DPD mengatur bahawa ;

“Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang

bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan,

pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dan oleh sebab itu seorang anggota Parlemen yang menolak di jatuhi

recall dapat mengajukan keberatan di pengadilan.

173 Bilryan Lumempouw, Hak Terdakwa Melakukan Upaya Hukum Dalam proses Peradilan Pidana,
Journal hukum Lex Crime Vol. II , 2013 Hlm. 1.
148

B. Saran

1. Kepada DPR dan Pemerintah mekanisme recall yang sesui dengan

ketatanegaraan indonesia sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih

bagi rakyat sebagai pemegang konstituen untuk ikut serat dalam recall,

karena sejatinya rakyatlah yang memeberikan mandat kepada orang

tersebut.

2. Kepada DPR dan Pemerintah yang membuat kebijakan sudah seharusnya

sistem dan mekanisme recall di perbaiki lagi agar tidak terkesan recall

menjadi alat bagi para elite politik untuk mencapai apa yang di

inginkannya yang bertentangan dengan kehendak rakyat .

3. Kepada pemerintah dan DPR perlu membuat kebijakan yang jelas

mengenai pengadilan manakah yang dapat d tempuh oleh seorang anggota

parlemen yang di recall , meskipun pada dasarnya konfik yang terjadi

didalam partai politik seharusnya dapat diselesaikan oleh mahkamah partai

politk
149

DAFTAR PUSTAKA

A . BUKU

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,Jakarta :


Sinar Grafika 2012.

Abdulkadir, Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum , Bandung : Citra


Aditya Bakti , 2004.

Anwar (ed dan pen),Teori dan Hukum Konstitusi,Malang:Intra Publishing ,


2011,Hlm. 49.

Ashofa, Burhan , Metode Penelitian Hukum , Jakarta : PT. Rineka Cipta , 1996.
Budiarjo, Miriam ,Dasar – Dasar Ilmu Politik , Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama , 1992.

Dicey, A.V., Introduction to Study of the Law of the Constitution, Macmilan


And CO., Limited, New York., 1897.

Efriza, Studi Parlemen: Sejarah, Konsep, dan Lanskap Politik Indonesia ,


Malang : Setara Press, 2014.

Fadjar,Abdul M., Partai Politik : Dalam Perkembangan Ketatanegaraan


Indonesia , Malang : Setara Press, 2012 .

Fajar, Mukti ,Dualisme Penelitian hukum Normatif dan Empriris, (Yogyakarta :


Pustaka Pelajar , 2010.

Hadjon, Philipus M, , Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah


Yogyakarta: Mada University Press, , 2011.

Handoyo,B.Hestu Cipto,Hukum Tata Negara


Indonesia.,Yogyakarta:Universitas Atma Jaya,. ,2009.

Huda, Ni’matul .,Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan


Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta.:FAHRI HAMZAH UII Press,
2011.

Lubis ,M. Solly, Ilmu Negara, Bandung : Mandar Maju , 2007.

Legowo, Tommi A., , “Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan


Politik”, dalam Basyar, Hamdan, Dkk, Editor, Kepemimpinan
150

Nasional, Demokratisasi, Dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta


:Pustaka Pelajar, 2009.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada,.


2009.

Marijan,Kacung , Sistim Politik Indonesia : Kosolidasi Demokrasi Pasca-Orde


Baru,Jakarta: Kencan, 2010 .

Marzuki, Peter M., Penelitian Hukum , Surabaya : Prenda Media Group , 2010.

Nonet, Philippe, & Selznick, Philip, , Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, Harper & Row, New York.,1978.

S., Salim H., dan Erlies S.N.,Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi
dan Tesis,Jakarta : Rajawali Pers,2014,Hlm. 173-174

Saebani, Beni A., Metode Penelitian Hukum , Bandung : CV. Pustaka Setia ,
2008.

Sarjana, Negara Hukum: Teori dan Praktek, Yogyakarta:Thafa Media, 2016,

Soemitro, Roni H., Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta : Ghalia


Indonesia , 1988

Strong, C.F., , Modern Political Constitutions: An Introduction to the


Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick &
Jackson Limited, London, 1960.

Sudarsono, “Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik”, dalam


Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik,
Universitas Wisnuwardhana Malang : Malang Press, 2012.

Surbakti, Ramlan, “Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif”, dalam Ramses M.,


Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat
Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009.

______________, “Perkembangan Partai Politik Indonesia”, dalam Ramses M.,


Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat
Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. 2009.
151

Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945


Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung :
fokusmedia,2013,Hlm.34.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang- Undang dasar 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2813).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan


dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2915).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3064).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3282).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan


dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang PArtai Politik.
152

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis


Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan
Perwakilaan daerah , dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang tentang


Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan
Perwakilaan daerah , dan dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

C. Lain-lain

1.Jurnal

A.Gau Kadir, Dinamika Partai Politik Di Indonesia ,Sosiohumaniora,Vol.16,


No. 2 Juli 2014.

Asshiddiqie, Jimly, Membangun Partai politik dan Pemilihan Umum Sebagai


Instrumen Demokrasi .”Jurnal Konstitusi . Vol. 3 No. 4 ,(Desember
2006), Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

Badu , Muhammad Nasir, Demokrasi dan Amerika, The Politics : Jurnal


Magister Ilmu Politik Universitas Hasanudin ,Vol 1 Nub. 1, January
2015.

Benwell,Richard; Gay, Oonagh, The Sparation Of Powers, Parliamens and


Constitution Journal ,15 Agustus , Uk Parliament.

Farida, Rida , Mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan


implikasinya dalam konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum.
Vol. II No. 2 Desember 2015. ISSN: 2356-1440.

Kusuma.,R.M. Ananda B, “Tentang Recall” : Antar Hak Partai Politik dan Hak
Berpolitik Anggota Parpol,” “Jurnal Konstitusi, Volume 3 , No. 4
(Desember 2006), Jakarta: Mahkamah Konstitusi.,.

Shubhan, M.Hadi, “Tentang Recall” : Antar Hak Partai Politik dan Hak
Berpolitik Anggota Parpol,” “Jurnal Konstitusi, Volume 3 , No. 4
(Desember 2006), Jakarta: Mahkamah Konstitusi.,.

Suhardiyanto, Andi; Lestari, Puji, Partisipasi Perempuan :Studi Perempuan


Dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa tengah Tahun 2008, Forum
Ilmu Sosial Vol 35, No 2 (2008): December 2008, Portal Garuda.
153

2. Media Massa dan Internet

http://nasional.kompas.com/read/2014/04/29/2249403/Fahri.Hamzah.Kembali.M
elenggang.ke.Senayan,diakses pada 26 Agustus 2017, pukul 06.15

3. Kamus

Collin.,P.H., Dictionary Of Law: Third Edition, (London: Peter Collin


Publishing, 2000).

Curzon.,L.B., Dictionary Of Law: Fifth Edition, (Great Britain: Pitman


Publishing, 1998).

Garner.,Bryan A, .Black’s Law Dictionary: Seventh Edition, (United Staties of


America: West Group ST. Paul Minn,2000), hlm. 1019.

Martin., Elizabeth A., Oxford Dictionary of Law: Third Edition, (New York:
Oxford University Press, 2000)

Tim Penyusun Kamus Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002).

You might also like