Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang didasarkan pada reaksi oksidasi reduksi. Metode ini lebih banyak
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Percobaan
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Umum
Titrasi-tirasi redoks berdasarkan pada perpindahan electron antara
titran dengan anait. Jenis titrasi ini biasanya menggunakan
potensiometri untuk mendeteksi titik akhir, meskipun demikian
penggunaan indicator yang dapat berubah warnanya dengan adanya
kelebihan titran juga sering digunakan. Titrasi yang melibatkan iodium
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu titrasi langsung (iodimetri) dan
titrasi tidak langsung (iodometri) (Rohman, 2007).
Pada farmakope indonesia, titrasi iodimetri digunakan untuk
menetapkan kadar asam askorbat, natrium tiosulfat, metampiron
(antalgin), serta natrium tiosulfat dan sediaan injeksi. (Ibnu Gholib,
2007)
Larutan I2 digunakan untuk mengoksidasi reduktor secara
kuantitatif pada titik ekuivalennya. Namun, cara pertama ini jarang
diterapkan karena I2 merupakan oksidator lemah, dan adanya oksidator
kuat akan memberikan reaksi samping dengan reduktor. Adanya reaksi
samping ini mengakibatkan penyimangan hasil penetapan. (Mulyono,
2011)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam titrasi iodometri dan
iodimetri: (Perdana, 2009)
oksigen error, terjadi jika dalam larutan asam, maka oksigen dari udara
akan mengoksidasi iodide menjadi iod (kesalahan makin besar
dengan meningkatnya asam)
reaksi iodometri dilakukan dalam suasana asam sedikit basa (pH <8)
larutan kanji yang sudah rusak akan memberikan warna violet yang
sulit hilang warnanya, sehingga akan mengganggu peniteran.
pemberian kanji terlalu awal akan menyebabakan iod menguraikan
amilum dan hasil peruraian menggangu perubahan warna pada
titik akhir.
penambahan KI harus berlebih, karena I 2 yang dihasilkan sukar larut
dalam air tetapi mudah larut dalam KI.
larutan Thiosulfat dalam suasana yang sangat asam dapat
menguraikan larutan thiosulfat menjadi belerang, pada suasana
basa (pH>9) thio sulfat menjadi ion sulfat.
Kekurangan kanji sebagai indicator adalah: (Perdana, 2009)
kanji tidak larut dalam air dingin
suspensinya dalam air tidak stabil
bila penambahan kanji dilakukan pada awal titrasi dengan I2 akan
membentuk kompleks Iod-amilum.jika dalam titrasi menggunakan
indicator kanji maka penambahan kanji dilakukan pada saat
mendekati ttitik ekivalen.
Dalam proses titrasi iodo dan iodimetri sebaiknya menggunakan
indicator larutan Natrium Amylumglikolat. Indicator ini dengan I 2 tidsk
akan membentuk kompleks Iod-amilum sehingga dapt ditambahkan
pada awal titrasi. (Perdana, 2009)
Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses
iodometri adalah natrium thiosulfat. Garam ini biasanya berbentuk
sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi
dengan penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi
dengan standar primer. Larutan natrium thiosulfat tidak stabil untuk
waktu yang lama (Underwood, 2001)
Iodium hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol per liter pada
25oC), tetapi agak larut dalam larutan yang mengandung ion iodida.
Larutan iodium standar dapat dibuat dengan menimbang langsung
iodium murni dan pengenceran dalam botol volumetrik. Iodium,
dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan pada suatu larutan KI
pekat, yang ditimbang dengan teliti sebelum dan sesudah penembahan
iodium. Akan tetapi biasanya larutan distandarisasikan terhadap suatu
standar primer, As2O3 yang paling biasa digunakan (Underwood, 2001).
Warna larutan 0,1 N iodium adalah cukup kuat sehingga iodium
dapat bekerja sebagai indikatornya sendiri. Iodium juga memberi warna
ungu atau merah lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut sebagai
karbon tetraklorida atau kloroform dan kadang-kadang hal ini digunakan
untuk mengetahui titik akhir titrasi. Akan tetapi lebih umum digunakan
suatu larutan (dispersi koloidal) kanji, karena warna biru tua dari
kompleks kanji-iodium dipakai untuk suatu uji sangat peka terhadap
iodium. Kepekaan lebih besar dalam larutan yang sedikit asam daripada
larutan netral dan lebih besar dengan adanya ion iodida (Underwood,
2001).
Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi-reduksi
dipergunakan secara luas dalam analisa titrimetrik. Ion-ion dari berbagai
unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda-beda,
menghasilkan kemungkinan terjadi banyak reaksi redoks. Banyak dari
reaksi-reaksi ini memenuhi syarat untuk digunakan dalam analisa
titrimetrik, dan penerapan-penerapannya cukup banyak. (Underwood,
2002)
Sistem redoks iodin (triiodida)-iodida3, + 2e 3Imempunyai
potensial standar sebesar +0,54 V. Karena itu iodin adalah sebuah agen
pengoksidasi yang jauh lebih lemah daripada kalium permanganat,
senyawa serium(IV), dan kalium dikromat. Di lain pihak, ion iodida
adalah agen pereduksi yang termasuk kuat, lebih kuat, sebagai contoh
daripada ion Fe(II). Dalam proses-proses analitis, iodin dipergunakan
sebagai sebuah agen pengoksidasi (iodimetri), dan ion iodida
dipergunakan sebagai sebuah agen pereduksi (iodometri). Dapat
dikatakan bahwa hanya sedikit saja substansi yang cukup kuat sebagai
unsur reduksi untuk titrasi langsung dengan iodin. Karena itu jumlah dari
penentuan-penentuan iodimetrik adalah sedikit. Namun demikian,
banyak agen pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara
lengkap dengan ion iodida, dan aplikasi dari proses iodometrik cukup
banyak. Kelebihan dari ion iodida ditambahkan kedalam agen
pengoksidasi yang sedang ditentukan, membebaskan iodin, yang
kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat.(Underwood, 2002)
Larutan-larutan iodin standar dapat buat melalui penimbangan
langsung iodin murni dan pengenceran dalam sebuah labu volumetrik.
Iodin akan dimurnikan oleh sublimasi dan ditambahkan ke dalam
sebuah larutan KI yang terkonsentrasi, yang ditimbang secara akurat
sebelum dan sesudah penambahan iodin. Namun demikian, biasanya
larutan tersebut distandardisasi terhadap sebuah standar primer, As2O3
paling sering dipergunakan. (Underwood, 2002)
Indikator kanji: warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens
sehingga iodin dapat bertindak sebagai indikator bagi dirinya sendiri.
Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat-zat
pelarut seperti karbon tetra klorida dan kloroform, dan terkadang kondisi
ini dipergunakan dalam mendeteksi titik akhir dari titrasi-titrasi. Namun
demikian, suatu larutan (penyebaran kolodial) dari kanji lebih umum
dipergunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin-kanji
bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitif untuk iodin. Mekanisme
pembentukan kompleks yang berwarna ini tidak diketahui, namun ada
pemikiran bahwa molekul-molekul iodin tertahan di permukaan
-amylose, suatu konstituen dari kanji. Larutan-larutan kanji dengan
mudah didekomposisinya oleh bakteri, dan biasanya sebuah substansi,
seperti asam borat, ditambahkan sebagai bahan pengawet.
(Underwood, 2002)
Penentuan-penentuan iodometrik: ada banyak aplikasi proses
iodometrik dalam kimia analisis. Penentuan iodometrik tembaga banyak
dipergunakan baik untuk bijih maupun paduannya. Metoda ini
memberikan hasil-hasil yang sempurna dan lebih cepat daripada
penentuan elektrolitik tembaga. Metoda klasik dari Winkler adalah
sebuah metoda sensitif untuk menentukan oksigen yang dilarutkan
dalam air. Ke dalam sampel air ditambahkan sejumlah berlebih garam
mangan(II), natrium iodida, dan natrium hidroksida. (Underwood, 2002)
Penggunaan air yang masih mengandung CO2 sebagai pelarut
akan menyebabkan peruraian S2O32- membentuk belerang bebas.
Belerang ini menyebabkan kekeruhan. Terjadinya peruraian itu juga
dipicu bakteri Thiobacillus thioparus. Bakteri yang memakan belerang
akhirnya masuk kelarutan itu, dan proses metaboliknya akan
mengakibatkan belerang koloidal. Belerang ini akan menyebabkan
kekeruhan, bila timbul kekeruhan larutan harus dibuang. (Underwood,
2002)
Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan tiosulfat
dididihkan agar steril, dan sering ditambahkan boraks atau natrium
karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara berlangsung
lambat. Tetapi runutan tembaga yang kadang-kadang terdapat dalam air
suling akan mengkatalis oksidasi oleh udara ini. Tiosulfat diuraikan
dalam larutan asam dengan membentuk belerang sebagai endapan
mirip susu. (Underwood, 2002)
S2O32- + 2H+ → H2S2O3 → H2SO3 + S
Tetapi reaksi itu lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan
kedalam larutan iod yang asam, asal larutan diaduk dengan baik.
Reaksi antara iod dan tiosulfat jauh lebih cepat dari pada reaksi
penguraian. Iodin mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat:
I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62-
Reaksinya berjalan cepat, sampai selesai, dan tidak ada reaksi
sampingan. Berat ekivalen dari Na2S2O3. 5H2O adalah berat
molekulnya, 248,17. Tiosulfat teroksidasi secara parsial menjadi sulfat:
4I2 + S2O32- + 5H2O → 8I- + 2SO42- + 10H+
(Underwood, 2002)
Dalam larutan yang netral, atau sedikit alkalin, oksidasi menjadi
sulfat tidak muncul, terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran.
Ada dua metode titrasi iodometri, yaitu: (Underwood, 2002)
Secara langsung (iodimetri)
Disebut juga sebagai iodimetri. Menurut cara ini suatu zat reduksi
dititrasi secara langsung oleh iodium, misal pada titrasi Na2S2O3
oleh I2. 2Na2S2O3 + I2 → 2NaI + Na2S4O6 Indiator yang
digunakan pada reaksi ini, yaitu larutan kanji. Apabila larutan
thiosulfat ditambahkan pada larutan iodine, hasil akhirnya berupa
perubahan penampakan dari tak berwarna menjadi berwarna biru.
Tetapi apabila larutan iodine ditambahkan kedalam larutan
thiosulfat maka hasil akhirnya berupa perubahan penampakan dari
berwarna menjadi berwarna biru.
Secara tak langsung (iodometri)
Disebut juga sebagai iodometri.Dalam hal ini ion iodide sebagai
pereduksi diubah menjadi iodium-iodium yang terbentuk dititrasi,
dengan larutan standar Na2S2O3. Jadi cara iodometri digunakan
untuk menentukan zat pengoksidasi, misal pada penentuan suatu
zat oksidator ini (H2O2). Pada oksidator ini ditambahkan larutan KI
dan asam hingga akan terbentuk iodium yang kemudian dititrasi
dengan larutan.
Na2S2O3.H2O2 + 2HCl → I2 + 2KCl + 2H2O
dan sangat larut dalam pelarutan yang mengandung ion iodide.
Iodium sedikit larut dalam air (0,00134 mol/liter pada 25 C).
(Underwood, 2002)
Berdasarkan reaksi I2 + I- → I3- dengan tetapan kesetimbangan
pada 25 ºC. Larutan baku ion dapat langsung dibuat dari unsur
murninya. Cara titrasi oksidasi reduksi yang dikenal ada dua:
(Underwood, 2002)
Oksidimetri
Yaitu titrasi redoks dengan menggunakan larutan baku yang
bersifat oksidator. Misal: Sulfur dioksida dan hydrogen sulfide,
timah (II) klorida , logam dan amalgam.
Reduksimetri
Yaitu titrasi redoks dengan menggunakan larutan baku yang
bersifat reduktor. Misal : Natrium dan Hidrogen Peroksida, Kalium
dan amonium peroksidisulfat,natrium Bismutat (NaBiO3).
Dalam larutan, kadar bahan yang terlarut (solut) dinyatakan
dengan konsentrasi. Istilah ini berarti banyaknya massa yang
terlarut dihitung sebagai berat (gram) tiap satuan volume (mililiter)
atau tiap satuan larutan, sehingga satuan kadar seperti ini adalah
gram/mililiter. Cara ini disebut dengan cara berat/volume atau b/v.
Disamping cara ini, ada cara yang menyatakan kadar dengan
gram zat terlarut tiap gram pelarut atau tiap gram larutan yang
disebut dengan cara berat/berat atau b/b. Secara matematis,
perhitungan kadar suatu senyawa yang ditetapkan secara
volumetri dapat menggunakan rumus-rumus umum berikut.
(Rohman, 2007)
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
C. Cara Kerja
1. Standarisasi Na2S2O3 dengan bahan baku KIO3
a) Dipipet 10 mL larutan KIO3 0,1 N ke dalam Erlenmeyer, tambahkan 5
mL KI 20% dan tambahkan 8 ml H2SO4 4 N.
b) Dititrasi dengan menggunakan natrium tiosulfat hingga warna kuning,
lalu ditambahkan indicator amilum dan dititrasi terus sampai warna
biru hilang.
c) Dicatat volume titrasi terakhir yang digunakan.
2. Penetapan Cu(II) dalam CuSO45H2O
a) Ditimbang 2 gram Cu(II) dalam CuSO45H2O, kemudian dilarutkan
dengan aquadest masukkan dalam labu ukur 100 mL, diimpitkan dan
dikocok sampai larutan bersifat homogen.
b) Dipipet 10 mL kedalam Erlenmeyer, tambahkan 5 mL KI 20% dan 5
ml H2SO4 4 N, kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat hingga
warna menjadi muda, dan ditambahkan indicator amilum.
c) Dititrasi lagi dengan natrium tiosulfat hingga warna biru hilang.
d) Dicatat volume titrasi terakhir yang digunakan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan
1. Standarisasi Na2S2O3 dengan bahan baku KIO3
No KIO3 mL KIO3 Na2S2O3 (mL) Perubahan warna
(N)
1 10 mL 0,1 N V1 = 6 mL Kuning-bening
V2 = 6,1 mL
6 + 6,1 = 12,1 mL
2 10 mL 0,1 N V1 = 12 mL Kuning-kuning
V2 = 15 mL
keruh
x Volume Vtotal1 + Vtotal2
2
total
12 + 27
2
=25,6 mL
2. Penetapan Cu(II) dalam CuSO45H2O
No Sampel (mg) Na2S2O3 (mL) Perubahan warna
1 2000 V1 = 21 mL Kuning-bening
V2 = 21,1 mL
21 + 21,1 = 42,1
mL
2 2000 V1 = 24 mL Kuning muda-putih
V2 = 28,2 mL
24 + 28,2 = 52,2
mL
x Vtotal1 + Vtotal2
2
42,1 + 52,2
2
=73,25 mL
Reaksi
a. Standarisasi Na2S2O3 dengan bahan baku KIO3
Oks : 2 I- I2 + 2e- x5 10I- 5I2 + 10e-
-
Red : 2 IO3 I2 6H2O x1 10e + 12H+ 2IO3 I2 + 6H2O
-
B. Pembahasan
Dalam praktikum ini akan dibahas mengenai titrasi iodometri.
Iodometri adalah analisa titrimetric yang secara tidak langsung untuk zat
yang bersifat oksidator sperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan
mengoksidasi iodide yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang
terbentuk akan ditentukan dengan menggunakan larutan baku tiosulfat.
Pada praktikum iodometri dilakukan dua percobaan yaitu standarisasi
Na2S2O3 dengan bahan baku KIO3 dan penetapan Cu(II) dalam
CuSO45H2O. sehingga dengan adanya praktikum ini kita dapat
mengetahui nilai normalitas dari larutan Na2S2O3 dan nilai normalitas Cu.
Sebelum kita melakukan percobaan terlebih dahulu kita membuat larutan
KIO30,1 N, larutan KI 20%, larutan Na2S2O3 0,1 N, dan CuSO4.5H2O.
a. Larutan KIO3 0,1 N
1) Ditimbang bubuk KIO3 sebanayak 0,3567 gram dengan neraca
analitik dengan mengunakan aluminium foil.
2) Dimasukan bubuk KIO3 kedalam gelas kimia kemudian dilarukan
dengan sedikit aquades hingga larut.
3) Ditambahkan aquades sebanyak 100 ml sampai batas miniskus atas
(larutan berwarna) kemudian dimasukan kedalam labu ukur lalu
dihomogenkan.
4) Dipindahkan larutan amilum kedalam botol kosong yang telah
disiapkan dan beri label.
b. Larutan KI 20%
1) Ditimbang bubuk KI sebanayak 20 gram dengan neraca analitik
dengan mengunakan aluminium foil.
2) Dimasukan bubuk KI kedalam gelas kimia kemudian dilarukan
dengan sedikit aquades hingga larut.
3) Ditambahkan aquades sebanyak 100 ml lalu dihomogenkan.
4) Dipindahkan larutan amilum kedalam botol kosong yang telah
disiapkan dan beri label.
c. Larutan Na2S2O3 0,1 N
1) Ditimbang bubuk Na2CO3 sebanayak 0,1 gram dengan neraca
analitik dengan mengunakan aluminium foil.
2) Dilarutkan dengan aquades sebanyak 200 Ml.
3) Dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer berisi 150 Ml aquades bebas
CO2 ditambahkan Na2CO3 0,1 gram.
4) Ditambahkan tiosulfat 5,23 gram kedalam labu Erlenmeyer.
5) Digunakan 50 mL aquades bebas untuk membilas tiosulfat.
6) Disimpan larutan dalam botol coklat dan diberi label.
d. Larutan CuSO4.5H2O
Pada praktikum standarisasi Na2S2O3 dengan bahan baku KIO3
langkah pertama yaitu dipipet 10 mL larutan KIO3 0,1 N ke dalam
erlenmeyer, lalu tambahkan dengan 5 mL KI 20% dan ditambahkan 8
mL H2SO4 4 N. Penambahan KI bertujuan untuk pembentukan iodium.
Setelah penambahan KI larutan menjadi warna kuning. Kemudian
ditambahkan indikator amilum sebanyak 3 tetes dan larutan pun menjadi
berwarna biru. Setelah itu larutan yang telah tercampur dititrasi dengan
larutan Na2S2O3. Proses titrasi dilakukan hingga warna biru pada larutan
hilang, dan volume larutan Na2S2O3 yang digunakan selama titrasi
sebanyak 25,6 mL. Berdasarkan data hasil perhitungan diperoleh nilai
normalitas dari larutan Na2S2O3 adalah 0,039 N.
Setelah nilai normalitas dari larutan NaS2O3diperoleh, selanjutnya kita
akan menentukan kadar Cu pada larutan CuSO4.5H2O. Ambil 10 ml
larutan CuSO4 setelah itu tambahkan KI 20% sebanyak 5 ml. Masukkan
pula 5 mL H2SO4 4 N. Sama halnya dengan penentuan normalitas, setelah
penambahan larutan KI menjadi berwarna kuning. Kemudian penambahan
indikator amilum membuat larutan menjadi berwarna biru. Titrasi
dilakukan hingga warna biru hilang. Berdasarkan perhitungan data hasil
percobaan diperoleh kadar Cu2+ yang didapat sebesar 25,45%.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan didapatkan kadar dari Cu2+ yaitu sebesar 25,45%
sedangkan normalitas Na2S2O3 adalah 0,039 N. Normalitas didapatkan dari.
Oleh karena itu percobaan ini dilakukan untuk meengetahui normalitas
Na2S2O3 dan jumlah kadar Cu2+
B. SARAN
Day, R.A & Underwood, A.L. 2001. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga.
Jakarta.
Day, R.A & Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga..
Jakarta.
LAMPIRAN