You are on page 1of 14

TIME-DRIVEN ACTIVITY-BASED COSTING:

PENYEDERHANAAN KOMPLEKSITAS SCM DALAM


PENCAPAIAN STRATEGI

Bonnie S

ABSTRACT

This paper tries to build a new cost paradigm from strategic perspective. Cost
becomes a critical element of profit calculation dan net income reporting. Inaccurate
and error in costing processes drive inaccurate product price decisions that drive
distortion in financial reporting. Today, Time-Driven Activity-Based Costing provides
a new way to calculate costs in more accurate and simpler manner. TDABC is a
methodology can be used in any organizations to simplify the processes of building
and maintaining ABC models. TDABC is proposed as a way to address the difficulties
of conventional ABC approach that has significant impact for strategy achievement.
This paper also reveals that TDABC is the simplicity of SCM tool for achieving
company’s strategy.

Keywords: Cost, Activity-Based Costing, Time-Driven Activity-Based Costing,


Strategy

PENDAHULUAN
Persaingan global makin ketat menuntut perusahaan memiliki keunggulan
bersaing. Untuk itu, perusahaan yang ingin tetap eksis harus mampu mendefinisikan
dan mengimplementasikan strategi. Pencapaian strategi tidak berdiri sendiri, namun
diperlukan adanya sistem operasi perusahaan yang baik dan selaras dengan strategi.
Costing sebagai salah satu bagian dari enterprise wide system perlu mendapat
perhatian khusus karena biaya merupakan elemen yang sangat penting bagi
pencapaian profit perusahaan (yang berorientasi pada laba). Kesalahan dalam
perhitungan biaya akan berakibat fatal terhadap performa perusahaan yang akhirnya
berdampak pada penilaian stakeholder. Pada era tradisional (bahkan hingga saat ini),
standard costing begitu populer dan banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan.
Kemudian berkembang Activity-Based Costing yang mampu merespon kompleksitas
usaha dan menyediakan data biaya dengan lebih akurat. Kemudian hingga saat ini
dikembangkan sebuah pendekatan costing yang sangat revolusioner, Time-Driven
Activity-Based Costing untuk mengeliminasi kelemahan-kelemahan ABC.
Secara khusus, kajian teori ini berusaha memperjelas dan mempertegas peran
dari sistem costing revolusioner, TDABC dalam proses Strategic Cost Management
sebagai alat penunjang pencapaian strategi perusahaan. Kajian ini berusaha
memberikan kontribusi dengan membangun paradigma tentang peran biaya dalam
pencapaian strategi, khususnya melalui strategi cost leadership dengan pendekatan
dan perspektif yang berbeda. Kajian ini juga akan mengungkap keandalan TDABC
dalam merespon perubahan, kompleksitas, dan melakukan penyesuaian dan integrasi
terhadap sistem informasi perusahaan yang telah berdiri. Kajian ini dibagi dalam
enam sub bahasan, yaitu biaya dan strategi yang membahas arti dan peran penting dari
biaya dalam pencapaian strategi. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan tentang
kunci penting dalam Strategic Cost Management (SCM). Bahasan berikut lebih
mengacu pada perkembangan sistem costing, ABC hingga TDABC dan diakhiri
dengan pemaparan tentang implementasi strategis dari TDABC.
BIAYA DAN STRATEGI
Porter (1979) mendefinisikan cost leadership sebagai salah satu alternatif
strategi untuk mencapai keunggulan bersaing. Fokus utama dalam strategi tersebut
adalah untuk mencapai alternatif cost yang rendah dibandingkan dengan cost
saingannya. Cost leadership dapat diraih melalui berbagai pendekatan seperti skala
ekonomi produksi, efek learning curve, pengendalian biaya ketat, dan minimalisasi
biaya. Selanjutnya, Porter menyatakan bahwa startegi ini akan sukses ketika pihak
perusahaan mampu mencapai efisiensi tinggi dan overhead rendah. Perusahaan yang
tidak mampu meraih posisi strategis tidak akan mampu meraih keuntungan. Wal-Mart,
BIC, McDonald’s, Black & Decker, Lincoln Electric, Chevrolet, Commodore, dan
Briggs & Stratton adalah perusahaan-perusahaan yang dikenal keberhasilannya dalam
menjalankan stategi cost leadership (David, 2005 & Reeve, 2000).
Saat ini, biaya tidak sekedar berperan untuk menentukan harga jual sebuah
produk. Aspek biaya sangat menentukan masa depan dan pencapaian strategis
perusahaan, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang telah berada pada posisi
mature yang wajib menciptakan efisiensi usaha atau low cost. Dalam kondisi ini,
perusahaan harus memastikan bahwa pencapaian biaya rendah tersebut telah diproses
melalui manajemen biaya yang benar dan tidak bias, apakah low cost is real low cost.
Dalam hal ini, Reeve (2000) mengatakan bahwa proses manajemen biaya yang baik
dapat dijadikan sebagai startegic weapon yang ampuh bagi perusahaan untuk
menghadapi persaingan. Namun kesalahan dalam perhitungan dan penentuan biaya
justru dapat memicu kerugian yang sangat besar. Maka selain proses manajemen
biaya yang baik, perusahaan juga harus memastikan pengelolaan dan sistem informasi
biaya telah menghasilkan informasi yang tepat, akurat, cepat, dan dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengambilan keputusan, misalnya dalam penganggaran
atau penentuan biaya produksi dan harga jual. Konsep ini dikenal dengan Strategic
Cost Management (SCM) sebagai penggunaan informasi biaya dalam proses
manajerial dalam fase manajemen strategis, yaitu formulasi, komunikasi strategi,
mengembangkan taktik, dan implementasi pengendalian (Shank & Govindarajan,
1993). Reeve (2000) menjelaskan bahwa SCM memiliki peran penting dalam tiap fase
manajemen strategis. Secara alami, lingkungan (internal dan eksternal) akan
mendorong perusahaan untuk membangun cost management seperti yang diungkap
oleh Cooper (1995) dalam diagram berikut:

Gambar 1
Desakan Yang Membentuk Peran Cost Management

Competitive
Environmnet

Maturity of The Role of Cost Length of


Product Management Product Life
Cycle

Sumber: Cooper (1995), When Lean Enterprise Collide: Competing Through Confrontation, p. 96.

Jadi dalam era persaingan global dan ekonomi informasi, perusahaan harus
mampu menciptakan keunggulan bersaing dengan menciptakan strategi, dalam hal ini
adalah cost leadership melalui proses SCM yang baik yang ditunjang oleh sistem
informasi dan proses costing yang akurat, tepat, cepat, dan mampu menunjang
pengambilan keputusan strategis. Rasionalisasi tersebut dapat digambarkan dalam
sebuah diagram sebagai berikut:
Gambar 2
Elemen Penunjang Strategi Cost Leadership

Costing
System
Startegic Cost Cost Competitive
Management Leadership Advantage
Cost Strategy
Information
System

Sumber: Olahan.

Bagian berikutnya akan dibahas lebih dalam menegnai SCM dan evolusi sistem
costing yang mampu menunjang pencapaian strategi.

KUNCI STRATEGIC COST MANAGEMENT


Sebagai pengembangan revolusioner dari konsep Akuntansi Manajemen
(AM), SCM memiliki perbedaan fokus yang cukup signifikan dari paradigma AM
konvensional dalam hal teknik analisis biaya, tujuan analisis, dan pemahaman atas
perilaku biaya. Sebagai alat pencapaian strategi, tentunya SCM lebih mampu
memandang segala sesuatu yang terkait dengan biaya dari sudut pandang strategis,
jangka panjang yang berkesinambungan. Tabel berikut menjelaskan perbedaan inti
dari konsep AM dan SCM.

Tabel 1
Perbedaan Paradigma AM dan SCM
Sumber: Shank & Govindarajan (1993), Strategic Cost Management: The New Tool for Competitive Advantage, p.
27.

Paradigma SCM terbangun dari 3 elemen kunci, yaitu analisis Value Chain
(VC), analisis positioning strategis, dan analisis cost driver (Shank & Govindarajan,
1993). VC didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas utama dan penunjang mulai dari
aktivitas pengadaan bahan baku melalui supplier hingga dikirim ke konsumen dan
untuk meningkatkan value konsumen (Romney & Steinbart, 2006). Manajemen biaya
efektif membutuhkan fokus yang lebih luas atas peran pihak eksternal dalam sebuah
rangkaian VC.

Gambar 3
Value Chain

Sumber: Porter, 2007, www.valuebasedmanagement.net.

Analisis VC dapat dikembangkan untuk proses benchmark dengan pesaing sehingga


pihak manajemen mampu menganalisis efisiensi aktivitas (value-added dan non
value-added) untuk melihat posisi perusahaan dalam industri serta sebagai dasar
pengamblian keputusan strategis.
Kunci kedua, analisis positioning strategis yang lebih menekankan pada
penggunaan informasi akuntansi manajemen. Positioning sangat ditunjang oleh proses
Management Control Systems (MCS). Perbedaan pemilihan posisi/ startegi akan
membutuhkan desain MCS yang berbeda pula. Kaitan MCS dan strategi harus
didasari oleh pemikiran bahwa strategi yang berbeda membutuhkan key success
factor (KSF), keahlian, perspektif, dan perilaku yang berbeda; MCS sebagai sistem
pengukuran yang mempengaruhi perilaku orang; dan MCS harus fokus agar sistem
yang dibentuk konsisten dengan strategi.
Kunci ketiga, cost driver sebagai penyebab atau pemicu munculnya biaya
dapat diakibatkan oleh banyak faktor. Secara umum dikenal 2 jenis cost driver, yaitu
struktural (skala, skup, pengalaman, teknologi, dan kompleksitas) dan eksekusional
(desakan kerja, TQM, utilisasi kapasitas, layout pabrik, konfigurasi produk, dan kaitan
dengan supplier dan konsumen). Dengan pemahaman dan konsentrasi pada ketiga
kunci tersebut, diharapkan proses SCM sebagai alat pencapaian strategi dapat berjalan
dengan lebih efektif.

EVOLUSI SISTEM COSTING


Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa aktivitas SCM akan
lebih baik jika didukung oleh informasi biaya yang dihasilkan dari proses costing
yang akurat. Kesalahan pada costing, akan menghasilkan informasi yang tidak benar,
sehingga keputusan yang diambil juga berpotensi untuk bias. Pada awalnya, standard
costing berkembang untuk meningkatkan efisiensi dan kecepatan pengambilan
keputusan harga. Standard costing menghitung ketiga komponen biaya produksi
(direct material, direct labor, dan factory overhead) berdasarkan standar yang dibuat.
Standard costing sangat cocok dan relevan bagi perusahaan dengan struktur yang
sangat sederhana atau hanya menjual satu jenis produk saja. Namun kompleksitas dan
pertumbuhan persaingan yang makin ketat dan global, mengakibatkan perusahaan
mengalami kesulitan dalam aplikasi sistem tersebut khususnya pada perusahaan yang
berbentuk korporat, terdiri dari unit bisnis, atau dengan produk yang terdiversifikasi.
Standard costing mampu menunjukkan ”hasil dalam angka”, namun tidak mampu
menunjukkan proses pencapaian ”hasil dalam angka” tersebut atau dengan kata lain
informasi dari metode costing seperti ini akan bersifat sangat global, agregat, dan
berpotensi untuk terjadi distorsi informasi. Kompleksitas bisnis dengan diversifikasi
produk atau sub unit, permintaan konsumen yang makin beragam dan spesifik
(custom), persaingan yang kian ketat mendorong terciptanya kondisi capital intensive,
dimana peran dari factory overhead (FOH) makin signifikan. Biaya FOH dapat
dikonsumsi oleh banyak jenis produk dan menjadi sulit ditelusuri ketika dihitung
dengan pendekatan tradisional tersebut.
Untuk merespon kendala tersebut, dikembangkan Activity-Based Costing
(ABC) pada tahun 1980’an. ABC mampu menyediakan desainer sistem costing
dengan cara yang berbeda dan lebih akurat, fokus pada atensi manajerial, dan
perubahan perilaku (Reeve, 2000). Perbedaan konseptual tradisional costing dan ABC
adalah bahwa traditional costing langsung mengalokasikan resources ke cost object,
sedangkan ABC mengasumsikan bahwa biaya pada cost object muncul akibat adanya
aktivitas yang mengkonsumsi resources. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
ABC dilakukan melalui 2 fase seperti bagan perbedaaan traditional costing dan ABC
berikut:

Gambar 4
Evolusi Model Cost Accounting

Sumber: Cokins (2004), Performance Management: Finding The Missing Pieces (to Close The Intelligence Gap),
p. 106.

Untuk meningkatkan keakuratan penentuan biaya berbasis value-added dalam


rangka mencapai kondisi cost leadership, ABC sering dikolaborasikan dengan konsep
Activity-Based Management (ABM). ABC berusaha menyediakan informasi biaya
secara akurat, sedangkan ABM lebih fokus pada penggunaaninformasi tersebut untuk
mengelola aktivitas. ABM mampu mengidentifikasi dan menyaring aktivitas-aktivitas
non value-added untuk menciptakan efisiensi biaya (cost reduction program) melalui
analisis aktivitas, peningkatan aktivitas, dan pengukuran performa seperti tergambar
pada bagan berikut:
Gambar 5
Kerangka Kerja Konsep ABM

Sumber: Gunasekaran, dkk. (2000), Activity-Based Management In A Small Company: A Case Study, p. 391 –
399.

Kompleksitas ABC memang mampu menunjang keakuratan data biaya, namun di sisi
lain kondisi ini justru menjadikan ABC sangat lama untuk diaplikasikan,
membutuhkan biaya yang besar, sulit untuk dimodifikasi, dan menjadi sangat tidak
efisien ketika era informasi membutuhkan dukungan kecepatan proses informasi
dalam perusahaan. Hal inilah yang membuat pihak manajemen perusahaan enggan
menerapkan ABC dan kembali pada sistem traditional costing yang sederhana.

CELAH-CELAH ACTIVITY-BASED COSTING


Dalam penelitiannya, Kaplan & Anderson (2007) melihat ketidakefisienan dari
praktik ABC. Mereka menemukan secara umum bahwa untuk menjalankan proyek
tersebut dibutuhkan sekitar 700 narasumber pada lebih dari fasilitas untuk survey.
Perusahaan juga harus mempekerjakan 14 karyawan full-time hanya untuk
mengumpulkan, memproses data, dan membuat laporan selama lebih dari 30 hari.
Sebagai contoh adalah Handee Enterprise yang menggunakan software ABC dan
harus membuang waktu 3 hari untuk memproses perhitungan biaya atas 150 aktivitas
dengan 10.000 order.
Sebagian besar perusahaan menganggap ABC tidak cukup akurat untuk
mengakomodasi diversifikasi operasi, misalnya dalam aktivitas pengiriman, dimana
terdapat beragam variasi seperti pengiriman dengan truk kapasitas penuh atau tidak
(LTL), kiriman ekspres sehari atau reguler, dengan container besar atau kecil, dan
sebaginya. Agar proses ABC menjadi akurat, maka harus dilakukan penambahan
aktivitas survey yang memungkinkan data makin subyektif. Selain itu, desainer harus
meng-update kembali model melalui activity dictionary yang akan memicu
penambahan kapasitas dan waktu proses data dalam storage medium. Berbagi
keterbatasan ABC dapat dikelompokkan ke dalam 6 celah yang membawa sistem
costing ini makin tidak populer dan diminati (Kaplan & Anderson, 2007):
1. Proses wawancara dan survey yang relatif lama dan membutuhkan biaya
cukup besar.
2. Data yang dikumpulkan lebih subyektif dan sulit untuk divalidasi.
3. Data sangat besar sehingga penyimpanan, proses, dan pelaporan menjadi
tidak efisien.
4. Sebagian besar model ABC tidak terintegrasi dengan sistem perusahaan.
5. Model ABC sulit untuk di-update dalam merespon perubahan yang cepat.
6. Secara konsep, ABC dianggap tidak tepat karena mengabaikan potensi unused
capacity atau mengasumsikan resource bekerja pada kondisi full capacity.

Untuk mengantisipasi segala kendalan pada sistem ABC, Kaplan & Anderson (2007)
mengembangkan model tersebut dengan lebih elegan dan praktis untuk menentukan
biaya dan capacity utilization proses dan profitabliitas order, produk, dan konsumen.
Model ini dikenal dengan Time-Driven Activity-Based Costing (TDABC).

INOVASI TIME-DRIVEN ACTIVITY-BASED COSTING


TDABC memudahkan perusahaan untuk meningkatkan proses sistem cost
management. Informasi biaya yang dihasilkan akan lebih akurat walaupun
berdasarkan proses dan aktivitas yang sangat beragam dan spesifik. Berbeda dengan
ABC, TDABC mampu memproses lebih banyak data transaksi hanya dalam beberapa
hari saja oleh 2 karyawan saja. Sistem tersebut mampu menyederhanakan proses
costing dengan mengeliminasi wawancara dan survey untuk kebutuhan alokasi
resource cost ke aktivitas sebelum membebankannya ke cost object, seperti order,
produk, atau konsumen. Model TDABC membebankan resource cost langsung ke
cost object (Kaplan & Anderson, 2007). Mungkin alur TDABC sejalan dengan
pendekatan traditional costing, namun sangat berbeda pada logika dasar
perhitungannya (lihat gambar 6). TDABC menghitung cost driver rate berdasarkan
practical capacity dari resources yang tersedia, mengukur atau mengestimasi jumlah
waktu untuk sebuah aktivitas. Jumlah transaksi sangat fundamental bagi perhitungan
TDABC (Barrett, 2007).
Dalam aplikasinya, pertama kali dihitung biaya pengadaan resource capacity
kemudian mengkalkulasikan seluruh resource cost. Kemudian total biaya tersebut
dibagi dengan kapasitas untuk menentukan capacity cost rate. Langkah berikutnya,
TDABC menggunakan capacity cost rate untuk menggerakkan resource cost ke cost
object dengan mengestimasi kebutuhan resource capacity (time) yang dibutuhkan oleh
cost object. Dalam hal ini TDABC mampu menghitung reasource capacity untuk cost
object yang unik dan terdiversifikasi.

Gambar 6
Proses TDABC

Resources
Calculate capacity
cost rate.
Allocated to Drive resource cost
to cost object.

Cost
Object
Sumber: Olahan.

Untuk memperjelas kajian di atas, pada bagian berikutnya akan diilustrasikan sebuah
kasus (diadopsi dari Kaplan & Anderson, 2007) untuk membedakan aplikasi praktis
ABC dan TDABC dalam sebuah proses penanganan konsumen melalui 3 aktivitas,
yaitu: Proses order, penanganan tanggapan/ komplain, dan pemeriksaan kredit
konsumen dengan pembebanan biaya departemen $576.000.

Perhitungan ABC
Diasumsikan dari pengumpulan data atas prosentase waktu penanganan konsumen
dan jumlah aktivitas diperoleh:
Aktivitas % waktu Jumlah aktivitas
Proses order 70% 49.000
Penanganan tanggapan 10% 1.400
Pemeriksaan kredit 20% 2.500

Dengan sistem ABC, maka cost driver rate dapat dihitung dengan hasil seperti pada
tabel berikut:
Aktivitas % waktu Biaya yang Cost driver Cost driver rate
dibebankan (X) quantity (Y) (X/Y)
Proses order 70% $396.900 49.000 $8.1/ order
Penanganan 10% $56.700 1.400 $40.5/ tanggapan
tanggapan
Pemeriksaan 20% $113.400 2.500 $45.36/ cek
kredit
TOTAL 100% $576.000

Perhitungan TDABC
Diketahui total waktu yang diperlukan untuk menjalankan aktivitas departemen
(practical capacity of resources supplied) dalam satu periode adalah 630.000 menit,
maka:
Capacity cost rate = Cost of capacity supplied/ Practical capacity of resources supplied
= $567.000/ 630.000 menit
= $0.9/ menit

Selain itu, dari survey diketahui:


Aktivitas waktu
Proses order 8 menit
Penanganan tanggapan 44 menit
Pemeriksaan kredit 50 menit

Dengan sistem TDABC, maka cost driver rate dapat dihitung dengan hasil seperti
pada tabel berikut:
TDABC cost driver
Aktivitas Unit time Cost driver rate ($0.9/menit)
Proses order 8 menit $7.2
Penanganan 44 menit $39.6
tanggapan
Pemeriksaan 50 menit $45
kredit

Jika dikonversikan ke model perhitungan ABC, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Aktivitas Unit waktu Jumlah aktivitas Total menit Total biaya
Proses order 8 menit 49.000 392.000 $352.800
Penanganan 44 menit 1.400 61.600 $55.440
tanggapan
Pemeriksaan kredit 50 menit 2.500 125.000 $112.500
Used capacity 578.600 $520.740
Unused cap. (8.2%) 51.400 $46.260
TOTAL 630.000 $567.000

Kedua contoh di atas menunjukkan adanya perbedaan dalam perhitungan cost driver
rate. Perbedaan ini diakibatkan kelemahan ABC yang tidak mampu mendefinisikan
adanya unused capacity. Hal inilah yang menjadi keunggulan lain dari TDABC untuk
menelusuri lebih akurat adanya unused capacity sehingga tidak berlebihan jika Kaplan
& Anderson (2007) mengatakan TDABC as a simpler and more poweful path to
higher profits.
Dari hasil penelitian, Kaplan & Anderson (2007) menyimpulkan 10 poin
keuntungan dari aplikasi model TDABC:
1. Permodelan lebih mudah dan cepat.
2. Mudah diintegrasikan dengan aplikasi ERP dan CRM.
3. Menggerakkan biaya ke transaksi dengan karakteristik (order, proses,
konsumen, supplier) yang spesifik.
4. Proses capture data ekonomi operasi dapat dilakukan bulanan.
5. Proses efisiensi dan capacity utilization lebih visible.
6. Forecast resources demand, memungkinkan perusahaan menganggarkan
resource capacity dengan dasar prediksi jumla order dan kompleksitas.
7. Mudah untuk diaplikasikan dalam enterprise wide model melalui aplikasi dan
program database.
8. Perbaikan model cepat dan murah.
9. Menyediakan informasi yang jelas untuk memudahkan pengguna
mengidentifikasi akar masalah.
10. Dapat digunakan pada industri atau perusahaan apapun dengan kompleksitas
yang tinggi.

Dalam aplikasinya, TDABC memiliki satu kelebihan terkait dengan compatibility-nya


untuk diintegrasikan dengan sistem-sistem yang telah ada di perusahaan seperti
Activity-Based Budgeting, program-program JIT atau Sig Sigma, bahkan dengan SCM
dan CRM.
Barrett (2007) mengungkapkan satu poin kelemahan dari TDABC yang pada
dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dialami oleh ABC konvensional terkait
dengan masalah keakuratan perolehan data. Jika data yang diperoleh out-of-date atau
sekedar berdasar estimasi, maka akan menghasilkan error yang substansial. Sebagai
contoh adanya kesalahan 10 detik saja akan menjadi masalah besar ketika berhadapan
(dikalikan) dengan jutaan aktivitas. Untuk itu, TDABC harus benar-benar dibangun
dan didukung dengan sistem informasi yang benar-benar akurat, tepat, dan cepat.
Berikut adalah contoh model (aplikasi) perhitungan resource capacity untuk
mengurangi resiko kesalahan dengan Activity Analyzer yang terintegrasi dengan ERP:

Gambar 7
Activity Analyzer Interface
Sumber: Lead Software

IMPLEMENTASI STATEGIS TIME-DRIVEN ACTIVITY-BASED COSTING


Tahap paling penting dari proses costing adalah implementasi. Pada model
ABC konvensional, proses implemntasi dilakukan melalui 4 fase mulai dari
mengembangkan project charter, model cost flow, membangun model ABC, dan
validasi, orientasi & analisis.

Gambar 8
Fase Implementasi ABC

Sumber: Ali (2004), Strategic Cost Management: Take it from the Top, p. 29.
Proses implementasi TDABC pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan ABC. Kaplan
& Anderson (2007) menggambarkan 4 fase penting dalam implementasi TDABC.
Keempat fase tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 9
Fase Implementasi TDABC
Sumber: Kaplan & Anderson (2007), Time-Driven Activity-Based Costing: A Simpler and More Powerful Path to
Higher Profits, p. 68.

Dalam fase preparation, executive sponsor dan steering committee menentukan


tujuan spesifik permodelan. Kemudian menentukan skup model, biasanya sebagai
pilot karena dinilai lebih menguntungkan dengan resiko kegagalan kecil. Selanjutnya
tim mengestimasi jadwal kerja, biaya, dan sumber data. Dalam tahap pembentukan
tim harus diperhatikan komposisi keahlian dan komitmen anggota. Sebagai contoh
ATB Financial yang kurang mulus dalam implementasi TDABC akibat kurangnya
komitmen anggota tim dan dukungan manajemen. Pada fase analysis dibutuh akses
data transaksi dan order secara detil dan spesifik. Selanjutnya dilakukan capture
variasi cost object dengan mengekstrak file buku besar dan transaksi. Hal ini tentunya
sangat membutuhkan kerja sama dengan bagian keuangan dan akuntansi. Pada fase ini
dilakukan estimasi process time equation. Fase pilot modeling dapat dikatakan
sebagai fase inti karena di sini dilakukan penggerakan daat biaya departemen dan
proses (resource) ke cost object. Pembentukan model dapat dilakukan melalui
software spreadsheet stand alone atau ERP dan diakhiri dengan proses validasi model
secara finansial (rekonsiliasi dengan buku besar) dan operasi (akurasi estimasi time
equation). Pada fase terakhir (rollout) diasumsikan telah terbentuk sebuah model yang
menjadi template yang siap untuk diaplikasikan ke area lain dalam perusahaan.
Sama halnya dengan ABC, TDABC sebagai pengembangan dari ABC
konvensional merupakan alat dari cost management yang memiliki pengaruh cukup
signifikan dalam pencapaian strategi dan tujuan perusahaan. Dengan kesederhanaan
kemudahan, serta keuntungan-keuntungan lain dari implementasinya, tidak berlebihan
jika TDABC disebut sebagai penyederhana kompleksitas. Dalam penelitiannya,
Kaplan & Anderson (2007) mengungkap berbagai kisah sukses perusahaan-
perusahaan yang mengimplementasikan TDABC. Sebagai contoh adalah Compton
Financial yang berhasil meningkatkan harga saham, Kemps LCC yang mampu meraih
keuntungan $150.000 per tahun setelah mengimplementasikan TDABC, dan Jackson
State University yang mampu melakukan cost saving lebih dari 50% dibanding sistem
costing yang lama. TDABC memiliki performa yang jauh lebih baik dari ABC dalam
hal kecepatan, kesederhanaan, dan biaya sehingga proses SCM tentu saja akan
menjadi jauh lebih baik. Namun pihak perusahaan tetap perlu memperhatikan
beberapa poin masalah yang mungkin dapat menghambat implementasi TDABC,
seperti kesiapan teknologi infrastruktur untuk mengintegrasikan data yang lebih luas
dan membangun model, dukungan manajemen, budaya organisasi serta kualitas dan
kemampuan tim desainer.

PERTIMBANGAN TDABC
TDABC dapat dipandang sebagai satu inovasi startegis yang sangat
menguntungkan bagi perusahaan. Penyederhaan sistem ABC konvensional menjadi
alat perhitungan teknis yang lebih akurat cukup menarik perhatian berbagai
perusahaan yang diungkap oleh Kaplan & Steven (2007). Selain berbagai keuntungan
TDABC yang telah diungkap pada bagian sebelumnya, kemampuannya untuk
diintegrasikan dengan sistem manajemen dan sistem informasi yang telah ada dalam
perusahaan akan mempermudah implementasinya. Implementasi TDABC pada
prinsipnya juga tidak berbeda jauh dengan implementasi ABC generasi sebelumnya.
Dari keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh, TDABC menyimpan
berbagai pertimbangan dan konsekuensi yang perlu diperhatikan sebelum
memutuskan untuk mengadopsi TDABC. Sebagai alat penunjang sistem manajemen
biaya, TDABC perlu didukung sistem informasi yang baik. Tanpa dukungan sistem
informasi yang akurat dan dapat dipercaya, TDABC pada akhirnya tidak akan efektif
karena data yang akan diolah (input) dalam aplikasi TDABC merupakan hasil
pengolahan (output) dari sistem informasi. Sebagai alat yang mampu diintegrasikan
dengan seluruh sistem perusahaan, tentu saja investasi aplikasi TDABC akan menjadi
material bagi perusahaan. Untuk itu, pihak manajemen harus mampu memprediksi
cost and benefit dari investasi TDABC. Di samping itu aspek psikologis akibat
kesulitan implementasi dan aplikasi ABC konvensional yang masih melekat pada
TDABC akan menjadi perhatian khusus desainer sistem yang merekomendasikan
TDABC. Jadi, TDABC akan berkontribusi terhadap efisiensi dalam SCM jika pihak
manajemen telah memastikan adanya keuntungan yang akan diperoleh melebihi biaya
yang akan dikeluarkan, khususnya dalam perspektif sistem informasi dan infrastruktur
teknologi.

KESIMPULAN
Costing sebagai salah satu bagian dari enterprise wide system perlu mendapat
perhatian khusus karena biaya merupakan elemen yang sangat penting bagi
pencapaian profit perusahaan (yang berorientasi pada laba). Kesalahan dalam
perhitungan biaya akan berakibat fatal terhadap performa perusahaan yang akhirnya
berdampak pada penilaian stakeholder. Kajian teori ini berusaha memperjelas dan
mempertegas peran dari sistem costing revolusioner, TDABC dalam proses Stratgic
Cost Management sebagai alat penunjang pencapaian strategi perusahaan. Kajian ini
memberikan kontribusi dengan membangun paradigma tentang peran biaya dalam
pencapaian strategi, khususnya melalui cost leadership. Kajian ini juga akan
mengungkap keandalan TDABC dalam merespon perubahan, kompleksitas, dan
melakukan penyesuaian dan integrasi terhadap sistem informasi perusahaan yang
telah berdiri. Dalam era persaingan global dan ekonomi informasi, perusahaan harus
mampu menciptakan keunggulan bersaing dengan menciptakan strategi, dalam hal ini
adalah cost leadership melalui proses SCM yang baik yang ditunjang oleh sistem
informasi dan proses costing yang akurat, tepat, cepat, dan mampu menunjang
pengambilan keputusan strategis. Paradigma SCM terbangun dari 3 elemen kunci,
yaitu analisis VC, analisis positioning strategis, dan analisis cost driver. Dengan
pemahaman dan konsentrasi pada ketiga kunci tersebut, diharapkan proses SCM
sebagai alat pencapaian strategi dapat berjalan dengan lebih efektif.
Pada awalnya, standard costing berkembang untuk meningkatkan efisiensi dan
kecepatan pengambilan keputusan harga. Standard costing menghitung ketiga
komponen biaya produksi berdasarkan standar yang dibuat. Kompleksitas dan
pertumbuhan persaingan yang makin ketat dan global, mengakibatkan perusahaan
mengalami kesulitan dalam aplikasi sistem tersebut khususnya pada perusahaan yang
berbentuk korporat, terdiri dari unit bisnis, atau dengan produk yang terdiversifikasi.
Untuk merespon kendala tersebut, dikembangkan ABC. ABC mampu menyediakan
desainer sistem costing dengan cara yang berbeda dan lebih akurat, fokus pada atensi
manajerial, dan perubahan perilaku (Reeve, 2000). Untuk meningkatkan keakuratan
penentuan biaya, ABC dapat dikolaborasikan dengan ABM melalui analisis aktivitas,
peningkatan aktivitas, dan pengukuran performa. Kompleksitas ABC memang mampu
menunjang keakuratan data biaya, namun di sisi lain kondisi ini justru menjadikan
ABC sangat lama untuk diaplikasikan, membutuhkan biaya yang besar, sulit untuk
dimodifikasi, dan menjadi sangat tidak efisien ketika era informasi membutuhkan
dukungan kecepatan proses informasi dalam perusahaan. Hal inilah yang membuat
pihak manajemen perusahaan enggan menerapkan ABC dan kembali pada sistem
traditional costing yang sederhana. Untuk mengantisipasi segala kendalan pada
sistem ABC, dikembangkan TDABC.
TDABC memudahkan perusahaan untuk meningkatkan proses sistem cost
management. Informasi biaya yang dihasilkan akan lebih akurat walaupun
berdasarkan proses dan aktivitas yang sangat beragam dan spesifik. TDABC
menghitung cost driver rate berdasarkan practical capacity dari resources yang
tersedia, mengukur atau mengestimasi jumlah waktu untuk sebuah aktivitas. Jumlah
transaksi sangat fundamental bagi perhitungan TDABC. Dalam aplikasinya, TDABC
memiliki satu kelebihan terkait dengan compatibility-nya untuk diintegrasikan dengan
sistem-sistem yang telah ada di perusahaan seperti Activity-Based Budgeting,
program-program JIT atau Sig Sigma, bahkan dengan SCM dan CRM. Proses
implementasi TDABC dilakukan melalui 4 fase penting dalam implementasi TDABC,
yaitu preparation, analysis, pilot modeling, dan rollout. TDABC memiliki performa
yang jauh lebih baik dari ABC dalam hal kecepatan, kesederhanaan, dan biaya
sehingga proses SCM dalam menunjang penciptaan keunggulan bersaing dalam
pencapaian strategi dan tujuan perusahaan akan menjadi jauh lebih baik. Pada
akhirnya, kesederhanaan kemudahan, serta keuntungan-keuntungan lain dari
implementasinya menjadikan TDABC sebagai alat untuk menyederhanakan
kompleksitas SCM dalam pencapaian strategi.
Sebagai alat penunjang sistem manajemen biaya, TDABC perlu didukung
sistem informasi yang baik karena data yang akan diolah (input) dalam aplikasi
TDABC merupakan hasil pengolahan (output) dari sistem informasi. Sebagai alat
yang mampu diintegrasikan dengan seluruh sistem perusahaan, tentu saja investasi
aplikasi TDABC akan menjadi material bagi perusahaan. Untuk itu, pihak manajemen
harus mampu memprediksi cost and benefit dari investasi TDABC.

DAFTAR PUSTAKA

__________, 2007, Lead Software, Inc., 158 Greenfield Drive, Suite 100 -
Bloomingdale, IL 60108.
Ali, Adam M., 2004, Strategic Cost Management: Take it from the Top, FMI Journal,
vol. 15, no. 2.
Barrett, Richard, 2007, The 1-2-3 of ABC Methodologies: Time Splits, Time Capture,
and Time Driven, Business Objects, www.businessobjects.com.
Cokins, Gary, 2004, Performance Management: Finding The Missing Pieces (to Close
The Intelligence Gap), John Willey & Sons, Inc.
Cooper, Robin, 1995, When Lean Enterprise Collide: Competing Through
Confrontation, Harvard Business School, Press, Boston, Massachusetts.
David, Fred, 2005, Strategic Management: Concepts and Cases, 10th ed., Pearson,
Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Gunasekaran, A.; McNeil, R. & Singh, D., 2000, Activity-Based Management In A
Small Company: A Case Study, Production Planning & Control, 2000, vol. 11,
no. 4, p. 391 – 399.
Kaplan, Robert S. & Anderson, Steven R., 2007, Time-Driven Activity-Based Costing:
A Simpler and More Powerful Path to Higher Profits, Harvard Business School
Press.
Kaplan, Robert S & Cooper, Robin, 1998, Cost & Effect: Using Integrated Cost
Systems to Drive Profitability and Performance, Harvard Business School
Press, Boston, Massachusetts.
Porter, Michael E., 1979, How Competitive Forces Shape Strategy, Harvard Business
Review (March-April).
Porter, Michael E., 2007, Value Chain Framework of Micahel Porter,
www.valuebasedmanagement.net .
Reeve, James M., Readings and Issues in Cost Management 2nd ed., 2000 South-
Western College Publishing, Thompson Learning.
Romney, Marshall B. & Steinbart, Paul John, 2006, Accounting Information Systems
10th ed., Pearson, Prentice Hall.
Shank, John K. & Govindarajan, Vijay, 1993, Strategic Cost Management: The New
Tool for Competitive Advantage, The Free Press, a Division of Macmillan, Inc.,
New York.

TUGAS MAHASISWA

MEMBUAT PERBANDINGAN YANG TERKAIT DENGAN PENGKOSTINGAN


ANTARA METODE KONVENSIONAL, ABC DAN TDABC (BOLEH DALAM
BENTUK RERANGKA KONSEPTUAL ATAU NARASI)

KETENTUAN :
1. DIKERJAKAN SECARA INDIVIDU, DITULIS TANGAN DIKERTAS
FOLIO BERGARIS MAXIMAL 2 HALAMAN FOLIO
2. DIKUMPULKAN PALING LAMBAT SENIN JAM 12 SIANG

You might also like