You are on page 1of 6

Otitis Media Akut

A. Definisi
Otitis Media Akut (OMA) adalah penyakit yang disebabkan oleh serangan
infeksi bakteri pada kavum timpani (Lustig dan Schindler, 2013) . Bila OMA berlanjut
dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dansekret tetap keluar
lebih dari 1½ bulan atau 2 bulan , maka keadaan ini disebut Otitis Media Supuratif
Kronis (OMSK) (Djaafar, 2001).

B. Etiologi
Infeksi telinga tengah terutama berasal dari saluran pernafasan bagian atas,
masuk ke kavum timpani melalui tuba eustachius. Segala sesuatu yang mengganggu
fungsi tuba akan dapat menyebabkan otitis media. Kadang –kadang (tetapi jarang
sekali) infeksi masuk ke kavum timpani melalui perforasi membrantimpani yang
disebabkan penyakit atau trauma (Soetirto, 2001).
Pada bayi dimana tuba relatif lebih lebar dan lebih lurus, susu atau muntah dapat
masuk ke kavum timpani, bila bayi tidur rata sambil menyusu, kemudian muntah.
Membuang ingus yang kuat juga dapat mempunyai akibat yang sama (Boeis, 1994).
Penyebab lain otitis media akut ialah disfungsi tuba eustachius.
Obstruksi tuba Eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar. Dengan
hilangnya sawar utama telinga tengah terhadap invasi bakteri, dan spesies bakteri yang
tidak biasanya patogenik, dapat berkolonisasi dalam telinga tengah, menyerang
jaringan dan menimbulkan infeksi. Kendatipun infeksi saluran napasterutama
disebabkan oleh virus, namun sebagian besar infeksi otitis media akut disebabkan oleh
bakteri piogenik. Bakteri yang seringkali ditemukan antara lain Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Streptokokus beta hemolitikus (Boeis,
1994). Menurut Ari (2010), sinusitis, hipertropi adenoid, dan rhinitis alergika dapat
menjadi penyebab OMA.

C. Patogenesis
Patogenesis OMA berhubungan erat dengan gangguan fungsi tuba eustachius.
Fungsi tuba eustachius antara lain adalah :
1. Ventilasi atau pengatur keseimbangan tekanan udara di dalam telinga tengah
dengan tekanan udara luar.
2. Proteksi terhadap secret nasofaring masuk ke telinga tengah.
3. Saluran keluar secret telinga tengah ke nasofaring.

Dengan adanya fungsi pengaturan keseimbangan tekanan udara di dalam telinga


tengah dan tekanan udara di luar maka bila terdapat gangguan misalnya ada sumbatan
tuba maka akan terjadi perbedaan tekanan udara di dalam telinga tengah dan luar.
Tekanan udara di dalam telinga tengah akan menjadi negatif oleh karena udara akan
diabsorbsi mukosa telinga tengah. Dengan terjadinya tekanan negatif yang lambat akan
menyebabkan udara/cairan di nasof aring masuk ke telinga tengah. Bila tekanan negatif
terjadi tiba-tiba justru akan menyebabkan tuba tertutup rapat.

Infeksi pertama hanya mengenai lapisan mukosa dan submukosa kavum


timpani, tidak mengenai tulang. Pada anak-anak infeksi dapat mengenai kedua telinga.
Akibat infeksi mukosa jadi edem, silia paralise dan tuba Eustachius tertutup. Udara
dalam kavum timpani diabsorpsi, hingga menyebabkan tekanan negatif dalam kavum
timpani. Hal ini menyebabkan retraksi membran timpani dan mengiritasi membran
mukosa untuk memproduksi cairan eksudat (Djaafar, 2001).

D. Perjalanan Penyakit
Stadium otitis media akut berdasar perubahan mukosa telinga tengah sebagai
akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium, yaitu:
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah adanya gambaran retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, karena adanya
absorpsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal atau berwarna
keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi (Ari, 2010).
2. Stadium hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah melebar akibat oklusi (penyumbatan)
berkepanjangan yang menyebabkan invasi organisme piogenik. Eksudat inflamasi
terlihat di telinga tengah dan membran timpani terlihat hiperemis dan edema
(Dhingra, 2010).
3. Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan ha ncurnya sel epitel superfisial,
serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran
timpani menonjol (bulging) ke arah lia ng telinga luar. Pada keadaan ini pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah
hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadila
iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-
vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran
timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di
tempat ini akan terjadi ruptur. Pada stadium ini sebaiknya dilakukan miringotomi
agar tidak terjadi ruptur spontan (Djaafar, Helmi, dan Restuti, 2007).
4. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan
akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka
resolusi dapat terj adi walaupun tanpa pengobatan (Djaafar, 2001).
5. Stadium Komplikasi
Infeksi yang berkelanjutan karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian
antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi dapat menyebabkan ruptur dari
membran timpani dan keluarnya nanah dari telinga tengah ke liang telinga luar.
(Yates, dan Anari, 2008; Djaafar, Helmi, dan Restuti, 2007).

E. Gejala Klinis
Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium penyakit. Pada
bayi dan anak kecil gejala khas otitis media akut adalah suhu tubuh tinggi dapat
mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak
menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga
yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga,
suhu tubuh turun dan anak tertidur dengan tenang. Pada anak yang sudah dapat
berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan disamping suhu
tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar dan orang dewasa, gejala utamanya nyeri telinga (Abdoerrachman, 1990).
Gejala klinis OMA biasanya di dahului oleh gejala infeksi saluran nafas bagian atas
berupa batuk, pilek dan panas dalam beberapa hari. Apabila proses penyembuhan tidak
terjadi maka proses selanjutnya akan timbul gejala sumbatan tuba eustachius yang akut.
Gejala dan tanda penyakit OMA itu sendiri bias dimulai dengan di tandai adanya nyeri
telinga (otalgia), keluarnya cairan dari telinga, demam, kehilangan pendengaran,
tinitus.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pada kebanyakan kasus OMA, pemeriksaan lebih lanjut tidak dibutuhkan
karena diagnosis bias dilihat dari gejala dan tanda klinis. Bila gejala berat, hitung darah
sering menunjukkan leukositosis, dan kultur darah dapat mendeteksi bakteremia selama
periode demam tinggi. Kultur dari sekret telinga dapat membantu dalam pemilihan
antibiotik pada pasien yang menunjukkan kegagalan terapi lini pertama. Bila OMA
yang rekuren terjadi bersamaan dengan infeksi rekuren di sistem lain, maka defisiensi
imun harus dipertimbangkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan (Djaafar,
2001).

G. Penatalaksanaan
Pengobatan otitis media akut tergantung dari stadium penyakitnya. Pada
stadium oklusi pengobatan terutama untuk membuka kembali tuba Eustachius, untuk
itu diberikan dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak
< 12 tahun, dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik bagi yang berumur > 12 tahun)
( Djaafar, 2001 ). Disamping itu dapat diberikan antibiotika untuk infeksinya. Sesuai
prevalensi organisme penyebab otitis media akut, maka terapi terpilihnya adalah
ampisilin (50 – 100 mg/kg BB/hari) yang diberikan setiap 6 jam selama 10 hari. Terapi
terpilih lainnya kombinasi penisilin dan sulfisoksazol (120 mg/kg BB/hari) dalam dosis
terbagi setiap 6 jam selama 10 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, dapat
diberikan eritromisin (50 mg/kg BB/hari).
Pada stadium hiperemis pengobatan diberikan antibiotika, analgetika untuk
nyeri, serta dekongestan nasal dan antihistamin atau kombinasi keduanya. Pada stadium
supurasi selain diberikan antibiotik, idealnya harus disertai dengan miringotomi bila
membrane timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat
hilang dan ruptur dapat dihindarkan.
Pada stadium perforasi membran timpani telah pecah dan terdapat sekret
purulen, biasanya analgetika tidak diperlukan, tetapi diperluk an perawatan lokal bagi
telinga. Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari
serta antibiotika yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat
menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari ( Djaafar, 2001 ). Harus dihindarkan
masuknya air ke dalam liang telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat
ditunggangi kontaminasi tersebut.
Pada stadium resolusi maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di
membrana timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edem mukosa
telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.
Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi
masoiditis hari (Djaafar, 2001).

H. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi melalui perluasan infeksi secara anatomis. Hal hal
yang dapat terjadi antara lain: Masoiditis, bisanya terjad i pada pasien-pasien
imunosupresi atau mereka yang menelantarkan otitis media akut yang dideritanya.
Paralisis saraf fasialis, saraf terkena akibat kontak langsung dengan materi purulen.
Labirinitis, terjadi akibat perluasan infeksi ke dalam perilimfatik, keadaan ini akan
menyebabkan ketulian dan adanya vertigo. Petrositis, hampir semua tulang temporal
memiliki sel-sel udara dalam apeks petrosa. Sel-sel ini menjadi terinfeksi melalui
perluasan langsung dari infeksi telinga tengah dan mastoid. Komplikasi lain ke susunan
saraf pusat, atara lain meningitis, abseb otak dan hidrosepalus otitis (Boeis, 1994).
DAFTAR PUSTAKA

1. Lustig, L.R. & Schindler, J.S., 2013. Ear, nose,& throat disorders. In: Papadakis, M.A.,
McPhee, S.J. & Rabow, M.W. (eds). CURRENT medical diagnosis & treatment. 52th
ed. Madrid: McGraw-Hill Medical, pp.203.
2. Djaafar, Z. A., Helmi, dan Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., Iskandar,N., Bashiruddin,J., Restuti,R.D., ed. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: Gaya Baru-FKUI, pp.64-
69.
3. Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin,J., 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar,N., Bashiruddin,J., Restuti,R.D.,., Ed. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: Gaya Baru-
FKUI, pp.10-16
4. Paparella, M.M, Adams.G.L, dan Levine.S.C. Penyakit telinga tengah dan mastoid. In:
Adams G.L., Boeis L.R., Hilger P.A., 1994. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi VI. Jakarta: EGC, pp.88-118.
5. Dhingra. P.L. and Dhingra, S., 2010. Diseases of ear, nose & throat. 5th ed. India:
Elsevier, pp.69-70.

You might also like