You are on page 1of 10

I.

PROSES LUMPUR AKTIF

1.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional

Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional

Tangki aerasi

Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki ini. Efluent pertama masuk dan
tercampur dengan Lumpur Aktif Balik (Return Activated Sludge =RAS) atau disingkat LAB
membentuk lumpur campuran (mixed liqour), yang mengandung padatan tersuspensi sekitar
1.500 - 2.500 mg/l. Aerasi dilakukan secara mekanik. Karakteristik dari proses lumpur aktif
adalah adanya daur ulang dari biomassa. Keadaan ini membuat waktu tinggal rata-rata sel
(biomassa) menjadi lebih lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya (Sterritt dan Lester, 1988).
Keadaan tersebut membuat sejumlah besar mikroorganisme mengoksidasi senyawa organik
dalam waktu yang singkat. Waktu tinggal dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam.

Tangki Sedimentasi

Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba (lumpur) yang dihasilkan selama
fase oksidasi dalam tangki aerasi. Seperti disebutkan diawal bahwa sebaghian dari lumpur dalam
tangki penjernih didaur ulang kembali dalam bentuk LAB kedalam tangki aerasi dan sisanya
dibuang untuk menjaga rasio yang tepat antara makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).
Parameter

Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985;
Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:

1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif
disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran. MLSS
adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral,
termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan dengan cara menyaring
lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada
temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS
diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan
mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan
memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan nilainya
mendekati 65-75% dari MLSS.
3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan indikasi beban
organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili nilainya dalam kilogram
BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun
formulasinya sebagai berikut :
4. Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur
aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi konvensional rasio F/M adalah
0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan
oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa
mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M
pengolah limbah semakin efisien.
5. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata
yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur
aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan Lester,
1988).
6. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata mikroorganisme
dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba
dalam tangki aerasi dapat dalam hari lamanya.
7. Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur aktif. Pada
musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a). Parameter
penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju pemuatan organik, suplay
oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai
dua fungsi: penjernih dan penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus
mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI),
Voster dan Johnston, 1987.
II. PROSES LUMPUR AKTIF

2.2. Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional

Gambar 2. Modifikasi proses lumpur aktif.


A. Sistem aerasi lanjutan. B. Parit oksidasi (US EPA, 1977, dalam Bitton, 1994)

Sistem Aerasi Lanjutan

Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan dengan cara sebagai berikut :

1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem konvensional. Usia lumpur
juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari.
2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam pengendapan primer.
3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya <0,1 lb BOD/hari/lb
MLSS) dari sistem konvensional (0,2 - 0,5 lb BOD/hari/lb MLSS).
4. Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan pengolahan
konvensional dan terutama cocok untuk komunitas yang kecil yang menggunakan paket
pengolahan.

Selokan Oksidasi (Oxidation Ditch)

Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang berbentuk oval yang dilengkapi dengan
satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi limbah. Saluran ini menerima limbah yang telah disaring
dan mempunyai waktu tinggal hidraulik (hidraulic retention time) mendekati 24 jam.
Aerasi Bertingkat

Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki aerasi melalui
beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkatkan distribusi dalam tangki aerasi dan
membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen. Proses ini dapat meningkatkan kapasitas
sistem pengolahan.

Stabilisasi Kontak

Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk waktu yang
singkat (20-40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan ke tangki penjernih dan lumpur
dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 - 8 jam. Sistem ini menghasilkan
sedikit lumpur.

Sistem Aerasi Campuran

Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi secara merata. Sistem ini dapat
menahan shock load dan racun.

Lumpur Aktif Kecepatan Tinggi

Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi tinggi dan dioperasikan untuk
beban BOD yang sangat tinggi dibandingkan proses lumpur aktif konvensional. Proses ini
mempunyai waktu tinggal hidraulik sangat singkat. Sistem ini beroperasi pada konsentrasi MLSS
yang tinggi.

Aerasi Oksigen Murni

Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada prinsip bahwa laju tranfer oksigen
lebih tinggi pada oksigen murni dari pada oksigen atmosfir. Proses ini menghasilkan kemampuan
oksigen terlarut menjadi lebih tinggi, sehingga meningkatkan efisiensi pengolahan dan
mengurangi produksi lumpur.

1.3. Biologi Lumpur Aktif

Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah oksidasi material organik yang
biodegradable dalam tangki aerasi kemudian dikonversi menjadi bentuk sel yang baru, kedua
flokulasi, memisahkan biomassa yang baru terbentuk dari air effluent.

Survei Organisme Dalam Lumpur Aktif

Flok dalam aktifitas lumpur mengandung sel bakteri disamping partikel anorganik dan
organik. Ukuran flok bervariasi antara <1 m m (ukuran beberapa sel bakteri) sampai dengan 1
000 m m atau lebih (Parker et al., 1971; U.S.EPA, 1987a), Lihat Gambar 3. Sel hidup dalam flok
dapat diukur dengan analisis ATP dan aktifitas dehidrogenase, berjumlah 5-20% dari total sel
(Weddle dan Jenkins, 1971). Beberapa peneliti menjaga agar fraksi aktif bakteri dalam lumpur
aktif mewakili hanya 1-3% bakteri total (Hanel, 1988).

Gambar 3. Distribusi ukuran partikel dalam lumpur aktif


(Parker et al, 1971, dalam Bitton, 1994).

Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme yang dapat diamati dalam flok lumpur aktif.

Bakteri

Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300 jenis bakteri
yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut bertanggung jawab terhadap oksidasi
material organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri menghasilkan polisakarida dan material
polimer yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah :
Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter,
Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter, disamping itu ada pula
mikroorganisme berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla yang dapat
menyebabkan sludge bulking.

Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif aerobik menurun karena
ukuran flok meningkat (Hanel, 1988). Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi
berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan
dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu
terhdap oksigen (Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk
material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik.

Tabel 1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif Standard


(Hiraishi et al. (1989).

PERSENTASI
GENUS
DARI TOTAL
KELOMPOK
ISOLAT

Comamonas-Pseudomonas 50

Alkaligenes 5,8

Pseudomonas (Kelompok Florescent) 1,9

Paracoccus 11,5

Unidentified (gram negative rods) 1,9

Aeromomas 1,9

Flavobacterium - Cytophaga 13,5

Bacillus 1,9

Micrococcus 1,9

Coryneform 5,8

Arthrobacter 1,9

Aureobacterium-Microbacterium 1,9

Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg lumpur. Tabel 1.
menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam standard lumpur aktif. Sebagian besar
bakteri yang diisolasi diidentifikasi sebagai spesies-spesies Comamonas-Psudomonas.

Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang miskin bahan
organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan limbah, khususnya lumpur aktif (MacRae
dan Smit, 1991).
Gambar 4. Distribusi

Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang membentuk proyeksi


khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah dan lingkungan yang kaya bahan
organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan Farrah, 1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea
diisolasi dengan menggunakan media yang mengandung m-butanol, pati, atau m-toluate sebagai
sumber karbon. Bakteri ini ditemukan dalam berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya
hanya 0,1-1% dari total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan Unz, 1983). Kepentingan
relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri
nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat dan bakteri
fototrofik seperti bakteri ungu non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada
konsentrasi sekitar 105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan dalam jumlah yang sangat
kecil. Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan dalam penurunan nilai BOD dalam
lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).

Fungi

Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun beberapa fungi
berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif. Fungi dapat tumbuh pesat
dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah yang kekurangan nitrogen. Genus yang
dominan ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum, Penicillium, Cephalosporium,
Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan Williams, 1975). Lumpur
ringan (Sludge Bulking) dapat dihasilkan oleh pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum,
yang dirangsang oleh pH rendah dari limbah yang asam.
Protozoa

Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam lingkungan akuatik
alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen, 1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan
bakteri oleh protozoa dapat ditentukan dengan eksperimen pemakanan bakteri yang telah diberi
14
C atau 35C atau flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri
tersebut dapat mereduksi toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam
lumpur aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas, 1987). Protozoa paling sering
ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium, Paramecium sp, Opercularia sp,
Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp (Dart dan Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom
dan van Buijsen, 1981).

Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan dan mendorong partikel
makanan kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu : Siliata bebas (free), merayap
(creeping), dan bertangkai (stalked). Siliata bebas (tidak terikat) memakan bakteri bebas yang
terbang. Genus yang paling penting sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Chilodonella,
Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus, Trachelophyllum, dan Spirostomum.
Siliata merayap memakan bakteri yang berada dipermukaan flok lumpur aktif. Dua genus
penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas bertangkai menempel tangkainya pada flok.
Tangkai mempunyai myoneme untuk menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah
Vorticella, Carchesium, Opercularia, dan Epistylis.

Rotifers

Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran bervariasi dari 100 mm
- 500 m m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan sering tercabut dari permukaan flok
(Doohan, 1975; Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan dalam instalasi
pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama, Bdelloidea (contoh : Philodina spp.,
Habrotrocha spp.) dan Monogononta (contoh : Lecane spp., Notommata spp.). Peranan rotifers
dalam lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak
membentuk flok; (2) memberi kontribusi terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang
dikelilingi oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah sistem lumpur
aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai siliata yang kuat yang menolong
dalam mencari makan dan menurunkan jumlah bakteri tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan
aksi siliatanya lebih kuat dibandingkan protozoa.

1.4. Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi

Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang mencukupi untuk
kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik dalam air limbah terdapat dalam
bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel. Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi
mikroorganisme heterotrophik dalam mixed liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi
dan proses flokulasi, dan juga oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam
beberapa jam dapat membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa mikrobial. Aerasi
mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme aerobik, dan (2) menjaga
lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk melaksanakan kontsak yang cukup antara flok
dengan air limbah yang baru datang pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang
cukup juga diperlukan untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya
bakteri nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses nitrifikasi berhenti jika
oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan Stretton, 1980). Curds dan Hawkes (1983) membuat
ringkasan reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi dalam proses lumpur
aktif (Gambar 5).

Gambar 5. Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif


(Curds dan Hawkes, 1983 dalam Gabriel Bitton, 1994.
2.5. Pengendapan Lumpur

Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari tangki aerasi ke tangki
pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari air yang telah diolah. sebagian lumpur aktif
dikembalikan ke tangki aerasi dan sebagian lagi dibuang dan dipindahkan ke pengolahan
aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk agregat atau flok, densitasnya cukup untuk
mengendap dalam tangki penjernih. Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur
lumpur. Pengendapan yang baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase
endogeneous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan bakteri
rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh :
tingginya konsentrasi MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan
lumpur yang buruk.

Dalam airlimbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara 0,2 dan 0,5 (Gaudy dan
Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan
yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat
terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan
(contoh N, suhu, mikronutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat
menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Cara
konvensional untuk monitoring pengendapan lumpur adalah dengan menentukan Indeks Volume
Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya adalah sebagai berikut : Lumpur campuran dari
tangki aerasi dimasukkan dalam silinder volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume
sludge dicatat. Volume lumpur yang mengendap adalah SV, MLSS adalah mixed liqour
suspended solid (mg/l). Dalam pengolahan lumpur yang konvensional (MLSS < 3 500 mg/l)
nilai SVI berkisar 50 - 150 ml/g.

You might also like