You are on page 1of 5

1.

Hambatan fisik
Hambatan fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan fisik atau badan
seseorang, misalnya tuna rungu atau orang yang tidak bisa mendengar. Di
sisi lain, hambatan fisik seperti saya harus berbicara keras dengan nenek
saya karena fungsi pendengarannya yang sudah berkurang. Pesan saya
kepada nenek pun terkadang tidak sesuai.
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terhadap nenek saya ini atau orang
yang memiliki fungsi pendengaran yang kurang maka saya akan berbicara
dengan ekspresi muka yang jelas dan suara lantang sehingga bisa “terbaca”.
Atau, informasi dituliskan sehingga nenek langsung paham maksudnya.
Hambatan komunikasi juga bisa saja terjadi apabila salah satu pihak
memerlukan bahasa isyarat seperti pada orang tuna wicara.
2. Hambatan kepribadian
Saya punya rekan kerja seorang pria yang sangat pemalu. Ia hanya berbicara
seperlunya. Ia tidak punya sahabat dekat, saya pun dihitungnya sahabat
baiknya. Ia mengatakan sudah beberapa kali mengikuti training “public
speaking”. Ia berujar bahwa sulit baginya untuk memiliki topik pembicaraan
dengan lawan jenis. Sifatnya yang minder dan pemalu akhirnya menjadi
hambatannya saat kencan dengan wanita meski menurut saya, sahabat saya
ini adalah pria rupawan.
Selain sifat pribadi di atas, orang-orang introvert juga cenderung mengalami
kesulitan untuk membangun percakapan pertama kali.
Kepribadian seperti sanguinis tentu jarang mengalami hambatan
berkomunikasi. Mereka biasanya selalu punya topik pembicaraan dalam
benak mereka dan memiliki pribadi yang menarik komunikatif.
3. Hambatan usia
Tentu tahu bahwa usia kadang menjadi hambatan saat kita berkomunikasi.
Misalnya, anak takut menyampaikan sesuatu kepada orangtuanya. Atau, saat
orang tua bicara anak harus diam mendengarkan, akibatnya komunikasi
hanya terjadi satu arah saja.
Yang paling terkini misalnya, bagaimana anak remaja sekarang (:baca Alay)
menggunakan kalimat-kalimat slank yang sulit dipahami oleh orang yang lebih
tua. Kesenjangan usia memang harus dijembatani dengan baik sehingga
pesan yang disampaikan tercapai.
Di sekolah, kerap saya menemukan ada upaya mediasi antara orangtua
dengan anak melalui guru BP atau guru wali kelas agar tidak terjadi hambatan
komunikasi antara orangtua siswa dengan siswa.
4. Hambatan budaya
Hambatan budaya dapat terlihat seperti yang pernah saya jumpai seorang
perempuan saat saya transit di Bandara Dubai. Ia membutuhkan informasi
tapi saya tidak bisa membalasnya (saat itu saya berbicara bahasa inggris)
karena saya tidak mendengar dengan jelas. Saya tidak bisa melihat ekspresi
mukanya saat berbicara karena dalam budayanya Ia harus mengenakan
penutup mulut. Ia adalah perempuan dari negara belahan Timur Tengah yang
memang harus mengenakan busana demikian.
Atau misalnya, di Thailand untuk mengucapkan kalimat “terimakasih” akan
berbeda bila disampaikan perempuan menjadi “Kopunka” sedangkan apabila
laki-laki menjadi “Kopunkap”.
Untuk budaya tertentu misalnya perempuan dalam berkomunikasi mendapat
porsi nomor dua setelah ayah, suami dan kakak laki-laki.
5. Hambatan bahasa
Bahasa kerap menjadi hambatan bila kita berada di negara yang tidak sama
bahasa ibu yang miliki. Dalam tulisan sebelumnya, saya bercerita bagaimana
saya berupaya membantu teman kelas kursus bahasa jerman yang berasal
dari negara Slovenia. Saya pun menggunakan google translate saat saya
menyampaikan tugas pekerjaan rumah yang kemudian saya kirim lewat
email. Meski tidak seratus persen terjemahan itu benar tapi ia cukup mengerti
pesan yang saya sampaikan.
Lain lagi saat saya kedatangan teman dari RRC yang hanya bisa bahasa ibu
dan kami bersahabat untuk bertukar informasi satu sama lain. Saya tidak bisa
bahasa mandarin. Dia tidak bisa bahasa Inggris dan sedikit mengerti bahasa
Indonesia. Saya terkesan sekali saat kami merayakan hari ulang tahun
bersama, saling mentraktir dan berkomunikasi dengan berbagai macam cara
seperti menulis, gerakan tangan, menggambar, ekspresi muka hingga
menggunakan alat peraga. Intinya adalah kita harus saling mendengarkan
satu sama lain agar komunikasi terkesan “nyambung”.
Beberapa kali saya kesasar di negara orang pun, bekal saya dalam
berkomunikasi dengan bahasa sebagai hambatan yakni membawa kamus,
alat tulis, kertas, kalkukator dan alamat kita tinggal.
6. Hambatan kecakapan teknologi
Dalam suatu pertemuan mediasi komunikasi orangtua dan anak di suatu
sekolah, saya menampilkan slide show tentang sms seorang ABG remaja
kepada kekasihnya dengan menggunakan kalimat atau kata-kata slank atau
bahasa Alay. Bahasa Alay menggunakan huruf besar dan huruf kecil dalam
satu kata juga cenderung tidak lengkap sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan. Apa yang terjadi? Orangtua tidak bisa menangkap pesan
SMS tersebut.
Kecakapan teknologi lainnya seperti penggunaan fitur-fitur handphone pintar
yang tidak semua orang bisa menggunakannya.
Saya pernah mengalami hambatan komunikasi saat tawar menawar membeli
sovenir. Jurus komunikasi saya cuma satu dalam tawar menawar, yakni bawa
kalkulator. Saat sedang tawar menawar kalkulator di HP saya habis baterai.
Atau, mau menggunakan google translate tetapi baterai HP mati.
7. Hambatan lingkungan alam dan kondisi sekitar.
Hal ini bisa mudah ditemui semisal kita menjadi salah menangkap maksud
komunikasi karena suara yang bising atau polusi suara.
Lingkungan alam lain misalnya letak atau jarak pengirim pesan dengan
penerima pesan yang berjauhan menyebabkan informasi tidak diterima
dengan jelas.
Kita juga misalnya akan berbicara dengan pelan saat malam hari, waktu tidur.
Atau waktu tidur siang di beberapa negara Eropa, orang sekitar diharapkan
tidak menimbulkan kegaduhan suara. Sehingga kita cenderung berbisik atau
bersuara pelan jika berbicara.
Demikian pengalaman yang bisa dibagikan. Apakah ada ide tambahan?
Silahkan
Menurut saya, hambatan terbesar komunikasi adalah ego diri sendiri yang
hanya mau mendengar apa yang ingin kita dengar. Ini yang kerap terjadi
sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

HAMBATAN FISIK DALAM PROSES KOMUNIKASI

Merupakan jenis hambatan berupa fisik, misalnya cacat pendengaran (tuna rungu), tuna netra, tuna wicara. Maka
dalam hal ini baik komunikator maupun komunikan harus saling berkomunikasi secara maksimal. Bantuan panca
indera juga berperan penting dalam komunikasi ini.
Contoh: Apabila terdapat seorang perawat dengan pasien berusia lanjut. Dalam hal ini maka perawat harus bersikap
lembut dan sopan tapi bukan berarti tidak pada pasien lain. Perawat harus lebih memaksimalkan volume suaranya
apabila ia berbicara pada pasien tuna rungu. Begitu pula halnya dengan si pasien. Apabila si pasien menderita tuna
wicara maka sebaiknya ia mengoptimalkan panca inderanya (misal: gerakan tangan, gerakan mulut) agar si
komunikan bisa menangkap apa yang ia ucapkan. Atau si pasien tuna wicara isa membawa rekan untuk
menerjemahkan pada si komunikan apa yang sebetulnya ia ucapkan.
HAMBATAN SEMANTIK DALAM PROSES KOMUNIKASI

Semantik adalah pengetahuan tentang pengertian atau makna kata (denotatif). Jadi hambatan semantik adalah
hambatan mengenai bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator, maupun komunikan.
Hambatan semantik dibagi menjadi 3, diantaranya:
1. Salah pengucapan kata atau istilah karena terlalu cepat berbicara.
contoh: partisipasi menjadi partisisapi
1. Adanya perbedaan makna dan pengertian pada kata-kata yang pengucapannya sama
Contoh: bujang (Sunda: sudah; Sumatera: anak laki-laki)
1. Adanya pengertian konotatif
Contoh: secara denotative, semua setuju bahwa anjing adalah binatang berbulu, berkaki empat. Sedangkan secara
konotatif, banyak orang menganggap anjing sebagai binatang piaraan yang setia, bersahabat dan panjang ingatan.

Jadi apabila ini disampaikan secara denotatif sedangkan komunikan menangkap secara konotatif maka komunikasi
kita gagal.
HAMBATAN PSIKOLOGIS DALAM PROSES KOMUNIKASI

Disebut sebagai hambatan psikologis karena hambatan-hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan
psikis manusia.
Hambatan psikologi dibagi menjadi 4 :
1. Perbedaan kepentingan atau interest
Kepentingan atau interst akan membuat seseorang selektif dalam menganggapi atau menghayati pesan. Orang
hanya akan memperhatikan perangsang (stimulus) yang ada hubungannya dengan kepentingannya. Effendi (1981:
43) mengemukakan secara gamblang bahwa apabila kita tersesat dalam hutan dan beberapa hari tak menemui
makanan sedikitpun, maka kita akan lebih memperhatikan perangsang-perangsang yang mungkin dapat dimakan
daripada yang lain. Andaikata dalam situasi demikian kita dihadapkan pada pilihan antara makanan dan sekantong
berlian, maka pastilah kita akan meilih makanan. Berlian baru akan diperhatikan kemudian. Lebih jauh Effendi
mengemukakan, kepentingan bukan hanya mempengaruhi kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap,
perasaan, pikiran dan tingkah laku kita.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, komunikan pada komunikasi massa bersifat heterogen. Heterogenitas itu
meliputi perbedaan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan yang keseluruhannya akan menimbulkan adanya
perbedaan kepentingan. Kepentingan atau interest komunikan dalam suatu kegiatan komunikasi sangat ditentukan
oleh manfaat atau kegunaan pesan komunikasi itu bagi dirinya. Dengan demikian, komunikan melakukan seleksi
terhadap pesan yang diterimanya.
Kondisi komunikan seperti ini perlu dipahami oleh seorang komunikator. Masalahnya, apabila komunikator ingin agar
pesannya dapat diterima dan dianggap penting oleh komunikan, maka komunikator harus berusaha menyusun
pesannya sedemikian rupa agar menimbulkan ketertarikan dari komunikan.
1. Prasangka
Menurut Sears, prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta
perilakunya terhadap mereka. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai prasangka, maka sebaiknya kita
bahas terlebih dahulu pengertian persepsi.
Persepsi adalah pengalaman objek pribadi, peristiwa faktor dari hambatan : personal dan situasional.
Untuk mengatasi hambatan komunikasi yang berupa prasangka pada komunikan, maka komunikator yang akan
menyampaikan pesan melalui media massa sebaiknya komunikator yang netral, dalam arti ia bukan orang
controversial, reputasinya baik artinya ia tidak pernah terlibat dalam suatu peristiwa yang telah membuat luka hati
komunikan. Dengan kata lain komunikator itu harus acceptable. Disamping itu memiliki kredibilitas yang tinggi karena
kemampuan dan keahliannya.
1. Stereotip
Adalah gambaran atau tanggapan mengenai sifat atau watak bersifat negative (Gerungan,1983:169). Jadi stereotip
itu terbentuk pada dirinya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif.
Contoh: Orang Batak itu berwatak keras sedangkan orang Jawa itu berwatak lembut.
Seandainya dalam proses komunikasi massa ada komunikan yang memiliki stereotip tertentu pada komunikatornya,
maka dapat dipastikan pesan apapun tidak dapat diterima oleh komunikan.
1. Motivasi
Merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri
manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu (Gerungan 1983:142).

Motif adalah sesuatu yang mendasari motivasi karena motif memberi tujuan dan arah pada tingkah laku manusia.
Tanggapan seseorang terhadap pesan komunikasi pun berbeda sesuai dengan jenis motifnya.
Motif dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Motif Tunggal
Contoh: Motif seseorang menonton acara “Seputar Indonesia” yang disiarkan RCTI adalah untuk memperoleh
informasi.
1. Motif Bergabung
Contoh: (kasus yang sama dengan motif tunggal) tetapi bagi orang lain motif menonton televisi adalah untuk
memperolh informasi sekaligus mengisi waktu luang.
UPAYA-UPAYA DALAM MENGATASI HAMBATAN BERKOMUNIKASI

Untuk mengetahui hambatan tersebut dapat ditanggulangi dengan cara sebagai berikut :
1. Mengecek arti atau maksud yang disampaikan
Bertanya lebih lanjut pada si komunikan apakah ia sudah mengerti apa yang si komunikator bicarakan.
Contoh: Perawat bertanya pada pasien “Apakah sudah mengerti, Pak?”
1. Meminta penjelasan lebih lanjut
Sama halnya dengan poin pertama hanya saja disini si komunikator lebih aktif berbicara untuk memastikan apakah
ada hal lain yang perlu ditanyakan lagi.
Contoh: “Apa ada hal lain yang kurang jelas, Bu?”
1. Mengecek umpan balik atau hasil
Memancing kembali si komunikator dengan mengajukan pertanyaan mengenai hal atau pesan yang telah
disampaikan kepada komunikan.

Contoh: “Tadi obatnya sudah diminum , Pak?” Sebelumnya si komunikator telah berpesan pada komunikan untuk
meminum obat.
1. Mengulangi pesan yang disampaikan memperkuat dengan bahasa isyarat
Contoh: “Obatnya diminum 3 kali sehari ya” sambil menggerakkan tangan.
1. Mengakrabkan antara pengirim dan penerima
Dalam hal ini komunikator lebih mendekatkan diri dengan berbincang mengenai hal-hal yang menyangkut keluarga,
keadaannya saat ini (keluhan tentang penyakitnya).
1. Membuat pesan secara singkat, jelas dan tepat
Si komunikator sebaiknya menyampaikan hanya hal-hal yang berhubungan pasien (atau yang ditanyakan pasien)
sehingga lebih efisien dan tidak membuang-buang waktu.

You might also like