You are on page 1of 16

Clinical Science Session (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A214036/G1A214037


**Pembimbing: dr.Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT

POLIP NASAL
Siska Meilisa, S.Ked.*, Desi Dwi Putri, S. Ked.*, dr.Lusiana Herawati Yamin,
Sp.THT**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

1
UNIVERSITAS JAMBI
2015

2
LEMBAR PENGESAHAN

ClinicalScience Session (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A214036/G1A214037


**Pembimbing: dr.Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT

POLIP NASAL
Siska Meilisa, S.Ked.*, Desi Dwi Putri, S. Ked.*, dr.Lusiana Herawati Yamin,
Sp.THT**

Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Kesehatan THT RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi

Jambi, Agustus 2015


Pembimbing

3
dr.Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT

4
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, akhirnya kamidapat menyelesaikan laporan jurnal yang berjudul
Polip Nasal.
Laporan jurnalini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di bagian ilmu kesehatan THT RSUD Raden Mattaher Jambi. Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pembimbing, khususnya dr.Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT yang telah
memberikan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
jurnal ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
memiliki banyak kekurangan serta kesalahan. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Kami
berharap semoga laporan jurnal ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
dalam bidang ilmu kesehatan THT khususnya dan bidang kedokteran pada
umumnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jambi, Agustus 2015

Penulis

5
POLIP NASAL

Abstrak

Polip Nasal (PN) adalah salah satu lesi massa inflamasi yang sering ditemui pada
hidung , yang mengenai hingga 4% dari populasi. Dengan gejala sumbatan
hidung, anosmia, rhinorrhoea, post nasal drip dan nyeri wajah yang tidak umum.
Etiologi polip nasal masih belum jelas, tetapi diketahui memiliki hubungan
dengan alergi, asma, infeksi, jamur, cystic fibrosis, dan sensitivitas aspirin.
Namun, mekanisme yang mendasari kondisi patologis pembentukan PN tetap
belum jelas. Juga terdapat keterlibatan faktor genetik dalam patogenesis PN,
namun perubahan genetik dan molekulernya masih belum jelas. Penatalaksanaan
PN terdiri dari kombinasi terapi medis dan operasi. Didapatkan hasil yang baik
penggunaan kortikosteroid (sistemik dan topikal) baik sebagai pengobatan utama
dan sebagai profilaksis pasca operasi terhadap terjadinya kekambuhan, tetapi sakit
yang berkepanjangan dan efek samping dari steroid sistemik membatasi dari
penggunaannya. Oleh karena itu beberapa obat baru masih diteliti. Terapi bedah
telah disempurnakan secara signifikan selama 20 tahun terakhir dengan
munculnya bedah sinus endoskopi dan secara umum, dicadangkan untuk kasus
refrakter terhadap terapi medis. Kekambuhan poliposis biasa ditemukan pada
kondisi kronis berulang pada 10% pasien. Selama dua dekade terakhir,
meningkatnya pengetahuan dalam patofisiologi poliposis nasal membuka
pandangan untuk pilihan pengobatan farmakologi baru, dengan target potensial
yaitu inflamasi eusinofil, IgE, jamur dan Staphylococcus aureus. Pemahaman
yang lebih baik dari patofisiologi yang mendasari keadaan peradangan persisten
dari polip nasal diperlukan untuk pendekatan mengembangkan farmakoterapi baru
pada akhirnya. Dalam tulisan ini kami menyajikan pilihan terapi terbaru yang ada
untuk kontrol yang lebih baik dan mungkin dapat menyembuhkan penyakit.

6
Pendahuluan

Poliposis nasal merupakan penyakit yang tidak menyenangkan bagi pasien, yang
sangat berefek pada kualitas hidupnya. Meskipun mudah diagnosis, polip nasal
adalah tantangan bagi ahli THT, karena etiopatogenesis yang kurang dipahami,
berdampak buruk pada intervensi terapeutik dan sering terjadi kekambuhan. Polip
nasal adalah suatu kondisi multifaktorial yang sering dikaitkan dengan banyak
penyakit dan gangguan patogen, seperti alergi, infeksi, sinusitis jamur alergi,
cystic fibrosis, asma, dan intoleransi aspirin. Namun, mekanisme yang mendasari
hubungan kondisi patologis pembentukan PN tetap belum jelas. Meskipun etiologi
pasti polip nasal masih belum terungkap, pengetahuan dalam patogenesis
sebagian besar telah berkembang selama bertahun-tahun terakhir. Meningkatkan
pengetahuan dalam patofisiologi polip nasal membuka pandanngan terhadap
pilihan terapi farmakologi baru, dengan peradangan eosinofilik, IgE, jamur dan
Staphylococcus aureus sebagai target potensial. Tulisan ini bertujuan untuk
meringkas isu terbaru dalam semua aspek manajemen polip nasal.

Patogenesis

PN adalah suatu penonjolan dari mukosa hidung yang halus, semi translusen,
kenyal dan berwarna pucat, terutama terletak di meatus media, yang berasal dari
selaput lendir dari kompleks ostiomeatal, mungkin karena disebabkan pelepasan
sitokin proinflamasi dari sel epitel sebagai akibat adanya kontak antara dua
permukaan mukosa yang beregio sempit. Turbulensi udara dan tekanan diferensial
mungkin juga berpengaruh. Berbagai faktor penting lainnya seperti faktor genetik,
bakteri, jamur, pembentukan biofilm, dll juga terlibat, dan telah dibahas dalam
paragraf berikutnya. Karakterisasi Histo-morfologi jaringan polip sering
menunjukkan adanya kerusakan epitel, menebalnya membrana basal, dan kadang-
kadang edema jaringan stroma fibrotik, dengan berkurangnya jumlah pembuluh
darah dan kelenjar, tapi hampir tidak ada struktur saraf. Polip menunjukkan

7
adanya peningkatan jumlah sel mast, eosinofil, limfosit T, sitokin, kemokin,
interleukin, TNF-a dan molekul adhesi.

Peran Faktor Genetik pada Patogenesis

Selama dua dekade terakhir, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan
profil ekspresi diferensial gen antara polip nasal dan jaringan hidung normal,
dalam rangka untuk mengidentifikasi gen rentan yang berkaitan dengan sifat-sifat
polip nasal terkait. Sejumlah penelitian hubungan genetik menemukan korelasi
yang signifikan antara antigen leukosit manusia (HLA) alel tertentu dan polip
nasal. Risiko berkembangnya polip nasal dapat 5,53 kali lebih besar pada orang
dengan HLA-DQA1 * 0201-DQB1 * 0201 haplotype. Perkembangan dari
peradangan mukosa pada polip nasal telah dilaporkan terkait dengan berbagai gen
dan potensi nukleotida polimorfisme tunggal. Sebuah penelitian baru
menunjukkan bahwa pada jaringan PN, 192 gen yang diregulasi setidaknya dua
kali lipat, dan 156 gen yang menurunkan regulasi setidaknya 50% pada jaringan
PN dibandingkan pada mukosa sinus sphenoid. Juga telah dijelaskan bahwa
respon imun pada mukosa abnormal mendasari patogenesis penyakit. Terdapat
sejumlah gen yang terlibat dalam perbaikan barrier epitel di daerah inflamasi PN.
Misalnya, karbonat anhidrase (CA) adalah mettaloenzyme zink yang terlibat
dalam proses biologis dari berbagai perpindahan cairan epitel, termasuk
perpindahan ion dan air. Menurunnya tingkat ekspresi CA berhubungan dengan
adanya gangguan perpindahan air dan elektrolit pada sel epitel, yang akan
mengakibatkan edema jaringan PN. Mengidentifikasi gen dan varian penyebab
pada PN penting untuk meningkatkan pencegahan, diagnosis dan tatalaksana PN.

Peran Jamur

Di antara kemungkinan etiologi, jamur telah mendapatkan perhatian luas dalam


beberapa tahun terakhir. Meskipun partikel jamur juga terdapat dalam mukosa

8
sinonasal dari orang yang sehat, tetapi jamur bertindak sebagai antigen dalam
mukosa individu yang sensitive, sehingga mengerahkan sel inflamasi eosinofil
dan pelepasan major basic protein (MBP), yang akhirnya menyebabkan
kerusakan mukosa dan infeksi karena bermigrasinya sel inflamasi lain ke lokasi
ini. Antigen jamur ini berasal dari spora dan hifa jamur. Reaksi inflamasi ini
berbeda dari respon dalam menanggapi bola jamur dari peradangan iritasi, seperti
pada reaksi benda asing , yaitu giant sel, dan bukan inflamasi eosinophilic, seperti
pada polip nasal. Aspergillus dan Alternaria adalah spesies jamur yang paling
sering terlibat dalam patogenesis polip nasal.

Peran Biofilm

Mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang ada dalam cavum sinonasal:
bagaikan replikasi sel plankton yang mengambang bebas dalam biofilm. Biofilm
didefinisikan sebagai kumpulan berbagai mikroorganisme yang melekat atau
hidup parasit pada permukaan sel yang menghasilkan matriks polimer sendiri
seperti exopolysaccharides, asam nukleat, dan protein. Sifat struktural biofilm dan
karakteristik sel sessile menghasilkan perlawanan terhadap agen antimikroba,
sehingga memberi lingkungan perlindungan terhadap kondisi buruk dan
pertahanan host. Bakteri dalam biofilm ini, dilindungi sementara dari pertahanan
host dan antibiotik, metabolisme aktif dan menghasilkan endotoksin dan faktor
virulensi lainnya. Ini mungkin menghasilkan respon inflamasi host terus-menerus,
bahkan tanpa berkembangnya bakteri planktonik dan menyebabkan peradangan
kronis. pengobatan antimikroba tradisional yang menargetkan sel mikroba tunggal
dalam biofilm tidak akan pernah bisa untuk menghilangkannya. Oleh karena itu,
terapi antibiofilm menargetkan seluruh biofilm sebagai organisme multiseluler
kompleks atau pencegahan yang khas, proses biofilm spesifik dibutuhkan untuk
melawan infeksi biofilm.

9
Tatalaksana polip nasal

Terapi untuk NP terdiri dari kombinasi observasi, perawatan medis, dan bedah
tergantung hasil penilaian pada masing-masing kasus perindividu. Tujuan
pengobatan adalah untuk menghilangkan atau secara signifikan mengurangi
ukuran PN yang akan mengakibatkan hilangnya sumbatan hidung, perbaikan
drainase sinus, pemulihan penciuman dan rasa. Terapi bedah saja tidak cukup
untuk mengobati penyebab peradangan pada mukosa hidung. Tambahan terapi
medis selalu diperlukan untuk mencegah kekambuhan.

Tatalaksana medis

Glukokortikoid intranasal merupakan pengobatan yang terbaik pada PN. Yang


akan mengurangi ukuran polip, meningkatkan patensi saluran udara hidung,
mengurangi gejala rinitis seperti rinore, bersin dan hidung tersumbat, menunda
kekambuhan polip setelah operasi dan menunda kebutuhan untuk operasi baru.
Jangkauan luas glukokortikoid bisa dijelaskan dengan adanya reseptor
glukokortikoid dalam tiga kompartemen sel: nukleus, sitoplasma, dan membran
plasma. Glukokortikoid topikal dan sistemik dapat mempengaruhi fungsi eosinofil
dengan baik yang secara langsung mengurangi viabilitas dan fungsi eosinofil atau
secara tidak langsung mengurangi sekresi sitokin kemotaktik pada mukosa hidung
dan sel epitel polip. Steroid sistemik dicadangkan untuk kasus yang telah lanjut
atau refrakter terutama ketika timbulnya alergi yang akan menghasilkan aksi
perbaikan jangka pendek yang relatif cepat, perbaikan gejala pada hidung dan
temuan endoskopi (medical polypectomy). Pencucian hidung sederhana
menggunakan saline akan membantu membersihkan hidung sebelum diberi obat
topikal karena meningkatkan bersihan mukosiliar hidung. Kortikosteroid harus
digunakan dengan hati-hati dalam 'kelompok berisiko' terutama pasien dengan
diabetes, hipertensi yang tidak terkontrol, dan penyakit ulkus peptikum.

10
Peran Antagonis Leukotrienes

Leukotrien (LTs) dan prostaglandin adalah produk dari metabolisme asam


arakidonat, dan mediator kunci dalam penyakit inflamasi akut dan kronis pada
saluran napas. Kadar leukotrien telah terbukti meningkat pada pasien dengan
polip nasal dan sinusitis. Dari penelitian terbaru didaptkan pengurangan atau
setidaknya stabilisasi dari polip nasal setelah penggunaan terapi jangka pendek
kortikosteroid oral dikombinasikan dengan penghambat sintesis LT zileuton atau
zafirlukast dan montelukast antagonis reseptor LT sebagai terapi pemeliharaan.
Perbaikan ini mungkin dikarenakan kontrol peradangan PN dan pertumbuhan
polip. Sehingga terapi kortikosteroid oral jangka pendek dikombinasikan dengan
montelukast dalam dosis harian 10 mg sebagai terapi pemeliharaan dalam
mengendalikan gejala lanjut polip nasal telah terbukti sangat efektif. 3 bulan
tambahan terapi montelukast dikombinasikan dengan intranasal dan inhalasi
kortikosteroid menghasilkan perbaikan subjektif dan objektif pada gejala hidung
dan serta perbaikan fungsi paru-paru yang signifikan pada pasien dengan polip
nasal.

Peran S. aureus dan Konsep Superantigen

Terbukti bahwa S. aureus berkolonisasi pada rinosinusitis kronis, tetapi tidak


dengan polip, dari peningkatan prevalensi secara signifikan. Kuman melepaskan
enterotoksin, yang bertindak sebagai superantigen dan menginduksi pembentukan
multikoloni IgE topical secara hebat, mungkin pada peradangan eosinophilic yang
insensitive steroid. Baru-baru ini, S. aureus menunjukkan dapat berada secara
intraepitelial, dan berpotensi untuk melepaskan superantigen ke dalam jaringan
dari dalam sel epitel. Gangguan sistem imun tubuh, baik dalam imunitas bawaan
atau adaptif, mungkin bertanggung jawab atas fenomena ini. Struktur follicle-like
dan akumulasi limfosit, khususnya enterotoksin yang mengikat, dapat ditemukan
dalam jaringan polip, sehingga menimbulkan pembentukan IgE lokal. Respon
imun superantigen yang diinduksi juga mengarah ke modulasi keparahan

11
peradangan eosinofilik, dan mungkin berkaitan dengan menurunnya kemampuan
bernapas pada pasien polip. Antibodi IgE untuk enterotoksin dapat ditemukan di
sebagian besar jaringan polip sensitif aspirin, terkait dengan peningkatan
substansial dalam eosinophlic cationic protein (ECP) dan IL-5.

Peran Antibiotik
Berdasarkan konsep kolonisasi S. aureus intraepitelial. penelitian telah dilakukan
untuk mendukung penggunaan antibiotik bersama dengan kortikosteroid untuk
mengobati pasien dengan PN. penelitian terbaru menunjukkan bahwa doksisiklin
oral (200 mg pada hari pertama, diikuti oleh 100 mg sekali sehari) selama 20 hari
telah menunjukkan menurunnya ukuran PN secara signifikan, menurunnya kadar
myeloperoxidase, ECP, dan matrix metalloproteinase 9 pada sekret hidung.

Peran Terapi Anti IgE


Berdasarkan konsep S. aureus yang enterotoksin bertindak sebagai superantigen,
pembentukan IgE yang masif terjadi dalam saluran nafas. Karena multikoloni itu,
sejumlah alergen mungkin bisa mempertahankan secara konstan adanya
degranulasi sel mast dalam jaringan polip, yang mungkin berkontribusi pada
keparahan penyakit. Omalizumab melawan interaksi ini dengan mengurangi kadar
serum IgE bebas. Target terapi pada IgE juga mengganggu dengan mengikat
penghambat reseptor afinitas rendah beramplifikasi dari respon jenis TH2.
Tingginya biaya pengobatan dengan omalizumab, tingginya frekuensi PN, serta
kurangnya data saat ini mengenai keamanan dalam aplikasi jangka panjang
omalizumab harus diingat dan penelitian lebih lanjut harus dilakukan.

Peran CMC Foam


Kambuhnya polip nasal setelah operasi sinus endoskopik bisa sulit untuk
dikendalikan. Semprotan steroid topikal dan irigasi tidak dapat memberikan
pengobatan yang memadai dan terapi steroid sistemik dibatasi oleh efek
sampingnya. Memasukkan steroid carboxymethylcellulose (CMC) foam sebagai

12
pengobatan untuk kekambuhan rinosinusitis kronis dengan polip nasal setelah
operasi sinus endoskopik telah dicoba. Empat mililiter CMC foam terhidrasi
dengan triamcinolone,40 mg/ml diberikan secara endoskopi ke dalam rongga
ethmoid bilateral. Secara statistik diperoleh hasil endoskopi yang signifikan
mengenai perbaikan gejala dan temuan endoskopi pada pasien dengan polip
sinonasal berulang setelah operasi sinus endoskopi.

Tamoxifen
Kemungkinan perspektif masa depan pada poliposis sinonasal termasuk
penghambatan proliferasi sel mast manusia dengan tamoxifen. Sebuah penelitian
oleh Duffy dkk menunjukkan bahwa tamoxifen mungkin berguna dalam
pengobatan penyakit yang diperantarai sel mast. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk membuktikan kemanjurannya.

Peran Furosemide Intranasal


Pendekatan terapi terbaik untuk kekambuhan polip nasal adalah dengan
mengganggu tahap awal pengembangan PN. Elemen penting dalam konteks ini
adalah infiltrasi edema. Manipulasi target ini mungkin efektif dalam mencegah
kekambuhan setelah operasi. Menurut hipotesis ini, asal-usul polip nasal dan
kekambuhannya adalah pengembangan edema sekunder sehingga meningkatkan
penyerapan air dan plasma ke dalam lamina propria dari jaringan PN. Penggunaan
furosemide topical, diuretik dan penghambat kanal kalium dan natrium klorida
kotransporter, di basolateral permukaan sel epitel pernapasan dapat
mengakibatkan penurunan penyerapan natrium dan penurunan penyerapan
air.Oleh karena itu, furosemide dapat menyebabkan tingginya bahan kimia
diantara submukosa dan permukaan luminal dari epitel pernapasan dan
menyebabkan peningkatan penyerapan natrium dan air. secara efektif
mengdehidrasi permukaan sel epitel pernapasan. Furosemide juga memiliki efek
perlindungan dengan kemampuannya untuk mengubah sintesis prostaglandin (PG)
pada epitel saluran napas. Hal ini terbuki menurunnya gejala penyebab pada basal
dan asam arakhidonat yang merangsang produksi PGE2 dan PGF2 alpha. Dalam

13
penelitian terbaru, furosemide yang diencerkan dalam larutan fisiologis (2 ml
furosemid dan 2 ml larutan isotonik natrium klorida) diberikan sebagai semprot
hidung (2 semprot per hari per lubang hidung, setiap isapan sesuai dengan 50 µg)
untuk setiap bulan alternatif untuk 2 tahun pertama (pengobatan total,6
bulan/tahun). Selama 3 tahun berikutnya, pengobatan diberikan selama 1 bulan
dan kemudian dihentikan selama 2 bulan (pengobatan total,4 bulan/tahun).
Setelah 5 tahun pengobatan, furosemide diberikan selama 1 bulan dua kali
setahun. Pemeriksaan pasien setiap 6 bulan (pemeriksaan telinga, hidung, dan
tenggorokan lengkap, rinomanometri anterior aktif, AR, dan endoskopi hidung)
menunjukkan bahwa 17,5% dari pasien yang diobati dengan furosemide memiliki
kekambuhan, dibandingkan dengan 24,2% kelompok mometason dan 30,0% pada
kelompok yang tidak diobati. Juga keparahan kekambuhan jauh lebih sedikit.
Karena tidak ada efek samping jangka panjang, furosemide dapat digunakan
sebagai alat terapi yang valid untuk pencegahan CHS-NP sebagai alternatif dari
penggunaan kortikosteroid topikal, yang memiliki beberapa efek samping klinis
pada mukosa hidung seperti epistaksis dan perforasi septum.

Peran cuci hidung dengan Amfoterisin-B


Dengan ditemukannya kemungkinan peran jamur di PN, terapi medis anti jamur
telah menjadi menarik dan alternatif yang menjanjikan dalam mempertahankan
perawatan lanjutan FESS untuk mengurangi kekambuhan dan tingkat keparahan
pada pasien polip. Amfoterisin B adalah polyene antifungal agent alami yang
mengikat ergosterol, komponen dinding sel pada kebanyakan jamur, yang
menyebabkan pembentukan saluran ion dan kematian sel; juga dapat bertindak
secara sekunder melalui kerusakan oksidatif membran sel jamur melalui
penciptaan radikal bebas dari oksidasi tersebut. Ini adalah hipotesis bahwa
aplikasi intranasal topikal dari Amphotericin B dapat menurunkan beban jamur di
wilayah sinonasal, sehingga mengurangi reaksi inflamasi eosinofil lokal terhadap
antigen jamur terlihat di banyak pasien rinosinusitis kronik dengan atau tanpa
poliposis hidung. Amfoterisin B diserap tidak baik diusus ketika dicerna secara
oral, karena itu ada sedikit atau tidak ada potensi untuk paparan sistemik terhadap

14
obat bila diberikan melalui intranasal rute topikal. Pemberian pada mukosa secara
langsung dari amphoterisin B intranasal ditemukan untuk mengurangi penebalan
inflamasi mukosa oleh CT scan, derajat penyakit dengan endoskopi, dan penanda
peradangan intranasal oleh eosinofil, EDN. Pasien diinstruksikan untuk
menerapkan terapi 20 ml larutan amfoterisin B (250 mg/ml dilarutkan dalam air
steril) untuk masing-masing lubang hidung dua kali sehari dengan menggunakan
semprotan dan menuju ujung bagian meatus media setelah menekukkan kepala
mereka ke samping ke arah yang dialiri. Paparan cahaya dan temperature ruangan
mengurangi potensi anti jamur pada rekonstuksi amfoterisin B dalam cara waktu
penggunaan, sehingga konsentrasi yang lebih tinggi dari amphoterisin B (250
mg/ml) digunakan, tetapi apakah mungkin bagi pasien untuk mendinginkan
larutan, dosis 100 mg/ml dapat digunakan.

Tatalaksana Bedah
Terapi bedah disediakan untuk kasus-kasus refrakter untuk terapi medis. Secara
umum, pasien dirawat secara medis dalam perawatan primer sebelum
pertimbangan prosedur bedah oleh otolaryngologist. Bedah sinus endoskopi
sekarang merupakan pengobatan andalan untuk PN, meskipun tidak ada teknik
bedah tunggal yang terbukti sepenuhnya kuratif dan tingkat kekambuhan sekitar
5-10%. Penggunaan bersamaan dari debrider mikro memungkinkan penghapusan
akurat PN sementara mempertahankan struktur anatomi yang normal seperti
turbinat. Pengetahuan mendalam tentang anatomi sinus, dikombinasikan dengan
pencitraan pra operasi membantu untuk menghindari besarnya komplikasi seperti
kebutaan dan CSF rinore. Juga penggunaan teknologi computer-aided surgery
(CAS), yang memberikan perbandingan langsung dari anatomi intra operasi
dengan informasi pencitraan pra operasi lebih lanjut pada ketelitian operasi.
Setelah registrasi dan proses kalibrasi, ahli bedah dapat menunjukkan struktur
tertentu dengan instrumen CAS dan kemudian melihat lokasi dari ujung
instrument pada CT scan. Penggunaan sistem CAS memungkinkan untuk
pembedahan yang lebih tepat dan tingkat patensi keberhasilan lebih besar dari
sinus dan komplikasi lebih sedikit. Penting pada pasca operasi untuk secara teratur

15
menyemprotkan saline ke rongga hidung untuk mencegah pengerasan kulit dan
adhesi. Steroid topikal intranasal juga merupakan bagian rutin setelah perawatan
bedah untuk mencegah kekambuhan.

Kesimpulan
Dengan perbaikan dalam protokol tatalaksana dan penelitian selanjutnya, polip
nasal tidak lagi menjadi tantangan untuk otorhinolaryngologists .Penelitian
selanjutnya yang diperlukan adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci
yang mendasari timbulnya dan pembentukan PN dan untuk menyelidiki interaksi
antara faktor genetik, lokal dan lingkungan yang mempengaruhi sifat kompleks
penyakit ini. Mengidentifikasi faktor penyebab dan varian di PN penting untuk
perbaikan pencegahan, diagnosis dan tatalaksana PN.

16

You might also like