You are on page 1of 35

PRESENTASI KASUS

HEMATEMESIS EC SUSP GASTRITIC EROSIVA

Penyaji:
dr. Agustiane Mawarni Aly
Pembimbing:
dr. Nurul Hidayah

INTERNSHIP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
NOVEMBER 2018
Daftar Isi
BAB I 3

ILUSTRASI KASUS ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

BAB II 11

TINJAUAN PUSTAKA 11

BAB III 33

DISKUSI 33

BAB IV 36

KESIMPULAN 36

DAFTAR PUSTAKA 37

2
BAB I

Ilustrasi Kasus

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Aliah armili
No Rekam medis : 140599
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 79 tahun
Tanggal lahir : 30 Desember 1938
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk : 15 Mei 2018

II. ANAMNESIS
Diperoleh dengan autoanamnesis dan alo anamnesis pada tanggal 18 Desember 2017
di ruang IGD RSUD PM

Keluhan utama
Muntah kehitaman sejak 2 hari smrs
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dgn keluhan muntah kehitaman sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit, muntah 1 - 2 x berwarna kehitaman bercampur cairan sebanyak kurang lebih ¼
gelas aqua gelas. Pasien mengaku mual, nafsu makan menurun, dan nyeri ulu hati.
Pasien mengaku mengkonsumsi Natrium diclofenak selama 3 bulan terakhir yang di
beli di apotik sendiri, karna nyeri sendi yg hilang timbul. Demam, batuk, pilek, sesak,
nyeri dada disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat alergi obat
disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat DM diakui, rutin minum obat metformin 3 x 500 mg

3
 Riwayat batuk lama > 2 minggu disangkal, asma disangkal
 Riwayat menjalani pengobatan paru yang 6 bulan disangkal
 Riwayat pembengkakan jantung
Riwayat penyakit dalam keluarga
 Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit DM, HT, asma, penyakit
jantung pada keluarganya

Riwayat Sosial
Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien juga menyangkal
adanya penggunaan obat-obatan terlarang dan meminum jamu- jamuan.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tampak sakit sedang


Kesadaran : komposmentis, GCS : 15 ( E4 V 5 M6 )

Tekanan darah : 130/80 mmHg


Nadi : 89x/m, regular, kuat angkat isi cukup
RR : 21x/menit, regular
Suhu : 36oC (aksilla)

Status Generalis
Sistem Deskripsi
Kepala Bentuk normocephal, warna rambut hitam, distribusi rambut
merata, rambut tidak mudah rontok
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), kornea jernih (+/+)
Hidung Sekret (-/-), epistaksis (-/-), septum deviasi (-/-), nafas cuping
hidung (-)
Mulut Mukosa mulut lembab, tidak terdapat sianosis, faring
hiperemis (-), tonsil (T1-T1), stomatitis (-), lidah kotor (-).
Telinga Normotia, simetris, serumen (-/-).
Leher Tidak didapatkan pembesaran KGB, pembesaran kelenjar
tiroid (-), JVP 5+2
Jantung Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga 6 linea axilaris sinistra

4
Perkusi: Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung : linea midclavicularis sinistra
Auskultasi: BJ I dan BJ II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru Inspeksi : dada simetris (+/+), retraksi dinding dada (-
/-) penggunaan otot bantu pernafasan (-/-)
Palpasi : Vokal fremitus sama di kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada ke 2 lapang paru, batas paru dan
hepar setinggi ICS 5
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), rales ( + /+),
wheezing (-/-)
Abdomen Inspeksi : normal, tampak rata, distensi -, sikatriks -
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+),turgor baik,
hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen (+),
shifting dullness (-)
Ekstremitas teraba hangat, CRT kurang dari 2 detik, edema (+/+),
pitting, sianosis (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24 – 06-2018
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 10,4 13.5 – 17.5 g/dl
Hematokrit 32% 42 – 52 %
Eritrosit 3.26 4.2 – 5.4 10^6/ul
Leukosit 16.8 4.8 – 10.8 10^3/ul
Trombosit 289 150 – 450 10^3/ul
MCV 97 80 – 84 fL
MCH 32 27–31 pg
MCHC 33 33 – 37 %
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 117 < 180 mg/dL
Faal Ginjal

5
Ureum 31 10-50 mg%
Kreatinin 1.40 0-1 mg%

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24-06-2018


Elektrolit
Na 146 135-148 mEq/L
K 4.20 3.50-5.30 mEq/L
Ca 110 95-105 mmol/L

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


EKG

15 Mei 2018

V. RUMUSAN MASALAH

- Hematemesis ec Suspect Gastritis erosif drug induced

VI. RENCANA DIAGNOSTIK

- EKG
- Cek Lab

VII. TATALAKSANA SEMENTARA

- asering 500 ml / 24 jam

6
- inj. omeprazol 40 mg
- inj. ondancentron 4 mg
- ulsidex 500 mg
- inj.asam traneksamat 500 mg
- cek lab (Hematologi rutin, Ur/Cr, SGOT/SGPT, Elektrolit)
- EKG
- NGT
- Puasa

konsul dr.Tunggul sp PD ( read back +) :

- diet:lunak
- bila muntah darah terus --> pasang NGT
- inj. omeprazol 2 x 40 mg
- inj. ondancentron 3 x 4 mg
- ulsafat 3 x 1 c
- inj. asam traneksamat 3 x 500 mg

VIII. PROGNOSIS

Ad Vitam : dubia
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

IX. RESUME

Pasien perempuan usia 79 tahun datang dengan keluhan utama Muntah kehitaman
sejak 2 hari selum masuk rumah sakit. Terdapat riwayat Diabetes melitus tipe 2
konsumsi obat rutin metformin 3 x 500 mg. Terdapat riwayat maag pada pasien.
Pasien didiagnosis hematemesis dengan CKD on HD, anemia dan hipokalemia. Sudah
dilakukan pertolongan pertama dan pemberian anti fibrinolitic. Saat ini pasien
menjalani pemantauan di Lantai 4, Kamar 4007 RSUD Pasar Minggu.

7
BAB II

Tinjauan Pustaka

I. PENDAHULUAN

Perdarahan akut saluran cerna bagian atas (SCBA) sering dijumpai di bagian gawat
darurat. Sebagian besar pasien dalam keadaan stabil, sebagian lainnya dalam keadaan
gawat darurat yang memerlukan tindakan cepat dan tepat.1 Meskipun tatalaksana
optimal dengan terapi endoskopi dan obat-obat penghambat sekresi asam lambung,
angka kematian SCBA tetap berkisar 6-14%.2 Konsensus terkini menempatkan
endoskopi sebagai tulang punggung terapi perdarahan SCBA non-variseal.2-4 Di
Indonesia, endoskopi tidak selalu tersedia, sehingga penerapannya tergantung pada
diagnosis dan fasilitas kesehatan yang dimiliki.2

II. EPIDEMIOLOGI

8
Perdarahan SCBA merupakan perdarahan yang berasal dari esofagus sampai
ligamentum of Treitz.5 Insidens perdarahan SCBA bervariasi mulai dari 48-160 kasus
per 100.000 populasi, insidens tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia.2

Lebih dari 60% perdarahan SCBA disebabkan oleh perdarahan ulkus peptikum,
perdarahan varises esofagus hanya sekitar 6%.5 Etiologi lain adalah malformasi
arteriovenosa, Mallory-Weiss tear, gastritis, dan duodenitis.5 Di Indonesia, sekitar
70% penyebab SCBA adalah ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan
manajemen penyakit hepar kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi
perdarahan ulkus peptikum diperkirakan bertambah.2 Data studi retrospektif di RS
Cipto Mangunkusumo tahun 2001-2005 dari 4154 pasien yang menjalani endoskopi,
diketahui bahwa 807 (19,4%) pasien mengalami perdarahan SCBA. Penyebab
perdarahan SCBA antara lain: 380 pasien (33,4%) ruptur varises esofagus, 225 pasien
(26,9%) perdarahan ulkus peptikum, dan 219 pasien (26,2%) gastritis erosif.2

PERDARAHAN ULKUS PEPTIKUM

Infeksi H. pylori berperan penting dalam perkembangan ulkus peptikum, baik ulkus
duodenal maupun gaster. Di negara berkembang peranan H. pylori mungkin lebih
besar.2 H. pylori menempel pada epitel lambung, memproduksi enzim dan toksin
yang membuat mukosa mudah rusak. H. pylori juga mempengaruhi kadar gastrin dan
produksi asam lambung.5

Hal lain yang meningkatkan kejadian ulkus peptikum adalah penggunaan obat anti-
inflamasi non-steroid (OAINS). Dalam suatu metanalisis 16 studi atas 1633
pengguna OAINS, penggunaan OAINS meningkatkan risiko perdarahan SCBA
(odds ratio [OR]= 4,8) dan risiko meningkat (OR= 6,1) apabila disertai dengan
infeksi H. pylori.5 Ulkus duodenal lebih sering mengerosi pembuluh darah besar,
menghasilkan perdarahan yang lebih berat.5

III. DIAGNOSIS

Presentasi Klinis
Presentasi klinis terbanyak perdarahan SCBA adalah hematemesis (muntah darah),
emesis hitam seperti bubuk kopi, dan melena (feses hitam seperti aspal).1-2 Sekitar
30% pasien.1 Riwayat atau klinis/temuan laboratorium yang menandakan penyakit
hepar; 2Riwayat atau klinis/ temuan ekokardiografi yang menandakan gagal jantung.
Skor 0 dikategorikan risiko rendah, pasien dapat dipulangkan.

9
perdarahan ulkus mengalami hematemesis, 20% melena, dan 50% keduanya.2
Sekitar 5% pasien mengalami hematokezia (buang air besar berwarna merah
marun),1-2 biasanya jika perdarahan lebih dari 1000 mL. Pasien dengan hematokezia
dan tanda hemodinamik tidak stabil perlu dicurigai mengalami perdarahan SCBA.2

Presentasi klinis non-spesifik adalah nausea, muntah, nyeri epigastrium, fenomena


vasovagal, sinkop, dan tanda komorbid pasien (seperti diabetes melitus, penyakit
jantung koroner, stroke, penyakit ginjal kronik, dan artritis). Riwayat konsumsi obat
perlu diketahui.2

Tabel 1. Klasifikasi Forrest untuk ulkus2

Ulkus dengan perdarahan


Forrest I a
memancar
Forrest I b Ulkus dengan perdarahan merembes
Ulkus dengan pembuluh darah visibel
Forrest Iia
tidak berdarah
Forrest IIb Ulkus dengan bekuan adheren
Forrest IIc Ulkus dengan bintik pigmentasi
Forrest III Ulkus dengan dasar bersih

Tabel 2. Skor Blatchford6

Penanda Risiko saat Presentasi Skor


Urea Darah (mmol/L)
6,5-8 2
8-10 3
10-25 4
>25 6
Hb (g/dL)
Laki-laki
12-13 1
10-12 3
<10 6
Perempuan
10-12 1
<10 6
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
100-109 1
90-99 2
<90 3

10
Laju Nadi ≥100 x/menit 1
Riwayat dan Komorbid
Melena 1
Sinkop 2
Penyakit hepar 2
Gagal jantung 2

Tabel 3. Skor Rockall6

nilai 0 1 2 3
Usia (tahun) <60 60-79 ≥80
Hemodinamik -
Laju nadi
(/menit)
Tekanan darah <100 ≥100
sistolik (mmHg) ≥100 <100
Penyakit jantung Gagal ginjal
iskemik, gagal atau hepar,
jantung, atau keganasan
komorbid lain yang
Diagnosis
Komorbid Tidak ada lain tersebar
Mallory – - Lesi ganas pada
weiss tear SCBA
atau tidak
ada lesi
atau tidak
Diagnosis ada stigma. -
Tidak ada
stigma atau Darah di SCBA,
bintik bekuan adheren,
hitam pada pembuluh darah
Stigmata terlihat/perdarahan
perdarahan ulkus aktif. -

1. Anamnesis
Dilakukan anmnesis yang teliti dan bila keadaan umum penderita lamah atau
kesadaran menurun maka dapat diambil aloanamnesis. Perlu ditanyakan
riwayat penyakit dahulu, misalnya hepatitis, penyakit hati menahun,

11
alkoholisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenik dan
penyakit darah seperti: leukemia dan lain-lain. Biasanya pada perdarahan
saluran makan bagian atas yang disebabkan pecahnya varises esofagus tidak
dijumpai adanya keluhan rasa nyeri atau pedih di daerah epigastrium dan
gejala hematemesis timbul secara mendadak. Dari hasil anamnesis sudah
dapat diperkirakan jumlah perdarahan yang keluar dengan memakai takara
yang praktis seperti berapa gelas, berapa kaleng dan lain-lain.

2. Pemeriksaan fisik
Evaluasi status hemodinamik (denyut nadi dan tekanan darah), laju respirasi,
kesadaran, konjungtiva pucat, waktu pengisian kapiler melambat, dan stigmata
sirosis hepatis, merupakan tanda utama yang harus segera dikenali.2
Takikardi saat istirahat dan hipotensi ortostatik menandakan banyaknya darah
yang hilang. Perhatikan adanya keluaran urin yang rendah, bibir kering, dan
vena jugular kolaps.2
Pemeriksaan fisik harus menilai adanya defans muskuler, nyeri tekan lepas,
skar bekas operasi, dan stigmata penyakit hepar kronik. Pemeriksaan rektum
dilakukan untuk menilai warna feses. Spesimen feses perlu diambil untuk tes
darah samar.5

3. Penunjang
Tes laboratorium yang perlu adalah hemoglobin, hematokrit, ureum darah,
kreatinin, hitung trombosit, prothrombin time (PT), partial thromboplastin
time (PTT), international normalized ratio (INR), tes fungsi hepar, serta tes
golongan darah dan crossmatch.5
Pemasangan selang nasogastrik tidak rutin dilakukan. Jika terdeteksi darah
segar, perlu dilakukan segera endoskopi dan perawatan di unit intensif. Bila
terdapat emesis seperti bubuk kopi, maka pasien memerlukan rawat inap dan
evaluasi endoskopi dalam 24 jam.2 Pemasangan selang nasogastrik pada
beberapa kasus dapat menuntun terapi, tetapi tindakan ini tidak dianjurkan
sebagai alat diagnostik perdarahan SCBA karena memiliki sensitivitas rendah
dan likelihood ratio rendah.5
Endoskopi merupakan gold standard diagnosis perdarahan SCBA, bukan
hanya menentukan diagnosis dan menentukan stigmata perdarahan, tetapi juga
untuk tindakan hemostasis.1 Stigmata penting diketahui karena dapat
menentukan risiko perdarahan ulang. Klasifikasi stigmata Forrest sering
dipakai di Asia dan Eropa (Tabel 1).3 Pasien berisiko tinggi perdarahan ulang

12
bila didapatkan perdarahan arterial aktif (90%), pembuluh darah visibel tanpa
perdarahan (50%), dan bekuan darah (33%).2

STRATIFIKASI RISIKO
Stratifikasi pasien berdasarkan kategori risiko perdarahan ulang dan kematian
dapat menggunakan sistem penilaian Blatchford dan Rockall (Tabel 2 dan 3).
Pasien risiko tinggi perlu dirawat inap di unit intensif.2 Stratifikasi risiko juga
perlu dilakukan untuk menentukan pasien risiko sangat rendah yang tidak
memerlukan intervensi dan rawat inap.6

Skor Blatchford (Tabel 2) menggunakan tanda klinis dan hasil laboratorium awal
untuk memprediksi perlunya rawat inap dan intervensi seperti transfusi, terapi
endoskopi atau pembedahan pada pasien perdarahan SCBA. Skor Blatchford 0
memiliki sensitivitas sebesar >99% untuk mengidentifikasi pasien yang tidak
memerlukan intervensi. Skor 1 atau lebih termasuk risiko tinggi.8 Penelitian di
Singapura dan Malaysia menunjukkan endoskopi dalam 12 jam memperbaiki
angka kelangsungan hidup pasien dengan skor Blatchford ≥12.6
Skor Rockall (Tabel 3) digunakan untuk menilai risiko kematian berdasarkan
usia, hemodinamik, komorbid, dan temuan endoskopi. Pasien dengan skor ≤2
digolongkan risiko rendah, 3-7 termasuk risiko sedang, dan ≥8 risiko tinggi.6,8

4. TATALAKSANA
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) merekomendasikan pendekatan
multidisiplin melibatkan internis/gastroenterologis, radiologis intervensi, dan
bedah/bedah digestif.2
Tatalaksana Awal
Penilaian status hemodinamik dan resusitasi dilakukan paling awal.3 Resusitasi
meliputi pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, koreksi koagulopati, dan
transfusi darah bila dibutuhkan.2 Batas transfusi darah adalah jika Hb ≤7,0 g/dL,
lebih tinggi apabila perdarahan masih berlanjut atau perdarahan masif atau adanya
komorbid seperti penyakit jantung koroner, hemodinamik tidak stabil, dan lanjut
usia.2 Hemoglobin minimal untuk endoskopi adalah 8 g/dL, namun jika akan
dilakukan terapi endoskopi, hemoglobin minimal 10 g/dL dan hemodinamik
stabil.2
Pemakaian selang nasogastrik untuk diagnosis, prognosis, visualisasi, atau terapi
tidak direkomendasikan.3-4 Selang nasogastrik dapat dipasang untuk menilai
perdarahan yang sedang berlangsung pada hemodinamik tidak stabil; tujuan
pemasangan adalah untuk mencegah aspirasi, dekompresi lambung, dan evaluasi
perdarahan.2 Tindakan kumbah lambung dengan es tidak direkomendasikan.2

13
Terapi pra-endoskopi dengan proton pump inhibitor (PPI) direkomendasikan pada
perdarahan ulkus peptikum; PPI dapat dengan cepat menetralkan asam lambung.2
pH in vitro di atas 6 dapat mendukung pembentukan dan stabilitas bekuan.7
Lingkungan asam dapat menghambat agregasi trombosit dan koagulasi plasma,
juga menyebabkan lisis bekuan. ACG (American College of Gastroenterology)
merekomendasikan pemberian PPI bolus 80 mg diikuti dengan infus 8 mg/jam
untuk mengurangi tingkat stigmata dan mengurangi terapi endoskopi. Meskipun
begitu PPI tidak menurunkan angka perdarahan ulang, pembedahan, dan
kematian.3 Jika endoskopi ditunda dan tidak dapat dilakukan, terapi PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lebih lanjut.2
Penilaian risiko untuk stratifikasi pasien, juga dilakukan untuk membantu
membuat keputusan awal seperti saat endoskopi, saat pemulangan, dan tingkat
perawatan.3

Tatalaksana Endoskopi
Endoskopi direkomendasikan dalam ≤24 jam; pada pasien risiko tinggi seperti
instabilitas hemodinamik (takikardia, hipotensi) yang menetap setelah resusitasi
atau muntah darah segar, aspirat darah segar pada selang nasogastrik, endoskopi
dilakukan very early dalam ≤12 jam.3-4 Di lain pihak, endoskopi early
meningkatkan risiko desaturasi terutama bila dilakukan sebelum resusitasi dan
stabilisasi.3 Pada pasien dengan status hemodinamik stabil dan tanpa komorbid
serius, endoskopi dapat dilakukan sebelum pasien pulang.2
Tujuan endoskopi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan mencegah
perdarahan ulang.2 ACG merekomendasikan terapi endoskopi untuk perdarahan
aktif memancar atau merembes atau pembuluh darah visibel tanpa perdarahan.
Pada bekuan yang resisten dengan irigasi (bekuan adheren), terapi endoskopi dapat
dipertimbangkan terutama pada pasien risiko tinggi perdarahan ulang. Terapi
endoskopi tidak direkomendasikan untuk ulkus dengan dasar bersih atau bintik
pigmentasi.3
Penentuan stigmata melalui endoskopi dapat menjadi dasar pertimbangan terapi
(Gambar 1).2-3 Perdarahan ulkus aktif memerlukan kombinasi terapi hemostasis,
salah satunya adalah epinefrin yang dapat dikombinasikan dengan pemasangan
hemoklip, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi.2 Epinefrin tidak
direkomendasikan sebagai terapi tunggal.2,3
Pasien dengan stigmata risiko tinggi (perdarahan aktif, pembuluh darah visibel,
bekuan darah) memerlukan rawat inap setidaknya 3 hari. Pasien dipulangkan jika
tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi rawat inap lagi. Pasien dapat
memulai diet cair jernih segera setelah endoskopi dan ditingkatkan bertahap.3 Bila
terjadi perdarahan ulang, endoskopi dapat diulang. Jika tidak dapat dihentikan
dengan endoskopi, dapat dilakukan pembedahan atau embolisasi arterial.2
Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat langsung diberi diet lunak dan dipulangkan
setelah endoskopi bila status hemodinamik stabil, hemoglobin adekuat, dan tidak
ada masalah medis lain.2

14
Terapi Pasca-Endoskopi
Farmakoterapi memiliki peran besar setelah endoskopi pada perdarahan SCBA
karena ulkus peptikum. PPI lebih superior dibandingkan antihistamin.2 Data terkini
merekomendasikan pemberian PPI intravena dosis tinggi selama 72 jam untuk
pasien risiko tinggi.2 Pasien dengan ulkus dasar bersih dapat diberi terapi PPI dosis
standar (oral satu kali per hari).3 Pasien perdarahan ulkus peptikum yang
dipulangkan direkomendasikan mendapat PPI oral sekali sehari. Durasi dan dosis
PPI tergantung etiologi dan penggunaan obat lain.2

Tes H. pylori direkomendasikan pada semua pasien perdarahan ulkus peptikum.2


Jika hasil positif maka diberikan terapi tripel selama 1 minggu. Setelah pemberian
terapi eradikasi, pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan menggunakan urea
breath test (UBT) atau H. pylori stool antigen test. Pemeriksaan dilakukan paling
tidak 4 minggu setelah akhir terapi.10 Jika terapi gagal mengeradikasi H. pylori,
maka perlu diberikan terapi lini kedua.10 Diagnosis H. pylori memiliki nilai
prediksi negatif rendah pada pasien perdarahan SCBA akut, sehingga hasil tes
negatif dalam kondisi akut perlu diulang.2 Pemberian PPI dapat dihentikan setelah
eradikasi H. pylori dinyatakan berhasil, kecuali jika pasien memakai AINS.3 Bila
AINS tetap diperlukan, sebaiknya dari golongan COX-2-selective dengan dosis
efektif terendah ditambah PPI.3 Pasien ulkus idiopatik (non-H. pylori, non-AINS)
perlu diberi PPI jangka panjang.3

ACG merekomendasikan untuk menghentikan dan menilai ulang kebutuhan aspirin


untuk pencegahan kejadian kardiovaskular primer. Aspirin perlu dilanjutkan jika
digunakan untuk pencegahan sekunder, idealnya dalam 1-3 hari, lebih pasti dalam
7 hari.3

ESGE (European Society for Gynaecological Endoscopy) merekomendasikan


pemberian ulang terapi antikoagulan pada pasien yang memiliki indikasi
pemakaian antikoagulan jangka panjang. Saat aman untuk memulai kembali terapi
adalah antara hari ke-7 sampai hari ke-15. Pemberian kurang dari 7 hari hanya
pada pasien dengan risiko trombosis besar.4

PERAN PPI
Penggunaan PPI untuk perdarahan ulkus peptikum akut atau rekuren adalah untuk
menaikkan pH lambung ke angka 6 atau lebih tinggi. Dalam keadaan pH di atas 6,
aktivitas pepsin menurun, fungsi trombosit optimal, dan fibrinolisis terhambat,
sehingga bekuan darah di atas ulkus menjadi stabil.9
Pasien dengan risiko rendah perdarahan direkomendasikan menggunakan PPI oral
dosis standar, sedangkan pada risiko tinggi direkomendasikan PPI dosis tinggi
intravena bolus 80 mg diikuti infus kontinu 8 mg/jam selama 72 jam.2,3

15
Sebuah studi metaanalisis 21 penelitian yang melibatkan 2915 pasien
menunjukkan bahwa PPI menurunkan kejadian perdarahan ulang (OR= 0,46; CI
95% 0,33 s/d 0,64) dan pembedahan (OR= 0,59; CI 95% 0,46 s/d 0,76), namun
tidak menurunkan angka kematian (OR= 1,11; CI 95% 0,79 s/d 1,57).9 Studi
metaanalisis lain yang berasal dari 13 penelitian menunjukkan bahwa PPI injeksi
intermiten tidak inferior terhadap terapi PPI bolus dilanjutkan infus kontinu selama
72 jam yang banyak direkomendasikan saat ini. Pada metaanalisis ini terdapat
penelitian yang menyertakan pH intragastrik. Pemberian PPI oral 80 mg dan bolus
40 mg tiap 12 jam dibandingkan dengan PPI infus kontinyu memiliki proporsi
waktu untuk mencapai pH ≥ 6 yang 100% identik. Perbedaan waktu mencapai pH
≥6 antara pemberian bolus intermiten (intravena 80 mg dilanjutkan 40 mg tiap 12
jam) dengan infus kontinu tidak berbeda bermakna (49% vs 59%). Akan tetapi,
bolus intermiten dengan dosis lebih kecil (injeksi intermiten bolus 40 mg tiap 24
jam) hasilnya signifikan lebih rendah (39% vs 71%).7 Dalam keadaan endoskopi
tertunda atau tidak dapat dilakukan, PPI direkomendasikan untuk mencegah
perdarahan lebih lanjut.3

IV. Alur tatalaksana perdarahan SCBA terkait ulkus peptikum

16
Gambar 1. Alur tatalaksana perdarahan SCBA terkait ulkus peptikum.2

Penyakit ginjal kronik


Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat global
dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk
dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah
penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar
1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium tertentu
(http://www.worldkidneyday.org/faqs/chronic-kidney-disease/). Hasil systematic
review dan meta-analysis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan
prevalensi global PGK sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease
tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun
1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di
Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar
dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.

Definisi
Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa
bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73
m2 selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving Global Outcomes, KDIGO
2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management). Kerusakan
ginjal adalah setiap kelainan patologis atau penanda keruasakan ginjal, termasuk
kelainan darah, urin atau studi pencitraan.

17
Etiologi
Etiologi penyakit gagal ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan negara
yang lain. Di Indonesia jumlah pasien penyakit gagal ginjal berdasarkan diagnosa
etiologi/comorbid tahun 2012 menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI), dimana penyakit ginjal hipertensi masih menduduki angka tertinggi
yaitu 5.654 pasien, disusul nefropati diabetika sebanyak 4.199 pasien. Untuk
wilayah DIY angka tertinggi penyakit ginjal hipertensi sebanyak 746 pasien dan
angka nefropati diabetika sebanyak 534 pasien. Penyakit penyebab pasien
hemodialisis pada tahun 2012 menurut data PERNEFRI disajikan pada tabel II
(PERNEFRI, 2013).
Tabel 4. Persentase Diagnosa Penyakit Penyebab Pasien HD di Indonesia Menurut Data
PERNEFRI Tahun 2012 (PERNEFRI, 2013)
Penyakit Penyebab Persentase (%)
Ginjal Hipertensi 35
Nefropati Diabetika 26
Glumerulopati Primer/GNC 12
Nefropati Obstruksi 8
Pielonefritis kronik/PNC 7
Lain-lain 6
Nefropati Asam Urat 2
Nefropati Lupus/SLE 1
Ginjal Polikistik 1
Tidak diketahui 2
Jumlah 100

Derajat PGK dan risiko progresivitasnya diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 5. Derajat dan Progresivitas PGK


Persistent albuminuria categories
description and
range
A1 A2 A3

Normal to
mildly Moderately Severely
increased
increased increased

<30 mg/g 30 - 300 mg/g >300 mg/g


3 - 30
<3 mg/mmol mg/mmol >30 mg/mmol

G1 Normal or high ?90 1 if CKD 1 2

G2 Mildly decreased 60-89 1 if CKD 1 2

Mildly to moderately
G3a decreased 45-59 1 2 3

18
Moderately to severely
G3b 30-44 2 3 3
decreased
G4 Severely decreased 15-29 3 3 4+

G5 Kidney failure <15 4+ 4+ 4+

Keterangan: GFR dan albuminuria menggambarkan risiko progresivitas sesuai


warna (hijau, kuning, oranye, merah, merah tua). Angka di dalam kotak
menunjukkan frekuensi monitoring/tahun yang dianjurkan. Sumber: KDIGO 2012
Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management

Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan gejala dan tanda, bahkan hingga laju
filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara klinis dan
laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi
glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien mulai
merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomelurus kurang
dari 30%.

Tabel 6. Diagram Deteksi Dini Penyakit Ginjal Kronik

Siapa yang berisiko tinggi


Apa yang perlu dilakukan? Seberapa sering?
menderita penyakit ginjal?

• Umur >50 tahun Periksa Tiap 12 bulan


• Diabetes • Tekanan darah
• Hipertensi • Urine dipstick
• Perokok (microalbuminuria jika
• Obesitas diabetes)
• Riwayat keluarga • CCT atau eGFR
menderita penyakit ginjal

Keteranga : CCT = Creatinin


n Clearance Test
eGFR = perkiraan laju filtrasi glomerulus
Sumber : Comprehensive Clinical Nephrology, 2015

Diagnosis

19
Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun dapat
berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan
ditanggulangi dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih
besar jika diketahui lebih awal.Penanganan PGK difokuskan pada memperlambat
penurunan fungsi ginjal dan pada tahap tertentu dibutuhkan hemodialisis dan
transplantasi ginjal.

Manifestasi klinis
a. A Gejala dan tanda PGK stadium awal (Arici, 2014)

1) Lemah

2) Nafsu makan berkurang

3) Nokturia, poliuria

4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap

5) Urin berbuih

6) Sakit pinggang

7) Edema

8) Peningkatan tekanan darah

9) Kulit pucat

b. Gejala dan tanda PGK stadium lanjut (Arici, 2014)

1) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda kelebihan


volume, penurunan mental, cegukan)

2) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations)

3) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic lung)

4) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat badan, stomatitis,


rasa tidak menyenangkan di mulut)

5) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik neuropati, kram


otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang, ensefalopati, koma)

6) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi)

7) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal)

Klasifikasi PGK

20
PGK dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 hal, yaitu menurut diagnosis etiologi
dan menurut derajat (stage) penyakit. Klasifikasi atas dasar derajat (stage)
penyakit dibuat berdasarkan level laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dapat
dilihat pada tabel :

Tabel 7. Klasifikasi Stadium PGK Berdasarkan Level GFR

GFR
Stadium (ml/mnt/1,73 Deskripsi Simptom
m2 )
GFR -
1 ≥ 90 normal/meningkat
Penurunan GFR Asimptomatik
2 60-89 ringan
Penurunan GFR Asimptomatik
3a 45-59 sedang
Penurunan GFR Anemia, fatigue, kram
3b 30-44 sedang otot
Penurunan GFR Anoreksia, Nausea,
4 15-29 berat Gout, Insomnia,
Neuropati
Penyakit ginjal Itch, sakit kepala,
5 <15 stadium akhir gangguan kognitif,
kematian
(Dasari et al., 2014)

Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik


Pengobatan konservatif terdiri dari 2 strategi. Pertama adalah usaha-usaha untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal yaitu dengan pengobatan hipertensi,
pembatasan asupan protein, restriksi fosfor, mengurangi proteinuria dan
mengendalikan hiperlipidemia. Kedua adalah mencegah kerusakan ginjal (KDIGO,
2012).

Tabel 8. Manajemen Terapi pada Gagal Ginjal Kronik (KDIGO, 2012)


Terapi Kondisi
2
Terapi dengan bikarbonat GFR<60mL/menit/1,73m dan/atau
transplantasi ginjal
GFR<60mL/menit/1,7
2
Terapi dengan allopurinol 3m dan/atau
transplantasi ginjal dengan/tanpa
hiperuresemia
Inisiasi dilakukan RRT GFR<30mL/menit/1,7
(Renal
Replacement Therapy) 3m2
GFR<60mL/menit/1,7
Diet protein 3m2 dan/atau
transplantasi ginjal

Pedoman KDIGO meninjau bukti yang mendukung untuk rekomendasi dalam


penundaan progresi dari CKD. Penggunaan tes kepadatan mineral tulang dilakukan
21
pada pasien dengan GFR 45 mL/menit/1,73 m2 dan ada saran untuk tidak
meresepkan bifosfonat pada pasien dengan GFR 30 mL/menit/1,73 m2. Tabel IV
akan menjelaskan penggunaan Phosphate-Binding Agents dalam praktik klinik
rutin (KDIGO, 2012).

Tabel 9. Phosphate-Binding Agents dalam Praktik Klinik Rutin (KDIGO, 2012)


Obat Dosis Harian
Aluminium hidroksida 1.425-2.85 g
Kalsium sitrat 1.5-3 g
0.7-1.4 g (ditambah kalsium karbonat 0.33-
Magnesium karbonat 0.66 g)
Kombinasi kalsium Kalsium asetat 435 mg ditambah
asetat magnesium
dan magnesium
karbonat karbonat 235 mg, 3-10 tablet/hari
Kalsium karbonat 3-6 g
Kalsium asetat 3-6 g
Lathanum karbonat 3g
Sevelamer-HCl 4.8-9.6 g
Sevelamer karbonat 4.8-9.6 g
Catatan: AKI=Acute Kidney Injury; CKD=Chronic Kidney Disease;
CrCl=Creatinine Clearance; GFR=Glomerular Filtration Rate

Pedoman KDIGO juga merangkum catatan penting dalam peresepan obat pada
pasien dengan gangguan ginjal kronik pada tabel V (KDIGO, 2012).

Tabel 10. Catatan Penting untuk Peresepan pada Pasien GGK (KDIGO, 2012)

Obat Catatan Penting


1. Antihipertensi
Antagonis sistem RAA Hindari pada pasien yang diduga gangguan fungsional
(ACEI, stenosis
ARB, antagonis
aldosteron, arteri ginjal
Dimulai dengan dosis yang lebih rendah pada pasien
inhibitor renin langsung) dengan
GFR<45mL/menit/1,73m2
Menilai GFR dan mengukur serum kalium dalam
waktu 1
minggu dari awal pemberian atau mengikuti setiap
eskalasi
dosis
Dihentikan sementara selama adanya penyakit
penyerta,
persiapkan radiocontrast secara IV, persiapan untuk
colonscopy
atau sebelum operasi besar
Jangan rutin menghentikan pengobatan pada pasien
dengan

22
GFR<30mL/menit/1,73m2 selama mereka tetap
nephroprotective
Beta-blocker Turunkan dosis hingga 50% pada pasien dengan
GFR<30mL/menit/1,73m2
Digoxin Turunkan dosis berdasarkan konsentrasi plasmanya
2. Analgetik
Hindarkan pada pasien dengan
NSAID GFR<30mL/menit/1,73m2
Terapi jangka panjang tidak direkomendasikan pada
pasien
dengan GFR<60mL/menit/1,73m2
Dianjurkan tidak digunakan pada pasien yang
menggunakan
lithium
Hindarkan pada pasien yang menggunakan RAAS
blocking
agent
Opioid Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Gunakan dengan peringatan pada pasien dengan
GFR<15mL/menit/1,73m2
3. Antimikroba
Risiko crystalluria ketika GFR<15mL/menit/1,73m2
Penicillin dengan
dosis tinggi
Neurotoksik dengan benzylpenicillin ketika
GFR<15ml/menit/1,73m2dengan dosis tinggi
(maksimum 6
g/hari)
Aminoglikosida Turunkan dosis dan atau naikkan interval dosis ketika
GFR<60mL/menit/1,73m2
Monitor konsentrasi serum
Hindari pemakaian ototoxic agents secara bersamaan
seperti
furosemide
Turunkan dosis sampai 50% ketika
Makrolida GFR<30mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis sampai 50% ketika
Fluorokuinolon GFR<15mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis ketika GFR<45mL/menit/1,73m2,
Tetrasiklin dapat memperburuk uremia
Hindari amphotericin kecuali tidak ada alternatif
ketika
GFR<60mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis pemeliharaan dari fluconazole
Antifungi sampai 50%
ketika GFR<45mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis flucytosine ketika
GFR<60mL/menit/1,73m2

4. Obat Hipoglikemia

23
Hindari obat-obat yang utamanya dieksresi melalui
ginjal
(contoh: glyburide/glibenklamid)
Obat-obat yang utamanya dimetabolisme di hati
Sulfonilurea
perlu
diturunkan dosisnya ketika
GFR<30mL/menit/1,73m2 (contoh:
gliclazide, gliquidone)
Sebagian diekskresi di ginjal dan perlu diturunkan
Insulin dosisnya
ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Dianjurkan untuk dihindari ketika
GFR<30mL/menit/1,73m2,
tapi pertimbangkan risk-benefit jika nilai GFR stabil
Tinjau penggunaan ketika
GFR<45mL/menit/1,73m2
Metformin
Dimungkinkan aman ketika
GFR≥45mL/menit/1,73m2
Tunda penggunaan pada pasien yang tidak sehat
secara
mendadak
5. Antihiperlidemia
Tidak ada kenaikan toksisitas untuk simvastatin
dengan dosis 20
mg/hari atau kombinasi simvastatin 20 mg dan
ezetimide 10 mg
per hari pada pasien dengan
Statin GFR<30mL/menit/1,73m2 atau
dengan dialisis
Uji lain tentang statin pada pasien dengan
GFR<15mL/menit/1,73m2atau dengan dialisis juga
menunjukan
tidak ada kelebihan toksisitas
Fenofibrat Menaikkan SCr sekitar 0,13 mg/dL (12µmol/L)
6. Kemoterapetik
Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Cisplatin
Hindari ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Melphalan Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Turunkan dosis ketika GFR<60mL/menit/1,73m2
Methotrexate Hindari jika mungkin ketika
GFR<15mL/menit/1,73m2
7. Antikoagulan
Bagi dua dosis ketika GFR<30mL/menit/1,73m2
Pertimbangkan beralih ke heparin konvensional atau
Heparin berbobot molekul dengan
kecil alternatif memantau plasma anti-faktor Xa pada
pasien yang
berisiko tinggi perdarahan
Menaikkan risiko perdarahan ketika
GFR<30mL/menit/1,73m2
Warfarin Pakailah dosis lebih rendah dan monitor secara ketat
ketikat
GFR<30mL/menit/1,73m2
8. Lain-lain

24
Nefrotoksisk dan dapat menyebabkan disfungsi
tubular ginjal
dengan penggunaan jangka panjang bahkan dalam
range
terapeutik
Memantau GFR, elektrolit dan level lithium 6
bulanan atau
secara rutin jika dosis berubah atau pasien tidak
sehat mendadak
Lithium Hindari penggunaan bersamaan dengan NSAID

Hemodialisis
Hemodialisis pertama kali diperkenalkan sebagai pengobatan efektif yang bisa
diterapkan dalam 19.431 prospek pasien dengan gagal ginjal yang kemudian dapat
merubah antisipasi risiko kematian yang akan datang menjadi kelangsungan hidup
yang lebih panjang. Sejak itu, pelaksanaan dialisis telah maju dari intensif bedside
therapy menjadi pengobatan yang lebih mudah, kadang-kadang dapat diberikan
dengan self-administered di kediaman pasien sendiri, menggunakan teknologi modern
yang telah disederhanakan dengan mengurangi waktu dan usaha yang dibutuhkan
oleh pasien dan perawat (K-DOQI, 2015).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal
(Renal Replacement Therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi
ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita GGK stadium 5 dan pada
pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
Menurut prosedur yang dilakukan hemodialisis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
hemodialisis darurat/emergency, hemodialisis persiapan/preparative dan hemodialisis
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat,
namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani
hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun
dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi
intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis reguler.
Namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (Agarwal
dan Light, 2010).

Drug Related Problems (DRPs)

DRPs merupakan kejadian yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien akibat
atau diduga akibat terapi obat secara aktual atau potensial mengganggu outcome
terapi yang diharapkan. DRPs aktual adalah DRPs yang sudah terjadi sehingga harus
diatasi dan dipecahkan. DRPs potensial adalah DRPs yang kemungkinan besar dapat
terjadi dan akan dialami oleh pasien apabila tidak dilakukan pencegahan (Rover et al.,
2003). Farmasis sebagai profesi yang bertanggung jawab dalam terapi obat harus

25
dapat mengidentifikasi, mengatasi atau mencegah terjadinya DRPs. Ada 2 komponen
primer dalam DRPs yaitu (Cipolle et al., 1998):
a. Kejadian atau risiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien. Kejadian
ini dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi, fisiologis atau
sosiokultural pasien.

b. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan
yang dialami oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini meliputi
konsekuensi dari terapi obat sebagai penyebab atau diduga sebagai penyebab
kejadian tersebut, atau dibutuhkannnya terapi obat untuk mengatasi atau
mencegah kejadian tersebut.

DRPs menjadi beberapa kategori sebagai berikut (Cipolle et al., 1998):

a. Indikasi yang tidak mendapatkan obat

Pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau premedikasi,


memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu, memerlukan
terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan/atau ada
kondisi kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.

b. Obat tanpa indikasi

Hal ini dapat terjadi dikarenakan menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat,
dapat membaik kondisinya dengan terapi non farmakologi, minum beberapa
obat padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan (duplikasi) dan/atau
minum obat untuk mengobati efek samping.

I. Menerima obat salah

Kasus yang mungkin terjadi adalah obat tidak efektif, alergi, adanya risiko
kontraindikasi, resisten terhadap obat yang diberikan dan/atau obat bukan yang
paling aman.

II. Dosis terlalu rendah

Penyebabnya antara lain dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, jangka waktu terapi terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute
pemberian dan sediaan obat tidak tepat.

III. Dosis terlalu tinggi

Penyebabnya antara lain dosis dan interval terlalu tinggi, konsentrasi obat diatas
kisar terapetik, akumulasi obat karena penyakit kronik.
f. Pasien mengalami Adverse Drug Reaction (ADR)

Penyebab umum kategori ini pasien menerima obat yang tidak aman,
pemakaian obat yang tidak tepat, interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan

26
atau diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan ADR dan/atau pasien
mengalami efek yang tidak dikehendaki yang tidak diprediksi.

g. Kepatuhan

Pasien mengalami kondisi atau keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak
minum obat secara benar. Beberapa penyebabnya adalah obat yang dibutuhkan
tidak ada, pasien tidak mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi,
pasien memilih untuk tidak minum obat karena alasan pribadi dan/atau pasien
lupa minum obat.

Tabel 11. Jenis-Jenis DRPs dan Penyebab yang Mungkin Terjadi


(Cipolle et al., 1998)
Drug Related Problems Kemungkinan Kasus pada DRPs
Indikasi tanpa obat a. Pasien dengan kondisi terbaru
memerlukan terapi obat yang terbaru
b. Pasien dengan penyakit kronik
memerlukan lanjutan terapi obat
c. Pasien dengan kondisi kesehatan
yang
membutuhkan kombinasi
farmakoterapi
untuk mencapai efek sinergis atau
lebih
poten
d. Pasien dengan risiko
pengembangan
kondisi kesehatan baru dapat
dicegah
dengan penggunaan obat profilaksis
a. Pasien mendapatkan obat yang
Penggunaan obat tanpa indikasi tidak tepat
indikasi
b. Pasien yang mengalami toksisitas
karena
obat atau hasil pengobatan
c. Pengobatan pada pasien yang
mengkonsumsi obat, alkohol dan
rokok
d. Pasien dalam kondisi pengobatan
yang
lebih baik diobati tanpa terapi obat
e. Pasien dengan multiple drugs untuk
kondisi di mana hanya single drug
therapy
saja yang diperlukan
f. Pasien dengan terapi obat untuk
penyembuhan adverse drug reaction
dari
pengobatan lainnya
Salah obat a. Pasien di mana obatnya tidak efektif
b. Pasien yang alergi dengan obat

27
tersebut
c. pasien menerima obat yang tidak
paling efektif untuk indikasi
pengobatan
d. pasien memiliki faktor risiko yang
kontraindikasi dengan penggunaan
obat
e. pasien menerima obat efektif tapi
ada obat lain yang lebih murah
f. pasien menerima obat efektif tapi
tidak aman
g. pasien terkena infeksi bakteri yang
sudah resisten terhadap obat yang
diberikan.

a. Pasien menjadi sulit disembuhkan


Dosis terlalu rendah dengan
terapi obat yang digunakan
b. Pasien menerima kombinasi produk
yag
tidak perlu dimana single drug dapat
memberikan pengobatan yang tepat
c. Pasien alergi
d. Dosis yang digunakan terlalu
rendah
untuk menimbulkan respon
e. Konsentrasi obat dalam serum
pasien di
bawah range terapeutik yang
diharapkan
f. Waktu profilaksis (preoperasi)
antibiotik
diberikan terlalucepat
Adverse Drug Reaction a. Pasien dengan faktor risiko yang
berbahaya bila obat digunakan
b. Ketersediaan dari obat dapat
menyebabkan interaksi dengan obat
lain
atau makanan pasien
c. Efek dari obat dapat diubah oleh
substansi
makanan pasien
d. Efek dari obat diubah inhibitor
enzim atau
induktor dari obatlain
e. Efek dari obat diubah dengan
pemindahan
obat dari bindingsite oleh obat lain
Dosis telalu tinggi a. Dosis terlalu tiggi
b. Konsentrasi obat dalam serum
pasien di
atas range terapi obat yang
28
diharapkan
c. Dosis obat meningkat terlalu cepat
d. Obat, dosis, rute, perubahan
formulasi
yang tidak tepat.
e. Dosis dan interval flexibility tidak
tepat
a. Pasien tidak menerima aturan
Ketidakpatuhan pasien pemkaian
obat yang tepat (penulisan, obat,
pemberian, pemakaian)
b. Pasien tidak menuruti (ketaatan)
rekomendasi yang diberikan untuk
pengobatan
c. Pasien tidak mengambil obat yang
diresepkan karena harganya mahal
d. Pasien tidak mengambil beberapa
obat
yang diresepkan karena kurang
mengerti
e. Pasien tidak mengambil beberapa
obat
yang diresepkan secara konsisten
karena
merasa sudah sehat

BAB III

Diskusi

I. RESUME
Pasien perempuan usia 46 tahun datang dengan keluhan utama Muntah kehitaman
sejak pkl. 19.30 ( 2 jam sebelum masuk rumah sakit ). Terdapat riwayat dirawat
dengan penyakit ginjal dan konsumsi obat asam folat, calcium carbonat, dan natrium
bicarbonat 1 bulan sebelumnya. Pasien didiagnosis hematemesis dengan CKD on HD
dan hipokalemia. Sudah dilakukan pertolongan pertama dan pemberian anti
fibrinolitic. Saat ini pasien menjalani pemantauan di Lantai 4, Kamar 4007 RSUD
Pasar Minggu.
Prognosis:
- Ad Vitam : dubia
- Ad Functionam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam

29
II. PEMBAHASAN KASUS
Primary survey harus dilakukan untuk menentukan tingkat kegawat daruratan pasien.
Pada primary survey, didapatkan tidak ada kendala pada jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi serta tidak ditemukannya defisit neurologis maupun lesi. Namun terdapat
sedikit gangguan pada secondary survey berupa konjungtiva pucat, nyeri tekan
epigastrium.

1. Dasar Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama pasien adalah muntah darah kehitaman dengan
karakteristik yang memenuhi kriteria untuk hematemesis ec Gastritis erosif, yaitu:
emesis hitam seperti bubuk kopi
pada pasien juga terdapat riwayat CKD ON HD yang memperkuat dasar
diagnosis ke arah hematemesis ec gastritis erosif yang merupakan komplikasi
gastrointestinal tersering dari penyakit ginjal kronik (PGK) .
Patogenesis hematemesis pada PGK belum jelas, diduga faktor yang berperan
terhadap perdarahan saluran cerna pada PGK antara lain efek uremia terhadap
mukosa saluran cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia,
penggunaan antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.19
Urease yang dihasilkan H. pylori mengubah urea menjadi amonia. Kadar amonia
lambung yang tinggi bersifat toksik terhadap epitel lambung dibanding urea.
Hiperamonemia lambung menyebabkan perubahan pada turnover selular dengan
cara menginduksi apoptosis sehingga memperlambat penyembuhan lesi mukosa.
Salah satu yang diduga berperan adalah hipergastrinemia. Kadar hormon gastrin yang
meningkat menyebabkan peningkatan produksi asam lambung oleh sel parietal.
Dengan demikian, dapat dikatakan dari anamnesis bahwa diagnosis pasien
mengarahkan ke satu dari 2 penyebab tersering hematemesis: ulkus peptikum dan
perdarahan varises esofagus.
Pasien mengkonsumsi obat natrium bicarbonat, asam folat dan kalsium karbonat.
Natrium bicarbonat termasuk antasida menetralisasi kadar asam lambung yang
berlebihan, efek samping yaitu perut kembung dan kram perut.
Asam folat termasuk vitamin untuk mencegah anemia., mencegah kerusakan sistem
saraf tengah pada bayi yang dikandung, mencegah efek samping pengobatan
methotrexate pada kasus arthritis, psoriasis, dan penyakit Crohn. efek samping yang
jarang terjadi yaitu: def. Vit B12, insomnia, muncul ruam kulit, rasa kesemutan, mual.

30
kalsium karbonat termasuk obat jenis antasida yang bekerja dengan menurunkan
jumlah asam dalam perut. Efek samping kalsium karbonat yang umum mungkin
termasuk: Mual atau muntah, sembelit, nafsu makan menurun, mulut kering dan haus
meningkat dan kencing lebih dari biasanya.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan konjungtiva pucat dan nyeri tekan
epigastrium. Gejala tersebut merupakan gejala yang harus dikenali pada hematemesis
mengingat komplikasinya yaitu anemia. Mengingat pasien memiliki riwayat maag,
gejala nyeri tekan epigastrium merupakan gejala umum yang dapat terjadi.

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan merupakan pemeriksan lab. Pada hasil Lab
ditemukan Anemia, hipokalemia, dan peningkatan kreatinin. Dengan ditemukannya
hal tersebut berarti dugaan terjadinya komplikasi dari hematemesis dan CKD On HD
dapat terkonfirmasi sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat.
Patofisiologi anemia pada pasien PGK yang utama disebabkan oleh penurunan
produksi hormon eritropoietin oleh sel-sel progenitor di medula ginjal. Eritropoietin
tersebut penting dalam stimulasi diferensiasi sel induk unipotensial menjadi sel
pronormoblast eritrosit di dalam sum-sum tulang, sehingga apabila terjadi penurunan
eritropoietin akan terjadi anemia karena penurunan jumlah eritrosit. Faktor lain yang
berkaitan dengan anemia adalah terjadi penurunan waktu hidup eritrosit sebagai
akibat kondisi uremia.
Kehilangan sekresi gastrik atau intestinal dari penyebab apapun (muntah, diare,
laksatif atau drainase tabung) dikaitkan dengan kehilangan kalium dan kemungkinan
hipokalemia. Konsentrasi kalium pada kehilangan kalium saluran cerna bawah cukup
tinggi (20-50 mEq/L) pada sebagian besar kasus. Alkalosis metabolik terkait
meningkatkan konsentrasi bikarbonat plasma dan oleh karenanya beban bikarbonat
pada filtrasi ginjal berada di atas ambang batas reabsorptif. Sebagai akibatnya, lebih
banyak natrium bikarbonat dan air yang dihantarkan kepada lokasi sekresi kalium
distal dalam kombinasi peningkatan aldosteron terinduksi hipovolemia. Efek nettonya
adalah peningkatan sekresi kalium dan kehilangan kalium urin secara besar-besaran.
pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir biasanya meretensi kalium dan cenderung
hiperkalemia, hipokalemia dapat terjadi pada pasien-pasien dengan dialisis kronik.
Kehilangan kalium lewat dialisis dapat mencapai 30 mEq per hari pada pasien dengan
dialisis peritoneal kronik. Keadaan ini dapat menjadi penting apabila terjadi
penurunan asupan atau bila terjadi kehilangan gastrointestinal bersamaan.

2. Tatalaksana

Sesuai dengan alur penatalaksanaan, tatalaksana awal yang diberikan pada pasien
adalah cairan untuk mengganti cairan yang hilang selama muntah. Lalu pasien

31
diberikan omeprazol 40mg sebagai PPI untuk menaikkan pH lambung ke angka 6
atau lebih tinggi. Dalam keadaan pH di atas 6, aktivitas pepsin menurun, fungsi
trombosit optimal, dan fibrinolisis terhambat, sehingga bekuan darah di atas ulkus
menjadi stabil. Pasien juga diberikan asam tranexamat 500mg sebagai golongan obat
anti-fibrinolitik digunakan untuk menghentikan pendarahan. Berikutnya sebagai
tambahan, pasien diberikan ondansetron 4 mg sebagai antimuntah untuk mengurangi
keluhan mual dan muntah dan diberikan ulsidex 500mg sebagai antasida, untuk
penghalang dan pelindung permukaan ulkus, mencegah kerusakan lebih lanjut yang
disebabkan karena asam, pepsin, dan empedu.

3. Prognosis

 Ad vitam : Dubia
Prognosis ini bergantung pada dua aspek, kecepatan dan ketepatan. Dikatakan
dubia karena pasien masih dalam masa penentuan untuk ketepatan
penatalaksanaan mengingat kecepatan penanganan kurang dapat bisa tercapai.
 Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Pasien dengan hematemesis ec gastritis erosif awal yang mendapatkan
penanganan dengan baik fungsi lambung dapat kembali normal. Oleh karena itu
penting untuk pasien hematemesis mengkontrol pola makan, dan pemantauan
penyakit lebih lanjut untuk mengurangi faktor risiko.
 Ad sanationam : Dubia ad bonam
Pada keadaan ini pasien memiliki paling tidak satu faktor risiko untuk dapat
terjadi kembali hematemesis pada pasien yaitu penyakit ginjal kronik yang
merupakan penyakit yang memiliki komplikasi perdarahan saluran cerna.. Oleh
karena itu perlu dilakukannya pemeriksaan faktor risiko lain pada pasien dan
perlu adanya pemantauan lebih lanjut untuk mencegah kejadian hematemesis atau
konplikasi lainnya..

32
BAB IV

Kesimpulan

Pasien perempuan usia 46 tahun datang dengan keluhan utama Muntah kehitaman
sejak pkl. 19.30 ( 2 jam sebelum masuk rumah sakit ). Terdapat riwayat dirawat
dengan penyakit ginjal dan konsumsi obat asam folat, calcium carbonat, dan natrium
bicarbonat 1 bulan sebelumnya. Terdapat riwayat maag pada pasien. Pasien
didiagnosis hematemesis dengan CKD on HD, anemia dan hipokalemia. Sudah
dilakukan pertolongan pertama dan pemberian anti fibrinolitic. Saat ini pasien
menjalani pemantauan di Lantai 4, Kamar 4007 RSUD Pasar Minggu.

33
Daftar Pustaka

1. Djumhana A. Perdarahan akut saluran cerna bagian atas [Internet]. [cited 2017
December 30 ]. Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/
uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran_cerna_ bagian_atas.pdf
2. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on management
of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia. Acta Medica
Indonesiana. 2014;46(2):163-71
3. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J
Gastroenterol. 2012;107:345- 60
4. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et al.
Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal hemorrhage:
European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) Guideline. Endoscopy.
2015;47(10):1-46. doi: 10.1055/s-0034-1393172.
5. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician 2012;85(5):469-76
6. Stanley AJ. Update on risk scoring systems for patients with upper
gastrointestinal haemorrhage. World J Gastroenterol. 2012;18(22):2739-44
7. Sachar H, Vaidya K, Laaine L. Intermittenr vs continous proton pump inhibitor
therapy for high-risk bleeding ulcers-A systematic review and meta-analysis.
JAMA [Internet]. 2014 [cited 2018 January 1]. Available form:
http://jamanetwork.com/journals/jamainternalmedicine/fullarticle/1901116

34
8. Kim J. Management and prevention of upper GI bleeding [Internet]. [cited 2018
January 1]. Available from: http://www.accp.com/docs/bookstore/psap/
p7b11sample01.pdf
9. Leontiadis GI, Sharma VK, Howden CW. Systematic review and meta-analysis of
proton pump inhibitor therapy in peptic ulcer bleeding. BMJ.
2005;330(7431):568. doi:10.1136/bmj.38356.641134.8F
10. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia dan Kelompok Studi Helicobacter
pylori Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori [Internet]. 2014 [cited 2018 January 6]. Available from:
http://pbgi.esy.es/wp-content/uploads/2015/09/Konsensus-Dispepsia-dan-
Helibacter-Pylori-2014.pdf
11. Shirazian S, Radhakrishnan J. Gastrointestinal disorders and renal failure:
Exploring the connection. Available from
www.medscape.org/viewarticle/724252. Diakses 10 Januari 2018.

35

You might also like