Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN 2012
Oleh :
Nining Sudini Ningrum, Miftahul Huda, Hermanu Prijono,
Tuti Hernawati, Lely Agustiana, Syahrial, Paidi, Yuliani Maulizar, Teti Sumiati,
Manik Widi Astiti, Deni Kusmana
Melalui pelaksanaan Undang-Undang Energi No. 30/2007 tentang Energi dan Undang-
Undang No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta pembentukan
Dewan Energi Nasional, Pemerintah Indonesia mempunyai cara pandang baru dalam
bidang sumber daya alam yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan
baku proses industri di dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing industri.
Dengan cara pandang baru ini sumber daya mineral dan energi diharapkan akan
memberikan multiplier effect yang lebih besar di bidang ekonomi melalui kegiatan-
kegiatan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara tersebut. Dalam
rangka mendukung undang-undang tersebut di atas maka diusulkan untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pembuatan Aditif dari Batubara Peringkat Rendah (Lignit) untuk
Kokas Metalurgi” yang dimaksudkan untuk mengkonversi batubara menjadi material lain
yang lebih berharga.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari kegiatan litbang bahan pengikat/binder, pada
Kelompok Pelaksana Litbang Batubara, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara 2010-
2014.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga Tim
Pembuatan Aditif dari Batubara Peringkat Rendah (Lignit) untuk Kokas Metalurgi Tahun
Anggaran 2012 dapat berjalan dengan baik. Mudah-mudahan kegiatan ini bermanfaat
bagi semua pihak.
Aditif atau bahan imbuh dibuat melalui hidrogenasi batubara pada suhu 400-500oC dan
tekanan hidrogen 10-50 bar dengan tar sebagai pelarut. Tar yang digunakan adalah
produk limbah poses gasifikasi batubara. Tujuan dari penelitian ini adalah mencoba
membuat aditif dari batubara peringkat rendah (BPR) untuk campuran bahan baku
pembuatan kokas metalurgi. Penelitian ini merupakan lanjutan yang dimulai sejak tahun
2010. Tahun anggaran 2012, penelitian difokuskan pada proses pre treatment pada BPR
dari Kampar Kiri (Riau), Jambi, Wahau dan Pendopo sebelum proses hidrogenasi.
Teknologi hydrothermal dewatering (HTD) menjadi alternatif proses pre-treatment karena
HTD mampu menghasilkan batubara kering dengan kandungan oksigen rendah.
Percobaan dilakukan dalam autoclave pada suhu 400ºC dengan tekanan hidrogen awal
bervariasi 10, 20, 30, 40 sampai 50 bar dengan katalis, tanpa atau dengan penambahan
sulfur. Hasil penelitian menyatakan bahwa proses hydrothermal terhadap batubara BPR
dapat menurunkan kandungan air berturut-turut dari yang semula 10,46 - 17,37 (%adb)
menjadi 5,17 - 2,71 (%adb) serta meningkatkan nilai kalor dari yang semula 4932 - 5819
kkal/kg menjadi 8056 - 8993 kkal/kg. Proses hidrogenasi terhadap BPR yang telah
dihydrothermal pada umumnya meningkatkan kandungan hidrogen terkoreksi dari 4,0 (%,
adb) menjadi 5,0-6,0 (%, adb) sedangkan oksigen terkoreksi turun drastis 17,8 menjadi 3,2
(%, adb). H/C produk hidrogenasi dan produk hydrothermal 0,6 dan 0,7, mengalami
penurunan dari nisbah H/C batubara asal yakni antara 0,7 dan 0,9. Kokas hasil percobaan
yang berasal dari batubara Jambi dan Wahau mempunyai kuat tekan berturut-turut 3,98
dan 1,54 (kN) serta densiti 1,46 dan 1,32 (g/cm3). FSI masing-masing bernilai 1. Residu
produk pre-treatment dan hidrogenasi BPR bisa digunakan sebagai aditif pembuatan
kokas metalurgi dengan melakukan beberapa kali lagi percobaan untuk mendapatkan
kondisi reaksi yang optimum.
Halaman
Gambar
1.1 Ilustrasi rekasi hidrogenasi pelarut (1) dan
reaksi hidrogenasi batubara (2) ............................................................... 3
1.2 Road map pembuatan aditif dari batubara peringkat rendah untuk
kokas metalurgi ...……………………………………………………………… 3
1.3 Peta lokasi pengambilan contoh di Pekanbaru ...................................................... 5
2.1 Contoh komposisi blending batubara untuk
pembuatan kokas di Jepang ..................................................................... 12
2.2 Hubungan antara reflektan beberapa
jenis batubara dengan fluiditas ...................................................................... 13
2.3 Hubungan antara reflektan dan kemampuan
donor hidrogen dari batubara ............................................................................ 14
4.1 Peralatan otoklaf 500 CC ……………… ..................................................... 16
5.1 Jalan menuju lokasi yang rusak berat ......................................................................... 19
5.2 Lokasi sekitar pengambilan batubara di
daerah ke Muara Selaya, Durian Tumbang ............................................................ 19
5.3 Diagram alir preparasi pelarut ………………………. .................................. 22
5.4 Pengaruh tekanan hidrogen terhadap nisbah VM/FC
setelah hidrogenasi dengan katalis ...............…......................................................... 34
5.5 Pengaruh tekanan hidrogen terhadap nisbah VM/FC
setelah hidrogenasi dengan katalis ditambah sulfur............................................ 35
5.6 Pengaruh tekanan hidrogen terhadap nisbah VM/FC
setelah hydrothermal dan hidrogenasi dengan katalis ....................................... 36
5.7 Grafik pengaruh tekanan hidrogen terhadap nilai kalor
setelah hidrogenasi tanpa hydrothermal .................................................................. 37
5.8 Grafik pengaruh tekanan hidrogen terhadap nilai kalor
setelah hydrothermal dan hidrogenasi ....................................................................... 38
Khusus untuk bidang metalurgi kebutuhan akan kokas sebagai reduktor sangat besar, dan
sampai saat ini masih dipenuhi oleh kokas impor. Pada tahun 2006 kebutuhan besi baja
dalam negeri ± 6,2 juta ton tetapi industri baja dalam negeri hanya mampu memproduksi
besi baja ± 3,8 juta ton. Pada tahun 2011 ini kebutuhan baja Indonesia diperkirakan ± 8-9
juta ton dan hanya 4-5 juta ton yang dapat dipenuhi oleh industri besi baja dalam negeri.
Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan besi baja dalam negeri karena besi baja
adalah material yang sangat dibutuhkan untuk membangun industri di Indonesia.
Lebih dari 90% besi baja di dunia dibuat dengan cara reduksi tidak langsung (in-direct
reduction) menggunakan kokas dalam tanur tiup (Blast Furnace). Namun di Indonesia, saat
ini, besi baja diproduksi dengan cara reduksi langsung (direct reduction) menggunakan
gas alam tetapi dalam waktu mendatang Indonesia juga akan menggunakan proses tidak
langsung. Meningkatnya penggunaan proses tidak langsung untuk produksi besi baja di
dunia tentu saja akan meningkatkan kebutuhan kokas.
Teknologi pembuatan kokas dari batubara jenis coking telah lama dikenal, namun
penggunaan batubara Indonesia yang umumnya berperingkat rendah untuk
menghasilkan kokas metalurgi masih harus dipelajari. Mengingat jumlah batubara coking
di Indonesia terbatas dan belum terinventarisasi, sedangkan batubara non coking banyak
Salah satu teknologi yang sedang dipelajari adalah pembuatan aditif dari BPR untuk
campuran bahan baku pembuatan kokas metalurgi. Konversi BPR menjadi aditif secara
teknologi memungkinkan dan diperkirakan menarik secara komersial. Kegiatan penelitian
pembuatan aditif ini sudah dilakukan sejak 2010. Pada tahun anggaran tersebut dilakukan
uji coba pembuatan aditif dari batubara peringkat tinggi (BPT) (nilai kalor > 5500 kkal/kg)
dengan katalis pyrrhotite yang terbentuk dari reaksi antara belerang dan limonit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa aditif dapat dibuat dengan cara hidrogenasi batubara.
Proses hidrogenasi menurunkan nisbah O/C dan menjaga konstan nisbah H/C.
Berkurangnya jumlah oksigen dan adanya hidrogen yang cukup menyebabkan batubara
yang semula tidak mempunyai sifat caking menjadi bersifat caking dan dapat dipakai
sebagai aditif. Kelemahan proses ini adalah adanya katalis yang bercampur dengan aditif
sehingga proses ini menghasilkan aditif yang mempunyai kadar abu dan belerang tinggi.
Pada tahun anggaran 2011 aditif dibuat dari BPR dengan nilai kalor <5500 kkal/kg, selain
itu proses hidrogenasi didesain menjadi dua tahap. Pada awalnya akan dilakukan
hydrogenasi solvent (pelarut) (reaksi 1) yang diikuti proses pemisahan pelarut yang
terhidrogenasi dengan katalis. Selanjutnya pelarut yang telah terhidrogenasi dipakai
untuk menghidrogenasi batubara (reaksi 2). Rangkaian proses tersebut diilustrasikan
seperti pada reaksi 1 dan reaksi 2 di bawah ini. Dengan membuat tahapan proses tersebut
(katalis tidak bercampur batubara) maka katalis dapat dipakai kembali dan aditif yang
dihasilkan mempunyai kadar abu dan belerang rendah.
Permasalahan yang dihadapi pada hidrogenasi BPR adalah konsumsi hidrogen yang
tinggi karena kandungan oksigen pada BPR yang tinggi. Untuk itu pada tahun anggaran
2012 dilakukan proses treatment pada BPR sebelum proses hidrogenasi (pre-treatment).
Teknologi hydrothermal dewatering (HTD) menjadi alternatif proses pre-treatment karena
HTD mampu menghasilkan batubara kering dengan kandungan oksigen rendah. Road
map kegiatan pembuatan aditif dari batubara Indonesia terlihat pada Gambar 1.2.
Penguasaan teknologi
Uji coba pembuatan pembuatan aditif dari BPR
bahan pengikat dari (lignit) untuk kokas
batubara bituminous metalurgi
Goal
Penguasaan sistem
pembuatan bahan
baku kokas
2010 2011 metalurgi berbasis
2012 2013
batubara non
coking dengan
bantuan aditif
Gambar 1.2. Road Map pembuatan aditif dari BPR untuk kokas metalurgi
Pada kegiatan tahun anggaran 2010 penelitian menggunakan batubara dari 3 (tiga) lokasi
yakni PT. Tanito Harum (Kaltim), PD. Baramarta (Kalsel) dan PT. Air Laya (Sumsel). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ke tiga batubara tersebut yang non caking dapat diubah
menjadi caking setelah dihidrogenasi pada tekanan 30 bar dengan menggunakan katalis
laterit. Untuk tahun anggaran 2011 jenis batubara lebih divariasikan agar pengaruh
karakteristik batubara seperti kadar abu, peringkat dan kadar air batubara terhadap
pembentukan Artificial Caking Coal (ACC)/SRC dapat diketahui. Batubara yang digunakan
diambil dari PT. Bukit Asam, Unit Pertambangan Ombilin (UPO, Sumatera Barat) dan PT.
Marunda Grahamineral (MGM, Kalimantan Tengah). Pelarut yang digunakan adalah tar
berasal dari PT. Jun Shin, Medan (Sumatera Utara) dan PT. Sango, Semarang (Jawa
Tengah). Selain katalis laterit juga digunakan katalis NiMo.
Anggaran tahun 2012 penelitian pembuatan aditif dari batubara dilanjutkan dengan
penambahanan lokasi asal batubara yakni batubara Riau, Jambi, Pendopo dan Muara
Wahau. Ruang lingkup kegiatan optimasi proses hidrogenasi batubara untuk pembuatan
bahan pengikat adalah sebagai berikut:
a. Pengambilan sampel batubara
b. Pretreatment batubara
c. Percobaan hidrogenasi beberapa jenis batubara dengan beberapa variabel percobaan
(tekanan dan penambahan katalis)
d. Pengujian sifat kimia dan sifat fisika aditif
e. Pengujian daya ikat aditif
d. Evaluasi hasil percobaan
1.3 Tujuan
Menemukan metoda pembuatan aditif untuk kokas yang paling efisien dengan bahan
baku batubara BPR Indonesia. Salah satu metodanya adalah mengoptimalisasi proses
hidrogenasi batubara. BPR ini murah tapi cukup banyak mengkonsumsi hidrogen
sehingga memerlukan pre-treatment sebelum hidrogenasi.
Untuk tahun 2012 contoh batubara diambil dari beberapa lokasi di Sumatera Selatan
(Riau). Secara administratif lokasi pengambilan contoh termasuk kecamatan Kampar Kiri
dan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Secara geografis terletak antara
0o00!00!! lintang selatan dan 100o52!30!! – 101o07!30!! Bujur timur (Gambar 1.3).
Proses hydrothermal
Prosedur hydrothermal treatment dilakukan dengan memanaskan batubara pada suhu
320 – 4000C dengan penambahan air di dalam autoclave dalam kondisi vakum udara.
Menurut Timpe, dkk. (2001), proses hydrothermal tidak hanya mengurangi kadar air
batubara tetapi juga mengurangi kadar sulfur batubara tersebut. Selanjutnya prosedur ini
dianggap sebagai salah satu proses upgrading batubara terutama untuk BPR.
Batubara adalah suatu molekul besar (macro molecule) bermatriks polimer yang tersusun
dari kluster-kluster senyawa aromatik yang berikatan satu dengan lainnya melalui suatu
jembatan (bridge). Jembatan ini umumnya dalam bentuk senyawa alifatik tetapi unsur
lainnya seperti oksigen dan belerang juga terdapat pada senyawa penyusun jembatan
tersebut. Jembatan yang mengandung oksigen misalnya adalah eter yang mempunyai
ikatan lemah. Kekuatan ikatan antar kluster aromatik tersebut bervariasi karena jumlah,
jenis dan komposisi jembatan yang menghubungkan kluster aromatik tersebut juga
bermacam-macam jenisnya.
Proses ini dikontrol oleh temperatur reaksi, tekanan dan waktu reaksi. Setiap batubara
memiliki kondisi optimum percobaan yang berbeda-beda. BPR terdiri atas sejumlah
oksigen dalam bentuk asam karbosilat dan garam karbosilat yang menyebabkan nilai
kalor batubara rendah dan kadar air yang tinggi. Molekul asam karbosilat memiliki ikatan
polar yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul lainya terutama air. Ikatan
ini akan terurai dengan kenaikan suhu di atas 1500C, karbondioksida yang terbentuk akan
membantu proses dewatering dengan mengeluarkan air dari pori-pori batubara. Proses
evolusi dari karbondioksida akan mengurangi kandungan oksigen dari batubara dan
meningkatkan kandungan karbon.
Hydrothermal treatment juga efektif terhadap upgrading dan dewatering gambut. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Mursito, dkk. (2010) terhadap gambut yang berasal
dari Pontianak, menunjukan bahwa dari proses hydrothermal yang dilakukan dengan
menggunakan suhu 150 - 3800C, karbon pada gambut meningkat dari 37,6 menjadi 65,9
wt%. Zat terbang menurun dari 62,4 menjadi 34,1 wt%. Abu relatif stabil selama proses
tersebut dan sulfur juga relatif rendah, hanya 0,1wt%. Selain itu pada proses hydrothermal
ini terjadi proses pembatubaraan, dimana gambut yang telah mengalami proses
hydrothermal mengalami perubahan menjadi peringkat lignit - subbituminus.
Timpe, dkk. (2001), dalam penelitiannya menyatakan bahwa air pada proses hydrothermal
pada kondisi supercritical dapat berfungsi sebagai pelarut, pereaksi dan pentransfer
energi untuk mengurangi sulfur dan unsur runutan yang terkandung di dalam batubara.
Fraksi dengan titik didih kurang dari 110oC terdiri atas sebagian besar air dan sisanya
adalah cairan ammonia. Fraksi dengan titik didih 110-210oC dinamakan fraksi minyak
ringan yakni benzena, toluena dan xylena. Fraksi ke tiga yaitu fraksi dengan titik didih
210-240 oC terdiri atas minyak karbolik dan naftalena. Fraksi ke empat (240-370 oC)
dinamakan minyak creosote yang mengandung sebagian besar antrasena, phenantrena
dan lain-lain. Di atas 370oC didapatkan residu yang dapat diekstrak untuk menghasilkan
pitch.
Penelitian konversi tar menjadi produk lain yang lebih berharga telah dilakukan sejak
puluhan tahun yang lalu. Strohm et. al. (2002) telah meneliti penggunaan komponen tar
batubara untuk bahan bakar pesawat jet yang berkecepatan melebihi kecepatan suara.
Suhu mesin pesawat jenis ini sangat tinggi sehingga menyebabkan bahan bakar jenis
parafin dari minyak bumi tidak cocok karena membentuk karbon padat (coking). Salah
satu solusinya adalah mengganti bahan bakar jet tersebut dari jenis naftena yang
diekstrak dari batubara. Hasil penelitian menunjukkan bahan bakar jenis naftena lebih
tahan terhadap suhu tinggi (sampai dengan 771oC) dibandingkan bahan bakar mesin jet
yang berasal dari minyak bumi atau jenis paraffin (Clifford, 2008).
Katalis hydrotreating minyak bumi telah berkembang pesat sehingga kandungan hetero-
atom dalam minyak bumi dapat diturunkan sedemikian rendah untuk memenuhi standar
lingkungan yang semakin lama semakin ketat. Berbeda dengan perkembangan
hydrotreating minyak bumi, pengembangan hydrotreating minyak batubara masih
mengalami kendala biaya yang mahal karena terjadinya deaktivasi katalis dan tingginya
Peracunan pada katalis logam didasarkan pada sifat struktur elektron dari racun dalam
fasa gas dan elektron dari katalis dalam fasa padat. Peracunan terjadi karena racun
diserap oleh situs aktif katalis membentuk kompleks yang teradsorpsi secara kimia. Racun
yang efektif pada proses deaktivasi katalis adalah racun yang mengandung unsur N, P, As,
Sb, O, S, Se Te dan molekul yang mengandung ikatan rangkap, misalnya CO. Logam berat
(Hg, Pb, Bi, Sn, Zs, Cd, Cu) juga dapat menurunkan aktivitas katalis. Kebanyakan proses
peracunan katalis adalah proses irreversible (tidak dapat balik), sehingga katalis yang telah
teracuni harus diganti atau diregenerasi bila memungkinkan.
b. Pencemaran
Tipe proses pencemaran katalis yang paling umum dalam industri kilang minyak adalah
pembentukan kokas (endapan karbon). Kokas terbentuk selama reaksi katalisis, dan bukan
merupakan pengotor yang sudah ada dalam umpan. Pada hydrotreating minyak batubara,
sumber pembentukan kokas adalah asfalten. Senyawa ini mempunyai ukuran yang relatif
besar sehingga dapat menutupi bukaan (cavity) yang menutup akses ke pori-pori (Maity,
et.al., 2003). Untuk menghindari pembentukan kokas fraksi dengan titik didih tinggi harus
dipisahkan sebelum hydrotretaing atau melakukan coprocessing dengan minyak bumi.
Pembuatan kokas
Kokas yang dipakai untuk proses peleburan bijih besi dalam blast furnace mempunyai
persyaratan yang sangat ketat sehingga hanya dapat dibuat dengan menggunakan
batubara atau campuran beberapa batubara dengan komposisi tertentu. Gambar 2.1
adalah contoh komposisi blending batubara untuk pembuatan kokas di Jepang pada
tahun 1970 s/d 1978. Dalam kurun waktu tersebut Jepang mengurangi prime coking coal
dari Amerika yang mahal dan menggantinya dengan prime coking coal dari Australia dan
Kanada. Komposisi dalam blending batubara tetap sama yaitu sekitar 50% prime coking
coal, 20% medium coking coal dan 30% weakly coking coal dan non-coking coal.
Sebelum kegiatan penelitian dilakukan studi pustaka yang diperoleh baik dari internet
maupun dari perpustakaan.
Persiapan Penelitian
Pembuatan pelarut (destilasi tar batubara)
Preparasi dan analisis batubara
- Pengecilan ukuran batubara -200 mesh
- Analisis kimia
Preparasi katalis besi laterit
Penelitian
a. Pre-treament batubara
- Pre-treatment dengan cara hydrothermal
b. Analisis batubara hasil hydrothermal
c. Hidrogenasi batubara terhadap masing-masing batubara hasil pre-treatment
d. Analisis hasil hidrogenasi
e. Uji daya ikat aditif
3.4 Koordinasi
Koordinasi dilakukan dengan Puslitbang yang ada di lingkungan Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral dan perusahan-perusahan yang ada kaitannya dengan kegiatan
penelitian. Tujuan koordinasi ini adalah supaya ada sinergi dengan kementerian lainnya
dan mencegah adanya penelitian yang sama dengan instansi lain dan menjalin kerjasama
penelitian. Sosialisasi pada perusahaan yang potensial sebagai pengguna kokas yaitu
Aneka Tambang dan Krakatau Steel juga dilakukan.
Geologi umum
Stratigrafi
Daerah penyelidikan termasuk dalam Peta Geologi Lembar Solok. Berdasarkan Kerangka
Tektonik Cekungan Sedimen Tersier Indonesia Bagian Barat. Peta Geologi Lembar Solok
merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Tengah. Di dalam Cekungan Sumatera
Tengah terdapat beberapa sub cekungan. Daerah penelitian termasuk ke dalam
Cekungan ”Intra Montane” (Sub cekungan dari Cekungan Sumatera Tengah) yang dibatasi
oleh batuan Pra Tersier sebagai batuan dasar.
Sedimentasi Cekungan Sumatera Tengah dimulai pada Paleogen, yang dicirikan oleh
batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan batulanau yang diendapkan pada
lingkungan ”fluvio”-”lacustrine paludal”, disebut sebagai Formasi Pematang. Selanjutnya
pada Awal Miosen terjadi fase transgresi yang dicirikan oleh batupasir berbutir sedang-
kasar, serpih batulanau, batubara dan gamping yang diendapkan dalam lingkungan
”fluvial channel” hingga laut terbuka, disebut sebagai Kelompok Sihapas dan Formasi
Telisa.
Gambar 5.2 Lokasi sekitar pengambilan batubara di daerah ke Muara Selaya, Durian
Tumbang
Endapan Batubara
Merujuk pada Peta Geologi Lembar Solok Sumatera maka formasi yang dianggap sebagai
formasi pembawa batubara di daerah penelitian adalah Anggota Bawah Formasi Telisa
yang berumur miosen awal. Formasi ini ditemukan melampar di tengah daerah penelitian
menutupi sekitar 30% dari keseluruhan luas daerah. Dari data para penyelidik terdahulu
pada formasi ini ditemukan adanya lapisan batubara dengan ketebalan antara 2,50 m –
10,00 m. Penyelidikan batubara yang telah di lakukan umumnya dilakukan di daerah
Tangko yang terletak di sebelah selatan daerah penelitian. Sedangkan Anggota Bawah
Formasi Telisa di daerah penelitian sendiri belum pernah diteliti penyebaran dan sumber
daya batubaranya.
Dari semua hasil perhitungan sumber daya batubara dapat dilihat sebagai berikut
(Dihitung per lapisan yang dibatasi oleh parameter-parameter geologi meliputi; Struktur
geologi dan kemiringan lapisan batubara) jumlah sumber daya batubara sebanyak
3.140.800.11 ton (Tim Inventarisasi Batubara Daerah Kampar, 2006).
Berdasarkan data hasil penelitian diketahui sumber daya batubara dengan jumlah yang
cukup banyak dan potensial untuk dikembangkan yaitu 3.140.800,11 ton yang tersebar
pada 4 lapisan batubara terutama di daerah sekitar Desa Muara Selaya dan Desa Lubuk
Agung. Kendala pengembangan yang teramati di lapangan adalah sulitnya akses
transportasi ke lokasi daerah penelitian terutama pada musim hujan semua akses jalan di
daerah ini mengalami kerusakan yang berat. Selain akses transportasi kendala yang
mungkin ditemukan di daerah ini adalah morfologi daerah karena batubara ditemukan
umumnya merupakan perbukitan. Tujuan pengambilan contoh dari lokasi ini adalah
untuk memanfaatkan batubara dari lokasi tersebut karena contoh batubara dari lokasi lain
di propinsi Riau seperti batubara Peranap telah sering diambil contohnya untuk kegiatan
penelitian.
Pelarut yang digunakan dalam pembuatan aditif adalah tar hasil gasifikasi dari Palimanan.
Tar batubara tersebut dipreparasi dulu sebelum digunakan dengan jalan dipisahkan
residu dan minyak ringannya dengan cara destilasi. Tar fraksi menengah 250-350oC
dihidrogenasi dengan bantuan katalis. Selanjutnya destilasi dilakukan lagi agar
didapatkan hydrogenated solvent fraksi menengah yang tidak mengandung katalis
sebagai bahan baku hidrogenasi batubara. Gambar 5.3 adalah tahapan preparasi pelarut
tar batubara.
Tar batubara
Katalis
Hidrogenasi
Hidrogen
Hydrogenatedsolvent
Hydrogenated solvent,
fraksi 250-350OC
5.3.1 Hasil analisis proksimat, ultimat, nilai kalor dan nilai muai bebas (FSI) batubara
Hasil analisis proksimat, ultimat, nilai kalor dan FSI batubara Kampar Kiri (Riau), Jambi,
Wahau dan Pendopo dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Analisis proksimat, ultimat, dan nilai kalor bertujuan untuk menentukan peringkat
batubara dan pengaruhnya terhadap proses pembuatan bahan pengikat. Peringkat
batubara ditentukan dari tahapan-tahapan yang telah dilalui batubara mulai dari sisa-sisa
tumbuhan yang membusuk sampai pada tahap pembentukan antrasit. Beberapa
parameter yang cukup penting dalam penentuan peringkat batubara adalah:
Reflektansi
Peringkat batubara bisa ditentukan dengan mengukur reflektansi vitrinitnya. Nilai
reflektansi vitrinit sangat dipengaruhi oleh tingkat pembatubaraannya, dan oleh karena
itu sering dipakai sebagai parameter peringkat batubara. Vitrinit ini dipilih untuk
penentuan peringkat batubara. Beberapa alasan mengapa vitrinit dipakai dalam
penentuan peringkat batubara, antara lain:
Selalu hadir dalam setiap batubara; mudah diidentifikasi di bawah mikroskop dan
dicirikan oleh kenaikan reflektifitas selama proses pembatubaraan.
Dari Tabel 5.1 terlihat kandungan oksigen dalam batubara Jambi, Wahau dan Pendopo
relatif tinggi, hal ini merupakan karakter dari batubara peringkat rendah. Melalui proses
hidrogenasi ini diharapkan kandungan oksigen nya akan menurun dan kandungan
hidrogennya akan meningkat. Kandungan oksigen dalam batubara Kampar Kiri terlihat
rendah dibandingkan dengan batubara Jambi, Wahau dan Pendopo hanya 7,05%. Untuk
batubara Kampar Kiri ini ada kemungkinan bahwa batubara tersebut mengandung
mineral yang lain karena kandungan abunya sangat tinggi yakni lebih dari 60% (adb).
Kandungan abu ini sangat berpengaruh dalam pembuatan aditif. Maka dari itu batubara
Kampar Kiri cenderung kurang cocok untuk di buat aditif karena kandungan abunya yang
terlalu tinggi.
Untuk mengetahui klasifikasi batubara yang digunakan diperlukan data zat terbang,
karbon padat dan nilai kalor dalam basis dried mineral matter free (dmmf), hasil analisis
tercantum dalam Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil analisis zat terbang, karbon padat dan nilai kalor dalam moist
mineral matter free (mmmf) untuk penentuan klasifikasi (ASTM)
Parameter Analisis Jambi Wahau Pendopo Kampar (Riau) Metode
Zat terbang (% mmmf) 57,69 56,72 54,60 25,64 D 388-05
Karbon padat (% 42,31 43,28 45,40 74,36 D 388-05
mmmf)
Nilai kalor (kal/g, 10.598 10.775 9.514 12.659 D 388-05
mmmf
Batubara Jambi
Parameter Analisis
0 bar 10 bar 20 bar 30 bar 40 bar 50 bar
Air lembab (% adb) 10,46 3,86 6,42 5,12 4,20 5,20
Abu (% adb) 2,71 7,56 7,62 7,16 8,22 8,61
Zat terbang (% adb) 45,08 42,26 39,82 43,58 39,57 43,70
Karbon padat (% adb) 41,75 46,32 46,14 44,14 48,01 42,49
Karbon (% adb) 63,73 82,70 82,00 81,87 80,97 80,88
Hidrogen (% adb) 5,50 5,29 5,29 5,48 5,34 5,35
Hidrogen * 4.34 4,86 4,58 4,91 4,87 4,77
Nitrogen (% adb) 0,85 1,22 1,28 1,20 1,24 1,31
Total sulfur (% adb) 0,08 0,37 0,38 0,36 0,42 0,45
Oksigen (% adb) 27,13 2,86 3,43 3,93 3,81 3,40
Oksigen * 17,83 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00
H/C * 0,73 0.68 0,62 0,68 0,69 0,67
O/C * 0,19 0,00 0,00 0,00 0.00 0,00
Nilai kalor (kal/g, adb) 5.715 6.461 6.351 6.262 6.556 6.088
Nilai Muai Bebas (FSI) 0 1 1 1 1 1,5
Catatan: adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Abu dalam batubara Jambi setelah proses hidrogenasi dengan bantuan katalis terlihat
meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan hidrogen, hal ini disebabkan pengaruh
penambahan katalis. Sebagian katalis akan menjadi abu apabila dihidrogenasi, akibatnya
abu hidrogenasi meningkat. Karbon total seperti terihat pada Tabel 5.3 naik signifikan dari
semula 63,73 menjadi >80%. Melalui proses hidrogenasi, air dalam batubara akan turun
dengan turunnya air lembab maka nilai kalor batubara tersebut akan naik. Hidrogen total
relatif tetap, namun hidrogen terkoreksi mengalami kenaikan disebabkan air lembab
mengalami penurunan, karena dalam perhitungan hidrogen terkoreksi itu air lembab
sangat berpengaruh. Sebaliknya oksigen yang terkoreksi menurun tajam seiring dengan
kenaikan tekanan hidrogen.
Tabel 5.4 Hasil percobaan hidrogenasi batubara Pendopo
dengan katalis laterit tanpa Sulfur (T=400ºC)
Parameter Batubara Pendopo
Analisis 0 bar 10 bar 20 bar 30 bar 40 bar 50 bar
Air lembab (% adb) 17,37 4,13 4,99 3,91 3,29 4,03
Abu (% adb) 6,19 8,74 8,90 9,25 9,50 10,02
Zat terbang (% adb) 41,54 37,73 37,93 49,12 41,71 41,89
Karbon padat (% adb) 34,90 49,40 48,19 46,71 45,50 44,06
Karbon (% adb) 53,79 81,34 81,20 80,21 79,83 80,13
Hidrogen (% adb) 6,65 4,98 5,17 5,02 5,14 5,24
Hidrogen* 4,72 4,52 4,62 4,59 4,77 4,79
Nitrogen (% adb) 0,80 1,27 1,29 1,32 1,28 1,25
Total sulfur (% adb) 0,29 0,48 0,46 0,43 0,45 0,46
Oksigen (% adb) 32,28 3,19 2,98 3,77 3,80 2,90
Oksigen* 16,84 0,00 0,00 0,29 0,88 0,00
H/C * 0,87 0,64 0,65 0,66 0,69 0,69
O/C * 0,19 0,00 0,00 0,005 0,01 0,00
Nilai kalor (kal/g, adb) 4.932 6.648 6.519 6.436 6.359 6.206
Nilai Muai Bebas (FSI) 0 1 1 1 1 1,5
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Tabel 5.6, 5.7, dan 5.8 menampilkan analisis hasil percobaan hidrogenasi untuk batubara
Pendopo, Jambi dan Wahau menggunakan katalis laterit ditambah sulfur. Dari tabel
tersebut terlihat tekanan reaksi berpengaruh terhadap semua parameter batubara. Pada
umumnya parameter yang dianalisa mengalami kenaikan, bila dibandingkan dengan hasil
dari percobaan tanpa sulfur seperti yang tertera pada Tabel 5.3, 5.4 dan 5.5. Contohnya,
abu pada percobaan menggunakan katalis ditambah sulfur kenaikannya lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa sulfur, karena laterit ini adalah merupakan mineral anorganik
menghasilkan abu setelah proses. Sulfur sebagian keluar menjadi H2S sebagian lagi
Proses hidrogenasi ini pada penelitian tahun 2011 telah dilakukan terhadap batubara
yang berkalori tinggi yakni batubara Tanito Harum, Baramarta dan Air Laya. Untuk
membandingkan pengaruh proses hidrogenasi terhadap peringkat batubara dapat dilihat
pada Tabel 5.9.
Parameter analisa Tanito Harum Baramarta Air Laya Jambi Wahau Pendopo
Proksimat
Ultimat
Dilihat dari data nilai kalor batubara Tanito Harum, Baramarta dan Air Laya >6.000 kal/g
ke tiga batubara tersebut termasuk batubara kalori tinggi, sedangkan batubara Jambi,
Wahau dan Pendopo yang berkalori <6.000 kal/g termasuk batubara berkalori sedang.
Setelah dihidrogenasi pada suhu 400ºC tekanan 30 bar dengan penambahan katalis nilai
kalor ke enam batubara tersebut menjadi >6.000 kal/g. Hal ini menunjukkan bahwa
proses hidrogenasi batubara dapat meningkatkan nilai kalor baik untuk batubara
Proses hydrothermal dilakukan terhadap batubara Jambi, Pendopo dan Wahau pada suhu
350⁰C, dengan tekanan nitrogen 30 bar serta waktu reaksi 30 menit. Produk batubara
hasil proses hydrothermal selanjutnya dihidrogenasi pada suhu 400ºC, tekanan bervariasi
(10, 20, 30, 40, dan 50 bar) dengan katalis laterit tanpa sulfur. Hasil penelitian ditampilkan
pada Tabel 5.10, 5.11 dan 5.12.
Tabel 5.10 Hasil analisis proksimat, ultimat, nilai kalor dan FSI batubara Jambi
setelah proses hydrothermal dan hidrogenasi dengan katalis tanpa sulfur (T=400ºC)
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Tabel 5.10 memaparkan hasil analisis setelah pre-treatment dengan proses hydrothermal
terhadap batubara Jambi pada tekanan hidrogen yang bervariasi. Dari Tabel 5.10 terlihat
bahwa dengan penambahan air kemudian di panaskan pada suhu 350⁰C dapat
Tabel 5.11 Hasil analisis proksimat, ultimat, nilai kalor dan FSI batubara Pendopo
setelah proses hydrothermal dan hidrogensi dengan katalis tanpa sulfur (T=400ºC)
Catatan : adb = air dried basis; * = terkoreksi; FSI= Free Sweling Index
Tabel 5.12 Hasil analisis proksimat, ultimat, nilai kalor dan FSI batubara Wahau
setelah proses hydrothermal dan hidrogenasi dengan katalis tanpa sulfur (T=400ºC)
Tabel 5.12 adalah hasil analisis proksimat, ultimat dan FSI batubara Wahau yang telah
mengalami proses hydrothermal dan hidrogenasi. Dari tabel di atas terlihat kondisinya
cenderung sama dengan kondisi batubara Jambi dan Pendopo. Air lembab menurun dari
12,34 menjadi yang terendah dari hasil hidrogenasi pada tekanan 30 bar yakni 2,45%.
Turunnya air lembab mengakibatkan nilai kalor naik dari 5.819 sampai paling tinggi 8.243
5.4.5 Pengaruh ratio VM/FC terhadap tekanan pada proses hidrogenasi dengan
katalis
Dari Tabel 5.3, 5.4 dan 5.5 dihitung kandungan zat terbang (VM) dan karbon padat (FC)
menjadi dry basis (db) selanjutnya dihitung ratio VM/FC. Tujuannya adalah untuk
mengetahui masuknya atom H ke dalam karbon padat menjadi gas. Hasil perhitungan
terhadap variabel tekanan dapat dilihat pada Gambar 5.4, 5.5 dan 5.6.
1,20
1,00
RASIO VM/FC
0,80 JAMBI
0,60 WAHAU
0,40 PENDOPO
0,20
0,00
0 20 40 60
Tekanan (bar)
Gambar 5.4 Pengaruh tekanan hidrogen terhadap nisbah VM/FC setelah hidrogenasi
dengan katalis
Dari Gambar 5.4 terlihat bahwa nisbah VM/FC untuk batubara Jambi dan Wahau
cenderung meningkat sampai pada tekanan 30 bar kemudian turun dan naik lagi pada
tekanan hidrogen 50 bar, meskipun kenaikannya untuk batubara Wahau terlihat terlalu
tajam dibandingkan dengan kenaikan nisbah VM/FC untuk batubara Jambi. Untuk
batubara Pendopo nisbah VM/FC terlihat fluktuatif, kenaikan tertinggi pada tekanan 30
bar kemudian menurun pada tekanan 40 bar dan sedikit naik pada tekanan 50 bar.
Gambar 5.5 menunjukkan pengaruh nisbah VM/FC terhadap tekanan hidrogen setelah
proses hidrogenasi dengan katalis ditambah sulfur. Dari gambar tersebut terlihat dengan
jelas bahwa nisbah VM/FC batubara Jambi mengalami kenaikan yang signifikan seiring
dengan kenaikan tekanan hidrogen, kenaikannya mencapai lebih dari 2 pada tekanan 50
bar. Nisbah VM/FC batubara Pendopo kenaikannya relatif rendah dibandingkan kenaikan
nisbah VM/FC batubara Jambi hanya mencapai sekitar 1.20, untuk nisbah VM/FC batubara
Wahau kenaikannya fluktuatif. Dari Gambar 5.5 dapat dikatakan bahwa proses masuknya
hidrogen yang mengubah karbon padat menjadi gas untuk batubara Jambi pada proses
hidrogenasi dengan penambahan katalis dan sulfur lebih banyak dibandingkan hasil
masuknya hidrogen ke dalam batubara Pendopo dan Muara Wahau. Penambahan katalis
dan sulfur meningkatkan nisbah VM/FC, karena sulfur dalam proses hidrogenansi ini
berubah menjadi pyrrhotite yang dapat mempercepat reaksi hidrogenasi.
2,50
2,00
1,50 JAMBI
Rasio VM/FC
WAHAU
1,00
PENDOPO
0,50
0,00
0 20 40 60
Tekanan (bar)
Gambar 5.5 Pengaruh tekanan hidrogen terhadap nisbah VM/FC setelah hidrogenasi
dengan katalis ditambah sulfur
Pengaruh proses hydrothermal sebelum hidrogenasi sangat positip dilihat dari kenaikan
nisbah VM/FC seperti yang terlihat pada Gambar 5.6. Kenaikan yang stabil terlihat dari
nisbah VM/FC batubara Jambi kenaikannya mencapai 1,58. Nisbah VM/FC batubara
Wahau mengalami penurunan pada tekanan hidrogen 40 bar kemudian naik tajam
sampai 1,77. Nisbah VM/FC untuk batubara Pendopo naik meskipun kenaikannya hanya
sampai 1,04.
Dari Gambar 5.6 dapat dikatakan bahwa makin tinggi tekanan hidrogen, nisbah VM/FC
cenderung naik. Terlihat dari gambar tersebut nisbah VM/FC melalui hydrothermal
kenaikannya lebih tinggi dibandingkan dengan nisbah VM/FC tanpa proses hydrothermal.
Hal ini berarti proses hydrothermal sebelum hidrogenasi berhasil memasukkan hidrogen
lebih banyak ke dalam karbon padat menjadi gas dibandingkan dengan tanpa
hydrothermal.
2,00
1,80
1,60
1,40
JAMBI
VM/FC
1,20
Rasio
1,00 WAHAU
0,80
0,60 PENDOPO
0,40
0,20
0,00
0 20 40 60
Tekanan (bar)
Untuk mengetahui pengaruh hydrothermal sebelum hidrogenasi dapat pula dilihat dari
data nilai kalor sebelum dan sesudah hydrothermal seperti pada Gambar 5.7 dan 5.8.
8000
7000
Nilai kalor (kal/g adb)
6000
5000 JAMBI
4000 WAHAU
3000
PENDOPO
2000
1000
0
0 20 40 60
Tekanan (bar)
Gambar 5.7 Grafik pengaruh tekanan hidrogen terhadap nilai kalor setelah proses
hidrogenasi tanpa hydrothermal
Gambar 5.7 adalah grafik yang memperlihatkan hubungan antara tekanan hidrogen dan
nilai kalor setelah proses hidrogenasi tanpa melalui hydrothermal. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa nilai kalor yang semula sekitar >6.500 kal/g (adb) untuk batubara Jambi,
Pendopo dan Wahau, mengalami kenaikan meskipun kenaikannya tidak terlalu signifikan
menjadi sekitar >7.000 kal/g (adb). Dari Gambar 5.7 terlihat juga pada tekanan hidrogen
> 50 bar, nilai kalor untuk ke tiga batubara tersebut mengalami penurunan. Nilai kalor
tertinggi setelah proses hidrogenasi untuk batubara Jambi, Pendopo dan Wahau dicapai
pada tekanan hidrogen 40 bar.
Untuk melihat pengaruh hydrothermal sebelum proses hidrogenasi dibuat grafik yang
tertera pada Gambar 5.8. Dari gambar tersebut terlihat nilai kalor batubara Pendopo naik
signifikan sampai tekanan hidrogen 40 bar mencapai 8.993 kal/g (adb), kemudian turun
menjadi 8.879 kal/g. Nilai kalor batubara Jambi mencapai kenaikan tertinggi pada kondisi
9200
9000
Nilai kalor (kal/g adb)
8800
JAMBI
8600 WAHAU
8400 PENDOPO
8200
8000
0 20 40 60
Tekanan (bar)
Gambar 5.8 Grafik pengaruh tekanan hidrogen terhadap nilai kalor melalui
treatment/hydrothermal sebelum proses hidrogenasi
Berdasarkan Gambar 5.7 dan 5.8 dapat disimpulkan bahwa proses hydrothermal sebelum
hidrogenasi dapat meningkatkan nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan tidak
melalui hydrothermal atau langsung dihidrogenasi, hal ini ada hubungannya dengan
penurunan kadar abu dan kenaikan karbon padat sesudah proses hydrothemal.
Untuk melihat lebih jelas lagi kenaikan nilai kalor setelah hidrogensi melalui atau tanpa
proses hydrothermal dapat dilihat kenaikan nilai kalor dalam basis as received (a.r) dan air
dried basic (adb) seperti yang tertera dalam Tabel 5.13. Dari Tabel 5.13 telihat bahwa
proses hydrothermal dan kemudian hidrogenasi meningkatkan nilai kalor serta
meningkatkan peringkat batubara.
5.4.9 Hubungan antara nisbah atom H/C dan nisbah O/C terhadap produk
hidrogenasi
Dari hasil pengamatan hubungan antar H/C dengan O/C produk hidrogenasi seperti
pada Gambar 5.9 terlihat bahwa produk hidrogenasi batubara Jambi, Pendopo dan
Wahau mempunyai nisbah H/C antara 0,6 dana 0,7 jadi mengalami penurunan dari nisbah
H/C batubara asal (Jambi, Pendopo dan Wahau) yang berkisar antara 0,7 dan 0,9. Hal ini
menunjukkan bahwa ke tiga batubara mengalami peningkatan peringkat batubara
sesudah hidrogenasi.
H/C (%)
0,780
0,500 0,760
0,400 Series1 Series1
0,300 0,740
H/C (%)
0,200 0,720
0,100 0,700
0,000 0,680
0,00 0,02 0,04 0,06 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05
O/C (%) O/C (%)
WAHAU
0,730
0,720
0,710
0,700
H/C (%)
0,690 Series1
0,680
0,670
0,660
0,00 0,02 0,04 0,06
O/C
(%)
Gambar 5.10 adalah hubungan antar H/C dengan O/C produk hydrothermal dan
hidrogenasi. Hasilnya terlihat bahwa produk hydrothermal dan hidrogenasi batubara
mempunyai nisbah H/C sekitar 0,7 jadi penurunannya lebih sedikit dari nisbah H/C produk
hidrogenasi saja. Hal ini cenderung karena setelah hydrothermal kandungan oksigen
berkurang, sehingga hidrogen yang dikonsumsi oksigen sedikit. Sebagian besar batubara
hidrogen dipakai untuk hidrogenasi karbon.
H/C (%)
0,760 0,750
0,740 Series1 0,740 Series1
0,730
0,720 0,720
0,700 0,710
0,700
0,680 0,690
0,00 0,50 1,00 0,00 0,01 0,01 0,02
O/C (%) O/C
(%)
WAHAU
0,860
0,850
0,840
0,830
0,820
0,810
H/C (%)
0,800 Series1
0,790
0,780
0,770
0,760
0,00 0,02 0,04
O/C
(%)
Gambar 5.10. Hubungan antara H/C dengan O/C produk hydrothermal dan
hidrogenasi
Hasil sementara seperti yang tercantum pada Tabel 5.14 menunjukkan bahwa kokas hasil
percobaan dengan batubara Jambi dan Wahau berturut-turut mempunyai kuat tekan 3,9
dan 1,5 (kN) serta densiti berturut-turut 1,46 dan 1,32 (g/cm3). Dibandingkan dengan
kokas dari batubara hasil hidrogenasi di Jepang, nilai uji densiti dan kuat tekan kokas hasil
percobaan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kokas yang dibuat dari batubara
Indonesia peringkat rendah sudah ada peningkatan kualitasnya. Gambar 5.11
menggambarkan briket char menggunakan bahan pengikat binder hasil percobaan
sebelum dan sesudah di karbonisasi. Terlihat ada pengecilan ukuran briket sesudah
dikarbonisasi disebabkan pada saat karbonisasi zat terbang yang masih ada pada char
dan bahan pengikat keluar sehingga terjadi pemadatan.
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian pembuatan aditif dari BPR (Jambi, Pendopo dan Wahau) dapat ditarik
kesimpulan:
Setelah proses hidrogenasi dengan penambahan katalis, karbon total meningkat
signifikan dari 53 -64 menjadi 78-86 (% adb), sebaliknya oksigen menurun drastis
dari 26-33 menjadi 2,9-9,4 (% adb). Kenaikan abu terjadi dari 2,7-6,2 menjadi 4,8-
10,0 (% adb), sedangkan kenaikan abu pada percobaan hidrogenasi dengan katalis
ditambah sulfur dari 2,7-6,2 menjadi 6,6-12,35 (% adb)
Proses treatment dengan hydrothermal sebelum dihidrogenasi menghasilkan nilai
kalor yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kalor hasil proses hidrogenasi
saja yakni <7.400 (kal/g adb), sedangkan melalui hydrothermal dan hidrogenasi
>8.200 kal/g (adb). Kenaikan nalai kalor yang tertinggi dicapai pada tekanan
hidrogen 40 bar untuk batubara Pendopo yakni 8.993 (kal/g adb). Hidrogen
terkoreksi naik dari 4,0 (%adb) menjadi 5,0-6,0 (%adb) sedangkan oksigen
terkoreksi turun drastis dari 17,8 menjadi 3,2 (%adb).
Kenaikan nisbah VM/FC batubara Jambi dan Wahau sesudah proses hydrothermal
mencapai 1,58 dan 1,77. Nisbah VM/FC untuk batubara Pendopo naik meskipun
kenaikannya hanya sampai 1,04.
H/C produk hidrogenasi dan produk hydrothermal serta hidrogenasi H/C 0,6 dan
0,7 mengalami penurunan dari nisbah H/C batubara asal (Jambi, Pendopo dan
Wahau) 0,7 dan 0,9. Hal ini menunjukkan bahwa ke tiga batubara mengalami
peningkatan peringkat batubara baik sesudah hidrogenasi maupun sesudah
hydrothermal kemudian hidrogenasi.
Kokas hasil percobaan yang berasal dari batubara Jambi dan Wahau mempunyai
kuat tekan berturut-turut 398 dan 154 (KgF) serta densiti 1,46 dan 1,32 (g/cm3). FSI
masing-masing bernilai 1. Dibandingkan dengan kokas batubara hasil hidrogenasi
di Jepang hasil uji densiti dan kuat tekan kokas hasil percobaan lebih tinggi
nilainya.
Penelitian ini masih perlu dilanjutkan mengingat masih banyak variabel yang belum
dilakukan untuk mendapatkan hasil aditif yang optimum untuk pembuatan kokas
metalurgi terutama mencari kondisi untuk mendapatkan produk aditif yang mempunyai
sifat coking (FSI) yang tinggi.
VII. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Baker, G.G., Sears, R.E., Maas, D.J., Potas, T.A. and Wilson, W.G., 1986. Hydrothermal
preparation of low-rank coal-water fuel slurries, Energy, Vol. 11, No. 11/12, pp.
1267-1280.
Bartholomew, C.H, 2001, Mechanisms of catalyst deactivation, Applied Catalysis A:
General 212, pp.17–60.
Clifford, C.E.B., Boehman, A., Song, C., Miller, M., and Mitchell, G., 2008. Refinery
Integration of By-Products from Coal-Derived Jet Fuels, FINAL REPORT, The
Pennsylvania State University The Energy Institute C211 Coal Utilization
Laboratory, University Park, PA.
Hambly, E.M., 1998. The Chemical Structure of Coal Tar and Char During
Devolatilization, Master Thesis, Department of Chemical Engineering, Brigham
Young University.
Jiang, J., Wang, Q., Wang, Y., Tong, W. And Xiao, B., 2007. GC/MS Analysis of Coal
Tar Composition Produced from Coal Pyrolysis, Bull. Chem. Soc. Ethiop. 21(2), pp.
229-240.
Maity, S.K., Ancheyta, J., Soberanis, L. and Alonso, F., 2003. Catalysts for
hydroprocessing of Maya heavy crude, Applied Catalysis A: General 253, pp. 125–
134.