You are on page 1of 9
RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN (STUDI KASUS RESTRUKTURISASI BUMN) Oleh : I Nyoman Tjager* Latar Belakang Pembentukan BUMN di Indonesia adalah konsekuensi logis dari amanat dasar falsafah negara Indonesia Pancasila, dalam rangka men- capai kesejahteraan masyarakat. Landasan strukturalnya adalah Pasal 33 UUD 1945, yang dalam penjelasannya secara tegas memberikan ciri-ciri dan bentuk dasar dari BUMN. Untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, diciptakan tiga wadah badan usaha yaitu BUMN, Koperasi dan Perusahaan Swasta yang diatur dalam aturan yang berbeda (Pramono, 1977) Dari latar belakang sejarahnya, Kelahiran BUMN telah mengungkapkan berbagai moti- vasi keinginan Pemerintah untuk menertibkan dan menyederhanakan bentuk BUMN pada waktu itu (masa-masa lahimya Orde Baru tahun 1967) dengan mengeluarkan berbagai peratur- an penertiban, antara lain ( Pramono, 1997 ): 1, InpresNo.17 Thn 1967 Ttg Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam Tiga Bentuk Usaha Negara. Instruksi ini kemudian disempurnakan bentuknya menjadi Perpu No.1 Thn 1969 Tig BUMN; 2. UU No.9 Tha 1969 Ttg Penetapan Perpu No.1 Thn 1969 menjadi UU; 3. PPNo.12 Thn 1969 Ttg Perusahaan Perseroan. Menurut UU No.9 tahun 1969 jo PP No. 12 Tahun 1969 , PT Persero adalah PT seperti yang diatur di dalam KUHD, sekarang UU No.1 Tahun 1995. Dengan demikian secara yuridis PT (Rersero) pada hakekatnya adalah PT Biasa seperti halnya PT Swasta. Struktur alat per- Jengkapan, sifat hubungan hukum antar alat perlengkapan PT, secara teoritis adalah sama dengan struktur PT Biasa. * SH, MA, Dirjen Pembinaan BUMN Pada masa Orde Baru yang lalu campur tangan pemerintah yang demikian ketat, sebagai konsekuensi pengamanan dana Pemerintah, menjadikan BUMN tidak dapat begitu saja di- samakan dengan bentuk-bentuk usaha swasta. Sebagai contoh pada waktu itu bentuk campur tangan Pemerintah yang demikian ketat, bahkan terkesan ruang gerak manajemennya menjadi terbatas mengakibatkan PT (Persero) kurang mampu mengembangkan kinerjanya secara optimal untuk mencapai tujaan perusahaan. Secara sepintas saja dapat diidentifikasi- kan berbagai badan yang pada waktu itu mem- punyai wewenang mengawasi dan atau mem- bina BUMN, seperti : 1. Dewas Komisaris atau Dewan Pengawas; 2. Dirjen Dept.Teknis ybs; . Injen Dept. Tehnis ybs; BPK; BPKP; Bakorstranas; Direktorat Persero Departemen Keuangan; . Biro Tata Usaha Departemen Teknis; . DPR; 10. Pemda; 11, Perbankan, kaitannya dengan kredit (Ismangil, 1994, Pramono, 1997). CeIn Anew Di awal kemerdekaan, BUMN khususnya PT (persero) pada mulanya dibentuk sebagai upaya pemerintah untuk membangun pereko- nomian nasional di saat mana aktivitas usaha swasta nasional masih kecil karena langkanya modal, teknologi dan sumber daya manusia. Pembangunan perekonomian ini diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru, meng- hasilkan barang dan jasa substitusi impor, me- ningkatkan ekspor dan memberikan layanan MIMBAR HUKUM. yang optimal bagi konsumen. Oleh sebab itu pemerintah kemudian mengembangkan sektor korporasi yang berasal dari hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan eks-Belanda yang beroperasi di Indonesia dan pembentukan per- usahaan baru yang permodalannya berasal dari dana bantuan atau pinjaman. Sejak saat itu, peranan pemerintah sampai dengan awal tahun 1970-an mendominasi kegiatan ekonomi me- lalui kepemilikan BUMN, sementara sektor swasta belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Dari uraian di atas, tampak bahwa PT (Per- sero) sebagai BUMN adalah alat pemerintah (agent of development) sebagai pendukung ke- bijakan pembangunan ekonomi untuk me- ningkatkan stabilitas ekonomi (Ardjanggi, 1984). Oleh karena itu sebagai BUMN, seperti BUMN lain di manapun, PT (Persero) akan mempunyai 2 (dua) wajah, yaitu : 1. Sebagai business entity yang dituntut untuk menghasilkan laba dan menghimpun dana yang sebesar-besarnya; 2. Sebagai aparatur perekonomian negara yang biasanya dibebani dengan berbagai penugasan-penugasan yang diberikan oleh pemerintah. Alasan penugasan senantiasa langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan target pembangunan ( Suryaatmaja, 1984). Yang menjadi persoalan dalam praktek adalah mengapa peran BUMN termasuk PT (Persero) sebagai agent of development sering lebih menonjol atau Jebih dominan dibanding perannya sebagai businéss entity. Ada beberapa alasan mengapa BUMN lebih banyak berperan sebagai wahana pembarigunan dari pada se- bagai perusahaan, yaitu : 1, BUMN adalah alat vital yang efektif untuk melaksanakan pembangunan nasional; 2. Pemerintah selaku pemilik BUMN mem- punyai wewenang untuk memberikan penugasan apapun juga kepada BUMN; 3. Dalam pelaksanaan pembangunan sering ali dirasakan perlu untuk melaksanakan 20 proyek-proyek tertentu yang tidak terdapat dalam rencanapembangunan yang ditetap- kan semula (Muhammad & Siregar, 1983 dalam Anoraga, 1995). Oleh karena ita BUMN khususnya PT (Persero) sering dikritik dan disorot masyarakat, karena dengan berbagai alasan seperti dike- mukakan di atas, menjadikan tata kerja atau management BUMN tidak efisien dan tidak produktif. Inefisiensi dan rendahnya produk- tivitas BUMN karena adanya intervensi birokrat dan departemen teknis yang membawahi BUMN tersebut terlalu besar (Anoraga, 1995). Di era globalisasi dewasa ini, banyak sektor swasta yang telah mampu bersaing bahkan melebihi BUMN, menuntut BUMN khususnya PT (Persero) harus dikelola dengan manajemen yang profesional, agar BUMN tersebut efisien dan mempunyai daya saing di pasaran global. Daya saing dan efisiensi dalam era global ke depan merupakan kunci keber; hasilan suatu usaha (Tjager, 2001). Memang untuk memadukan kepentingan pemerintah dan pelayanan masyarakat dengan kepentingan bisnis merupakan tugas yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Namun dengan manage- ment yang profesional, harapan itu akan dapat diwujudkan. Harus disadari oleh management PT (Per- sero) bahwa memasuki era globalisasi seiring dengan peningkatan peran swasta, tuntutan untuk mendapatkan perlakuan yang sama bagi kegiatan usaha mulai mengusik kenyamanan BUMN ‘dalam monopoli di beberapa sektor kegiatan usaha. Berbarengan dengan itu, dengan digulirkannya era otonomi daerah, keinginan daerah untuk “menguasai* sektor kegiatan usaha yang semula dikelola PT (Persero) mulai dipersoalkan. Dapat dilihat contoh-contoh yang baru-baru ini menjadi polemik di masyarakat, misaluya : keinginan Semen Tonasa dan Semen Padang untuk memisahkan diri dari Semen Gresik. Keinginan beberapa daerah untuk me- ngelola sendiri PT. Inhutani yang ada di daerah dan sebagainya. ‘MIMBAR HUKUM. Sementara itu di era reformasi sekarang ini, berdasarkan evaluasi terhadap kinerja BUMN menunjukkan bahwa banyak BUMN yang belum benar-benar dijalankan secara efi- sien schingga hasil yang dicapai tidak optimal. Hal ini tampak pada rendahnya laba yang diper- ‘oleh dibandingkan dengan modal yang ditanam- kan. Laba rata-rata di tahun 1997 dan tahun 1998 dari modal yang ditanamkan adalah sekitar 7% dan 10% atau jauh lebih rendah dibanding- kan dengan tingkat suku bunga di pasar. Konse- kuensinya, sebagian BUMN tidak lagi dapat membayar utangnya atau tidak dapat memberi- kan keuntungan yang memadai untuk keperlu- an pengembangan usahanya, dan bahkan me- ngarah pada terakumulasinya pinjaman yang berlebihan. Keadaan demikian mendorong BUMN menghasilkan barang dan jasa dengan biaya yang relatif lebih tinggi dari yang seharus- nya, dan beban tersebut harus dipikul oleh kon- sumen atau oleh pembayar pajak. Di samping itu, dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan, BUMN cenderung men- dapat tekanan untuk menambah karyawan yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau men- jalankan proyek-proyek yang mungkin tidak sepenuhnya layak secara komersial. Kondisi tersebut tidak diikuti dengan keleluasaan untuk menaikkan harga untuk menutup biaya-biaya terkait. Krisis moneter yang melanda sejak per- tengahan tahun 1997 mendorong pemerintah untuk merampingkan segala macam. bentuk kegiatan terutama pengeluaran negara termasuk subsidi. Dengan sendirinya dividen dari BUMN yang menguntungkan yang masuk ke APBN benar-benar diharapkan dapat menutupi ke- butuhan penyelenggaraan negara lainnya ter- masuk dalam mengangkat kepentingan nasional, sehingga subsidi silang dari BUMN yang ber- hasil kepada BUMN yang merugikan secara ekonomis dianggap tidak wajar karenanya tidak layak untuk dilakukan lagi. Tindakan demikian tidak lebih sebagai tindakan gali lubang tutup lubang, suatu tindakan yang sangat bertentang- an dengan efisiensi. Sehubungan dengan itu pemerintah mulai menggemakan prinsip efisiensi di segala bidang dan mengurangi peranannya di séktor dunia usaha bersamaan dengan upaya’meningkatkan kinerja BUMN melalui restrukturisasi dan privatisasi. Namun upaya ini tampaknya masih memerlukan waktu agar dapat dipahami dan diterima semua pihak, baik jajaran pemerintah, manajemen, parlemen maupun masyarakat luas. Sosialisasi yang intensif kepada semua pihak mungkin merupakan suatu cara untuk meyakin- kan bahwa restrukturisasi yang diikuti dengan privatisasi dalam jangka panjang dapat mening- katkan kinerja perekonomian nasional yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejah- teraan rakyat. Kajian mengenai peran BUMN dan restrukturisasi BUMN secara ilmiah di- harapkan dapat menjadi ajang sosialisasi yang akan berspektrum luas dalam menjelaskan per- masalahan BUMN dan kebijakan pemerintah dalam membina dan mengatasinya peran BUMN sebagai agent of development di masa mendatang. Pengembangan BUMN BUMN dalam pengembangannya telah mengalami 3 periode kebijakan yang berbeda. Dalam periode pertama (1945-1960) dan kedua (1960-1969) terdapat berbagai kebijakan dengan berbagai bentuk usaha milik negara. Akibat- nya pengelolaan usaha milik negara menjadi Kurang efisien. Hal ini mendorong pemerintah untuk menata kembali semua usaha negara (melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 1969) ke dalam 3 bentuk dasar yang mempunyai tujuan usaha yang berbeda yaitu : Perusahaan jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Perseroan (PERSERO) seperti telah diungkapkan di muka. PERJAN adalah badan usaha negara yang bertujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat. PERJAN merupakan bagian dari Departemen tertentu dimana pegawainya di- anggap sebagai pegawai negeri dan dipimpin MIMBAR HUKUM 21 oleh seorang Kepala serta memperoleh fasilitas negara berupa subsidi untuk kelancaran tugas operasionalnya. PERUM berbentuk badan hukum yang bertujuan melayani masyarakat sekaligus memupuk keuntungan. Pegawainya merupakan pegawai perusahaan negara. Semua modalnya dimiliki negara dan pada umumnya bergerak di sektor-sektor perekonomian yang vital dimana pemerintah dapat berperanan untuk mengatur mekanisme harga atau tarif. PERSERO berbentuk perseroan (PT) yang ber- tujuan memupuk keuntungan, dipimpin oleh direksi dibawah pengawasan dewan komisaris. Pegawainya dianggap sebagai pegawai perusa- haan. Modalnya dalam bentuk-bentuk sah: saham yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara. Bentuk usaha negara ini dapat mengadakan usaha patungan baik dengan perusahaan nasional maupun dengan perusa- haan asing. Dalam pelaksanaannya ternyata banyak ter- jadi pergeseran tujuan dimana baik perum mau- ‘pun persero menjadi wahana pembangunan tanpa memandang status hukum BUMN tersebut. Disatu pihak BUMN digunakan secara intensif sebagai alat atau instrumen pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan (antara Jain sebagai sumber pendapatan APBN: me- lalui pajak, dividen dan menyalurkan kredit untuk usaha kecil). Dilain pihak, BUMN ber- gantung secara finansial dan non finansial ke- pada pemerintah (antara lain melalui : PMP, pinjaman yang bersubsidi, proteksi bidang produksi dan pemasaran). Akibatnya pengelo- laan BUMN menjadi tidak sehat dan tidak ber- daya saing. Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan berlanjut. Pertama, di era globalisasi efisiensi dan daya saing merupakan prasyarat untuk dapat masuk ke dalam pasar global. Selain itu, kesepakatan internasional dalam anti mono- poli akan merupakan kendala bagi BUMN untuk terus menerus mendapat perlindungan pemerintah baik di segi produksi maupun pe- masaran. Kedua sejak dilanda krisis, APBN yang tersedia sudah tidak dapat mengimbangi kebutuhan-kebutuhan untuk pembangunan. Sehingga dana pemerintah untuk dunia usaha semakin terbatas. Tentunya pemanfaatan dana yang ada akan diarahkan pada sektor yang benar-benar strategis bagi kepentingan nasional. Berarti, BUMN akan dikembangkan sesuai dengan arah perkembangan pereko- nomian dunia tanpa mengabaikan kepentingan nasional. Strategi Pengembangan BUMN Strategi pemerintah dalam pembinaan untuk mengembangkan BUMN antara lain adalah sebagai berikut (Tjager, 2001) : 1. Mendorong BUMN untuk menjadi lebih efisien. Untuk itu telah dilakukan langkah- langkah strategi yang antara lain adalah sebagai berikut : a. Menerapkan konsep “good corporate governance” dalam pelaksanaan ke- giatan BUMN. Untuk maksud tersebut telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. Kep-23/M.PM. P.BUMN /2000 tentang Pengembangan Praktek Good Corporate Governance dalam Persero, yang antara lain meng- atur : 1). Kriteria dan tanggung jawab komi- saris serta auditor pendukungnya 2). Kriteria dan tanggung jawab direksi 3). Ketentuan untuk menginformasi- kan kepada masyarakat luas tentang tujuan dan target BUMN melalui publikasi “Statement of Corporate intent” (SCI) yang disusun oleh direksi. b. Melaksanakan fit and proper test untuk pemilihan direksi BUMN. Untuk pelaksanaan fit and proper test telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Nomor : Kep-03/M-PM.PBUMN/2000 tanggal 02 Maret 2000, tentang Penilai- an Kemampuan dan Kapatutan (Fit and 22 MIMBAR HUKUM Proper Test) Calon Anggota Direksi Badan Usaha Milik Negara. 2. Mengurangi atau bahkan tidak sama sekali mengalokasikan dana untuk keperluan BUMN. Hal ini akan memacu BUMN untuk meningkatkan pendapatannya sehingga dapat : a. memenuhi keperluannya sendiri ter- masuk untuk keperluan perluasannya melalui penanaman kembali laba yang diperolehnya. b. atau melakukan peminjaman dana secara bijaksana untuk memenuhi ke- perluannya termasuk perluasannya. cc. meningkatkan pendapatan negara me- Jalui pajak atas laba. d. meningkatkan pendapatan karyawan dan dividen yang berarti meningkatkan penerimaan pajak tak langsung. 3. Memberi kesempatan kepada masyarakat juas untuk turut memiliki saham BUMN sekaligus memperkuat pasar modal. 4. Mengembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha saling menunjang dan mengembangkan antara koperasi, swasta dan BUMN, serta antara usalia besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional, Hal ini antara Jain dilakukan me- lalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN sebesar 1-5%, Strategi pengembangan BUMN ini diharapkan dapat dicapai melalui restruk- turisasi dan privatisasi terhadap BUMN ter- sebut. Restrukturisasi Pada dasamya restrukturisasi merupakan langkah awal untuk meningkatkan kinerja BUMN dan mengembangkannya menjadi suatu kegiatan usaha yang behar-benar dijalan- kan secata profesional. Dalam langkah ini dipertimbangkan perlunya kehadiran pihak lain yang dapat memberikan kontribusi baik dalam bentuk pendanaan, teknologi dan pemasaran. Bersamaan dengan itu pening- katan peran swasta dalam pembangunan ekonomi juga berdampak pada pengembangan profesional dan kader-kader manajer serta teknisi yang mempunyai kualifikasi tinggi. Selain itu berbagai lembaga keuangan juga telah berkembang sejalan dengan terbentuk- nya industri pasar modal, perbankan dan peru- sahaan-perusahaan jasa keuangan lainnya. Perkembangan lembaga keuangan tersebut merupakan terobosan bagi perubahan struktur pembiayaan perusahaan. Hal ini semua makin membuka jalan bagi pemerintah untuk me- ngembangkan BUMN secara ekonomis tanpa membebani negara melalui penyertaan modal masyacakat luas. Untuk maksud tersebut pemerintah telah melakukan upaya restrukturisasi terhadap BUMN-BUMN yang antara lain meliputi hal- hal sebagai berikut : + Restrukturisasi internal meliputi bidang, kegiatan operasional dan sumberdaya manusia. Restrukturisasi external: sektor yang bersangkutan yang menjadi lingkup depar- temen tehnis. Restrukturisasi dipusatkan pada pembenahan dan penataan regulasi dalam upaya untuk menciptakah iklim usaha yang sehat sehingga akan terjadi persaingan usaha yang sehat, efisiensi dan pelayanan optimal yang dapat memberikan manfaat baik bagi konsumen maupun investor: Sejak dilaksanakannya kebijakan restruk- turisasi, kinerja BUMN persero terlihat me- ningkat. Hal ini dapat dilihat dari perkembang- an tingkat kesehatan BUMN sebagaimana ter- cantum dalam tabel 1. MIMBAR HUKUM. 23 Tabel 1. 1997 Klasifikasi 1998 1999 Persero Persero % Persero % ‘Sehat Sekali/Sehat 73 TT Kurang Sehat 3 70,8 18,6 i 14,2 Tidak Sehat 45 10,6 14,1 Jumlah 12,3 100 +) Penurunan Persero tahun 1998 sebanyak 10 peruschaan menjadi 112 BUMN karena pada tahun 1998 sepuluh perusahaan di bawah Industri Strategis, Digabung menjadi PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (PT. BPIS) dan 4 BUMN lainnya berkurang karena PT. Mega Eltra menjadi anak holding PT. PUSRI. Privatisasi Privatisasi adalah pengalihan saham pemerintah dari-perusahaan milik negara kepada pihak swasta termasuk di dalam- nya pembagian tanggung jawab manajemen kepada manajer yang baru. Dengan kata lain, privatisasi mengandung makna sebagai berikut : Perubahan peran pemerintah yang semula sebagai pemilik dan pelaku ekonomi men- jadi regulator dan promotor dari kebijakan serta penatap sasaran baik nasional mau- pun sektoral. Para manajer selanjutnya akan bertanggung jawab kepada pemilik baru. Pemilik baru diharapkan akan mengejar pencapaian sasaran perusahaan dalam kerangka regu- lasi perdagangan, persaingan, keselamatan kerja dan peraturan lainnya yang ditetap- kan oleh Pemerintah termasuk kewajiban pelayanan masyarakat. ‘Memilih metode dan waktu privatisasi serta memilih pembeli yang terbaik bagi BUMN dan negara mengacu kepada sasaran- sasaran pemerintah. ‘Adapun sasaran privatisasi adalah sebagai berikut; a. sasaran Jangka Pendek adalah membantu pencapaian target penerimaan APBN dari privatisasi BUMN sebesar Rp. 6,5 triliun untuk tahun anggaran 2000 yang akan ber- akhir Desember 2000. b. sasaran Jangka Panjang adalah mening-kat- kan efisiensi pengelolaan BUMN yang sehat dan transparan melalui keikut- sertaan masyarakat investor di pasar modal. ¢. dengan privatisasi diharapkan perusa- haan dapat semakin meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan kualitas produk (barang/jasa) yang dihasilkan, yang akhimya akan memberikan manfaat kepada masyarakat konsumen secara luas. : d. dengan dilakukannya privatisasi ter- hadap BUMN-BUMN yang sudah cukup kompetitif dan produknya tidak bersifat strategis bagi kepentiagan masyarakat banyak, maka Pemerintah dapat ter- hindar dari beban-beban yang tidak se- harusnya. Untuk itu pemerintah telah menyusun target privatisasi yang telah dipublikasikan dalam bentuk Masterplan 2000 pada bulan Juni 2000 yang lalu. Adapun untuk tahun 2000 telah disusun target privatisasi sebagaimana ter- cantum dalam tabel 2. 24 MIMBAR HUKUM Tabel 2. BUMN Bidang Usaha Kepemilikan Pemerintah PT. Perkebunan Nusantara IIT Perkebunan Kelapa Sawit 100% PT. Perkebunan Nusantara IV Perkebunan Kelapa Sawit 100% PT. Pupuk Kaltim Pupuk 100% PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam | Pertambangan Batu Bara 100% PT. Aneka Tambang Tbk. Pertambangan 65% PT. Indo Farma Farmasi 100% PT. Kimia Farma Farmasi 100% PT. Sucofindo Surveyor 955 PT. Kerta Niaga Perdagangan 100% Selain itu pemerintah juga telah menyiap- 2. kan daftar cadangan sebagai pengganti apabila BUMN yang ditargetkan seperti tercantum dalam tabel di atas gagal, sebagaimana tercantum dalam tabel 3. Tabet 3. BUMN PT. Angkasa Pura IT Pelabuhan Udara (airport) 100% Mitra Strategis Penjualan saham dilakukan kepada mitra yang telah mempunyai pengalaman dalam bidang yang sama dan mempunyai pangsa di pasar intemasional ‘Bidang Kegiatan PT. Telkom Tbk. Telekomunikasi PT. Indosat Tbk. PT. Sarinah Telekomunikasi Perdagangan eceran PT. Wisma Nusanatara Hotel dan Perkantoran PT. Tambang Timah Pertambangan BPIS PT. PUSRI Industri Strategis (Financial Holding) Financial Holding PT. Perhotelan dan Perkantoran Indonesia Hotel dan Perkantoran JTHD Untuk mencapai target tersebut, maka 3. pemerintah telah menetapkan akan melakukan privatisasi melalui; 1. Penawaran Umum (Initial Public Offering/ IPO) Penjualan saham dilaksanakan melalui pasar modal dimana masyarakat umum 4. dapat turut membeli. Manajemen Perhotelan Employee Buyouts/EBOs Penjualan saham pada karyawan terhadap BUMN yang paling tidak telah mencapai keuntungan marginal dan praktis tidak membutuhkan suntikan dana yang besat serta tidak memerlukan teknologi baru. Likuidasi Dilakukan terhadap BUMN yang tidak lagi MIMBAR HUKUM 25 mempunyai prospek usaha baik dilihat dari aspek keuangan dan kelangsungan usaha- nya. Kendala Pelaksanaan Privatisasi Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala yang antara lain adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan privatisasi BUMN apabila untuk jangka pendek pemenuhan APBN tahun 2000,menghadapi kendala kondisi pasar modal domestik maupun internasi- onal yang tidak kondusif untuk melakukan penawaran umum ({PO). b. Persepsi pemodal internasional mengenai “country risk” Indonesia, sebagai akibat perkembangan sosial, politik, keamanan dan perubahan dinamika tuntutan masya- rakat terhadap reformasi dapat mengurangi minat investor untuk mengembangkan investasinya di Indonesia. Sebagai contoh: “Soverign rating” di Indonesia masih non investment grade dan bobot Indonesia dalam MSCI Index masih terlalu rendah. c. Perkembangan tuntutan masyarakat dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah dapat mengganggu kelancaran program privati- sasi untuk BUMN-BUMN yang memiliki aset yang betlokasi di daerah-daerah. Sebagai contoh permasalahan kebijakan terpadu antar departemen maupun dengan Pemerintah Daerah perlu segera diselesai- kan secara cepat dan tuntas, misalnya dalam hal penentuan harga gas untuk PT. Pupuk Kaltim, perpanjangan HGU perkebunan, penyertaan saham pemerintah daerah di BUMN yang diprivatisasi, unit BUMN di ‘Sumatera Barat (Semen Padang dan Tambang_ Batubara Ombilin) dan sébagainya. d. Masalah-masalah internal BUMN, yang perlu diselesaikan lebih dahulu. e. Adanya kanibalisme penjualan saham antar BUMN bila mengandalkan metode pena- waran umum murni dimana investor akan mengejar saham BUMN yang memiliki prospek cerah sehingga saham BUMN lain menjadi tidak laku atau harus dijual murah. f. Belum jelasnya kerangka hukum bagi pe- laksanaan privatisasi (adanya revisi per- aturan, misalnya Keppres 103 tahun 1998 tentang Tim Evaluasi Privatisasi yang dulu diketuai oleh menkowasbang; adanya penafsiran terhadap suatu ketentuan antar instansi terkait yang tidak murni yuridis, tetapi lebih pada penafsiran politis yang kompromistis, misalnya terhadap PP 98 tahun 1999 dan PP | tahun 2000. Bahkan terakhir ini adanya perubahan kabinet di- mana kedudukan organisasi Pembinaan BUMN menjadi belum jelas). Penutup Restrukturisasi dan privatisasi BUMN pada dasarnya merupakan suatu langkah penting tidak hanya dalam meletakkan kembali fungsi pemerintah sebagai regulator, tetapi juga dalam upaya mengembangkan tatanan pereko- nomian sesuai dengan perkembangan ekonomi global tanpa mengabaikan kepentingan nasional. Dalam pelaksanaannya menghadapi banyak kendala. Untuk itu perlu adanya suatu komitmen dari seluruh jajaran instansi peme- rintah, manajemen BUMN dan dukungan masyarakat luas untuk pelaksanaannya agar dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan sasaran dan tujuan yang akan dicapai. 26 MIMBAR HUKUM DAFTAR PUSTAKA Ardjangi, Sition, 1984., Peningkatan Efek- tivitas dan Efisiensi BUMN, Makalah pada Seminar Peranan Badan Usaha Milik Negara dalam Pelita IV, Kerja- sama antara Lembaga Managemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia- Yayasan Tenaga kerja Indonesia dan Friedrich Ebert Stiftung, Tanggal 14-15 Maret 1984, Jakarta. ‘Anoraga, Panji, 1989, BUMN, Koperasi Ismangil, Wagiono., 1984, Pengendalian BUMN Implikasi dan permasalahan dalam melaksanakan PP-3, Makalah pada Seminar Peranan Badan Usaha Milik Negara dalam Pelita IV, Kerja- sama antara lembaga Managemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia- Yayasan Tenaga Kerja Indonesia dan Friedrich Ebert Stiftung, Tanggal 14-15 Maret 1984, Jakarta. Pramono,Nindyo, 1997, Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Suryaatmadja, Oskar, 1984., Peranan Badan Usaha Milik Negara Dalam Pelita IV, Makalah pada Seminar Peranan Badan Usaha Milik Negara dalam Pelita IV, Kerjasama antara Lembaga Managemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia- Yayasan Friedrich Ebert Stiftung, tanggal 14-15 Maret 1984, Jakarta. MIMBAR HUKUM. 27

You might also like