You are on page 1of 20

I.

PENDAHULUAN
Antibodi antifosfolipid adalah golongan autoantibodi yang memiliki jangkauan
kekhususan dan afinitias yang baik. Autoantibodi ini merupakan perpaduan
berbagai fosfolipid, yaitu fosfolipid yang berikatan protein, atau keduanya.
Terminologi sindrom antifosfolipid pertama kali muncul pada tahun 1986,
membahas mengenai hubungan klinis antara antibodi antifosfolipid dan sindrom
hiperkoagulabilitas yang meliputi trombosis arteri, vena, trombositopeni dan
komplikasi obstetrik. 1,2
Terdapat banyak komplikasi obstetrik pada sindrom antifosfolipid, seperti
keguguran spontan berulang (abortus habitualis), kematian janin, dan
pertumbuhan janin terhambat. Gambaran klinis dari sindrom antifosfolipid sangat
bervariasi mulai dari sub akut seperti migrain berulang, gangguan penglihatan,
disarthria, trombosis vena dalam, keguguran berulang, sampai yang berat seperti
gagal katup jantung akut, trombositopenia, stroke mayor dan trombosis luas 4.
Sindrom antifosfolipid dapat menyerang seluruh pembuluh darah mulai dari aorta,
arteri karotis, arteri pulmonalis dan arteri kecil. Oleh karena itu semua bagian
tubuh bisa terkena termasuk retina dan kulit. Antibodi dapat bertahan selama
beberapa tahun dan pada sejumlah kecil penderita anitibodi dapat menetap
seumur hidup. 1,2
Hingga saat ini etiologi APS belum diketahui, sehingga pengobatan hanya untuk
mengatasi simtomatik yang terjadi akibat kelainan autoimun ini. Dalam
kehamilan, penatalaksanaan kehamilan dengan APS pada dasarnya meliputi
penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan dan masa
nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada risiko terjadinya trombosis,
gangguan sirkulasi utero plasenter dan penentuan waktu persalinan yang adekuat.3
Berbagai regimen pengobatan telah dikembangkan untuk mengatasi APS. Salah
satunya adalah hydroxychloroquine, regimen baru yang telah digunakan untuk
mengatasi malaria dan sindrom Lupus sistemik. Referat ini akan membahas
penggunaan hydroxychloroquine dalam penanganan APS dalam kehamilan.
II. SINDROM ANTIFOSFOLIPID
A. Definisi
Sindrom antibodi antifosfolipid (Antiphospholipid syndrome = APS) adalah
gangguan yang ditandai dengan antibodi multipel yang berbeda yang timbul
bersama antibodi antifosfolipid dengan trombosis arteri dan vena. APS
dikenal juga sebagai sindrom Hughes.3,4
Sindroma antifosfolipid merupakan suatu defek yang sebagian besar bersifat
kongenital dan terdiri dari 2 sindroma klinik yaitu sindroma trombosis
antikoagulan lupus dan sindroma trombosis antibodi antikardiolipin.
Sekalipun keduanya mirip tetapi terdapat perbedaan yang jelas dalam hal
klinis, laboraturium, perbedaan biokimia terutama mengenai prevalensi,
penyebab, kemungkianan mekanisme, presentasi klinis dan penanganannya.
Antibodi antifosfolipid pada sidroma ini dapat dideteksi dengan reaktivitasnya
terhadap fosfolipid anion (atau kompleks protein – fosfolipid) dalam
pemeriksaan dengan immunoassays atau dengan inhibisinya terhadap reaksi
koagulasi yang bergantung pada fosfolipid yang di kenal sebagi efek lupus
antikoagulan.2,5

B. Epidemiologi
Trombosis telah diketahui secara luas sebagai salah satu penyebab morbiditas
dan mortalitas kehamilan. Di Indonesia, tombosis berperan dalam tingginya
angka kematian ibu. APS adalah penyebab utama trombosis dalam kehamilan
yang bertanggung jawab atas morbiditas dan mortalitas janin serta ibu seperti
preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin dalam rahim,
persalinan preterm dan bahkan gangguan proses implantasi mudigah ke dalam
endometrium.1,3,6
Ada dua macam antibodi antifosfolipid yang telah dikenal yaitu Lupus
Anticoagulant (LA), dan Anticardiolipin Antibody (ACA). Sedangkan
klasifikasi APS terdiri dari APS tanpa penyebab lain disebut sebagai APS
primer, dan APS karena penyakit lain seperti SLE dinamakan APS sekunder.
1,3,6

Berdasarkan sejarahnya, antibodi antifosfolipid ditemukan pertama kali pada


pasien yang memiliki test sipilis positif tanpa tanda-tanda infeksi, kemudian
gangguan pembekuan ditemukan pada 2 pasien dengan SLE pada tahun 1952.
Pada tahun 1957, ditemukan hubungan antara abortus berulang dan APS yang
dikenal sekarang dengan Lupus Antikoagulan. Tahun 1983, Dr. Graham
Hughes membuktikan adanya hubungan antara antibodi antifosfolipid dengan
trombosis arteri dan vena. 1,3,6
Frekuensi pada populasi umum tidak diketahui, namun antibodi-antibodi APS
dapat ditemukan ±50% pada penderita SLE dan sekitar 1 – 5% pada populasi
orang sehat. Pada penelitian lain frekuensi ACA cenderung meningkat pada
orang tua. Pada literatur yang terbaru didapatkan 34 – 42% APS pada
penderita SLE. Pada penelitian dengan sampel sebanyak 100 pasien dengan
trombosis vena dan tidak menderita riwayat SLE, 24 % memiliki ACA dan
4% mempunyai LA. 1
Pada suatu peneilitian ditemukan sebanyak 8% orang sehat tanpa kelainan
apapun mengandung antifosfolipid titer rendah pada darah dan paling sering
terjadi pada wanita muda, yang disebut bentuk primer. Bentuk lain terjadi bila
ada kelainan lain yang mendasari, seperti sebanyak 30-50 % pasien dengan
SLE mempunyai antibodi antifofolipid dan sampai 30 % pasien dengan HIV
juga akan mempunyai antibodi tersebut meskipun biasanya tidak
menyebabkan trombosis.3
Penelitian pada pasien yang mengalami abortus spontan berulang, ditemukan
antibodi antifosfolipid sebanyak 15% sedangkan penelitian lain mendapatkan
angka 21%. Orreli dkk menemukan bahwa 60% pasien dengan abortus
habitualis dengan etiologi tidak jelas menderita sindroma antibody
antifosfolipid. Lockwood dkk (1989) mempelajari 737 wanita hamil normal
tanpa riwayat keguguran berulang dan mendapati bahwa 0,27% diantaranya
mempunyai antikoagulan lupus dan 2,2% mempunyai antibodi antikardiopilin
IgG atau IgM yang meningkat.6

C. Patofisiologi APS dalam Kehamilan


Terdapat hipotesis yang menjelaskan secara langsung autoantibodi dalam
potogensis sindroma antifosfolipid, yaitu:2,5,6
1. Antibodi pada sindroma AFL merupakan target protein plasma atau
komponen permukaan membran sel yang terpapar langsung dengan
antibodi dalam sirkulasi darah.
2. Antigen tersebut terlibat dalam reaksi hemostatik dan trombotik pada
permukaan sel endotel veskuler, trombosit dan komponen sel darah lain
3. Transfer imunoglobulin secara pasif pada hewan percobaan dapat
menyebabkan terjadinya sindroma AFL.
4. Adanya antibodi antifosfolipid berhubungan dengan serangan pertama
thrombosis
5. Manifestasi klinik yang terjadi pada sindroma antifosfolipid berhubungan
dengan kadar antibodi antifosfolipid.
Antibodi antifosfolipid dapat menghambat reaksi antikoagulan dan
fibrinolisis, sehingga dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas dan trombosis.
Mekanisme tersebut hingga saat ini masih belum jelas, dan diduga melalui:
2,5,6

1. Penghambatan produksi protasiklin melalui peningkatan pembentukan


antifosfolipase-A2
2. Penghambatan jalur protein C melalui peningkatan resistansi protein-C
sehingga terjadi defesiensi protein C; penghambatan ini dapat juga
disebabkan oleh peningkatan autoantibodi antitrombodulin, Antiprotein C
antitrombin atau penghambatan degradasi faktor koagulasi Va.
3. Penghambatan aktivasi antitrombin III yang disebabkan oleh peningkatan
aktifitas anti-HSPG dan anti ß2 –GPI.
4. Perangsangan aktifitas antikoagulan ß2 –GPI yang menyebabkan
hambatan produksi serotonin oleh aktifasi trombosit ADP – induced
menghambat aktifitas protombinase, serta menghambat pembentukan
faktor X oleh sel trombosit.
5. Mempengaruhi membran fosfolipid sel trombosit yang menyebabkan
aktivasi trombosit.
6. Mempengaruhi aktivasi prekalikrein dalam pembentukan kalikrein.
7. Mempengaruhi pengeluaran aktivator plasminogen sel endothelial.
8. Peningkatan homosestein pada kadar ACA dan kadar CLA tinggi dapat
merusak sel endothelial dan memacu proses thrombosis.

Gambar 1. Patogenesis thrombosis dalam APS


Sumber: Irastorza, Crowther, Khamastha, 2010
Berbeda dengan proses agregasi trombosit lainnya, antibodi anticardiolipin
dapat menimbulkan reaksi agregasi trombosit secara langsung tanpa merusak
permukaan sel endotel. Hal ini diduga terjadi melalui peningkatan sensitifitas
sel trombosit sehingga antibodi AFL dapat melekat pada membran permukaan
fosfolipid atau melalui peningkatan produksi tromboksan dan faktor
perangsangan (activating factor) dari sel trombosit. 2,5,6
Morbiditas obstetrik pada sindroma antifosfolipid, disebabkan secara
langsung dan tidak langsung oleh aktifitas antibodi AFL dan pembentukan
thrombosis pada pembuluh plasenta. Walaupun pada saat ini belum ditemukan
gambaran histipatologik spesifik pada embrio atau janin yang mengalami
kematian akibat antibodi AFL, perubahan plasenta pada kematian janin akibat
antibody SAF menunjukan adanya vaskulopati arteri spiralis, infark plasenta,
atau kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada penderita sindroma SAF
tersebut akan mengakibatkan isufisiensi plasenta yang akan diikuti dengan
keadaan hipoksia yang akan menyebabkan kematian janin. 2,5,6
Berikut ini adalah dasar patogenesis perubahan pada plasenta:1,5,6
1. Secara imunohistokimia, antifosfolipid IgG akan menyebabkan
berkurangnya jumlah annexin V pada permukaan apikal villi khoriales
pada plasenta dengan pertumbuhan janin terhambat sehingga terjadi
penurunan antikoagulan yang akan merangsang terjadinya trombosis
sehingga terjadi gangguan fungsi uteroplasenter.
2. Terbentuknya trombosis dapat menutup sebagian atau seluruh lumen
pembuluh uteroplasenter; ditemukan pula peningkatan deposit fibrin atau
fibrinoid pada permukaan trofoblas villi sehingga terjadi kalsifikasi pada
plasenta
3. Kejadian okulasi total/parsial dan kalsifikasi ini dapat menghambat aliran
darah uteroplasenter, gangguan fungsi nutrisi dan pernafasan sehingga
dapat terjadi pertumbuhasn janin terhambat, gawat janin hingga kematian
janin.
4. Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi dapat
berupa hematoma retroplasenter, peningkatan jumlah simpul sisnsitial,
nekrosis sel trofoblas, edema dan pendarah stroma villi, proliferasi
trofoblas, serta hipovaskularisasi villi merupakan gambaran kelainan pada
sindroma antifosfolipid dengan penyulit preeklampsia.
5. Pada plasenta dengan kematian janin intrauterin dengan antibodi
antifosfolipid ditemukan penurunan membran vaskulo-sinsitial, fibrosis
pada daerah infark disertai gambaran hipovaskuler villi dan trombosis
serta pertambahan jumlah simpul sinsitial yang dihubungkan dengan
proses hipoksia kronik.
6. Pada daerah avaskuler atau hipovaskuler villi plasenta dapat dijumpai
penebalan stroma yang disertai dengan perdarahan endovaskulitas;
antibodi antifosfolipid intraplasenta menyebabkan peningkatan
konsentrasi laminin dan kolagen tipe IV yang membentuk membran
stroma villi, meskipun tanpa disertai perubahan konsentrasi molekul
pelekat sel( cell adhesion molecule/CAM, baik platelet endhotelial
CAM/PECAM, intercellular CAM-1/ICAM-1, maupun vascular CAM-
1/VCAM – 1). Kerusakan jaringan plasenta yang luas akibat peningkatan
antibodi antifosfolipid akan menyebabkan perubahan rasio tromboksan-
protasklin dan memacu aktifitas siklooksigenase-2 ( cox-2) pada sel
endotel sehingga menimbulkan meningkatkan proses agregasi trombosit,
penampilan gejala preeklamsia dan memicu proses persalinan preterm.

D. Manifestasi Klinis
Dari 1000 kasus sindroma antifosfolipid , presentasi klinis yang sering
ditemukan adalah:1,2,7
1. Trombosis vena dalam (32%)
2. Trombositopenia (22%)
3. Livido retikularis (20%)
4. Stroke (13%)
5. Tromboflebitis superfisialis (9%)
6. Emboli pulmonal (9%)
7. Kematian fetus (8%)
8. Transient ischemic attack (7%)
9. Anemia hemolitik (7%)
Sebagian kecil (0.8%) penderita sindroma antifosfolipid dapat mengalami
trombosis luas dengan kegagalan organ multipel 3 atau lebih organ/sistem,
kondisi ini disebut dengan catastrophic APS. Kondisi ini sering berakibat fatal
dengan angka mortalitas 44-48%, meskipun telah diberikan terapi
antikoagulan dan imunosupresif. 7
Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan pada sindroma antifosfolipid
adalah sebagai berikut:1,3,7
1. Trombosis pada pembuluh darah besar:
a. Neurologik
Transient ischemic attack, stroke iskemi, chorea, kejang, dementia,
mielitis transversa, ensefalopati, migren, pseudotumor serebri,
trombosis vena serebral, mononeuritis multipleks.
b. Optalmik
Trombosis arteri/vena retina, amaurosis fugax.
c. Kulit
Flebitis superfisial, ulkus di kaki, iskemi distal, blue toe syndrome.
d. Jantung
Infark miokardial, vegetasi valvular, trombi intrakardiak,
aterosklerosis.
e. Paru-paru
Emboli paru, hipertensi pulmonal, trombosis arteri pulmonal,
perdarahan alveolar.
f. Arteri
Trombosis aorta, trombosis arteri besar dan kecil.
g. Ginjal
Trombosis vena/arteri renalis, infark ginjal, gagal ginjal akut,
proteinuria, hematuria , sindroma nefrotik.
h. Gastrointestinal
Sindroma Budd-Chiari, infark hati, infark kandung empedu, infark
usus, infark limpa, pankreatitis, asites, perforasi esofagus, kolitis
iskemi.
i. Endokrin
Infark dan kegagalan fungsi adrenal, infark testis, infark prostat, infark
dan kegagalan fungsi pituitari.
j. Vena
Trombosis vena ekstremitas, adrenal, hepatik, mesenterik, lien, vena
cava.
k. Hematologi
Trombositopenia, anemia hemolitik, sindroma hemolitik uremik,
purpura trombotik trombositopeni.
l. Lain-lain
Perforasi septum nasal, nekrosis avaskular tulang.

E. Komplikasi Obstetrik
Preeklampsia merupakan komplikasi obstetrik yang sering ditemukan. 50%
penderita Sindrom antifosfolipid mengalami pre eklampsia dan 25%
mengalami pre eklampsia berat sehingga APA merupakan faktor risiko yang
prospektif untuk terjadinya preeklampsia. Kasus preeklampsia yang terjadi
pada usia kehamilan aterm dibuktikan tidak berhubungan dengan APA. Oleh
sebab itu pemeriksaan APA hanya direkomendasikan pada kasus preeklampsia
berat early-onset (< 34 minggu). Pertumbuhan janin terhambat (intrauterine
growth restriction = IUGR) juga umum dijumpai pada Sindrom antifosfolipid
yaitu berkisar antara 15% - 30%. Sebaliknya pada wanita yang melahirkan
bayi IUGR, 25% didapatkan positif APA.1,4,6
Insufisiensi uteroplasenter merupakan komplikasi obstetrik yang juga dapat
terjadi pada kehamilan dengan Sindrom antifosfolipid. Bahkan disebutkan
mencapai 50%. Insufisiensi uteroplasenter ini ditandai dengan adanya
abnormalitas denyut jantung janin (deselerasi) yang dapat terjadi mulai
trimester kedua.
Preeklampsia, IUGR dan insufisiensi uteroplasenter meningkatkan risiko
persalinan iatrogenic prematur pada kehamilan dengan Sindrom
antifosfolipid. Kurang lebih sepertiga (12% - 35%) kehamilan dengan
Sindrom antifosfolipid akan melahirkan bayi prematur sebelum usia
kehamilan 34 minggu. 1,4,8
Kriteria diagnosis komplikasi kehamilan pada Sindrom antifosfolipid mulanya
hanya mencakup fetal loss yaitu umur kehamilan ≥ 10 minggu. Kurang lebih
40% pregnancy losses pada individu dengan APA terjadi pada periode fetal ini
tetapi sekarang pregnancy loss yang berkaitan dengan Sindrom antifosfolipid
diperluas sehingga mencakup recurrent pregnancy loss yang terjadi pada
periode preembrionik (umur kehamilan < 6 minggu) dan periode embrionik
(umur kehamilan 6 – 9 minggu). Hal ini berdasarkan evaluasi serologis dari
wanita yang mengalami recurrent pregnancy loss, 10% - 20% ditemukan APA.
1,4,8

Wanita dengan Sindrom antifosfolipid yang didiagnosis berdasarkan kejadian


fetal loss dan atau tromboemboli sebelumnya sering mengalami komplikasi
yang lebih serius pada kehamilan berikutnya dibanding dengan mereka yang
hanya mengalami abortus berulang. 1,4,11

F. Diagnosis
Berdasarkan International Consencus Statement on an Update of the
Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Syndrome diagnosis
Sindrom antifosfolipid ditegakkan dengan memenuhi sekurang-kurangnya
satu dari kriteria klinis dan satu dari kriteria laboratoris seperti yang tercantum
pada tabel 1.8,10

Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom antifosfolipid8,9


Diagnosis harus memenuhi sekurang-kurangnya satu dari kriteria klinis dan satu dari
kriteria laboratoris.
A. Kriteria klinis
1. Trombosis vaskuler. Satu kali atau lebih episode klinik trombosis pada arteri,
vena pada jaringan atau organ yang dikonfirmasi secara obyektif dengan
menggunakan kriteria yang valid (pencitraan atau histopatologi)
2. Komplikasi kehamilan :
a. Satu kali atau lebih kematian janin dengan morfologi normal yang tidak
diketahui penyebabnya setelah umur kehamilan 10 minggu (kriteria janin
dengan morfologi normal adalah ditentukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi atau pemeriksaan langsung), atau
b. Satu kali atau lebih kejadian persalinan prematur, janin morfologi
normal, pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu akibat eklampsia
atau preeklampsia berat atau akibat dari insufisiensi uteroplasenter, atau
c. Tiga kali atau lebih kejadian abortus spontan pada umur kehamilan
kurang dari 10 minggu dan telah disingkirkan faktor-faktor lain sebagai
penyebabnya yaitu kelainan anatomik dan hormonal ibu serta kelainan
kromosom dari pasangan tersebut.
B. Kriteria laboratoris
1. Lupus anticoagulant (LA) plasma yang (+) dalam dua kali pemeriksaan atau
lebih dengan selang waktu sekurang-kurangnya 12 minggu. Dideteksi sesuai
pedoman dari ISTH Scientific Committe on Lupus Anticoagulants/
Phospholipid-Dependent Antibodies
2. IgG dan atau IgM Anticardiolipin antibody serum atau plasma yang (+)
dalam titer medium atau tinggi (>40 GPL atau MPL, atau > persentil 99)
dalam dua kali atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu sekurang-
kurangnya 12 minggu menggunakan metode ELISA
IgG dan atau IgM Antiβ2-glycoprotein-1 antibody serum atau plasma yang (+) (titer
> persentil 99) dalam dua kali atau lebih pemeriksaan dengan selang waktu
sekurang-kurangnya 12 minggu menggunakan metode ELISA

III.HYDROXYCHLOROQUINE (HCQ) SEBAGAI PENANGANAN


SINDROM ANTIFOSFOLIPID
A. Kimia hydroxychloroquine
Nama kimia hydroxychloroquine dalam sistem IUPAC adalah (RS)-2-[{4-[(7-
chloroquinolin-4-yl)amino]pentyl}(ethyl)amino]ethanol.12
Hydroxychloroquine merupakan obat antimalaria yang dijual dengan nama
dagang Plaquenil, Axemal (di India), Dolquine and Quensyl.
Hydroxychloroquine dapat dibedakan dengan chloroquine berdasarkan adanya
kelompok hidroksil di akhir tiap sisi rantai. Substituen N-etil adalah
betahidroksilasi. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan oral sebagai
hydroxychloroquine sulfate (plaquenil) dimana tiap 200 mg mengandung 155
mg. Hydroxychloroquine memiliki farmakokinetik yang sama dengan
chloroquine, memiliki tingkat absorbs gastrointestinal yang cepat dan
dieliminasi di ginjal. Enzim sitokrom P450 (CYP 2D6, 2C8, 3A4 and 3A5)
memetabolisasi hydroxychloroquine to N-desethylhydroxychloroquine. 12

Gambar 2. Rantai kimia hydroxychloroquine

B. Mekanisme kerja
Antimalaria telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengatasi
inflamasi rematik, namun mekanismenya yang kompleks masih tetap
kontroversial. Telah diketahui bahwa molekul, yang merupakan basa lemah,
mengganggu fungsi fagositosis melalui peningkatan pH dalam kompartemen
intraseluler, mengarah ke gangguan presentasi selektif self-antigen (yang
memiliki afinitas rendah).12,13
Selain mengubah proses presentasi antigen, chloroquine (CQ) dan HCQ juga
dapat menghalangi respon proliferatif sel-T setelah stimulasi dengan mitogen
atau alloantigens. Kecuali dalam satu studi interleukin (IL)-1, data
eksperimental terus menunjukkan penghambatan produksi sitokin (IL-1, IL-2,
IL-6, IL-17, IL-22, interferon [IFN] alpha dan gamma dan/atau Tumor
Necrosis Factor [TNF] alpha). 12,13
Data mengenai hubungan antara HCQ dan apoptosis bertentangan: HCQ telah
terbukti menginduksi apoptosis dalam limfosit darah perifer tetapi beberapa
eksperimen menemukan bahwa HCQ menunjukkan tindakan anti-apoptosis
pada limfosit. Pada pasien SLE, efek anti-apoptosis ini tampaknya
dihubungkan dengan gangguan pengolahan antigen dalam makrofag dan
antigen-presenting sel lain. Mekanisme aksi lain melibatkan penghambatan
DNA polimerase atau penghambatan aktivitas phospholipases A2. 12,13
Data yang lebih baru mendukung gagasan bahwa aktivitas kunci HCQ di SLE
kemungkinan adalah penghambatan aktivasi Toll-like reseptor (TLR). TLR
adalah reseptor yang terlibat dalam kekebalan bawaan yang tampaknya
memiliki peran yang sangat penting dalam penyakit autoimun termasuk SLE.
TLR telah terlebih dahulu dikenal karena kemampuan mereka untuk
membedakan makromolekul mikroba dari jaringan host dan dengan demikian
cepat mengaktifkan sistem kekebalan tubuh bawaan. Namun, hal itu telah
menjadi semakin jelas dalam beberapa tahun terakhir bahwa molekul host
tertentu tertentu, terutama asam nukleat, dapat berfungsi sebagai endogen
ligan TLR, yang mungkin memicu tanggapan terhadap kerusakan jaringan.
Lingkungan lisosomal asam menguntungkan bagi pengikatan asam nukleat
oleh TLR intraseluler. Seperti yang terlihat sebelumnya, HCQ menghambat
pengasaman endosomal, di mana sinyal dari intraseluler TLR terletak.
Penghambatan aksi CQ dan interaksi HCQ TLR dengan ligan asam nukleat
telah dikonfirmasi dalam dekade terakhir. Leadbetter dkk telah menunjukkan
dalam model tikus transgenik bahwa produksi faktor rheumatoid oleh
Blymphocytes membutuhkan aktivasi TLR 9. Dalam penelitian ini, CQ
mampu memblokir produksi faktor rheumatoid dengan menghambat TLR 9 di
endosomes. Brentano dkk menunjukkan bahwa HCQ, jika digunakan secara in
vitro sebagai anti-TLR, menghambat produksi sitokin dan kemokin oleh
fibroblast yang telah dirangsang oleh sel-sel dari cairan sinovial nekrotik dari
pasien dengan rheumatoid arthritis. Sacré dkk menunjukkan bahwa sel
dendritik plasmasitoid pasien SLE yang menerima HCQ tidak mampu
menghasilkan IFN-dan TNF-a pada stimulasi dengan agonis TLR-9 dan TLR-
7 (TLR-9 dan TLR-7 diekspresikan secara konstitutif oleh sel-sel ini..
Akhirnya, seperti yang ditekankan oleh Lafyatis dkk, penting bahwa
konsentrasi in vivo (di atas 1000 ng/mL) yang berhubungan dengan frekuensi
penurunan flare SLE flare berada di kisaran yang sama dengan tingkat yang
mampu memblokir TLRs intraseluler in vitro. 12,13

C. Indikasi
Hydroxychloroquine telah digunakan selama bertahun – tahun untuk
mengatasi malaria. Obat ini juga telah digunakan untuk mengatasi lupus
erimatosus, penyakit reumatik seperti rheumatoid arthritis dan sindrom
Sjorgen, serta porphyria cutanea tarda. 12,13
Hydroxychloroquine juga digunakan dalam penanganan post-Lyme arthritis.
Hal ini akibat aktivitas anti-spirochaete dan aktivitas anti-inflamasi, sama
dengan penanganan rheumatoid arthritis. Aktivitas anti-diabetik
Hydroxychloroquine telah ditunjukkan dalam studi sistematik, acak terkontrol
pada pasien diabetes tipe 2. Pemberian hydro xychloroquine dikombinasikan
dengan sulfonylurea dan metformin. Pasien dengan Hydroxychloroquine
menunjukkan penurunan kadar kolesterol total, trigliserida dan kadar LDL.
12,13

D. Kontraindikasi
1. Kontraindikasi absolut
Berdasarkan Physician desk reference (PDR) dan Micromedex,
kontraindikasi absolut penggunaan antimalarial sedikit, dan mencakup: 12,13
a. Perubahan pada retina atau visual setelah pemberian senyawa
aminoquinoline.
b. Hipersensitivitas terhadap senyawa 4-aminoquinoline;
c. Penggunaan jangka panjang pada anak.
Karena desensitisasi mungkin efektif pada pasien dengan hipersensitivitas,
toksisitas retinal masih menjadi kontraindikasi absolute pada pasien
dewasa dengan SLE.
2. Kontraindikasi relatif
PDR dan Micromedex menyatakan bahwa harus berhati –hati dalam
memberi HCQ pada pasien dengan riwayat psikotik, epilepsi atau riwayat
masalah pendengaran, pasien dengan penyakit hati, alkoholik, psoriasis,
defisiensi G6PD, porphyria cutanea tarda dan neuromuscular disorders
termasuk myasthenia gravis, dan dalam kasus pemberian bersamaan dengn
obat hematotoksik atau obat dengan tendensi untuk menyebabkan
dermatitis.13,14
Tidak semua kontraindikasi ini didukung oleh fakta. Seperti yang telah
dijelaskan diatas, HCQ dapat diberikan secara hati – hati pada pasien
psoriasis dengan defisiensi G6PD. Meskipun ada kekhawatiran terhadap
pemberian antimalarial pada pasien myasthenia gravis, HCQ umumnya
aman bagi pasien dengan SLE and myasthenia gravis.13,14
SLE dan PCT menjadi masalah tersendiri karena hubungan antara
antimalaria dan PCT cukup kompleks. Pertama, kasus obat antimalarial
yang menginduksi PCT atau porphyria telah dilaporkan. Kedua, pada
beberapa pasien dengan PCT yang menerima HCQ atau CQ mungkin
muncul eksarsebasi akut penyakit hati diikuti dengan remisi klinis jangka
panjang setelah eksarsebasi akut. Hasil onservasi ini menyebabkan
disarankan penggunaan antiamalarial dengan dosis sangat rendah untuk
penanganan PCT. Pada paien dengan SLE dan PCT, dianjurkan untuk
memulai pengobatan dengan dosis sangat rendah untuk mencegah
eksaserbasi (100 mg HCQ dua kali seminggu). 13,14

E. Efikasi hydroxychloroquine dalam penanganan APS dalam kehamilan


Hydroxychloroquine banyak digunakan pada pasien dengan berbagai penyakit
autoimun, khususnya SLE. Antimalaria memiliki banyak sifat anti inflamasi,
anti-aggregant dan immune-regulatory; mereka menghambat aktivitas
fosfolipase, menstabilkan membran lisosom, memblokade produksi beberapa
sitokin pro-inflamasi dan, merusak reaksi antigen-antibodi. Selain sifat anti-
inflamasi, hydroxychloroquine menyebabkan efek antitrombotik oleh
penghambatan agregasi platelet dan sekresi asam arakidonat oleh trombosit
teraktivasi.15,16,17
Pada tikus yang diinduksi trombosis APL, hidroksiklorokuin mengurangi
tingkat dan ukuran trombus. Mencegah pengikatan anti-β2GPI membran
fosfolipid kompleks, mengekspresikan efek antikoagulan dari annexin A5.
Hydroxychloroquine mengurangi APL di syncytiotrofoblas dengan
meningkatkan ekspresi annexin 5 plasenta.17
Dalam studi klinis trombosis, hidroksiklorokuin awalnya digunakan sebagai
pengobatan profilaksis anti-trombotik dalam bedah ortopedi dan telah terbukti
efektif dalam beberapa penelitian. Dalam penelitian SLE, telah terbukti
adanya penurunan risiko thrombosis oleh hydroxychloroquine, dan
hydroxychloroquine telah dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih
baik dalam analisis multivariat. Selain itu, hydroxychloroquine telah terbukti
mengurangi titer APL dalam plasma pasien SLE dengan APS terkait. Pada ibu
dengan anti-SSA/SSB seropositive, manifestasi lupus pada jantung janin dan
neonatal bisa dicegah dengan perawatan hidroksiklorokuin pada pasien hamil
dengan SLE. Hydroxychloroquine digunakan pada pasien tertentu dengan
APS trombotik atau fitur APS non-trombotik atipikal, walaupun dalam data
literature penggunaannya tetap jarang. Hingga saat ini baru satu uji open-label
prospektif yang menunjukkan manfaat dari hydroxychloroquine sebagai
pencegahan thrombosis dikombinasikan dengan antikoagulan. Dalam APL
asimtomatik, hydroxychloroquine dan mencegah risiko thrombosis dan
manfaat penggunaan APL asimtomatik saat ini sedang dipelajari secara
internasional. Tidak ada data klinis tentang penggunaan hydroxychloroquine
di APS dalam kehamilan. Dua penelitian di Perancis menunjukkan bahwa
konsentrasi hydroxychloroquine yang rendah dalam darah berhubungan
dengan aktivitas dan kekambuhan SLE yang lebih sering muncul dalam waktu
6 bulan. 15,18
Meskipun hydroxychloroquine melewati plasenta dengan konsentrasi dalam
tali pusat menyerupai konsentrasi darah maternal, sejumlah penelitian telah
melaporkan keamanannya dan dalam beberapa penelitian efikasi
hydroxychloroquine telah terbukti.19
Pemberin hydroxychloroquine dapat dilanjutkan selama menyusui. Dalam
sebuah pengukuran konsentrasi hydroxychloroquine dalam ASI ibu yang
mengkonsumsi hydroxychloroquine, ingesti hydroxychloroquine oleh bayi
tidak melebihi 0,2 mg/kg/hari, dosis ini sangat rendah dibandingkan dosis
yang direkomendasikan pada pasien dewasa sebesat 6,5 mg/kg. 19
Ketika memulai penanganan dengan HCQ harus diingat bahwa HCQ memiliki
onset aksi yang lambat karena waktu paruhnya yang panjang. Dengan
demikian, pasien menginterpretasikan ini sebagai obat yang tidak efektif
sehingga tidak patuh terhadap pengobatan. Oleh karena itu, ketika meresepkan
obat ini, dokter harus menjelaskan kepada pasien bahwa efikasi baru terasa
dalam waktu 2 – 8 minggu. 19

F. Efek samping
Hydroxychloroquine biasanya dapat ditoleransi dengan baik, dan efek
samping yang serius jarang ditemukan. Efek samping utama melibatkan
jantung dan toksisitas retina. Kejadian toksisitas jantung masih kontroversial,
dan penelitian prospektif pada 85 pasien yang diobati dengan
hydroxychloroquine, menunjukkan tingkat gangguan konduksi jantung selama
12 bulan follow-up mirip dengan apa yang ditemukan pada populasi umum.
Berkaitan dengan toksisitas retina, sebuah studi tindak lanjut pada 2043 orang
pasien dewasa dari 6 studi melaporkan hanya 2 kasus (0,1%) retinopathy
dengan durasi rata-rata pengobatan hidroksiklorokuin 10 tahun. Risiko
retinopati ireversibel pada pasien yang menerima hidroksiklorokuin selama
kurang dari 12 bulan tidak ditemukan, karena durasi paparan merupakan
faktor risiko yang paling penting. Rekomendasi terbaru menyatakan bahwa
evaluasi oftalmologi tidak wajib di 5 tahun pertama pengobatan
hidroksiklorokuin tanpa adanya faktor risiko tertentu.20,21
Berkenaan dengan janin dalam kehamilan yang diobati dengan
hydroxychloroquine, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tidak ada
risiko cacat bawaan yang signifikan, retinopati atau ototoxicitas. Sebuah meta-
analisis menunjukkan tidak adanya risiko yang terkait dengan penggunaan
hydroxychloroquine selama kehamilan. Anak yang lahir dari ibu yang diobati
dengan hydroxychloroquine selama kehamilan menunjukkan fungsi
audiovestibular dan oftalmologi yang normal ketika evaluasi dilakukan pada
usia 12 bulan. Pada anak-anak dari 275 pasien SLE yang menerima
pengobatan hydroxychloroquine selama kehamilan, risiko cacat bawaan
sebanding dengan anak-anak tidak terpajan, dan tidak ditemukan kasus
ototoxicitas, retinopati, atau neurotoksisitas. Hydroxychloroquine saat ini
dianjurkan dan digunakan secara rutin di Perancis, termasuk saat kehamilan
pada pasien SLE. Dengan demikian, penggunaan hydroxychloroquine selama
kehamilan tampaknya aman tetapi kemampuannya untuk digabungkan dengan
penanganan konvensional untuk mencegah komplikasi obstetri dan neonatal
pada kasus APS membutuhkan studi lebih lanjut. 20,21

REFERENSI
1. Robertson, Greaves. Antiphospholipid syndrome: An evolving story. Blood
Reviews. 2006; 20: 201–212.
2. Ruiz-Irastorza, Crowther, Branch, Khamashta. Antiphospholipid syndrome.
The Lancet. 2010; 376: 1498 - 1502.
3. George, Erkan. Antiphospholipid Syndrome. Progress in Cardiovascular
Diseases. 2009; 52: 115–125.
4. Austin, Cohen. Antiphospholipid syndrome. Elsevier. 2009; 38(2): 101 - 105.
5. Baker WF, Bick RL. The clinical spectrum of antiphospholipid syndrome.
Hematol Oncol Clin N Am 2008;22:33-52.
6. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The antiphospholipid syndrome. N Engl J
Med 2002;346:752-63.
7. Bermas B, Erkan D, Schur PH. Clinical manifestations and diagnosis of
antiphospholipid syndrome. Available from : www.uptodate.com
8. Gomez-Puerta, Cervera. Diagnosis and classification of the antiphospholipid
syndrome. Journal of Autoimmunity. 2014; 48: 20-25.
9. Danowski, et al. Guidelines for the treatment of antiphospholipid syndrome.
Rev Bras Reumatol. 2013; 53(2): 184 - 192.
10. Arachchillage, Cohen. Antiphospholipid syndrome. Elsevier. 2013; 42(3): 156
- 162.
11. Comarmond, Cacoub. Antiphospholipid syndrome: From pathogenesis to
novel immunomodulatory therapies. Autoimmunity Reviews. 2013;12: 752–
757.
12. Gostedoat-Chalumeau et al. Hydroxychloroquine: A multifaceted treatment in
lupus. Presse Med. 2014; 43: e167–e180.
13. Olsen et al. Multifaceted effects of hydroxychloroquine in human disease.
Seminars in Arthritis and Rheumatism 43 (2013) 264–272.
14. Ruiz-Irastorza, Khamashta. The treatment of antiphospholipid syndrome: A
harmonic contrast. Best Practice & Research Clinical Rheumatology. 2007;
21(6): 1079 - 1092.
15. Garcia, Khamastha. Clinical advances of interest in the diagnosis and
treatment of patients with antiphospholipid syndrome. Rev Clin Esp.
2013;213(2):108-113.
16. Mekinian et al. Obstetrical APS: Is there a place for hydroxychloroquine to
improve the pregnancy outcome? Autoimmunity Reviews 14 (2015) 23–29.
17. Belizna. Hydroxychloroquine as an anti-thrombotic in antiphospholipid
syndrome. Autoimmunity Reviews 14 (2015) 358–362.
18. Xuan Wu, Seth Guller, Rand. Hydroxychloroquine reduces binding of
antiphospholipid antibodies to syncytiotrophoblasts and restores annexin A5
expression. Am J Obstet Gynecol 2011;205:576.e7-14.
19. Mekinian et al. The efficacy of hydroxychloroquine for obstetrical outcome in
anti-phospholipid syndrome: Data from a European multicenter retrospective
study. Autoimmunity Reviews 14 (2015) 498–502.
20. Klinger et al. Ocular toxicity and antenatal exposure to chloroquine or
hydroxychloroquine for rheumatic diseases. Lancet 2001; 358: 813–14.
21. Diav-Citrin, Blykhman, Shechtman, Ornoy. Pregnancy outcome following in
utero exposure to hydroxychloroquine: A prospective comparative
observational study. Reproductive Toxicology 39 (2013) 58– 62.

You might also like