Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
2.3 Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi
ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada system
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada
DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan
DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin,
histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan
intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler ibuktikan dengan ditemukannya
cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan
hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi
anoxia jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah
perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi
trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti
dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi
disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh
aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada pasien
dengan perdarahan hebat.
2.4 Morfologi
Virus Dengue ukurannya sangat kecil, diameternya sekitar 50 nm. Struktur morfologinya
relatif sederhana. Seperti beberapa flavivirus, virus dengue dewasa terdiri dari genom single-
stranded RNA yang dikelilingi oleh suatu ikosahedral atau isometric nukleokapsid. Terdiri dari 3
protein struktural yaitu protein E pada selubung luar, protein C pada kapsid dan M pada
membran. Dan 7 protein non struktural yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b,
NS5. Flavivirus berbentuk sferis dengan diameter 40-60 nm. Nukleokapsid berbentuk sferis
dengan diameter 30 nm dan dikelilingi oleh lipid bilayer (Rice, 1996). Komposisi virion terdiri
dari 6% RNA, 66% protein, 9% karbohidrat, dan 17% lipid. Protein envelope (E) dan protein
membran (M) menempel dalam lapisan lipid pada C-terminal yang hidrofobik (Teo and Wright,
1997). Virion yang dikeluarkan mengandung sejumlah M prekursor (pr-M). Komposisi
nukleokapsid adalah protein kapsid (protein C) dan genom dengan densitas 1,30-1,31 g/ml,
bahan-bahan ini dapat diisolasi setelah envelopedisolubilisasi dengan deterjen nonionik
(Kitayapon, 1994).
Protein C adalah protein pertama yang dibentuk pada waktu translasi genom virus. Berat
molekulnya kira-kira 13.500, kaya asam amino lisin dan arginin sehingga protein C bersifat basa.
Karena sifatnya itu protein C mampu berinteraksi dengan RNA virion. Selain itu pada ujung
karboksilnya, protein C terdiri dari rangkaian asam amino hidrofobik yang memungkinkan ia
menempel pada membran sebelum dipecah oleh signalase pada ujung protein prM. Pada
akhirnya, ujung hirofobik protein C dilepas oleh enzim protease yang dikode gen virus sesaat
menjelang morfogenesis virion. Protein C merupakan salah satu protein flavivirus yang
conserved, walaupun masih kurang conserved disbanding protein struktural lain.
Protein prM adalah glikoprotein dengan berat molekul 22.000 dan pecah menjadi protein M dan
glikoprotein lain menjelang morfogenesis lengkap virion. Pemecahan ini tampaknya merupakan
hal kritis bagi morfogenesis karena pemecahannya diikuti segera dengan naiknya titer virus aktif.
Protein E di dalam sel terinfeksi dapat berada dalam bentuk heterodimer antara prM-E.
Protein E berat molekulnya 51.000 – 60.000 dan dalam virion berada dalam bentuk homotrimer.
Dalam rangkaian asam aminonya, protein E mempunyai 12 gugus sistein yang membentuk enam
ikatan disulfida. Melihat konfigurasinya, pada protein E terdapat tiga kelompok epitop yang
terpisah yaitu epitop A, B dan C. Empat serotipe virus dengue (1 hingga 4) bagiannya kira-kira
60% - 74% merupakan residu asam amino gen E merupakan pembeda antara serotipe yang satu
dengan yang lainnya dan menyebabkan reaksi antibody.
Gambar 1.3 Struktur protein virus Dengue
2.5 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan oleh
David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang juga disebut
sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi
menghilang dalam 5 hari disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan kemudian
disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kota-kota yang padat
penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah
pedesaan.
Berdasarkan penelitian di Indonesia dari tahun 1968-1995 kelompok umur yang paling
sering terkena ialah 5 – 14 tahun walaupun saat ini makin banyak kelompok umur lebih tua
menderita DBD. Saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25/100.000 penduduk,
namun angka kematian telah menurun bermakna < 2%.
Gambar 1.4 Penyebaran infeksi virus dengue di dunia tahun 2006. Merah : epidemic dengue,
Biru : nyamuk Ae.aegypti
2.7 Patogenitas
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai penjamu terutama
dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Beberapa faktor resiko yang dilaporkan pada infeksi
virus dengue antara lain serotipe virus, antibodi dengue yang telah ada oleh karena infeksi
sebelumnya atau antibodi maternal pada bayi, genetic penjamu, usia penjamu, resiko tinggi pada
infeksi sekunder, dan resiko tinggi bila tinggal di tempat dengan 2 atau lebih serotipe yang
bersirkulasi tinggi secara simultan.
BAB III
PEMBAHASAN
“GAMBARAN POLA PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
PADA ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN BULELENG TAHUN 2013”
Subject: Pasien DBD berusia maksimal 15 tahun yang menjalani rawat inap dalam kurun
14 hari pada periode Juli sampai September 2013 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Buleleng dan tidak memiliki riwayat penyakit kronis.
Object:
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien lelaki, yaitu sebanyak
26 orang (51%) dan tergolong middle childhood (6- 11 tahun) sejumlah 22 orang (43,1%). Dari
segi derajat penyakitnya, subyek lebih dominan grade I sejumlah 37 orang (72,5%). Sebagian
besar pasien yang datang memiliki durasi perawatan rumah sakit kurang dari 7 hari, yaitu sebesar
46 orang (90,2%).
Action:
semua pasien anak dengan diagnosis DBD pasca masuk ke rumah sakit telah diberikan
penanganan awal berupa cairan intravena kristaloid isotonis, dimana rincian jenis cairannya
sebagian besar berupa ringer laktat 45 orang (88,2%) sedangkan sisanya adalah glukosa lima
persen di dalam larutan NaCl 0,45% (D ½ NS) sebanyak 6 orang (11,8%). Berdasarkan aspek
antipiretikanalgetik, 98% subyek sudah mendapat terapi, dengan obat parasetamol sebesar 41
orang (80,4%), terapi kombinasi (parasetamol dengan ibuprofen) pada 1 orang (2%), dan terapi
analgetik (Antrain) sebanyak 8 orang (15,7%). Subyek yang tidak mendapat terapi antipiretik
maupun analgetik hanya 1 orang (2%). Pemberian obat antibiotik dilakukan pada 21 orang
(41,2%). Jenis antibiotik yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 4 dimana antibiotik yang
dominan diberikan adalah cefotaxime (third generation cephalosporin) berjumlah 16 orang
(76,2%). Pemberian terapi tambahan seperti antiemesis, antiinflamasi, imunomodulator, dan
vitamin masing-masing sebesar 47,1 %, 15,7 %, 23,5 %, dan 47,1 %.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit
yang disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes
albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
Demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok
B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family
Flaviviridae dan mempunyai empat jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4
PEMERIKSAAN DAN DIGNOSIS :
Trombositopeni ( < 100.000/mm3)
Hb dan PCV meningkat ( > 20% )
Leukopeni ( mungkin normal atau lekositosis )
Isolasi virus
Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam
apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto
dada, BUN, creatinin serum.
4.2 Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan kita dapat mengerti bagaimana cara pengobatan
dbd sekaligus pencegahannya.
Beberapa ada cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode
pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah:
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat. perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan
desain rumah.
2. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air kolam,
dan bakteri (Bt.H-14).
3. Pengasapan atau fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
4. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti,
gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA