Professional Documents
Culture Documents
UNIVERSITAS ANDALAS
Oleh :
Oleh :
FINA RANIVIRA RESMANA
No. BP : 1511216050
Hasil penelitian skripsi ini telah diperiksa, disetujui dan siap untuk
dipertahankan dihadapan tim penguji hasil penelitian skripsi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas
Pembimbing 1 Pembimbing 2
DATA MAHASISWA:
Nama Lengkap : Fina Ranivira Resmana
Nomor Buku Pokok : 1511216050
Tanggal Lahir : 07 Februari 1991
Tahun Masuk : 2015
Peminatan : Epidemiologi
Nama Pembimbing Akademik : Dra. Sri Siswati, Apt, SH, M. Kes
Nama Pembimbing I : Ade Suzana Eka Putri, Ph.D
Nama Pembimbing II : Yudi Pradipta, SKM, MKM
Nama Penguji I : Vivi Triana, SKM, MPH
Nama Penguji II : Dr. dr. Fauziah Elytha, MSc
JUDUL PENELITIAN:
FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
(SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2017
Menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan akademik dan
Mengetahui, Mengesahkan,
Ketua Departemen Epidemiologi Ketua Prodi S1 Kesehatan Masyarakat
dan Biostatistik
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan hasil
skripsi saya yang berjudul :
“FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS
(SLE) DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2017”
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
ABSTRAK
Tujuan
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi
autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya sehingga seringkali terlambat dalam
diagnosis dan penatalaksanaannya. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penyandang SLE baru di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian SLE di RSUP Dr. M. Djamil
Padang Tahun 2017.
Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 sampai bulan April 2018
menggunakan disain case-control dengan 92 responden. Pengambilan sampel kasus
dan kontrol dengan cara systematic random sampling. Pengumpulan data
menggunakan data primer berupa kuisioner dan data sekunder berdasarkan status
rekam medis pasien Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun
2017. Data analisis menggunakan uji chi-Square dan regresi logistik dengan derajat
kepercayaan 95%.
Hasil
Hasil bivariat menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kejadian SLE adalah
umur OR =5,78 (95% CI 1,924 – 17,307), jenis kelamin OR= 6,88 (95% CI 2,305 –
20,585), riwayat penyakit keluarga OR= 3,14 (95% CI 0,314 – 31,360), pekerjaan
OR = 0,28 (95% CI 0,112 – 0,689) , dan paparan sinar UV OR= 0,54 (95% CI
0,234 – 1,235). Pemodelan akhir multivariat menunjukkan bahwa variabel yang
paling dominan mempengaruhi kejadian SLE adalah jenis kelamin (p-value = 0,003
OR = 9,84).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jenis kelamin berisiko paling tinggi
terhadap kejadian SLE. Diharapkan kepada PKMRS (Penyuluhan Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit) RSUP Dr. M. Djamil untuk meningkatkan strategi
penyuluhan kepada penderita SLE terutama pada perempuan usia produktif (15-44
tahun) agar dapat menjaga pola hidup yang sehat supaya tidak memperparah
penyakitnya. Penyuluhan juga ditargetkan kepada pihak keluarga untuk dapat
mengetahui gejala, faktor risiko dan cara pencegahan penyakit SLE.
Daftar Pustaka : 68 (1994-2017)
Kata Kunci : SLE, jenis kelamin, umur, riwayat penyakit keluarga,
pekerjaan, paparan sinar UV.
FACULTY OF PUBLIC HEALTH
i
ANDALAS UNIVERSITY
ABSTRACT
Objective
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) disease is a chronic autoimmune inflammatory
disease that is not yet clear cause is so often late in diagnosis and treatment. Each
year there are more than 100,000 persons with SLE recently around the world. This
study aims to identify the risk factors that have the most influence on the incidence
of SLE in Dr. M. Djamil Padang Year 2017.
Method
The research conducted from October 2016 to April 2018. This study used a case-
control design with 96 samples. Sample was taken by using systematic random
sampling method. The collection of data using primary data in the form of
questionnaires and secondary data based on the status of medical records of patients
Inpatient Medicine Hospital Dr. M. Djamil Padang Year 2017. Data were analyzed
by chi-square test and logistic regression with 95% confidence degree.
Result
Bivariate analysis showed that age had OR=5,78 (95% CI 1,924 - 17,307), sex had
OR = 6.88 (95% CI 2.305 - 20.585), family illness history had OR = 3.14 ( 95% CI
0.314 - 31.360), occupational status had OR = 0.28 (95% CI 0.112 - 0.689), and UV
exposure had OR = 0.54 (95% CI 0.234 - 1.235). Multivariate end modeling showed
that the most dominant variable influencing the incidence of SLE is sex (p-value =
0,003, OR = 9,84).
Conclusion
Based on the results of the research showed that sex is a risk factor that most
influence on the incidence of SLE. It is recommend to public health information
division in Dr. M. Djamil hospital to improve the counselling strategy to SLE
patients especially on woman of productive age (15-44 years) in order to maintain a
healthy lifestyle so as not to aggravate the disease. Counseling is also targeted to the
family to be able to know the symptoms, risk factors and how to prevent the SLE
disease.
References : 87 (1994-2017)
Keywords : SLE, sex, age, family illness history, occupational status,
UV exposure
KATA PENGANTAR
ii
Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 “. Pada kesempatan ini peneliti
1. Ibu Ade Suzana Eka Putri, SKM, M.Comm Health Sc, Ph.D selaku Kepala
skripsi ini.
3. Bapak Defriman Djafri, SKM, MKM, Ph.D selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Vivi Triana, SKM, MPH selaku Ketua Departemen Epidemiologi dan
skripsi ini.
kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun.
balasan dari Allah SWT. Peneliti berharap semoga hasil penelitian skripsi ini
iii
Peneliti
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PENGESAHAN
iv
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................v
DAFTAR TABEL.......................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................x
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN.........................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................xiii
BAB 1 : PENDAHULUAN.........................................................................................1
v
2.4 Penatalaksanaan SLE.........................................................................................28
2.8 Hipotesis............................................................................................................36
3.3.1 Populasi....................................................................................................38
3.3.2 Sampel......................................................................................................38
BAB 4 : HASIL.........................................................................................................49
vi
4.2 Analisis Univariat..............................................................................................50
BAB 5 : PEMBAHASAN.........................................................................................61
6.1 Kesimpulan........................................................................................................79
6.2 Saran..................................................................................................................80
vii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
viii
Tabel 3.1 Definisi Operasional...................................................................................42
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Faktor Risiko kejadian penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang....................50
Tabel 4.3 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017..........52
Tabel 4.4 Hubungan Riwayat Penyakit Keluarga dengan Kejadian Penyakit Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang....................53
Tabel 4.7 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017...........55
Tabel 4.8 Hubungan Status Merokok dengan Kejadian Penyakit Sistemic Lupus
Erithematosus (SLE) yamg Distratifikasi Berdasarkan Variabel...............56
Tabel 4.9 Hubungan Paparan Sinar UV dengan Kejadian Penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017...........57
Tabel 4.11 Full Model Analisis Multivariat Variabel yang Paling Berhubungan
dengan Kejadian Kejadian Penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017................................58
Tabel 4.12 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama......................59
Tabel 4.13 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Kedua.........................59
Tabel 4.14 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Ketiga.........................59
Tabel 4.15 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Keempat.....................60
Tabel 4.16 Model Akhir Analisis Multivariat Variabel yang Paling Mempengaruhi
Kejadian Penyakit Systemic Lupus Erythematosus.................................60
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN
xi
4. DILE : Drug Induced Lupus Erythematosus
DAFTAR LAMPIRAN
xii
Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik
xiii
BAB 1 : PENDAHULUAN
harapan hidup, termaksud penyakit autoimun dan penyakit degeneratif, salah satunya
penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran
gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam.
penyakit seribu wajah, merupakan salah satu penyakit reumatik autoimun yang
hingga pengelolaannya.
atau keluhan yang tidak lengkap. Pengenalan dini akan kemungkinan seseorang
terkena penyakit ini sangatlah penting, mengingat angka kematian dapat terjadi
fungsi organ seiring dengan melajunya perjalanan alamiah penyakit ini pun
memberikan kontribusi yang besar bagi morbiditas maupun mortalitas pasien dengan
1
2
infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan
apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen. Kehidupan odapus bisa
berubah drastis sejak sakit lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola
penyakit ini. Odapus akan beberapa kali mengalami suatu periode kemunculan gejala
lupus yang parah (lupus flares) dan periode lainnya dimana gejalanya lebih ringan.
Sebenarnya gejala lupus bisa diatasi secara efektif dengan terapi yang sudah ada
sekarang, namun untuk saat ini belum ditemukan obat apapun yang dapat
The Lupus Fondation of America tahun 2012 memperkirakan sekitar 1,5 juta
kasus terjadi di Amerika dan setidaknya lima juta kasus di dunia. Setiap tahun
diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Sebagian besar mereka adalah
perempuan umur produktif dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita
Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih
dari 100.000 penyandang SLE baru di seluruh dunia. Mereka yang memiliki kulit
gelap seperti penduduk Asia, penduduk asli Amerika dan Hispanik memiliki risiko
lebih besar terserang SLE dibandingkan mereka yang berkulit putih. Suatu studi
sistemik di Asia Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9-3,1 per 100.000
Hasil dari Lupus CDC yang memperkirakan prevalensi tahunan dari 2002-
2004 jauh lebih tinggi untuk orang kulit hitam daripada orang kulit putih di Michigan
(Washtenaw dan Wayne Country) (111,6 vs 47,5 per 100.000 orang) dan di Georgia
(DeKalb and Fulton Country) (128,0 vs 39,9 per 100.000 orang). Prevalensi tahunan
3
2007-2009 untuk penduduk Indian Amerika / Penduduk Asli Alaska adalah 178 per
100.000. Pendaftar baru di California (San Francisco County) dan New York City
dan Asia. Perkiraan prevalensi tahunan jauh lebih tinggi di kalangan wanita
dibandingkan pria di Michigan (9,3 vs 1,5 per 100.000 orang), di Georgia (145,8
banding 17,5 per 100.000 orang), dan populasi penduduk Indian / Alaska Amerika
Handono Kalim, dkk tahun 2011 di Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5%
terhadap total populasi. Dari sekitar 1.250.000 orang Indonesia yang terkena
penyakit SLE, sangat sedikit yang menyadari bahwa dirinya menderita penyakit
SLE. Hal ini terjadi karena gejala penyakit SLE pada setiap penderita berbeda-beda,
Data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online, pada tahun 2016 terdapat
858 rumah sakit yang melaporkan datanya, diketahui terdapat 2.166 pasien rawat
inap yang didiagnosis penyakit Lupus, dengan 550 pasien diantaranya meninggal
dunia. Tren penyakit lupus pada pasien rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun
2014-2016. Jumlah kasus lupus tahun 2016 meningkat hampir dua kali lipat sejak
tahun 2014, yaitu sebanyak 1.169 kasus. Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE
Indonesia (PESLI) mendapatkan rata-rata insiden SLE dari data 8 rumah sakit adalah
sebesar 10,5%.
Pada saat ini angka kesakitan dan kematian Penyakit SLE cenderung
karena makin meningkatnya umur harapan hidup masyarakat Indonesia dan makin
tingginya pajanan faktor risiko, yaitu hal-hal yang mempengaruhi atau menyebabkan
merupakan penyakit yang timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri. Lupus
merupakan salah satu penyakit autoimun. Faktor-faktor yang bersifat risiko dan ikut
Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus
yakni jenis kelamin, wanita umur produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus
paling umum terdiagnosis pada mereka yang berumur diantara 15-40 tahun. Ras
Afrika, Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar matahari juga
menjadi faktor risiko lupus. Jenis kelamin, umur, ras, paparan sinar matahari,
konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok
terhadap respon vaksin dalam tubuh. Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan
menderita lupus (94,5%), kelompok umur terbanyak pada umur 25-34 tahun (45%),
suku terbanyak yang sakit lupus berasal dari suku Jawa (33,7%), penderita lupus
5
paling banyak tidak bekerja (32,2%), penderita lupus paling banyak tamat
akademi/perguruan tinggi (58,4%), jenis obat yang sering dikonsumsi sebelum sakit
rumah (22,2%), sering mengalami stres (85,6%). Penelitian Washio, dkk (2006),
diperoleh hasil bahwa perokok dan mantan perokok lebih berisiko terkena SLE
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil terletak di kota Padang,
merupakan rumah sakit rujukan Sumatera Bagian Tengah meliputi Provinsi Sumatera
Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Berdasarkan data rekam medis pasien rawat inap
terdapat peningkatan kasus SLE pada tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 tercatat
hanya 2 pasien yang dirawat inap, meningkat tajam di tahun 2016 tercatat 38 pasien
yang dirawat inap dan kembali meningkat sampai oktober tahun 2017, tercatat 89
pasien yang dirawat inap. Berdasarkan data rekam medis pasien rawat jalan di
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil, juga terjadi peningkatan jumlah
kunjungan dari tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 tercatat sebanyak 192 melakukan
kunjungan, meningkat tajam di tahun 2016 tercatat sebanyak 518 pasien melakukan
kunjungan, dan sampai dengan oktober 2017, tercatat 545 pasien melakukan
Terjadinya peningkatan kasus SLE di RSUP Dr. M. Djamil pada tahun 2017
dari pada tahun sebelumnya, bahkan mulai tahun 2016, meningkat tajam baik rawat
jalan dan rawat inap maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Faktor
dalam penelitian ini adalah apakah faktor risiko kejadian penyakit Systemic Lupus
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian
penyakit Sistemic Lupus Erithematosus (SLE) di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun
2017.
status merokok, dan paparan sinar UV) pada kelompok kasus dan kontrol di
2017.
2017.
1. Bagi Peneliti
untuk penelitian tentang faktor risiko kejadian SLE di wilayah kerja RSUP
bagi RSUP Dr. M. Djamil bersama Dinas Kesehatan Kota Padang dalam
mengetahui faktor risiko kejadian SLE di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun
variabel independen (jenis kelamin, umur dan riwayat penyakit keluarga, pekerjaan,
tingkat pendidikan, status merokok dan paparan sinar UV) dan variabel dependen
yaitu kejadian SLE. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain
case control. Analisis dalam penelitian ini adalah analisis univariat, bivariat, dan
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
etiologi yang beium diketahui. Manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis
Penyakit SLE sangat beragam. Sistem kekebalan tubuh pada penyakit ini akan
dengan sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada Penyakit SLE terjadi produksi antibodi
yang berlebihan namun tidak menyerang kuman atau antigen tetapi menyerang
sistem kekebalan sel dan jaringan tubuh sendiri. Antibodi seperti ini disebut "auto-
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjai, susunan saraf pusat dan sistem imun.
Oleh karena itu manifestasi penyakit SLE sangat beragam dengan perjalanan
penyakit yang bervariasi dan memiiiki risiko kematian yang tinggi, sehingga
9
10
memerlukan pengobatan yang lama dan seumur hidup. Untuk itu diperlukan
Penyakit SLE sering dijuluki dengan istilah "great imitator" (peniru yang
Penyakit SLE dapat terjadi dari ringan sampai berat. Penyakit ini terutama
menyerang perempuan umur reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi.
banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus
dan genetik. namun beberapa faktor risiko dapat berperan dalam patogenesis
terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor risiko tersebut, sampai saat ini
belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.
karakterisitik, tanda, gejala suatu penyakit pada individu secara statistik memiliki
penyebab SLE tidak diketahui, namun ada beberapa faktor risiko yang diduga
memicu terjadinya rematik terdiri dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Berikut ini beberapa faktor risiko yang
determinan perbedaan yang paling signifikan di antara semua variable. Penyakit dan
11
kondisi pada umur tua berbeda dengan penyakit dan kondisi pada umur muda.Umur
merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai untuk memprediksi perbedaan
dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena saling
semua penyakit dapat menyerang semua kelompok umur, tetapi penyakit tertentu
lebih sering terjadi pada satu titik tertentu dalam kehidupan. Pernyataan ini memang
benar terutama untuk penyakit kronis, dan karena biasanya memakan waktu untuk
berkembang, penyakit kronis akan lebih sering muncul pada tahap lanjut kehidupan.
Lupus paling sering terjadi pada wanita muda di akhir umur belasan dan
wanita dewasa sampai umur 45 tahun. Lupus pada anak-anak paling sering terjadi
terhadap respon vaksin dalam tubuh. Respon vaksin menjadi tidak mencukupi dan
BAB 4 : Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
12
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
memberikan perbedaan angka atau rate kejadian pada pria dan wanita. Dalam hal
juga berbagai variabel lain seperti umur atau variabel lainnya yang mempunyai
bentuk anatomis, fisiologis, dan sistem hormonal yang berbeda. Perbedaan frekuensi
penyakit tertentu menurut jenis kelamin mungkin juga disebabkan karena perbedaan
menurut jenis kelamin dapat juga disebabkan karena pengaruh jenis kelamin
kelamin mempunyai hubungan tersendiri yang cukup erat dengan sifat keterpaparan
dan tingkat kerentanan terhadap penyakit tertentu. Hal ini menyebabkan adanya
beberapa penyakit yang ternyata sangat erat hubungannya dengan jenis kelamin
karena berbagai sifat tertentu. Pertama, adanya penyakit yang hanya dijumpai pada
13
jenis kelamin tertentu yang berhubungan dengan alat reproduksi atau yang secara
genetis berperan dalam perbedaan jenis kelamin. Kedua, penyakit yang mempunyai
kecenderungan hanya pada jenis kelamin tertentu atau lebih sering dijumpai pada
Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus
yakni jenis kelamin, wanita umur produktif lebih berisiko terkena penyakit ini. Lupus
paling umum terdiagnosis pada mereka yang berumur diantara 15-40 tahun. Ras
Afrika, Hispanics dan Asia lebih berisiko terkena lupus. Paparan sinar matahari juga
menjadi faktor risiko lupus. Jenis kelamin, umur, ras, paparan sinar matahari,
konsumsi obat tertentu, infeksi virus Epstein-Barr, paparan zat kimia seperti rokok
BAB 6 : Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan
kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu,
terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan
BAB 7 : Ras
Ras kaukasoid atau kulit putih memiliki risiko menderita rematik baik
osteoartritis, artritis reumtoid, maupun artritis gout yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ras lainnya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan gaya hidup maupun
perbedaan pada gen genetiknya. SLE merupakan salah satu penyakit reumatik utama
di dunia. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu contohnya bangsa Negro,
1) Antigen
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
3) Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
7.3 Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status
menyatakan bahwa penderita lupus paling banyak pada orang yang bekerja
(67,8%).
7.4 Pendidikan
Pendidikan merupakan ukuran yang penting seperti halnya status sosial
ekonomi. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih
masalah kesehatan, dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Penelitian
Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa penderita lupus paling banyak tamat
huruf dan 36% penderita merupakan tamatan SMA. Hanya 20% penderita
tinggi.
7.5 Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja yang dimaksud Radiasi ultra
gelombang 18 0nano meter sampai 400 nano meter (nm). Sinar UV atau
Ultraviolet adalah satu dari tiga jenis radiasi sinar matahari, dua lainnya
6 15 menit 0,0033
7 10 menit 0,005
8 5 menit 0,01
9 1 menit 0,05
10 30 detik 0,1
11 10 detik 0,3
12 1 detik 3
13 0,5 detik 6
14 0,1 detik 30
Sumber :Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 13/MEN/X/2011 Tahun
2011
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres
4) Merokok
oleh citra dalam diri tiap individu dan juga pergaulan dalam lingkungan
mantan perokok lebih berisiko terkena SLE daripada orang yang bukan
kesehatan. Asap rokok merupakan salah satu dari radikal bebas. Menurut
DNA, protein dan lipid. Radikal dapat memperbanyak diri dan dapat
menyebabkan mutasi.
5) Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
6) Konsumsi Alkohol
yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari
Dalam dua penelitian besar pasien SLE, ada hubungan terbalik antara
konsumsi alkohol dan SLE. Penjelasan yang mungkin dari temuan kedua
etanol, atau pasien yang mendapat saran dari staf medis tentang
SLE tetap tidak jelas, meskipun ini adalah masalah yang perlu ditelusuri.
terlibat.
jarang terjadi dan bukan penyakit yang dapat dilaporkan, sehingga relatif mahal
untuk menangkap semua kasus yang terdiagnosis dengan andal untuk penelitian
epidemiologi. Tidak ada penelitian terbaru untuk menentukan apakah prevalensi atau
berbasis populasi untuk menghasilkan estimasi yang lebih baik mengenai jumlah
kasus SLE yang didiagnosis pada kelompok ras / etnis tertentu. Perkiraan prevalensi
21
dan kejadian yang paling baru tersedia untuk SLE untuk orang kulit putih dan kulit
hitam, diterbitkan pada tahun 2014, berasal dari daftar lupus ini. Pendaftar lupus
yang didanai CDC menggunakan metode intensif untuk penemuan kasus (rumah
sakit, praktik spesialis, data departemen kesehatan) dan untuk melihat kemungkinan
a. Prevalensi SLE
dari 2002-2004 jauh lebih tinggi untuk orang kulit hitam daripada orang kulit putih di
Michigan (Washtenaw dan Wayne County) (111,6 vs 47,5 per 100.000 orang) dan di
Georgia (DeKalb and Fulton County) (128,0 vs 39,9 per100.000 orang). Prevalensi
tahunan 2007-2009 untuk penduduk Indian Amerika / Penduduk Asli Alaska adalah
178 per 100.000. Pendaftar baru di California (San Francisco County) dan New York
dibandingkan pria di Michigan (9,3 vs 1,5 per 100.000 orang), di Georgia (145,8
banding 17,5 per 100.000 orang), dan populasi penduduk Indian / Alaska Amerika
The Lupus Foundation of America tahun 2012 memperkirakan sekitar 1,5 juta
kasus terjadi di Amerika dan setidaknya lima juta kasus di dunia. Setiap tahun
22
diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Di Indonesia, jumlah penderita
penyakit Lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi penyakit SLE di masyarakat
berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim, dkk di Malang
b. Insiden SLE
Perkiraan kejadian nasional terbaru tidak tersedia untuk SLE. Data kejadian
nasional sulit didapat karena relatif mahal untuk menangkap semua kasus yang
terdiagnosis dengan dan tahun onset sulit ditentukan (gejala dan tanda berkembang
secara perlahan, tidak spesifik), jadi sumber daya studi intensif harus dilakukan di
daerah kecil.
Perkiraan kejadian SLE tersedia dari berbagai pendaftar lupus yang didanai
CDC. Kejadian tahunan untuk kelompok ras / etnis yang berbeda dari tahun 2002-
2004 jauh lebih tinggi untuk orang kulit hitam daripada orang kulit putih di Michigan
(7,9 vs 3,7 100.000 orang) dan di Georgia (9,4 vs 3,2 per 100.000 orang). Insiden
tahunan 2007-2009 untuk penduduk Indian Amerika / Penduduk Asli Alaska adalah
7,4 per 100.000). Pendaftar baru telah dimulai di California (San Francisco County)
dan New York City (Manhattan), dan akan segera memberikan perkiraan kejadian
tahunan untuk orang Hispanik dan Asia. Perkiraan kejadian tahunan jauh lebih tinggi
untuk wanita daripada pria di Michigan (9,3 vs 1,5 per 100.000), Georgia (10,6 vs
1,9 per 100.000) dan populasi Indian Indian / Alaska (tidak disesuaikan 8.4 vs 2.7 per
100.000).
0,9 – 3,1 per 100.000 populasi/tahun. Prevalensi kasar sebesar 4,3 – 45,3 per 100.000
populasi. Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE Indonesia (PESLI) mendapatkan rata –
23
rata insiden kasus baru SLE dari 8 rumah sakit adalah sebesar 10,5 % dengan rincian
tahun 76 – 87 %. Penyebab utama kematian pada SLE adalah infeksi, nefritis lupus,
(sehingga faktor risiko konvensional harus dikontrol secara ketat), dan lupus SSP.
Keterlibatan organ akhir sangat berbeda antara satu pasien dengan pasien yang lain.
Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE dan oleh
karenanya titer antibodi pengikat DNA positif dan/atau meningkat, yang berkaitan
Penyebab kematian dini yang terkait dengan SLE terutama adalah penyakit
aktif, kegagalan organ (misalnya, ginjal), infeksi, atau penyakit kardiovaskular dari
dengan tindak lanjut rata-rata lebih dari 8 tahun selama interval pengamatan tahun
1958-2001, kematian yang diamati jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan untuk
semua penyebab, dan terutama untuk penyakit peredaran darah, infeksi, penyakit
ginjal, dan beberapa jenis kanker. Mereka yang perempuan, lebih muda, dan
memiliki SLE dengan durasi pendek berisiko lebih tinggi terhadap kematian terkait
2014. SLE diidentifikasi sebagai penyebab kematian (salah satu dari banyak
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi pada umur reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, infeksi, paparan zat kimia). Akibat kombinasi hal-hal
tersebut sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari
sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan
menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam
pertahanan tubuh untuk melawan infeksi. Pada penyakit SLE dan penyakit autoimun
25
lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan antigen dari tubuh sendiri.
Antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang
sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga dapat terjadi kerusakan organ.
kerusakan pada beberapa organ tubuh. SLE dapat menyerang satu atau lebih
sistem organ. Pada sebagian orang hanya kullt dan sendlnya saja yang
terkena, akan tetapi pada sebagian pasien, lupus lainnya menyerang organ
vital seperti jantung, paru-paru, ginjal, susunan saraf pusat atau perifer.
Umumnya tidak ditemukan adanya dua orang pasien lupus terkena sistemik
b. Lupus Kutaneus
Dapat dikenaii dari ruam yang muncul di kulit dengan berbagai tampiian
klinis. Pada Lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji biopsi dari
ruam dengan gambaran khas berupa infiltrate sel infiamasi pada batas
dermoepidermai.
Lupus imbas obat (Drug-Induced Lupus) adalah suatu subset lupus yang
didefinisikan sebagai suatu sindroma mirip lupus yang timbui seteiah paparan
obat dan menghiiang setelah obat dihentikan. Pada lupus jenis ini baru
muncul seteiah pasien lupus menggunakan jenis obat tertentu daiaml jangka
waktu tertentu (lebih dari 1 bulan). Ada lebih dari 80 jenis obat yang dapat
menyebabkan Lupus imbas obat. Salah satu contoh obat yang paling dikenai
obat-obatan ini akan berkembang menjadi Lupus imbas obat, hanya sekitar
berkembang menjadi Lupus imbas obat dan gejaia akan mereda apabila obat-
obatan tersebut dihentikan. Gejala dari Lupus imbas obat dapat serupa dengan
Pada sebagian pasien SLE ternyata ditemukan juga menifestasi klinis lain
rheumatoid, scleroderma, atau myositis. Ada pula pasien SLE yang juga memiliki
gejala penyakit autoimun lain namun belum lengkap untuk didiagnosis penyakit
1. Malar rash
2. Discoid rash
3. Photsensitivity
4. Oral ulcers
5. Artritis
6. Serositis
7. Kelainan ginjal
8. Kelainan neurologik
9. Kelainan hematologi
pemberian obat-obatan.
28
mempertahankan kualitas hidup agar pasien penyakit SLE dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari – hari. Tatalaksana umum yang harus
dilakukan adalah :
b. Hindari merokok.
g. Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF 30 PA++ 30 menit
estrogen.
1 A. A. Bengtsson, L. 2002 Risk factors for developing Case Control a) Riwayat a) OR = 3,7 Riwayat hipertensi, alergi
Rylander, L. systemic lupus erythematosus : hipertensi b) OR = 3,6 obat, jenis kulit, riwayat
Hagam, O. Nived a case control study in b) Alergi obat c) OR = 2,3 penyakit keluarga,
and G. Sturfelt. southern Sweden c) Jenis kulit d) OR = 6,8 merokok, dan transfusi
d) Riwayat penyakit e) OR = 1,0 darah berhubungan
keluarga f) OR = 1,8 dengan SLE.
e) Konsumsi g) OR = 2,3
alkohol
f) Merokok
g) Transfusi darah
2 Nagata C, Fujita 1995 Systemic lupus erythematosus: Case Control a) Merokok a) OR = 2,31 Merokok, konsumsi
S, Iwata a case-control epidemiologic b) Konsumsi b) OR = 2,07 alkohol, riwayat keluarga
H, Kurosawa study in Japan alkohol c) OR = 5,20 penyakit asma dan
Y, Kobayashi c) Riwayat keluarga d) OR = 3,82 kolagen, usia menarche
K, Kobayashi M, et penyakit asma berhubungan dengan
al. dan kolagen kejadian SLE.
d) Usia menarche
3 Yi-Da Wul, Ching- 2017 Association between a history Case Control Riwayat OR = 1,21 Terdapat hubungan antara
Heng Lin, Wen- of periodontitis Periodontitis riwayat penyakit
Cheng Chao, Tsai- and the risk of systemic lupus periodontitis dengan
Ling Liao, Der- erythematosus kejadian penyakit SLE.
Yuan Chen, Hsin- in Taiwan: A nationwide,
Hua Chen. population-based,
case-control study
29
4 Yenny Carolina 2014 Risk Factors for Case Control Gejala OR = 3,7 Pasien dengan SLE
Zuniga Zambrano, Neuropsychiatric neuropsikiatrik pada mengalami gangguan
Juan David Manifestations in Children anak : kejang, neuropsikiatrik
Guevara Ramos, With Systemic Lupus migrain, dan depresi.
Nathalia Elena Erythematosus: Case-Control
Penagos Vargas, Study
Diana Carol
Benitez Ramirez,
Sandra Milena
Ramirez
Rodriguez, Adriana
Carolina Vargas
Niño , et al.
5 Parks, et al 2016 Understanding the role of Case Control Paparan pestisida OR = 2,3 Terdapat hubungan
environmental factors in the dengan sering terpapar
development of systemic lupus pestisida dengan
erythematosus, Best Practice peningkatan kejadian
& Research Clinical SLE.
Rheumatology
6 Lu-Fritts et al 2014 US, Ohio, Fernald Community Case Control a) Konsumsi a) OR = 3,92 Merokok dan konsumsi
Cohort; nested case control alkohol b) OR = 3,6 alkohol dapat
study the role of environmental b) Merokok meningkatkan resiko
factors in the development of kejadian SLE.
systemic lupus erythematosus
30
7 Ana Barrera 2016 Risk factors for systemic lupus Case Control a) Riwayat aktivitas a) OR = 3,79 Riwayat aktivitas
Vargas, Mariana erythematosus flares in hematogen b) OR = 4,39 hematogen, anti
Quintanar patients with end stage renal b) Anti cardiolipin c) OR = 9,7 cardiolipin IgM, kadar C4
Martınez, Javier disease: a case control study IgM rendah dapat
Merayo Chalico, c) Kadar C4 rendah meningkatkan risiko
Jorge Alcocer kejadian SLE.
Varela,Diana
Gomez Martın
8 Masakazu Washio, 2017 Risk faktors for development Case Control a) Riwayat transfusi a) OR = 4,44 Beberapa faktor
Hiroki Takahashi, of systemic lupus darah b) OR = 2,29 berhubungan dengan
Gen Kobashi, erythematosus among b) Nullipara c) OR = 0,27 peningkatan kejadian
Chikako Kiyohara, Japanese femaSLE: medical c) Primipara vs d) OR = 0,14 SLE di kalangan wanita
Yoshifumi Tada, history and reproductive nullipara Jepang.
Toyoko Asami, et factors d) Multipara vs
al. nullipara
9 J Wang, AB Kay, J 2009 Alcohol consumption is not Case Control a) > 2 hari/mgg a) OR = 0,35 Konsumsi alkohol
Fletcher, MK protective for systemic lupus b) > 2 minuman/hari b) OR = 0,41 sebelum terdiagnosis SLE
Formica, TE erythematosus c) Berhenti c) OR = 2,25 tidak berhubungan dengan
McAlindon konsumsi alkohol d) OR = 2,38 peningkatan risiko SLE.
sebelum
didiagnosa SLE
d) Berhenti
konsumsi alkohol
setelah
didiagnosa SLE
31
32
. .Berdasarkan tabel telaah sistematis di atas, kriteria yang membedakan penelitian ini
variabel yang diduga mempunyai hubungan kuat dengan kejadian Systemic Lupus
7.12 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut:
(case control design) yaitu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor
efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor
risiko diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu yang lalu.. Metode rancangan kasus
kasus.
berikut :
Faktor risiko (+)
Kasus :
Retrospektif
Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)
Faktor risiko (-)
Non Matching
36
37
Erythematosus (SLE). Populasi sumber penelitian ini adalah penderita SLE di RSUP
Dr. M. Djamil Padang dan berkunjung ke RSUP Dr. M. Djamil Padang selama kurun
waktu penelitian.
8.3.2 Sampel
8.3.2.1 Sampel Kasus
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke RSUP
oleh dokter dan dicatat dalam rekam medis sebagai pasien di RSUP Dr. M.
bukan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan dicatat dalam rekam medis
sebagai pasien di RSUP Dr. M. Djamil tahun 2017 serta memenuhi kriteria
tidak berpasangan:
Rumus sampel :
n=
Keterangan:
n : Besar sampel
P= = 0,65
n = 41,67 = 42
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas diperoleh
sampel minimal sebesar 42 setiap kelompok. Untuk menghindari sampel drop out
maka ditambahkan sampel cadangan sebanyak 10% dari besar sampel minimal,
sehingga besar sampel dalam penelitian adalah 46. Rasio kasus dan kontrol adalah
39
1:1. Jadi, total sampel menjadi 92 responden, yang terdiri dari 46 kasus dan 46
kontrol.
a. Kriteria inklusi
b. Kriteria eksklusi
a. Kriteria inklusi
b. Kriteria eksklusi
secara random sampling dengan tipe systematic random sampling yaitu metode
sistematik ialah apabila pengambilan sampel acak dilakukan secara berurutan dengan
interval tertentu.
10.2 Definisi Operasional
Tabel METODE PENELITIAN.4 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 2 3 4 5 6
Variabel Dependen
1. Sistemik Lupus Definisi Kasus : Keadaan Telaah rekam medis Kuisioner 0. Kasus (pasien Sistemik Nominal
Eritematosus subjek penelitian yang RSUP Dr. M. Djamil Lupus Eritematosus (SLE))
(SLE) didiagnosis menderita 1. Kontrol (bukan pasien
Sistemik Lupus Eritematosus Sistemik Lupus
(SLE) oleh dokter dan Eritematosus (SLE)
dicatat dalam rekam medis.
Definisi Kontrol : Keadaan
subjek penelitian yang tidak
didiagnosis menderita
Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE) oleh dokter dan
dicatat dalam rekam medis.
Variabel Independen
1. Umur Umur penderita saat pertama Wawancara dan Telaah Kuisioner 0. Beresiko, jika responden Ordinal
kali didiagnosis yang tertera rekam medis RSUP berumur 15-44 tahun
pada rekam medis. Dr. M. Djamil 1. Tidak Beresiko, jika
responden berumur >44
tahun
2. Jenis Kelamin Perbedaan seks yang didapat Wawancara dan Telaah Kuisioner 0. Perempuan Nominal
sejak lahir yang dibedakan rekam medis RSUP 1. Laki – laki
antara laki-laki dan Dr. M. Djamil
perempuan.
41
3. Riwayat Suatu keadaan dimana Telaah rekam medis Kuisioner 0. Memiliki riwayat penyakit Nominal
Penyakit subjek penelitian dikatakan RSUP Dr. M. Djamil keluarga SLE
keluarga memiliki riwayat keluarga dan wawancara 1. Tidak memiliki riwayat
dengan penyakit SLE yang penyakit keluarga SLE
data tercantum dalam rekam
medis.
4. Pekerjaan Pekerjaan responden saat Wawancara Kuisioner 0. Bekerja Ordinal
didiagnosis SLE. 1. Tidak bekerja
7. Paparan sinar Lama responden terpajan Wawancara Kuisioner 0. >=4 jam/Hari Ordinal
UV dan atau terpapar sinar 1. < 4 jam/Hari
matahari sebelum
didiagnosis SLE
43
menggunakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung kepada subjek
sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer dalam penelitian ini adalah data
responden.
tingkat pendidikan, status merokok, riwayat konsumsi alkohol, paparan sinar UV.
Informasi yang dibutuhkan diambil dengan cara wawancara dengan kuisioner yang
telah disiapkan, kuisioner ini adalah pedoman yang sudah baku untuk kegiatan survei
dari status kunjungan serta data rekam medis pasien di RSUP Dr. M. Djami Padang.
data sudah lengkap (semua isian sudah terisi), jelas (apakah tulisannya cukup jelas
dan terbaca), relevan (apakah data sesuai dengan hasil pengukuran) dan konsisten.
angka dan bilangan. Pengkodean data ini bertujuan untuk mengklarifikasi data
44
adalah memproses data agar data yang sudah dientri dapat dianalisis. Pemrosesan
data dilakukan dengan mengentri data ke paket program komputer. Data yang
dianalisis seperti data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan penyakit SLE.
kembali terhadap semua data untuk memastikan bahwa data tersebut telah bersih dari
program pengolahan data di komputer. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
analisis univariat dalam penelitian ini dapat mengetahui pola distribusi frekuensi
masing-masing variabel faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga.
software SPSS dengan uji statistik Chi Square dengan derajat kepercayaan (CI) 95%.
Apabila p-value yang diperoleh < 0,05 maka terdapat hubungan yang bermakna.
Keterangan :
Sel a : kasus mengalami pajanan
Sel b : Kontrol mengalami pajanan
Sel c : kasus tidak mengalami pajanan
Sel d : Kontrol tidak mengalami pajanan.
Perhitungan Odds Rasio (OR) pada studi case control dengan cara non matching
Hubungan dikatakan bermakna apabila p < 0,05 dengan melihat Odds Rasio
independen dan untuk melihat variabel mana yang paling dominan berhubungan dari
regresi logistic ganda dan untuk mengetahui adanya interaksi pada dua atau lebih
nilai p ≤ 0,25, maka variabel tersebut dapat masuk model multivariat. Namun
bisa saja p > 0,25 tetap ikut ke multivariate bila variabel tersebut secara
substansi penting.
2. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan
semua yang p > 0,05, namun value terbesar. Bila variabel yang dikeluarkan
variabel yang masih ada (berubah > 10%), maka variabel tersebut dimasukan
nilai p atau sig < 0,05 maka variabel tersebut layak masuk model analisis
multivariat dan dilihat yang memiliki nilai r paling tinggi maka variabel
47
maksud dan tujuan penelitian. Apabila responden telah mengerti dan bersedia maka
akan disimpan, dijamin kerahasiaannya, hanya kelompok tertentu saja yang kan
BAB 11 : HASIL
Bagian Tengah yang meliputi provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan
Bengkulu. RSUP Dr. M. Djamil merupakan Rumah Sakit Umum tipe B plus
Visi RSUP Dr. M. Djamil adalah menjadi rumah sakit yang unggul dalam
pelayanan dan pendidikan di Sumatera. Misi RSUP Dr. M. Djamil antara lain
oleh semua lapisan masyarakat. Selanjutnya mendidik dan melatih sumber daya
transparan dan berbasis kinerja. Motto RS UP Dr. M. Djamil adalah “Kepuasan anda
adalah kepedulian kami”. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik dan
faktor risiko (variabel independen) yaitu jenis kelamin, umur, riwayat penyakit
keluarga, pekerjaan, tingkat pendidikan, status merokok dan paparan sinar UV.
Tahun 2017
Kasus Kontrol
Variabel
f % f %
Perempuan 41 89,1 25 54,3
Jenis Kelamin Laki-laki 5 10,9 21 45,7
Jumlah 46 100,0 46 100,0
Rendah 17 37 16 34,8
Tingkat Pendidikan Tinggi 29 63 30 65,2
Jumlah 46 100,0 46 100,0
dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 41 orang
distribusi umur, proporsi responden dengan umur yang berisiko lebih banyak
ditemukan pada kelompok kasus yaitu 41 orang (89,1%) dari pada kelompok kontrol
penyakit keluarga SLE didapatkan bahwa proporsi responden yang memiliki riwayat
penyakit keluarga SLE lebih banyak pada kelompok kasus yaitu 3 orang (6,5%) dari
50
pekerjaan, proporsi responden yang bekerja lebih banyak pada kelompok kontrol
pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol lebih banyak dengan tingkat
pendidikan tinggi yaitu 29 orang (63%) pada kelompok kasus dan 30 orang (65,2%)
pada kelompok kontrol. Adapun pada responden yang merokok ditemukan proporsi
lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 19 orang (41,3%) dibandingkan pada
kelompok kasus yaitu 4 orang (8,7%). Dilihat dari paparan sinar UV, responden yang
terkena paparan sinar UV >=4 jam/hari lebih banyak pada kelompok kontrol yaitu 29
antar variabel penelitian (dependen dan independen), yaitu hubungan antara masing-
masing variabel independen dengan kejadian penyakit SLE. Berikut ini dipaparkan
pengujian secara statistik diperoleh p-value 0,002 dengan nilai OR 5,78 (95% CI
1,924 – 17,307). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara umur
dengan kejadian penyakit SLE. Responden pada kelompok umur berisiko (15 – 44
tahun) berisiko sebesar 5,78 kali terhadap penyakit SLE dibanding responden pada
Penyakit SLE
Jenis Total OR p-value
SLE Non SLE
Kelamin (95% CI)
f % F % f %
Perempuan 41 89,1 25 54,3 66 71,7
6,89
Laki-laki 5 10,9 21 45,7 26 49,0 0,001
(2,305 – 20,585)
Total 46 100 46 100 92 100
Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa proporsi responden perempuan
menderita penyakit SLE (89,1%) lebih banyak dibandingkan responden yang tidak
menderita penyakit SLE (54,3%). Hasil pengujian secara statistik diperoleh nilai OR
6,89 (95% CI 2,305 – 20,585). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
perempuan berisiko sebesar 6,89 kali terhadap penyakit SLE dibanding responden
memiliki riwayat penyakit keluarga SLE menderita penyakit SLE (6,5 %) lebih
banyak dibandingkan responden yang tidak menderita penyakit SLE (2,2%). Hasil
pengujian secara statistik diperoleh p-value 0,609 dengan nilai OR 3,14 (95% CI
0,314 – 31,360). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
riwayat penyakit keluarga dengan kejadian penyakit SLE (p-value >= 0,05).
Responden pada kelompok umur berisiko (15 – 44 tahun) berisiko sebesar 5,78 kali
terhadap penyakit SLE dibanding responden pada kelompok umur tidak berisiko.
kelompok yang bekerja menderita penyakit SLE (21,7%) lebih sedikit dibandingkan
responden yang tidak menderita penyakit SLE (50,0%). Hasil pengujian secara
statistik diperoleh p-value 0,009. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
pendidikan rendah tidak jauh berbeda antara kelompok yang menderita penyakit SLE
(37%) dan pada kelompok tidak menderita penyakit SLE (34,8%). Hasil pengujian
secara statistik diperoleh p-value 1,000. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian penyakit SLE (p-value
>= 0,05).
54
Penyakit SLE
Status Total OR p-value
SLE Non SLE
Merokok (95% CI)
f % f % f %
Merokok 4 8,7 19 41,3 23 25,0
0,14
Tidak Merokok 42 91,3 27 58,7 69 75,0 0,001
(0,042 – 0,441)
Total 46 100 46 100 92 100
menderita penyakit SLE (8,7%) lebih sedikit dibandingkan responden yang tidak
menderita penyakit SLE (41,3%). Hasil pengujian secara statistik diperoleh p-value
0,005. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status merokok
Penyakit SLE
Total OR p-
Jenis Kelamin SLE Non SLE
(95% CI) value
f % f % f %
Perempuan
Merokok 0 0 0 0 0 0
Tidak Merokok 41 100 25 100 66 100 _* _*
Total 41 100 25 100 100 100
55
Laki-laki
Merokok 4 80 19 90,5 23 88,5
Tidak Merokok 1 20 2 9,5 3 11,5 0,42
0,488
Total 5 100 21 100 26 100 (0,030-5,850)
kelompok kasus maupun kontrol tidak ada yang merokok. Terdapatnya 2 sel yang
bernilai 0 maka variabel status merokok pada perempuan tidak bisa di analisis.
Kemudian dari analisis stratifikasi pada kelompok laki-laki didapatkan tidak adanya
hubungan antara status merokok dengan kejadian SLE pada responden laki-laki
berarti risiko terjadinya penyakit SLE pada responden yang merokok diperkecil 2,4
kali oleh jenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan melalui jenis kelamin laki-
laki, risiko kejadian SLE pada responden yang merokok dapat dikurangi.
Penyakit SLE
Paparan Total OR p-value
SLE Non SLE
Sinar UV (95% CI)
F % f % f %
>=4 jam/hari 22 47,8 29 63,0 23 55,4
0,54
< 4 jam/hari 24 52,2 17 37,0 41 44,6 0,208
(0,234 – 1,235)
Total 46 100 46 100 92 100
56
paparan sinar UV >=4 jam/hari menderita penyakit SLE (47,8%) lebih sedikit
pengujian secara statistik diperoleh p-value 0,208. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara paparan sinar UV dengan kejadian penyakit SLE (p-
logistik model prediksi untuk menguji variabel independen (umur, jenis kelamin,
riwayat penyakit keluarga SLE, pekerjaan, tingkat pendidikan, status merokok dan
paparan sinar UV) yang memiliki pengaruh lebih dominan terhadap variabel
independen untuk dimasukan kedalam analisis multivariat yaitu variabel dengan nilai
riwayat penyakit keluarga, pekerjaan dan paparan sinar UV memiliki p-value < 0,25
Adapun full model analisis multivariat dapat dilihat dari tabel berikut ini:
57
Hasil uji statistik pada Tabel 4.11 merupakan model awal untuk analisis
kejadian penyakit SLE dengan variabel independen (jenis kelamin, umur, pekerjaan
dan paparan sinar UV). Langkah-langkah dalam melihat confounder yaitu dengan
mengeluarkan variabel yang memiliki p-value dari model dan dilihat nilai ∆OR %.
Suatu variabel dikatakan sebagai confounder jika nilai ∆OR % nya lebih dari 10%.
Variabel yang pertama kali dikeluarkan yaitu pekerjaan, karena memiliki nilai p-
value yang besar. Berikut adalah hasil setelah variabel pekerjaan dikeluarkan.
Tabel HASIL.17 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Pertama
Hasil uji statistik pada Tabel 4.12, dapat dilihat bahwa pada saat variabel
pekerjaan dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) > 10%
sehingga variabel pekerjaan diikutkan kembali ke dalam uji tahap kedua. Pada uji
tahap kedua ini variabel yang akan dikeluarkan adalah variabel yang memiliki p-
58
value terbesar yaitu paparan sinar UV, sehingga didapatkan hasil seperti pada tabel di
bawah ini:
Tabel HASIL.18 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Kedua
Hasil uji statistik pada Tabel 4.13, dapat dilihat bahwa pada saat variabel
paparan sinar UV dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) >
10% sehingga variabel paparan sinar UV diikutkan kembali ke tahap ketiga. Pada uji
tahap keempat ini variabel yang akan dikeluarkan selanjutnya yaitu jenis kelamin,
Tabel HASIL.19 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Ketiga
Hasil uji statistik pada Tabel 4.15, dapat dilihat bahwa pada saat variabel jenis
kelamin dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) > 10%
sehingga variabel jenis kelamin diikutkan kembali ke tahap keempat. Pada uji tahap
kelima ini variabel yang akan dikeluarkan selanjutnya yaitu umur, sehingga
Tabel HASIL.20 Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Ganda Tahap Keempat
Hasil uji statistik pada Tabel 4.16, dapat dilihat bahwa pada saat variabel
umur dikeluarkan dari uji multivariat terdapat perubahan OR (∆OR) > 10% sehingga
variabel jenis kelamin diikutkan kembali ke tahap berikutnya yaitu pemodelan akhir,
SLE di RSUP Dr. M Djamil Padang Tahun 2017. Hasil uji regresi logistik diperoleh
OR= 9,84 yang artinya responden perempuan berisiko 9,84 kali mengalami penyakit
SLE dibandingkan responden laki-laki pada kondisi yang sama pada variabel umur,
BAB 12 : PEMBAHASAN
hasil penelitian. Keterbatasan dalam penelitian adalah pada variabel status merokok
yang hanya terbatas pada perokok aktif dan mengabaikan risiko dari perokok pasif
yaitu keterpaparan asap rokok baik dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja,
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017
paling banyak pada pada perempuan yaitu sebesar 89,1%. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Komalig, dkk (2008) bahwa perempuan lebih banyak menderita
lupus (94,5%). Penelitian Utomo tahun 2012 juga mendukung bahwa sebagian besar
penderita SLE adalah perempuan (97.7%). Penelitian tentang penyakit SLE yang
kelompok umur 15-44 tahun yaitu sebesar 89,1%. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Susanti tahun 2012 menyatakan bahwa sebagian besar penderita SLE
berada pada kelompok umur berisiko (15-44 tahun) yaitu 91,7%. Lupus paling sering
terjadi pada wanita muda di akhir umur belasan dan wanita dewasa sampai umur 45
tahun. Kejadian penyakit SLE sering terjadi sejak umur 15 tahun ke atas. Kelompok
umur terbanyak pada umur 25-34 tahun (45%). Hal tersebut sesuai dengan Judha,
dkk (2015) yang menyatakan bahwa meskipun SLE dapat berefek pada segala usia,
namun SLE paling umum terdiagnosis pada mereka yang berusia antara 15-40 tahun.
keluarga SLE yaitu sebesar 6,5%. Penelitian ini sejalan penelitian Rowell yang
menyatakan bahwa faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota keluarga yang
menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk sistemik dan
lupus akan mempunyai saudara yang akan menderita lupus. Sekitar 5% anak yang
lahir dari individu yang terkena lupus, akan menderita penyakit lupus, apabila
kembar identik maka salah satu dari bayi kembar tersebut akan menderita lupus.
Sebesar 10% penderita lupus, mengalami kelainan pada lebih dari satu jaringan
tubuh. Kelainan jaringan tersebut dikenal dengan istilah “overlap syndrom” atau
ini lebih banyak pada kelompok tidak bekerja yaitu 78,3%. Hal tersebut sesuai
dengan penelitian Komalig, dkk (2008) yang menyatakan bahwa jenis pekerjaan
yang paling banyak menderita SLE yakni tidak bekerja (32,2%). Penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Susanti tahun 2012 menyatakan bahwa sebagian besar
penelitian lebih banyak memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu 63%. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Susanti tahun 2012 menyatakan bahwa sebagian besar
penderita SLE memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu sebesar 88,9% dengan
persentase SMA/SMK (47,2%) dan PT (41,7%). Penelitian Utomo tahun 2012 juga
mendukung bahwa sebagian besar penderita memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu
sebesar 65,9%. Penderita lupus paling banyak tamat akademi/perguruan tinggi yaitu
58,4%.
pada kelompok tidak merokok yaitu sebesar 91,3%. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian penelitian Komalig, dkk (2008) bahwa penderita lupus sebagian besar
62
tidak merokok (88,1%). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Bengtsson, dkk
(2002) yang menyatakan bahwa penderita lupus sebagian besar adalah perokok yaitu
60%.
UV lebih banyak pada kelompok tidak berisiko yaitu < 4 jam/hari sebesar 52,2%,
Penelitian ini sejalan dengan penelitian penelitian Komalig, dkk (2008) bahwa
penderita lupus terpajan sinar UV >= 4 jam/hari memiliki persentase yang sedikit
yaitu 22,3%.
OR 5,78 (95% CI 1,924 – 17,307). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara umur dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil Padang tahun
2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Karlson bahwa
umur memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit SLE dengan tingkat
semua variabel. Penyakit dan kondisi pada umur tua berbeda dengan penyakit dan
kondisi pada umur muda. Umur merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai
untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan,
dan karena saling diperbandingkan maka kekuatan variabel umur menjadi mudah
63
dilihat. Hampir semua penyakit dapat menyerang semua kelompok umur, tetapi
penyakit tertentu lebih sering terjadi pada satu titik tertentu dalam kehidupan.
Salah satu faktor risiko yang telah konsisten di seluruh studi yang berbeda
adalah usia yang lebih muda. Secara khusus, Ribeiro dkk menemukan usia yang
lebih muda untuk menjadi prediktor aktivitas SLE pada pasien End Stage Renal
Desease (ESDR). Temuan ini sesuai dan bisa dikaitkan dengan fakta bahwa usia
yang lebih muda telah dianggap prediksi untuk meningkatkan aktivitas kejadian
penyakit SLE. Dalam multi-etnis kohort, ditemukan bahwa baik selama tahun-tahun
pertama penyakit dan kapan saja selama perjalanan penyakit, usia berhubungan
Lupus paling sering terjadi pada wanita muda di akhir umur belasan dan
wanita dewasa sampai umur 44 tahun. Kejadian penyakit SLE paling sering terjadi
sejak umur 15 tahun ke atas. Hal ini tebukti dalam penelitian ini bahwa penderita
penyakit SLE sebagian besar berada pada usia produktif, yaitu pada kelompok umur
15-24 (50%), 25-34 tahun (21,7%), 35-44 tahun (17,4%) dan hanya 10,9 % penderita
SLE yang berada pada kelompok tidak produktif yaitu > 44 tahun.
Pada wanita tingkat keparahan penyakit beragam saat hamil dan siklus menstruasi.
Pada studi kohort terhadap 238.308 wanita yang diamati secara prospektif antara
tahun 1976 dan 2003, faktor-faktor seperti menarch dini, pemakaian kontrasepsi oral,
Pada usia produktif dikaitkan dengan perubahan fisik yang disertai dengan
SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
OR 6,88 (95% CI 2,305 – 20,585). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil
Padang tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Wijaya bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit
SLE (p-value = 0,02). Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Vargas yang
menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang sigifikan dengan kejadian SLE
(0,03)
Faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang dapat
memberikan perbedaan angka atau rate kejadian pada pria dan wanita. Dalam hal
juga berbagai variabel lain seperti umur atau variabel lainnya yang mempunyai
jenis kelamin dapat timbul karena bentuk anatomis, fisiologis, dan sistem hormonal
yang berbeda
Menurut Judha, dkk (2015), faktor yang meningkatkan risiko penyakit lupus
yakni jenis kelamin, wanita umur produktif lebih berisiko terkena penyakit ini.
Meningkatnya angka kesakitan penyakit SLE dimana wanita lebih banyak dibanding
pria adalah disebabkan oleh pada masa usia subur ini, homon-hormon wanita seperti
65
terutama pada siklus menstruasi wanita. SLE dapat aktif pada kehamilan karena pada
kehamilan terjadi peningkatan hormonal. Homon estrogen pada wanita memicu sel
Th2 untuk mengaktifkan sel B dalam menghasilkan antibodi. Selain itu estrogen
besifat imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral atau menekan fungsi
sel Ts (Sel T Supresor) dengan cara mengikat reseptor sehingga terjadi peningkatan
produksi antibodi.
kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA
dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti
kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
OR 3,14 (95% CI 0,314 – 31,360). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan penyakit SLE di RSUP DR. M
Djamil Padang tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Komaling bahwa responden yang menjawab ada saudara/ keluarga
yang menderita sakit SLE hanya sedikit yaitu 1,5%. Meskipun pada penelitian ini
bahwa anti DNA sering dijumpai pada keluarga penderita SLE dan 70% dari saudara
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
timbulnya SLE. HLA yang mendukung konsep bahwa gen MHC mengatur produksi
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
C2,C4, atau C1q. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 6,5% penderita yang memiliki
riwayat penyakit keluarga SLE sehingga menyebabkan tidak adanya hubungan yang
bermakna antara dengan riwayat penyakit keluarga dengan penyakit SLE. Hal ini
SLE (18,8%). Alasan berikutnya sulitnya mendiagnosis penyakit SLE jika dilihat
dari gejala awal dikarenakan penyakit SLE pada sebagian orang memiliki
manifestasi klinis yang hampir sama dengan penyakit autoimun lain sepeti artritis
Sampai saat ini faktor penyebab dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui.
Akan tetapi diduga faktor genetik memegang peranan pada patogenesisnya. Oleh
yang dialami. Kemudian terutama bagi seseorang yang memiliki keluarga yang
menderita SLE agar dapat melakukan pemeriksaan secara dini untuk mengetahui
OR 0,28 (95% CI 0,112 – 0,689). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara pekerjaan dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil Padang
tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Karlson
bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit SLE dengan
tingkat kemaknaan 0,04. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Balsamo yang
menyatakan tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan penyakit SLE (p-
value =0.0702). Penelitian Asih menyatakan seluruh penderita SLE (100%) adalah
tidak bekerja.
sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera, atau masalah kesehatan
dalam suatu populasi. Penyakit, kondisi, atau gangguan tertentu dapat terjadi dalam
suatu pekerjaan. Pekerjaan juga merupakan suatu determinan risiko dan determinan
pajanan yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor
status kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja. Penelitian Komalig,
dkk (2008), menyatakan bahwa penderita lupus paling banyak pada orang yang tidak
Pada penelitian ini responden yang menderita penyakit SLE lebih banyak
tidak bekerja (50%) dan didominasi oleh IRT (39,1%), diikuti oleh pelajar (21,7%)
69
dan mahasiswa (17,4%). Hal ini sesuai dengan kebiasaan atau budaya wanita
Indonesia yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dibandingkan beker ja.Pada
penelitian ini IRT, pelajar, mahasiswa dikategorikan pada kelompok tidak bekerja.
OR 1,09 (95% CI 0,469 – 2,678). Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara tingkat pendidikan dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil
Padang tahun 2017. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Philips yang menyatakan
penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan Karlson bahwa tingkat pendidikan
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit SLE dengan tingkat
termasuk pekerjaan dan status gizi. Pendidikan yang rendah pada masyarakat juga
akan berdampak pada tidak adanya pemahaman dan kesadaran akan penyakit SLE,
sehingga masyarakat yang memiliki pendidikan yang rendah tidak bisa memahami
Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar penderita SLE memiliki
menunjukkan pendidikan yang tinggi belum tentu menjamin bahwa seseorang dapat
memahami gejala dini penyakit SLE dan faktor risiko penyakit SLE. Sampai saat ini
belum ada yang bisa mencetuskan secara pasti penyebab dari penyakit SLE dan
beberapa penelitian terkait penyakit SLE terutama di Indonesia masih sedikit yang
mengkaji sehingga belum banyak diketahui orang. Hal ini menunjukkan kurangnya
masyarakat baik dengan tingkat pendidikan tinggi maupun rendah tidak dapat
Penyakit SLE adalah penyakit yang sulit dideteksi dini dikarenakan penyakit
SLE pada sebagian orang memiliki manifestasi klinis yang hampir sama dengan
dermatitis dan sebagainya. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang cukup
dalam pemahaman yang mendalam agar dapat mengetahui gejala awal SLE dengan
baik. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang tinggi belum tentu memiliki
OR 0,14 (95% CI 0,042 – 0,441). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara status merokok dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil
Padang tahun 2017. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Washio, dkk
(2006) bahwa perokok dan mantan perokok lebih berisiko terkena SLE daripada
71
orang yang bukan perokok (p< 0,001). Penelitian Bengtsson menyatakan bahwa
merokok memiliki risiko yang kecil yaitu 1,8 kali untuk mengalami penyakit SLE.
terhirup. Asap rokok bersifat karsinogen, merusak DNA dan mutasi gen. Sehingga,
walaupun responden hanya sebentar terpapar rokok di transportasi umum, namun hal
tersebut cukup dapat merusak DNA. Kerusakan DNA tersebut dapat berdampak
dan sel mengalami kerusakan Lupus berhubungan dengan zat yang terkandung
jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh responden perempuan
baik yang menderita SLE maupun tidak menderita SLE tidak memiliki kebiasaan
merokok. Dari 5 orang laki-laki penderita SLE, 4 orang diantaranya merokok. Hasil
merokok dengan kejadian SLE setelah distratifikasi dengan variabel jenis kelamin.
perempuan yaitu sebesar 89,1 % dan didominasi oleh IRT (39,1%). Hal ini sesuai
prevalensi merokok di Indonesia usia 10 tahun keatas dengan persentase yang lebih
banyak pada laki-laki dengan persentase masing-masing 46,8 persen laki-laki dan 3,1
persen perempuan.
72
tinggi kejadian lupus, tetapi pada penelitian ini hanya mengkaji perokok aktif dan
mengabaikan perokok pasif. Paparan rokok tidak hanya didapat karena menghisap
rokok, menjadi perokok pasif juga berisiko terkena berbagai macam penyakit,
risiko terkena BBLR bagi ibu hamil, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa
ada peran lingkungan terhadap kesehatan. Asap rokok merupakan salah satu dari
radikal bebas. Menurut Hyde (2009), radikal bebas dapat menyerang molekul
penting seperti DNA, protein dan lipid. Radikal dapat memperbanyak diri dan dapat
menciptakan kerusakan yang signifikan. Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat
Menurut Global Adult Tobacco Survey (2011), persentase orag dewasa yang
terpapar asap rokok ditempat umum yakni mencapai 85,4%, di rumah mencapai
78,4%, dan di tempat kerja mencapai 51,3%. Menurut Aditama (1997), interaksi
antara perokok aktif dan perokok pasif biasanya terjadi di tempat-tempat umum,
misalnya stasiun kereta api, halte, terminal, dan lain-lain. Di tempat-tempat tersebut
tidak ada pembatas antara ruangan yang diperuntukkan bagi perokok dan bukan
perokok.
(OR=1,24), lingkungan kerja (OR= 2,72), lingkungan pergaulan (OR= 1,35), dan
paparan rokok di tansportasi umum (OR=10,74). Pada penelitian ini persentase yang
cukup tinggi pada pelajar (21,7%), mahasiswa (17,4%) yang memungkinkan terkena
lingkungan disekitar memungkinkan adanya paparan asap rokok maka tetap akan
diharapkan selain tidak merokok juga menghindari paparan rokok seperti paparan
OR 0,54 (95% CI 0,234 – 1,235). Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara paparan sinar UV dengan penyakit SLE di RSUP DR. M Djamil
Padang tahun 2017. Penelitian Komalig, dkk (2008), menyatakan bahwa penderita
Paparan UVA2 dan UVB melalui proses tanning kulit untuk kecantikan dapat
mengeksaserbasi peyakit kulit pada pasien dengan kelainan ini. Namun, akibat dari
tidak terpapar matahari adalah defisiensi vitamin D dimana berkaitan juga dengan
aktivitas penyakit. Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
dengan kejadian SLE dikarenakan proprosi penderita terpapar sinar UV > 4 jam/hari
74
(47,8%) tidak jauh berbeda dengan yang terpapar sinar UV < 4 jam/hari (52,2%).
Pekerjaan penderita SLE yang terpapar sinar UV sebagian besar adalah buruh,
swasta, dan IRT. Berdasarkan jawaban saat wawancara, penderita yang bekerja
sebagai IRT banyak berasal dari luar Padang yaitu Solok, Pasaman dan Pesisir
Selatan. Mereka menjawab sering membantu suami untuk bekerja di sawah dan
ladang sehingga IRT tersebut banyak melakukan aktivitas di luar rumah yang
berpotensi terpapar sinar UV >4 jam/hari. Sedangkan penderita yang bekerja swasta
sebagian besar menjawab berprofesi sebagai pedagang yang juga berpeluang besar
merokok dan paparan sinar UV) memenuhi syarat untuk dimasukkan kedalam
Hasil analisis multivariat pada full model awal, didapatkan bahwa jenis
kelamin merupakan faktor risiko yang paling tinggi menyebabkan kejadian SLE di
RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017. Pada uji statistik didapatkan p-value
=0,001 (p<0,05) dengan OR sebesar 9,84 (95% CI 2,220 – 43,579), hal ini
dibandingkan dengan respoden laki-laki. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang
laki-laki adalah 10:1, sehingga lupus sering disebut penyakit kaum wanita.Penelitian
75
Chelvi menunjukkan bahwa 97,4% dari penderita SLE adalah perempuan. Hasil
analisis bivariat dari penelitian ini didapatkan bahwa jenis kelamin berisiko 6,89 kali
untuk mengalami SLE. Setelah dianalisis multivariat diketahui bahwa risiko untuk
mengalami SLE berubah menjadi 9,84 kali berisiko saat dipengaruhi variabel umur,
bentuk anatomis, fisiologis, dan sistem hormonal yang berbeda. Peningkatan hormon
dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Tingginya angka kejadian SLE pada
estrogen. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
Besar risiko jenis kelamin dengan kejadian SLE pada analisis multivariat
adalah 7,89 yaitu lebih kuat hubungannya dibandingkan pada analisis bivariat yang
berisiko 5,78 kali. Meningkatnya risiko jenis kelamin terhadap kejadian SLE
dipengaruhi oleh variabel umur. Sebagian besar penderita SLE berada pada
Penyakit SLE menyerang wanita muda di akhir umur belasan dan wanita
dewasa sampai umur 45 tahun. Pada usia produktif dikaitkan dengan perubahan fisik
yang disertai dengan perkembangan hormonal dalam tubuh yang dapat memicu
terjadinya SLE. Penyakit SLE sering terjadi pada pubertas, waktu hamil, pasca
persalinan dan penggunaan pil kontrasepsi oral yang mengandung estrogen. Estrogen
bersifat imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral dan menekan fungsi
76
sel Ts (Sel T supresor) dengan cara mengikat reseptor, akibatnya terjadi peningkatan
produksi antibodi yang memicu SLE. Pasien perempuan dengan SLE dapat
terhadap kejadian SLE karena dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penderita SLE yang bekerja lebih sedikit
dibandingkan yang tidak bekerja yaitu sebanyak 10 orang ( 21,7%). Kemudian dari
bekerja tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadia SLE (p-value
kejadian SLE juga dipengaruhi variabel jenis kelamin dan umur. Hasil penelitian
diantaranya adalah perempuan dan 20 diantaranya berada pada kelompok umur 15-
Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang dilakukan tersebut, variabel jenis
13.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko kejadian Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 maka dapat
disimpulkan :
yang terbanyak pada kelompok kasus adalah jenis kelamin, umur (15-44
tahun), riwayat penyakit keluarga SLE, dan tingkat pendidikan rendah. Pada
2017. Responden dengan umur 15-44 tahun berisiko 5,78 kali untuk
penyakit SLE.
Tahun 2017.
Tahun 2017. Tidak adanya hubungan antara status merokok dengan kejadian
penyakit SLE setelah distratifikasi dengan vaiabel jenis kelamin RSUP Dr. M
Tahun 2017.
13.2 Saran
1. Bagi Pihak RSUP Dr. M. Djamil Padang
perempuan usia produktif (15-44 tahun) agar dapat menjaga pola hidup
kesehatan lainnya.