You are on page 1of 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (M.tb), yang diisolasi oleh Robert Koch

pada tahun 1882, tetapi telah mempengaruhi populasi dunia selama

ribuan tahun (Semedo, 2005). Penyakit ini memiliki gejala yang

bervariasi (Mansjoer, 2005). Meskipun dapat menyerang hampir

semua organ tubuh, namun kuman TB lebih sering menyerang organ

paru (80-85%) (Depkes RI, 2008). Tidak hanya M.tb yang dapat

menginfeksi, namun Mycobacterium bovis dan Mycobacterium

africanum yang ketiganya merupakan anggota ordo Actinomycetales

dan famili Mycrobacteriaceae. Tempat masuk kuman ini adalah

melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka

pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui

inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang

berasal dari orang yang terinfeksi (Amin, 2006; Mudihardi, 2005).

2.1.2. Mycobacterium tuberculosis

Klasifikasi Mycobacterium tuberculosis (Jawetz, 2005):

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

5
6

Order : Actinomycetales

SubOrder : Corynebacterineae

Family : Mycobacteriaceae

Genus : Mycobacterium

Species : Mycobacterium tuberculosis

M.tb berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak

berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 mm

dan panjang 1-4 mm. Bakteri berbentuk batang ini juga mempunyai

sifat tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut

basil tahan asam (BTA). Dindingnya terdiri dari asam lemak dan lipid

(Achmadi, 2011). Penyusun utama dinding sel M.tb ialah asam

mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut cord factor,

dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam

mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang

dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan

dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang

terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti

arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang

kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tb lebih tahan asam

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

M.tb akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat

bertahan beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan

tubuh bakteri ini dapat dormant, tertidur beberapa tahun. Bakteri yang

hidup sebagai parasit intraselular di dalam jaringan, yaitu dalam


7

sitoplasma makrofag. Makrofag yang awalnya memfagosit justru

disukainya karena mengandung banyak lipid. Sifat lain bakteri ini

adalah aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2011).

Bila dijumpai BTA atau M.tb dalam dahak orang yang sering batuk,

maka orang tersebut di diagnosis sebagai pasien TB paru dan memiliki

potensi yang sangat berbahaya (Achmadi, 2011).

M.tb memang dapat bertahan hidup di tempat yang sejuk, lembab,

gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun, tetapi bakteri ini

akan mati jika terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan api

(Atmosukarto, 2000). Bakteri ini akan mati dalam 2 jam jika terkena

sinar matahari, akan mati oleh tinctura iodi dalam waktu 5 menit, oleh

ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit, dan mati dalam waktu 24 jam

oleh fenol 5% (Girsang, 1999).

M.tb akan tumbuh subur pada lingkungan dengan kelebaban yang

tinggi seperti halnya dengan bakteri lain pada umumnya. Air

membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri yang penting untuk

pertumbuhan dan kelangsungan hidup selnya (Gould, 2003).

Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk

bakteri-bakteri, termasuk M.tb (Notoatmodjo, 2006).

Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri M.tb

(Gibson, 1996; Tambajong, 2000; Atmosukarto, 2000). Bakteri ini

ditularkan melalui droplet nuclei. Seorang pasien TB dapat

menularkan 10-15 orang (Depkes RI, 2008).


8

2.1.3. Sistem Imun pada Tuberkulosis

Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan M.tb

(Barnes, 2000). Secara imunofenotipik sel T terdiri dari limfosit T

helper, disebut juga clusters of differentiation 4 (CD4) karena

mempunyai molekul CD4+ pada permukaannya, jumlahnya 65% dari

limfosit T darah tepi. Sebagian kecil (35%) lainnya berupa limfosit T

supresor atau sitotoksik, mempunyai molekul CD8+ pada

permukaannya dan sering juga disebut CD8 (Amin, 2006). Sel T

helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1

(Th1) dan sel T helper 2 (Th2). Subset sel T tidak dapat dibedakan

secara morfologik, tetapi dapat dibedakan dari perbedaan sitokin yang

diproduksinya (Baratawidjaja, 2000; Toews, 2001). Sel Th1 membuat

dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi interleukin-2 (IL-2), IL-12,

interferron gamma (IFN-γ) dan tumor necrosis factor alfa (TNF-α).

Sitokin yang dibebaskan oleh Th1 adalah aktivator yang efektif untuk

membangkitkan respons imun seluler melalui pola Th1. Sel Th2

membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-4, IL-5, IL-6,

IL-9, dan IL-10. Sitokin tipe 2 menghambat proliferasi sel Th1,

sebaliknya sitokin tipe 1 menghambat produksi dan pembebasan

sitokin tipe 2 (Handojo, 2001; Baratawidjaja, 2000; Zhang, 1995).

M.tb merupakan patogen intraseluler yang dapat bertahan hidup

dan berkembang biak di dalam makrofag. Makrofag dan limfosit T

sangat berperan penting dalam respon imun terhadap TB. Makrofag

alveolar memiliki reseptor khusus tool like receptors (TLRs) yang


9

dapat mengenali bahan-bahan asing seperti lipoprotein

mikobakterium. Makrofag memangsa M.tb dan menghasilkan sitokin,

khususnya IL-12 dan IL-18 yang akan merangsang pertumbuhan

limfosit T CD4+ melepaskan IFN-γ. IFN-γ penting dalam aktivasi

mekanisme mikrobisid makrofag dan merangsang makrofag

melepaskan TNF-α yang diperlukan dalam pembentukan granuloma.

Makrofag akan memproses antigen M.tb dan mempresentasikannya ke

limfosit T CD4+ (helper T cell) dan limfosit T CD8+ (cytotoxic T-

cell). Ini akan berbentuk ekspansi klonal dari limfosit T yang spesifik.

Responnya berupa tipe Th1 dengan sel CD4+, IFN-γ, dan IL-2

memainkan peranan penting (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2011).

Reaksi hipersensitiviti jaringan menghasilkan pembentukan

granuloma yang akan membatasi replikasi dan penyebaran

mikobakteria. Granuloma perkijuan adalah lesi patologik klasik TB.

Pada individu dengan imunokompromis reaksi hipersensitiviti

jaringan berkurang sehingga terjadi respon inflamasi non spesifik

dengan serbukan sedikit leukosit polimorfonuklear dan monosit dan

basil dalam jumlah besar tetapi tanpa bentukan granuloma

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

2.1.4. Prevalensi Tuberkulosis Paru

Pada tahun 1993, Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health

Organization) menyatakan TB paru sebagai kegawatdaruratan global


10

(Global Health Emergency) dengan perkiraan sepertiga penduduk

dunia terinfeksi oleh bakteri M.tb (Depkes RI, 2010).

WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta

pasien TB paru diseluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah pasien naik

menjadi 9,27 juta jiwa. Dan hingga tahun 2009 angka pasien TB paru

menjadi 9,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 1,8 juta jiwa meninggal

(600.000 diantaranya adalah perempuan) naik dari angka kematian

pada tahun 2007 yang berjumlah 1,77 jiwa. Setiap harinya terdapat

4.930 orang meninggal disebakan oleh TB paru (Depkes RI, 2010).

Laporan TB paru dunia oleh WHO tahun 2010, Indonesia

menempati urutan kelima di dunia untuk jumlah kasus TB setelah

India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Saat ini terdapat 430.000

kasus baru TB dengan kematian 61.000 orang. Angka ini menurun

dibandingkan tahun 2009 sebanyak 528.063 kasus baru TB, dengan

kematian 91.369. Estimasi prevalensi TB-HIV di Indonesia 2,8% dan

untuk kasus TB Multi Drug Resistant (MDR) 2% per tahun. Saat ini

98% Puskesmas dan 30% Rumah Sakit sudah menerapkan strategi

Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) dalam pelayanan

pengobatan TB (WHO, 2010).

Tabel 2.1 Estimasi Insidensi, Prevalensi dan Mortalitas

Tuberkulosis di Indonesia Tahun 1990 dan 2011

Kasus TB Tahun 1990 Tahun 2011


Insidensi semua tipe kasus TB 343 189
Prevalensi TB 423 289
Mortalitas 51 27
Sumber: Global Tuberculosis Control WHO Report 2011
11

Tabel 2.1 di atas memperlihatkan estimasi prevalensi, insidensi,

dan mortalitas TB yang dinyatakan dalam 100.000 penduduk tahun

1990 dan 2011 berdasarkan hasil perhitungan WHO dalam WHO

Report 2011 Global Tuberculosis Control (Ditjen PP&PL Kemenkes,

2012).

Angka insidensi semua tipe TB tahun 2011 sebesar 189 per

100.000 penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 (343

per 100. 000 penduduk), angka prevalensi berhasil diturunkan hampir

setengahnya pada tahun 2011 (423 per 100.000 penduduk)

dibandingkan dengan tahun 1990 (289 per 100.000 penduduk). Sama

halnya dengan angka mortalitas yang berhasil diturunkan lebih dari

separuhnya pada tahun 2011 (27 per 100.000 penduduk) dibandingkan

tahun 1990 (51 per 100.000 penduduk). Hal tersebut membuktikan

bahwa Program pengendalian TB berhasil menurunkan insidens,

prevalensi dan mortalitas akibat penyakit TB (Ditjen PP&PL

Kemenkes, 2012).

2.1.5. Patogenesis Tuberkulosis Paru

TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh respons imunitas

diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit. Respons ini

merupakan raksi hipersensitivitas tipe IV (selular atau lambat) (Pendit,

2007).

Awalnya, infeksi kuman dalam wujud droplet nuklei terhirup

masuk saluran nafas dan menuju paru-paru. Di paru-paru, mereka


12

akan bertemu makrofag jaringan dan neutrofil sebagai garis

pertahanan pertama. Sebagian dari mereka mati akibat difagosit

netrofil, terkena sekret makrofag dan terkena sekret saluran nafas. Bila

kuman difagosit oleh makrofag, ia akan tetap hidup karena kuman TB

bersifat intraseluler. M.tb merupakan BTA karena ia memiliki banyak

lipid yang membuatnya tahan terhadap asam, gangguan kimia dan

fisik. Kandungan lipid yang banyak dalam makrofag, dimanfaatkan

kuman untuk memperkuat dirinya (Amin, 2006; Mansjoer,2005;

Mudihardi, 2005).

Setelah infeksi TB primer, ada kemungkinan infeksi ini akan

sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan

meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotik, kalsifikasi hilus dan

di antaranya dapat kambuh kembali menjadi TB sekunder karena

kuman yang dormant ataupun akan menimbulkan komplikasi dan

menyebar baik dapat secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen

atau hematogen (Amin, 2006; Pendit, 2005).

Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB sekunder. TB sekunder

ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru

(Pendit, 2007).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyebutkan patogenesis TB

paru yaitu sebagai berikut:


13

1. Primer

Bakteri TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang

di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang penumonik

yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini

selanjutnya akan memperlihatkan peradangan di saluran getah

bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan itu diikuti

oleh pembesaran kelenjar getah bening (KGB) di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer primer dengan limfangitis dan

limfadenitis regional dikenal dengan kompleks primer. Kompleks

primer akan mengalami suatu keadaan sebagai berikut:

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

(resolution ad integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, antara lain:

sarang Ghon, garis fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus.

c. Menyebar dengan cara:

1) Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke sekitarnya.

Contohnya adalah epituberkulosis, yaitu suatu penekanan

bronkus. Biasanya kelenjar hilus yang membesar menekan

bronkus lobus medius sehingga menimbulkan obstruksi

pada saluran napas yang bersangkutan dan mengakibatkan

atelektasis serta menimbulkan peradangan pada bronkus

yang atelektasis.

2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang

bersangkutan maupun yang sebelahnya atau tertelan.


14

3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran

ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan

virulensi bakteri. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh

spontan, tetapi jika imunitas tidak adekuat maka

penyebaran akan menimbulkan keadaan yang lebih parah,

seperti TB milier, meningitis TB, Thypobacillosis

Landouzy. TB ini juga dapat menimbulkan TB pada

tempat lain, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia,

dan sebagainya.

Komplikasi dan penyebarannya mungkin akan berakhir

dengan sembuh dengan meninggalkan squalae, misalnya

keterlambatan pertumbuhan pada anak setelah mendapat

enselafomeningitis tuberkuloma atau meninggal (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2011).

2. Pasca Primer (Sekunder)

TB pasca primer atau sekunder biasanya terjadi setelah

beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer, misal karena

daya tahan tubuh menurun akibat HIV atau status gizi yang buruk.

Ciri khasnya adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya

kavitas atau efusi pleura (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2011).
15

2.1.6. Gejala-Gejala Tuberkulosis

Gejala-gejala yang menunjukkan penyakit TB paru yaitu sebagai

berikut:

1. Gejala utamanya adalah batuk terus-menerus dan berdahak selama

2-3 minggu atau lebih (Depkes RI, 2008).

2. Gejala tambahannya yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,

sesak napas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,

berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),

berkeringat pada malam hari meskipun tanpa kegiatan, dan demam

meriang lebih dari satu bulan (Amin, 2006; Bahar, 2006)

Gejala-gejala tersebut juga dijumpai pada penyakit paru selain TB,

oleh karena itu orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) dengan gejala seperti di atas harus dianggap “suspect

tuberculosis” atau tersangka pasien TB dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2006).

2.1.7. Klasifikasi Tuberkulosis

Penyakit TB dibagi menjadi 2 kelompok besar menurut lokasinya

yaitu:

1. TB paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu

sekitar 80% dari semua pasien. TB yang menyerang paru-paru ini

merupakan satu-satunya bentuk TB yang dapat menular.

2. TB ekstra paru merupakan TB yang menyerang organ tubuh selain

paru. Organ tersebut biasanya pleura, selaput otak, selaput jantung,


16

kelenjar limfe, tulang belakang, perut, persendian, kulit, usus,

ginjal, saluran kencing, organ reproduksi, dan lain-lain.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Hingga saat ini belum ada kesepakatan di antara para klinisi, ahli

radiologi, ahli patologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat

tentang keseragaman klasifikasi TB. Dari sistem lama diketahui

beberapa klasifikasi seperti:

1. Secara patologis

a. Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)

b. Tuberkulosis pasca primer/sekunder (adult tuberculosis)

2. Secara aktivitas radiologi

a. Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif

b. Tuberkulosis paru non aktif

c. Tuberkulosis quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)

3. Secara radiologi

Menurut ATS (American Thoracic Society), TB dibedakan

menjadi 3 yaitu sebagai berikut:

a. Minimal tuberkulosis. Terdapat sebagian kecil infiltrat

nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi

jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

b. Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan

diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus

tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak

lebih dari sepertiga bagian satu paru.


17

c. Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang

melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis

(Amin, 2006).

Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia membagi

TB menjadi 2 yaitu minimal tuberculosis dan advanced

tuberculosis.

2.1.8. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Mendiagnosis TB paru pada orang dewasa yaitu sebagai berikut:

1. Semua suspek TB diperiksa spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

2. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB Nasional,

penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sesuai dengan indikasinya.

3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering overdiagnosis.

4. Gambaran kelainan radiologi paru tidak selalu menunjukkan

aktivitas penyakit (Depkes RI, 2007; Depkes RI, 2008).


18

Pemeriksaan tambahan untuk mendiagnosis TB paru yaitu sebagai

berikut:

1. Radiologi

Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan

radiologi pada TB dapat dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya

foto toraks yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB

jika klinis dan pemeriksaan penunjang mendukung. Dengan

demikian foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk

mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier (Zevitz, 2006).

Secara umum, gambaran radiologi yang sugestif TB adalah

sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau

tanpa infiltrat

b. Konsolidasi segmental atau lobar

c. Milier

d. Kalsifikasi dengan infilrat

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Efusi pleura

h. Tuberkuloma

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara anteroposterior

(AP), tetapi harus disertai foto lateral, mengingat bahwa

pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas pada foto

lateral. Jika dijumpai ketidaksesuaian antara gambaran radiologi


19

yang berat dengan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai

TB (Zevitz, 2006).

2. Mikrobiologi

Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan bakteri TB pada

pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan mikrobiologi yang

dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis

apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan

M.tb. Pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak karena

sulitnya mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya,

dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari

berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopis

langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan

M.tb membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu.

Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih

cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan BACTEC (Battle Area

Clearence and Training Equipment Consultants), tetapi biayanya

sangat mahal dan secara teknologi lebih rumit. Selain itu dapat

juga digunakan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)

yang merupakan teknik amplifikasi urutan DNA yang spesifik.

Secara teori, dengan metode ini kuman yang berasal dari spesimen

bilas lambung akan dapat dideteksi meskipun hanya ada satu

bakteri M.tb pada bahan pemeriksaan sehingga diharapkan

sensitivitasnya cukup tinggi (Zevitz, 2006).


20

3. Patologi Anatomi

Pemeriksaan patologi anatomi (PA) dapat menunjukkan

gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari

agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma

tersebut mempunyai karakterisik perkijuan atau area nekrosis

kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya

ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia langhans).

Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan

perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia langhans.

Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA (Zevitz, 2006).

4. Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya

tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat TB mulai (aktif) akan

didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung

jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal,

dan laju endap darah (LED) mulai meningkat. Jika penyakit mulai

sembuh, jumlah leukosit mulai normal dengan limfosit yang masih

tinggi dan LED mulai turun ke arah normal lagi (Zevitz, 2006).

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan anemia ringan dengan

gambaran normokrom normositer, γ-globulin meningkat, dan

kadar natrium darah menurun (Zevitz, 2006).

Pemeriksaan serologis yang banyak juga digunakan yaitu

Peroksidase Anti Peroksida TB (PAP-TB). Beberapa peneliti

mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi


21

(85-95%). Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan adanya

antibodi immunoglobulin G (IgG) yang spesifik terhadap antigen

M.tb. Antigen dipakai adalah polimer sitoplasma M.tuberculin var

bovis BCG (Bacille Calmette-Guerin) yang dihancurkan ultrasonik

dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan

patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB

positif. Hasil positif palsu kadang masih didapatkan pada pasien

reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG (Zevitz,

2006).

5. Sputum

Pemeriksaan ini sangat penting karena dengan ditemukannya

BTA, diagnosis TB sudah dapat diapstikan. Selain itu,

pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap

pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini murah dan

mudah, namun kadang sulit untuk mendapatkan sputum, terutama

untuk pasien yang tidak batuk atau batuk tetapi tidak produktif.

Satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum

air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan refleks batuk. Dapat juga

dengan memberikan obat mukolitik, ekspektoran atau inhalasi

larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. BTA dari sputum

disa juga didapatkan dengan bilas lambung (Zevitz, 2006).

Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak

terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala


22

dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto

toraks (Zevitz, 2006).

2.2. C-Reactive Protein

2.2.1. C-Reactive Protein

C-Reactive Protein (CRP) adalah suatu α-globulin yang diproduksi

di hepar dan kadarnya akan meningkat dalam 4-6 jam di dalam serum

bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar CRP dalam darah dapat

meningkat 2 kali lipat sekurang-kurangnya 8 jam dan mencapai

puncaknya dalam 36-50 jam setelah inflamasi (Ermin, 2005; Reeves,

1998; Carlan, 2006). Kadar CRP akan terus meningkat seiring dengan

proses inflamasi yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan.

Apabila terjadi penyembuhan akan terjadi penurunan kadar CRP

secara cepat oleh karena CRP memiliki masa paruh 4 sampai 7 jam

(Carlan, 2008; Suhendro, 2004). Setelah pengobatan yang efektif dan

rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya,

kira-kira 5-7 jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen (Ermin,

2005; Reeves, 1998). Kinetik metabolisme CRP sejalan dengan

derajat peradangan dan derajat penyembuhan yang terjadi. Oleh

karena itu CRP sangat baik untuk menilai aktivitas penyakit dalam

keadaan akut. Pemeriksaan ini relatif tidak mahal dan dapat diperoleh

hasilnya dalam waktu cepat serta tidak memerlukan volume darah

yang banyak (Carlan, 2008; Jaye, 1997).


23

Trauma atau infeksi pada jaringan mengakibatkan terjadi

serangkaian reaksi dengan tujuan untuk mencegah kerusakan jaringan

lebih lanjut dan mengaktifkan proses perbaikan. Rangkaian proses

tersebut disebut proses inflamasi dan reaksi yang mengawali adalah

suatu respon fase akut (acute phase response) (Suhendro, 2004; Jaye,

1997).

Sel yang mengawali proses inflamasi pada umumnya adalah sel

makrofag dan sel monosit. Sel tersebut melepaskan sitokin seperti IL-

1 dan TNF yang akan mengontrol migrasi leukosit masuk ke dalam

jaringan dan menimbulkan proses inflamasi, sehingga terjadi demam

dan leukositosis. Inflamasi tersebut juga akan mempengaruhi aktivitas

hati. Sitokin pro inflamasi seperti IL-1 dan TNF merangsang sel

hepatosit untuk meningkatkan produksi protein fase akut seperti CRP

dan serum protein amiloid A. Protein tersebut merefleksikan proses

inflamasi sehingga terjadi peningkatan sampai 1000 kali dari kadar

normal (Suhendro, 2004).

CRP merupakan petanda radang (inflammatory marker) dimana

substansi ini akan muncul jika tubuh mengalami respon peradangan.

Kadar CRP di dalam darah menunjukkan adanya proses peradangan

pada tubuh, tetapi tidak dapat diketahui penyebab dan lokasinya

(Nelson, 1999; Reeves, 1998; Mansjoer, 2005).

CRP bereaksi dengan C-polisakarida yang terdapat pada

pneumokokus. Semula disangka bahwa timbulnya protein ini

merupakan respons spesifik terhadap infeksi pneumokokus, tetapi


24

ternyata protein ini adalah suatu reaktan fase akut, yaitu indikator

nonspesifik untuk inflamasi, sama halnya dengan LED. Berbeda

dengan LED, CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau

hiperglobulinemia. Pada pasien dengan inflamasi yang berkaitan

dengan kelainan imunologis, kadar CRP kembali normal bila

pengobatan immunosupresif berhasil (Ermin, 2005; Reeves, 1998).

Kadar CRP dapat berbeda dari berbagai laboratorium, tetapi

menurut standar Internasional kadar normal CRP adalah 0-1,0 mg/dL

atau < 10 mg/L (SI unit) (Nissl, 2004).

Kadar CRP biasanya meningkat 6-8 jam setelah demam dan

mencapai puncak 24-48 jam. Pada orang normal kadar CRP <5 mg/L

dan dapat meningkat 30 kali dari nilai normal pada respon fase akut.

CRP dipakai untuk:

1. Memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu

penyakit.

2. Mendeteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.

3. Membedakan antara infeksi aktif dan inaktif.

4. Mengikuti hasil pengobatan infeksi bakterial setelah pemberian

antibiotika.

5. Mendeteksi infeksi dalam kandungan karena robeknya amnion.

6. Mengetahui adanya infeksi pasca operasi.

7. Membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada

transplantasi sumsum tulang.

8. Mempunyai korelasi yang baik dengan LED (Marshall, 2004).


25

Pada penelitian ini kadar normal C-Reactive Protein yang

ditetapkan di Instalasi Laboratorium Sentral RSUD. Dr. Saiful Anwar

yaitu < 0,3 mg/dL berdasarkan pemeriksaan C-Reactive Protein

kuantitatif.

2.2.2. Pemeriksaan C-Reactive Protein

Tes laboratorium untuk mengukur kadar CRP dapat dilakukan

dengan metode turbidimetri automatik (Pentra). Asas pemeriksaan

adalah CRP yang ada di dalam sampel serum jika ditambah antihuman

CRP mouse monoclonal antibody-oated latex (Reagen Daichi) akan

terbentuk kompleks imun/ aglutinasi yang menyebabkan kekeruhan.

Kadar CRP ditentukan dari ukuran yang diperoleh dari hasil megubah

serapan masuk (absorbence) akibat penyinaran aglutinat yang

dibandingkan dengan blangko (Handono, 2012).

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) juga dapat

digunakan sebagai alat untuk mendeteksi CRP pada suatu inflamasi.

Sensitivitas ELISA sangat tinggi pada peningkatan hs-CRP oleh

karena infeksi akibat bakteri (Cakan, 2008). Pemeriksaan untuk

mengetahui hs-CRP dapat juga dilakukan melalui metode

chemiluminescent immunoassay. Teknik ini juga sangat sensitif dan

akurat untuk dapat digunakan sebagai uji kuantitatif untuk mendeteksi

hs-CRP dalam serum (Rampengan, 2007).


26

2.3. C-Reactive Protein pada Tuberkulosis

Di Korea Selatan para peneliti mengevaluasi CRP untuk membedakan TB

dan pneumonia di kalangan militer. Empat puluh enam pasien dengan TB

paru dan 67 dengan pneumonia yang terdaftar secara prospektif. Median

konsentrasi CRP lebih rendah pada pasien dengan TB dibandingkan pada

pasien dengan non-TB pneumonia (3,2 mg/dL [0.1–15.7 mg/dL] vs 8,3

mg/dL [0.2–33.7 mg/dL], p < 0.001). Sensitivitas dan spesifitas untuk TB,

konsentrasi CRP rendah (<11,2 mg/dL), dalam serum 93,3% dan 40,9%.

Pengukuran konsentrasi CRP mungkin berguna untuk menyingkirkan

diagnosis TB (Choi, 2007).

TB aktif dengan tingkat keakuratan yang cukup tinggi dapat terdeteksi

dengan menskrining ODHA (orang dengan HIV AIDS) dengan TB paru BTA

negatif terhadap CRP tingkat tinggi. Hal itu memberi kesan bahwa CRP dapat

menyediakan dasar untuk tes di tempat perawatan untuk mendeteksi TB aktif

pada kasus BTA negatif di rangkaian beban tinggi. Hal itu berdasarkan

sebuah penelitian yang dipresentasikan dalam South African AIDS

Conference keempat di Durban pada awal April 2009 (Wilson, 2009).

Para peneliti secara prospektif mengevaluasi kinerja CRP sebagai tes

skrining untuk TB BTA negatif pada gejala pasien suspek TB rawat gejala

ditindaklanjuti selama 8 minggu di KwaZulu-Natal, Afrika Selatan untuk

menentukan diagnostik manfaat CRP. CRP normal pada prevalensi HIV yang

tinggi dapat menjadi tes yang berguna dalam kombinasi dengan evaluasi

klinis untuk menyingkirkan TB pada pasien rawat jalan (Wilson, 2011).

You might also like