You are on page 1of 6

https://tirto.

id/

On This Day
Hamengkubuwana V: Sultan Jawa yang Dibunuh Istrinya
Sendiri
https://tirto.id/hamengkubuwana-v-sultan-jawa-yang-dibunuh-istrinya-sendiri-cp46

Sri Sultan Hamengkubuwono V. ILUSTRASI/Gery

5 Juni 2017

Dibaca Normal 3 menit

Kehidupan Sultan Hamengkubuwana V ibarat kisah drama. Ia sempat disingkirkan, dibenci keluarga dan
sebagian rakyat, ditelikung saudara kandung, hingga mati di tangan istri tercinta.

tirto.id - Ada keguncangan yang berusaha diredam di dalam Kraton Yogyakarta pada 5 Juni 1855 itu. Sultan
Hamengkubuwana (HB) V ditemukan tewas terhunus di salah satu ruangan istana. Usut punya usut, si
pembunuh raja ternyata sang selir sendiri, istri ke-5 yang konon paling disayang, Kanjeng Mas Hemawati.

Hamengkubuwana V memang menjalani hidup bak cerita sinetron. Ia dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta ketika
umurnya baru menginjak 3 tahun, masih di bawah umur. Takhtanya pun sempat “diambil” lagi oleh
pendahulunya, Hamengkubuwana II (1750-1828), atas campur tangan dan kepentingan Belanda.

Naik singgasana lagi setelah HB II wafat pada awal tahun 1828, pemerintahan HB V justru kehilangan banyak
dukungan dari internal kraton maupun sebagian rakyat Yogyakarta. Situasi ini berlangsung hingga nantinya sang
raja mati tragis, ditikam dari belakang oleh selirnya.
https://tirto.id/

Korban Politik Istana dan Belanda

Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol yang kemudian bergelar Pangeran Mangkubumi, anak
keenam sekaligus putra mahkota Sultan Hamengkubuwana IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono,
yang lahir pada 24 Januari 1820 di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sama seperti putra tersayangnya, hidup Sultan HB IV juga berlangsung singkat, ihwal kematiannya juga masih
menyisakan misteri. Diduga, mangkatnya sang raja yang belum mencapai usia 20 tahun itu karena diracun (G.
Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualam: Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen, 1994:18).

Kematian mendadak Sultan HB IV itulah yang membuat putra mahkota harus segera naik tahta meskipun masih
berusia balita. Kurang dari dua pekan setelah wafatnya sang raja, 19 Desember 1823, Gusti Raden Mas Gathot
Menol dikukuhkan sebagai penguasa Yogyakarta yang selanjutnya dengan gelar Sultan Hamengkubuwana V.

 Baca juga: Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa

Inilah awal drama kehidupan HB V. Sang sultan belia diturunkan dari singgasananya pada 17 Agustus 1826.
Raja yang pernah menjadi pendahulunya, HB II atau yang berjuluk Sultan Sepuh karena memang sudah renta,
dinobatkan sebagai raja lagi sehari berselang. Ini adalah kali ketiga HB II naik takhta setelah periode 1792-1810
dan 1811-1812.

Pengaruh Belanda sangat kuat dalam suksesi paksa ini. Belanda yang saat itu terlibat konflik melawan Pangeran
Diponegoro berusaha memecah-belah internal kraton dan rakyat Yogyakarta sekaligus untuk menambah
kekuatan. Diponegoro adalah putra sulung Sultan HB III (1769-1814) yang memilih keluar dari istana dan tidak
bersedia menjadi raja (Purwadi & Kawuryan, Pangeran Diponegoro, 2005:49).

Naik takhtanya kembali Hamengkubuwana II untuk menggeser Sultan Hamengkubuwana V diusulkan langsung
oleh Hendrik Merkus de Kock (1779-1845), perwira tinggi militer yang sempat mengampu jabatan sementara
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan merupakan tokoh berpengaruh dalam Perang Jawa (1825-1830)
melawan pasukan Diponegoro.

HB II sebenarnya masih menjalani masa pengasingan di Maluku, sebelumnya dibuang ke Pulau Pinang (kini
termasuk wilayah Malaysia), hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah pendudukan Inggris pada 1812.
Belanda, yang akhirnya berkuasa lagi di Hindia (Indonesia), memulangkan HB II tentunya dengan misi khusus.

 Baca juga: Kejayaan dan Kejatuhan Si Pengadu Domba Cornelis Speelman

Selain karena HB V kurang cakap karena masih belum cukup umur, Belanda ingin HB II bertahta lagi karena ia
dikenal dekat dengan rakyat. Pengaruh HB II sangat diperlukan untuk memecah dukungan rakyat yang sebagian
besar berpihak kepada Diponegoro (Purwadi, Perjuangan Kraton Yogyakarta, 2003:54). Taktik licik itu cukup
berhasil dan akhirnya tipu-daya Belanda pula yang mengakhiri perlawanan Diponegoro pada 1830.

Taktik Aman Sultan HB V

Periode ketiga era Sultan Hamengkubuwana II akhirnya purna pada 3 Januari 1828 seiring wafatnya sang raja
tua. Sebagai gantinya, Hamengkubuwana V didudukkan kembali ke tampuk kekuasaan Kesultanan Yogyakarta,
kendati tentu saja pengaruh Belanda masih kuat dalam prosesi ini.

Sultan HB V cenderung main aman selama berkuasa. Ia tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah yang harus
mengorbankan rakyat, terutama setelah usainya Perang Jawa. HB V juga meneken kontrak politik dengan
Belanda yang berlaku bahkan hingga era Sultan HB IX yang berakhir pada 1988 (Woro Miswati, Kerajaan-
https://tirto.id/

Kerajaan Nusantara, 2011:48).

 Baca juga: Hamengkubuwana IX Melawan Soeharto dengan Diam

Ketimbang cari gara-gara dengan Belanda, Sultan HB V memilih fokus ke sektor-sektor lain, termasuk dalam hal
kesenian dan kebudayaan. Sumandiyo Hadi (2007:32) dalam buku Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya
Yogyakarta menyebutkan bahwa telah dihelat pagelaran wayang orang dalam skala megah sebanyak 5 kali
selama masa pemerintahan Sultan HB V.

Selain itu, HB V juga menciptakan beberapa jenis tarian khas kraton, salah satu yang paling terkenal adalah Tari
Serimpi dengan berbagai variannya, termasuk Serimpi Kandha, Serimpi Renggawati, Serimpi Ringgit Munggeng,
Serimpi Hadi Wulangun Brangta atau Serimpi Renggowati, dan lainnya.

Akan tetapi, ternyata tidak semua pihak sepakat dengan strategi kooperatif yang diambil oleh Sultan HB V,
termasuk saudaranya sendiri yakni Gusti Raden Mas Mustojo. Pangeran ini adalah putra ke-12 Sultan HB IV dari
permaisuri Ratu Kencono atau adik kandung Sultan HB V (Bambang Sularto, KGPA Mangkubumi: Karya dan
Pengabdiannya,1986:13).
https://tirto.id/
https://tirto.id/

Misteri Pembunuhan Raja

Oleh sebagian warga istana dan rakyat Yogyakarta, Sultan HB V dinilai lembek, pengecut, dan mempermalukan
nama kraton terlalu patuh kepada Belanda. Dukungan kepada Raden Mas Mustojo pun menguat, terlebih
setelah ia berhasil menjalin ikatan kuat dengan Kesultanan Brunei setelah memperistri putri dari kerajaan
seberang pulau itu.

Di tengah situasi yang tidak menguntungkan karena semakin kencanganya suara-suara ketidakpuasan yang
dialamatkan kepadanya, Sultan HB V semakin terdesak dengan munculnya konflik internal antara sesama
penghuni istana. Salah seorang istri sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, disebut-sebut terlibat dalam polemik
yang detailnya masih menjadi teka-teki ini.

Hingga akhirnya, tepat pada 5 Juni 1855, terjadilah aksi pembunuhan yang nantinya mengubah alur trah
kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta itu. Sultan HB V ditikam dari belakang oleh sang sang selir hingga tewas.
Pihak kraton menutup rapat-rapat segala hal tentang kasus ini, termasuk tentang keberadaan Kanjeng Mas
Hemawati setelah menghabisi nyawa suaminya sendiri.

Sampai kini, alasan Kanjeng Mas Hemawati melakukan tindakan tersebut belum terkuak, masih menjadi misteri
tersendiri dalam riwayat sejarah raja-raja Dinasti Mataram Islam. Peristiwa tragis yang rincinya hanya diketahui
oleh kalangan terbatas itu dikenang dengan istilah “wereng saketi tresno” atau “mati di tangan yang dicintai”.

Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil
tua. Dan, 13 hari pasca sultan tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus
tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur
Muhammad.

Seperti yang telah diperkirakan, Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar
Sri Sultan Hamengkubuwana VI kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota sudah
siap memimpin sebagai sultan.

 Baca juga: Sultan Baabullah Sang Penakluk

Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang
dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar
Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).

Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur
Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan
pembangkangan terhadap raja dan istana.

Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan
HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman
buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya

(tirto.id - Humaniora)

Reporter: Iswara N Raditya


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
https://tirto.id/

You might also like