You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Dalam pengembangan ekonomi sekarang ditemui banyak metode-metode dalam pengelolaan


likuiditas pada lembaga keuangan. Baik itu bank maupun non bank.

Pengaruh pengelolaan likuiditas dapat berpengaruh pada perkembangan lembaga tersebut.


Seperti krisis di sektor keuangan yang terjadi saat ini telah salah satu dampak dari imbas
ketidak becusanya lembaga dalam menangani masalah aliran sumber dananya. Dan
pengarunya secara luas, terlihat pada perkembangan pasar surat-surat berharga, pada sektor
perbankan dan lebih jauh lagi pada sektor riil.

Di sisi lain, di tengah ketatnya likuiditas global, Bank Indonesia memberikan insentif bagi
dunia usaha dengan menurunkan angka Giro Wajib Minimum sehingga meningkatkan
likuiditas di kalangan perbankan. Namun dengan mengambil salah satu contoh mengenai
pengetatan aturan main Letter of Credit, dunia perbankan tampaknya masih berhati-hati
dalam memanfaatkan longgarnya likuiditas tersebut.

Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa kebijakan otoritas moneter dan juga gejolak
perekonomian global maupun nasional berpengaruh terhadap kebijakan internal kalangan
perbankan dimana tujuannya adalah untuk menjaga kelangsungan hidup industri perbankan
itu sendiri.

BAB II

PEMBAHASAN

MANAJEMEN LIKUIDITAS BANK

1. Pengertian Likuiditas

Secara umum, pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana
(cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai, dimana fungsi dari likuditas secara
umum untuk

a. menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari;

b.mengatasi kebutuhan dana yang mendesak;

c. memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibiltas dalam

meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.

Pengertian likuiditas bank adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajibannya, terutama
kewajiban dana jangka pendek. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk
mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas
adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.
2. Pengelolaan Likuiditas

Pengelolaan likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan leabilitas (liability
management). Melalui pengelolaan likuiditas yang baik, bank dapat memberikan keyakinan
pada para penyimpan dana bahwa mereka dapat mengambil dananya sewaktu-waktu atau
pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu bank harus mempertahankan sejumlah alat likuid guna
memastikan bahwa bank sewaktu-waktu dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu resiko ketika kelebihan dana dimana dana yang ada
dalam bank banyak yang idle, hal ini akan menimbulkan pengorbanan tingkat bunga yang
tinggi. Kedua resiko ketika kekurangan dana, akibatnya dana yang tersedia untuk mencukupi
kebutuhan kewajiban jangka pendek tidak ada. Dan juga akan mendapat pinalti dari bank
sentral. Kedua keadaan ini tidak diharapkan oleh bank karena akan mengganggu kinerja
keuangan dan kepercayaan masyarkat terhadap bank tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ketika bank mengharapkan keuntungan yang maksimal akan beresikopada tingkat likuiditas
yang rendah atau ketika likuiditas tinggi berarti tingkat keuntungan tidak maksimal.disini
tearjadi konflik kepentingan antara mempertahankan likuiditas yang tinggi dan mencari
keuntungan yang tinggi.
Pengeleloan likuiditas sangat penting bagi bank terutama untuk mengatasi resiko likuiditas
yang disebabkan oleh dua hal diatas. Untuk menjaga agar resiko likuiditas ini tidak terjadi
kebijakan manajemen likuiditas yang dapat dilakukan antara lain dengan menjaga asset
jangka pendek, seperti kas,

Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:

1. kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.


2. Tipe-tipe dana yang ditarik oleh bank.
3. Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau
melakukan investasi.

Likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk


memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi.[1] Jumlah alat-alat
pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh suatu perusahaan pada suatu saat merupakan
kekuatan membayar dari perusahaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang mempunyai
kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera
harus dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki kemampuan
membayar.

Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan membayar-nya


adalah demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua kewajiban finansiilnya yang
segera harus dipenuhi. Dengan demikian maka kemampuan membayar itu dapat diketahui
setelah membandingkan kekuatan membayar-nya di satu pihak dengan kewajiban-kewajiban
finansiilnya yang segera harus dipenuhi di lain pihak.

Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya sehingga


mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, dikatakan
bahwa perusahaan tersebut adalah likuid, dan sebaliknya yang tidak mempunyai kemampuan
membayar adalah illikuid.

1. Penghitungan Ratio Likuiditas


Untuk menilai likuiditas perusahaan terdapat beberapa rasio yang dapat digunakan sebagai
alat untuk menganalisa dan menilai posisi likuiditas perusahaan, yaitu:

1. Current Ratio

Current Ratio biasanya digunakan sebagai alat untuk mengukur keadaan likuiditas suatu
perusahaan, dan juga merupakan petunjuk untuk dapat megetahui dan menduga sampai
dimanakah kiranya kita, apabila memberikan kredit berjangka pendek kepada seorang
nasabah, dapat merasa aman atau tidak. Dasar perbandingan tersebut dipergunakan sebagai
alat petunjuk, apakah perusahaan yang mandapat kredit itu kira-kira akan mampu ataupun
tidak untuk memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kembali atau pada
pelunasan pada tanggal yang sudah ditentukan. Dasar perbandingan itu menunjukan apakah
jumlah aktiva lancar itu cukup melampaui besarnya kewajiban lancar, sehingga dapatlah
kiranya diperkirakan bahwa, sekiranya pada suatu ketika dilakukan likuiditas dari aktiva
lancar dan ternyata hasilnya dibawah nilai dari yang tercantum di neraca, namun masih tetap
akan terdapat cukup kas ataupun yang dapat dikonversikan menjadi uang kas di dalam waktu
singkat, sehingga dapat memenuhi kewajibannya. [2]

Current ratio yang tinggi maka makin baiklah posisi para kreditor, oleh karena terdapat
kemungkinan yang lebih besar bahwa utang perusahaan itu akan dapat dibayar pada
waktunya. Hal ini terutama berlaku bila pimpinan perusahaan menguasai pos-pos modal kerja
dengan ketat/dengan semestinya. Dilain pihak ditinjau dari sudut pemegang saham suatu
current ratio yang tinggi tak selalu paling menguntungkan, terutama bila terdapat saldo kas
yang kelebihan dan jumlah piutang dan persediaan adalah terlalu besar.

Pada umumnya suatu current ratio yang rendah lebih banyak mengandung risiko dari pada
suatu current ratio yang tinggi, tetapi kadang-kadang suatu current ratio yang rendah malahan
menunjukkan pimpinan perusahaan menggunakan aktiva lancar sangat efektif. Yaitu bila
saldo disesuaikan dengan kebutuhan minimum saja dan perputaran piutang dari persediaan
ditingkatkan sampai pada tingkat maksimum. Jumlah kas yang diperlukan tergantung dari
besarnya perusahaan dan terutama dari jumlah uang yang diperlukan untuk membayar utang
lancar, berbagai biaya rutin dan pengeluaran darurat.[3]

Munawwir menyatakan current ratio 200% kadang sudah memuaskan bagi suatu perusahaan,
tetapi jumlah modal kerja dan besarnya rasio tergantung pada beberapa faktor, suatu standar
atau rasio yang umum tidak dapat ditentukan untuk seluruh perusahaan. Current ratio 200%
hanya merupakan kebiasaan atau rule of thumb dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk
mengadakan penelitian atau analisa yang lebih lanjut.

Current ratio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) kreditor jangka pendek,
atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut. Tetapi suatu
perusahaan dengan current ratio yang tinggi belum tentu menjamin akan dapat dibayarnya
hutang perusahaan yang sudah jatuh tempo karena proposisi atau distribusi dari aktiva lancar
yang tidak menguntungkan, misalnya jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan
taksiran tingkat penjualan yang akan datang sehingga tingkat perputaran persediaan rendah
dan menunjukkan adanya over investment dalam persediaan tersebut atau adanya saldo
piutang yang besar yang mungkin sulit untuk ditagih.

Adapun formulasi dari current ratio (CR) adalah sebagai berikut :


Current ratio= (aktiva lancer : hutang lancar) x 100%

1. Quick ratio

Rasio ini disebut juga sebagai acid test ratio, yaitu perbandingkan antara aktiva lancar
dikurangi persediaan dengan utang lancar. Rasio ini merupakan ukuran kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dengan tidak memperhitungkan persediaan,
karena menganggap persediaan memerlukan waktu lama untuk direalisir menjadi kas,
walaupun pada kenyataannya mungkin persediaan lebih likuid dari piutang. Rasio ini lebih
tajam dari pada current ratio karena hanya membandingkan aktiva yang sangat likuid. Jika
current ratio tinggi tapi quick ratio rendah, hal ini menunjukkan adanya investasi yang sangat
besar dalam persediaan.

Adapun formulasi dari quick ratio adalah sebagai berikut :

Quick Ratio = ( Aktiva Lancar – Persediaan) : (utang lancar) x 100%

1. Resiko likuiditas

Bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan mengelolanya dengan baik,
karena apla likuiditas tersebut terlalu kecil maka akan mengganggu kegiatan operasional
bank, namun demikian likuiditas juga tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah
likuditas terlalu besar maka akan menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada
rendahnya tingkat profitabilitas. Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana
dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi
kebutuhan dana yang mendesak maka muncullah risiko likuditas.

Risiko Likuditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari adanya
kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva
yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuditas ditentukan antara
lain:

1. Kecermatan dalam perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi

pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana;

2. Ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana-dana non PLS;

1. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas; dan


2. Kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya,

termasuk fasilitas lender of last resort.

Apabila kesenjangan tersebut cukup besar maka akan menurunkan kemampuan Bank untuk
memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Oleh karena itu untuk mengantisipasi
terjadinya risiko likuiditas, maka diperlukan manajemen likuiditas, yang mana pengelolaan
likuiditas bank juga merupakan bagian dari pengelolaan liabilitas.

Dalam mengantisipasi terjadinya Risiko Likuditas, aktivitas Manajemen Risiko yang


umumnya ditetapkan oleh Bank antara lain adalah:
1. Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan
oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.
2. Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui
incoming transfer maupun setoran tunai nasabah.
3. Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana
berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah
terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih ratarata saat ini. Dari
analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.
4. Selanjutnya Bank menetapkan secondaryreserve untuk menjaga posisi likuiditas
Bank, antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang
likuid.
5. Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank.
Melaksanakan fungsi ALCO (Asset &Liability Committee) untuk mengatur tingkat
bunga dalam usahanya.
6. meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.

5. Strategi Manajemen Cadangan dan Kebijakannya

Dalam menjaga tingkat profitabilitas bank dan menjaga kepercayaan masyarakat, maka disini
sangat diperlukan manajemen resiko. Secara umum yang dimaksudkan dengan risiko adalah
sebagai bentuk peristiwa yang mempunyai pengaruh terhadap kemampuan seseorang atau
lembaga untuk mencapai tujuannya Dalam pengertian umum di atas belum terlihat gambaran
ukuran besar atau luas dampak risiko tersebut terhadap pencapaian tujuan bank

BankIndonesiamendefinisikan manajemen resiko sebagai “serangkaian prosedur dan


metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan resiko yang timbul dari kegiayan usaha bank”. Dalam mengaplikasikan
definisi resiko tersebut dalam program manajemen resiko, maka semua kegiatan atau usaha
yang dilakukan akan melibatkan semua kegiatan yang membutuhkan perhatian,
kewaspadaan, pengetahuan yang harus dikembangkan, pengalaman yang memadai serta
kemampuan yang terus ditingkatkan. Resiko mempunyai potensi suatu peristiwa terjadi atau
tidak terjadi dengan dampak / peluang untung (upside) atau rugi (downside).

Bank dapat terhindar dari resiko yang tidak perlu terjadi dengan cara:

1. Standarisasi dan memutakhirkan semua kebijakan dan prosedur bank


2. Mengkaji penetapan limit risiko
3. Membangun konstruksi portfolio asset
4. Memanfaatkan keuntungan diversifikasi
5. Melakukan proses pendidikan mengenai resiko secara berkelanjutan untuk semua
pegawai
6. Membangun budaya manajemen resiko pada seluruh jenjang organisasi

Resiko yang dapat merugikan bank antara lain :

1. Tidak memadainya modal yang tersedia


2. Resiko pemberian fasilitas kredit
3. Resiko kecurangan

Klasifikasi risiko yang ditetapkan BI


1. Resiko Kredit
2. Resiko Pasar
3. Resiko Likuiditas
4. Resiko Operasional
5. Resiko Hukum
6. Resiko Reputasi
7. Resiko Strategi
8. Resiko Kepatuhan

Dalam makalah ini akan lebih dikhususkan lagi mengenai resiko likuiditas, Risiko Likuiditas
adalah Bila bank tidak mampu memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo karena
ekspansi kredit diluar rencana atau penarikan dana yang tidak terduga disebabkan hilangnya
kepercayaan pada bank.

Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch atau Gap antara Rate
Sensitive Assets (RSA) dan Rate Sensitive Liabilities (RSL).[4]Bank mengelola risiko
likuiditasnya agar dapat memenuhi setiap kewajiban yang jatuh tempo dan menjaga tingkat
likuiditas yang optimal. Tujuan tersebut dicapai oleh Bank dengan menetapkan dan
mengimplementasikan kebijakan cadangan likuiditas yang optimal, mengukur dan
menetapkan limit untuk risiko likuiditas serta penyusunan contingency plan.

Tingkat likuiditas Bank diukur dengan besarnya tingkat cadangan primer dan cadangan
sekunder yang dipelihara Bank serta rasio likuiditas lainnya. Pengukuran rasio likuiditas
Bank meliputi struktur pendanaan, expected cash flow, akses pasar dan asset marketability.
Pengelolaan cadangan primer dan cadangan sekunder adalah untuk keperluan pendanaan
operasional harian dan sebagai buffer untuk mengcover penarikan dana yang tidak terduga.

Asset Liability Management Sering disebut dengan ALMA, merupakan alat utama untuk
mengendalikan risiko pasar : suku bunga, nilai tukar dan risiko likuiditas

Kebijakan ini memuat:

1. Penetapan limit risiko oleh Asset Liabities Committee


2. Prosedur dan dokumentasi yang harus dipenuhi
3. Analisis yang harus dilakukan
4. Metode untuk mengendalikan eksposur suku bunga dan kurs
5. Menetapkan otorisasi dan proses menangani penyimpangan terhadap kebijakan
6. Sistem penetapan harga dan penilaian pasar

Bank dapat membiayai kebutuhan nasabah / operasional dari beberapa sumber :

1. Mendapatkan dana dalam bentuk simpanan jangka pendek dan jangka panjang
2. Meningkatkan pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang
3. Meningkatkan modal
4. Menjual altiva bank

Beberapa apek kunci dalam perspektif pengendalian risiko likuiditas a.l.:

1. Menyusun strategi pendanaan khususnya pada kondisi pasar yang kurang


menguntungkan
2. Mempersiapkan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan risiko likuiditas sesuai
dengan strategi yang diambil
3. Aktif mengukur posisi likuiditas bank
4. Mengkaji rencana darurat keuangan bank agar mampu mengatasi masalah likuiditas
dengan biaya yang relatif murah

BAB III

KESIMPULAN

Secara umum, pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan


dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai.

Fungsi dari likuditas secara umum untuk

1. menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari;


2. mengatasi kebutuhan dana yang mendesak;
3. memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibiltas dalam
meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.

Dalam likuiditas terdapat dua resiko yaitu: Pertama resiko ketika kelebihan dana dimana
dana yang ada dalam bank banyak yang idle. Kedua resiko ketika kekurangan dana

Pada umumnya likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor:

1. kewajiban reserve yang ditetapkan otoritas moneter atau bank sentral.


2. Tipe-tipe dana yang ditarik oleh bank.
3. Komitmen nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau
melakukan investasi.

Alat untuk menganalisa dan menilai posisi likuiditas perusahaan, yaitu:

1. Current Ratio
2. Quick ratio

Risiko likuiditas timbul secara alamiah sebagai akibat dari mismatch struktur aktiva dan
pasiva Bank.

Cadangan primer ada dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia serta kas di
kantor-kantor cabang.

You might also like