You are on page 1of 98

HASIL PENELITIAN SKRIPSI

UNIVERSITAS ANDALAS

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
TAHUN 2017

Oleh :

FINA RANIVIRA RESMANA


No. BP. 1511216050

Diajukan Sebagai Pemenuhan Syarat untuk Mendapatkan


Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2018
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
TAHUN 2017

Oleh :
FINA RANIVIRA RESMANA
No. BP : 1511216050

Hasil penelitian skripsi ini telah diperiksa, disetujui dan siap untuk
dipertahankan dihadapan tim penguji hasil penelitian skripsi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas

Padang, April 2018


Menyetujui

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Ade Suzana Eka Putri, Ph.D Yudi Pradipta, SKM, MPH


NIP. 198106052006042001
PERNYATAAN PENGESAHAN

DATA MAHASISWA:
Nama Lengkap : Fina Ranivira Resmana
Nomor Buku Pokok : 1511216050
Tanggal Lahir : 07 Februari 1991
Tahun Masuk : 2015
Peminatan : Epidemiologi
Nama Pembimbing Akademik : Dra. Sri Siswati, Apt, SH, M. Kes
Nama Pembimbing I : Ade Suzana Eka Putri, Ph.D
Nama Pembimbing II : Yudi Pradipta, SKM, MKM
Nama Penguji I : Vivi Triana, SKM, MPH
Nama Penguji II : Dr. dr. Fauziah Elytha, MSc

JUDUL PENELITIAN:
FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
(SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2017
Menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan akademik dan

administrasi untuk mengikuti ujian hasil penelitian skripsi Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Andalas.

Padang, April 2018

Mengetahui, Mengesahkan,
Ketua Departemen Epidemiologi Ketua Prodi S1 Kesehatan Masyarakat
dan Biostatistik

Vivi Triana, SKM, MPH


Ade Suzana Eka Putri, Ph.D
NIP. 197602042005012002
NIP. 198106052006042001
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama Lengkap : Fina Ranivira Resmana


Nomor Buku Pokok : 1511216050
Tanggal Lahir : 07 Februari 1991
Tahun Masuk : 2015
Peminatan : Epidemiologi
Nama Pembimbing Akademik : Dra. Sri Siswati, Apt, SH, M.Kes
Nama Pembimbing I : Ade Suzana Eka Putri, Ph.D
Nama Pembimbing II : Yudi Pradipta, SKM, MPH
Nama Penguji I : Vivi Triana, SKM, MPH
Nama Penguji II : Dr. dr. Fauziyah Elytha, MSc

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan hasil
skripsi saya yang berjudul :
“FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
(SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2017”
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Padang, April 2018

Fina Ranivira Resmana


No.BP:1511216050
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS

Skripsi, April 2018

FINA RANIVIRA RESMANA, No. BP. 1511216050

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2017
xiii+ 87 halaman, 21 tabel, 3 gambar, 9 lampiran

ABSTRAK
Tujuan
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi
autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya sehingga seringkali terlambat dalam
diagnosis dan penatalaksanaannya. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penyandang SLE baru di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian SLE di RSUP Dr. M. Djamil
Padang Tahun 2017.

Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 sampai bulan April 2018
menggunakan disain case-control dengan 92 responden. Pengambilan sampel kasus
dan kontrol dengan cara systematic random sampling. Pengumpulan data
menggunakan data primer berupa kuisioner dan data sekunder berdasarkan status
rekam medis pasien Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun
2017. Data analisis menggunakan uji chi-Square dan regresi logistik dengan derajat
kepercayaan 95%.

Hasil
Hasil bivariat menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kejadian SLE adalah
umur OR =5,78 (95% CI 1,924 – 17,307), jenis kelamin OR= 6,88 (95% CI 2,305 –
20,585), riwayat penyakit keluarga OR= 3,14 (95% CI 0,314 – 31,360), pekerjaan
OR = 0,28 (95% CI 0,112 – 0,689) , dan paparan sinar UV OR= 0,54 (95% CI
0,234 – 1,235). Pemodelan akhir multivariat menunjukkan bahwa variabel yang
paling dominan mempengaruhi kejadian SLE adalah jenis kelamin (p-value = 0,003
OR = 9,84).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jenis kelamin berisiko paling tinggi
terhadap kejadian SLE. Diharapkan kepada PKMRS (Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit) RSUP Dr. M. Djamil untuk meningkatkan strategi
penyuluhan kepada penderita SLE terutama pada perempuan usia produktif (15-44
tahun) agar dapat menjaga pola hidup yang sehat supaya tidak memperparah
penyakitnya. Penyuluhan juga ditargetkan kepada pihak keluarga untuk dapat
mengetahui gejala, faktor risiko dan cara pencegahan penyakit SLE.
Daftar Pustaka : 68 (1994-2017)
Kata Kunci : SLE, jenis kelamin, umur, riwayat penyakit keluarga,
pekerjaan, paparan sinar UV.
FACULTY OF PUBLIC HEALTH

i
ANDALAS UNIVERSITY

Undergraduate Thesis, April 2018

FINA RANIVIRA RESMANA, No. BP. 1511216050

THE RISK FACTORS OF SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


IN DR. M. DJAMIL PADANG YEAR 2017

xiii + 87 pages, 21 tables, 3 pictures, 9 appendices

ABSTRACT

Objective
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) disease is a chronic autoimmune inflammatory
disease that is not yet clear cause is so often late in diagnosis and treatment. Each
year there are more than 100,000 persons with SLE recently around the world. This
study aims to identify the risk factors that have the most influence on the incidence
of SLE in Dr. M. Djamil Padang Year 2017.

Method
The research conducted from October 2016 to April 2018. This study used a case-
control design with 96 samples. Sample was taken by using systematic random
sampling method. The collection of data using primary data in the form of
questionnaires and secondary data based on the status of medical records of patients
Inpatient Medicine Hospital Dr. M. Djamil Padang Year 2017. Data were analyzed
by chi-square test and logistic regression with 95% confidence degree.

Result
Bivariate analysis showed that age had OR=5,78 (95% CI 1,924 - 17,307), sex had
OR = 6.88 (95% CI 2.305 - 20.585), family illness history had OR = 3.14 ( 95% CI
0.314 - 31.360), occupational status had OR = 0.28 (95% CI 0.112 - 0.689), and UV
exposure had OR = 0.54 (95% CI 0.234 - 1.235). Multivariate end modeling showed
that the most dominant variable influencing the incidence of SLE is sex (p-value =
0,003, OR = 9,84).

Conclusion
Based on the results of the research showed that sex is a risk factor that most
influence on the incidence of SLE. It is recommend to public health information
division in Dr. M. Djamil hospital to improve the counselling strategy to SLE
patients especially on woman of productive age (15-44 years) in order to maintain a
healthy lifestyle so as not to aggravate the disease. Counseling is also targeted to the
family to be able to know the symptoms, risk factors and how to prevent the SLE
disease.

References : 87 (1994-2017)
Keywords : SLE, sex, age, family illness history, occupational status,
UV exposure

KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

judul ” Faktor Risiko Kejadian Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di

RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 “. Pada kesempatan ini peneliti

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Ade Suzana Eka Putri, SKM, M.Comm Health Sc, Ph.D selaku Kepala

Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat sekaligus pembimbing I

dalam penyusunan skripsi ini.


2. Bapak Yudi Pradipta, SKM, MPH selaku pembimbing II dalam penyusunan

skripsi ini.
3. Bapak Defriman Djafri, SKM, MKM, Ph.D selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Vivi Triana, SKM, MPH selaku Ketua Departemen Epidemiologi dan

Biostatistik Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat sekaligus penguji

I dalam penyusunan skripsi ini.


5. Ibu Dra. Sri Siswati, Apt, SH, M.Kes selaku Pembimbing Akademik.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan hasil penelitian

skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada peneliti mendapat

balasan dari Allah SWT. Peneliti berharap semoga hasil penelitian skripsi ini

bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Padang, April 2018

iii
Peneliti

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERNYATAAN PENGESAHAN

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

iv
KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................v

DAFTAR TABEL.......................................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR...................................................................................................x

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN.........................................................................xii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................xiii

BAB 1 : PENDAHULUAN.........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Perumusan Masalah.............................................................................................6

1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................6

1.3.1 Tujuan Umum.............................................................................................6

1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................................6

1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................................7

1.4.1 Manfaat Teoritis.........................................................................................7

1.4.2 Manfaat Praktis..........................................................................................8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian......................................................................................8

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................9

2.1 Konsep Dasar Systemic Lupus Erythematosus (SLE).........................................9

2.1.1 Defenisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE).........................................9

2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko Systemic Lupus Erythematosus (SLE)..........10

2.1.3 Epidemiologi Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)................21

2.1.4 Prognosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE).....................................24

2.1.5 Patogenesis Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)...................25

2.2 Klasifikasi Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)..............................25

2.3 Diagnosis SLE...................................................................................................27

v
2.4 Penatalaksanaan SLE.........................................................................................28

2.5 Telaah Sistematis...............................................................................................30

2.6 Kerangka Teori...................................................................................................34

2.7 Kerangka Konsep...............................................................................................35

2.8 Hipotesis............................................................................................................36

BAB 3 : METODE PENELITIAN..........................................................................37

3.1 Jenis Penelitian..................................................................................................37

3.2 Waktu dan Tempat.............................................................................................38

3.3 Populasi dan Sampel..........................................................................................38

3.3.1 Populasi....................................................................................................38

3.3.2 Sampel......................................................................................................38

3.4 Definisi Operasional..........................................................................................42

3.5 Teknik Pengumpulan Data.................................................................................44

3.5.1 Data Primer..............................................................................................44

3.5.2 Data Sekunder..........................................................................................44

3.6 Teknik Pengolahan Data....................................................................................44

3.7 Teknik Analisa Data...........................................................................................45

3.7.1 Analisis Univariat.....................................................................................45

3.7.2 Analisis Bivariat.......................................................................................45

3.7.3 Analisis Multivariat..................................................................................47

3.8 Etika Penelitian..................................................................................................48

3.8.1 Informed consent (Lembar Persetujuan)..................................................48

3.8.2 Confidentiality (Kerahasiaan)..................................................................48

BAB 4 : HASIL.........................................................................................................49

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian.................................................................................49

vi
4.2 Analisis Univariat..............................................................................................50

4.3 Analisis Bivariat.................................................................................................51

4.3.1 Hubungan Umur dengan Penyakit SLE...................................................52

4.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penyakit SLE......................................52

4.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga dengan Penyakit SLE.................53

4.3.4 Hubungan Pekerjaan dengan Penyakit SLE.............................................54

4.3.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Penyakit SLE ............................54

4.3.6 Hubungan Status Merokok dengan Penyakit SLE...................................55

4.3.7 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Penyakit SLE................................57

4.4 Analisis multivariat............................................................................................57

BAB 5 : PEMBAHASAN.........................................................................................61

5.1 Keterbatasan Penelitian .....................................................................................61

5.1 Analisis Univariat..............................................................................................61

5.2 Analisis Bivariat.................................................................................................64

5.2.1 Hubungan Umur dengan Penyakit SLE...................................................64

5.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Penyakit SLE......................................65

5.2.3 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga dengan Penyakit SLE.................67

5.2.4 Hubungan Pekerjaan dengan Penyakit SLE.............................................69

5.2.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Penyakit SLE.............................71

5.2.6 Hubungan Status Merokok dengan Penyakit SLE...................................72

5.2.7 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Penyakit SLE................................75

5.3 Analisis multivariat............................................................................................76

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................79

6.1 Kesimpulan........................................................................................................79

6.2 Saran..................................................................................................................80

vii
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Waktu Pemaparan Radiasi Ultraviolet yang Diperkenankan......................18

Tabel 2.2 Insiden Kasus Baru di Delapan Rumah Sakit di Indonesia........................23

Tabel 2.3 Telaah Sistematis.........................................................................................30

viii
Tabel 3.1 Definisi Operasional...................................................................................42

Tabel 3.2 Tabel 2x2 pada Analisis Bivariat................................................................46

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Faktor Risiko kejadian penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang....................50

Tabel 4.2 Hubungan Umur dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017..........52

Tabel 4.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017..........52

Tabel 4.4 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga dengan Kejadian Penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang....................53

Tabel 4.5 Hubungan Pekerjan dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017...........54

Tabel 4.6 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Kejadian Penyakit


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang.....54

Tabel 4.7 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017...........55

Tabel 4.8 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit Sistemic Lupus
Erithematosus (SLE) yamg Distratifikasi Berdasarkan Variabel...............56

Tabel 4.9 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017...........57

Tabel 4.10 Variabel Kandidat Analisis Multivariat.....................................................58

Tabel 4.11 Full Model Analisis Multivariat Variabel yang Paling Berhubungan
dengan Kejadian Kejadian Penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017................................58

Tabel 4.12 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama......................59

Tabel 4.13 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Kedua.........................59

Tabel 4.14 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Ketiga.........................59

Tabel 4.15 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Keempat.....................60

Tabel 4.16 Model Akhir Analisis Multivariat Variabel yang Paling Mempengaruhi
Kejadian Penyakit Systemic Lupus Erythematosus.................................60

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor Risiko Systemic Lupus Erythematosus..............32

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Faktor Risiko Systemic Lupus Erythematosus..........33

Gambar 3.1 Skema Rancangan Studi Kasus Kontrol.................................................35

x
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN

1. ANA : Antinuclear Antibodi

2. APC : Antigen Presenting Cell

3. BILAG : British ISSLE Lupus Assesment Group

xi
4. DILE : Drug Induced Lupus Erythematosus

5. EBV : Epstein Barr Virus

6. ECLAM : the European Consensus Lupus Activity Measurement

7. HLA- DR2 : Human Leukosit Antigen-DR2

8. LAM : Lupus Activity Index

9. MCTD : Mixed Connective Tissue Disease

10. MHC : Major Histocompatibility Complex

11. OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid

12. PESLI : Perhimpunan SLE Indonesia

13. SLAM : Systemic Lupus Activity Measurement

14. SLAM : Systemic Lupus Activity Measurement

15. SLE/SLE : Systemic Lupus Erythematosus

16. SLEDAI : SLE Disease Activity Index

17. SLEDAI : SLE Disease Activity Index

18. UCTD : Undifferentiated Connective Tissue Disease

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Master Tabel

Lampiran 2 Informed Consent

Lampiran 3 Kuisioner Penelitian

Lampiran 4 Output Analisis Penelitian

xii
Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik

Lampiran 6 Surat Izin Penelitian

Lampiran 7 Surat Pernyataan Selesai Penelitian

Lampiran 8 Formulir menghadiri Seminar

Lampiran 9 Kontak Bimbingan Hasil Penelitian Skripsi

xiii
BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tidak menular akhir-akhir ini menjadi masalah kesehatan dengan

angka kejadian penyakitnya terus meningkat, seiring dengan meningkatnya angka

harapan hidup, termaksud penyakit autoimun dan penyakit degeneratif, salah satunya

adalah Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit SLE merupakan

penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran

gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam.

Kekeliruan dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. sehingga seringkali

terlambat dalam diagnosis dan penatalaksanaannya. Penyakit SLE disebut dengan

penyakit seribu wajah, merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang

memerlukan perhatian khusus baik dalam mengenali tampilan klinis penyakitnya

hingga pengelolaannya.

Perjalanan penyakit SLE ini sangatlah dinamis sehingga seringkali

menyulitkan diagnosis manakala profesional medik dihadapi pada tampilan gejala

atau keluhan yang tidak lengkap. Pengenalan dini akan kemungkinan seseorang

terkena penyakit ini sangatlah penting, mengingat angka kematian dapat terjadi

dengan cepat terkait aktivitas penyakitnya di tahun-tahun pertama. Sementara itu,

penyulit lanjut terutama pada sistim kardiovaskular dan terganggunya berbagai

fungsi organ seiring dengan melajunya perjalanan alamiah penyakit ini pun

memberikan kontribusi yang besar bagi morbiditas maupun mortalitas pasien dengan

SLE atau sering disebut sebagai orang dengan lupus (ODAPUS).

1
2

Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi

infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan

apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen. Kehidupan odapus bisa

berubah drastis sejak sakit lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola

penyakit ini. Odapus akan beberapa kali mengalami suatu periode kemunculan gejala

lupus yang parah (lupus flares) dan periode lainnya dimana gejalanya lebih ringan.

Sebenarnya gejala lupus bisa diatasi secara efektif dengan terapi yang sudah ada

sekarang, namun untuk saat ini belum ditemukan obat apapun yang dapat

menyembuhkan penyakit lupus.

The Lupus Fondation of America tahun 2012 memperkirakan sekitar 1,5 juta

kasus terjadi di Amerika dan setidaknya lima juta kasus di dunia. Setiap tahun

diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Sebagian besar mereka adalah

perempuan umur produktif dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita

baru. Data prevalensi di setiap negara di dunia berbeda-beda. Prevalensi SLE di

Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih

dari 100.000 penyandang SLE baru di seluruh dunia. Mereka yang memiliki kulit

gelap seperti penduduk Asia, penduduk asli Amerika dan Hispanik memiliki risiko

lebih besar terserang SLE dibandingkan mereka yang berkulit putih. Suatu studi

sistemik di Asia Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9-3,1 per 100.000

populasi/ tahun. Prevalensi kasar sebesar 4,3-45,3 per 100.000 populasi.

Hasil dari Lupus CDC yang memperkirakan prevalensi tahunan dari 2002-

2004 jauh lebih tinggi untuk orang kulit hitam daripada orang kulit putih di Michigan

(Washtenaw dan Wayne Country) (111,6 vs 47,5 per 100.000 orang) dan di Georgia

(DeKalb and Fulton Country) (128,0 vs 39,9 per 100.000 orang). Prevalensi tahunan
3

2007-2009 untuk penduduk Indian Amerika / Penduduk Asli Alaska adalah 178 per

100.000. Pendaftar baru di California (San Francisco County) dan New York City

(Manhattan) akan segera memberikan perkiraan prevalensi tahunan untuk Hispanik

dan Asia. Perkiraan prevalensi tahunan jauh lebih tinggi di kalangan wanita

dibandingkan pria di Michigan (9,3 vs 1,5 per 100.000 orang), di Georgia (145,8

banding 17,5 per 100.000 orang), dan populasi penduduk Indian / Alaska Amerika

(271 vs 54 per 100.000 orang ).

Di Indonesia, jumlah penderita penyakit lupus secara tepat belum diketahui.

Prevalensi SLE di masyarakat berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof.

Handono Kalim, dkk tahun 2011 di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5%

terhadap total populasi. Dari sekitar 1.250.000 orang Indonesia yang terkena

penyakit SLE, sangat sedikit yang menyadari bahwa dirinya menderita penyakit

SLE. Hal ini terjadi karena gejala penyakit SLE pada setiap penderita berbeda-beda,

tergantung dari manifestasi klinis yang muncul.

Data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online, pada tahun 2016 terdapat

858 rumah sakit yang melaporkan datanya, diketahui terdapat 2.166 pasien rawat

inap yang didiagnosis penyakit Lupus, dengan 550 pasien diantaranya meninggal

dunia. Tren penyakit lupus pada pasien rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun

2014-2016. Jumlah kasus lupus tahun 2016 meningkat hampir dua kali lipat sejak

tahun 2014, yaitu sebanyak 1.169 kasus. Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE

Indonesia (PESLI) mendapatkan rata-rata insiden SLE dari data 8 rumah sakit adalah

sebesar 10,5%.

Pada saat ini angka kesakitan dan kematian Penyakit SLE cenderung

meningkat dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal tersebut


4

karena makin meningkatnya umur harapan hidup masyarakat Indonesia dan makin

tingginya pajanan faktor risiko, yaitu hal-hal yang mempengaruhi atau menyebabkan

terjadinya penyakit tidak menular pada seseorang atau kelompok tertentu.

Menurut Hasdianah, dkk (2014), terdapat banyak faktor yang berpengaruh

terhadap berkembangnya penyakit autoimun (multi faktor). Penyakit autoimun

merupakan penyakit yang timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri. Lupus

merupakan salah satu penyakit autoimun. Faktor-faktor yang bersifat risiko dan ikut

berkontribusi menimbulkan penyakit autoimun antara lain, faktor genetik, kelamin

(gender), infeksi, sifat autoantigen, obat-obatan, serta faktor umur.

Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus

yakni jenis kelamin, wanita umur produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus

paling umum terdiagnosis pada mereka yang berumur diantara 15-40 tahun. Ras

Afrika, Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar matahari juga

menjadi faktor risiko lupus. Jenis kelamin, umur, ras, paparan sinar matahari,

konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok

juga menjadi faktor risiko penyakit lupus.

Sudiono (2014), memaparkan bahwa seiring dengan peningkatan umur,

kemungkinan terjadi kerusakan respon imun semakin tinggi. Sehingga, kerentanan

terhadap infeksi semakin meningkat juga. Peningkatan umur juga berpengaruh

terhadap respon vaksin dalam tubuh. Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan

kadar kelainan autoimun juga meningkat.

Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa perempuan lebih banyak

menderita lupus (94,5%), kelompok umur terbanyak pada umur 25-34 tahun (45%),

suku terbanyak yang sakit lupus berasal dari suku Jawa (33,7%), penderita lupus
5

paling banyak tidak bekerja (32,2%), penderita lupus paling banyak tamat

akademi/perguruan tinggi (58,4%), jenis obat yang sering dikonsumsi sebelum sakit

yakni golongan ampisilin/amoksilin (63,1%), penderita lupus tidak merokok

(88,1%), menggunakan kontrasepsi (44%), melakukan aktivitas sehari-hari di luar

rumah (22,2%), sering mengalami stres (85,6%). Penelitian Washio, dkk (2006),

diperoleh hasil bahwa perokok dan mantan perokok lebih berisiko terkena SLE

daripada orang yang bukan perokok (p< 0,001).

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil terletak di kota Padang,

merupakan rumah sakit rujukan Sumatera Bagian Tengah meliputi Provinsi Sumatera

Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Berdasarkan data rekam medis pasien rawat inap

terdapat peningkatan kasus SLE pada tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 tercatat

hanya 2 pasien yang dirawat inap, meningkat tajam di tahun 2016 tercatat 38 pasien

yang dirawat inap dan kembali meningkat sampai oktober tahun 2017, tercatat 89

pasien yang dirawat inap. Berdasarkan data rekam medis pasien rawat jalan di

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil, juga terjadi peningkatan jumlah

kunjungan dari tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 tercatat sebanyak 192 melakukan

kunjungan, meningkat tajam di tahun 2016 tercatat sebanyak 518 pasien melakukan

kunjungan, dan sampai dengan oktober 2017, tercatat 545 pasien melakukan

kunjungan untuk rawat jalan.

Terjadinya peningkatan kasus SLE di RSUP Dr. M. Djamil pada tahun 2017

dari pada tahun sebelumnya, bahkan mulai tahun 2016, meningkat tajam baik rawat

jalan dan rawat inap maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Faktor

Risiko Kejadian Penyakit Systemic Lupus Erithematosus (SLE) di RSUP Dr. M

Djamil Padang Tahun 2017”.


6

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah apakah faktor risiko kejadian penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian

penyakit Sistemic Lupus Erithematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun

2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor risiko (umur,

jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, tingkat pendidikan,

status merokok, dan paparan sinar UV) pada kelompok kasus dan kontrol di

RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017.

2. Mengetahui hubungan umur terhadap kejadian penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017.

3. Mengetahui hubungan jenis kelamin terhadap kejadian penyakit Systemic

Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017.

4. Mengetahui hubungan riwayat penyakit keluarga terhadap kejadian penyakit

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun

2017.

5. Mengetahui hubungan pekerjaan terhadap kejadian penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017.


7

6. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap kejadian penyakit

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun

2017.

7. Mengetahui hubungan terhadap kejadian penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017.

8. Mengetahui hubungan paparan sinar UV terhadap kejadian penyakit Systemic

Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017.

9. Mengetahui faktor risiko yang paling dominan mempengaruhi kejadian

penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil

Padang Tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumber

informasi dan sebagai referensi untuk meningkatkan pendidikan kesehatan

tentang faktor risiko kejadian SLE.

2. Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapata dan

sekaligus menambah wawasan mengenai faktor risiko kejadian SLE agar

mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari.


8

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan teori

serta mengaplikasikan ilmu yang didapat selama menjalani pendidikan di

FKM Universitas Andalas.

2. Bagi FKM UNAND

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan

untuk penelitian tentang faktor risiko kejadian SLE di wilayah kerja RSUP

Dr. M. Djamil padang selanjutnya.

3. Bagi RSUP DR. M. Djamil

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi

bagi RSUP Dr. M. Djamil bersama Dinas Kesehatan Kota Padang dalam

mengetahui faktor risiko kejadian SLE di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun

2016 sehingga dapat menyusun kebijakan dan upaya preventif terkait

kejadian penyakit SLE.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang untuk mengetahui

mengetahui faktor risiko kejadian penyakit SLE. Penelitian ini menggunakan

variabel independen (jenis kelamin, umur dan riwayat penyakit keluarga, pekerjaan,

tingkat pendidikan, status merokok dan paparan sinar UV) dan variabel dependen

yaitu kejadian SLE. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain

case control. Analisis dalam penelitian ini adalah analisis univariat, bivariat, dan

multivariat dengan menggunakan uji Chi Square dan regresi logistik.


BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2.1.1 Defenisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang

ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem

dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks

imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

Penyakit SLE merupakan penyakit inflamasi autoimun kronik, dengan

etiologi yang beium diketahui. Manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis

Penyakit SLE sangat beragam. Sistem kekebalan tubuh pada penyakit ini akan

mengalami kehilangan kemampuan untuk melihat perbedaan antara substansi asing

dengan sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada Penyakit SLE terjadi produksi antibodi

yang berlebihan namun tidak menyerang kuman atau antigen tetapi menyerang

sistem kekebalan sel dan jaringan tubuh sendiri. Antibodi seperti ini disebut "auto-

antibodi" yang bereaksi dengan antigen "sendiri" membentuk kompleks imun.

Kompleks imun yang terdapat dalam jaringan akan mengakibatkan terjadinya

peradangan dan kerusakan pada jaringan.

Manifestasi penyakit SLE sangat luas, meliputi keterilibatan kulit dan

mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjai, susunan saraf pusat dan sistem imun.

Oleh karena itu manifestasi penyakit SLE sangat beragam dengan perjalanan

penyakit yang bervariasi dan memiiiki risiko kematian yang tinggi, sehingga

9
10

memerlukan pengobatan yang lama dan seumur hidup. Untuk itu diperlukan

pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat.

Penyakit SLE sering dijuluki dengan istilah "great imitator" (peniru yang

ulung). Penyakit Seribu Wajah mengingat manifestasinya yang beragam. Gejala

Penyakit SLE dapat terjadi dari ringan sampai berat. Penyakit ini terutama

menyerang perempuan umur reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi.

2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, Penyebab respons ini

banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus

dan genetik. namun beberapa faktor risiko dapat berperan dalam patogenesis

terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor risiko tersebut, sampai saat ini

belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.

Menurut Simborg DW dalam Bustan (2007), faktor risiko adalah

karakterisitik, tanda, gejala suatu penyakit pada individu secara statistik memiliki

hubungan yang bermakna dengan peningkatan insiden penyakit. Secara umum

penyebab SLE tidak diketahui, namun ada beberapa faktor risiko yang diduga

memicu terjadinya rematik terdiri dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan

faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Berikut ini beberapa faktor risiko yang

berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

2.1.2.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi


BAB 3 : Umur
Umur harus diperhitungkan di dalam semua penelitian. Umur merupakan

determinan perbedaan yang paling signifikan di antara semua variable. Penyakit dan
11

kondisi pada umur tua berbeda dengan penyakit dan kondisi pada umur muda.Umur

merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai untuk memprediksi perbedaan

dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena saling

diperbandingkan maka kekuatan variabel umur menjadi mudah dilihat. Hampir

semua penyakit dapat menyerang semua kelompok umur, tetapi penyakit tertentu

lebih sering terjadi pada satu titik tertentu dalam kehidupan. Pernyataan ini memang

benar terutama untuk penyakit kronis, dan karena biasanya memakan waktu untuk

berkembang, penyakit kronis akan lebih sering muncul pada tahap lanjut kehidupan.

Lupus paling sering terjadi pada wanita muda di akhir umur belasan dan

wanita dewasa sampai umur 45 tahun. Lupus pada anak-anak paling sering terjadi

sejak umur 15 tahun ke atas.

Sudiono (2014), memaparkan bahwa seiring dengan peningkatan umur,

kemungkinan terjadi kerusakan respon imun semakin tinggi. Sehingga, kerentanan

terhadap infeksi semakin meningkat juga. Peningkatan umur juga berpengaruh

terhadap respon vaksin dalam tubuh. Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan

kadar kelainan autoimun juga meningkat.

BAB 4 : Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul

produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE

telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak

kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko

terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki

saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi

umum.
12

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang

memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II

khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan

timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen

merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak

90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di

Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen

reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

BAB 5 : Jenis Kelamin


Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang dapat

memberikan perbedaan angka atau rate kejadian pada pria dan wanita. Dalam hal

perbedaan kejadian penyakit pada perbedaan jenis kelamin harus dipertimbangkan

juga berbagai variabel lain seperti umur atau variabel lainnya yang mempunyai

perbedaan penyebaran menurut jenis kelamin.

Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin dapat timbul karena

bentuk anatomis, fisiologis, dan sistem hormonal yang berbeda. Perbedaan frekuensi

penyakit tertentu menurut jenis kelamin mungkin juga disebabkan karena perbedaan

pekerjaan, kebiasaan makan dan lain-lain. Perbedaan frekuensi kejadian penyakit

menurut jenis kelamin dapat juga disebabkan karena pengaruh jenis kelamin

terhadap penggunaan sarana kesehatan yang tersedia. Sifat karakteristik jenis

kelamin mempunyai hubungan tersendiri yang cukup erat dengan sifat keterpaparan

dan tingkat kerentanan terhadap penyakit tertentu. Hal ini menyebabkan adanya

beberapa penyakit yang ternyata sangat erat hubungannya dengan jenis kelamin

karena berbagai sifat tertentu. Pertama, adanya penyakit yang hanya dijumpai pada
13

jenis kelamin tertentu yang berhubungan dengan alat reproduksi atau yang secara

genetis berperan dalam perbedaan jenis kelamin. Kedua, penyakit yang mempunyai

kecenderungan hanya pada jenis kelamin tertentu atau lebih sering dijumpai pada

jenis kelamin tertentu. Ketiga, kemungkinan timbulnya perubahan frekuensi penyakit

dari jenis kelamin tertentu ke jenis kelamin lainnya.

Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus

yakni jenis kelamin, wanita umur produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus

paling umum terdiagnosis pada mereka yang berumur diantara 15-40 tahun. Ras

Afrika, Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar matahari juga

menjadi faktor risiko lupus. Jenis kelamin, umur, ras, paparan sinar matahari,

konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok

juga menjadi faktor risiko penyakit lupus.

BAB 6 : Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang

tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal

dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian

menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan

sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan

produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE. Autoantibodi pada lupus

kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu,

terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan

fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti


14

oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak

jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

BAB 7 : Ras
Ras kaukasoid atau kulit putih memiliki risiko menderita rematik baik

osteoartritis, artritis reumtoid, maupun artritis gout yang lebih tinggi dibandingkan

dengan ras lainnya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan gaya hidup maupun

perbedaan pada gen genetiknya. SLE merupakan salah satu penyakit reumatik utama

di dunia. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu contohnya bangsa Negro,

Cina dan mungkin juga Filipina.

7.1.1.1 Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi


7.2 Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

1) Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,

beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan

pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal

tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di

permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.

2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B

akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki

reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan

sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan

produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.


15

3) Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti

substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen

dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T

mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan

kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

7.3 Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status

sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera, atau masalah

kesehatan dalam suatu populasi. Penyakit, kondisi, atau gangguan tertentu

dapat terjadi dalam suatu pekerjaan. Pekerjaan juga merupakan suatu

determinan risiko dan determinan pajanan yang khusus dalam bidang

pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi

tempat suatu populasi bekerja. Penelitian Komalig, dkk (2008),

menyatakan bahwa penderita lupus paling banyak pada orang yang bekerja

(67,8%).

7.4 Pendidikan
Pendidikan merupakan ukuran yang penting seperti halnya status sosial

ekonomi. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih

berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang

masalah kesehatan, dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Penelitian

Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa penderita lupus paling banyak tamat

akademi/perguruan tinggi (58,4%).


16

Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian yang dilaksanakan di Brazil.

Penelitian di brazil yang dilaksanakan selama 2 tahun (Januari 2009-Januari

2011) menemukan 12% penderita SLE di brazil merupakan masyarakat buta

huruf dan 36% penderita merupakan tamatan SMA. Hanya 20% penderita

SLE yang memiliki latar belakang pendidikan sebagai tamatan perguruan

tinggi.

7.5 Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi

dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut

terdiri dari:

1) Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam

timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus

(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.

2) Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga

terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau

bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan

sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut

secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Penelitian Komalig,

dkk (2008), menyatakan bahwa penderita lupus melakukan aktivitas

sehari-hari di luar rumah (22,2%).

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

Per.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor


17

Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja yang dimaksud Radiasi ultra

ungu (ultraviolet) adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang

gelombang 18 0nano meter sampai 400 nano meter (nm). Sinar UV atau

Ultraviolet adalah satu dari tiga jenis radiasi sinar matahari, dua lainnya

adalah inframerah (yang memberikan panas) dan cahaya yang terlihat.

Radiasi ultraviolet dibagi tiga jenis menurut panjang gelombangnya.

UV-A memiliki panjang gelombang terpendek (100-290 nm), UV-

B berpanjang gelombang sedang (290-320 nm) dan UV-C bergelombang

terpanjang (320-400 nm). Semakin panjang gelombang sinar UV,

semakin besar dampak kerusakan yang ditimbulkannya pada kulit.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

Per.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor

Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Waktu Pemaparan Radiasi

Sinar Ultra Ungu yang diperkenankan antar lain :

Tabel TINJAUAN PUSTAKA.1 Waktu Pemaparan Radiasi Ultraviolet yang


Diperkenankan
NO Masa Pemaparan per Hari Iradiasi Efektif (Ieff) mW/cm2
1 8 jam 0,0001
2 4 jam 0,0001
3 2 jam 0,0004
4 1 jam 0,0008
5 30 menit 0,0017
18

6 15 menit 0,0033
7 10 menit 0,005
8 5 menit 0,01
9 1 menit 0,05
10 30 detik 0,1
11 10 detik 0,3
12 1 detik 3
13 0,5 detik 6
14 0,1 detik 30
Sumber :Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 13/MEN/X/2011 Tahun
2011

3) Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah

memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon

imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres

sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem

autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

4) Merokok

Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan

bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan

dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik

aromatik. Kebiasaan merokok pada sebagian orang, umumnya dipicu

oleh citra dalam diri tiap individu dan juga pergaulan dalam lingkungan

masyarakatnya. Kebiasaan merokok adalah suatu aktivitas yang

dilakukan secara teratur (dilakukan setiap hari) untuk menghisap rokok.

Penelitian Washio, dkk (2006), diperoleh hasil bahwa perokok dan

mantan perokok lebih berisiko terkena SLE daripada orang yang bukan

perokok (p< 0,001). Paparan rokok tidak hanya didapat karena

menghisap rokok, menjadi perokok pasif juga berisiko terkena berbagai

macam penyakit, diantaranya kanker, sakit jantung (penyakit


19

kardiovaskular), pneumonia pada anak, risiko terkena BBLR bagi ibu

hamil, dan lain-lain.

Hal tersebut menunjukkan bahwa ada peran lingkungan terhadap

kesehatan. Asap rokok merupakan salah satu dari radikal bebas. Menurut

Hyde (2009), radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti

DNA, protein dan lipid. Radikal dapat memperbanyak diri dan dapat

menciptakan kerusakan yang signifikan. Selain radikal bebas, metabolit

nikotin dapat membentuk ikatan pada basa nitrogen DNA dan

menyebabkan mutasi.

5) Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat

yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,

hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

6) Konsumsi Alkohol

Kata alkohol dapat digunakan untuk menamai senyawa organik yang

terdiri dari unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen dengan kombinasi

dan kandungan yang berbeda. Minuman beralkohol adalah minuman

yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari

bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara

fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.

Alkohol adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Pada tahun

1983 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa masalah

terkait alkohol menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia.


20

Dalam dua penelitian besar pasien SLE, ada hubungan terbalik antara

konsumsi alkohol dan SLE. Penjelasan yang mungkin dari temuan kedua

penelitian ini mungkin berasal dari perubahan post-diagnosis asupan

etanol, atau pasien yang mendapat saran dari staf medis tentang

pengurangan asupannya. Efek kardioprotektif asupan alkohol moderat

sudah diakui . Apakah alkohol menggunakan efek kardioprotektif pada

SLE tetap tidak jelas, meskipun ini adalah masalah yang perlu ditelusuri.

Studi epidemiologi yang dilakukan sejauh ini menunjukkan

berkurangnya asosiasi penggunaan alkohol pada RA dan SLE, dengan

hubungan yang kuat antara alkohol, mortalitas dan ankylosing

spondylitis. Penyebab dari penyakit ini akan memerlukan penelitian lebih

lanjut untuk meningkatkan pemahaman kita tentang mekanisme yang

terlibat.

7.5.1 Epidemiologi Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


7.5.1.1 Prevalensi dan Insidensi SLE
Perkiraan prevalensi dan kejadian nasional terbaru tidak tersedia. SLE relatif

jarang terjadi dan bukan penyakit yang dapat dilaporkan, sehingga relatif mahal

untuk menangkap semua kasus yang terdiagnosis dengan andal untuk penelitian

epidemiologi. Tidak ada penelitian terbaru untuk menentukan apakah prevalensi atau

kejadian SLE berubah dari waktu ke waktu.

Center for Diseases Control (CDC) mendanai beberapa pendaftar pasien

berbasis populasi untuk menghasilkan estimasi yang lebih baik mengenai jumlah

kasus SLE yang didiagnosis pada kelompok ras / etnis tertentu. Perkiraan prevalensi
21

dan kejadian yang paling baru tersedia untuk SLE untuk orang kulit putih dan kulit

hitam, diterbitkan pada tahun 2014, berasal dari daftar lupus ini. Pendaftar lupus

yang didanai CDC menggunakan metode intensif untuk penemuan kasus (rumah

sakit, praktik spesialis, data departemen kesehatan) dan untuk melihat kemungkinan

kasus memenuhi kriteria klasifikasi standar (yaitu, rekam medis).

a. Prevalensi SLE

Perkiraan prevalensi nasional yang lebih tinggi sangat bervariasi karena

perbedaan dalam definisi kasus, populasi penelitian kecil, dan metode

studi. Perkiraan konservatif menunjukkan prevalensi 161.000 dengan SLE dan

322.000 yang pasti dengan SLE yang pasti atau mungkin.

Hasil dari pendaftar Lupus CDC yang memperkirakan prevalensi tahunan

dari 2002-2004 jauh lebih tinggi untuk orang kulit hitam daripada orang kulit putih di

Michigan (Washtenaw dan Wayne County) (111,6 vs 47,5 per 100.000 orang) dan di

Georgia (DeKalb and Fulton County) (128,0 vs 39,9 per100.000 orang). Prevalensi

tahunan 2007-2009 untuk penduduk Indian Amerika / Penduduk Asli Alaska adalah

178 per 100.000. Pendaftar baru di California (San Francisco County) dan New York

City (Manhattan) akan segera memberikan perkiraan prevalensi tahunan untuk

Hispanik dan Asia.

Perkiraan prevalensi tahunan jauh lebih tinggi di kalangan wanita

dibandingkan pria di Michigan (9,3 vs 1,5 per 100.000 orang), di Georgia (145,8

banding 17,5 per 100.000 orang), dan populasi penduduk Indian / Alaska Amerika

(271 vs 54 per 100.000 orang ).

The Lupus Foundation of America tahun 2012 memperkirakan sekitar 1,5 juta

kasus terjadi di Amerika dan setidaknya lima juta kasus di dunia. Setiap tahun
22

diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Di Indonesia, jumlah penderita

penyakit Lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi penyakit SLE di masyarakat

berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang

memperlihatkan angka sebesar 0,5 % terhadap total populasi.

b. Insiden SLE

Perkiraan kejadian nasional terbaru tidak tersedia untuk SLE. Data kejadian

nasional sulit didapat karena relatif mahal untuk menangkap semua kasus yang

terdiagnosis dengan dan tahun onset sulit ditentukan (gejala dan tanda berkembang

secara perlahan, tidak spesifik), jadi sumber daya studi intensif harus dilakukan di

daerah kecil.

Perkiraan kejadian SLE tersedia dari berbagai pendaftar lupus yang didanai

CDC. Kejadian tahunan untuk kelompok ras / etnis yang berbeda dari tahun 2002-

2004 jauh lebih tinggi untuk orang kulit hitam daripada orang kulit putih di Michigan

(7,9 vs 3,7 100.000 orang) dan di Georgia (9,4 vs 3,2 per 100.000 orang). Insiden

tahunan 2007-2009 untuk penduduk Indian Amerika / Penduduk Asli Alaska adalah

7,4 per 100.000). Pendaftar baru telah dimulai di California (San Francisco County)

dan New York City (Manhattan), dan akan segera memberikan perkiraan kejadian

tahunan untuk orang Hispanik dan Asia. Perkiraan kejadian tahunan jauh lebih tinggi

untuk wanita daripada pria di Michigan (9,3 vs 1,5 per 100.000), Georgia (10,6 vs

1,9 per 100.000) dan populasi Indian Indian / Alaska (tidak disesuaikan 8.4 vs 2.7 per

100.000).

Suatu studi sistemik di Asia Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar

0,9 – 3,1 per 100.000 populasi/tahun. Prevalensi kasar sebesar 4,3 – 45,3 per 100.000

populasi. Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE Indonesia (PESLI) mendapatkan rata –
23

rata insiden kasus baru SLE dari 8 rumah sakit adalah sebesar 10,5 % dengan rincian

pada tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel TINJAUAN PUSTAKA.2 Insiden Kasus Baru di Delapan Rumah Sakit di


Indonesia
Tahun 2016
Nama Rumah Sakit Insiden Kasus Baru
1. RS Cipto Mangunkusumo 22,9 %
2. RS Saiful Anwar Malang (2015) 14,5 %
3. Rs Muhammad Husin Palembang 11,7 %
4. Sardjito Yogyakarta (2015 – April 2017) 10,6 %
5. RS Moewardi Surakarta 10,0 %
6. RS Sanglah Denpasar 6,6 %
7. RS Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 4,0 %
8. RS Ulin Banjarmasin 1,2 %
Sumber : Infodatin Lupus Tahun 2017

7.5.2 Prognosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 85 – 88 % dan 10

tahun 76 – 87 %. Penyebab utama kematian pada SLE adalah infeksi, nefritis lupus,

dan konsekuensi gagal ginjal (termasuk akibat terapi), penyakit kardiovaskular

(sehingga faktor risiko konvensional harus dikontrol secara ketat), dan lupus SSP.

Keterlibatan organ akhir sangat berbeda antara satu pasien dengan pasien yang lain.

Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE dan oleh

karenanya titer antibodi pengikat DNA positif dan/atau meningkat, yang berkaitan

dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

Penyebab kematian dini yang terkait dengan SLE terutama adalah penyakit

aktif, kegagalan organ (misalnya, ginjal), infeksi, atau penyakit kardiovaskular dari

aterosklerosis yang dipercepat. Dalam kelompok SLE internasional yang besar


24

dengan tindak lanjut rata-rata lebih dari 8 tahun selama interval pengamatan tahun

1958-2001, kematian yang diamati jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan untuk

semua penyebab, dan terutama untuk penyakit peredaran darah, infeksi, penyakit

ginjal, dan beberapa jenis kanker. Mereka yang perempuan, lebih muda, dan

memiliki SLE dengan durasi pendek berisiko lebih tinggi terhadap kematian terkait

SLE. Dengan menggunakan sertifikat kematian untuk penduduk AS, SLE

diidentifikasi sebagai penyebab kematian rata-rata 1.034 kematian pada 2010-

2014. SLE diidentifikasi sebagai penyebab kematian (salah satu dari banyak

penyebab kematian, termasuk penyebab kematian) untuk rata-rata 1.803 kematian

selama periode 4 tahun tersebut.

7.5.3 Patogenesis Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi

ditimbulkan oleh komblnasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi pada umur reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, infeksi, paparan zat kimia). Akibat kombinasi hal-hal

tersebut sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari

sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan

menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam

pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun

sistemikdengan kerusakan multiorgan.

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan

pertahanan tubuh untuk melawan infeksi. Pada penyakit SLE dan penyakit autoimun
25

lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan antigen dari tubuh sendiri.

Antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang

sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga dapat terjadi kerusakan organ.

7.6 Klasifikasi Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Secara umum SLE dan kelainan terkait Lupus (Lupus Related Disorder) dapat

bermanifestasi dalam beberapa bentuk yaitu:

a. Systemic Lupus Erythematosus.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik

yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,

pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan

kerusakan pada beberapa organ tubuh. SLE dapat menyerang satu atau lebih

sistem organ. Pada sebagian orang hanya kullt dan sendlnya saja yang

terkena, akan tetapi pada sebagian pasien, lupus lainnya menyerang organ

vital seperti jantung, paru-paru, ginjal, susunan saraf pusat atau perifer.

Umumnya tidak ditemukan adanya dua orang pasien lupus terkena sistemik

lupus dengan gejaia yang persis sama.

b. Lupus Kutaneus

Dapat dikenaii dari ruam yang muncul di kulit dengan berbagai tampiian

klinis. Pada Lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji biopsi dari

ruam dengan gambaran khas berupa infiltrate sel infiamasi pada batas

dermoepidermai.

c. Lupus Imbas Obat


26

Lupus imbas obat (Drug-Induced Lupus) adalah suatu subset lupus yang

didefinisikan sebagai suatu sindroma mirip lupus yang timbui seteiah paparan

obat dan menghiiang setelah obat dihentikan. Pada lupus jenis ini baru

muncul seteiah pasien lupus menggunakan jenis obat tertentu daiaml jangka

waktu tertentu (lebih dari 1 bulan). Ada lebih dari 80 jenis obat yang dapat

menyebabkan Lupus imbas obat. Salah satu contoh obat yang paling dikenai

menimbulkan Lupus imbas obat adalah akibat penggunaan obat-obatan

hydralazine (untuk mengobati darah tinggi) dan procainamide (untuk

mengobati aritmia). Akan tetapi tidak semua penderita yang menggunakan

obat-obatan ini akan berkembang menjadi Lupus imbas obat, hanya sekitar

4% orang-orang yang menggunakan obat-obatan tersebut yang akan

berkembang menjadi Lupus imbas obat dan gejaia akan mereda apabila obat-

obatan tersebut dihentikan. Gejala dari Lupus imbas obat dapat serupa dengan

sistemik lupus namun memiliki profil autoantibody tersendiri dan gejala

umumnya akan membaik setelah obat dihentikan.

d. Sindroma Overlap, Undifferentiated Connective Tissue Disease (UCTD), dan

Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)

Pada sebagian pasien SLE ternyata ditemukan juga menifestasi klinis lain

yang memenuhi kriteria diagnostic penyakit autoimun lain seperti arthritis

rheumatoid, scleroderma, atau myositis. Ada pula pasien SLE yang juga memiliki

gejala penyakit autoimun lain namun belum lengkap untuk didiagnosis penyakit

autoimun tertentu. Kelompok pasien tersebut dapat dikelompokkan menjadi

Sindroma Overlap (Overlap Syndrome), Undifferentiated Connective Tissue Disease

(UCTD) dan Mixed Connective Tissue Disease (MCTD).


27

7.7 Diagnosis SLE


Diagnosis SLE ditegakkan dari gejala klinis dan adanya otoantibodi, yaitu

didapatkannya 4 dari 11 kriteria ARA (American College of Rheumatology 1997

yang dikembangkan pada 2006). Adapun kriterianya adalah :

1. Malar rash

2. Discoid rash

3. Photsensitivity

4. Oral ulcers

5. Artritis

6. Serositis

7. Kelainan ginjal

8. Kelainan neurologik

9. Kelainan hematologi

10. Kelainan immunologi

11. Antibodi antinuklear (ANA tes).

7.8 Penatalaksanaan SLE


Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan lupus. Tujuan

penatalaksanaan lupus adalah mencegah terjadinya flare, mengatasi gejala yang

muncul, dan yang terpenting adalah mencegah terjadinya kerusakan organ.

Penatalaksanaan lupus meliputi edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan

pemberian obat-obatan.
28

Tatalaksana pasien penyakit SLE adalah untuk meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar pasien penyakit SLE dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktivitas sehari – hari. Tatalaksana umum yang harus

dilakukan adalah :

a. Hindari aktifitas fisik yang berlebihan.

b. Hindari merokok.

c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.

d. Hindari stress dan trauma fisik.

e. Diet khusus sesuai organ yang terkena.

f. Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada pukul

10.00 WIB sampai dengan 15.00 WIB.

g. Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF 30 PA++ 30 menit

sebelum keluar rumah.

h. Hindari pajanan lampu UV.

i. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon

estrogen.

j. Kontrol secara teratur ke dokter.

k. Minum obat teratur.


7.9 Telaah Sistematis
Tabel TINJAUAN PUSTAKA.3 Telaah Sistematis
No. Nama Peneliti Tahun Judul Desain Variabel Hasil Keterangan

1 A. A. Bengtsson, L. 2002 Risk factors for developing Case Control a) Riwayat a) OR = 3,7 Riwayat hipertensi, alergi
Rylander, L. systemic lupus erythematosus : hipertensi b) OR = 3,6 obat, jenis kulit, riwayat
Hagam, O. Nived a case control study in b) Alergi obat c) OR = 2,3 penyakit keluarga,
and G. Sturfelt. southern Sweden c) Jenis kulit d) OR = 6,8 merokok, dan transfusi
d) Riwayat penyakit e) OR = 1,0 darah berhubungan
keluarga f) OR = 1,8 dengan SLE.
e) Konsumsi g) OR = 2,3
alkohol
f) Merokok
g) Transfusi darah

2 Nagata C, Fujita 1995 Systemic lupus erythematosus: Case Control a) Merokok a) OR = 2,31 Merokok, konsumsi
S, Iwata a case-control epidemiologic b) Konsumsi b) OR = 2,07 alkohol, riwayat keluarga
H, Kurosawa study in Japan alkohol c) OR = 5,20 penyakit asma dan
Y, Kobayashi c) Riwayat keluarga d) OR = 3,82 kolagen, usia menarche
K, Kobayashi M, et penyakit asma berhubungan dengan
al. dan kolagen kejadian SLE.
d) Usia menarche

3 Yi-Da Wul, Ching- 2017 Association between a history Case Control Riwayat OR = 1,21 Terdapat hubungan antara
Heng Lin, Wen- of periodontitis Periodontitis riwayat penyakit
Cheng Chao, Tsai- and the risk of systemic lupus periodontitis dengan
Ling Liao, Der- erythematosus kejadian penyakit SLE.
Yuan Chen, Hsin- in Taiwan: A nationwide,
Hua Chen. population-based,
case-control study

29
4 Yenny Carolina 2014 Risk Factors for Case Control Gejala OR = 3,7 Pasien dengan SLE
Zuniga Zambrano, Neuropsychiatric neuropsikiatrik pada mengalami gangguan
Juan David Manifestations in Children anak : kejang, neuropsikiatrik
Guevara Ramos, With Systemic Lupus migrain, dan depresi.
Nathalia Elena Erythematosus: Case-Control
Penagos Vargas, Study
Diana Carol
Benitez Ramirez,
Sandra Milena
Ramirez
Rodriguez, Adriana
Carolina Vargas
Niño , et al.

5 Parks, et al 2016 Understanding the role of Case Control Paparan pestisida OR = 2,3 Terdapat hubungan
environmental factors in the dengan sering terpapar
development of systemic lupus pestisida dengan
erythematosus, Best Practice peningkatan kejadian
& Research Clinical SLE.
Rheumatology

6 Lu-Fritts et al 2014 US, Ohio, Fernald Community Case Control a) Konsumsi a) OR = 3,92 Merokok dan konsumsi
Cohort; nested case control alkohol b) OR = 3,6 alkohol dapat
study the role of environmental b) Merokok meningkatkan resiko
factors in the development of kejadian SLE.
systemic lupus erythematosus

30
7 Ana Barrera 2016 Risk factors for systemic lupus Case Control a) Riwayat aktivitas a) OR = 3,79 Riwayat aktivitas
Vargas, Mariana erythematosus flares in hematogen b) OR = 4,39 hematogen, anti
Quintanar patients with end stage renal b) Anti cardiolipin c) OR = 9,7 cardiolipin IgM, kadar C4
Martınez, Javier disease: a case control study IgM rendah dapat
Merayo Chalico, c) Kadar C4 rendah meningkatkan risiko
Jorge Alcocer kejadian SLE.
Varela,Diana
Gomez Martın

8 Masakazu Washio, 2017 Risk faktors for development Case Control a) Riwayat transfusi a) OR = 4,44 Beberapa faktor
Hiroki Takahashi, of systemic lupus darah b) OR = 2,29 berhubungan dengan
Gen Kobashi, erythematosus among b) Nullipara c) OR = 0,27 peningkatan kejadian
Chikako Kiyohara, Japanese femaSLE: medical c) Primipara vs d) OR = 0,14 SLE di kalangan wanita
Yoshifumi Tada, history and reproductive nullipara Jepang.
Toyoko Asami, et factors d) Multipara vs
al. nullipara

9 J Wang, AB Kay, J 2009 Alcohol consumption is not Case Control a) > 2 hari/mgg a) OR = 0,35 Konsumsi alkohol
Fletcher, MK protective for systemic lupus b) > 2 minuman/hari b) OR = 0,41 sebelum terdiagnosis SLE
Formica, TE erythematosus c) Berhenti c) OR = 2,25 tidak berhubungan dengan
McAlindon konsumsi alkohol d) OR = 2,38 peningkatan risiko SLE.
sebelum
didiagnosa SLE
d) Berhenti
konsumsi alkohol
setelah
didiagnosa SLE

31
32

. .Berdasarkan tabel telaah sistematis di atas, kriteria yang membedakan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya, yaitu:

1. Penelitian ini baru pertama kali dilakukan di kalangan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Andalas Padang.

2. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr. M. Djamil Kota Padang

3. Penelitian ini dilakukan guna memperbaharui ilmu pengetahuan tentang

kejadian penyakit Systemic Lupus Erythematosus, khusunya bagi Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang.


33

7.10 Kerangka Teori


Berdasarkan dasar teori yang telah diuraikan, maka dikembangkan suatu

kerangka teori yaitu:

Gambar TINJAUAN PUSTAKA.1 Kerangka Teori Faktor Risiko Systemic


Lupus Erythematosus
Sumber: Modifikasi Kerangka Teori Wicaksono (2012), Mckinnon (2007), D‟Cruz (2010),
Rekomendasi Indonesian Rheumatology Association (IRA) (2011).
34

7.11 Kerangka Konsep


Berdasarkan kerangka teori yang merupakan dari hasil penelitian didapatkan

variabel yang diduga mempunyai hubungan kuat dengan kejadian Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) yang dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:

Variabel Independen (bebas) Variabel Dependen (terikat)

Gambar TINJAUAN PUSTAKA.2 Kerangka Konsep Faktor Risiko Systemic


Lupus Erythematosus (SLE)
35

7.12 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Ada hubungan umur dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

2. Ada hubungan jenis kelamin dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

3. Ada hubungan riwayat penyakit keluarga dengan penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

4. Ada hubungan pekerjaaan dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus

(SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

5. Ada hubungan tingkat pendidikan dengan penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

6. Ada hubungan status merokok dengan penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

7. Ada hubungan paparan sinar UV dengan penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017


BAB 8 : METODE PENELITIAN

8.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan studi penelitian analitik dengan desain kasus kontrol

(case control design) yaitu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor

risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospective. Dengan kata lain,

efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor

risiko diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu yang lalu.. Metode rancangan kasus

kontrol (case control) yaitu suatu penelitian yang menggunakan pendekatan

retropective yang berguna untuk mengetahui bagaimana faktor risiko mempengaruhi

kasus.

Secara skematis struktur penelitian kasus-kontrol dapat digambarkan sebagai

berikut :
Faktor risiko (+)
Kasus :
Retrospektif
Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
Faktor risiko (-)

Non Matching

Faktor risiko (+)


Kontrol :
Retrospektif Non Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
Faktor risiko (-)

Gambar METODE PENELITIAN.3 Skema Rancangan Studi Kasus Kontrol

36
37

8.2 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan bulan Oktober 2017 sampai bulan April 2018 di

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

8.3 Populasi dan Sampel


8.3.1 Populasi
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua pasien Systemic Lupus

Erythematosus (SLE). Populasi sumber penelitian ini adalah penderita SLE di RSUP

Dr. M. Djamil Padang dan berkunjung ke RSUP Dr. M. Djamil Padang selama kurun

waktu penelitian.

8.3.2 Sampel
8.3.2.1 Sampel Kasus
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke RSUP

Dr. M. Djamil Padang yang didiagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

oleh dokter dan dicatat dalam rekam medis sebagai pasien di RSUP Dr. M.

tahun 2017 serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

8.3.2.2 Sampel Kontrol


Sampel kontrol dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosis

bukan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan dicatat dalam rekam medis

sebagai pasien di RSUP Dr. M. Djamil tahun 2017 serta memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.


38

8.3.2.3 Besar Sampel


Penentuan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus case control

tidak berpasangan:

Rumus sampel :

n=

Keterangan:

n : Besar sampel

: Deviat baku alfa (5% = 1,96) pada α = 0,05 (CI 95%)

: Deviat baku beta (20% = 0,84)

: Proporsi subyek terpajan pada kelompok dengan penyakit = 0,79

: Proporsi subyek terpajan pada kelompok tanpa penyakit = 0,5

P= = 0,65

n = 41,67 = 42
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas diperoleh

sampel minimal sebesar 42 setiap kelompok. Untuk menghindari sampel drop out

maka ditambahkan sampel cadangan sebanyak 10% dari besar sampel minimal,

sehingga besar sampel dalam penelitian adalah 46. Rasio kasus dan kontrol adalah
39

1:1. Jadi, total sampel menjadi 92 responden, yang terdiri dari 46 kasus dan 46

kontrol.

8.3.2.4 Kriteria Kasus dan Kontrol


BAB 9 : Kriteria Kasus

a. Kriteria inklusi

1) Pasien yang datang ke Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang dan

didiagnosis menderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) oleh

dokter dan tercantum dalam rekam medis pasien.

2) Responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

b. Kriteria eksklusi

1) Pasien dengan umur di bawah 15 tahun.

2) Memiliki gangguan kejiwaan

3) Tidak komunikatif (tidak bisa mendengar dan berbicara)

BAB 10 : Kriteria Kontrol

a. Kriteria inklusi

1) Pasien yang datang ke Poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang dan

menderita penyakit selain SLE oleh dokter.

2) Responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

b. Kriteria eksklusi

a. Memiliki gangguan kejiwaan.

b. Tidak komunikatif (tidak bisa mendengar dan berbicara).


40

10.1.1.1 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel kasus dan kontrol pada penelitian ini dilakukan

secara random sampling dengan tipe systematic random sampling yaitu metode

pengambilan sampel secara acak sistematik. Pengambilan sampel acak secara

sistematik ialah apabila pengambilan sampel acak dilakukan secara berurutan dengan

interval tertentu.
10.2 Definisi Operasional
Tabel METODE PENELITIAN.4 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 2 3 4 5 6
Variabel Dependen
1. Sistemik Lupus Definisi Kasus : Keadaan Telaah rekam medis Kuisioner 0. Kasus (pasien Sistemik Nominal
Eritematosus subjek penelitian yang RSUP Dr. M. Djamil Lupus Eritematosus (SLE))
(SLE) didiagnosis menderita 1. Kontrol (bukan pasien
Sistemik Lupus Eritematosus Sistemik Lupus
(SLE) oleh dokter dan Eritematosus (SLE)
dicatat dalam rekam medis.
Definisi Kontrol : Keadaan
subjek penelitian yang tidak
didiagnosis menderita
Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE) oleh dokter dan
dicatat dalam rekam medis.
Variabel Independen
1. Umur Umur penderita saat pertama Wawancara dan Telaah Kuisioner 0. Beresiko, jika responden Ordinal
kali didiagnosis yang tertera rekam medis RSUP berumur 15-44 tahun
pada rekam medis. Dr. M. Djamil 1. Tidak Beresiko, jika
responden berumur >44
tahun
2. Jenis Kelamin Perbedaan seks yang didapat Wawancara dan Telaah Kuisioner 0. Perempuan Nominal
sejak lahir yang dibedakan rekam medis RSUP 1. Laki – laki
antara laki-laki dan Dr. M. Djamil
perempuan.

41
3. Riwayat Suatu keadaan dimana Telaah rekam medis Kuisioner 0. Memiliki riwayat penyakit Nominal
Penyakit subjek penelitian dikatakan RSUP Dr. M. Djamil keluarga SLE
keluarga memiliki riwayat keluarga dan wawancara 1. Tidak memiliki riwayat
dengan penyakit SLE yang penyakit keluarga SLE
data tercantum dalam rekam
medis.
4. Pekerjaan Pekerjaan responden saat Wawancara Kuisioner 0. Bekerja Ordinal
didiagnosis SLE. 1. Tidak bekerja

5. Tingkat Tingkat pendidikan formal Wawancara Kuisioner 0. Rendah (≤SMP) Ordinal


Pendidikan terakhir yang pernah diikuti 1. Tinggi (>SMP)
oleh responden saat
didiagnosis SLE

6. Status Perilaku / kebiasaan Wawancara Kuisioner 0. Perokok Nominal


Merokok menghisap rokok dan atau 1. Tidak perokok
pernah merokok responden
dalam sehari-hari, sebelum
didiagnosis SLE.

7. Paparan sinar Lama responden terpajan Wawancara Kuisioner 0. >=4 jam/Hari Ordinal
UV dan atau terpapar sinar 1. < 4 jam/Hari
matahari sebelum
didiagnosis SLE
43

10.3 Teknik Pengumpulan Data


10.3.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden dengan

menggunakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung kepada subjek

sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer dalam penelitian ini adalah data

tentang faktor risiko kejadian Systemic Lupus Erythematosus yang dikumpulkan

peneliti dengan menggunakan kuisioner yang ditanyakan langsung kepada

responden.

Data primer yang diambil adalah riwayat penyakit keluarga, pekerjaan,

tingkat pendidikan, status merokok, riwayat konsumsi alkohol, paparan sinar UV.

Informasi yang dibutuhkan diambil dengan cara wawancara dengan kuisioner yang

telah disiapkan, kuisioner ini adalah pedoman yang sudah baku untuk kegiatan survei

di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

10.3.2 Data Sekunder


Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kejadian SLE yang diperoleh

dari status kunjungan serta data rekam medis pasien di RSUP Dr. M. Djami Padang.

10.4 Teknik Pengolahan Data


10.4.1 Menyunting Data (Editing)
Merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir, apakah

data sudah lengkap (semua isian sudah terisi), jelas (apakah tulisannya cukup jelas

dan terbaca), relevan (apakah data sesuai dengan hasil pengukuran) dan konsisten.

10.4.2 Mengkode Data (Coding)


Merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

angka dan bilangan. Pengkodean data ini bertujuan untuk mengklarifikasi data
44

jawaban dari masing-masing pertanyaan dengan kode tertentu sehingga mempercepat

proses entri data dan mempermudah proses analisi data.

10.4.3 Memasukkan Data (Entry)


Setelah dilakukan pengecekan dan pengkodean, maka langkah selanjutnya

adalah memproses data agar data yang sudah dientri dapat dianalisis. Pemrosesan

data dilakukan dengan mengentri data ke paket program komputer. Data yang

dianalisis seperti data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan penyakit SLE.

10.4.4 Membersihkan Data (Cleaning)


Setelah semua data dientri ke dalam komputer, maka dilakukan pengecekan

kembali terhadap semua data untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari

kesalahan dan siap untuk dianalisis.

10.4.5 Mengolah Data (Processing)


Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan

program pengolahan data di komputer. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi dan tabel silang.

10.5 Teknik Analisa Data


10.5.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentasi dari setiap variabel. Sehingga

analisis univariat dalam penelitian ini dapat mengetahui pola distribusi frekuensi

masing-masing variabel faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga.

10.5.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen. Analisis dalam penelitian ini menggunakan


45

software SPSS dengan uji statistik Chi Square dengan derajat kepercayaan (CI) 95%.

Apabila p-value yang diperoleh < 0,05 maka terdapat hubungan yang bermakna.

Tabel METODE PENELITIAN.5 Tabel 2x2 pada Analisis Bivariat


Faktor Risiko Kasus Kontrol
Risiko (+) A B
Risiko (-) C D

Keterangan :
Sel a : kasus mengalami pajanan
Sel b : Kontrol mengalami pajanan
Sel c : kasus tidak mengalami pajanan
Sel d : Kontrol tidak mengalami pajanan.
Perhitungan Odds Rasio (OR) pada studi case control dengan cara non matching

adalah sebagai berikut:


OR=

Hubungan dikatakan bermakna apabila p < 0,05 dengan melihat Odds Rasio

(OR) untuk memperkirakan tingkat rasio masing-masing variabel yang diselidiki.

Intrepretasi dari nilai Odds Rasio (OR) ini adalah :

OR > 1: merupakan faktor risiko

OR = 1: bukan merupakan faktor risiko

OR < 1: merupakan faktor protektif

10.5.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui lebih dari satu variabel

independen dan untuk melihat variabel mana yang paling dominan berhubungan dari

beberapa variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji


46

regresi logistic ganda dan untuk mengetahui adanya interaksi pada dua atau lebih

variabel independen terhadap variabel dependen.

Berikut adalah langkah-langkah dalam analisis multivariat regresi logistic

ganda yaitu sebagai berikut :

1. Melakukan seleksi, analisis bivariat antara masing-masing variabel

independen dengan variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai

nilai p ≤ 0,25, maka variabel tersebut dapat masuk model multivariat. Namun

bisa saja p > 0,25 tetap ikut ke multivariate bila variabel tersebut secara

substansi penting.
2. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan

cara mempertahankan variabel yang mempunyai p value ≤ 0,05 dan

mengeluarkan variabel yang p > 0,05. Pengeluaran variabel tidak serentak

semua yang p > 0,05, namun value terbesar. Bila variabel yang dikeluarkan

tersebut mengakibatkan perubahan besar koefisien (nilai OR) variabel-

variabel yang masih ada (berubah > 10%), maka variabel tersebut dimasukan

kembali dalam model. Pemilihan variabel dengan metode ENTER.


3. Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka

langkah selanjtna adalah memeriksa kemungkinan interaksi variabel ke dalam

model. Penentuan variabel interaksi sebaiknya melalui pertimbangan logika

substansi. Pengujian interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik. Bila

variabel mempunyai nilai bermakna, maka variabel interaksi penting

dimasukan dalam model.


4. Tahap selanjutnya adalah pemodelan terakhir, yaitu variabel yang memiliki

nilai p atau sig < 0,05 maka variabel tersebut layak masuk model analisis

multivariat dan dilihat yang memiliki nilai r paling tinggi maka variabel
47

tersebut adalah variabel independen yang paling dominan dalam

mempengaruhi variabel dependen.

10.6 Etika Penelitian


Dalam penelitian ini penulis berusaha untuk memperhatikan etika yang harus

dipatuhi dalam pelaksanaanya, mengingat bahwa penelitian kedokteran akan

berhubungan langsung dengan manusia. Etika dalam penelitian ini meliputi:

10.6.1 Informed consent (Lembar Persetujuan)


Merupakan lembar persetujuan yang memuat penjelasan-penjelasan tentang

maksud dan tujuan penelitian. Apabila responden telah mengerti dan bersedia maka

responden diminta menandatangani surat persetujuan menjadi responden. Namun

apabila responden menolak, maka peneliti tidak akan memaksa.

10.6.2 Confidentiality (Kerahasiaan)


Informasi yang diberikan oleh responden serat semua data yang terkumpul

akan disimpan, dijamin kerahasiaannya, hanya kelompok tertentu saja yang kan

dijadikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.

BAB 11 : HASIL

11.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Dr M. Djamil adalah rumah sakit pemerintah

yang terletak di jalan Perintis Kemerdekaan Padang, Provinsi Sumatera Barat.


48

RSUP Dr. M. Djamil merupakan rumah sakit rujukan di wilayah Sumatera

Bagian Tengah yang meliputi provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan

Bengkulu. RSUP Dr. M. Djamil merupakan Rumah Sakit Umum tipe B plus

untuk pelayanan dan tipe A untuk pendidikan.

Visi RSUP Dr. M. Djamil adalah menjadi rumah sakit yang unggul dalam

pelayanan dan pendidikan di Sumatera. Misi RSUP Dr. M. Djamil antara lain

menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif, berdaya saing dan terjangkau

oleh semua lapisan masyarakat. Selanjutnya mendidik dan melatih sumber daya

manusia profesional dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Melaksanakan pelatihan berbasis IPTEK kesehatan untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Kemudian mengelola keuangan secara efektif, efisien,

transparan dan berbasis kinerja. Motto RS UP Dr. M. Djamil adalah “Kepuasan anda

adalah kepedulian kami”. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik dan

Rawai Inap Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil.

11.2 Analisis Univariat


Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi dari setiap

faktor risiko (variabel independen) yaitu jenis kelamin, umur, riwayat penyakit

keluarga, pekerjaan, tingkat pendidikan, status merokok dan paparan sinar UV.

Distribusi frekuensi variabel tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel HASIL.6 Distribusi Frekuensi Responden Faktor Risiko kejadian


penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang
49

Tahun 2017

Kasus Kontrol
Variabel
f % f %
Perempuan 41 89,1 25 54,3
Jenis Kelamin Laki-laki 5 10,9 21 45,7
Jumlah 46 100,0 46 100,0

15-44 tahun 41 89,1 27 58,7


Umur > 44 tahun 5 10,9 19 41,3
Jumlah 46 100,0 46 100,0

Riwayat Penyakit Ada 3 6,5 1 2,2


Tidak Ada 43 93,5 45 97,8
Keluarga Jumlah 46 100,0 46 100,0

Bekerja 10 21,7 16 34,8


Pekerjaan Tidak Bekerja 36 78,3 30 65,2
Jumlah 46 100,0 46 100,0

Rendah 17 37 16 34,8
Tingkat Pendidikan Tinggi 29 63 30 65,2
Jumlah 46 100,0 46 100,0

Merokok 4 8,7 19 41,3


Status Merokok Tidak Merokok 42 91,3 27 58,7
Jumlah 46 100,0 46 100,0

>= 4 jam/hari 22 47,8 29 63,0


Paparan sinar UV < 4 jam/hari 24 52,2 17 37,0
Jumlah 46 100,0 46 100,0

Distribusi frekuensi responden pada tabel 4.1 menunjukkan responden

dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 41 orang

(89,1%) dibandingkan pada kelompok kontrol yaitu 25 (54,3%). Berdasarkan

distribusi umur, proporsi responden dengan umur yang berisiko lebih banyak

ditemukan pada kelompok kasus yaitu 41 orang (89,1%) dari pada kelompok kontrol

sebanyak 27 orang (58,7%). Kemudian distribusi responden berdasarkan riwayat

penyakit keluarga SLE didapatkan bahwa proporsi responden yang memiliki riwayat

penyakit keluarga SLE lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 3 orang (6,5%) dari
50

pada kelompok kontrol sebanyak 1 orang (2,2%). Berdasarkan distribusi frekuensi

pekerjaan, proporsi responden yang bekerja lebih banyak pada kelompok kontrol

yaitu 23 (50%) dibandingkan pada kelompok kasus yaitu 10 orang (21,7%).

Berdasarkan distribusi frekuensi tingkat pendidikan, proporsi responden baik

pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol lebih banyak dengan tingkat

pendidikan tinggi yaitu 29 orang (63%) pada kelompok kasus dan 30 orang (65,2%)

pada kelompok kontrol. Adapun pada responden yang merokok ditemukan proporsi

lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 19 orang (41,3%) dibandingkan pada

kelompok kasus yaitu 4 orang (8,7%). Dilihat dari paparan sinar UV, responden yang

terkena paparan sinar UV >=4 jam/hari lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 29

orang (55,4%) dibandingkan pada kelompok kasus yaitu 22 orang (47,8%).

11.3 Analisis Bivariat


Analisis bivariat pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan

antar variabel penelitian (dependen dan independen), yaitu hubungan antara masing-

masing variabel independen dengan kejadian penyakit SLE. Berikut ini dipaparkan

hasil analisis bivariat hubungan antara variabel-variabel tersebut.

11.3.1 Hubungan Umur dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Hasil analisis hubungan umur dengan kejadian SLE dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel HASIL.7 Hubungan Umur dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Umur Penyakit SLE OR
51

SLE Non SLE Total p-value


(95% CI)
f % f % f %
15 – 44 tahun 41 89,1 27 58,7 66 71,7
5,78
≥ 45 tahun 5 10,9 19 41,3 26 49,0 0,002
(1,924 – 17,307)
Total 46 100 46 100 92 100

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa persentase responden pada

kelompok umur berisiko menderita penyakit SLE (89,1%) lebih banyak

dibandingkan responden yang tidak menderita penyakit SLE (58,7%). Hasil

pengujian secara statistik diperoleh p-value 0,002 dengan nilai OR 5,78 (95% CI

1,924 – 17,307). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara umur

dengan kejadian penyakit SLE. Responden pada kelompok umur berisiko (15 – 44

tahun) berisiko sebesar 5,78 kali terhadap penyakit SLE dibanding responden pada

kelompok umur tidak berisiko.

11.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian SLE dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel HASIL.8 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

Penyakit SLE
Jenis Total OR p-value
SLE Non SLE
Kelamin (95% CI)
f % F % f %
Perempuan 41 89,1 25 54,3 66 71,7
6,89
Laki-laki 5 10,9 21 45,7 26 49,0 0,001
(2,305 – 20,585)
Total 46 100 46 100 92 100
Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa proporsi responden perempuan

menderita penyakit SLE (89,1%) lebih banyak dibandingkan responden yang tidak

menderita penyakit SLE (54,3%). Hasil pengujian secara statistik diperoleh nilai OR

6,89 (95% CI 2,305 – 20,585). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian penyakit SLE. Responden kelompok


52

perempuan berisiko sebesar 6,89 kali terhadap penyakit SLE dibanding responden

pada kelompok laki-laki.

11.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga SLE dengan Kejadian Penyakit


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang
Tahun 2017
Hasil analisis hubungan riwayat penyakit keluarga dengan kejadian SLE dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel HASIL.9 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga dengan Kejadian
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang
Tahun 2017
Riwayat Penyakit SLE
Total OR p-value
Penyakit SLE Non SLE
(95% CI)
Keluarga f % f % f %
Ada 3 6,5 1 2,2 4 4,3
3,14
Tidak Ada 43 93,5 45 97,8 45 95,7 0,609
(0,314 – 31,360)
Total 46 100 46 100 92 100

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa persentase responden dengan

memiliki riwayat penyakit keluarga SLE menderita penyakit SLE (6,5 %) lebih

banyak dibandingkan responden yang tidak menderita penyakit SLE (2,2%). Hasil

pengujian secara statistik diperoleh p-value 0,609 dengan nilai OR 3,14 (95% CI

0,314 – 31,360). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

riwayat penyakit keluarga dengan kejadian penyakit SLE (p-value >= 0,05).

Responden pada kelompok umur berisiko (15 – 44 tahun) berisiko sebesar 5,78 kali

terhadap penyakit SLE dibanding responden pada kelompok umur tidak berisiko.

11.3.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Hasil analisis hubungan pekerjaan dengan kejadian SLE dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel HASIL.10 Hubungan Pekerjan dengan Kejadian Penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

Pekerjaan Penyakit SLE OR


53

SLE Non SLE Total p-value


(95% CI)
f % f % f %
Bekerja 10 21,7 23 50,0 23 35,9
0,28
Tidak Bekerja 36 78,3 23 50,0 59 64,1 0,009
(0,112 – 0,689)
Total 46 100 46 100 92 100

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan bahwa persentase responden pada

kelompok yang bekerja menderita penyakit SLE (21,7%) lebih sedikit dibandingkan

responden yang tidak menderita penyakit SLE (50,0%). Hasil pengujian secara

statistik diperoleh p-value 0,009. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara pekerjaan dengan kejadian penyakit SLE.

11.3.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Penyakit Systemic


Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Hasil analisis hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian SLE dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel HASIL.11 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Kejadian
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang
Tahun 2017
Penyakit SLE
Total OR p-value
Pendidikan SLE Non SLE
(95% CI)
f % f % F %
Rendah 17 37,0 16 34,8 33 35,9
1,09
Tinggi 29 63,0 30 65,2 59 64,1 1,000
(0,469 – 2,578)
Total 46 100 46 100 92 100

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan bahwa persentase responden dengan tingkat

pendidikan rendah tidak jauh berbeda antara kelompok yang menderita penyakit SLE

(37%) dan pada kelompok tidak menderita penyakit SLE (34,8%). Hasil pengujian

secara statistik diperoleh p-value 1,000. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian penyakit SLE (p-value

>= 0,05).
54

11.3.6 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Hasil analisis hubungan status merokok dengan kejadian SLE dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel HASIL.12 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

Penyakit SLE
Status Total OR p-value
SLE Non SLE
Merokok (95% CI)
f % f % f %
Merokok 4 8,7 19 41,3 23 25,0
0,14
Tidak Merokok 42 91,3 27 58,7 69 75,0 0,001
(0,042 – 0,441)
Total 46 100 46 100 92 100

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan bahwa persentase responden yang merokok

menderita penyakit SLE (8,7%) lebih sedikit dibandingkan responden yang tidak

menderita penyakit SLE (41,3%). Hasil pengujian secara statistik diperoleh p-value

0,005. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status merokok

dengan kejadian penyakit SLE.

Tabel HASIL.13 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit Sistemic


Lupus Erithematosus (SLE) yamg Distratifikasi Berdasarkan Variabel
Jenis Kelamin di RSUP Dr. M Djamil Padang
Tahun 2017

Penyakit SLE
Total OR p-
Jenis Kelamin SLE Non SLE
(95% CI) value
f % f % f %
Perempuan
Merokok 0 0 0 0 0 0
Tidak Merokok 41 100 25 100 66 100 _* _*
Total 41 100 25 100 100 100
55

Laki-laki
Merokok 4 80 19 90,5 23 88,5
Tidak Merokok 1 20 2 9,5 3 11,5 0,42
0,488
Total 5 100 21 100 26 100 (0,030-5,850)

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa seluruh responden perempuan baik pada

kelompok kasus maupun kontrol tidak ada yang merokok. Terdapatnya 2 sel yang

bernilai 0 maka variabel status merokok pada perempuan tidak bisa di analisis.

Kemudian dari analisis stratifikasi pada kelompok laki-laki didapatkan tidak adanya

hubungan antara status merokok dengan kejadian SLE pada responden laki-laki

dengan p-value>0,05 ( p-value= 0,048) dan OR = 0,42 (95%CI = 0,03-5,85) yang

berarti risiko terjadinya penyakit SLE pada responden yang merokok diperkecil 2,4

kali oleh jenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan melalui jenis kelamin laki-

laki, risiko kejadian SLE pada responden yang merokok dapat dikurangi.

11.3.7 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus


Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
Hasil analisis hubungan paparan sinar UV dengan kejadian SLE dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel HASIL.14 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Kejadian Penyakit
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017

Penyakit SLE
Paparan Total OR p-value
SLE Non SLE
Sinar UV (95% CI)
F % f % f %
>=4 jam/hari 22 47,8 29 63,0 23 55,4
0,54
< 4 jam/hari 24 52,2 17 37,0 41 44,6 0,208
(0,234 – 1,235)
Total 46 100 46 100 92 100
56

Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan bahwa persentase responden dengan

paparan sinar UV >=4 jam/hari menderita penyakit SLE (47,8%) lebih sedikit

dibandingkan responden yang tidak menderita penyakit SLE (63,0%). Hasil

pengujian secara statistik diperoleh p-value 0,208. Hal ini dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat hubungan antara paparan sinar UV dengan kejadian penyakit SLE (p-

value >= 0,05).

11.4 Analisis multivariat


Analisis multivariat dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi

logistik model prediksi untuk menguji variabel independen (umur, jenis kelamin,

riwayat penyakit keluarga SLE, pekerjaan, tingkat pendidikan, status merokok dan

paparan sinar UV) yang memiliki pengaruh lebih dominan terhadap variabel

dependen (penyakit SLE).

Berdasarkan analisis bivariat, maka akan dilakukan seleksi terhadap variabel

independen untuk dimasukan kedalam analisis multivariat yaitu variabel dengan nilai

p-value <0,25. Adapun penjaringan variabel sebagai kandididat yang akan

diikutsertakan kedalam analisis multivariat seperti pada tabel berikut ini:

Tabel HASIL.15 Variabel Kandidat Analisis Multivariat


Variabel P-value Keterangan
Jenis Kelamin 0,001 Kandidat
Umur 0,002 Kandidat
Pekerjaan 0,009 Kandidat
Paparan Sinar UV 0,208 Kandidat
Berdasarkan Tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin, umur,

riwayat penyakit keluarga, pekerjaan dan paparan sinar UV memiliki p-value < 0,25

sehingga variabel tersebut memenuhi syarat untuk dilakukan analisis multivariat.

Adapun full model analisis multivariat dapat dilihat dari tabel berikut ini:
57

Tabel HASIL.16 Full Model Analisis Multivariat Variabel yang Paling


Berhubungan dengan Kejadian Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017
95% CI
Variabel OR p-value
Lower Upper
Umur 7,89 2,340 26,596 0,001
Jenis Kelamin 9,84 2,220 43,579 0,003
Pekerjaan 0,53 0,164 1,721 0,292
Paparan Sinar UV 1,99 0,601 6,571 0,260

Hasil uji statistik pada Tabel 4.11 merupakan model awal untuk analisis

multivariat selanjutnya, untuk mengetahui efek confounding dari masing-masing

variabel secara bertahap. Selanjutnya akan dilakukan uji confounding terhadap

kejadian penyakit SLE dengan variabel independen (jenis kelamin, umur, pekerjaan

dan paparan sinar UV). Langkah-langkah dalam melihat confounder yaitu dengan

mengeluarkan variabel yang memiliki p-value dari model dan dilihat nilai ∆OR %.

Suatu variabel dikatakan sebagai confounder jika nilai ∆OR % nya lebih dari 10%.

Variabel yang pertama kali dikeluarkan yaitu pekerjaan, karena memiliki nilai p-

value yang besar. Berikut adalah hasil setelah variabel pekerjaan dikeluarkan.

Tabel HASIL.17 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama

Variabel OR Crude OR Adjusted ∆OR (%) p-value


Umur 7,92 7,89 0,38 0,001
* Jenis Kelamin 12,81 9,84 30,18 0,000
Paparan Sinar UV 1,81 1,99 9,04 0,322
Ket: *Perubahan OR > 10%

Hasil uji statistik pada Tabel 4.12, dapat dilihat bahwa pada saat variabel

pekerjaan dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) > 10%

sehingga variabel pekerjaan diikutkan kembali ke dalam uji tahap kedua. Pada uji

tahap kedua ini variabel yang akan dikeluarkan adalah variabel yang memiliki p-
58

value terbesar yaitu paparan sinar UV, sehingga didapatkan hasil seperti pada tabel di

bawah ini:

Tabel HASIL.18 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Kedua

Variabel OR Crude OR Adjusted ∆OR (%) p-value


Umur 7,38 7,89 6,46 0,001
* Jenis Kelamin 6,61 9,84 32,83 0,004
* Pekerjaan 0,59 0,53 11,32 0,37
Ket: *Perubahan OR > 10%

Hasil uji statistik pada Tabel 4.13, dapat dilihat bahwa pada saat variabel

paparan sinar UV dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) >

10% sehingga variabel paparan sinar UV diikutkan kembali ke tahap ketiga. Pada uji

tahap keempat ini variabel yang akan dikeluarkan selanjutnya yaitu jenis kelamin,

sehingga didapatkan hasil seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel HASIL.19 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Ketiga

Variabel OR Crude OR Adjusted ∆OR (%) p-value


* Umur 6,06 7,89 23,19 0,002
* Pekerjaan 0,29 0,53 45,28 0,019
* Paparan Sinar UV 0,82 1,99 58,79 0,702
Ket: *Perubahan OR > 10%

Hasil uji statistik pada Tabel 4.15, dapat dilihat bahwa pada saat variabel jenis

kelamin dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) > 10%

sehingga variabel jenis kelamin diikutkan kembali ke tahap keempat. Pada uji tahap

kelima ini variabel yang akan dikeluarkan selanjutnya yaitu umur, sehingga

didapatkan hasil seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel HASIL.20 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Keempat

Variabel OR Crude OR Adjusted ∆OR (%) p-value


Pekerjaan 0,52 0,53 1,89 0,230
* Paparan Sinar UV 1,67 1,99 16,08 0,351
* Jenis Kelamin 6,70 9,84 31,91 0,006
Ket: *Perubahan OR > 10%
59

Hasil uji statistik pada Tabel 4.16, dapat dilihat bahwa pada saat variabel

umur dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) > 10% sehingga

variabel jenis kelamin diikutkan kembali ke tahap berikutnya yaitu pemodelan akhir,

sehingga didapatkan hasil seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel HASIL.21 Model Akhir Analisis Multivariat Variabel yang Paling


Mempengaruhi Kejadian Penyakit SLE di RSUP Dr. M Djamil
Padang Tahun 2017
95% CI
Variabel OR p-value
Lower Upper
Umur 7,89 2,340 26,596 0,001
Jenis Kelamin 9,84 2,220 43,579 0,003
Pekerjaan 0,53 0,164 1,721 0,292
Paparan Sinar UV 1,99 0,601 6,571 0,260
Hasil analisis multivariat pada tabel 4.17 menunjukkan bahwa variabel jenis

kelamin merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi kejadian penyakit

SLE di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017. Hasil uji regresi logistik diperoleh

OR= 9,84 yang artinya responden perempuan berisiko 9,84 kali mengalami penyakit

SLE dibandingkan responden laki-laki pada kondisi yang sama pada variabel umur,

pekerjaan, dan paparan sinar UV.

BAB 12 : PEMBAHASAN

12.1 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai keterbatasan yang mempengaruhi

hasil penelitian. Keterbatasan dalam penelitian adalah pada variabel status merokok

yang hanya terbatas pada perokok aktif dan mengabaikan risiko dari perokok pasif

yaitu keterpaparan asap rokok baik dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja,

lingkungan pergaulan dan paparan rokok di tansportasi umum.


60

12.2 Analisis Univariat


Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menderita penyakit

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017

paling banyak pada pada perempuan yaitu sebesar 89,1%. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian Komalig, dkk (2008) bahwa perempuan lebih banyak menderita

lupus (94,5%). Penelitian Utomo tahun 2012 juga mendukung bahwa sebagian besar

penderita SLE adalah perempuan (97.7%). Penelitian tentang penyakit SLE yang

dilakukan oleh Wijaya menyatakan perbandingan antara penderita perempuan dan

laki-laki adalah 8:1.

Distribusi kelompok umur menderita penyakit SLE lebih banyak pada

kelompok umur 15-44 tahun yaitu sebesar 89,1%. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian Susanti tahun 2012 menyatakan bahwa sebagian besar penderita SLE

berada pada kelompok umur berisiko (15-44 tahun) yaitu 91,7%. Lupus paling sering

terjadi pada wanita muda di akhir umur belasan dan wanita dewasa sampai umur 45

tahun. Kejadian penyakit SLE sering terjadi sejak umur 15 tahun ke atas. Kelompok

umur terbanyak pada umur 25-34 tahun (45%). Hal tersebut sesuai dengan Judha,

dkk (2015) yang menyatakan bahwa meskipun SLE dapat berefek pada segala usia,

namun SLE paling umum terdiagnosis pada mereka yang berusia antara 15-40 tahun.

Proporsi responden menderita penyakit SLE yang memiliki riwayat penyakit

keluarga SLE yaitu sebesar 6,5%. Penelitian ini sejalan penelitian Rowell yang

menyatakan bahwa faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota keluarga yang

menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk sistemik dan

discoid lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, demam rematik, polyarteritis

nodosa, dermatomyositis, dan artritis poikiloderma, dan poikiloderma atropicans


61

vasculare. Lupus Foundation of America, 2015 menyatakan sebesar 20% penderita

lupus akan mempunyai saudara yang akan menderita lupus. Sekitar 5% anak yang

lahir dari individu yang terkena lupus, akan menderita penyakit lupus, apabila

kembar identik maka salah satu dari bayi kembar tersebut akan menderita lupus.

Sebesar 10% penderita lupus, mengalami kelainan pada lebih dari satu jaringan

tubuh. Kelainan jaringan tersebut dikenal dengan istilah “overlap syndrom” atau

“mixed connective tissue disease”.

Distribusi frekuensi pekerjaan yang menderita penyakit SLE dalam penelitian

ini lebih banyak pada kelompok tidak bekerja yaitu 78,3%. Hal tersebut sesuai

dengan penelitian Komalig, dkk (2008) yang menyatakan bahwa jenis pekerjaan

yang paling banyak menderita SLE yakni tidak bekerja (32,2%). Penelitian ini tidak

sejalan dengan penelitian Susanti tahun 2012 menyatakan bahwa sebagian besar

penderita SLE adalah bekerja yaitu 58,4%.

Distribusi tingkat pendidikan responden yang menderita SLE dalam

penelitian lebih banyak memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu 63%. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian Susanti tahun 2012 menyatakan bahwa sebagian besar

penderita SLE memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu sebesar 88,9% dengan

persentase SMA/SMK (47,2%) dan PT (41,7%). Penelitian Utomo tahun 2012 juga

mendukung bahwa sebagian besar penderita memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu

sebesar 65,9%. Penderita lupus paling banyak tamat akademi/perguruan tinggi yaitu

58,4%.

Distribusi frekuensi responden yang menderita penyakit SLE lebih banyak

pada kelompok tidak merokok yaitu sebesar 91,3%. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian penelitian Komalig, dkk (2008) bahwa penderita lupus sebagian besar
62

tidak merokok (88,1%). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Bengtsson, dkk

(2002) yang menyatakan bahwa penderita lupus sebagian besar adalah perokok yaitu

60%.

Distribusi frekuensi responden yang menderita penyakit SLE terpajan sinar

UV lebih banyak pada kelompok tidak berisiko yaitu < 4 jam/hari sebesar 52,2%,

Penelitian ini sejalan dengan penelitian penelitian Komalig, dkk (2008) bahwa

penderita lupus terpajan sinar UV >= 4 jam/hari memiliki persentase yang sedikit

yaitu 22,3%.

12.3 Analisis Bivariat


12.3.1 Hubungan Umur dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 0,002 (p<0,05) dengan nilai

OR 5,78 (95% CI 1,924 – 17,307). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara umur dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil Padang tahun

2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Karlson bahwa

umur memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit SLE dengan tingkat

kemaknaan <0,007. Penelitian Chalico juga menyatakan adanya hubungan antara

umur dengan penyakit SLE (<0,0001).

Umur merupakan determinan perbedaan yang paling signifikan di antara

semua variabel. Penyakit dan kondisi pada umur tua berbeda dengan penyakit dan

kondisi pada umur muda. Umur merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai

untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan,

dan karena saling diperbandingkan maka kekuatan variabel umur menjadi mudah
63

dilihat. Hampir semua penyakit dapat menyerang semua kelompok umur, tetapi

penyakit tertentu lebih sering terjadi pada satu titik tertentu dalam kehidupan.

Salah satu faktor risiko yang telah konsisten di seluruh studi yang berbeda

adalah usia yang lebih muda. Secara khusus, Ribeiro dkk menemukan usia yang

lebih muda untuk menjadi prediktor aktivitas SLE pada pasien End Stage Renal

Desease (ESDR). Temuan ini sesuai dan bisa dikaitkan dengan fakta bahwa usia

yang lebih muda telah dianggap prediksi untuk meningkatkan aktivitas kejadian

penyakit SLE. Dalam multi-etnis kohort, ditemukan bahwa baik selama tahun-tahun

pertama penyakit dan kapan saja selama perjalanan penyakit, usia berhubungan

positif dengan tingkat aktivitas penyakit yang tinggi.

Lupus paling sering terjadi pada wanita muda di akhir umur belasan dan

wanita dewasa sampai umur 44 tahun. Kejadian penyakit SLE paling sering terjadi

sejak umur 15 tahun ke atas. Hal ini tebukti dalam penelitian ini bahwa penderita

penyakit SLE sebagian besar berada pada usia produktif, yaitu pada kelompok umur

15-24 (50%), 25-34 tahun (21,7%), 35-44 tahun (17,4%) dan hanya 10,9 % penderita

SLE yang berada pada kelompok tidak produktif yaitu > 44 tahun.

Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah menopause.

Pada wanita tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus menstruasi.

Pada studi kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati secara prospektif antara

tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral,

menopause dini, menopause surgikal, dan penggunaan hormon pasca menopause

berkaitan dengan meningkatnya risiko dari penyakit SLE.

Pada usia produktif dikaitkan dengan perubahan fisik yang disertai dengan

perkembangan hormonal. Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya


64

SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan

tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme

estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

12.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 0,001 (p<0,05) dengan nilai

OR 6,88 (95% CI 2,305 – 20,585). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara jenis kelamin dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil

Padang tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Wijaya bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit

SLE (p-value = 0,02). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Vargas yang

menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang sigifikan dengan kejadian SLE

(0,03)

Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang dapat

memberikan perbedaan angka atau rate kejadian pada pria dan wanita. Dalam hal

perbedaan kejadian penyakit pada perbedaan jenis kelamin harus dipertimbangkan

juga berbagai variabel lain seperti umur atau variabel lainnya yang mempunyai

perbedaan penyebaran menurut jenis kelamin. Perbedaan insiden penyakit menurut

jenis kelamin dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis, dan sistem hormonal

yang berbeda

Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus

yakni jenis kelamin, wanita umur produktif lebih berisiko terkena penyakit ini.

Meningkatnya angka kesakitan penyakit SLE dimana wanita lebih banyak dibanding

pria adalah disebabkan oleh pada masa usia subur ini, homon-hormon wanita seperti
65

estrogen dan progesteron sangat berpengaruh besar dalam proses pertumbuhan

terutama pada siklus menstruasi wanita. SLE dapat aktif pada kehamilan karena pada

kehamilan terjadi peningkatan hormonal. Homon estrogen pada wanita memicu sel

Th2 untuk mengaktifkan sel B dalam menghasilkan antibodi. Selain itu estrogen

besifat imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral atau menekan fungsi

sel Ts (Sel T Supresor) dengan cara mengikat reseptor sehingga terjadi peningkatan

produksi antibodi.

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara

kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal

sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE.

Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA

dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti

eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan

kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon

inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

12.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 0,609 (p>0,05) dengan nilai

OR 3,14 (95% CI 0,314 – 31,360). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan penyakit SLE di RSUP DR. M

Djamil Padang tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Komaling bahwa responden yang menjawab ada saudara/ keluarga

yang menderita sakit SLE hanya sedikit yaitu 1,5%. Meskipun pada penelitian ini

menunjukkan tidak adanya hubungan, namun riwayat penyakit keluarga berpeluang


66

sebesar 3,14 untuk menyebabkan SLE. Bengtsson menyatakan bahwa riwayat

penyakit keluarga berisiko 6,8 kali untuk mengalami penyakit SLE.

Faktor genetik diduga memegang peranan yang penting pada patofisiologi

SLE. Pengaruh genetik dibuktikan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan

bahwa anti DNA sering dijumpai pada keluarga penderita SLE dan 70% dari saudara

kembar monozigot penderita SLE memiliki kelainan yang sama.

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul

produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE

telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak

kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko

terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki

saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi

umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang

memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II

khususnya HLA-DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan

timbulnya SLE. HLA yang mendukung konsep bahwa gen MHC mengatur produksi

autoantibodi spesifik. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen

merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.

Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh

sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti

C2,C4, atau C1q. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan

berisiko menderita SLE. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal


67

membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon

imun. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur

komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 6,5% penderita yang memiliki

riwayat penyakit keluarga SLE sehingga menyebabkan tidak adanya hubungan yang

bermakna antara dengan riwayat penyakit keluarga dengan penyakit SLE. Hal ini

bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman penderita dan

keluarga tentang penyakit SLE. Berdasarkan penelitian Komalig menyatakan

rendahnya pengetahuan responden tentang penyakit LES (41,1%), kurangnya

pengetahuan tentang faktor risiko yang kemungkinan menjadi penyebab penyakit

SLE (18,8%). Alasan berikutnya sulitnya mendiagnosis penyakit SLE jika dilihat

dari gejala awal dikarenakan penyakit SLE pada sebagian orang memiliki

manifestasi klinis yang hampir sama dengan penyakit autoimun lain sepeti artritis

reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Kemudian juga

disebabkan karena gejala penyakit SLE pada setiap penderita berbeda-beda,

tergantung dari manifestasi klinis yang muncul.Keputusan untuk lebih memilih

mengobati penyakitnya sendiri atau melakukan pengobatan altenatif dibandingkan

pengobatan medis juga akan menyebabkan tidak diketahuinya seseorang menderita

SLE. Penelitian Komalig menunjukkan bahwa responden yang cenderung mengobati

diri sendiri yaitu 30,1% serta pengobatan altenatif (29,2%).

Sampai saat ini faktor penyebab dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui.

Akan tetapi diduga faktor genetik memegang peranan pada patogenesisnya. Oleh

karena itu, apabila mengalami sakit berulang untuk dapat memeriksakan

kesehatannya ke pelayanan kesehatan agar dapat mendeteksi secara pasti penyakit


68

yang dialami. Kemudian terutama bagi seseorang yang memiliki keluarga yang

menderita SLE agar dapat melakukan pemeriksaan secara dini untuk mengetahui

apakah memiliki gen yang dapat memicu terjadinya SLE.

12.3.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 0,009 (p<0,05) dengan nilai

OR 0,28 (95% CI 0,112 – 0,689). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara pekerjaan dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil Padang

tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Karlson

bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit SLE dengan

tingkat kemaknaan 0,04. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Balsamo yang

menyatakan tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan penyakit SLE (p-

value =0.0702). Penelitian Asih menyatakan seluruh penderita SLE (100%) adalah

tidak bekerja.

Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status

sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera, atau masalah kesehatan

dalam suatu populasi. Penyakit, kondisi, atau gangguan tertentu dapat terjadi dalam

suatu pekerjaan. Pekerjaan juga merupakan suatu determinan risiko dan determinan

pajanan yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor

status kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja. Penelitian Komalig,

dkk (2008), menyatakan bahwa penderita lupus paling banyak pada orang yang tidak

bekerja (32,2 %).

Pada penelitian ini responden yang menderita penyakit SLE lebih banyak

tidak bekerja (50%) dan didominasi oleh IRT (39,1%), diikuti oleh pelajar (21,7%)
69

dan mahasiswa (17,4%). Hal ini sesuai dengan kebiasaan atau budaya wanita

Indonesia yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dibandingkan beker ja.Pada

penelitian ini IRT, pelajar, mahasiswa dikategorikan pada kelompok tidak bekerja.

12.3.5 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 1,000 (p>0,05) dengan nilai

OR 1,09 (95% CI 0,469 – 2,678). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil

Padang tahun 2017. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Philips yang menyatakan

bahwa pendidikan tidak mempengaruhi penyebaran peningkatan penyakit SLE. Hasil

penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan Karlson bahwa tingkat pendidikan

tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit SLE dengan tingkat

kemaknaan <0,02. Penelitian Sutcliffe menyatakan bahwa pendidikan rendah

berisiko 1,16 untuk mengalami penyakit SLE.

Pendidikan formal adalah pendidikan berprogram terstruktur dan berlangsung

di persekolahan. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status sosial ekonomi

termasuk pekerjaan dan status gizi. Pendidikan yang rendah pada masyarakat juga

akan berdampak pada tidak adanya pemahaman dan kesadaran akan penyakit SLE,

sehingga masyarakat yang memiliki pendidikan yang rendah tidak bisa memahami

secara dini munculnya tanda-tanda penyakit SLE.


70

Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar penderita SLE memiliki

tingkat pendidikan tinggi yaitu sebesar 60 %. Namun pada penelitian ini

menunjukkan pendidikan yang tinggi belum tentu menjamin bahwa seseorang dapat

memahami gejala dini penyakit SLE dan faktor risiko penyakit SLE. Sampai saat ini

belum ada yang bisa mencetuskan secara pasti penyebab dari penyakit SLE dan

beberapa penelitian terkait penyakit SLE terutama di Indonesia masih sedikit yang

mengkaji sehingga belum banyak diketahui orang. Hal ini menunjukkan kurangnya

informasi terkait seluk beluk penyakit SLE menyebabkan semua kalangan

masyarakat baik dengan tingkat pendidikan tinggi maupun rendah tidak dapat

mengakses dan memahami secara mendalam terkait penyakit SLE.

Penyakit SLE adalah penyakit yang sulit dideteksi dini dikarenakan penyakit

SLE pada sebagian orang memiliki manifestasi klinis yang hampir sama dengan

penyakit autoimun lain sepeti artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia,

dermatitis dan sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang cukup

dalam pemahaman yang mendalam agar dapat mengetahui gejala awal SLE dengan

baik. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang tinggi belum tentu memiliki

pengetahuan yang cukup terkait penyakit SLE.

12.3.6 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 0,001 (p<0,05) dengan nilai

OR 0,14 (95% CI 0,042 – 0,441). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara status merokok dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil

Padang tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Washio, dkk

(2006) bahwa perokok dan mantan perokok lebih berisiko terkena SLE daripada
71

orang yang bukan perokok (p< 0,001). Penelitian Bengtsson menyatakan bahwa

merokok memiliki risiko yang kecil yaitu 1,8 kali untuk mengalami penyakit SLE.

Merokok menyebabkan kerusakan DNA dalam hitungan menit setelah

terhirup. Asap rokok bersifat karsinogen, merusak DNA dan mutasi gen. Sehingga,

walaupun responden hanya sebentar terpapar rokok di transportasi umum, namun hal

tersebut cukup dapat merusak DNA. Kerusakan DNA tersebut dapat berdampak

terjadinya penyakit autoimun. Lupus merupakan penyakit autoimun dimana organ

dan sel mengalami kerusakan Lupus berhubungan dengan zat yang terkandung

dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik.

Hasil uji stratifikasi hubungan merokok dengan kejadian SLE berdasarkan

jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh responden perempuan

baik yang menderita SLE maupun tidak menderita SLE tidak memiliki kebiasaan

merokok. Dari 5 orang laki-laki penderita SLE, 4 orang diantaranya merokok. Hasil

pengujian statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

merokok dengan kejadian SLE setelah distratifikasi dengan variabel jenis kelamin.

Penelitian Bengtsson menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan

anatara merokok dengan kejadian SLE (p-value=0,08). Penelitian Komaling juga

menyatakan pesentase penderita lupus yang merokok yaitu 11,9%. Rendahnya

responden yang merokok dikarenakan sebagian besar penderita SLE adalah

perempuan yaitu sebesar 89,1 % dan didominasi oleh IRT (39,1%). Hal ini sesuai

prevalensi merokok di Indonesia usia 10 tahun keatas dengan persentase yang lebih

banyak pada laki-laki dengan persentase masing-masing 46,8 persen laki-laki dan 3,1

persen perempuan.
72

Secara teori, perokok merupakan faktor lingkungan yang memiliki risiko

tinggi kejadian lupus, tetapi pada penelitian ini hanya mengkaji perokok aktif dan

mengabaikan perokok pasif. Paparan rokok tidak hanya didapat karena menghisap

rokok, menjadi perokok pasif juga berisiko terkena berbagai macam penyakit,

diantaranya kanker, sakit jantung (penyakit kardiovaskular), pneumonia pada anak,

risiko terkena BBLR bagi ibu hamil, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa

ada peran lingkungan terhadap kesehatan. Asap rokok merupakan salah satu dari

radikal bebas. Menurut Hyde (2009), radikal bebas dapat menyerang molekul

penting seperti DNA, protein dan lipid. Radikal dapat memperbanyak diri dan dapat

menciptakan kerusakan yang signifikan. Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat

membentuk ikatan pada basa nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi.

Menurut Global Adult Tobacco Survey (2011), persentase orag dewasa yang

terpapar asap rokok ditempat umum yakni mencapai 85,4%, di rumah mencapai

78,4%, dan di tempat kerja mencapai 51,3%. Menurut Aditama (1997), interaksi

antara perokok aktif dan perokok pasif biasanya terjadi di tempat-tempat umum,

misalnya stasiun kereta api, halte, terminal, dan lain-lain. Di tempat-tempat tersebut

tidak ada pembatas antara ruangan yang diperuntukkan bagi perokok dan bukan

perokok.

Penelitian yang dilakukan Susanti didapatkan bahwa paparan rokok berisiko

untuk tejadinya penyakit SLE, yaitu paparan perokok di lingkungan keluarga

(OR=1,24), lingkungan kerja (OR= 2,72), lingkungan pergaulan (OR= 1,35), dan

paparan rokok di tansportasi umum (OR=10,74). Pada penelitian ini persentase yang

cukup tinggi pada pelajar (21,7%), mahasiswa (17,4%) yang memungkinkan terkena

paparan rokok dari lingkngan sekitar terutama pada tansportasi umum.


73

Berdasarkan penjelasan diatas, meskipun tidak merokok, namun apabila

lingkungan disekitar memungkinkan adanya paparan asap rokok maka tetap akan

menimbulkan masalah kesehatan khususnya penyakit autoimun. Oleh karena itu

diharapkan selain tidak merokok juga menghindari paparan rokok seperti paparan

rokok di lingkungan keluarga, paparan rokok di lingkungan kerja, paparan rokok di

lingkungan pergaulan, paparan rokok di transportasi umum,.

12.3.7 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Kejadian Penyakit SLE

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh p-value= 0,208 (p>0,05) dengan nilai

OR 0,54 (95% CI 0,234 – 1,235). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara paparan sinar UV dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil

Padang tahun 2017. Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa penderita

lupus melakukan aktivitas sehari-hari di luar rumah lebih sedikit (22,2%).

Sinar ultraviolet merupakan pemicu SLE yang berasal dari lingkungan.

Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk kecantikan dapat

mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan kelainan ini. Namun, akibat dari

tidak terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D dimana berkaitan juga dengan

aktivitas penyakit. Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,

sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau

bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan

prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui

peredaran pembuluh darah.

Pada penelitian ini didapatkan tidak adanya hubungan paparan sinar UV

dengan kejadian SLE dikarenakan proprosi penderita terpapar sinar UV > 4 jam/hari
74

(47,8%) tidak jauh berbeda dengan yang terpapar sinar UV < 4 jam/hari (52,2%).

Pekerjaan penderita SLE yang terpapar sinar UV sebagian besar adalah buruh,

swasta, dan IRT. Berdasarkan jawaban saat wawancara, penderita yang bekerja

sebagai IRT banyak berasal dari luar Padang yaitu Solok, Pasaman dan Pesisir

Selatan. Mereka menjawab sering membantu suami untuk bekerja di sawah dan

ladang sehingga IRT tersebut banyak melakukan aktivitas di luar rumah yang

berpotensi terpapar sinar UV >4 jam/hari. Sedangkan penderita yang bekerja swasta

sebagian besar menjawab berprofesi sebagai pedagang yang juga berpeluang besar

terpapar sinar UV.

12.4 Analisis multivariat

Berdasarkan hasil penjaringan analisis multivariat didapatkan bahwa variabel

independen (jenis kelamin, umur, riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, status

merokok dan paparan sinar UV) memenuhi syarat untuk dimasukkan kedalam

analisis multivariat, karena hasil analisis menunjukkan variabel tersebut memiliki

hubungan yang bermakna dengan kejadian SLE.

Hasil analisis multivariat pada full model awal, didapatkan bahwa jenis

kelamin merupakan faktor risiko yang paling tinggi menyebabkan kejadian SLE di

RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. Pada uji statistik didapatkan p-value

=0,001 (p<0,05) dengan OR sebesar 9,84 (95% CI 2,220 – 43,579), hal ini

menyatakan bahwa responden perempuan berisiko 9,84 kali mengalami SLE

dibandingkan dengan respoden laki-laki. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan Dipiro menyatakan perbandingan penderita SLE antara perempuan dan

laki-laki adalah 10:1, sehingga lupus sering disebut penyakit kaum wanita.Penelitian
75

Chelvi menunjukkan bahwa 97,4% dari penderita SLE adalah perempuan. Hasil

analisis bivariat dari penelitian ini didapatkan bahwa jenis kelamin berisiko 6,89 kali

untuk mengalami SLE. Setelah dianalisis multivariat diketahui bahwa risiko untuk

mengalami SLE berubah menjadi 9,84 kali berisiko saat dipengaruhi variabel umur,

pekerjaan dan paparan sinar UV.

Perbedaan insiden penyakit menurut jenis kelamin dapat timbul karena

bentuk anatomis, fisiologis, dan sistem hormonal yang berbeda. Peningkatan hormon

dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Tingginya angka kejadian SLE pada

perempuan disebabkan hormon yang terdapat pada perempuan yakni hormon

estrogen. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan

tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme

estrogen yang abnormal dapat menjadi faktor resiko terjadinya SLE.

Besar risiko jenis kelamin dengan kejadian SLE pada analisis multivariat

adalah 7,89 yaitu lebih kuat hubungannya dibandingkan pada analisis bivariat yang

berisiko 5,78 kali. Meningkatnya risiko jenis kelamin terhadap kejadian SLE

dipengaruhi oleh variabel umur. Sebagian besar penderita SLE berada pada

kelompok umur produktif (15-44 tahun) sehingga menyebabkan risiko perempuan

dengan kejadian SLE meningkat.

Penyakit SLE menyerang wanita muda di akhir umur belasan dan wanita

dewasa sampai umur 45 tahun. Pada usia produktif dikaitkan dengan perubahan fisik

yang disertai dengan perkembangan hormonal dalam tubuh yang dapat memicu

terjadinya SLE. Penyakit SLE sering terjadi pada pubertas, waktu hamil, pasca

persalinan dan penggunaan pil kontrasepsi oral yang mengandung estrogen. Estrogen

bersifat imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral dan menekan fungsi
76

sel Ts (Sel T supresor) dengan cara mengikat reseptor, akibatnya terjadi peningkatan

produksi antibodi yang memicu SLE. Pasien perempuan dengan SLE dapat

mengalami kadar peningkatan 16 alfa hidroksiestron dan estriol.

Pada hasil multivariat menunjukkan tidak signifikannya pengaruh pekerjaan

terhadap kejadian SLE karena dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa penderita SLE yang bekerja lebih sedikit

dibandingkan yang tidak bekerja yaitu sebanyak 10 orang ( 21,7%). Kemudian dari

10 responden yang bekerja, 8 orang diantaranya adalah perempuan sehingga status

bekerja tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadia SLE (p-value

= 0.292). Selanjutnya tidak signifikannya pengaruh antara paparan Sinar UV dengan

kejadian SLE juga dipengaruhi variabel jenis kelamin dan umur. Hasil penelitian

menunjukkan dari 22 orang yang terpapar sinar UV >= 4 jam/hari, 17 orang

diantaranya adalah perempuan dan 20 diantaranya berada pada kelompok umur 15-

44 tahun sehingga tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang dilakukan tersebut, variabel jenis

kelamin secara langsung memberikan pengaruh besar terhadap kejadian kejadian

SLE di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017.


77

BAB 13 : KESIMPULAN DAN SARAN

13.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko kejadian Systemic Lupus

Erythematosus (SLE).di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 maka dapat

disimpulkan :

1. Proporsi karakteristik responden di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017

yang terbanyak pada kelompok kasus adalah jenis kelamin, umur (15-44

tahun), riwayat penyakit keluarga SLE, dan tingkat pendidikan rendah. Pada

kelompok kontrol yang terbanyak adalah responden bekerja, merokok, dan

paparan sinar UV >4 jam/hari.

2. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian penyakit

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun

2017. Responden dengan umur 15-44 tahun berisiko 5,78 kali untuk

mengalami penyakit SLE.

3. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian

penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang


78

Tahun 2017. Responden perempuan berisiko 6,89 kali untuk mengalami

penyakit SLE.

4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit keluarga

dengan kejadian penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr.

M Djamil Padang Tahun 2017.

5. Terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian

penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang

Tahun 2017.

6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan

kejadian penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M

Djamil Padang Tahun 2017.

7. Terdapat hubungan yang bermakna antara status merokok dengan kejadian

penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang

Tahun 2017. Tidak adanya hubungan antara status merokok dengan kejadian

penyakit SLE setelah distratifikasi dengan vaiabel jenis kelamin RSUP Dr. M

Djamil Padang Tahun 2017

8. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paparan sinar UV kejadian

penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang

Tahun 2017.

9. Umur merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian

penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) pada kondisi yang sama

dengan jenis kelamin, pekerjaan dan paparan sinar UV di RSUP Dr. M.

Djamil Tahun 2017.


79

13.2 Saran
1. Bagi Pihak RSUP Dr. M. Djamil Padang

a) Diharapkan kepada PKMRS (Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah

Sakit) RSUP Dr. M. Djamil untuk meningkatkan strategi penyuluhan

kepada penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) terutama pada

perempuan usia produktif (15-44 tahun) agar dapat menjaga pola hidup

yang sehat agar tidak memperparah penyakitnya. Penyuluhan juga

ditargetkan kepada pihak keluarga untuk dapat mengetahui tentang

penyakit SLE, terutama mengenali gejala dan cara pencegahannya.

2. Dinas Kesehatan dan Pskesmas

a) Diharapkan kepada Dinas Kesehatan terkait serta pihak puskesmas

untuk melakukan deteksi dini SLE pada masyarakat berisiko SLE di

Pos Pembinaan Terpadu (PTM) menggunakan formulir SALURI

(Periksa Lupus Sendiri) dan di puskesmas atau di sarana pelayanan

kesehatan lainnya.

b) Diharapkan kepada Dinas Kesehatan terkait serta pihak puskesmas

memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penyakit SLE.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a) Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk memperdalam mengkaji

paparan rokok yaitu di lingkungan keluarga, lingkungan kerja,

lingkungan pergaulan dan paparan rokok di tansportasi umum.

b) Diharapkan peneliti selanjutnya dapat memperluas penelitian dengan

menambah variabel lain yang berpengaruh seperti pengetahuan


80

tentang SLE, penggunaan kontasepsi, penggunaan obat-obatan serta

mengkaji aspek psikologis yaitu stress.


DAFTAR PUSTAKA

You might also like