Professional Documents
Culture Documents
2. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendiks. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM & Mattox KL,
editors, Sabiston Texbook of Surgery 17th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2004: 1381-1393.
Hasil Pembelajaran:
1. Diagnosis Appendicitis
2. Tatalaksana Appendicitis
3. Patogenesis Appendicitis
4. Pengobatan Appendicitis
2. Obyektif:
Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium mendukung diagnosis apendisitis. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan:
- Faktor risiko: pasien tidak suka mengonsumsi sayuran dan buah-nbuahan.
- Gejala klinis: nyeri terlokalisir perut kanan bawah tiba-tiba yang diawali dengan nyeri di perut tengah. Kondisi ini disertai
dengan demam, mual, dan muntah.
- Pemeriksaan fisik: McBurney sign (+), Psoas sign (+), Rovsing sign (+) yang lebih mengarahkan diagnosis ke apendisitis
retrosekal. Tidak dijumpai defans muskular yang menyingkirkan komplikasi peritonitis pada pasien.
3. Assessment:
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendiks vermicularis. Obstruksi lumen oleh fekalith, hiperplasia jaringan
limfoid, biji-bijian, cacing usus, merupakan penyebab utama obstruksi apendiks. Obstruksi dapat menyebabkan inflamasi akibat
benda asing dan kompensasi tingginya sekresi mukus. Akibatnya, apendiks akan distensi dan dilatasi. Kondisi diperburuk dengan
adanya infeksi bakteri di apendiks. Apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14
jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi, terutama yang paling banyak bacteri Escherichia coli.
Kapasitas lumen pada appendiks normal hanya 0,1 mL dan sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan
intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar,
nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium (nyeri tumpul di Th 10) serta rasa mual. Bila sudah mengenai
peritoneum parietal, terutama bila eksudat inflamasi sudah banyak, akan terjadi nyeri somatik spesifik di titik McBurney.
Distensi diperburuk dengan gangguan aliran darah vena dan gangguan limfatik apendiks.
Apendisitis akut yang tidak ditangani dengan cepat dapat berlanjut ke perforasi apendiks. Perforasi appendiks akan menyebabkan
terjadinya abses lokal atau peritonitis difus. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis >14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan
gejala dapat menetap hingga >48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak
memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi
yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abses. Absses tersebut dapat diketahui dari
adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.
4. Plan:
Diagnosis: Diagnosis dianggap sudah tepat karena memenuhi 9 dari 10 skor Alvardo. Untuk penegakkan diagnosis dapat
dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi oleh dokter ahli bedah.
Pengobatan: Segera konsul ke bagian bedah untuk tindakan apendektomi emergensi. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah
distensi berlebihan pada rongga appendiks yang dapat menyebabkan komplikasi perforasi apendiks sampai peritonitis yang
membutuhkan tindakan pemebdahan lebih invasif yaitu laparotomi.
Edukasi: dilakukan setelah pasien stabil. Edukasi kepada pasien untuk kontrol luka operasi.