Professional Documents
Culture Documents
Daftar Pustaka:
1. Sudoyo, A.W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: InternaPublishing, 2009; 1741-1756.
th
2. Lilly, L.S. Pathophysiology of Heart Disease 5 Edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2011,
Chapter 7; Acute Coronary Syndromes.
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis ACS STEMI
2. Tatalaksana Awal Gawat Darurat pada ACS STEMI
3. Mekanisme Nyeri Dada pada ACS
4. Mekanisme Terjadinya ACS STEMI
5. Edukasi tentang Pengenalan dan Penanganan Awal ACS STEMI
2. Obyektif:
Hasil anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan EKG sangat mendukung diagnosis STEMI.
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis (nyeri di dada kiri yang terasa seperti tertimpa benda berat yang menjalar disertai keringat dingin, mual muntah
dan kebas pada tangan kiri)
Pemeriksaan EKG yang menunjukkan STEMI Anteroseptal + LAD
3. Assessment:
Nyeri dada kardiak tipikal (angina pectoris) timbul akibat iskemia atau infark miokard akut yang disebabkan ruptur plak
aterosklerosis pada pembuluh darah koroner dan menyebabkan sumbatan baik total maupun subtotal.
The National Heart Attack Alert Program di Amerika merekomendasikan beberapa keluhan pasien yang perlu ditanggapi dengan
serius dan harus dibawa secepatnya ke Instalasi Gawat Darurat untuk evaluasi lebih lanjut: (1) nyeri dada, terasa seperti ditekan,
ditimpa beban berat, seperti tercekik, nyeri menjalar ke leher, rahang, bahu, punggung, dan salah satu atau kedua lengan; (2) rasa
panas, mual/muntah yang berhubungan dengan rasa tidak nyaman di dada; (3) gejala sesak napas yang persisten; dan (4) adanya
kelemahan, pusing, perasaan melayang, atau penurunan kesadaran. Adanya kombinasi nyeri dada dan keringat dingin harus
dicurigai kuat diagnosis STEMI. Pada populasi pasien tertentu (seperti penderita diabetes mellitus dan lanjut usia) sering
mempunyai keluhan nyeri dada yang tidak khas atau tipikal untuk penyakit jantung koroner (PJK).
Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat
sumbatan akut arteri koroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang
kemudian diikuti oleh terjadinya trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal. Kadang-kadang
sumbatan akut ini dapat pula disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli, atau vaskulitis. IMA dengan elevasi segmen-ST
merupakan bagian dari spektrum Acute Coronary Syndrome (ACS). ACS terdiri dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa
elevasi segmen-ST (NSTEMI), dan IMA dengan elevasi segmen-ST (STEMI).
Mekanisme nyeri dada akibat iskemia miokard adalah disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan oksigen
pada miokard. Sumbatan pembuluh koroner akibat ruptur plak aterosklerosis dapat memicu timbulnya iskemia dan berlanjut pada
nekrosis jaringan miokard (infark miokard). Iskemia miokard juga dapat terjadi pada kondisi dimana terjadi tekanan perfusi
rendah seperti pada stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik. Kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard seperti
demam, tirotoksikosis, dan infeksi/sepsis dapat memperburuk iskemia bila disertai dengan adanya plak aterosklerosis.
Infark miokard akut (IMA), baik STEMI maupun NSTEMI, terjadi ketika iskemia miokard cukup berat hingga menyebabkan
nekrosis miokard. Infark dapat dideskripsikan secara patologis melalui luasnya nekrosis yang terjadi pada otot miokardium.
Infark transmural terjadi bila seluruh ketebalan dari miokard mengalami nekrosis. Adanya oklusi total dan berkepanjangan pada
arteri koroner epikardium akan menyebabkan infark transmural tersebut. Di sisi yang lain, infark subendokardium secara
eksklusif melibatkan lapisan terdalam dari miokard. Subendokardium merupakan daerah miokard yang rentan terhadap iskemia
karena zona ini terpapar dengan tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel jantung, mempunyai sedikit koneksi kolateral yang
menyuplai daerah tersebut, dan diperdarahi oleh pembuluh darah yang harus menembus lapisan-lapisan miokard yang
berkontraksi.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara
lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid2. Pada STEMI, gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi trombolitik.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
Luas jaringan yang mengalami infark sangat berhubungan dengan (1) luasnya miokard yang diperdarahi oleh pembuluh darah
yang tersumbat, (2) intensitas dan durasi gangguan aliran darah koroner, (3) kebutuhan oksigen dari regio miokard yang
bersangkutan, (4) jumlah pembuluh darah kolateral yang memberikan aliran darah dari arteri koroner sekitar yang tidak
tersumbat, dan (5) dan tingkat respon jaringan yang memodifikasi proses iskemik.
Perubahan patofisiologi yang terjadi selama infark muncul dalam 2 tingkatan: perubahan awal pada saat infark akut dan
perubahan lambat selama penyembuhan dan remodeling miokard.
Perubahan awal mencakup evolusi histologik infark dan dampak fungsional penurunan oksigen terhadap kontraktilitas miokard.
Perubahan tersebut berkulminasi pada nekrosis koagulatif miokard dalam 2 – 4 hari.
Akibat penurunan kadar oksigen pada miokard (hipoksia miokard) yang diperdarahi oleh pembuluh darah koroner yang tersumbat
secara tiba-tiba, timbul perubahan yang cepat dari metabolisme aerob ke metabolisme anaerob. Peningkatan metabolisme anaerob
akan menyebabkan akumulasi asam laktat. Kadar H+ intraseluler akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan penggumpalan
kromatin dan denaturasi sel otot jantung, dan akhirnya berujung pada kematian sel otot jantung.
Keadaan hipoksia miokard juga akan menurunkan ATP. Penurunan ATP akan mengganggu Na +-K+-ATPase sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi Na+ intraseluler dan K+ ekstraseluler. Peningkatan Na+ intraseluler akan menyebabkan edema seluler.
Kebocoran membran dan peningkatan konsentrasi K+ ekstraseluler akan menyebabkan perubahan pada potensial listrik
transmembran, dan hal ini menjadi predisposisi aritmia letal miokard. Ca++ intraseluler berakumulasi pada miosit yang rusak dan
diduga berkontribusi pada jalur akhir destruksi sel melalui aktivasi lipase dan protease yang mampu mendegradasi.
Secara kolektif, perubahan metabolik ini menurunkan fungsi miokard 2 menit setelah trombus terbentuk. Tanpa intervensi, cedera
sel yang ireversibel terjadi dalam 20 menit dan ditandai dengan peningkatan defek membran. Enzim proteolitik yang bocor
melalui membran miosit yang berubah akan merusak miokard sekitarnya, dan lepasnya makromolekul tertentu ke dalam sirkulasi
dapat digunakan sebagai penanda klinis dari infark akut.
Edema miokard berkembang dalam 4 – 12 jam akibat peningkatan permeabilitas vaskuler dan peningkatan tekanan onkotik
interstisial (akibat kebocoran protein intraseluler). Perubahan histologik paling awal dari cedera ireversibel adalah wavy
myofibres, yang muncul sebagai edema interseluler yang memisahkan sel miokard. Contraction bands dapat dilihat dekat batas
dari infark.
Suatu respon inflamasi akut, dengan infiltrasi neutrofil, terjadi sekitar 4 jam dan mempercepat kerusakan jaringan lebih lanjut.
Dalam 18 – 24 jam, nekrosis koagulasi jelas terjadi dengan inti piknotik dan sitoplasma eosinofilik yang lunak.
Perubahan morfologis yang besar belum akan muncul hingga 18 – 24 jam setelah oklusi koroner. Umumnya, iskemia dan infark
dimulai dari subendokardium dan kemudian meluas ke arah lateral dan luar menuju epikardium.
Perubahan patologis lambat pada IMA terdiri dari (1) pembersihan miokard yang nekrotik dan (2) deposisi kolagen untuk
membentuk jaringan parut.
Perubahan fungsional yang terjadi pada miokard akibat IMA antara lain: (1) gangguan kontraktilitas dan komplians jantung, (2)
stunned myocardium, (3) ischemic preconditioning, dan (4) remodeling ventrikel.
Prinsip yang perlu diingat dalam penanganan STEMI adalah time is muscle, yakni bahwa semakin cepat seorang penderita
STEMI ditolong maka akan semakin banyak sel otot jantung yang terselamatkan.
4. Plan:
Diagnosis: diagnosis dianggap sudah tepat karena nyeri dada berkurang sedikit dengan pemberian terapi awal di IGD.
Pengobatan: Prinsip utama penatalaksanaan STEMI adalah time is muscle. Tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai
STEMI, yaitu3:
1. Penilaian dan stabilisasi hemodinamik
2. Monitoring EKG
3. Oksigen 2-4 L nasal atau sungkup
4. Aspirin 150-300 mg (dikunyah atau dihancurkan sebelum diberikan, sehingga efek kerjanya cepat)
5. Clopidogrel 300 mg (dikunyah)
6. Nitrat sublingual (kecuali tekanan darah sistolik < 90 mmHg)
7. Akses intravena, mengambil sampel darah untuk pemeriksaan enzim jantung, pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal,
gula darah dan profil lipid
8. Morfin 2-5 mg intravena dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai rasa nyeri hilang. Jika timbul tanda-tanda
intoksikasi dapat diberikan antiemetik (metoclopramide 10 mg atau promethazine 25 mg)
9. Hindari injeksi intramuskular karena dapat menyebabkan perdarahan.
10. Nilai kemungkinan dilakukannya reperfusi, baik dengan trombolitik maupun dengan primary PTCA.
Konsultasi: perlu adanya konsultasi dengan dokter spesialis jantung untuk kemungkinan dibutuhkannya kateterisasi jantung atau
CABG. Konsultasi ini merupakan upaya pengurangan morbiditas dan mortalitas pasien.
Edukasi: dilakukan setelah pasien stabil. Edukasi kepada pasien dan keluarga untuk mengontrol seluruh faktor risiko infark
miokard yang dimiliki pasien. Anjurkan pasien segera dibawa ke RS bila nyeri dada berulang.