You are on page 1of 10

ULANGAN TENGAH SEMESTER

PERENCANAAN DAN EVALUASI KESEHATAN

ANALISIS KASUS KEGAGALAN MANAGEMENT


INFORMATION SYSTEM DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN
Dosen Pengampu : Dra. Ayyun Sriatmi, M.Kes

DISUSUN OLEH :

ANNISA FITRIYANI
25010116120009
A-2016

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017
ANALISIS BERITA 1

Pasien bayi Debora datang dengan kondisi berat dengan diagnosis sepsis dan setelah
dilakukan perhitungan skoring dengan pediatric logistic organi dysfunction didapatkan skor 30
dengan predicted death rate atau kemungkinan meninggal sebesar 79,6 persen. Dengan kondisi
seperti itu, dokter IGD disebut telah melakukan berbagai tindakan medis. Dokter IGD juga
telah berkonsultasi dengan dokter ahli terkait tindakan medis yang akan diambil. Dokter IGD
telah melakukan tata laksana kegawatdaruratan sesuai standar profesi dan kompetensi dokter
Indonesia.

Meski demikian, hasil audit manajemen tidak lebih baik dari audit medis. Tim investigasi
menyimpulkan bahwa direktur RS Mitra Keluarga Kalideres kurang memahami peraturan
perundangan terkait rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan sikap rumah sakit yang meminta
uang muka kepada orangtua Debora. Padahal, pasien gawat darurat tidak boleh dimintai uang
muka dan tidak boleh dirujuk hingga kondisinya stabil.Sayangnya, tidak ada pelatihan terhadap
direksi dan pimpinan rumah sakit agar mereka memahami perundangan tentang rumah sakit.
Selain itu juga tidak ada pelatihan untuk memperbaiki mutu pelayanan.

Kesimpulannya rumah sakit belum membuat regulasi tata kelola rumah sakit sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SANKSI

Dari rekomendasi tim investigasi atas dua audit tersebut, Akibat kesalahannya, PT
Ragam Sehat Multifita sebagai pemilik RS Mitra Keluarga Kalideres harus merombak jajaran
manajemen hingga pimpinan di RS Mitra Keluarga Kalideres.

Sanksi diberikan kepada pemilik RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta yaitu PT Ragam
Sehat Multifita untuk merestrukturisasi manajemen dalam hal ini termasuk unsur pimpinan
sesuai standar kompetensi paling lama dalam waktu satu bulan setelah ditetapkan surat
keputusan ini.

Selain itu, RS Mitra Keluarga Kalideres juga harus lulus akreditasi rumah sakit paling
lambat enam bulan setelah surat keputusan keluar. Setiap rumah sakit harus melakukan
akreditasi setiap dua tahun.
Kasus bayi debora ini permasalahannya terletak pada bagian administrasi. Yang
sebenarnya masih dapat diperbaiki dan bisa dicegah agar tidak terjadi kesalahan.

Salah satu masukan BPKN untuk perbaikan yaitu mendorong pemanfaatan Information
and Communication Technology (ICT) secara optimal. Penerapan lCT yang optimal akan
membantu mempersingkat waktu, mengakses unit pelayanan dengan peralatan medis
dibutuhkan, maupun mencari tempat pada unit rujukan. ICT juga menyederhanakan prosedur
penyelesaian pembiayaan dari mulai pasien masuk rumah sakit, sampai dengan reimbursement
biaya oleh pihak RS kepada BPJS.

Seharusnya, pihak rumah sakit bisa memberikan pelayanan kesehatan terlebih dahulu
apabila keadaan pasien memang dalam kondisi gawat darurat.

Ada jalan agar pasien seperti bayi Debora tetap mendapat perawatan lanjutan walau tak
memiliki biaya. RS, lanjut dia, bisa menggunakan dana corporate social responsibility (CSR)
untuk menutup biayanya. Meskipun rumah sakit tersebut tidak ikut serta dalam program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, semestinya ada dana CSR yang bisa
digunakan. Tidak lantas menelantarkan pasien demi kepentingan rumah sakit tersebut.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menangani terlebih dahulu pasien (re: Bayi
Debora) sampai tuntas, baru kemudian meminta klaim ke BPJS sebagai penggantinya. Karena
orang tua bayi Debora ini berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga sebagai rumah
sakit sangat tidak etis untuk menolak pasien seperti ini. Walaupun bukan rumah sakit mitra
BPJS tetap bisa mengajukan klaim asal menyertakan berkas yang lengkap sesuai dengan
administrasi BPJS.
ANALISIS BERITA 2

Penyebab keterlambatan pembayaran insentif karyawan di RS Dr Soekardjo Suherman


disebabkan oleh karena lambatnya proses klaim ke BPJS. Akibatnya dana tak kunjung cair.
Padahal dana klaim itu juga dipakai untuk biaya operasional, jadi kita tidak memungkiri juga
memang itu sedikit banyak berpengaruh kepada pelayanan dan operasional rumah sakit
termasuk pembayaran insentif karyawan.

Penyebab keterlambatan penyerahan klaim pada pelaksanaan klaim BPJS di Rumah


Sakit Dr Soekardjo Suherman :

a. Man

Menurut Hasibuan (2008), faktor man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki
oleh organisasi. Faktor man yang menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaan klaim BPJS
ditemui pada petugas verifikator kelengkapan awal yang tidak teliti dalam mengecek
persyaratan pasien, dokter tidak lengkap mengisi resume, dan petugas pengodean yang
melakukan kegiatan lain.

b. Machine

Machines yang digunakan petugas terkendala pada server dari BPJS yang sering down
sehingga petugas tidak dapat mengecek keanggotaan pasien dan bridging system terbatas pada
aplikasi SEP saja.

c. Method

Methode, di RS Dr Soekardjo Suherman sudah terdapat SOP namun masih terdapat


kendala pada pengimplementasiannya.

Waktu pencairan/pembayaran klaim yang cukup lama itu, bukan hanya kesalahan salah
satu pihak saja. Tetapi pihak RS dan pihak BPJS sama-sama memiliki andil penyebab
keterlambatan tersebut.

Kita tidak boleh menyalahkan pihak BPJS. Pihak RS juga kadang agak lambat
melengkapi dokumen administrasi yang dibutuhkan oleh BPJS untuk melakukan klaim. Tetapi
kadang juga setelah dokumen admistrasinya sudah lengkap pihak BPJS yang sedikit terlambat
memprosesnya karena harus dilakukan verifikasi lagi.
Secara teoritis sebenarnya pembayaran klaim itu bisa saja dilakukan setiap bulan, dengan
catatan dokumen administrasi pengajuan pembayaran klaim benar-benar lengkap dan valid.

Ada beberapa RS baik itu swasta maupun pemerintah yang jumlah pasiennya tidak terlalu
banyak itu bisa melakukan pengajuan pembayaran klaim per bulan. Tetapi, untuk RS yang
melayani ribuan bahkan puluhan ribu pasien per bulannya itu sedikit agak sulit untuk bisa
melengkapi dokumen administrasi tepat waktu. Sebenarnya apabila sistem manajemen
informasi di rumah sakit sudah baik sebenarnya masalah ini tidak mungkin terjadi.

Hal ini, lanjutnya, terkait dengan masalah kemampuan SDM dan peralatan (teknologi)
yang memang saat ini masih terus membutuhkan perbaikan sistem dan kemampuan SDM.
Untuk masalah keterbatasan kemampuan SDM dalam mengoperasikan peralatan IT dapat
diatasi dengan melakukan pelatihan atau training mengenai pengoperasian IT yang benar. Atau
bila hal ini susah dan membutuhkan waktu yang lama maka dapat mendatangkan ahli IT untuk
menangani masalah operasional dari sistem BPJS.

Selain itu proses pencairan klaim BPJS yang lama juga diakibatkan oleh karena
perubahan sistem di BPJS itu sendiri. Akibatnya data yang sudah di-entry sebelumnya dengan
sistem lama, namun kenyataannya sistem baru menolak sehingga harus di-entry ulang. Hal ini
semakin memperlambat proses pencairan dana klaim BPJS.
Berita 1

Sumber : https://news.okezone.com/read/2017/09/13/337/1775301/agar-tak-ada-lagi-kasus-
debora-rumah-sakit-dan-bpjs-harus-perbaiki-sistem-kerjasama

Agar Tak Ada Lagi Kasus Debora, Rumah


Sakit dan BPJS Harus Perbaiki Sistem
Kerjasama
Yudhistira Dwi Putra, Jurnalis · Kamis 14 September 2017, 08:10 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta,
Ashraf Ali memperingatkan seluruh rumah sakit, khususnya di Jakarta agar tak "mata duitan".
Kasus Debora, dikatakan Ashraf merupakan gambaran betapa faktor komersial telah
mengalahkan faktor kemanusiaan dalam kebijakan operasional sebuah rumah sakit.

Ashraf melihat, ada kekhawatiran di pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres-- terkait
pembiayaan terhadap perawatan Debora. Dalam keterangan resminya, Mitra Keluarga
menyatakan Debora meninggal ketika proses rujukan sedang diupayakan.

Menurut Mitra Keluarga, kondisi keuangan orang tua Debora memaksa pihaknya melakukan
rujukan terhadap Debora ke rumah sakit yang bermitra dengan BPJS, sebab, Mitra Keluarga
tidak termasuk dalam jaringan BPJS.

Ketidaksertaan Mitra Keluarga dalam jaringan BPJS, bagi Ashraf adalah sebuah disintegrasi
visi antara pemerintah dan pihak rumah sakit --terutama rumah sakit swasta-- dalam
mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas dan pemerataan kesehatan masyarakat.

"Padahal pemerintah sudah memberikan fasilitas yang besar lewat BPJS ini. Artinya negara
intevensi, baik kepada rumah sakit pemerintah dan swasta. Tidak ada alasan rumah sakit untuk
tidak bermitra," kata Ashraf kepada Okezone, Kamis (14/9/2017).

"Kami prihatin. Rumah sakit Mitra Keluarga ini kan rumah sakit besar. Ini nggak boleh. Jangan
berpikir bahwa pengusaha-pengusaha mendirikan rumah sakit untuk kepentingan keuntungan
semata. Padahal Undang-undangnya jelas. Itu harus dipenuhi," tambahnya.

Lebih lanjut, Ashraf menjelaskan, pergolakan terkait sistem jaminan kesehatan BPJS telah
sejak lama terjadi. Menurutnya, sistem klaim pembiayaan medis dalam sistem BPJS dianggap
tidak menguntungkan oleh banyak manajemen rumah sakit.

"Hitung-hitungannya yang saya tangkap. Dulu kan pernah terjadi gejolak penolakan rumah
sakit swasta terkait BPJS karena dianggap tidak menguntungkan," ungkap Ashraf.

Selain mendorong keikutsertaan Mitra Keluarga dan rumah sakit non-BPJS lain dalam
kesertaan jaringan BPJS, pemerintah pusat, dalam hal ini BPJS harus terus memperbaiki sistem
jaminan kesehatannya.
Hal tersebut menjadi penting agar program BPJS dapat memberi manfaat kepada seluruh pihak,
baik itu pemerintah, pasien dan seluruh fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak
pelayanan kesehatan.

"Kalau bicara soal sistem, ini kan dioadopsi dari berbagai pihak. Kalau ada kelemahan-
kelemahan itu akan diperbaiki. Kami sebelum kasus Debora ini, kami sempat mengundang
BPJS dan rumah sakit-rumah sakit di DKI agar ada sinkronisasi," ungkap Ashraf.

(ydp)

(amr)
Berita 2

Sumber : http://koran-sindo.com/page/news/2017-01-19/5/136

Insentif Pegawai RS Belum Dibayar

TASIKMALAYA – Insentif 1.016 pegawai RS Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya, belum


dibayar selama dua bulan terakhir, menyusul krisis keuangan pada rumah sakit tersebut.

Kondisi seperti itu terjadi bersamaan dengan dihentikannya pasokan obat-obatan oleh 20
produsen. Wakil Direktur Keuangan RS Dr Soekardjo Suherman mengungkapkan, insentif
yang belum dibayarkan adalah November 2016 yang seharusnya dibayarkan pada Desember
2016. Kemudian insentif Desember 2016 yang seharusnya dibayarkan Januari 2017. Karena
rumah sakit sendiri saat ini mengalami krisis obat-obatan.

“Besarnya variatif, dari mulai cleaning service yang mendapatkan insentif Rp700.000 hingga
yang terbesar di atas Rp2 juta. Kalau gajinya sendiri telah diberikan tidak ada kendala, apalagi
kalau untuk PNS karena memang telah ada anggarannya. Namun kalau insentif memang
kebijakan dari manajemen rumah sakit yang mengeluarkan kebijakannya,” ungkap Suherman.
Jika dijumlahkan, terang dia, total insentif yang harus diberikan Rp3,7 miliar/bulannya.
Artinya, dalam dua bulan insentif yang harus dibayarkan Rp7,4 miliar. Itu pun belum diketahui
apakah insentif Januari 2017 juga akan bisa dibayarkan tepat waktu atau tidak. Meskipun pihak
rumah sakit memiliki keyakinan akan bisa dibayarkan karena janji dari tunggakan pemerintah
daerah, BPJS, dan perorangan saat ini tengah terus dilakukan penagihan. Di bagian lain, Bupati
Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum menegaskan, pembayaran utang ke RS Dr Soekardjo sebesar
Rp5,7 miliar akan dibayarkan setelah anggaran murni 2017 cair. Bahkan, Pemkab Tasikmalaya
telah mengalokasikan dana Rp14 miliar untuk kebutuhan anggaran berobat masyarakat miskin,
sehingga manajemen rumah sakit bisa kembali berjalan normal.

“Sebenarnya bukan hanya ke RS Dr Soekardjo saja utangnya, ke RS SMC dan RSHS Bandung
juga ada. Namun saya pastikan akan dibayar, hanya karena persoalan administrasi dan
prosesnya saja yang mengalami keterlambatan karena pembayaran akan dilakukan,” ujar Uu.
Sementara itu, di Kantor Cabang BPJS Tasikmalaya akhirnya digelar pertemuan dengan
Direktur RS Dr Soekardjo, kemarin.

Dalam pertemuan itu, secara rinci tagihan yang belum dibayarkan, adalah Rp1,1 miliar untuk
September, Rp3,2 miliar pada Oktober, Rp2,2 miliar pada November, dan Desember sebesar
Rp3,2 miliar. Hal itu dikarenakan entry data mengalami keterlambatan dalam pengajuannya,
sehingga berimbas pada proses verifikasi. “Perlu diingat pula, keterlambatan itu dikarenakan
adanya perubahan sistem di BPJS yang terjadi di seluruh Indonesia. Sebenarnya kami sudah
mengentry data sebelumnya dengan sistem lama, namun kenyataannya sistem baru menolak
sehingga harus di-entry ulang. Ini sebenarnya yang menjadi penyebab lambatnya proses klaim
ke BPJS,” kata Direktur RS Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya Wasisto Hidayat.

Di tempat sama, Kepala BPJS Tasikmalaya Dwi Desiawan menegaskan, akan mencairkan
tagihan yang masuk pekan depan sebesar Rp2,5 miliar. Hal itu dilakukan setelah pihaknya pun
mengajukan percepatan proses pencairan kepada BPJS pusat, hal itu juga merupakan upaya
dari pihaknya berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi oleh pihak rumah sakit.

Nanang kuswara

You might also like