Professional Documents
Culture Documents
KARSINOMA KOLON
Disusun Oleh:
Ranita
1361050259
Pembimbing:
dr. Stanley K Olivier, Sp.B
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh bimbingan dan kasih
karunia-Nya, sehingga penulis mampu menulis referat dengan judul “KARSINOMA
KOLON“, sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum
Universitas Kristen Indonesia periode 26 Februari 2018 sampai dengan 05 Mei
2018. Selain itu, besar harapan dari penulis bilamana referat ini dapat membantu
proses pembelajaran dari pembaca sekalian.
Dalam penulisan referat ini, penulis telah mendapat bantuan, bimbingan, dan
kerjasama dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Stanley K Olivier, Sp.B selaku pembimbing referat “Karsinoma Kolon”
2. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Rumah
Sakit Universitas Kristen Indonesia periode 26 Februari 2018 sampai dengan 05
Mei 2018.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan karena
kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis
mengharapakan kritik dan saran yang bermanfaat untuk mencapai referat yang lebih
baik.
Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Karsinoma kolon adalah suatu neoplasma yang ganas yang terdapat pada
struktur saluran usus besar. Umumnya, karsinoma kolon jarang ditemukan sebelum
umur 40 tahun kecuali bila merupakan komplikasi dari beberapa penyakit
diantaranya kolitis ulseratif, kolitis granulomatosa, poliposis multipel familial,
sindrom Gardner, dan sindrom Turcot. Pada populasi umum, risiko terjadinya
kanker kolorektal secara nyata akan meningkat pada umur 50 tahun dan menjadi dua
kali lipat lebih besar pada setiap bertambahnya dekade berikutnya.
Keganasan kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga terbanyak di
seluruh dunia. Di Amerika Serikat, karsinoma kolon menempati posisi kedua dari
kausa kematian kanker, merupakan penyebab kematian karena kanker kedua
terbanyak setelah karsinoma paru. Di seluruh dunia insiden rata-rata karsinoma
kolon pria adalah 16,6/100.000,dan pada wanita 14,7/100.000.
Meskipun perkembangan pengobatan telah berkembang, akan tetapi tingkat
harapan hidup pasien hanya sedikit saja meningkat, karena karsinoma sudah
ditemukan dalam stadium lanjut. Oleh karena itu, kunci utama keberhasilan
penanganan karsinoma kolorektal dengan mendeteksi karsinoma sejak stadium dini,
sehingga terapi dapat dilaksanakan secara bedah kuratif. Penderita datang ke rumah
sakit sering dalam kondisi stadium lanjut karena tidak jelasnya gejala awal dan tidak
mengetahui atau menganggap penting gejala dini yang terjadi. Skrining karsinoma
kolorektal memegang peranan yang sangat penting. Berdasarkan pengalaman di
negara lain, memperlihatkan bahwa skrining yang adekuatterbukti menurunkan
angka kematian akibat dari karsinoma kolorektal. Hal tersebut terjadi karena dengan
program skrining yang baik, akan lebih banyak ditemukan kasus dini sehingga terapi
dapat secara kuratif. Terapi bedah paling efektif bila dilakukan pada penyakit yang
masih terlokalisasi. Bila sudah terjadi metastasis, prognosis menjadi buruk dan
angka survival menurun drastis. Berkembangnya penderita stadium lanjut atau pada
kejadian kekambuhan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Tumor
Tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh
akibat pengaruh berbagai faktor penyebab tumor yang menyebabkan jaringan
setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.
Neoplasia adalah perkembangan massa jaringan abnormal yang tidak
responsi terhadap mekanisme kontrol pertumbuhan normal. Neoplasma
adalah suatu kelompok sel neoplastik. Istilah tersebut biasanya sinonim
dengan tumor. Tumor dapat bersifat jinak (benigna) atau ganas
(maligna/kanker).
a. Tumor jinak (benigna)
Tumor jinak adalah sel-sel neoplastik yang tidak menginvasi
jaringan sekitar dan tidak bermetastasis. Metastasis adalah
kemampuan sel kanker untuk menyebar, menyusup, dan
membangun pertumbuhan pada area tubuh lain yang jauh dari
tempat asalnya. Tumor jinak (benigna) terdiri dari sel-sel yang
serupa dengan struktur pada sel asalnya. Sel-sel tersebut lebih
kohesif daripada sel-sel tumor ganas. Pertumbuhan terjadi secara
perlahan dari bagian tengah massa benigna, biasanya
mengakibatkan batas tegas. Oleh karena tumbuh dan menekan
perlahan – lahan maka biasanya dibatasi jaringan ikat yang tertekan
disebut kapsul atau simpai,yang memisahkan jaringan tumor dari
jaringan sehat sekitarnya. Simpai sebagian besar timbul dari stroma
jaringan sehat diluar tumor, karena sel parenkim atropi akibat
tekanan ekspansi tumor. Tumorjinak menimbulkan efek-efek
berupa obstruksi, tekanan, dan sekresi. Obstruksi usus dapat
diakibatkan dari pertumbuhan tumor jinak dalam lokasi tersebut.
Gambar 2. Tumor ganas (maligna) dengan batas tidak teratur dan tidak jelas
dari jaringan sekitar.
2.2 Definisi Karsinoma Kolon
Karsinoma rektum adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak
di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid
junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya
hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah
rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal
dari cabang arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena
hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan
ke kranial ke vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke
vena porta. Ca Recti dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati.
Pembuluh limfe dari rektum diatas garis anorektum berjalan seiring vena
hemorriodalos superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan
aorta. Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan
pada anatomi saluran limfa ini. Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu
mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa,
muscularis propria dan serosa.
2.3Anatomi Kolon
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muscular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5
inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati
sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Kolon dibagi lagi menjadi kolon
ascenden, transversum, descenden dan sigmoid. Tempat kolon membentuk
kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut fleksura
hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan
membentuk lekukan berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri
sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus besar yang
terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus
(muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai
kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus, panjang
rectum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang
ditemukan pada bagian usus lain. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak
sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli. Taenia
bersatu pada sigmoid distal, sehingga rectum mempunyai satu lapisan otot
longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus, sehingga
usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut
haustra. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal daripada lapisan mukosa usus
halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar
intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
dibandingkan dengan usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kanan dan kiri berdasarkan
pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior memperdarahi
belahan kanan (sekum, kolon asendens dan dua pertiga proksimal kolon
transversum), dan arteria mesentrika inferior memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri
hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan
aorta abdominalis.
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,
dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral menyuplai bagian distal.
Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus.
Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian
serabut pasca ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat
sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan
parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.
2.5Epidemiologi
Insiden karsinoma kolon dan rectum di Indonesia cukup tinggi,
demikian juga angka kematiannya. Insidens pada pria sebanding dengan
wanita dan lebih banyak pada orang muda. Sekitar 75% ditemukan di
rektosigmod, dan merupakan penyakit orang usia lanjut
2.6Etiologi
Penyebab kanker kolon masih belum diketahui. Namun terdapat
beberapa faktor predisposisi yang berhubungan dengan kanker kolon.
Faktor predisposisi yang berhubungan dengan kebiasaan makan. Hal
ini karena kanker usus besar terjadi 10 kali lebih banyak pada penduduk
wilayah barat yang mengkonsumsi lebih banyak makanan yang mengandung
karbohidrat murni dan rendah serat, dibandingkan penduduk primitif (missal,
di Afrika) yang mengkonsumsi makanan tinggi serat. Burkitt (1971)
mengemukakan bahwa diet rendah serat dan tinggi karbohidrat murni
mengakibatkan perubahan flora fases dan perubahan degradasi garam
empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, sebagian zat ini bersifat
karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat berpotensi
karsinogenik ini menjadi fases yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa
transit fases meningkat. Akibatnya kontak zat berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
Berbagai polip kolon dapat berdegenerasi menjadi maligna sehingga
setiap polip kolon harus dicurigai. Radang kronik kolon, seperti colitis
ulserosa atau colitis amuba kronik, juga beresiko tinggi menjadi maligna.
Faktor genetic berperan walaupun jarang.
2.7Klasifikasi
Secara makroskopis, terdapat 3 tipe karsinoma colon, dan rectum. Tipe
polypoid atau vegetative tumbuh menonjol ke dalam lumen anus, berbentuk
bunga kol dan ditemukan terutama disekum dan kolon ascenden. Tipe skirus
mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi,
terutama ditemukan dikolon descenden, sigmoid, dan rectum. Bentuk
ulseratif terjadi karena nekrosis dibagian sentral terdapat direktum. Pada
tahap lanjut, sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi
tukak maligna.
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rectum dibagi menurut
klasifikasi TNM
Karsinoma kolon dan rectum mulai berkembang di mukosa dan tumbuh
menembus dinding dan meluas secara sirkuler kearah oral dan aboral.
Didaerah rectum, penyebaran kearah anal jarang melebihi 2 cm. penyebaran
percontinuitatum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya
ureter, buli-buli, uterus, vagina, atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke
kelenjar parailiaca, mesenterium, dan paraorta. Penyebaran hematogen
terutama ke hati. Penyebaran peritoneal menyebabkan peritonitis
karsinomatosa dengan atau tanpa asites. Penyebaran intralumen dapat terjadi,
sehingga pada saat didiagnosis terdapat 2 atau lebih tumor yang sama didalam
kolon dan rektum.
Gambar 3. Penyaliran limfa kolorektal.
Sumber: American Joint Committee on Cancer2006
2. Hematikezia
Tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah segar atau merah
gelap, biasanya tidak banyak, intermiten. Jika posisi tumor agak tinggi,
darah dan fases bercampur menjadikan fases mirip selai. Kadang kala
keluar lender berdarah.
3. Ileus
Ileus merupakan tanda lajut kanker kolon. Ileus kolon sering
ditemukan. Kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplastik menginvasi ke
sekitar dinding usus membuat lumen usus menyempit hingga ileus,
sering berupa ileus mekanik nontotal kronis, mula-mula timbul perut
kembung, rasa tak enak perut, lalu timbul sakit perut intermiten,
obstipasi atau fases menjadi kecil (seperti pensil atau kotoran kambing)
bahkan tak dapat buang angin atau fases. Sedangkan ileus akut umunya
disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif. Tidak jarang terjadi
intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien lansia, maka pada lansia
dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma kolon.
Pada ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila
terdapat muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah
terinvasi tumor.
4. Massa abdominal, ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu di daerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada kolon
belahan kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen
relatif longgar, massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat
mobile, setelah menginvasi menjadi terfiksasi.
5. Anemia, penurunan berat badan, demam dan gejala toksik lain. Karena
pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan kronis
jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor
menyebabkan demam dan gejala toksik.
2.9 Diagnosis KKR
Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi
akan adanya KKR
1. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:
- Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi
dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur)
- Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
- Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6
minggu (di atas 60 tahun)
- Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
- Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
- Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-
laki atau <10g% untuk perempuan pascamenopause)
2. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-
rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani
dan menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah
dan distal. Ada 2 gambaran khas pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi
dan penonjolan tepi, yang dapat berupa:
- Suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti
cakram yaitu suatu plateau kecil dengan permukaan yang licindan
berbatas tegas.
- Suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak,
tetapi umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan
- Suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduleryang
menonjol dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
- Suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan
bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
- Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak
bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas
kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Pada pasien perempuan
sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui
apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat
digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk
menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak
dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur.
- Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek
terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat
digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah
lebih lanjut umumnya terfiksir karena penetrasi atau perlekatan ke
struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding
posterior vagina atau dinding anterior uterus.
- Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan
sirkuler.
1. Terapi Endoskopi
Terapi endoskopik dilakukan untuk polip kolorektal, yaitu lesi mukosa
kolorektal yang menonjol ke dalam lumen. Polip merupakan istilah non-
spesifik yang makna klinisnya ditentukan dari hasil pemeriksaan
histopatologi. Secara histopatologi, polip dapat dibedakan menjadi polip
neoplastik (adenoma dan karsinoma) serta polip non-neoplastik. Secara
morfologi, polip dapat berbentuk sesil (dasar lebar) atau pedunkulata
(bertangkai). Literatur juga menyebut adanya polip datar (flat) atau
depressed.
Metode yang digunakan untuk polipektomi tergantung pada ukuran,
bentuk dan tipe histolopatologinya. Polip dapat dibiopsi terlebih dahulu
untuk menentukan tindakan selanjutnya. Biopsi polip umumnya dilakukan
dengan mengambil 4-6 spesimen atau 8-10 spesimen untuk lesi yang lebih
besar.
Panduan American College of Gastroenterology menyatakan bahwa:
- Polip kecil harus dibuang secara utuh.
- Jika jumlahnya banyak (lebih dari 20), harus dilakukan biopsi
representatif.
- Polip pendukulata besar biasanya mudah dibuang dengan hot snare.
- Polip sesil besar mungkin membutuhkan piecemeal resectionatau
injeksi submukosal untuk menaikkan mukosa dari tunika
muskularis propria agar dapat dilakukan endoscopic mucosa
resection (EMR).
2. Eksisi Lokal (Polipektomi Sederhana)
Eksisi lokal dilakukan baik untuk polip kolon maupun polip rektum.
Polipektomi endoskopik harus dilakukan apabila struktur morfologik polip
memungkinkan. Sebagian besar polip kolorektal dapat diterapi dengan
polipektomi endoskopik, baik dengan biopsy forceps maupun snare
polypectomy. Hampir semua polip bertangkai dan sebagian polip sesil
dapat dibuang dengan electrocautery snare. Kontraindikasi relatif
polipektomi kolonoskopik antara lain adalah pasien yang mendapat terapi
antikoagulan, memiliki kecenderungan perdarahan (bleeding diathesis),
kolitis akut, dan secara klinis terdapat bukti yang mengarah pada
keganasan invasif, seperti ulserasi sentral, lesi keras dan terfiksasi,
nekrosis, atau esi tidak dapat dinaikkan dengan injeksi submukosal.
Gambaran histopatologis yang kurang baik meliputi: adenokarsinoma
musinosum, signet ring cell carcinoma, invasi ke kelenjar getah bening dan
vena, derajat diferensiasi 3, invasi menembus lapisan submukosa dinding
usus, atau keterlibatan margin eksisi.
3. Terapi Bedah
a. Kolektomi dan reseksi KGB regional en-Bloc
Teknik ini diindikasikan untuk kanker kolon yang masih dapat
direseksi (resectable) dan tidak ada metastasis jauh. Luas kolektomi
sesuai lokasi tumor, jalan arteri yang berisi kelenjar getah bening, serta
kelenjar lainnya yang berasal dari pembuluh darah yang ke arah tumor
dengan batas sayatan yang bebas tumor (R0). Bila ada kelenjar getah
bening yang mencurigakan diluar jalan vena yang terlibat sebaiknya
direseksi. Reseksi harus lengkap untuk mencegah adanya KGB positif
yang tertinggal (incomplete resection R1 dan R2).
Reseksi KGB harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut:
- KGB di area asal pembuluh harus diidentifikai untuk pemeriksaan
patologis. KGH yang positif secara klinis di luar lapangan reseksi
yang dianggap mencurigakan, harus dibiopsi atau diangkat
- KGB positif yang tertinggal menunjukkan reseksi inkomplit (R2)
- Minimal ada 12 KGB yang harus diperiksa untuk menegakkan
stadium N.
b. Bedah laparoskopik pada kanker kolorektal
Kolektomi laparasokopik merupakan pilihan penatalaksanaan
bedah untuk kanker kolorektal. Bukti-bukti yang diperoleh dari
beberapa uji acak terkontrol dan penelitian kohort memperlihatkan
bahwa bedah laparoskopik untuk kanker kolorektal dapat dilakukan
secara onkologis dan memiliki kelebihan dibandingkan dengan bedah
konvensional seperti berkurangnya nyeri pasca operasi, penggunaan
analgetika, lama rawat di rumah sakit, dan perdarahan. Selain itu, angka
kekambuhan dan ketahanan hidup sebanding dengan open surgery.
Uji klinik skala besar (COLOR Trial) memperlihatkan perbedaan
absolut sebesar 2% yang tidak bermakna antara open surgery vs. bedah
laparoskopik dalam hal ketahanan hidup 3-tahun. Dalam studi
CLASSIC, tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik dalam
hal angka ketahanan hidup keseluruhan (overall survival), ketahanan
hidup bebas penyakit (disease free survival), dan kekambuhan lokal di
antara kedua teknik bedah tersebut. Luaran- luaran ketahanan hidup
tersebut masih tetap tidak berbeda pada evaluasi jangka panjang dengan
median 62,9 bulan.
Meta-analisis terkini juga menyimpulkan beberapa keuntungan
bedah laparoskopik dalam jangka pendek dibandingkan open
colectomy, seperti penurunan kehilangan darah intraoperatif, asupan
oral yang lebih cepat, dan rawat inap yang lebih singkat. Meta- analisis
juga mendapatkan luaran jangka panjang yang sama dalam hal
kekambuhan lokal dan ketahanan hidup pasien kanker kolon.
Bedah laparoskopik sebaiknya hanya dilakukan oleh ahli bedah
yang berpengalaman dalam melakukan teknik tersebut. Eksplorasi
abdomen harus dilakukan secara seksama. Pertimbangan lain untuk
melakukan kolektomi laparoskopik antara lain stadium tumor dan
adanya obstruksi intraabdomen.
c. Tindakan bedah untuk kanker metastatik
1. Tumor primer resektabel dan metastasis resektabel
Pada KKR stadium 4 dengan metastasis hati dan atau paru, reseksi
merupakan pilihan yang terbaik dengan catatan tumor primer masih
dapat direseksi. Tiga paradigma pada terapi kanker kolorektal
dengan metastasis hati adalah: klasik yaitu kanker kolorektal
dahulu, bersamaan yaitu kanker kolorektal dan metastasis hati
secara bersamaan, atau pendekatan terbalik yaitu pengangkatan
tumor metastasis hepar terlebih dahulu. Keputusan dibuat
berdasarkan di tempat manakah yang lebih dominan secara
onkologikal dan simtomatis.
2. Tumor primer resektabel dan metastasis tidak resektabel
Pada keadaan seperti ini, dapat dilakukan reseksi tumor primer
dilanjutkan dengan kemoterapi untuk metastasisnya.
3. Tumor primer tidak resektabel, metasatasis tidak resektabel
Kombinasi kemoterapi dan pembedahan atau radiasi paliatif
merupakan penanganan standar untuk pasien dengan KKR
metastasis. Pada kasus dengan penyakit metastasis yang tidak
resektabel maka terapi pilihannya adalah kemoterapi sistemik.
Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat dioperasi, intervensi
seperti stenting atau laser ablation dapat dijadikan pilihan terapi
paliatif yang berguna. In situ ablation untuk metastasis hati yang
tidak bisa direseksi juga memungkinkan, tetapi keuntungannya
belum jelas.5
4. Terapi Sistemik
Kemoterapi untuk kanker kolorektal dilakukan dengan berbagai
pertimbangan, antara lain adalah stadium penyakit, risiko
kekambuhan dan performance status. Berdasarkan pertimbangan
tersebut kemoterapi pada kanker kolorektal dapat dilakukan sebagai
terapi ajuvan, neoaduvan atau paliatif. Terapi ajuvan
direkomendasikan untuk KKR stadium III dan stadium II yang
memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah: jumlah
KGB yang terambil <12 buah, tumor berdiferensiasi buruk, invasi
vaskular atau limfatik atau perineural; tumor dengan obstruksi atau
perforasi, dan pT4. Kemoterapi ajuvan diberikan kepada pasien
dengan WHO performance status (PS) 0 atau 1. Selain itu, untuk
memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal
(ureum dan kreatinin), serta elektrolit darah.
a. 5-Flourourasil (5-FU)
Secara kimia, fluorourasil suatu fluorinated pyrimidine,
adalah 5- fluoro-2,4 (1H,3H)-pyrimidinedione. 5-
Fluorourasil (5-FU) merupakan obat kemoterapi golongan
antimetabolit pirimidin dengan mekanisme kerja
menghambat metilasi asam deoksiuridilat menjadi asam
timidilat dengan menghambat enzim timidilat sintase, terjadi
defisiensi timin sehingga menghambat sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA), dan dalam tingkat yang lebih kecil
dapat menghambat pembentukan asam ribonukleat (RNA).
DNA dan RNA ini penting dalam pembelahan dan
pertumbuhan sel, dan efek dari 5- FUdapat membuat
defisiensi timin yang menimbulkan ketidakseimbangan
pertumbuhan dan menyebabkan kematian sel. Untuk
terjadinya mekanisme penghambatan timidilat sintase
tersebut, dibutuhkan k kofaktor folat tereduksi agar terjadi
ikatan yang kuat antara 5-FdUMP dan timidilat sintase.
Kofaktor folat tereduksi didapatkan dari leucovorin.
5-FU efektif untuk terapi karsinoma kolon, rektum,
payudara, gaster dan pankreas. Kontraindikasi pada pasien
dengan status nutrisi buruk, depresi sumsum tulang, infeksi
berat dan hipersensitif terhadap fluorourasil. Efek samping
dapat terjadi pada penggunaan 5-FU adalah sebagai berikut:
- Stomatitis dan esofagofaringitis, tampak lebih awal;
- Diare, anoreksia, mual dan muntah;
- Tukak dan perdarahan gastrointestinal;
- Lekopenia (leukosit < 3500/μL), atau penurunan leukosit secara
cepat;
- Trombositopenia (trombosit < 100.000/μL);
- Efek yang jarang terjadi dapat berupa sindrom palmar-plantar
erythrodysesthesia atau hand-foot syndrome, dan alopesia.
b. Leucovorin/Ca-folinat58
Leucovorin secara kimia merupakan turunan asam folat,
yang juga dapat digunakan sebagai antidotum obat yang
bekerja sebagai antagonis asam folat. Leucovorin disebut juga
asam folinat, citrovorum factor, atau asam 5-formil-5,6,7,8-
asam tetrahidrofolat. Secara biologi, merupakan bahan aktif
dari campuran antara (-)-I-isomer yang dikenal sebagai
citrovorum factor atau (-)- asam folinat. Leucovorin bukan
merupakan obat antineoplastik, penggunaan bersama 5-FU
tidak menimbulkan perubahan farmakokinetik plasma.
Leucovorin dapat menambah efek terapi dan efek samping
penggunaan fluoropirimidintermasuk 5-FU pada pengobatan
kanker. 5-FU dimetabolisme menjadi asam
fluorodeoksiuridilat, yang mengikat dan menghambat enzim
timidilate sintase (enzim yang penting dalam memperbaiki
dan mereplikasi DNA). Leucovorin dengan mudah diubah
menjadi turunan folat yang lain, yaitu 5,10- metilin
tetrahidrofolat, yang mampu menstabilkan ikatan asam
fluorodeoksiuridilat terhadap timidilat sintase dan dengan
demikian meningkatkan penghambatan enzim tersebut.
Leucovorin tidak boleh digunakan pada anemia pernisiosa
dan anemia megaloblastik yang lain, sekunder akibat
kekurangan vitamin B12.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI . Buletin Jendela Data Dan Informasi
Kesehatan: Situasi Kanker Di Indonesia. Kementrian Kesehatan Ri. 2015
2. Price Syilvia A., Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 4. EGC. Jakarta. 1995.
3. Cunningham D, Atkin W, Lenz Hj, Lynch Ht, Minsky B, Nordlinger B, Et Al. Colorectal
Cancer. Lancet . 2010;375:1030-1047.
4. Zinner, Schwartz, Ellis. 2001. Rectal Cancer. In Maingots’s Abdominal Operation. 10th
Edition. 2001. Singapore: Mcgraw-Hill. P1455-99.
5. Desen, Wan., Japaries, Willie. Onkologi Klinis. Edisi 2. FKUI. Jakarta. 2011.
6. Tambayong, J. Patofisiologi untuk keperawatan. Monica Ester EGC. 2000. Jakarta: viii +
211 hlm.
7. R. Sjamsuhidayat, Jong. W.D. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3 EGC. Jakarta. 2017.
8. Kementerian Kesehatan. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 172 hlm.
9. American Joint Committee on Cancer. Colon and Rectum. 2006. 107—118 hlm.