Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Antibodi antifosfolipid adalah golongan autoantibodi yang memiliki jangkauan
kekhususan dan afinitias yang baik. Autoantibodi ini merupakan perpaduan
berbagai fosfolipid, yaitu fosfolipid yang berikatan protein, atau keduanya.
Terminologi sindrom antifosfolipid pertama kali muncul pada tahun 1986,
membahas mengenai hubungan klinis antara antibodi antifosfolipid dan sindrom
hiperkoagulabilitas yang meliputi trombosis arteri, vena, trombositopeni dan
komplikasi obstetrik. 1,2
Terdapat banyak komplikasi obstetrik pada sindrom antifosfolipid, seperti
keguguran spontan berulang (abortus habitualis), kematian janin, dan
pertumbuhan janin terhambat. Gambaran klinis dari sindrom antifosfolipid sangat
bervariasi mulai dari sub akut seperti migrain berulang, gangguan penglihatan,
disarthria, trombosis vena dalam, keguguran berulang, sampai yang berat seperti
gagal katup jantung akut, trombositopenia, stroke mayor dan trombosis luas 4.
Sindrom antifosfolipid dapat menyerang seluruh pembuluh darah mulai dari aorta,
arteri karotis, arteri pulmonalis dan arteri kecil. Oleh karena itu semua bagian
tubuh bisa terkena termasuk retina dan kulit. Antibodi dapat bertahan selama
beberapa tahun dan pada sejumlah kecil penderita anitibodi dapat menetap
seumur hidup. 1,2
Hingga saat ini etiologi APS belum diketahui, sehingga pengobatan hanya untuk
mengatasi simtomatik yang terjadi akibat kelainan autoimun ini. Dalam
kehamilan, penatalaksanaan kehamilan dengan APS pada dasarnya meliputi
penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan dan masa
nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada risiko terjadinya trombosis,
gangguan sirkulasi utero plasenter dan penentuan waktu persalinan yang adekuat.3
Berbagai regimen pengobatan telah dikembangkan untuk mengatasi APS. Salah
satunya adalah hydroxychloroquine, regimen baru yang telah digunakan untuk
mengatasi malaria dan sindrom Lupus sistemik. Referat ini akan membahas
penggunaan hydroxychloroquine dalam penanganan APS dalam kehamilan.
II. SINDROM ANTIFOSFOLIPID
A. Definisi
Sindrom antibodi antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome = APS) adalah
gangguan yang ditandai dengan antibodi multipel yang berbeda yang timbul
bersama antibodi antifosfolipid dengan trombosis arteri dan vena. APS
dikenal juga sebagai sindrom Hughes.3,4
Sindroma antifosfolipid merupakan suatu defek yang sebagian besar bersifat
kongenital dan terdiri dari 2 sindroma klinik yaitu sindroma trombosis
antikoagulan lupus dan sindroma trombosis antibodi antikardiolipin.
Sekalipun keduanya mirip tetapi terdapat perbedaan yang jelas dalam hal
klinis, laboraturium, perbedaan biokimia terutama mengenai prevalensi,
penyebab, kemungkianan mekanisme, presentasi klinis dan penanganannya.
Antibodi antifosfolipid pada sidroma ini dapat dideteksi dengan reaktivitasnya
terhadap fosfolipid anion (atau kompleks protein – fosfolipid) dalam
pemeriksaan dengan immunoassays atau dengan inhibisinya terhadap reaksi
koagulasi yang bergantung pada fosfolipid yang di kenal sebagi efek lupus
antikoagulan.2,5
B. Epidemiologi
Trombosis telah diketahui secara luas sebagai salah satu penyebab morbiditas
dan mortalitas kehamilan. Di Indonesia, tombosis berperan dalam tingginya
angka kematian ibu. APS adalah penyebab utama trombosis dalam kehamilan
yang bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas janin serta ibu seperti
preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin dalam rahim,
persalinan preterm dan bahkan gangguan proses implantasi mudigah ke dalam
endometrium.1,3,6
Ada dua macam antibodi antifosfolipid yang telah dikenal yaitu Lupus
Anticoagulant (LA), dan Anticardiolipin Antibody (ACA). Sedangkan
klasifikasi APS terdiri dari APS tanpa penyebab lain disebut sebagai APS
primer, dan APS karena penyakit lain seperti SLE dinamakan APS sekunder.
1,3,6
D. Manifestasi Klinis
Dari 1000 kasus sindroma antifosfolipid , presentasi klinis yang sering
ditemukan adalah:1,2,7
1. Trombosis vena dalam (32%)
2. Trombositopenia (22%)
3. Livido retikularis (20%)
4. Stroke (13%)
5. Tromboflebitis superfisialis (9%)
6. Emboli pulmonal (9%)
7. Kematian fetus (8%)
8. Transient ischemic attack (7%)
9. Anemia hemolitik (7%)
Sebagian kecil (0.8%) penderita sindroma antifosfolipid dapat mengalami
trombosis luas dengan kegagalan organ multipel 3 atau lebih organ/sistem,
kondisi ini disebut dengan catastrophic APS. Kondisi ini sering berakibat fatal
dengan angka mortalitas 44-48%, meskipun telah diberikan terapi
antikoagulan dan imunosupresif. 7
Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan pada sindroma antifosfolipid
adalah sebagai berikut:1,3,7
1. Trombosis pada pembuluh darah besar:
a. Neurologik
Transient ischemic attack, stroke iskemi, chorea, kejang, dementia,
mielitis transversa, ensefalopati, migren, pseudotumor serebri,
trombosis vena serebral, mononeuritis multipleks.
b. Optalmik
Trombosis arteri/vena retina, amaurosis fugax.
c. Kulit
Flebitis superfisial, ulkus di kaki, iskemi distal, blue toe syndrome.
d. Jantung
Infark miokardial, vegetasi valvular, trombi intrakardiak,
aterosklerosis.
e. Paru-paru
Emboli paru, hipertensi pulmonal, trombosis arteri pulmonal,
perdarahan alveolar.
f. Arteri
Trombosis aorta, trombosis arteri besar dan kecil.
g. Ginjal
Trombosis vena/arteri renalis, infark ginjal, gagal ginjal akut,
proteinuria, hematuria , sindroma nefrotik.
h. Gastrointestinal
Sindroma Budd-Chiari, infark hati, infark kandung empedu, infark
usus, infark limpa, pankreatitis, asites, perforasi esofagus, kolitis
iskemi.
i. Endokrin
Infark dan kegagalan fungsi adrenal, infark testis, infark prostat, infark
dan kegagalan fungsi pituitari.
j. Vena
Trombosis vena ekstremitas, adrenal, hepatik, mesenterik, lien, vena
cava.
k. Hematologi
Trombositopenia, anemia hemolitik, sindroma hemolitik uremik,
purpura trombotik trombositopeni.
l. Lain-lain
Perforasi septum nasal, nekrosis avaskular tulang.
E. Komplikasi Obstetrik
Preeklampsia merupakan komplikasi obstetrik yang sering ditemukan. 50%
penderita Sindrom antifosfolipid mengalami pre eklampsia dan 25%
mengalami pre eklampsia berat sehingga APA merupakan faktor risiko yang
prospektif untuk terjadinya preeklampsia. Kasus preeklampsia yang terjadi
pada usia kehamilan aterm dibuktikan tidak berhubungan dengan APA. Oleh
sebab itu pemeriksaan APA hanya direkomendasikan pada kasus preeklampsia
berat early-onset (< 34 minggu). Pertumbuhan janin terhambat (intrauterine
growth restriction = IUGR) juga umum dijumpai pada Sindrom antifosfolipid
yaitu berkisar antara 15% - 30%. Sebaliknya pada wanita yang melahirkan
bayi IUGR, 25% didapatkan positif APA.1,4,6
Insufisiensi uteroplasenter merupakan komplikasi obstetrik yang juga dapat
terjadi pada kehamilan dengan Sindrom antifosfolipid. Bahkan disebutkan
mencapai 50%. Insufisiensi uteroplasenter ini ditandai dengan adanya
abnormalitas denyut jantung janin (deselerasi) yang dapat terjadi mulai
trimester kedua.
Preeklampsia, IUGR dan insufisiensi uteroplasenter meningkatkan risiko
persalinan iatrogenic prematur pada kehamilan dengan Sindrom
antifosfolipid. Kurang lebih sepertiga (12% - 35%) kehamilan dengan
Sindrom antifosfolipid akan melahirkan bayi prematur sebelum usia
kehamilan 34 minggu. 1,4,8
Kriteria diagnosis komplikasi kehamilan pada Sindrom antifosfolipid mulanya
hanya mencakup fetal loss yaitu umur kehamilan ≥ 10 minggu. Kurang lebih
40% pregnancy losses pada individu dengan APA terjadi pada periode fetal ini
tetapi sekarang pregnancy loss yang berkaitan dengan Sindrom antifosfolipid
diperluas sehingga mencakup recurrent pregnancy loss yang terjadi pada
periode preembrionik (umur kehamilan < 6 minggu) dan periode embrionik
(umur kehamilan 6 – 9 minggu). Hal ini berdasarkan evaluasi serologis dari
wanita yang mengalami recurrent pregnancy loss, 10% - 20% ditemukan APA.
1,4,8
F. Diagnosis
Berdasarkan International Consencus Statement on an Update of the
Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Syndrome diagnosis
Sindrom antifosfolipid ditegakkan dengan memenuhi sekurang-kurangnya
satu dari kriteria klinis dan satu dari kriteria laboratoris seperti yang tercantum
pada tabel 1.8,10
B. Mekanisme kerja
Antimalaria telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengatasi
inflamasi rematik, namun mekanismenya yang kompleks masih tetap
kontroversial. Telah diketahui bahwa molekul, yang merupakan basa lemah,
mengganggu fungsi fagositosis melalui peningkatan pH dalam kompartemen
intraseluler, mengarah ke gangguan presentasi selektif self-antigen (yang
memiliki afinitas rendah).12,13
Selain mengubah proses presentasi antigen, chloroquine (CQ) dan HCQ juga
dapat menghalangi respon proliferatif sel-T setelah stimulasi dengan mitogen
atau alloantigens. Kecuali dalam satu studi interleukin (IL)-1, data
eksperimental terus menunjukkan penghambatan produksi sitokin (IL-1, IL-2,
IL-6, IL-17, IL-22, interferon [IFN] alpha dan gamma dan/atau Tumor
Necrosis Factor [TNF] alpha). 12,13
Data mengenai hubungan antara HCQ dan apoptosis bertentangan: HCQ telah
terbukti menginduksi apoptosis dalam limfosit darah perifer tetapi beberapa
eksperimen menemukan bahwa HCQ menunjukkan tindakan anti-apoptosis
pada limfosit. Pada pasien SLE, efek anti-apoptosis ini tampaknya
dihubungkan dengan gangguan pengolahan antigen dalam makrofag dan
antigen-presenting sel lain. Mekanisme aksi lain melibatkan penghambatan
DNA polimerase atau penghambatan aktivitas phospholipases A2. 12,13
Data yang lebih baru mendukung gagasan bahwa aktivitas kunci HCQ di SLE
kemungkinan adalah penghambatan aktivasi Toll-like reseptor (TLR). TLR
adalah reseptor yang terlibat dalam kekebalan bawaan yang tampaknya
memiliki peran yang sangat penting dalam penyakit autoimun termasuk SLE.
TLR telah terlebih dahulu dikenal karena kemampuan mereka untuk
membedakan makromolekul mikroba dari jaringan host dan dengan demikian
cepat mengaktifkan sistem kekebalan tubuh bawaan. Namun, hal itu telah
menjadi semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir bahwa molekul host
tertentu tertentu, terutama asam nukleat, dapat berfungsi sebagai endogen
ligan TLR, yang mungkin memicu tanggapan terhadap kerusakan jaringan.
Lingkungan lisosomal asam menguntungkan bagi pengikatan asam nukleat
oleh TLR intraseluler. Seperti yang terlihat sebelumnya, HCQ menghambat
pengasaman endosomal, di mana sinyal dari intraseluler TLR terletak.
Penghambatan aksi CQ dan interaksi HCQ TLR dengan ligan asam nukleat
telah dikonfirmasi dalam dekade terakhir. Leadbetter dkk telah menunjukkan
dalam model tikus transgenik bahwa produksi faktor rheumatoid oleh
Blymphocytes membutuhkan aktivasi TLR 9. Dalam penelitian ini, CQ
mampu memblokir produksi faktor rheumatoid dengan menghambat TLR 9 di
endosomes. Brentano dkk menunjukkan bahwa HCQ, jika digunakan secara in
vitro sebagai anti-TLR, menghambat produksi sitokin dan kemokin oleh
fibroblast yang telah dirangsang oleh sel-sel dari cairan sinovial nekrotik dari
pasien dengan rheumatoid arthritis. Sacré dkk menunjukkan bahwa sel
dendritik plasmasitoid pasien SLE yang menerima HCQ tidak mampu
menghasilkan IFN-dan TNF-a pada stimulasi dengan agonis TLR-9 dan TLR-
7 (TLR-9 dan TLR-7 diekspresikan secara konstitutif oleh sel-sel ini..
Akhirnya, seperti yang ditekankan oleh Lafyatis dkk, penting bahwa
konsentrasi in vivo (di atas 1000 ng/mL) yang berhubungan dengan frekuensi
penurunan flare SLE flare berada di kisaran yang sama dengan tingkat yang
mampu memblokir TLRs intraseluler in vitro. 12,13
C. Indikasi
Hydroxychloroquine telah digunakan selama bertahun – tahun untuk
mengatasi malaria. Obat ini juga telah digunakan untuk mengatasi lupus
erimatosus, penyakit reumatik seperti rheumatoid arthritis dan sindrom
Sjorgen, serta porphyria cutanea tarda. 12,13
Hydroxychloroquine juga digunakan dalam penanganan post-Lyme arthritis.
Hal ini akibat aktivitas anti-spirochaete dan aktivitas anti-inflamasi, sama
dengan penanganan rheumatoid arthritis. Aktivitas anti-diabetik
Hydroxychloroquine telah ditunjukkan dalam studi sistematik, acak terkontrol
pada pasien diabetes tipe 2. Pemberian hydro xychloroquine dikombinasikan
dengan sulfonylurea dan metformin. Pasien dengan Hydroxychloroquine
menunjukkan penurunan kadar kolesterol total, trigliserida dan kadar LDL.
12,13
D. Kontraindikasi
1. Kontraindikasi absolut
Berdasarkan Physician desk reference (PDR) dan Micromedex,
kontraindikasi absolut penggunaan antimalarial sedikit, dan mencakup: 12,13
a. Perubahan pada retina atau visual setelah pemberian senyawa
aminoquinoline.
b. Hipersensitivitas terhadap senyawa 4-aminoquinoline;
c. Penggunaan jangka panjang pada anak.
Karena desensitisasi mungkin efektif pada pasien dengan hipersensitivitas,
toksisitas retinal masih menjadi kontraindikasi absolute pada pasien
dewasa dengan SLE.
2. Kontraindikasi relatif
PDR dan Micromedex menyatakan bahwa harus berhati –hati dalam
memberi HCQ pada pasien dengan riwayat psikotik, epilepsi atau riwayat
masalah pendengaran, pasien dengan penyakit hati, alkoholik, psoriasis,
defisiensi G6PD, porphyria cutanea tarda dan neuromuscular disorders
termasuk myasthenia gravis, dan dalam kasus pemberian bersamaan dengn
obat hematotoksik atau obat dengan tendensi untuk menyebabkan
dermatitis.13,14
Tidak semua kontraindikasi ini didukung oleh fakta. Seperti yang telah
dijelaskan diatas, HCQ dapat diberikan secara hati – hati pada pasien
psoriasis dengan defisiensi G6PD. Meskipun ada kekhawatiran terhadap
pemberian antimalarial pada pasien myasthenia gravis, HCQ umumnya
aman bagi pasien dengan SLE and myasthenia gravis.13,14
SLE dan PCT menjadi masalah tersendiri karena hubungan antara
antimalaria dan PCT cukup kompleks. Pertama, kasus obat antimalarial
yang menginduksi PCT atau porphyria telah dilaporkan. Kedua, pada
beberapa pasien dengan PCT yang menerima HCQ atau CQ mungkin
muncul eksarsebasi akut penyakit hati diikuti dengan remisi klinis jangka
panjang setelah eksarsebasi akut. Hasil onservasi ini menyebabkan
disarankan penggunaan antiamalarial dengan dosis sangat rendah untuk
penanganan PCT. Pada paien dengan SLE dan PCT, dianjurkan untuk
memulai pengobatan dengan dosis sangat rendah untuk mencegah
eksaserbasi (100 mg HCQ dua kali seminggu). 13,14
F. Efek samping
Hydroxychloroquine biasanya dapat ditoleransi dengan baik, dan efek
samping yang serius jarang ditemukan. Efek samping utama melibatkan
jantung dan toksisitas retina. Kejadian toksisitas jantung masih kontroversial,
dan penelitian prospektif pada 85 pasien yang diobati dengan
hydroxychloroquine, menunjukkan tingkat gangguan konduksi jantung selama
12 bulan follow-up mirip dengan apa yang ditemukan pada populasi umum.
Berkaitan dengan toksisitas retina, sebuah studi tindak lanjut pada 2043 orang
pasien dewasa dari 6 studi melaporkan hanya 2 kasus (0,1%) retinopathy
dengan durasi rata-rata pengobatan hidroksiklorokuin 10 tahun. Risiko
retinopati ireversibel pada pasien yang menerima hidroksiklorokuin selama
kurang dari 12 bulan tidak ditemukan, karena durasi paparan merupakan
faktor risiko yang paling penting. Rekomendasi terbaru menyatakan bahwa
evaluasi oftalmologi tidak wajib di 5 tahun pertama pengobatan
hidroksiklorokuin tanpa adanya faktor risiko tertentu.20,21
Berkenaan dengan janin dalam kehamilan yang diobati dengan
hydroxychloroquine, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tidak ada
risiko cacat bawaan yang signifikan, retinopati atau ototoxicitas. Sebuah meta-
analisis menunjukkan tidak adanya risiko yang terkait dengan penggunaan
hydroxychloroquine selama kehamilan. Anak yang lahir dari ibu yang diobati
dengan hydroxychloroquine selama kehamilan menunjukkan fungsi
audiovestibular dan oftalmologi yang normal ketika evaluasi dilakukan pada
usia 12 bulan. Pada anak-anak dari 275 pasien SLE yang menerima
pengobatan hydroxychloroquine selama kehamilan, risiko cacat bawaan
sebanding dengan anak-anak tidak terpajan, dan tidak ditemukan kasus
ototoxicitas, retinopati, atau neurotoksisitas. Hydroxychloroquine saat ini
dianjurkan dan digunakan secara rutin di Perancis, termasuk saat kehamilan
pada pasien SLE. Dengan demikian, penggunaan hydroxychloroquine selama
kehamilan tampaknya aman tetapi kemampuannya untuk digabungkan dengan
penanganan konvensional untuk mencegah komplikasi obstetri dan neonatal
pada kasus APS membutuhkan studi lebih lanjut. 20,21
REFERENSI
1. Robertson, Greaves. Antiphospholipid syndrome: An evolving story. Blood
Reviews. 2006; 20: 201–212.
2. Ruiz-Irastorza, Crowther, Branch, Khamashta. Antiphospholipid syndrome.
The Lancet. 2010; 376: 1498 - 1502.
3. George, Erkan. Antiphospholipid Syndrome. Progress in Cardiovascular
Diseases. 2009; 52: 115–125.
4. Austin, Cohen. Antiphospholipid syndrome. Elsevier. 2009; 38(2): 101 - 105.
5. Baker WF, Bick RL. The clinical spectrum of antiphospholipid syndrome.
Hematol Oncol Clin N Am 2008;22:33-52.
6. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl J
Med 2002;346:752-63.
7. Bermas B, Erkan D, Schur PH. Clinical manifestations and diagnosis of
antiphospholipid syndrome. Available from : www.uptodate.com
8. Gomez-Puerta, Cervera. Diagnosis and classification of the antiphospholipid
syndrome. Journal of Autoimmunity. 2014; 48: 20-25.
9. Danowski, et al. Guidelines for the treatment of antiphospholipid syndrome.
Rev Bras Reumatol. 2013; 53(2): 184 - 192.
10. Arachchillage, Cohen. Antiphospholipid syndrome. Elsevier. 2013; 42(3): 156
- 162.
11. Comarmond, Cacoub. Antiphospholipid syndrome: From pathogenesis to
novel immunomodulatory therapies. Autoimmunity Reviews. 2013;12: 752–
757.
12. Gostedoat-Chalumeau et al. Hydroxychloroquine: A multifaceted treatment in
lupus. Presse Med. 2014; 43: e167–e180.
13. Olsen et al. Multifaceted effects of hydroxychloroquine in human disease.
Seminars in Arthritis and Rheumatism 43 (2013) 264–272.
14. Ruiz-Irastorza, Khamashta. The treatment of antiphospholipid syndrome: A
harmonic contrast. Best Practice & Research Clinical Rheumatology. 2007;
21(6): 1079 - 1092.
15. Garcia, Khamastha. Clinical advances of interest in the diagnosis and
treatment of patients with antiphospholipid syndrome. Rev Clin Esp.
2013;213(2):108-113.
16. Mekinian et al. Obstetrical APS: Is there a place for hydroxychloroquine to
improve the pregnancy outcome? Autoimmunity Reviews 14 (2015) 23–29.
17. Belizna. Hydroxychloroquine as an anti-thrombotic in antiphospholipid
syndrome. Autoimmunity Reviews 14 (2015) 358–362.
18. Xuan Wu, Seth Guller, Rand. Hydroxychloroquine reduces binding of
antiphospholipid antibodies to syncytiotrophoblasts and restores annexin A5
expression. Am J Obstet Gynecol 2011;205:576.e7-14.
19. Mekinian et al. The efficacy of hydroxychloroquine for obstetrical outcome in
anti-phospholipid syndrome: Data from a European multicenter retrospective
study. Autoimmunity Reviews 14 (2015) 498–502.
20. Klinger et al. Ocular toxicity and antenatal exposure to chloroquine or
hydroxychloroquine for rheumatic diseases. Lancet 2001; 358: 813–14.
21. Diav-Citrin, Blykhman, Shechtman, Ornoy. Pregnancy outcome following in
utero exposure to hydroxychloroquine: A prospective comparative
observational study. Reproductive Toxicology 39 (2013) 58– 62.