You are on page 1of 17

PEMBAHASAN ILMIYAH “SEPUTAR AQIQAH”

Oleh

B. DALIL-DALIL SYAR’I TENTANG AQIQAH


Hadist No.1 :
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena
kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shahih
Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul
Ghalil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan
semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul
Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]

Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan
(kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud
2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi
2/81, dan lain-lainnya]
Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua
kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat
Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain
dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam
kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa
diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka
hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan
satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-
163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim
(4/238)]
Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah
bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang
miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390),
Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin
Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah
dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.

Sumber: https://almanhaj.or.id/856-ahkamul-aqiqah.html

[‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


Bagian 1
Al Aqiqah adalah hewan kurban yang disembelih untuk bayi yang baru lahir
dalam rangka pendekatan diri kepada Allah ta’ala dan sebagai wujud rasa
syukur atas kenikmatanNya.
Penamaan Aqiqah diambil dari rambut yang berada di atas kepala bayi.
Dinamakan Aqiqah karena hewan yang disembelih bertepatan pada hari
dimana rambut bayi tersebut dipotong.

Hukumnya:
Pendapat pertama:
Mengatakan wajib, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abu Zinad, Al Laits,
Adz Dzohiriyah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan sebagian
ulama yang bermazhab Al Hanabilah, mereka berdalil dengan hadits-hadits
yang didalamnya terkandung perintah aqiqah, seperti sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam:

‫ع ْنهُ ْاْلَذَى‬
َ ‫طوا‬ َ ‫َو َم َع ْالغُ ََل ِم‬
ُ ‫ع ِقيقَتُهُ فَأ َ ِمي‬

َ ‫َوأ َ ِريقُوا‬
‫ع ْنهُ دَ ًما‬
“Kelahiran seorang anak itu harus disertai aqiqah, Hilangkan gangguannya
(maksudnya cukurlah rambutnya) dan alirkanlah darah (sembelihlah
hewan).”
[HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Salman bin Amir radhiyallahu
‘anhu, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
Dan juga berdalil dengan hadits:

ُ ‫ُك ُّل‬
ٌ ‫غ ََل ٍم َر ِه‬
‫ين ِبعَ ِقيقَ ِت ِه‬
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya”
[HR. Ashab Assunan dari shahabat Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh
Syekh Al Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallohu ta’ala]
Pendapat kedua:
Aqiqah bukan hal yang disunnahkan, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan
Ashab Ar Ro’y, mereka berdalil dengan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dan bapaknya dari kakeknya:

َ ‫سله َم‬
‫ع ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫سئِ َل َر‬ ُ «
ُّ ‫ْالعَ ِقيقَ ِة فَقَا َل ََل أ ُ ِح‬
» َ‫ب ْالعُقُوق‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ditanya tentang Aqiqah, maka
beliau bersabda: Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan”
[HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
Kalau kita lihat kelengkapan hadits ini, justru menjadi hujjah atas mereka;

ٌ‫ب ْالعُقُوقَ َو َم ْن ُو ِلدَ لَهُ َم ْولُود‬ ُّ ‫ ََل أ ُ ِح‬:‫فقال‬


‫ع ْن ْالغُ ََل ِم‬
َ ‫ع ْنهُ فَ ْليَ ْفعَ ْل‬
َ ‫س َك‬ُ ‫ب أ َ ْن يَ ْن‬‫فَأ َ َح ه‬
ِ ‫ع ْن ْال َج‬
ٌ ‫اريَ ِة شَاة‬ َ ‫ان َو‬ِ َ ‫ان ُم َكافَأَت‬
“Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan, barangsiapa
ِ َ ‫شَات‬
mendapatkan kelahiran anak kecil dan ingin menyembelih atas anak
tersebut hendaknya ia laksanakan, dua ekor kambing yang sama untuk anak
laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.”
Didalam riwayat Abu Dawud menunjukan bahwa yang tidak disukai
Rasulullah adalah penamaannya yaitu “Aqiqah” bukan pelaksanaan acara
aqiqahnya, karena lafadz hadits setelahnya menunjukan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan pelaksanaan aqiqah.
Pendapat ketiga:
Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan
pelaksanaannya), ini adalah pendapat jumhur ulama, mereka berdalil
dengan hadits-hadits yang didalamnya terdapat anjuran untuk aqiqah,
adapun dalil-dalil yang berisi perintah telah dipalingkan kepada sunnah
muakkadah dengan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dan bapaknya
dari kakeknya:

‫ع ْن َولَ ِد ِه فَ ْليَ ْفعَ ْل‬ ُ ‫ب ِم ْن ُك ْم أ َ ْن يَ ْن‬


َ ‫س َك‬ ‫َم ْن أ َ َح ه‬
“Siapa di antara kalian yang ingin menyembelih untuk anaknya, hendaknya
ia kerjakan” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya]
Hadits ini menunjukan adanya anjuran dan pilihan, tidak menunjukan suatu
kewajiban yaitu barangsiapa yang tidak ingin melaksanakan aqiqah maka
tidaklah berdosa.

Wallohu a’lam dari ketiga pendapat di atas maka pendapat yang kuat
dan terpilih adalah pendapat ketiga, bahwa hukum aqiqah adalah sunnah
muakkadah, dan pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekhuna Abdurrohman
Al ‘Adeny – hafidzahulloh ta’ala.
Catatan:
Berkata Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny hafidzahullah ta’ala:
“Tidak mengapa kalau seseorang berhutang dalam rangka melakukan
sunnah aqiqah anaknya, apabila dia bersungguh-sungguh dalam melunasi
hutangnya maka Allah akan membantunya, berkata Al Imam Ahmad –
rohimahulloh:
“Barangsiapa tidak memiliki uang untuk hal tersebut (aqiqah) kemudian dia
berhutang maka aku berharap semoga Allah ta’ala membantu melunasinya
karena dia telah menegakkan sunnah”.
Pelaksanaan aqiqah itu lebih utama daripada bershadaqah dengan uang
seharga kambing aqiqah, karena pada aqiqah terdapat padanya pahala
shadaqah dan wujud rasa syukur dan penebusan (karena bayi yang baru
lahir ibarat sesuatu yang tergadaikan yang ditebus dengan aqiqah
sebagiamana yang telah lalu penjelasannya)
Masalah: Berapa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki dan
bayi perempuan dalam pelaksanaan aqiqah?
Masalah:
Berapa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki dan
bayi perempuan dalam pelaksanaan aqiqah?
Pendapat pertama:
Pendapat jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa untuk bayi laki-laki 2
ekor kambing dan perempuan 1 ekor kambing.
Dalilnya adalah hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata; saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ع ْن ْال َج‬
‫اريَ ِة‬ َ ‫ان َو‬ ِ َ ‫ع ْن ْالغُ ََل ِم شَات‬
ِ َ ‫ان ُم َكافِئَت‬ َ «
» ٌ ‫شَاة‬
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang sama, dan anak perempuan
seekor kambing.” [HR. Ahmad, At Tirmidzy, Ibnu Hibban dan dishohihkan
oleh Syekh Al Albany – raimahullah]
Alloh ta’ala telah memberikan kekhususan pada laki-laki sesuatu yang tidak
ada pada perempuan, Alloh berfirman:

‫ْس الذه َك ُر َك ْاْل ُ ْنثَى‬


َ ‫َولَي‬
“dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” [QS. Ali ‘Imron: 36]

‫فَ ِللذه َك ِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاْل ُ ْنثَيَي ِْن‬


“maka bagian (warisan) seorang saudara laki-laki sebanyak bagian
(warisan) dua orang saudara perempuan”
[QS. An Nisa:176]
Perempuan diberikan hukum setengahnya hukum laki-laki seperti dalam
permasalahan persaksian, diyat (harta tebusan/denda), warisan, aqiqah dan
yang lainnya.
Dan diantara hikmah disyariatkan 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki
disebabkan pula karena kelahiran bayi laki-laki mendatangkan kebahagiaan
yang lebih disisi kedua orang tuanya dari pada bayi perempuan.
Pendapat Kedua:
Pendapat sebagian ulama seperti Al Hasan Al Bashri dan Qotadah, mereka
berpendapat bahwa untuk bayi perempuan tidak disyariatkan aqiqah
untuknya.
Namun pendapat ini adalah pendapat yang tertolak dan terbantahkan
dengan dalil-dalil yang menyebutkan bahwa aqiqah disyariatkan untuk bayi
laki-laki dan bayi perempuan.
Pendapat Ketiga:
Pendapat Imam Malik, beliau berpendapat bahwa bayi laki-laki dan bayi
perempuan sama-sama 1 ekor kambing, berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas
‫ ب‬berkata:
ً ‫شا َك ْب‬
‫شا‬ َ ‫س ِن َو ْال ُح‬
ً ‫سي ِْن َك ْب‬ َ ‫ع ِن ْال َح‬
َ ‫َّللاِ َع هق‬ ُ ‫أ َ هن َر‬
‫سو َل ه‬
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih aqiqah untuk Al
Hasan dan Al Husain satu domba, satu domba.” [HR. Abu Dawud dari
shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma]
Dikatakan oleh Abu Hatim rahimahullah bahwa sanad hadits ini mursal,
sehingga dihukumi sebagai hadits yang dho’if (lemah). Yang shohih dari
sekian riwayat adalah tanpa penyebutan jumlah kambing yang disembelih
untuk Al Hasan dan Al Husain.
Oleh karena itu maka pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah
pendapat jumhur ulama, bahwasanya sunnah aqiqah tidaklah terpenuhi
kecuali dengan menyembelih 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor
kambing untuk bayi perempuan, ini juga pendapat yang dipilih oleh Imam
Asy Syaukany – rahimahulloh”.
Jika memang tidak mampu maka boleh baginya menyembelih satu kambing.
Alloh berfirman:
َ َ‫َّللاَ َما ا ْست‬
‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فَاتهقُوا ه‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. Ath
Thaghabun: 16]
Berkata Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny_hafidzahullah ta’ala:
Disunnahkan pada 2 ekor kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki,
nilainya saling berdekatan baik dalam sisi umurnya atau dalam kualitasnya.

Dalam aqiqah dipersyaratkan bahwa kambing itu harus disembelih,


maka barangsiapa sekedar membeli daging walaupun seharga kambing,
terus diniatkan untuk aqiqah maka tidaklah sah.

Apabila kedua orang tua bayi tidak memiliki kemampuan dalam


melaksanakan aqiqah maka tidaklah mengapa, Alloh ta’ala berfirman:
َ َ‫َّللاَ َما ا ْست‬
‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فَاتهقُوا ه‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. Ath
Thaghabun: 16]
‫سا إِ هَل ُو ْسعَ َها لَ َها‬
ً ‫َّللاُ نَ ْف‬
‫ف ه‬ ُ ‫ََل يُك َِل‬
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” [QS. Al Baqarah: 286]
Dan juga sebagaimana telah lewat pembahasannya bahwa hukum aqiqah
adalah sunnah muakkadah.
_______________
Masalah:
Aqiqah adalah hak anak terhadap orang tuanya, apakah sah apabila
pamannya atau orang lain yang melakukan aqiqah untuk anaknya?
Masalah:
Aqiqah adalah hak anak terhadap orang tuanya, apakah sah apabila
pamannya atau orang lain yang melakukan aqiqah untuk anaknya?
_________________
Jawabannya:
Dalam permasalahan ini para ulama juga berbeda pendapat, namun
pendapat yang kuat dan terpilih dalam permasalahan ini adalah aqiqah tetap
sah jika dilakukan oleh selain orang tuanya, ini adalah pendapat yang dipilih
oleh jama’ah para ulama diantaranya Al Imam Ash Shan’any, Al Imam Asy
Syaukany, dan juga Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny, dalil mereka adalah
telah datang dalam beberapa riwayat hadits berlafadz:
ُ‫تُذْبَ ُح َع ْنه‬
“Disembelihkan (kambing) untuknya” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan yang
lainnya dan dishohihkan oleh Syekh Al Albany dan Syekh
Muqbil_rahimahumallah]
Hadits ini menunjukan bahwasanya aqiqah untuk bayi apabila dilakukan oleh
selain orang tuanya maka tetap sah. Dan juga telah ditunjukan dalam hadits
Ibnu ‘Abbas bahwasanya Nabi melakukan aqiqoh untuk Al Hasan dan Al
Husain (keduanya adalah cucu beliau), dalam hadits ini juga menunjukan
bahwa aqiqah untuk bayi tetap sah walaupun bukan orang tuanya yang
melakukannya.
Masalah:
Apakah hari ketujuh (untuk pelaksanaan aqiqah) dalam hadits
Samurah bin Jundub dihitung dari hari kelahiran ataukah dari hari
keesokannya?
Jawaban:
Dalam masalah ini ada dua pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa
hari ketujuh dihitung dari keesokan harinya….

Masalah: Apakah seorang perempuan yang mengalami keguguran disyariatkan


melakukan aqiqah untuk anaknya?
Jawaban:
Dalam masalah ini dirinci menjadi dua hal:
Pertama: Apabila janin yang gugur telah ditiupkan padanya ruh padanya
(yaitu janin sudah berumur 4 bulan) maka disyariatkan aqiqah untuknya, ini
adalah pendapat yang kuat dari sekian pendapat. Karena janin tersebut
telah dianggap sebagai manusia dan juga kalau kita lihat pada kenyataan
secara keumuman pada usia tersebut bayi telah bergerak-gerak didalam
rahim ibunya, dan apabila dia gugur pada usia tersebut maka dia akan
dibangkitkan pada hari kiamat dan diharapkan nantinya akan menjadi
pensyafa’at bagi orang tuanya pada hari kiamat nanti.
Kedua: Apabila janin itu gugur belum ditiupkan ruh (yaitu janin tersebut
dibawah usia 4 bulan) maka tidak disyariatkan untuknya aqiqah karena janin
tersebut belum bisa disebut sebagai manusia.

Faidah:
Bayi lahir dalam keadaan hidup kemudian mati sebelum tanggal ketujuh dari
hari kelahirannya maka pendapat jumhur para ulama dalam masalah ini
adalah disyariatkan untuk bayi tersebut aqiqah. Apabila bayi lahir dalam
keadaan hidup dan sampai pada hari ketujuhnya belum dilakukan aqiqah
untuknya, maka pendapat jumhur para ulama adalah boleh dilakukan aqiqah
pada hari kedelapanya atau setelahnya. Telah lewat pembahasan ini pada
Pertemuan Kedua.

Masalah: Apakah disyariatkan melakukan aqiqah untuk bayi yang


belum lahir?
Berkata Syaikhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny – hafizhahullah -: “Aqiqah yang
dilakukan sebelum bayi lahir maka tidaklah sah, karena pelaksanaan aqiqah
adalah kelahiran seorang bayi”. Bagaimana kita melakukan aqiqah yang
mana sebabnya belum terjadi?! Sebagaimana telah lewat pembahasannya
bahwa syariat aqiqah adalah adanya kelahiran seorang bayi.
Perhatian:
Telah diriwayatkan oleh Ath Thabrany dalam kitabnya “Al Mu’jam Ash
Shoghir” dan juga Al Imam Al Baihaqy dari hadits Buraidah bahwasannya
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
َ ‫« ْالعَ ِقيقَةُ تُذْبَ ُح ِل‬
» َ‫سبْعٍ َوْل َ ْربَ َع َع ْش َرة َ َو ِإلحْ دَى َو ِع ْش ِرين‬
“(Hewan) aqiqah disembelih pada hari ketujuh atau hari keempat belas atau
pada hari kedua puluh satu”.
Hadits ini adalah hadits yang dha’if (lemah) karena diriwayatkan dari jalan
Ismail bin Muslim Al Maky, keadaan dia lemah sekali dalam periwayatan
hadits, sehingga hadits ini tidak dapat dijadikan dalil atau hujjah dalam
penentuan suatu hukum ibadah. Dan juga diriwayatkan sebuah atsar dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha semakna dengan hadits tersebut, namun didalam
atsar tersebut ada perowy bernama Abdul Malik bin Abu Salaiman Al
‘Arzamy, keadaannya juga dha’if dalam ilmu hadits.
Kesimpulan: Sebagaimana yang telah lewat pembahasannya adalah
disunnahkan pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh, namun apabila belum
mampu melalsanakan pada hari tersebut, maka bisa dilaksanakan kapan
saja ketika sudah memiliki kemampuan. Ini adalah pendapat yang kuat dan
terpilih dari sekian pendapat dalam masalah ini.
Masalah: Apakah boleh melakukan penyembelihan kambing aqiqah
pada siang hari dan juga malam hari?
Jawaban: Tidak ada dalil yang melarang hal tersebut, penyembelihan aqiqah
bisa dilaksanakan siang hari atau malam hari.
Masalah: Doa apakah yang dibaca ketika menyembelih?
Jawaban: Sebagian Ulama berpendapat bahwa disunnahkan ketika mau
menyembelih membaca:
ٍ ُ‫ َه ِذ ِه َع ِقيقَةُ ف‬، َ‫ الله ُه هم ِم ْنكَ َولَك‬، ‫َّللاُ أ َ ْكبَ ُر‬
‫َلن‬ ‫ ه‬، ِ‫َّللا‬
‫ِبس ِْم ه‬
Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallohu ‘anha yang diriwayatkan oleh
Abu Ya’la, namun hadits ini dha’if, karena didalamnya ada ‘an’anah ibnu
Juraij. Sehingga yang disyariatkan adalah cukup membaca: “Bismilah”
seperti menyebelih hewan kurban yang lainnya.
Masalah: Apakah dalam pemotongan daging kambing aqiqoh
disunnahkan tulangnya utuh dan tidak boleh sampai pecah?
Jawaban:
Diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah dan hadits Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum, namun kedua hadits tersebut dha’if,
sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam hukum bahwa hal itu sunnah.
Pendapat yang kuat dan terpilih adalah tidak mengapa dalam pemotongan
daging kambing, tulangnya dipecah-pecah karena tidak ada dalil secara
syar’i maupun ‘aqly yang melarang hal tersebut. Wallahu a’lam.
Peringatan:
Sebagian ulama mensunnahkan dalam memasak daging kambing dikasih
gula karena Nabi shallallahu ‘alahi wasallam suka yang manis-manis dan
madu. Ada juga sebagian mereka mensunnahkan rasanya dikasih rasa
kecut. Namun semua ini tidak ada dalilnya bahwa dalam daging aqiqah
dimasak seperti itu. Jadi terserah mau dimasak dengan rasa kecut atau
manis, tergantung selera masing-masing.
Faidah: Berkata Syaikhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny – hafizhahullah -:
Disyariatkan kambing aqiqah untuk dimasak dan dimakan sebagiannya,
sebagian yang lainnya untuk dihadiahkan dan juga dishadaqahkan.
Boleh kambing aqiqah digunakan untuk acara walimah (pernikahan).
Catatan:
Semua permasalahan yang kita sebutkan diatas adalah pendapat yang
dipilih Syaikhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny – Hafizhahullah ta’ala. Disana
masih ada pembahasan seputar hukum pemberian nama dan potong rambut
bayi dan sunatannya (khitan) yang insya Alloh kita sampaikan pada
pertemuan selanjutnya !!!
Semoga Alloh ta’ala selalu memberikan kita taufiq dan hidayahNya untuk
senantiasa berpegang teguh dan berjalan diatas Al Kitab dan As Sunnah.

Pembagian daging

DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK


MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44, berkata :
“Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah
dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi.
Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-
anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi
daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding
jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada
umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak
dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”
TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA DIJUAL
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.51-52, berkata :
“Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa
menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak
melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar
itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh
sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan
untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa”
(2/502) oleh Imam Malik].
ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI MAKAN,
DAN MENGHADIAHKAN DAGING SEMBELIHANNYA, TETAPI YANG LEBIH UTAMA
JIKA SEMUA DIAMALKAN
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.48-49, berkata
: “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian
dagingnya maka kita kembali ke hukum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan
aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya
kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib
kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian
akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat
baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita
memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta’ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502)
oleh Imam Malik].
WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa
waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka
berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau
sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594) :
“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ (hadist no.2), ini sebagai
dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang
yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada
waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan
pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka
gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”

Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh
dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-
Muhalla” 7/527.

Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak
bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh
dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari
Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :

“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-
21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti
dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang
kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]

BERSEDEKAH DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT


Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur
rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari
ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah
dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”

Keuntungan dan Hikmah Aqiqah


1. Mengabarkan secara tidak langsung tentang nasab sang anak. Hal ini perlu agar tidak dikatakan
sesuatu yang tidak ia sukai

2. Mengikuti ajakan untuk menjadi dermawan dan mengendalikan diri agar tidak bakhil

3. Adalah kamu Nasrani jika melahirkan anak, mereka mencelupkan anak itu dengan air berwarna
kuning yang mereka namakan sebagai pembaptisan. Mereka mengatakan, “Dengan begitu, seorang
anak menjadi Nasrani. Serupa dengan hal ini, maka Allah ‫ﷻ‬berfirman:

١٣٨ َ‫ص ۡبغَة َون َۡحنُ لَ ۥه ُ َٰ َعبِدُون‬ َ ‫ٱّللِ َو َم ۡن أ َ ۡح‬


‫سنُ ِمنَ ه‬
ِ ِ‫ٱّلل‬ ‫ص ۡبغَةَ ه‬
ِ
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya
kepada-Nya-lah kami menyembah,” (QS Al-Baqarah: 138).

Sebab, bagi para pengikut agama yang lurus, setiap bayi yang lahir berarti dalam keadaan suci
yang mengikuti agama Ibrahim Alaihissalam dan Ismail Alaihissalam. Amalan yang paling
populer yang pernah dilakukan oleh kedua Nabi tersebut—yang terus diwarisi oleh anak cucu
mereka adalah penyembelihan terhadap putra beliau. Kemudian, atas nikmat Allah bisa ditebus
dengan “penyembelihan yang agung,” yaitu dengan menyembelih kambing. Syariat keduanya
yang paling populer adalah ibadah Haji, yang di dalamnya juga terdapat syariat mencukur rambut
dan menyembelih korban. Dengan demikian menyerupai keduanya dalam hal ini merupakan
bentuk pujian terhadap agama yang lurus, di samping juga panggilan bahwa anak telah
melaksanakan bagian dari ajaran agama yang lurus ini.

4. Aqiqah di masa-masa kelahiran sang anak juga berarti pengorbanan anak itu sendiri di jalan
Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam. Dengan demikian, terus
terjadi serial dalam mengikuti contoh kebaikan.

5. Aqiqah merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah dari bayi yang dilahirkan di masa-
masa awal dia keluar ke alam dunia. Bayi yang dilahirkan jelas mendapat kemanfaatan dari hal
itu, sebagaimana doa itu bermanfaat bagi dirinya, begitu juga membawanya ke tempat-tempat
ibadah, tempat-tempat suci dan semisalnya.
6. Aqiqah juga merupakan penebus dari gadaian sang bayi yang dilahirkan, karena bayi itu tergadai
oleh aqiqahnya. Imam Ahmad mengatakan, “Dia tergadai (tertahan) dari memberis syafaat kepada
orang tuanya.” Sedangkan Atha’ bin Abi Rabbah mengatakan, “Yang dimaksud dengan tergadai
dengan aqiqahnya adalah dia tidak akan bisa menerima syafaat dari anaknya.”

Allah ‫ ﷻ‬telah menjadikan ibadah sang anak sebagai sebab untuk membebaskan dari belenggu setan
yang telah mengikatkan belenggu itu sedari lahir ke dunia. Aqiqah adalah sebagai tebusan untuk
bisa melepaskan diri dari tahanan setan dan dari penjaranya sekaligus penghalang dari upaya setan
yang terus ingin merusak masa depan (akhirat) sang bayi. Seakan-akan, sang bayi itu tertahan
menunggu disembelihnya setan yang menahannya, karena setan memang telah bersumpah kepada
Rabb-nya bahwa ia akan terus menggoda manusia kecuali hanya sedikit saja dari mereka.

Setan senantiasa mengintai bayi yang baru dilahirkan sejak pertama kali keluar ke dunia. Dan
ketika sang bayi keluar, maka ia langsung menyerangnya dan berusaha keras untuk menjadikannya
berada di dalam genggamannya dan di bawah penguasaannya serta memasukkannya menjadi
bagian dari para kekasih dan golongannya.

Setan sangat berambisi untuk melakukan hal tersebut. Dan kebanyakan bayi yang dilahirkan
akhirnya menjadi bagian dari tentaranya. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah ‫ﷻ‬:

“...dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka...”
(QS Al-Isra: 64).

“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka
lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman,” (QS Saba: 20).

Oleh karena itu, berkenaan dengan tegadainya anak ini, maka Allah ‫ ﷻ‬mensyariatkan kedua orang
tua untuk melepaskannya dengan cara melakukan penyembelihan sebagai tebusan. Jika belum
disembelih, maka dia masih saja tergadai.
Sekarang masih tersisa pertanyaan, “Apa hikmah dari pengkhususan pada hari ketujuh?”

Syeikh Dahlawi memberikan jawabab bahwa penghususan hari ketujuh itu karena memang harus
ada tenggang antara waktu kelahiran dengan aqiqah. Sebab, keluarga tentu masih sibuk mengurus
ibu yang melahirkan dan sekaligus anak yang dilahirkan di hari-hari pertama kelahiran. Sehingga,
mereka tidak perlu diberi tambahan beban lagi yang akan semakin menambah kesibukan mereka
lag. Di samping itu, barangkali dia tidak bisa mendapatkan kambing, kecuali dengan usaha yang
keras.

Seandainya hal itu dilakukan di awal kelahiran, maka tentu hal ini akan sangat merepotkan. Tujuh
hari adalah waktu yang memadai untuk melakukan persiapan dalam melakukan aqiqah dan juga
tidak terlalu lama. Berkenaan dengan pemberian nama, maka karena sang anak sebelumnya belum
membutuhkan nama,” (dalam Hujjatullah Al-Balighah: 2/144).

You might also like