You are on page 1of 11

ADOPSI ANAK :

tata cara dan akibat hukumnya

Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak
mempunyai anak
dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi
mereka yang
memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Apa langkah-langkah
tepat
yang harus diambil agar anak angkat tersebut mempunyai kekuatan hukum?

1. Pihak yang dapat mengajukan adopsi

a. Pasangan Suami Istri


Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun
1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan
permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No.
41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus
kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya
sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.

b. Orang tua tunggal

1. Staatblaad 1917 No. 129


Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain
memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang
pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah
meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki
pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.

Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan
hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak
perempuan.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983


Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak
antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung
dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang
pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak
terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda
belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi
anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.

2. Tata cara mengadopsi


Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan
pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu
berada.

Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan
diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .

3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
- motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak
tersebut.
- penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.

Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, Anda juga harus membawa dua orang saksi yang
mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang
yang mengetahui betul tentang kondisi anda (baik moril maupun materil) dan memastikan
bahwa Anda akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.

4. Yang dilarang dalam permohonan


Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan
anak, yaitu:
- menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
- pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.

Mengapa?
Karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada
permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari
pemohon, atau berisi pengesahan saja.

Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan Anda, maka Anda perlu
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti
yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan
memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan Anda dan kemungkinan
masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan
Rumah, deposito dan sebagainya.

5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil


Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan
Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke
kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte
tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan
pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.

6. Akibat hukum pengangkatan anak


Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.

a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang
tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama
Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua
kandungnya atau saudara sedarahnya.

b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang
bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

· Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan
anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya.
Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak
atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak
merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam
keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan
meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak
Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).

· Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan
darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap
menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari
ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum,
AKAPRESS, 1991)

· Peraturan Per-Undang-undangan :
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut
secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan
dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut
Persyaratan mengadopsi anak secara legal berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No
41/HUK/Kep/VII/1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Antara lain,
pertama, pasangan harus berstatus menikah dengan usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun.

Kedua, minimal pasangan yang akan mengadopsi anak telah menikah lima tahun saat pengajuan.
Pasangan tersebut harus menyerahkan dokumen secara tertulis berisikan keterangan, seperti: tidak
memungkinkan memiliki anak kandung dari dokter ahli, tidak memiliki anak, memiliki satu anak
kandung, atau hanya memiliki seorang anak angkat, tetapi tidak mempunyai anak kandung.

Ketiga, harus memiliki kondisi keuangan dan sosial mapan dengan menyerahkan surat keterangan
dari negara asal pasangan tersebut. Keempat, memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah
negara asal pemohon (berlaku bagi pasangan yang bukan Warga Negara Indonesia (WNI).

Kelima, surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian. surat keterangan dokter yang menyatakan
pasangan tersebut adalah sehat secara jasmani dan rohani. Keenam, telah menetap sekurang-
kurangnya tiga tahun di Indonesia yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat yang
berwenang (berlaku bagi pasangan yang bukan WNI.

Ketujuh, terang dia, telah merawat dan memelihara anak yang akan diadopsi tersebut sekurang-
kurangnya enam bulan untuk anak balita, dan satu tahun untuk anak yang berumur tiga sampai lima
tahun. Kedelapan, surat pernyataan secara tertulis yang menyatakan bahwa pengangkatan tersebut
memang semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak yang bersangkutan.

Kesembilan, adopsi anak tidak hanya berlaku bagi pasangan suami istri, tetapi juga dibolehkan untuk
wanita atau pria yang masih lajang asalkan mempunyai motivasi yang kuat untuk mengasuh anak.
Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI)
terdiri dari beberapa jenis (disarikan dari Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak
terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, hal 7-17), yaitu:
1. Pengangkatan Anak antar warga negara Indonesia (Domestic Adoption);
2. Pengangkatan Anak secara langsung (Private Adoption);
3. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal (Single Parent);
4. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat.

Kami tidak akan membahas semua prosedurnya satu persatu, kami ambil contoh salah
satunya adalah untuk pengangkatan anak antar WNI. Lebih jauh mengenai pengangkatan
anak dapat Anda baca dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak atau
dalam ketentuan-ketentuan yang mengaturnya yang kami sebutkan pada akhir dari artikel
ini.

1. Persyaratan dan Prosedur Pengangkatan Anak antar warganegara Indonesia


(Domestic Adoption).
Kategori Calon Orang Tua Angkat
Orang tua lengkap yakni:
a. Suami dan Istri Warga Negara Indonesia (WNI); atau
b. Suami WNI, dan Istri Warga Negara Asing (WNA).

Persyaratan Pengangkatan Anak (Pasal 12 & Pasal 13 PP No. 54 Tahun 2007


tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak)
Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.

Usia anak angkat sebagaimana dimaksud di atas meliputi:


a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun,
c. sepanjang ada alasan mendesak; dan
d. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan
belas)
e. tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:


a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh
lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Prosedur Pengangkatan Anak


a. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial
Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
1) Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial;
2) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada
Organisasi Sosial (orsos);
3) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat;
4) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri
calon orang tua angkat;
5) Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;
6) Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat;
7) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter
Pemerintah;
8) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter
Psikiater;
9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja.
b. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas
Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup;
2) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri);
3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat.
c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga
calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka
calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat
mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada
calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi social tingkat
Kabupaten/Kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar
belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal).
d. Proses Penelitian Kelayakan
e. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah
f. Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota bahwa
calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan
ketetapan sebagai orang tua angkat.

(Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri tempat anak yang akan
diangkat itu berada (berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun
1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai
Pengangkatan Anak). Pengadilan Agama juga dapat memberikan penetapan
anak berdasarkan hukum Islam (berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama).

Untuk proses pemeriksaan oleh pengadilan, Anda perlu mempersiapkan


sedikitnya dua orang saksi untuk memperkuat permohonan Anda dan
meyakinkan pengadilan bahwa Anda secara sosial dan ekonomis, moril maupun
materiil mampu menjamin kesejahteraan anak yang akan diangkat.

Informasi lainnya terkait proses dan biaya, Anda dapat menanyakan kepada
panitera di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama terdekat.

g. Penetapan Pengadilan.
h. Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan.
Artikel lain terkait adopsi yang dapat Anda baca:
- Urus Surat-suratnya Setahun, Sidangnya 45 Menit dan
- Hukum Indonesia Melarang Adopsi Anak oleh Pasangan Sejenis.

2. Terhadap anak yang akan diadopsi, berdasarkan Staatblaad 1917 No. 129, diatur
tentang pengangkatan anak yang hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya
dapat dilakukan dengan Akta Notaris. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan
anak bagi orang-orang Tionghoa yang, selain memungkinkan pengangkatan anak oleh
Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau
janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami
meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda
tersebut tidak dapat melakukannya.

Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki
dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun, Yurisprudensi (Putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan
mengangkat anak perempuan (dikutip dari artikel Adopsi Anak oleh Lembaga Bantuan
Hukum APIK).

yang Saudara maksud dengan menambah nama dapat kami artikan sebagai perubahan nama. Memang benar
untuk pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan, hal ini dapat kita lihat dari
ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU
No. 23/2006”) jo. Pasal 93 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres No. 25/2008”) yang menyatakan
demikian:

Pasal 52 ayat (1)UU No. 23/2006


“Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri tempat
pemohon”.

Pasal 93 ayat (2)Perpres No. 25/2008


“Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi
syarat berupa:
a. Salinan penetapan pengadilan negeri tentang perubahan nama;
b. Kutipan Akta Catatan Sipil;

c. Kutipan Akta Perkawinan bagi yang sudah kawin;

d. Fotokopi KK; dan

e. Fotokopi KTP.”

Jadi dalam rangka penambahan nama atau disebut dengan Pencatatan Perubahan Nama Saudara, hanya
dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan, dengan terlebih dahulu membuat surat permohonan
seperti yang Saudara maksud di atas agar dapat dikeluarkan suatu bentuk penetapan dari Pengadilan Negeri di
tempat pemohon (Saudara) ajukan perubahan nama. Salinan penetapan yang sudah dikeluarkan tersebut menjadi
salah satu syarat yang wajib dilampirkan oleh Saudara ketika melaporkan pencatatan perubahan nama di
Instansi Pelaksana yang menerbitkan Akta Pencatatan Sipil yaitu Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Untuk
selanjutnya Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta
Pencatatan Sipil.

Permohonan yang diajukan oleh pemohon sebaiknya dibuat secara tertulis meskipun dalam hal pemohon tidak
pandai menulis, maka permohonan dapat diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan untuk dicatat maupun
menyuruh untuk mencatat. Hal ini diatur dalam Pasal 118 ayat (1) dan Pasal 120 Herziene Indonesisch
Reglement (“HIR”) yang menjelaskan :

Pasal 118 ayat (1) HIR:

“Tuntutan sipil, yang mula-mula harus diadili oleh pengadilan negeri, dimasukkan dengan surat
permintaan yang ditandatangani oleh orang yang menggugat, ………”

Pasal 120 HIR:

“Jika orang menggugat tidak pandai menulis, maka tuntutan boleh diadukan dengan lisan kepada
ketua pengadilan negeri : ketua itu mencatat tuntutan atau menyuruh mencatatnya."

Dari dua pasal di atas dapat dilihat bahwa surat gugatan/permohonan dapat dilakukan secara tertulis dan lisan.
Menurut Yahya Harahap di dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 49) bahwa gugatan yang paling
diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Mengenai gugatan lisan pada Pasal 120 HIR di dalam
bukunya “Komentar HIR” (hal. 102) Mr. R. Tresna menjelaskan bahwa pasal tersebut hanya untuk
“memudahkan orang yang mencari pengadilan, yang buta huruf, agar mereka tidak menjadi korban dari
orang-orang yang tidak jujur, yang meminta ongkos besar untuk menerbitkan surat permintaan dan mengurus
perkara.” Untuk itu maka permohonan Saudara kepada pengadilan negeri sebaiknya dibuat secara tertulis,
apabila Saudara tidak dalam kategori buta huruf. Mengenai apakah diketik atau ditulis tangan, maka saran kami
agar surat permohonan tersebut diketik. Hal ini untuk mengantisipasi permohonan Saudara tidak dapat
diterima oleh hakim, dikarenakan gugatan saudara tidak jelas terbaca.

Selanjutnya mengenai saksi yang Saudara tanyakan, dapat kami simpulkan bahwa saksi yang Saudara maksud
adalah saksi yang akan memberikan kesaksian untuk perisitiwa mengenai Saudara yang dia sendiri tidak tahu,
artinya kesaksian tersebut adalah palsu. Kesaksian menurut Pasal 1907 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan:

“Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan, alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang
diterangkan. Pendapat-pendapat maupun perkiraan-perkiraan khusus, yang diperoleh dengan jalan
pikiran, bukanlah kesaksian.”

Untuk itu tidak disarankan Saudara mencari saksi baik di dalam maupun dari luar pengadilan dengan cara
membayar, karena orang yang ingin Saudara hadirkan untuk didengar keterangannya adalah tidak termasuk
dalam kategori saksi yang diatur oleh undang-undang.

Oleh sebab itu Saudara harus menghadirkan saksi-saksi dari kerabat sekitar yang memang mengetahui alasan-
alasan permohonan tersebut di Pengadilan Negeri. Apabila Saudara menghadirkan saksi dengan cara membayar
atau menghadirkan saksi yang akan bersaksi tetapi dia tidak tahu tentang terang peristiwa yang dimaksud maka
orang yang memberikan kesaksian tersebut dapat diancam telah melakukan tindak pidana memberikan
Keterangan Palsu dan Sumpah Palsu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 242 ayat (1)Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan sebagai berikut:
“Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di
atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja
memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh
kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

erima kasih atas pertanyaan Anda.

Kami menggarisbawahi bahwa berdasarkan pertanyaan Anda terdapat “kesalahan


tempat lahir” yaitu dimana secara fakta Anda lahir di rumah sakit di Jakarta sedangkan
pada akta ditulis Anda lahir di Tangerang yang selanjutnya mengakibatkan keterangan
tempat lahir pada akta kelahiran dan identitas Anda tidak benar.

Atas kesalahan pencantuman tempat lahir tersebut, kami menyimpulkan bahwa Anda
ingin mengubah pencantuman tempat lahir pada akta dan KTP.

Yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah apakah kesalahan pencantuman tempat lahir
termasuk kesalahan redaksional atau bukan. Kemudian apabila bukan, maka apakah
penggantian tempat lahir dapat diajukan melalui permohonan ke pengadilan atau tidak.

Kesalahan Pencantuman Tempat Lahir = Kesalahan Redaksional?

Terkait pembetulan tempat lahir dalam KTP, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) mengatur
bahwa pembetulan KTP hanya dilakukan untuk KTP yang mengalami kesalahan tulis
redaksional. Yang dinamakan dengan kesalahan redaksional adalah kesalahan penulisan
huruf dan/atau angka.1[1]

Contohnya, A lahir di Jakarta, pada tanggal 1 Januari 2001, namun demikian pada akta
tertulis 11 Januari 2001. Contoh lainnya A dan B memiliki anak diberi nama Abdullah,
namun demikian di akta tertulis Abdillah atau A lahir di Tangerang namun di akta tertulis
Tanggerang.

Dengan merujuk kepada permasalahan Anda maka kesalahan pencantuman tempat lahir
Anda bukan merupakan kesalahan redaksional.
Penggantian Tempat Lahir Dalam Akta Dapat Diajukan Melalui Permohonan Ke
Pengadilan?
Sebelumnya kami ingin menginformasikan bahwa permohonan perubahan data pada
akta kelahiran yang diatur secara tegas dan jelas hanyalah perubahan nama yaitu
berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Adminduk. Namun demikian, merujuk kepada
beberapa situs pengadilan negeri yang menentukan perkara yang dapat diajukan
permohonan, permohonan memperbaiki kesalahan dalam akta kelahiran termasuk salah
satu perkara yang dapat diajukan permohonan. Maka, pengajuan permohonan
perubahan tempat lahir diperbolehkan melalui pengadilan.

Hal ini terjadi pula di Sidoarjo sebagaimana tercantum dalam Penetapan Pengadilan
Sidoarjo Nomor: 193/Pdt.P/2014/PN.Sda yang memiliki perkara serupa dengan Anda
yaitu memohon perubahan tempat lahir akibat kesalahan pencantumannya.

Untuk dapat mengajukan permohonan perubahan tempat kelahiran pada pengadilan,


maka Anda harus membawa bukti-bukti yang mendukung seperti surat keterangan lahir
dari rumah sakit dimana Anda dilahirkan dan surat kenal lahir dari Kelurahan.

Yang Harus Dilakukan Setelah Mendapatkan Penetapan Pengadilan


Pasal 56 UU Aminduk menyatakan sebagai berikut :

(1) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil
atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan
pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan penetapan
pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan
Peristiwa Penting lainnya diatur dalam Peraturan Presiden.

Merujuk kepada Pasal 56 UU Adminduk tersebut di atas, setelah Pemohon mendapatkan


penetapan dari Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka
dalam waktu 30 hari sejak diterimanya penetapan Pengadilan Negeri tersebut Pemohon
dapat mendaftarkan perubahan tempat lahirnya tersebut kepada Catatan Sipil yang
menerbitkan akta Pencatatan Sipil.

Selanjutnya mengenai prosedur pencatatan perubahan tempat lahir (peristiwa penting)


berdasarkan Pasal 97 ayat (4) Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres
25/2008”), adalah sebagai berikut:

1. Pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya


dengan melampirkan persyaratan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana.
Persyaratannya yaitu:2[2]
a. penetapan pengadilan mengenai peristiwa penting lainnya;
b. KTP dan KK yang bersangkutan; dan
c. Akta Pencatatan Sipil yang berkaitan peristiwa penting lainnya.

2. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana
melakukan verifikasi dan validasi berkas pelaporan peristiwa penting lainnya, dan
mencatat serta merekam dalam register peristiwa penting lainnya pada database
kependudukan;
3. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana
membuat catatan pinggir pada Register Akta Pencatatan Sipil dan Kutipan Akta
Pencatatan Sipil.

Untuk akta kelahiran Anda nantinya akan tetap sama dengan akta kelahiran yang lama,
namun akan ditambahkan catatan pinggir oleh petugas catatan sipil mengenai
perubahan tempat lahir tersebut. Dengan akta kelahiran tersebut, Anda dapat mengurus
perubahan data tempat lahir Anda pada surat-surat, seperti KTP, sertipikat tanah, surat-
surat sehubungan perbankan, dan lain sebagainya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Terima kasih.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan


sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013;

2. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

You might also like