Professional Documents
Culture Documents
Oleh
Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan
(kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud
2838, Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi
2/81, dan lain-lainnya]
Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua
kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat
Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain
dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam
kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa
diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka
hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan
satu kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-
163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim
(4/238)]
Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah
bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang
miskin seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390),
Thabrani dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin
Muhammad bin Uqoil]
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah
dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus sholih.
Sumber: https://almanhaj.or.id/856-ahkamul-aqiqah.html
Hukumnya:
Pendapat pertama:
Mengatakan wajib, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abu Zinad, Al Laits,
Adz Dzohiriyah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan sebagian
ulama yang bermazhab Al Hanabilah, mereka berdalil dengan hadits-hadits
yang didalamnya terkandung perintah aqiqah, seperti sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam:
ع ْنهُ ْاْلَذَى
َ طوا َ َو َم َع ْالغُ ََل ِم
ُ ع ِقيقَتُهُ فَأ َ ِمي
َ َوأ َ ِريقُوا
ع ْنهُ دَ ًما
“Kelahiran seorang anak itu harus disertai aqiqah, Hilangkan gangguannya
(maksudnya cukurlah rambutnya) dan alirkanlah darah (sembelihlah
hewan).”
[HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Salman bin Amir radhiyallahu
‘anhu, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
Dan juga berdalil dengan hadits:
ُ ُك ُّل
ٌ غ ََل ٍم َر ِه
ين ِبعَ ِقيقَ ِت ِه
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya”
[HR. Ashab Assunan dari shahabat Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh
Syekh Al Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallohu ta’ala]
Pendapat kedua:
Aqiqah bukan hal yang disunnahkan, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan
Ashab Ar Ro’y, mereka berdalil dengan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dan bapaknya dari kakeknya:
َ سله َم
ع ْن َ علَ ْي ِه َو صلهى ه
َ َُّللا سو ُل ه
َ َِّللا ُ سئِ َل َر ُ «
ُّ ْالعَ ِقيقَ ِة فَقَا َل ََل أ ُ ِح
» َب ْالعُقُوق
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ditanya tentang Aqiqah, maka
beliau bersabda: Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan”
[HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]
Kalau kita lihat kelengkapan hadits ini, justru menjadi hujjah atas mereka;
Wallohu a’lam dari ketiga pendapat di atas maka pendapat yang kuat
dan terpilih adalah pendapat ketiga, bahwa hukum aqiqah adalah sunnah
muakkadah, dan pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekhuna Abdurrohman
Al ‘Adeny – hafidzahulloh ta’ala.
Catatan:
Berkata Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny hafidzahullah ta’ala:
“Tidak mengapa kalau seseorang berhutang dalam rangka melakukan
sunnah aqiqah anaknya, apabila dia bersungguh-sungguh dalam melunasi
hutangnya maka Allah akan membantunya, berkata Al Imam Ahmad –
rohimahulloh:
“Barangsiapa tidak memiliki uang untuk hal tersebut (aqiqah) kemudian dia
berhutang maka aku berharap semoga Allah ta’ala membantu melunasinya
karena dia telah menegakkan sunnah”.
Pelaksanaan aqiqah itu lebih utama daripada bershadaqah dengan uang
seharga kambing aqiqah, karena pada aqiqah terdapat padanya pahala
shadaqah dan wujud rasa syukur dan penebusan (karena bayi yang baru
lahir ibarat sesuatu yang tergadaikan yang ditebus dengan aqiqah
sebagiamana yang telah lalu penjelasannya)
Masalah: Berapa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki dan
bayi perempuan dalam pelaksanaan aqiqah?
Masalah:
Berapa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki dan
bayi perempuan dalam pelaksanaan aqiqah?
Pendapat pertama:
Pendapat jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa untuk bayi laki-laki 2
ekor kambing dan perempuan 1 ekor kambing.
Dalilnya adalah hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata; saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ع ْن ْال َج
اريَ ِة َ ان َو ِ َ ع ْن ْالغُ ََل ِم شَات
ِ َ ان ُم َكافِئَت َ «
» ٌ شَاة
“Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang sama, dan anak perempuan
seekor kambing.” [HR. Ahmad, At Tirmidzy, Ibnu Hibban dan dishohihkan
oleh Syekh Al Albany – raimahullah]
Alloh ta’ala telah memberikan kekhususan pada laki-laki sesuatu yang tidak
ada pada perempuan, Alloh berfirman:
Faidah:
Bayi lahir dalam keadaan hidup kemudian mati sebelum tanggal ketujuh dari
hari kelahirannya maka pendapat jumhur para ulama dalam masalah ini
adalah disyariatkan untuk bayi tersebut aqiqah. Apabila bayi lahir dalam
keadaan hidup dan sampai pada hari ketujuhnya belum dilakukan aqiqah
untuknya, maka pendapat jumhur para ulama adalah boleh dilakukan aqiqah
pada hari kedelapanya atau setelahnya. Telah lewat pembahasan ini pada
Pertemuan Kedua.
Pembagian daging
Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh
dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-
Muhalla” 7/527.
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak
bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh
dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari
Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :
“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-
21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti
dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang
kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]
2. Mengikuti ajakan untuk menjadi dermawan dan mengendalikan diri agar tidak bakhil
3. Adalah kamu Nasrani jika melahirkan anak, mereka mencelupkan anak itu dengan air berwarna
kuning yang mereka namakan sebagai pembaptisan. Mereka mengatakan, “Dengan begitu, seorang
anak menjadi Nasrani. Serupa dengan hal ini, maka Allah ﷻberfirman:
Sebab, bagi para pengikut agama yang lurus, setiap bayi yang lahir berarti dalam keadaan suci
yang mengikuti agama Ibrahim Alaihissalam dan Ismail Alaihissalam. Amalan yang paling
populer yang pernah dilakukan oleh kedua Nabi tersebut—yang terus diwarisi oleh anak cucu
mereka adalah penyembelihan terhadap putra beliau. Kemudian, atas nikmat Allah bisa ditebus
dengan “penyembelihan yang agung,” yaitu dengan menyembelih kambing. Syariat keduanya
yang paling populer adalah ibadah Haji, yang di dalamnya juga terdapat syariat mencukur rambut
dan menyembelih korban. Dengan demikian menyerupai keduanya dalam hal ini merupakan
bentuk pujian terhadap agama yang lurus, di samping juga panggilan bahwa anak telah
melaksanakan bagian dari ajaran agama yang lurus ini.
4. Aqiqah di masa-masa kelahiran sang anak juga berarti pengorbanan anak itu sendiri di jalan
Allah, seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam. Dengan demikian, terus
terjadi serial dalam mengikuti contoh kebaikan.
5. Aqiqah merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah dari bayi yang dilahirkan di masa-
masa awal dia keluar ke alam dunia. Bayi yang dilahirkan jelas mendapat kemanfaatan dari hal
itu, sebagaimana doa itu bermanfaat bagi dirinya, begitu juga membawanya ke tempat-tempat
ibadah, tempat-tempat suci dan semisalnya.
6. Aqiqah juga merupakan penebus dari gadaian sang bayi yang dilahirkan, karena bayi itu tergadai
oleh aqiqahnya. Imam Ahmad mengatakan, “Dia tergadai (tertahan) dari memberis syafaat kepada
orang tuanya.” Sedangkan Atha’ bin Abi Rabbah mengatakan, “Yang dimaksud dengan tergadai
dengan aqiqahnya adalah dia tidak akan bisa menerima syafaat dari anaknya.”
Allah ﷻtelah menjadikan ibadah sang anak sebagai sebab untuk membebaskan dari belenggu setan
yang telah mengikatkan belenggu itu sedari lahir ke dunia. Aqiqah adalah sebagai tebusan untuk
bisa melepaskan diri dari tahanan setan dan dari penjaranya sekaligus penghalang dari upaya setan
yang terus ingin merusak masa depan (akhirat) sang bayi. Seakan-akan, sang bayi itu tertahan
menunggu disembelihnya setan yang menahannya, karena setan memang telah bersumpah kepada
Rabb-nya bahwa ia akan terus menggoda manusia kecuali hanya sedikit saja dari mereka.
Setan senantiasa mengintai bayi yang baru dilahirkan sejak pertama kali keluar ke dunia. Dan
ketika sang bayi keluar, maka ia langsung menyerangnya dan berusaha keras untuk menjadikannya
berada di dalam genggamannya dan di bawah penguasaannya serta memasukkannya menjadi
bagian dari para kekasih dan golongannya.
Setan sangat berambisi untuk melakukan hal tersebut. Dan kebanyakan bayi yang dilahirkan
akhirnya menjadi bagian dari tentaranya. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah ﷻ:
“...dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka...”
(QS Al-Isra: 64).
“Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka
lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman,” (QS Saba: 20).
Oleh karena itu, berkenaan dengan tegadainya anak ini, maka Allah ﷻmensyariatkan kedua orang
tua untuk melepaskannya dengan cara melakukan penyembelihan sebagai tebusan. Jika belum
disembelih, maka dia masih saja tergadai.
Sekarang masih tersisa pertanyaan, “Apa hikmah dari pengkhususan pada hari ketujuh?”
Syeikh Dahlawi memberikan jawabab bahwa penghususan hari ketujuh itu karena memang harus
ada tenggang antara waktu kelahiran dengan aqiqah. Sebab, keluarga tentu masih sibuk mengurus
ibu yang melahirkan dan sekaligus anak yang dilahirkan di hari-hari pertama kelahiran. Sehingga,
mereka tidak perlu diberi tambahan beban lagi yang akan semakin menambah kesibukan mereka
lag. Di samping itu, barangkali dia tidak bisa mendapatkan kambing, kecuali dengan usaha yang
keras.
Seandainya hal itu dilakukan di awal kelahiran, maka tentu hal ini akan sangat merepotkan. Tujuh
hari adalah waktu yang memadai untuk melakukan persiapan dalam melakukan aqiqah dan juga
tidak terlalu lama. Berkenaan dengan pemberian nama, maka karena sang anak sebelumnya belum
membutuhkan nama,” (dalam Hujjatullah Al-Balighah: 2/144).