You are on page 1of 8

a.

PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun
1948. Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya dalam Perundingan Renville yang
sangat merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada tanggal 28 Juni 1948
Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat.Untuk memperkuat basis massa,Front ini
membentuk organisasi kaum petani dan buruh. Selain itu dengan memancing bentrokan dengan
menghasut buruh. Puncaknya ketika terjadi pemogokan di pabrik karung Delanggu (Jawa
Tengah) pada tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow.
Amir dan Front inipun segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat organisasi, maka
disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan,
terutama di Surakarta.
Oleh PKI daerah Surakarta dijadikan daerah kacau (wildwest). Sementara Madiun dijadikan
basis gerilya. Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya
pemerintahan Soviet di Indonesia. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu yang bersamaan,
gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun. Untuk menumpas pemberontakan
PKI, pemerintah melancarkan operasi militer. Dalam hal ini peran Divisi Siliwangi cukup besar.
Di samping itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di
Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk mengerahkan pasukannya menumpas
pemberontakan PKI di Madiun. Dengan dukungan rakyat di berbagai tempat, pada tanggal 30
September 1948, kota Madiun berhasil direbut kembali oleh tentara Republik. Pada akhirnya
tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Lukman melarikan diri ke Cina dan Vietnam. Sementara itu,
tanggal 31 Oktober 1948 Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang ditangkap oleh pasukan
Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah Purwodadi, Jawa Tengah.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun, maka selamatlah bangsa dan negara
Indonesia dari rongrongan dan ancaman kaum komunis yang bertentangan dengan ideologi
Pancasila.

b. Pemberotakan DI/TII ( Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia)


1. DI/TII Jawa Barat
S M Kartosuwiryo mendirikan (DI/TII ) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di
Indonesia, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam
Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda.
Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh
pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi
hukuman mati 16 Agustus 1962.

2. DI/TII Jawa Tengah


Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak
di daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah
kemudian diangkat sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah dengan pangkat Mayor
Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk
Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen
dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz
Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan pada
tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi
Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di
Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi
kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex
(MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah
Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.

3. DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antargolongan, serta
rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya
pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh
yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari
Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh
diselesaikan dengan strategi operasi militer dan musyawarah.
4. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan
anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut
Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka
yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan
menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik
sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para
pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan
pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan
menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3
Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.
Andi Aziz
Faktor - faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
1. Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara
Indonesia Timur.
2. Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
3. Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Karena tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal 8 April
1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke
Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-
senjata dikembalikan, dan semua tawanan harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan
Worang kemudian disusul oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang
pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah
Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke
Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi
hukuman 15 tahun penjara.

d. APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil )

Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat di kalangan KNIL timbul Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk
Negara Federal Pasundan di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara sendiri pada setiap
negara bagian Republik Indonesia Serikat. APRA mengajukan ultimatum menuntut supaya
APRA diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal
tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah, maka pada tanggal 23 Januari 1950 di
Bandung APRA melancarkan teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA
ini berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di Jakarta ialah menangkap
beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang sedang menghadiri sidang kabinet dan
membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jenderal
Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada Staf Angkatan Perang Kolonel
T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga
sidang kabinet ditunda. Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan
tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri.

e. RMS, ( Republik Maluku Selatan )

Pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan
(RMS) yang dilakukan oleh Dr. Ch. R. S. Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia
Timur,Soumokil. Namun, setelah gagalnya gerakan itu ia melarikan diri ke Maluku Tengah
dengan Ambon sebagai pusat kegiatannya. Untuk itu pemerintah mengutus Dr. Leimena untuk
mengajak berunding. Misi Leimena tidak berhasil karena RMS menolak untuk berunding.
Pemerintah bertindak tegas, pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang
dikirimkan ke Ambon. Dalam pertempuran memperebutkan benteng New Victoria, Letkol
Slamet Riyadi tertembak dan gugur. Pada tanggal 28 September 1950 pasukan ekspedisi
mendarat di Ambon dan bagian utara pulau itu berhasil dikuasai. Tanggal 2 Desember 1963 Dr.
Soumokil berhasil ditangkap selanjutnya tanggal 21 April 1964 diadili oleh Mahkamah Militer
Laut Luar Biasa dan dijatuhi hukuman mati.
f. PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah
dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi
dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan
daerah seperti berikut.
a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri
dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas
ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah bertindak tegas dengan
memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek
yang memimpin gerakan sparatis. Langkah berikutnya tanggal 12 Februari 1958 KSAD A.H.
Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah dan selanjutnya menempatkan langsung di
bawah KSAD.
Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr. Syafruddin
Prawiranegara. Agar semakin tidak membahayakan negara, pemerintah melancarkan operasi
militer untuk menumpas PRRI. Berikut ini operasi militer tersebut.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri
atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan
mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani
berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei
1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
5. Penumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di
bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
• Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol
Sumarsono.
• Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol
Agus Prasmono.
• Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh
Letkol Magenda.
• Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendraningrat
3. Peristiwa G-30-S/PKI 1965.
1). Kondisi Politik Menjelang G 30 S/PKI
Doktrin Nasakom yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk
memperluas pengaruh. Usaha PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi
bangsa yang semakin memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah
satu kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno dan
Angkatan Darat. Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang disebut “aksi
sepihak”. Para petani dan buruh, dibantu para kader PKI, mengambil alih tanah penduduk,
melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan. Untuk melancarkan kudeta, maka PKI membentuk
Biro Khusus yang diketuai oleh Syam Kamaruzaman. Biro Khusus tersebut mempunyai tugas-
tugas berikut.
a. Menyebarluaskan pengaruh dan ideologi PKI ke dalam tubuh ABRI.
b. Mengusahakan agar setiap anggota ABRI yang telah bersedia menjadi anggota PKI dan telah
disumpah dapat membina anggota ABRI lainnya.
c. Mendata dan mencatat para anggota ABRI yang telah dibina atau menjadi pengikut PKI agar
sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya.
Memasuki tahun 1965 pertentangan antara PKI dengan Angkatan Darat semakin meningkat.
D.N. Aidit sebagai pemimpin PKI beserta Biro Khususnya, mulai meletakkan siasat-siasat untuk
melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat-siasat yang ditempuh oleh Biro Khusus PKI.
a. Memojokkan dan mencemarkan komando AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan
(konspirasi) menentang RI, karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat.
b. Menuduh komando puncak AD telah membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya
menggulingkan Presiden Soekarno.
c. Mengorganisir perwira militer yang tidak mendukung adanya “Dewan Jenderal”.
d. Mengisolir komando AD dari angkatan-angkatan lain.
e. Mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para
buruh dan petani yang dipersenjatai.
Ketegangan politik antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya setelah tanggal 30 September
1965 dini hari, atau awal tanggal 1 Oktober 1965. Pada saat itu terjadi penculikan dan
pembunuhan terhadap para perwira Angkatan Darat.
2. Seputar Penculikan Para Jenderal AD, Usaha Kudeta, dan Operasi Penumpasan
Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira AD, kemudian dikenal Gerakan 30
S/PKI. Secara rinci para pimpinan TNI yang menjadi korban PKI ada 10 orang, yaitu 8 orang di
Jakarta dan 2 orang di Yogyakarta. Mereka diangkat sebagai Pahlawan Revolusi.
2). Berikut ini para korban keganasan PKI.
a. Di Jakarta
1) Letjen Ahmad Yani, Men/Pangad.
2) Mayjen S.Parman, Asisten I Men/Pangad.
3) Mayjen R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad.
4) Mayjen Haryono, M.T, Deputi III Men/Pangad.
5) Brigjen D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.
6) Brigjen Sutoyo S, Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral TNI AD.
7) Lettu Piere Andreas Tendean, Ajudan Menko Hankam/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
8) Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, Pengawal rumah Wakil P.M. II Dr. J. Leimena.
b. Di Yogyakarta
1) Kolonel Katamso D, Komandan Korem 072 Yogyakarta.
2) Letnan Kolonel Sugiyono M., Kepala Staf Korem 072 Yogyakarta.
Ahmad Yani MT Haryono S Parman Sutoyo S
Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri. Akan tetapi putrinya Ade Irma Suryani tertembak
yang akhirnya meninggal tanggal 6 Oktober 1965, dan salah satu ajudannya ditangkap. Ajudan
Nasution (Lettu Pierre A. Tendean), mayat tiga jenderal, dan tiga jenderal lainnya yang masih
hidup dibawa menuju Halim. Di Halim, para jenderal yang masih hidup dibunuh secara kejam.
Sejumlah anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut.
Ketujuh mayat kemudian dimasukkan dalam sebuah sumur yang sudah tidak dipakai lagi di
Lubang Buaya. Untuk mengenang peristiwa yang mengerikan tersebut, di Lubang Buaya
dibangun Monumen Pancasila Sakti. Peristiwa pembunuhan juga terjadi di daerah Yogyakarta.
Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letkol Sugiyono
diculik dan dibunuh oleh kaum pemberontak di Desa Kentungan. Pagi hari sekitar jam 07.00
WIB Letkol Untung berpidato di RRI Jakarta. Dalam pidatonya, Letkol Untung mengatakan
bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk
melindungi Presiden Soekarno dari kudeta. Kudeta itu direncanakan oleh suatu dewan yang
terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup yang menikmati penghasilan tinggi dan menjadi
kaki tangan CIA (Agen Rahasia Amerika). Setelah mendengar pidato Letkol Untung di RRI,
timbul kebingungan di dalam masyarakat. Presiden Soekarno berangkat menuju Halim. Presiden
mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan
kewaspadaan, serta menjaga persatuan. Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk
sementara waktu berada langsung di tangan presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain
itu melaksanakan tugas seharihari ditunjuk Mayjen Pranoto. Namun, di saat yang sama, tanpa
sepengetahuan presiden Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan AD.
3). Penumpasan G 30 S/PKI
Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke Istana
Bogor. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengemukakan masalah penyelesaian
peristiwa G 30 S/PKI. Dalam rangka penjelasan G 30 S/PKI, presiden menetapkan kebijaksanaan
berikut.
a. Penyelesaian aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh presiden.
b. Penyelesaian aspek militer dan administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto
c. Penyelesaian militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto
Berikut ini penumpasan G 30 S/PKI dari aspek militer. Lihat tabel 12.3
4). Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G 30 S/PKI
Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.
c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.
d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI
atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif
banyak.
4. Pendapat para ahli tentang peristiwa G-30-S-1965/ PKI
Konsekuensi dari peristiwa yang samar dan melibatkan berbagai pihak menimbulkan penafsiran
yang cukup beragam. Peristiwa Penculikan yang diikuti dengan perebutan kekuasaan serta
pembasmian terhadap orang yang dianggap musuh politik menjadi suatu topik yang neraik,
kompleks, membingungkan sekaligus menantang. Beberapa versi yang ada, antara lain:
a. Pertama, interpretasi yang menekankan bahwa pelaku utama G 30 S adalah PKI. Sejak awal
PKI telah berusaha merintis usaha untuk merebut kekuasaan, termasuk menyusupkan orang-
orangnya ke kelompok lain, termasuk AD. Dewan Revolusi yang melakukan penculikan
terhadap sejumlah perwira AD hanyalah organ pelaksana yang sejak awal sudah dikenaro oleh
PKI. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh
melalui bukunya (Tragedi Nasional, Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesa), Sekretariat Negara
( Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang, Aksi dan
Penumpasannya), Arnold Brackman ( The Communist Collapse in Indonesia).
b. Kedua, suatu interpretasi yang menekankan bahwa pelaku utama dari gerakan ini adalah
Angkatan Darat sendiri. Konflik internal AD, terutama antara perwira senior yang konservatif
dan suka hidup mewah dengan para perwira progresif yang prihatin dengan kehidupan
masyarakat yang banyak susah sementara beberapa perwira tinggi militer justru hidup mewah.
Termasuk diantaranya yang beranggapan bahwa kasus ini sebenarnya hanya terkait dengan
Divisi Diponegoro. Beberapa pengarang yang beranggapan semacam ini antara lain MR Siregar
(Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus yang Diterima sesudah
Perang Dunia Kedua), Coen Holtsappel (The 30 September Movement), Anderson dan Ruth
McVey (A Preliminary Analysis of the October 1, 1965: Coup in Indonesia)
c. Ketiga, pelaku utama dan kemudian yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa G 30 S
adalah Letnan Jenderal Suharto sendiri. Dia yang sejak awal sudah diberitahu oleh Latief akan
rencana penculikan serta tindakannya yang dengan cepat menumpas kelompok pemberontak
hanya mungkin dapat dilaksanakan kalau yang bersangkutan tahu betul scenario yang ada.
Beberapa tulisan yang terkait dengan interpretasi ini adalah Wimandjaya K.Litohoe (Primadosa),
Imam Soedjono (Yang Berlawan, Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI)
d. Keempat, Pandangan yang beranggapan bahwa pelaku utama dari peristiwa G 30 S adalah
Presiden Sukarno sendiri. Para perwira yang tergabung dalam Dewan revolusi merupakan tokoh-
tokoh yang sangat mengagumi Presiden Sukarno sekaligus sangat dekat dengan Presiden
Sukarno. Termasuk beberapa tokoh di luar AD yang kemudian bertemu di Halim
Perdanakusumah merupakan orang-orang dekat Sukarno. Presiden yang berusaha memperkuat
posisinya ingin pimpinan AD semakin tunduk dan setia dengan kepemimpinannya. Tulisan ini
antara lain dianut oleh Antonie C.A.Dake (In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian
Communism between Moscow and Peking, Sukarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967,
Kronologi suatu keruntuhan) Soegiarso Soerojo (Siapa menabur Angin akan menuai Badai),
John Hughes ( The End of Soekarno), Ulf Sundhaussen (Politik Militer Indonesia 1945-1967:
Menuju Dwifungsi ABRI).
e. Kelima, Pandangan yang beranggapan bahwa peristiwa yang terjadi merupakan hasil skenario
dari kekuatan yang diorganisir dan direncanakan oleh agen rahasia Amerika, CIA. Amerika yang
sejak awal berusaha menguasai Indonesia, paling tidak menjadikan Indonesia sebagai sekutunya
terus berusaha memperkuat pengaruhnya di Indonesia. Untuk itu Amerika sangat berkepentingan
mengganti posisi Presiden Sukarno serta menyingkirkan pengaruh dan kekuatan PKI. Tulisan ini
antara lain dikembangkan oleh Greg Poulgrain ( The Genesis of Confrontation: Malaysia, Brunei
and Indonesia, 1945-1965).
f. Keenam, pandangan yang beranggapan bahwa pelaku G 30 S tidak tunggal. Pandangan ini
juga masih beragam; antara lain; yaitu yang beranggapan bahwa ada konspirasi antara kekuatan
AD dengan kekuatan asing, khususnya Amerika dan Inggris. Anggapan ini antara lain
dikembangkan oleh Harsutejo (G 30 S Sejarah yang digelapkan Tangan berdarah CIA dan Rejim
Suharto), Di samping itu juga ada yang beranggapan bahwa peristiwa G 30 S adalah konspirasi
antara Presiden Sukarno, PKI dan RRC sebagaimana yang kembangkan oleh Victor M. .Fic
(Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi tentang Konspirasi). Sementara juga ada yang
beranggapan bahwa pelaku dari G 30 S adalah perpaduan antara pimpinan PKI yang keblinger,
kecerdikan subversi nekolim dan adanya oknum-oknum yang tidak bera. Pandangan ini antara
lain dikemukakan oleh Presiden Sukarno (Pelengkap Nawaksara
Dari uraian singkat di atas, kita bisa melihat bahwa ternyata memang tidak mudah untuk bisa
menentukan dengan pasti siapa dibalik G30S. Setiap kesimpulan yang dibuat akan dibantah oleh
yang lain sehingga tidak akan ada kesimpulan yang diterima oleh semua pihak. Setiap orang
mempunyai kesimpulan sesuai pengalaman dan keyakinan masing-masing yang sifatnya
individual.
5. Dampak sosial-politik dari peristiwa G-30-S-1965/ PKI di dalam masyarakat
a. Sosial
Menanggapi peristiwa G 30 S PKI presiden Soekarno bersikap kurang tegas sehingga
menimbulkan reaksi dari rakyat terutama kalangan amahsiswa dan pelajar yang mendapat
dukungan ABRI.
Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-
orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah
yang relatif banyak.
b. Ekonomi
Terjadinya kondisi harga barang-barang naik dan terjadi inflasi sangat tinggi bahkan melebihi
600% setahun.
Upaya mengatasi inflasi :
• Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru, dari Rp 1000
menjadi Rp 100 uang baru.
• Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali lipat sejak 1 Januari 1966
yang mengakibatkan naiknya harga-harga barang secar tidak terkendali
c. Dampak Politik
Munculnya gelombang aksi menentang ketidak tegasan Presiden Soekarno tentang peristiwa G
30 S PKI terutama dari kalangan mahasiswa dan pelajar misalnya KAMI, KAPPI,KAPI, KAWI,
KABI yang kemudian mengeluarkan tuntutan yang dikenal dengan TRITURA ( Tiga Tuntutan
Rakyat ) pada 10 Januari 1966 yang berisi :
a. Pembubaran PKI
b. Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
c. Penurunan harga-harga (perbaikan ekonomi)
Dalam usaha menuntut TRITURA telah gugur seorang mahasiswa Arief Rahman Hakim yang
tertembus peluru pengawal kepresidenan. Reaksi presiden terhadap aksi-aksi demo menentang
dirinya adalah membubarkan KAMI pada 25 Februari 1966. pada tanggal 11 Maret 1966
Presiden memimpin sidang kabinet yang membahas kemelut politik saat itu. Namun presiden
buru-buru pergi ke Bogor karena ada informasi di sekitar istana terdapat pasukan-pasukan liar.
Tindakan Presiden ini mengundang tanggapan dari 3 perewira TNI AD yaitu :
• Mayor Jenderal Basuki Rahmat
• Brigadir Jenderal M. Yusuf
• Brigadir Jenderal Amir Mahmud
Yang menyusul ke Bogor dengan membawa pesan dari Jenderal Soeharto bahwa Soeharto siap
mengatasi keadaan kalau presiden memberi kepercayaan padanya. Sehingga presiden kemudian
memerintahkan ketiga jenderal dan Komandan resimen Cakrabirawa BrigJen Sabur untuk
membuat konsep surat perintah kepada Jenderal Soeharto yang kemudian dikenal dengan nama
Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 yang intinya
berisi :
Memerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto atas nama presiden untuk mengambil tindakan
yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta stabilitas jalannya
pemerintahn dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
presiden.
Langkah selanjutnya adalah Letjen Soeharto membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya sebagai
partai terlarang di seluruh Indonesia pada 12 Maret 1966 ditetapkan dalam TAP MPRS No.
XXV/MPRS/1966.
Dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
b. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.

You might also like