You are on page 1of 7

2.

Paranoia sebagai Diagnosis Banding Skizofrenia Paranoid

Istilah paranoia sendiri telah digunakan dalam waktu yang cukup lama. Jaman Yunani
kuno dan Romawi istilah ini digunakan untuk mengacu pada suatu gangguan yang tidak
dapat dibedakan dengan berbagai gangguan mental lainnya. Saat ini penggunaan istilah ini
lebih terbatas sejak Kraeplin menunjukan suatu kasus dimana adanya delusi dan kontak yang
minim dengan realitas namun tidak terjadi disorganisasi personality yang kuat seperti yang
terjadi pada kasus schizophrenia.

saat ini ada 2 jenis psikosis paranoid yang termasuk dalam kelompok gangguan paranoid,
yaitu :

1. Paranoia, dimana terjadinya delusi yang berkembang secara perlahan kemudian menjadi
rumit, logis dan sistematis serta hal tersebut berpusat pada delusi merasa dikejar-kerjar atau
waham kebesaran. Meski adanya delusi, kepribadian penderita masih utuh, tidak ada
disorganisasi yang serius dan tanpa halusinasi.
2. Paranoid state, terjadinya perubahan delusi yang paranoid dan cara berpikir menjadi tidak
logis serta munculnya ciri-ciri paranoia, meskipun belum menunjukkan perilaku yang aneh
atau deteriorasi seperti yang ditemukan pada kasus schizophrenia paranoid. Biasanya kondisi
ini berhubungan dengan stress yang kuat dan mungkin pula karena fenomena kefanaan.
Paranoid states sering mewarnai gambaran klinis dari jenis gangguan patologis lainnya.

Namun, perhatian utama kita saat ini tertuju pada paranoia. Paranoia relatif sedikit ditemukan
pada pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa, namun hal ini mungkin terjadi karena
kekeliruan dalam mengidentifikasi gangguan mental. Banyak para penemu/inventor, guru,
eksekutif bisnis, reformer fanatik, pasangan pencemburu, orang-orang nyentrik yang
mendalami suatu ajaran tertentu termasuk dalam kategori ini. Namun, uniknya mereka ini
mampu mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Dalam beberapa kasus diantara
mereka ada yang berkembang menjadi seseorang yang sangat berbahaya.

Gambaran Klinis Paranoia

Individu yang mengalami paranoia merasa sendirian, diabaikan, dimata-matai, dan persepsi
salah lainnya tentang adanya ancaman dari ‘musuh.’ Delusi ini biasanya berpusat pada satu
hal misalnya menyangkut masalah keuangan, pekerja, pasangan yang tdk dapat dipercaya
atau masalah-masalah kehidupan lainnya. Orang yang mengalami kegagalan dalam bekerja
akan mengembangkan sikap curiga seperti ada orang lain yang cemburu terhadap prestasi
kerjanya sehingga ingin menjatuhkannya.

Seorang paranoia memiliki alasan tertentu mengapa mereka curiga dan tidak mau menerima
alasan lain yang sebenarnya lebih benar. Karena sikap curiga tersebut ia dapat melakukan
interogasi terhadap mereka yang dianggap musuh.

Banyak dari paronoia ini memiliki waham dimana ia seorang superior dan memiliki
kemampuan yang unik. Terkadang mereka merasa mendapat mandat atau wahyu untuk
menjalankan suatu misi suci, melakukan pembaharuan dan perubah sosial. Para paranoiac
religius mengembangkan keyakinan bahwa ia mendapat amanat dari Tuhan untuk
menyelamatkan manusia dan melakukan khotbah-khotbah bahkan mengajak dilakukannya
perang suci.
Berkaitan dengan delusi yang dialami paranoia dapat tampil dengan sangat sempurna,
berbicara fasih dan terkesan memiliki emosian yang matang. Halusinasi dan ciri gangguan
lain jarang ditemukan pada paranoia ini. Mereka berupaya melakukan pembenaran dengan
cara-cara yang logis agar dapat dipercaya. Dalam kasus ini sangat sukar dibedakan mana
yang fakta atau hanya sekedar imaji. Mereka berupaya agar orang-orang disekitarnya
mempercayai apa yang dikatakannya. Mereka gagal untuk melihat fakta lain diluar apa yang
mereka yakini dan kurang dapat membuktikan keyakinannya, kecurigaanya serta mereka
menjadi tidak komunikatif saat ditanyakan mengenai delusinya tersebut. Meskipun demikian
paranoic ini tidak selalu berbahaya, tetapi mereka tetap memiliki peluang untuk melakukan
sesuatu hal yang merugikan terhadap orang-orang dianggap musuhnya.

Tahapan berpikir yang mendorong terjadinya paranoia :

1. Suspiciousness/Curiga – individu menjadi tidak percaya kepada orang lain, takut akan
dirugikan dan menjadi sangat siaga.
2. Protective Thinking – mengkaji secara selektif tindakan orang lain dan melihatnya secara
curiga dan mulai menyalahkan orang lain atas kegagalannya.
3. Hostility/permusuhan – sangat sensitif terhadap ketidakadilan yang dirasakan meskipun
tidak benar, hal ini direspon secara marah dan sikap permusuhan dan ini semakin
meningkatkan kecurigaan.
4. Paranoid Illumination / Berkembangnya Paranoid – Sikap penuh curiga sudah menjadi
bagian dirinya dan ia merasakan adanya sesuatu yang aneh namun ia ia telah tenggelam
dalam situasi kecurigaan tersebut.
5. Delusions – merasa dikejar-kejar atau adanya waham kebesaran namun ia
mengembangkan suatu alasan yang logis dan mengembangkan tindakan-tindakan yang dapat
dipahami oleh orang lain.

Faktor Penyebab Paranoia :

1. Kegagalan proses belajar.


2. Kegagalan & inferiority
3. Elaborasi sistem pertahan diri & Pseudocommunity.

1. Kegagalan proses belajar


biasanya sejak masa kanak-kanak, paranoia suka menyendiri, pencuriga,
mengasingkan diri, keras kepala dan sangat sensitif. Saat diingatkan mereka cemberut dan
uring-uringan. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukan kemampuan bermain dengan
anak lain yang normal atau bersosialisasi dengan baik.

Latarbelakang keluarga memegang peranan yang penting. Situasi lemahnya penerimaan


dalam keluarga dan penggiringan sikap inferioritas akan mengembangkan sikap anak untuk
berusaha menjadi superior. Ketidakmantapan latarbelakang keluarga mempengaruhi perasaan
anak terhadap orang lain dan membentuk perilaku negaif anak terhadap orang lain.

Proses sosialisasi yang tidak tepat membentuk perilaku anak yang mudah curiga kepada
orang lain. Dengan demikian akan terbentuk sikap permusuhan dan ingin mendominasi orang
lain. Kondisi ini akan saling mempengaruhi, sikap bermusuhannya direspon secara negatif
oleh lingkungan dan iapun semakin curiga dengan orang lain sehingga perlahan-perlahan
terbentik kepribadian yang paranoia. Selanjutnya terjadilah isolasi sosial dan ia semakin tidak
percaya kepada orang lain.

Perkembangan kepribadian selanjutnya dimasa kanak-kanak ini mengembangkan suatu sikap


gabungan dari merasa diri penting, kaku, arogan, ingin mendominasi dan membentuk
gambaran diri yang tidak realistis dan menimpakan kegagalan atau kesialannya kepada orang
lain. Mereka menjadi sangat curiga dan sangat peka menghadapi situasi ketidakadilan.
Selanjutnya individu tidak memiliki selera humor.

Mereka mulai mengkategorikan mana orang baik dan jahat. Harapan mereka dan tujuan
hidup mereka seringkali tidak realistik. Mereka menolak untuk menerima permasalahan yang
dengan cara-cara yang lebih realistik. Mereka cenderung menjadi orang yang uring-uringan
dan menolak kontak yang normal. Mereka tidak mampu membina hubungan sosial yang
hangat, bersikap agresif dan merasa superior.

2. Kegagalan dan Inferiority

Biasanya riwayat para paranoia sarat dengan kegagalan dalam beradaptasi dengan situasi
kehidupan yang penting seperti lingkungan sosial, pekerjaan dan perkawinan. Menghadapi
ini mereka bersikap rigid, membuat goal yang tidak realistik dan tidak mampu membina
hubungan jangka panjang dengan orang lain. Kegagalan ini diinterpretasikan olehnya sebagai
penolakan, penghinaan dan peremehan oleh orang lain.

Kegagalan ini menyebabkannya sukar untuk memahami sebab-sebab utama sebenarnya dari
permasalahan yang ia alami. Misalnya, mengapa mereka harus meningkatkan kemampuannya
dalam berhubungan sosial dalam rangka mencegah reaksi negatif dari orang lain – mengapa
mereka sampai tidak disukai dalam pekerjaan misalnya karena mereka menyelidiki sesuatu
secara sangat rinci. Ia tidak mampu untuk memahami dirinya dan situasi secara objektif, tidak
mampu memahami mengapai ia sampai menarik diri dan mengapa orang lain menolaknya.

Meskipun demikian perasaan inferiority dari penderita paranoia bersifat topeng saja, karena
sesungguhnya mereka ingin superior dan menganggap dirinya penting dan hal ini
dimanifestasikan dalam banyak aspek dari perilakunya. Mereka sangat ingin dihargai,
hipersensitif terhadap kritik, sangat teliti dan rajin.

Para individu paranoid pada saat dihadapkan dengan kegagalan mereka biasanya mengatakan
“orang-orang tidak menyukai kamu,” barangkali ada sesuatu yang salah pada diri kamu,”
kamu inferior.” Mereka sering bersikap defensif, menjadi sangat kaku dan cenderung
menyalahkan orang lain. Pola-pola defensif ini akan membantu melindungi dirinya dari
perasaan inferiority dan perasaan tidak berharga.

3. Elaborasi mekanisme pertahanan diri dan “Pseudocommunity.”

Kaku, merasa diri penting, tidak humoris dan pencuriga membuat penderita tidak populer
dilingkungan sosialnya. Mereka saring salah menangkap maksud orang lain. Sensitif terhadap
ketidakadilan.
Reaksi paranoid biasanya berkembang secara bertahap. Kegagalan yang ia alami membuat ia
mengelaborasi defence mechanism. Untuk menghindari agar dinilai tidak mampu mereka
mengembangkan alasan logis dibalik kegagalannya.

Secara bertahap gambaran dimulai dengan kristalisasi proses yang lazim disebut paranoid
illumination. Kemudian hal tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga penyebab-
penyebabnya semakin kabur. Penderita mulai melindungi dirinya dan memiliki asumsi bahwa
ada sesuatu yang salah dengan dirinya (ditahap awal). Selanjutkan kegagalan tersebut ia
timpakan kepada orang lain.

Kemudian terjadi proses apa yang disebut dengan pseudo community dimana penderita mulai
mengkategorisasikan orang-orang disekitarnya (faktual atau bayangan) yang menentang atau
tudak menyukai dirinya.

Kejadian-kejadian menjadi perhatian penderita. Ia selalui menyikapi hal-hal disekitarnya


dengan sikap curiga. Pseudo community ini bisa disebabkan karena stress yang kuat,
misalnya akibat kegagalan ditempat kerja. Ia akan menimpakan kesalahan tersebut kepada
orang lain dan mulai mengidentifikasikan orang-orang yang dianggap menghambatnya atau
menentang dirinya.

UPAYA PENANGANAN

Pada tahap awal paranoia, penanganan secara kelompok maupun individual masih efektif,
terutama apabila penderita memiliki kesadaran untuk memcari bantuan profesional.

Tehnik terapi tingkah laku menunjukkan hal-hal menjanjikan seperti, ide paranoid muncul
karena berbagai kombinasi hal-hal yang tidak menyenangkan, berbagai faktor perubah dalam
situasi kehidupan seseorang semakin memperkuat perilaku maladaptifnya dan berkembang
menjadi cara yang ampuh untuk mengatasi permasalahannya.

Sekali sistem delusi menetap, penanganan akan menjadi sangat sukar. Biasanya sulit
berkomunikasi dengan paranoia untuk mengatasi masalahnya dengan cara-cara yang rasional.
Dalam situasi seperti ini penderita enggan berkonsultasi, tetapi mereka berusaha mencari
pembenaran dan pengertian dari orang lain terhadap kesalahan yang mereka lakukan.

Hal yang tidak menguntungkan adalah kurang begitu bermanfaatnya merumahsakitkan


paranoia. Kepada paranoia biasanya lebih efektif memberikan hukuman daripada
penanganan. Mereka cenderung menunjukkan kesuperiorannya kepada pasien lain apabila di
rumah sakit dan mengeluh apabila keluarga dan petugas kesehatan menempatkan mereka di
rumah sakit tanpa alasan yang valid, sehingga mereka menolak bekerjasama dan
berpartisipasi dalam kegiatan treatment. Dengan demikian kegagalannya untuk
mengendalikan tindakan dan pikirannya dan sulitnya bekerjasama membuat mereka tinggal
dalam waktu lama di rumah sakit. Hal ini membuat mereka susah untuk recovery. Meskipun
demikian secara tradisional prognosa tentang paranoia kurang begitu bermanfaat.

Pada saat awal mengidentifikasikan psikosis dengan schizophrenia dan paranoia, telah
disepakati bahwa manifestasi klinis dari kasus ini harus dibedakan dengan gangguan neurosis
atau psikosomatik. Ciri schizophrenia jelas adanya kegagalan pemahaman/kontak dengan
realitas dan terjadi disorganisasi kepribadian seperti gangguan dalam fungsi berpikir,
afek/perasaan maupun masalah perilaku.

Identifikasi sebagian besar jenis schizophrenia seperti acute, paranoid, katatonik, hebephrenic
dan simple memperlihatkan perbedaan klinis untuk setiap jenis. Berbagai faktor penyebab
masih sulit dipahami mengapa hal tersebut dapat berkembang. Meskipun demikian para ahli
melihat adanya peran faktor genetik yang signifikan yang menyebabkan schizophrenia.
Mungkin karena neuropshysiological atau perubahan biochemical yang mengganggu otak
berfungsi normal, termasuk disini adalah kegagalan dalam menyeleksi mekanismenya.
Penyebab yang tepat dari perubahan tersebut harus dapat dipastikan untuk menetukan apakah
karena faktor genetik atau karena gangguan mental. Namun, harus pula diperhatikan
penyebab psiikologis lainnya yang signifikan. Disamping itu faktor psikososial memegang
peranan penting pula.Penanganan inovatif perlu dipertimbangkan seperti chemotherapy,
terapi psikososial, program paska perawatan akan membuat kondisi penderita lebih baik.

Gangguan paranoid biasanya tidak mengalami disorganisasi kepribadian yang parah


dibandingkan dengan jenis psikosis lainnya, namun mereka sangat resisten/menolak berbagai
tindakan terapi yang diberikan.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa paranoia lebih menonjol waham dan tidak
ada halusinasi.

Daftar pustaka:

https://www.mind.org.uk/media/5274193/paranoia.pdf

American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders


text revision(DSM-IV- TR) (4th ed.).Washington, DC. 2000.

Andreasen NC. Scale for the assessment of negative symp- toms (SANS). Iowa city,
Iowa: The University of. Iowa College of Medicine. Comprehensive meta analysis.
[Computer software]. Englewood, NJ: Bio- stat. 1984.

Bleuler E. Praecox or the group of schizophrenia, New York: International Universities


Press 1911.

Castle D, Wesseley S, Der G, Murray RM. The incidence of operationally defined


schizophrenia in Camberwell 1965–84. British Journal of Psychiatry 1991, 159, 790–794.

Cercone KA. The effects of music therapy on symptoms of schizophrenia and other
serious mental illnesses: a meta-analysis. Dissertation Abstracts International: Section B:
The Sciences and Engineering 2008, 68(9- B), 6293.

Dileo C and Bradt J. Medical music therapy: Evidence-based principles and practices. In:
Soderback I (ed), Inter- national handbook of occupational therapy. New York: Springer;
2009: 445-451.
Edwards J. Music therapy in the treatment and management of mental disorders. Irish
Journal of Psychological Medicine 2006, 23, 33-35.

Farhat H. The dastgah concept in Persian music. Cambridge: Cambridge University Press
1990.

Gold C, Solli HP, Krüger V, Lie SA. Dose-response rela- tionship in music therapy for
people with serious mental disorders: systematic review and meta- analysis. Clinical
Psychology Review 2009, 27, 193- 207.

Gold C, Heldal TO, Dahle T, Wigram T. Music therapy for schizophrenia or


schizophrenialike illnesses.The Cochrane Database of Systematic Reviews 2005, 2, 1- 21.

Gold C. Music therapy improves symptoms in adults hospi- talized with schizophrenia.
Evidence-Based Mental Health 2007, 10(3), 77.

Grocke D, Bloch S, Castle D. Is there a role for music ther- apy in the care of the
severely mentally ill? Australa- sian Psychiatry 2008, 16, 442-445.

Hayashi N, Tanabe Y, Nakagawa S, Noguchi M, Iwata C, Koubuchi Y, Watanabe M,


Overall JE, Gorham DR. Effects of group musical therapy on inpatients with chronic
psychoses: a controlled study. Psychiatry and Clinical Neurosciences 2002, 56, 187–193.

Johnstone CD, Crow TJ, Frith CD, Owens DG. The north- whick park functional
psychosis study: diagnosis and treatment response. Lancet 1988, 2, 119–125.

Liberman RP. (1988). Psychiatric rehabilitation of chronic mental patients. American


psychiatric Press Inc; 1988: 122-124.

Na HJ and Yang S. Effects of listening to music on auditory hallucination and psychiatric


symptoms in people with schizophrenia. Journal of Korean Academy of Nursing 2009,
39, 62-71.

Peng SM, Koo M, Kuo JC. Effect of group music activity as an adjunctive therapy on
psychotic symptoms in pa- tients with acute schizophrenia. Archives of Psychiat- ric
Nursing 2010, 24, 429-434.

Safvate D and Nelly C. Iran, les traditions musicales.Corra: Buchet/Chastle. 1966.

Sousa A and Sousa J. Music therapy in chronic schizophre- nia.Journal of Pakistan


Psychiatric Society 2010, 7, 13-7.

Talwar N, Crawford MJ, Maratos A, Nur U, McDermott O, Procter S. Music therapy for
in-patients with schizo- phrenia. British Journal of Psychiatry 2006, 189, 405- 409.

Tyson F. Music therapy as a choice for psychotherapeutic intervention: A preliminary


study of motivational fac- tors among adult psychiatric patients. Music Therapy
Perspectives 1984, 2, 2-8.

Ulrich G, Houtmans T, Gold C. The additional therapeutic effect of group music therapy
for schizophrenic pa- tients: a randomized study. ActaPsychiatricaScandi- navica 2007,
116, 362-370.

Yang WY, Li Z, Weng YZ, Zang HY, Ma B. Psychosocial rehabilitation effects of music
therapy in chronic schizophrenia. Hong Kong Journal of Psychiatry 1998, 8, 38- 40

MOHAMMADI ET AL.

You might also like