You are on page 1of 16

Makalah Konservasi Sumber Daya Hutan

“ Strategi Konservasi Tanah dan Air”

Oleh:

YOGI SRI MUNANDAR

M1A1 16 172

KEHUTANAN A

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat serta
karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah Konservasi Sumber Daya Hutan yang
berjudul “Strategi Konservasi Tanah dan Air” makalah ini disusun secara
sistematis dan diuraikan dengan bahasa yang sederhana, sehingga pembaca dapat
dengan mudah memahami seluruh isi makalah ini.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis sangat
menyadari masih banyak keterbatasan serta kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun, penulis
sangat harapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta
masyarakat pada umumnya.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................................

B. Rumusan Masalah ..........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Penyebab Kerusakan Tanah ...........................................................................

B. Dampak Kerusakan Tanah .............................................................................

C. Strategi Konservasi Tanah dan Air ................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................................

B. Saran ...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak pada tahun 2002,
potensi lahan kering di Indonesia sekitar 75.133.840 ha. Suatu keadaan lahan yang
sangat luas. Akan tetapi lahan-lahan kering tersebut tidak begitu menghasilkan
dan berguna bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area lahan kering. Hal ini
disebabkan oleh masih kurangnya teknologi pengelolaan lahan kering sehingga
sering mengakibatkan makin kritisnya lahan-lahan kering.
Erosi, kekurangan air dan kandungan unsur hara adalah masalah yang
paling serius di daerah lahan kering. Paket-paket teknologi untuk mananggulangi
masalah-masalah tersebut juga sudah banyak, akan tetapi kurang optimal di
manfaatkan karena tidak begitu signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan
petani daerah lahan kering. Memang perlu kesabaran dalam pengelolaan daerah
lahan kering, karena meningkatkan produktivitas lahan di daerah lahan kering
yang kondisi lahannya sebagian besar kritis dan potensial kritis tidaklah mudah
Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup
mampu menanggulangi masalah diatas. Dengan menerapkan sisitem konservasi
tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan
meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis
lagi. Ada 3 metode dalam dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode
fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan
vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode
kimia yaitu memanfaatkan bahan2 kimia untuk mengawetkan tanah.
Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan
setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan
agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan
(2006) adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan
dan pemanfaatannya secara efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan
konservasi air selalu berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan
konservasi tanah juga di lakukan tindakan konservasi air.
Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian dan kehutanan yang
sering terabaikan oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi
tanah. Hal ini terjadi antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu
segera terlihat di lapangan, atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen.
Dampak erosi tanah dan pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat
dilihat seperti halnya dampak tanah longsor atau banjir badang. Padahal tanpa
tindakan konservasi tanah yang efektif, produktivitas lahan yang tinggi dan usaha
pertanian sulit terjamin keberlanjutannya. Praktek pertanian yang buruk ini tidak
hanya ditemui di Indonesia, tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Hal
ini tercermin dari pernyataan Lord John Boyd Orr (1948), Dirjen FAO pertama,
dalam (Dudal 1980) sebagai berikut: “If the soil on which all agriculture and all
human life depends is wasted away, then the battle to free mankind from want
cannot be won”. Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya konservasi tanah
untuk memenangkan perjuangan kemanusiaan dalam memenuhi kebutuhan dasar
manusia. Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan di Indonesia, khusus di Pulau
Jawa saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US$341-406 juta/tahun
(Margrath dan
Arens 1989). Data lain menunjukkan bahwa selama periode 1998-2004,
terjadi 402 kali banjir dan 294 kali longsor di Indonesia, yang mengakibatkan
kerugian materi sebagai tangible product senilai Rp668 miliar (Kartodihardjo
2006). Nilai intangible products yang hilang sulit dikuantifikasi, baik dalam aspek
ekologis, lingkungan maupun sosial dan budaya, sebagai bagian dari multifungsi
pertanian. Namun dapat dipastikan bahwa nilai intangible tersebut sangat besar,
baik secara material maupun immaterial. Tingkat laju erosi tanah pada lahan
pertanian berlereng antara 3-15% di Indonesia tergolong tinggi, yaitu berkisar
antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Padahal, banyak lahan pertanian yang berlereng
lebih dari 15%, bahkan lebih dari 100%, sehingga laju erosi dipastikan sangat
tinggi. Hal ini terjadi terutama karena curah hujan yang tinggi dan kelalaian
pengguna lahan dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Pemerintah melalui Departemen Pertanian terus mengupayakan peningkatan
produksi pertanian nasional khususnya bahan pangan dengan melaksanakan dua
program utama, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Kedua program yang untuk mensukseskannya tidak mudah dan
memerlukan biaya besar ini, pada implementasi di lapangan tidak selalu disertai
penerapan tindakan konservasi tanah, yang sebenarnya sangat penting untuk
menjamin keberlanjutannya. Peran dan kebijakan pemerintah sangat penting dan
menentukan keberhasilan upaya konservasi tanah, guna mewujudkan
pembangunan pertanian berkelanjutan, yang dicirikan dengan tingkat
produktivitas tinggi dan penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah.
Upaya konservasi tidak akan berhasil apabila dipercayakan hanya kepada
pengguna lahan, karena terkendala oleh berbagai keterbatasan, terutama lemahnya
modal kerja. Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi tanah, dan masih
lemahnya implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera
dilakukan upaya terobosan yang efektif untuk menyelamatkan lahan-lahan
pertanian. Upaya konservasi tanah harus mengarah kepada terciptanya sistem
pertanian berkelanjutan yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan serta
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya
lahan dan lingkungan. Upaya ini selaras dan mendukung Revitalisasi Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang salah satu sasaran utamanya adalah
optimalisasi dan pelestarian lahan.

B. Rumusan Masalah
1. Penyebab Kerusakan Tanah
2. Dampak Kerusakan Tanah
3. Strategi Konservasi Tanah dan Air
II. PEMBAHASAN

A. Penyebab Kerusakan Tanah


Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan
hutan, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan
kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan
dan perluasan lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi
hutan di Indonesia semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-
2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi
pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan
primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder
29,7 juta ha (31,8%), nonhutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan
kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4
juta ha (14,3%) (Dephut, 2002).
Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi
sekarang mencapai 2 juta/tahun meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-
1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari:
lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan
hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan
produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta
ha (Dephut, 2000).
Lahan hutan memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan
kondisi tanah, air dan udara. Fungsi hutan sangat penting dalam menunjang fungsi
kehidupan ekologi lainnya. Keberadaan hutan yang paling penting adalah menjaga
daur air yang ada dalam tanah. Tanah hutan mempunyai laju infiltrasi permukaan
yang tinggi dan makroporositas yang relatif banyak, sejalan dengan tingginya
aktivitas biologi tanah dan pergerakan perakaran. Kondisi ini mendukung air
hujan yang jatuh dapat mengalir ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga
mengalir secara lateral (Susswein et al.,2001).
Perkembangan perakaran tanaman hutan mampu menekan
danmemperenggang agregat tanah yang berdekatan, sehingga memicu
terbentuknya pori baru yang leih besar. Aktivitas penyerapan air oleh akar
tanaman hutan juga berpengaruh terhadap kondisi tanah yang ada sehingga,
menyebabkan dehidrasi tanah, pengkerutan, dan terbukanya rekahan-rekahan
kecil. Kedua proses tersebut dapat memicu terbentuknya pori yang lebih besar
(makroporositas). Dengan kata lain pembentukan makroporositas ini selain
disebabkan oleh adanya celah atau ruang yang terbentuk dari pemadatan matrik
tanah juga adanya gangguanaktivitas perakaran, hewan tanah, pembengkaan,
perekahan dan pengkerutan tanah (Marshall et al.,1999).
Aktivitas dalam ekologi tanah hutan tidak berhenti pada taraf ini saja.
Lebih jauh, exudant akar dan akar yang mati khususnya akar rambut akan memicu
aktivitas mikroorganisme yang akan menghasilkan bahan humik yang berfungsi
sebagai semen. Bahan humik tanah mempunyai peranan yang besar terhadap
agregasi liat tanah yang berukuran relatif kecil, sedang peranannya terhadap
agregasi agregat kecil atau partikel debu dan pasir relatif kecil (Marshall et al.,
1999). Dengan adanya fungsi perakaran yang disati sisi dapat merugikan di sisi
lain perakaran yang telah mati dapat mencptakan kondisi yang seimbang pada
tanah hutan.
Kondisi tanah hutan umumnya berfungsi sebagai filter. Tanah hutan
memiliki kondisi yang remah dengan kapasitas infiltrasi air yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus
menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah,
dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya
infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan,
maka adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat
dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai
(DAS) sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat
penyimpan air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya
hutan di suatu wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang
dapat menahan tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel
tanah dengan akar. (Cooper et al, 1996)
Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor
pembatas keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan
tersebut juga merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam
hutan dan menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi
masyarakat, sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan
dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Pembukaan lahan hutan menjadi lahan tanaman monokultur dapat diduga
sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan
bawah. Kerusakan struktur tanah lapisan atas serta lapisan bawah di akibatkan
karena berubahnya lingkungan atau kondisi tanah hutan yang semula habitat akar
dan terjadi interaksi antara tanah dengan akar. Perubahan ini menghasilkan
kondisi tanah yang berbeda, sehingga pada awalnya tanah hutan mampu menjaga
fungsi tanah menjadi menurun akibat tidak rusaknya keseimbangan kondisi tanah
karena perakaran hutan yang hilang.
Perubahan kondisi tanah ini, disebabkan karena adanya perubahan
karakteristik jenis perakan pada tanah hutan yang lebih bervariasi dari pada pada
lahan pertanian monokultur. Jenis perakan yang monokultur cenderung memiliki
kapasitas yang sama dalam menjalankan aktivitasnya dalam tanah. Perbedaan
jenis perakan juga mempengaruhi keberadaan biota dalam tanah. Selain perbedaan
perakaran dalam tanah, perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian
monokultur menyebabkan berubahnya tutpan lahan yang semula adalah
multistrata mendaji strata tunggal dimana tajuk tanaman menjadi seragam. Tajuk
yang berstrata akan membantu dalam mengurangi lebih besar kontak tanah
terhadap air hujan dari pada kondisi tanaman monokultur.
Dengan rusaknya sifat fisika tanah hutan yang berawal dari perubahan
kondisi struktur talah lapisan atas dengan lapisan bawah maka dapat dikatakan
bahwa perubahan fungsi lahan hutan menjadi lahan tanaman monokltur dapat
menyebebkan degradasi sifat-sifat tanah. Dalam hal ini degradasi sifat tanah akan
mempengaruhi sifat satu dengan yang lainnya. Kerusakan lingkungan yang
diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman,
penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang
berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung dengan cara
tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan
kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat
berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi
yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas aliran
air sungai akan menurun.

B. Dampak Kerusakan Tanah


Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan jumlah
makroporositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi
permukaan tanah dan peningkatan limpasan permukaan. Kerusakan struktur tanah
yang demikian akan menyebabkan berubahnya pola aliran air di dalam sistem tata
guna lahan. Dengan adanya kerusakan struktur tanah tersebut juga akan
menyebabkan menurunkan potensi tanah dalam menyimpan air.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat
tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan.
Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan
organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan
ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah
relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga
menyebabkan terbentuknya kerak di permukaantanah (soil crusting) yang
mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang
halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehinggamenyebabkan penyumbatan
pori tanah. Pada saa thujan turun kerak yang terbentuk di permukaan tanahjuga
menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah ini
porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untukmengalirkan air
mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat. Sehingga
peluang terjadinya erosi permukaan akan terjadi.
Perubahan sifat fisika yang terjadi dapat dilihat secara langsung dan ada
yang mengalami perubahan sejalan dengan waktu. Tekstur tanah pada kondisi alih
fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian monokultur juga ikut berubah jumlah
fraksi yang membentuk suatu tanah. Menurut penelitian Didik Suprayogo dkk
2001 pada kasus perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian kopi monokultur,
terjadi perubahan kandungan fraksi tanah. Semula pada tanah hutan diketahui
fraksi tanah berkisar dari lempung liat berpasir hingga lempung berpasir. Setelah
mengalami perubahan fungsi lahan tekstur tanah berubah menjadi tekstur liat.
Perubahan tekstur tanah ini juga mempengaruhi terhadap fungsi kimia tanah ,
yaitu reaksi yang terjadi dalam tanah potensilal H+ .
Perubahan yang terjadi selain tekstur tanah adalah kandungan bahan
organik menurut penelitian didik Suprayogo tahun 2001 pada kasus perubahan
lahan hutan menjadi lahan pertanian kopi monokultur terjadi degradasi bahan
organic secara bertahap. Degradasi bahan organic akan berpengaruh terhadap laju
infiltrasi dan kapasitas memegang air. Alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi
monokultur menurunkan makroporositas tanah. Perubahan makroporositas tanah
secara nyata dipengaruhi oleh sebaran partikel tanah, kandungan bahan organik
tanah terutama di lapisan atas, pembentukan kerak di lapisan atas dan
distribusiperakaran tanaman, dan kemantapan agregat. Meningkatnya kandungan
liat dan debu dan menurunnya kandungan pasirakan berdampak terhadap
penurunan makroporositas tanah. Kandungan bahan organik tanah hingga
kedalaman 60 cm masih berperan dalam memperbaiki makroporositas tanah.
Perkembangan perakaran yang menyebar kedalam lapisan tanah baik secara
vertikal maupun horisontalberdampak terhadap peningkatan makroporositastanah.
Hancuran agregat tanah yang masuk kedalam lapisan tanah bersamaan dengan
aliran air menyebabkan penyumbatan pori tanahsehinggaketahanan penetrasi
tanah meningkat dan makroporositas menurun.

C. Strategi Konservasi Tanah dan Air


Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan
kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan,
selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran
pemerintah sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih
untuk mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan
keberhasilan. Strategi tersebut meliputi, sebagai berikut.
Yang perlu diketahui bahwa tanah hutan mempunyai makro pori relatif lebih
banyak dan laju infiltrasi permukaan yang lebih tinggi dibanding lahan pertanian
monokultur. Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan
erosi (Widianto et al., 2004). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a)
hutanmemiliki lapisan seresah yang tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh
kanopi tanaman dan (c) cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran
tubuhnyalebih besar dibandingkan dengan lahan pertanian monokultur (Hairiah et
al., 2004). Kondisi ini menyebabkan tingginya kandungan bahan organic tanah
dan rendahnya tingkat pembentukan kerak di permukaan tanah, sehingga
makroporositas tanah di lahan hutan lebih terjaga dibanding di lahan pertanian
monokulutur. Kedua, hutan dapat menurunkan ketersediaan air bawah tanah
sehingga limpasan permukaan akan berkurang.
Hal ini karena hutan memiliki sistem perakaran yang panjang dan
berkembang dengan sangat baik dalam sistem tanah . Kondisi ini memicu
tingginya aktivitas biologi tanah dan turnover perakaran, sehingga mendukung air
hujan yang jatuh dapat mengalir ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dan juga
mengalir secara lateral. Lebih lanjut, pada musim kemarau akar pohon cenderung
tumbuh lebih dalamdi lapisan tanah untuk menyerap air. Ketiga,dibandingkan
dengan lahan monokultur, evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi. Hal ini
berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka
ragam dibandingkan pertanian monoklutur monokultur. Selain itu, pohon dihutan
berperakaran lebih dalam sehingga mampu menyerap air lebih banyak dan hilang
melalui prosestranspirasi.
Kondisi ini mampu mengurangi limpasan permukaan di DAS (Bosch dan
Hewlett, 1982 dalam Calder, 1999). Hasil penelitian Dariah et al. (2004)
menunjukkan bahwa limpasan permukaan dan erosi relatif rendah di lahan
pertanian monokultur dan mendekati dengan kondisi hutan.
Pengelolaan lahan sistem pertanian monokultur sangat diperlukan guna
mempercepat pemulihan fungsi hidrologi DAS. Strategi dasar yang dapat
dilakukan adalah:
1. eliminasi pengkerakan tanah atas melalui“pengolahan dalam” secara berkala,
2. peningkatan kandunganbahan organik melalui peningkatan jumlah masukan
seresah yang bervariasi kualitasnya. Upaya ini dapat dilakukan melalui
penanaman tanamanpenutup tanah dan atau peningkatan diversivitas tanaman
pohon seperti yang dijumpai dalam agroforestri multistrata,
3. Peningkatan diversivitas pola sebaran perakaran. Sistem agroforestri
multistrata memperbaiki keragaman kondisi perakaran di lahankopi
monokultur yang relatif sangat rendah.
Ketiga strategi dasar tersebut merupakan upayayang dapat ditawarkan untuk
engembalikan fungsi tanah dalam pengendalian fungsi hidrologi DAS.
Pengelolaan kebun kopi monokultur melalui pengelolaan vegetasi perlu
dikombinasikan dengan pengelolaan pada skala bentang lahan. Pengelolaan
vegetasi dapat dilakukan melalui pengaturan jaraktanam pohon dan macam pohon
yang ditanam untuk mengoptimalkan peranan pohon dalam
meningkatkanintersepsi air hujan dan transpirasi oleh tajuk daun. Pengelolaan
bentang lahan dapat dilakukan melalui peningkatan kekasaran permukaan lahan,
membuat cekungan-cekungan setempat untuk enyediakanpenyimpanan air
sementara selain berfungsi sebagai filter sedimen dan memperpanjang “saluran”
aliran limpasan permukaan. Dengan demikian jalur untuk terjadinya limpasan
permukaan yang cepat dapat dikurangi.
III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Hutan telah terbukti mampu menurunkan limpasan permukaan dan erosi.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, (a) hutan memiliki lapisan
seresah yang tebal, (b) penutupan permukaan tanah oleh kanopi tanaman dan (c)
cacing tanah yang hidup pada tanah hutan ukuran tubuhnyalebih besar
dibandingkan dengan lahan pertanian monokultur. Kedua, hutan dapat
menurunkan ketersediaan air bawah tanah sehingga limpasan permukaan akan
berkurang. Hal ini karena hutan memiliki sistem perakaran yang panjang dan
berkembang dengan sangat baik dalam sistem tanah. Ketiga,dibandingkan
dengan lahan monokultur, evapotranspirasi hutan cenderung lebih tinggi. Hal ini
berkaitan dengan tajuk tanaman di hutan yang relatif lebih tinggi dan beraneka
ragam dibandingkan pertanian monoklutur monokultur.
Untuk pengelolaan tanah,tiga strategi dasar yang dapat disarankan yaitu(1)
eliminasi pengkerakan tanah atas melalui“pengolahan dalam” secara berkala, (2)
peningkatankandungan bahan organik tanah melalui peningkatanjumlah
masukan seresah yang bervariasi kualitasnya,dengan cara menanam tanaman
penutup tanah ataudengan menanam berbabagai jenis pohon seperti
yangdijumpai dalam sistem agroforestri multistrata.Peningkatan diversivitas
tanaman pohon dalam system agroforestri multistrata juga merupakan strategi ke
(3)dalam rangka meningkatkan jumlah dan penyebaran sistem perakaran di
lahan pertanian monokultur.

B. Saran
Sebaiknya kita sebagai mahasiswa harus lebih menjaga lingkungan
terutama air dan tanah yang merupakan komponen utama dalam kehidupan kita ,
tidak dengan mengharapkan Pemerintah tetapi ikut juga dalam berpastisipasi
untuk menjaga tanah dan air dari kerusakan atau eksploitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Calder, I.R. 1999. The Blue Revolution: Land Use and Integrated Water
Resources Management. Earthscan Publications, London. 192
pp.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri
and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub
Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-
261.
Dariah, A.; Agus, F.; Arsyad, S.; Sudarsono danMaswar. 2004. Erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi
diSumberjaya, Lampung Barat.
Agrivita 26 (1):52-60. Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses
tanggal 14 Maret 2018.
Hairiah, K.; Suprayogo, D.; Widianto; Berlian; Suhara,E.; Mardiastuning, A.;
Prayogo, C.; Widodo, R.H.dan S. Rahayu. 2004. Alih guna
lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi:Ketebalan
seresah, populasi cacing tanah dan makroporositas tanah.
Agrivita 26 (1): 75-88
Marshall, T.J.; Holmes, J.W. and C.W. Rose. 1999.Soil Physics. Cambridge
University Press.
Syam,T.H.; Mshide; Salam, A.K.; Utomo, M.; Mahi,A.K.; Lumbanraja, J.;
Nugroho, S.G. and M.Kimura. 1977. Land Use and Cover
Changes ina Hilly Area of South Sumatra, Indonesia
(from1970 to 1990). Soil Sci. Plant Nutr. 43 (3): 587-599.
Susswein, P.M.; Van Noordwijk, M. dan B. Verbist.2001. Forest Watershed
Functions and Tropical Land Use Change. Dalam van
Noordwijk, M.;Williams, S. dan B.
Verbist (Eds.), Towards integrated natural resource management in forest margins
of the humid tropics: local action andglobal concerns.
International Centre for Research in Agroforestry. Bogor. 28
pp
Widianto; Noveras, H.; Suprayogo, D.; Widodo, R.H.;Purnomosidhi, P. dan M.
Van Noordwijk. 2004.Konversi Hutan Menjadi Lahan
Pertanian :Apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan
sistem kopi monokultur? Agrivita 26 (1): 47

You might also like