You are on page 1of 35

REFERAT RADIOLOGI

PNEUMOTHORAKS

DISUSUN OLEH :

Yuni Insyanul Hikmah 16710328


Redityo Abadi 16710334
Tria Sukma Witungga 16710320

PEMBIMBING :
dr. Budi Suhariyanto, Sp.Rad

ILMU RADIOLOGI
RSUD BANGIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2018

KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya Referat “PNEUMOTHORAX” ini dapat disusun dan diselesaikan.
Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Budi Suhariyanto, Sp. Rad yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan referat ini, serta pihak-pihak yang
telah membantu memberikan saran serta kritik maupun pengarahan dalam
pembuatan refrat ini.
Penulis berharap tulisan ini dapat menambah wawasan bagi setiap
pembaca. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kesalahan,
baik hal kecil maupun hal yang membingungkan, baik di dalam penyusunan
kalimat maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari sumber referensi
yang diperoleh penulis serta keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran dari segenap pembaca. Semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi semua pihak.

Bangil, 22 Februari 2018

Penulis

DAFTAR ISI

2
Kata Pengantar……………………………………………………............. 2

Daftar Isi…………………………………………………………………… 3

BAB I. Pendahuluan ……………………………………...............…….. 4

A. Latar belakang ……………………………………………... 4

B. Tujuan ……………………………………………………... 4

BAB II. Tinjauan Pustaka…………………………………....................... 5


A. Definisi ……………………………………………………….. 5
B. Epidemiologi………………………………………………….. 5
C. Etiologi………………………………………………………… 6
D. Anatomi dan Fisiologi…………………………………………. 7
E. Klasifikasi……………………………………………………… 9
F. Patofisiologi …………………………………………………… 14
G. Diagnosis……………………………………………………… 15
H. Diagnosis Banding…………………………………………….. 25
I. Penatalaksanaan……………………………………………….. 28
J. Prognosis………………………………………………………. 32
BAB III. Kesimpulan………………………………………...................... 33
Daftar Pustaka……………………………………………………………... 34

BAB I
PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis dan


mengempiskan udara melalui trakea yang dipengaruhi tekanan ruang untuk
mempertahankan keberlangsungan pernafasan. Paru-paru sebenarnya mengapung
dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang
menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan
normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan
menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat
mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernafas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks
spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks
traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik(2).

B. Tujuan
Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumothorax.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
A. DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura akibat robeknya pleura atau suatu keadaan dimana udara
terkumpul di dalam kavum pleura sehingga memisahkan rongga viceralis
dengan parietalis yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(5).

B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak
yang tidak diketahui(7). Namun dari sejumlah penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada
penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering
daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada
laki-laki adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara
pada wanita insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan
insidens pneumotoraks spontan sekunder pada laki-laki adalah 6,3 kasus
per 100.000 orang dan wanita 2,0 per 100.000 orang. Pneumotoraks
traumatik lebih sering terjadi daripada pneumotoraks spontan dengan laju
yang semakin meningkat (3).

5
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 – 30 tahun
dengan puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks
spontan sekunder lebih sering terjadi pada usia 60 – 65 tahun (3).

C. ETIOLOGI
Etiologi trauma thorax kebanyakan diakibatkan oleh kecelakaan
lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama
disebakan oleh tikaman dan tembakan. Trauma pada bagian ini juga sering
disertai dengan cedera pada tempat lain misalnya abdomen, kepala, dan
ekstremitas sehingga merupakan cedera majemuk. Tersering disebabkan
oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udara
ke rongga thorax. Pneumothorax dapat terjadi berulang kali. Udara dalam
kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh:

a) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal


dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini
disebut sebagai closed pneumothorax. Apabila kebocoran pleura
visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat
inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi.
Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong
mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension
pneumothorax.

b) Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat


hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus
respiratorius yang seharusnya. Sehingga udara dari luar masuk ke
kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru
ipsi lateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut, kondisi ini
disebut sebagai open pneumothorax.

6
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan
jantung.(8) Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks
dengan jantung di antaranya, sedangkan aorta descendens serta
oeshophagus terletak di belakang jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan,
yaitu: pleura parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan
selaput tipis dari membrana serosa yang melapisi rongga pleura. Pada
daerah yang menghadap mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-
paru sehingga disebut pleura visceralis atau pleura pulmonalis. Pleura
visceralis ini membungkus paru-paru dan melekat erat pada
permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut
cavitas pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi. (9)
Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada.
Inspirasi terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu M. intercostalis dan
diafragma yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan
terhisap masuk melalui trakea dan bronkus (8).
Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan
mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada.
Dinding dada yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru
mengembang sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya

7
bila M. Intercostalis melemas maka dinding dada akan mengecil sehingga
udara akan terdorong keluar. Sementara itu, karena adanya tekanan intra
abdominal maka diafragma akan terdorong ke atas apabila tidak
berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks, kekenyalan
jaringan paru, dan tekanan intra abdominal menyebabkan ekspirasi jika M.
Intercostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan
inspirasi. Dengan demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. (8).

Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis akan


menyebabkan udara masuk ke rongga pleura sehingga pleura viseralis
terlepas dari pleura parietalis dan paru tidak lagi ikut dengan gerak napas
dinding thoraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika
dipasang penyalir tertutup yang diberikan tekanan negatif maka udara ini
akan terhisap dan paru dapat dikembangkan lagi (8).

8
E. KLASIFIKASI
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu (2,3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.

9
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam
dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik,
maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia
luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),

10
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. (4)
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
(4)
ekspirasi tekanan menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound). (2)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura
(4)
tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas. (2)

11
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

12
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian
besar paru (> 50% volume paru).

Derajat kolaps paru pada pneumothorak totalis dapat dinyatakan dalam


persen dengan rumus sebagai berikut:
Rumus mengukur volumenya : (A x B) – (a x b) X 100%
(A x B)

13
F. PATOFISIOLOGI
Secara garis besar kesemua jenis pneumothorax mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama(8). Pneumothorax spontan terjadi karena
lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila dinding alveolus
dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka akan ada fistel yang
menyebabkan udara masuk ke cavum pleura. Mekanismenya pada saat
inpirasi rongga dada mengembang, disertaipengembangan cavum pleura
yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang seperti
balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan tekanan
intraaveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada
pneumothorax spontan, paru-paru kolaps, udarainspirasi bocor masuk ke
cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Padasaat
ekspirasi mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal
kembali lagi ke posisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal dengan
mediastinal flutter(8). Pneumothorax ini terjadi biasanya pada satu sisi,
sehingga respirasi paru sisi sebaliknya masih bisa menerima udara secara
maksimal dan bekerja dengan sempurna(8).
Terjadinya hipereksansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-
shock atau shock dikenal dengan simple pneumothorax. Berkumpulnya
udara pada cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan
lingkungan luar dikenal dengan closed pneumothorax. Pada saat ekspirasi,
udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil
dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini
semakin berlanjut, hipereksansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan
mediastinal kesisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru
dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup terjadilah
penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi
jalan napas. Akibatnya dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension
pneumothorax(8).
Pada open pneumothorax terdapat hubungan antara cavum pleura
dengan

14
lingkungan luar. Open pneumothorax dikarenakan trauma penetrasi.
Perlukaan dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis) atau komplit (pleura
parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open pneumothorax inkomplit
pada saat inspirasi udara luar akan masuk kedalam kavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleural
tidak negatif. Efeknya akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang
menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat. Saat ekspirasi mediastinal
bergerser kemediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter.
Bilamana open pneumothorax komplit maka saat inspirasi dapat terjadi
hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal kearah yang sehat dan
saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka yang
bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava,
shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan nafas. Akibatnya
dapat timbullah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena
cava, yang dapat menyebabkan tension pneumothorax.

G. DIAGNOSIS

1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang sering muncul
adalah (2,4,5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri
pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.

15
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3,4) :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu inspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative

16
3. Gambaran Radiologi

 Foto Thoraks
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat
ditegakkan dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
-
Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang
mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paru
yang mengalami pneumothoraks dengan paru yang kolaps
memberikan gambaran radioopak. Bagian paru yang kolaps dan
yang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps
berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis,
yang biasa dikenal sebagai pleural white line.

Gambar 1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line.


(dikutip dari kepustakaan 7)

17
Gambar 2. Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps.
(dikutip dari kepustakaan 3)

18
- Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang
(11)
dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign.
Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura
menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari hepar dan lien.
Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut kostofrenikus menjadi
lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang klinisi harus lebih
berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus yang lebih dalam
daripada biasanya atau jika menemukan sudut kostofrenikus menjadi
semakin dalam dan lancip pada foto dada serial. Jika hal ini terjadi maka
pasien sebaiknya difoto ulang dengan posisi tegak. Selain deep sulcus
sign, terdapat tanda lain pneumotoraks berupa tepi jantung yang terlihat
lebih tajam. Keadaan ini biasanya terjadi pada posisi supine di mana udara
berkumpul di daerah anterior tubuh utamanya daerah medial.(11)

Gambar 4. Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri disertai
deviasi mediastinum kanan dan deep sulcus sign (kanan).
(dikutip dari kepustakaan 7)

-
Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah
hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong

19
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.(6,10)

Gambar 5. Pneumotoraks kiri (kiri) dan tension pneumotoraks (kanan).

-
Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang dapat
masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya
reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat
terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
difus di mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps
paru komplit. Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai terjadinya
loculated pneumothorax atau encysted pneumothorax. Keadaan ini
terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya adhesif
pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya daerah
hiperlusen di daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur.
(14)

20
-

Loculated Pneumotoraks.

Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam


posisi tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi
supinasi. Selain itu, foto dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi
penuh. (11)

Gambar 3. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan inspirasi


(kanan) dan dalam keadaan ekspirasi (kiri).
(dikutip dari kepustakaan 3)

Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif


menjadi lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstan

21
sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks utamanya
yang berukuran lebih kecil. Perlu diingat, pneumotoraks yang terdeteksi
pada keadaan ekspirasi penuh akan terlihat lebih besar daripada ukuran
sebenarnya.(11,13)
Pneumotoraks yang berukuran sangat kecil dapat dideteksi dengan
foto lateral dekubitus. Pada posisi ini, udara yang mengambil tempat
tertinggi pada hemitoraks (di daerah dinding lateral) akan lebih mudah
terlihat dibandingkan pada posisi tegak. (11,13,14)

Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi


keadaan ini (4):

- Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi


jantung mulai dari basis sampai ke apeks.

Gambar 7. CT-Scan thoraks yang menunjukkan


pneumomediastinum.

- Emfisema Subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam di bawah


kulit

22
Emfisema subkutan.
(dikutip dari kepustakaan 16)

- Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak


permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa
ditemui pada kasus Hidropneumotoraks.

Gambar 9. Hidropneumothoraks.

23
Dalam kasus pneumotoraks ini kita juga perlu mengetahui bagaimana
cara menghitung luas pneumothoraks. Perhitungan luas pneumotoraks ini
berguna terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis
ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan
luasnya kolaps paru, antara lain :
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus
(2)
.
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio
diameter kubus adalah :

83 512
______ ________
= = ± 50 %
3
10 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,


ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal,
ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal,
kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3

24
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks (4).

(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

2. CT-scan thorax
Pada pemeriksaan CT-scan pneumotoraks tension didapatkan adanya
kolaps paru, udara di rongga pleura, dan deviasi dari struktur mediastinum.
Pemeriksaan CT-scan lebih sensitif daripada foto toraks pada pneumotoraks
yang kecil walaupun gejala klinisnya masih belum jelas. Penggunaan USG
untuk mendiagnosis pneumotoraks masih dalam pengembangan.

Pneumothorax ct scan potongan axial Tampak udara dan colaps paru

25
Pneumothorax potongan axial tampak udara dan terjadinya colaps
paru.

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Emfiesema paru
2. Asma bronchial
3. Bula yang besar
Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai area yang
hiperlusen, dengan dinding bleb atau bulla yang sangat tipis. Dalam
beberapa kasus, dimana bleb atau bulla menyerang 1 lobus paru, dapat
memberikan gambaran radiologi yang mirip dengan pneumotoraks. Untuk
membedakannya, dapat dilihat dari daerah yang hiperlusen apakah pada
daerah tersebut terdapat gambaran vaskularisasi atau tidak. Pada
pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat vaskular sehingga
biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bleb atau bulla
terdapat garis-garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bleb atau
bulla. Selain itu, pada bleb atau bulla yang besar, jaringan paru di sekitar
bulla akan mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh pendesakan bulla
tersebut kepada jaringan paru. (18)

26
Gambar 11. Bleb dan bulla paru.
(dikutip dari kepustakaan 18)

Gambar 12. Gambaran foto thoraks bulla paru.

27
(dikutip dari kepustakaan 18)

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks
adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura
tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila
diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari
(2)
dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari .
Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan
terbuka (4).
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan
antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung

28
udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol (2,4).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada
posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (2,4).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris
posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis
mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan

29
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali
menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal (2).

3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.

30
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
6. Penatalaksanaan tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).

31
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema (3).
7. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.

J. PROGNOSIS
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-
pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien
yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit
paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus
lebih berhati-hati karena sangat berbahaya.

32
BAB III
KESIMPULAN

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh


udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan
maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat
terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada
hasil foto röntgen berupa gambaran radio-hiperlusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (deep sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan
serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar


Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam :
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
P. 1063-1068.
3. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [26 September 2011].
Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
2009. p. 162-179
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : [26 September 2011]. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
6. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi
Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
7. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [26 September
2011]. Available from www.emedicine.com
8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.
9. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam :
Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-
220.
10. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam :
Radiologi Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
1995. P. 63-64.

34
11. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9
Radiology Second Edition. China. Elsevier Saunders. 2006. P.172-
177.
12. Gaillard, Frank. Loculated pneumothorax. Cited on [28 September
2011]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
pneumothorax
13. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology.
Philadelphia : W. B. Saunders Company. P. 366-372.
14. Sutton, David. Pneumothorax. In : A Textbook of Radiology and
Imaging. Vol. 1. 5th edition. London : Churchill Livingstone. 1992.
P. 371-374.
15. Radswiki. Pneumomediastinum. Cited on [28 September 2011].
Available from
http://www.radiopedia.org/cases/pneumomediastinum-4
16. D’Souza, Donna. Subcutannous emphysema. Cited on [28
September 2011]. Available from
http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema
17. Rao, K, K. Loculated hydropneumothorax. Cited on [28 September
2011]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
hydropneumothorax-1
18. Massie, J. Robert. Welchons, George A. Pulmonary blebs and
bullae. Cited on [05 Oktober 2011]. Available from
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC1609584/pdf/annsurg01
326-0101.pdf
19. Dawes, Laughlin. Subpleural bullae. Cited on [05 Oktober 2011].
Available from http://www.radiopedia.org/articles/pulmonary-bullae

35

You might also like