You are on page 1of 39

LAPORAN KASUS

Seorang Laki-laki 70 Tahun dengan PPOK

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RST Dr. Soedjono Magelang

Pembimbing :
dr. Tatag Primiawan, Sp.PD

Disusun oleh :
Ana Lutfia Ariani
30101306866

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RST TINGKAT II DR. SOEDJONO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017
2

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ana Lutfia Ariani


NIM : 30101306866
Fakultas : Kedokteran
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : dr. Tatag Primiawan, Sp.PD

Semarang, 13 Juni 2017


Pembimbing,

dr. Tatag Primiawan, Sp.PD


3

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
 Nama : Tn. S
 Umur : 70 tahun
 Jenis Kelamin : laki-laki
 Agama : Islam
 Pekerjaan :-
 Alamat : Wipopati Pakis
 No. RM : 153247
 Ruangan : Seruni
 Tanggal Masuk : 31 Mei 2017
 Tanggal keluar : 3 Juni 2017

II. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Anamnesis dilakukan pada hari Kamis tanggal 1 Juni 2017 pukul 07.00

WIB secara aloanamnesis di bangsal Seruni RST dr. Soedjono Magelang.

 Keluhan Utama : Sesak

 Kronologi

Pasien datang ke IGD RST dr. Soedjono Magelang tanggal 31

Mei 2017 dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 1 hari SMRS.

Pasien merasakan sesak bertambah berat ketika beraktivitas berat.

Keluhan pasien disertai dengan batuk berdahak warna putih kental yang

dirasakan terus menerus. Keluhan diperingan jika pasien istirahat. Pasien

mengaku bahwa dahulu pasien seorang perokok berat dan dapat

menghabiskan rokok 1 bungkus dalam sehari dan baru sekitar 9 bulan


4

terakhir ini pasien berhenti merokok. Pasien juga mengeluhkan nyeri

perut di uluhati. Mual (+), BAB (-) sejak 2 hari SMRS, namun BAK (+)

dalam batas normal. Pasien belum meminum obat apapun sebelumnya.

1 hari SMRS pasien mulai mengeluhkan sesak napas. Sesak napas

dirasakan terus menerus. Keluhan tidak disertai dengan demam maupun

keringat dingin. Sesak napas dirasakan bertambah berat ketika

beraktivitas berat. Keluhan diperingan jika pasien istirahat. Pasien juga

mengeluhkan batuk terus menerus, dan terkadang keluar dahak warna

putih kental. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri perut dan mual.

Pasien juga mengeluhkan terkadang bunyi nafasnya ngik ngik. Pasien

mengaku mempunyai riwayat penyakit Asma.

Perawatan hari-1 di RS pasien masih mengeluhkan sesak napas,

tetapi pasien merasakan sesak sudah mulai berkurang jika dibandingkan

semalam. Keluhan pasien diperingan jika pasien tidur atau istirahat,

Kadang-kadang pasien masih merasakan batuk berdahak. Mual (+),

muntah (-), BAB (+), BAK(+)

Perawatan hari-2 di RS keluhan pasien sudah berkurang. Pasien

sudah tidak merasakan sesak napas. Batuk berdahak yang dirasakan

pasien sudah berkurang. Mual (-), muntah (-), BAB (+) 1 kali konsistensi

lembek darah (-) lendir (-), BAK(+).

Perawatan hari ke-3 keluhan pasien sudah membaik dan pasien

dipulangkan.
5

Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat asma : (+)
• Riwayat Jantung : (-)
• Riwayat diabetes mellitus : (-)
• Riwayat Hepatitis : (-)
• Riwayat Gastritis : (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama disangkal
• Riwayat Asma : (-)
• Riwayat Jantung : (-)
• Riwayat diabetes mellitus : (-)
• Riwayat Hipertensi : (-)
• Riwayat Gastritis : (-)

III. Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum : Lemas (+)
b. Kesadaran : Composmentis
c. Status Gizi : BMI= BB(kg)/TB²(m) = 50/1,53²= 21,36
d. Tanda- tanda vital
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 80x/menit, irama regular, isi cukup,
- Frekuensi nafas : 20 x/menit
- Suhu : 35,4°C

B. Pemeriksaan Khusus
a. Kepala : normocephal
b. Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
c. Hidung : Simetris, sekret (-), nafas cuping hidung (-)
d. Telinga : Bentuk normal, discharge (-/-)
e. Tenggorok : Hiperemis (-), nyeri telan (-)
6

f. Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), pucat


g. Leher
- Trakhea deviasi (-)
- JPV (N)
- Pembesaran KGB (-)
h. Thorak
PULMO

INSPEKSI ANTERIOR POSTERIOR


Statis RR:20x/min, RR:20x/min,
hiperpigmentasi (-), tumor hiperpigmentasi (-), tumor
(-), inflamasi(-), (-), inflamasi(-),
hemithorax D=S, diameter hemithorax D=S, diameter
AP> LL AP> LL
Dinamis Pergerakan hemithorax Pergerakan hemithorax
kanan= kiri, retraksi otot kanan= kiri
pernapasan (+)
PALPASI nyeri tekan (-), tumor (-), nyeri tekan(-), tumor (-),
pelebaran ICS (+), stem stem fremitus melemah
fremitus melemah
PERKUSI Hipersonor Hipersonor
AUSKULTASI SD : vesikuler (+), ST: SD : vesikuler (+), ST:
RBK (+), ekspirasi RBK(+),ekspirasi
memanjang, wheezing (+) memanjang, wheezing (+)
7

COR :

INSPEKSI
Iktus cordis terlihat
PALPASI
Iktus cordis teraba di ICS VI linea midclavicula sinistra
Kuat angkat (+), pulsus parasternal (-), sternal lift (-), pulsus
epigastrium(-)
PERKUSI
Redup (+)
Batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra
Pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra
Kanan jantung ICS V linea sternalis dextra
Kiri bawah ICS VI linea midclavicula sinistra
AUSKULTASI
Katup aorta SD I-II murni, reguler A1<A2
Katup trikuspidal SD I-II murni, reguler T1>T2
Katup pulmonal SD I-II murni, reguler P1<P2
Katup mitral SD I-II murni, reguler M1>M2
Bising -
HR : 80 x/menit

KESAN : dalam batas

normal
8

i. Abdomen

INSPEKSI

Tampak satar, sikatrik(-), striae(-), caput medusa (-), hiperpigmentasi(-),


spider nevi (-)
AUSKULTASI

Bising usus (+) Normal 18 x/menit

PERKUSI

Timpani, pekak sisi-pekak alih (-) Hepar : pekak (+), liver span
dextra 9 cm, sinistra 6cm,
Lien : troube space perkusi
(+) timpani
PALPASI

Superfisial : Dalam:
Supel, nyeri tekan abdomen (+) regio Nyeri tekan (-), Hepar :
iliaca dextra, massa (-), defense permukaan rata, tepi rata,
muscular (-) Lien: tidak teraba.

KESAN : dalam batas normal

j. Ekstremitas :
 Superior : Akral dingin -/-, Oedema -/-, capillary refill <2
detik
 Inferior : Akral dingin -/-, Oedema -/-, capillary refill <2
detik
9

IV. Pemeriksaan Penunjang


EKG

Interpretasi :
 Irama : Sinus
 Rate : Reguler (75 x/menit)
 Axis : Normo Axis
 Kompleks QRS : 0.08 dt
 Gelombang P : 0.08 dt
 Interval PR : 0.16 dt
 Segmen ST : Isoelektrik
 Gelombang T : 0.6 mV
 Kesimpulan : EKG Normal
10

Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Rutin
31 Mei 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
WBC 13,2 x 109 3.5 – 10.0
LYM 0,7 x 109 0.5 – 5.0
LYM % 5.6 % 15.0 – 50.0
MID 0,4 x 109 0.1 – 1.5
MID % 2,5 % 2.0 – 15.0
GRA 12,1 x 109 1.2 – 8.0
GRA % 91,9 % 35.0 – 80.0
HGB 11,5 g/dl 11.5 – 16.5
MCH 27,4 pg 25.0 – 35.0
MCHC 35,8 mg/dl 31.0 – 38.0
RBC 4,19 x109 3.50 – 5.50
MCV 76,4 fl 75.0 – 100.0
HCT 32,0 % 35.0 – 55.0
RDW 13,0 % 11.0 – 16.0
PLT 225 x 109 100 – 400
MPV 8,0 fl 8.0 – 11.0
PDW 11,6 fl 0.1 – 99.9
PCT 0,18 % 0.01 – 9.99
L-PCR 16,3 % 0.1 – 99.9

 Pemeriksaan Kimia Darah


1 Juni 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Glukosa 81 mg/dl 70.00 -115.00
Urea 32 mg/dl 17.00 – 43.00
Kreatinin 1.0 mg/dl 0.900 – 1.300
11

Foto Thorax

Kesan :
- Bronchitis
- Besar Cor Normal
- Aortosclerosis
- Hump Hemidiafragma dextra
- Trachea dan Mediastinum di tengah
- Scoliotic Thoracalis
12

V. DAFTAR MASALAH
- Sesak napas
- Batuk
- Perokok
- Riwayat asma
- Pelebaran sela iga PPOK
- Fremitus vokal melemah
- RBK (+)
- Wheezing (+)
- Mual
- Muntah
- Nyeri tekan epigastrium
- BAB (-)

VI. PEMBAHASAN
 Assesment :
1. PPOK
 IP Dx :
- Spirometri
- Foto thorak PA
- Pemeriksaan darah rutin
- EKG
- SGOT SGPT
 IP Tx

 Infus RL 20 tpm
 Oksigen bila sesak
 Bronkodilator kerja cepat ( nebulier : agonis b2 kerja cepat ,
(salbutamol) + antikolinergik (iptatropium bromida)
 Lansoprazol (untuk lambung)
 Sucralfat syr
 Kortikosteroid systemik (prednison)
 Ekspektoran (GG 100 mg)untuk mengeluarkan dahak
 Ciprofloxacin
13

 Edukasi
- Memberikan penjelasan kepada pasien tentang penyakit yang diderita
- Tirah baring
- Edukasi pada pasien untuk berhenti merokok
- Hindari menghirup pollutan dan iritan (memakai masker)

 IP Mx
Vital Sign (Tekanan Darah), Foto Thorax
14

Follow up pasien

Ruang/ Tanggal Perkembangan


IGD S: Sesak dan batuk berdahak
31 Mei 2017 Kesadaran : Composmentis
Pkl. 01.00 E:4
M:6
V:5
TD : 130/90 mmHg
N: 89 x/mnt
S : 37 0C
RR : 28 x/menit
Saturasi O2 : 90%
Mata : Ca -/- , Si -/-
Leher : tidak teraba membesar
Pulmo : SD Ves+, Rbk +, Wh +
Cor: teraba SIC V LMCS, S1>S2, regular, murmur(-),
gallop (-), Pul. Parasternal (-), Pul. Epigastrik (-).
Abd: datar, BU (+), nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas atas : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin (-)
Ekstremitas bawah : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin
(-)

Bangsal Seruni S: Sesak, batuk berdahak, mual, BAB (-)


1 juni 2017 Kesadaran : Composmentis
pkl. 07. 00 E:4
M:6
V:5
TD : 140/90 mmHg
N: 76 x/mnt
S : 36,5 0C
RR : 22 x/menit
Saturasi O2 : 95%
Mata : Ca -/- , Si -/-
Leher : tidak teraba membesar
Pulmo : SD Ves+, Rbk +, Wh +
Cor: teraba SIC V LMCS, S1>S2, regular, murmur(-),
gallop (-), Pul. Parasternal (-), Pul. Epigastrik (-).
Abd: datar, BU (+), nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas atas : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin (-)
Ekstremitas bawah : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin
(-)
15

Bangsal Seruni S: sesak berkurang, batuk berkurang, mual (-), muntah (-),
2 juni 2017 BAB (+)
pkl. 07. 00 Kesadaran : Composmentis
E:4
M:6
V:5
TD : 120/70 mmHg
N: 80 x/mnt
S : 36,5 0C
RR : 22 x/menit
Saturasi O2 : 95%
Mata : Ca -/- , Si -/-
Leher : tidak teraba membesar
Pulmo : SD Ves+, Rbk +, Wh +
Cor: teraba SIC V LMCS, S1>S2, regular, murmur(-),
gallop (-), Pul. Parasternal (-), Pul. Epigastrik (-).
Abd: datar, BU (+), nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas atas : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin (-)
Ekstremitas bawah : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin
(-)
Bangsal Seruni S: sesak (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), BAB (+)
3 juni 2017 Kesadaran : Composmentis
pkl. 07. 00 E:4
M:6
V:5
TD : 120/70 mmHg
N: 85 x/mnt
S : 36,5 0C
RR : 22 x/menit
Saturasi O2 : 95%
Mata : Ca -/- , Si -/-
Leher : tidak teraba membesar
Pulmo : SD Ves+, Rbk +, Wh +
Cor: teraba SIC V LMCS, S1>S2, regular, murmur(-),
gallop (-), Pul. Parasternal (-), Pul. Epigastrik (-).
Abd: datar, BU (+), nyeri tekan epigastrium (-)
Ekstremitas atas : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin (-)
Ekstremitas bawah : edema (-), CR < 2 detik, akral dingin
(-)
16

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. PPOK
2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya.

2.2 Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan
metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang
dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO,
sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin
(Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi
PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi BOLD, penelitian serupa yang
dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%,
prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada
perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013
(RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada
laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).

2.3 Faktor Resiko


Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau
yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok
tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku
merokok, dan faktor lingkungan.
17

Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan


pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan
paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa
anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru
diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal
paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per
tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak
semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan
juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil
juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati
penurunan FEV1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang
bukan perokok. Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan
hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang
dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka
risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose
response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah
konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok
(tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang
merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis
kronik minimal setelah 10 tahun merokok.
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti
asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar
ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan
bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti
bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang
terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK.
Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi
18

lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor


polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan
untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK,
kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada
tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan
sosioekonomi.

2.4 Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas.
Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan
parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV vital paksa
(FEV), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas/FVC).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
19

sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.


Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat
dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena
ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif
setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif,
maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps ,
sehingga dapat terjadi sesak nafas.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas,
edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.
20

Konsep patogenesis PPOK

Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK

2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan
kelainan jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan
dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan
yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau
intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.

2. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum.
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus
menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan dahak
kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
21

3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat
progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak
napas sesuai skala sesak.

Tabel Skala Sesak

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat


1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian

4. Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang
disebabkan oleh penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi
dinding saluran pernafasan. Suara tersebut dihasilkan oleh
vibrasi dinding saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya.
Karena secara umum saluran pernafasan lebih sempit pada saat
ekspirasi, maka mengi dapat terdengar lebih jelas pada saat fase
ekspirasi. Pada pasien PPOK juga terdapat mengi pada fase
ekspirasi. Mengi polifonik merupakan jenis mengi yang paling
banyak terdapat pada pasien PPOK. Terdapat suara jamak
22

simultan dengan berbagai nada yang terjadi pada fase ekspirasi


dan menunjukan penyakit saluran pernafasan yang difus.
5. Ronkhi
Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-
letup yang terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi.
Ronkhi mencerminkan adanya letupan mendadak jalan nafas
kecil yang sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan
oleh penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan
mucus pada saluran nafas. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi
ronhki meskipun bukan gejala khas dari PPOK.
6. Penurunan aktivitas
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas
fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan
fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh
fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK
ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia,
hiperkapnia, inflamasi dan malnutrisi kronis.

Menurut Klasifikasi GOLD tahun 2010 menyebutkan


kriteria PPOK berdasarkan klinisnya adalah sebagai berikut :

Tabel 3. Derajat klinis PPOK

Derajat Klinis
PPOK - Dengan atau tanpa batuk
Ringan - Dengan atau tanpa produksi
sputum
- Sesak napas derajat sesak 1
sampai derajat sesak 2
PPOK - Dengan atau tanpa batuk
23

Sedang - Dengan atau tanpa produksi


sputum
- Sesak napas derajat 3
PPOK - Sesak napas derajat sesak 4 dan
Berat 5
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
PPOK - Sesak napas derajat sesak 4 dan
Sangat 5 dengan gagal napas kronik
Berat - Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung
kanan

Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu


ditanyakan riwayat pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah
ada faktor resiko yang terlibat. Merokok merupakan faktor resiko
utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada penyakit ini
berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki
resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok.
Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.
Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam
peningkatan kasus PPOK. Faktor resiko lain dapat antara lain
paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan
lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa
kanak-kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi a1-
antitripsin.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-
kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan
faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas
terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua.
24

- Riwayat penyakit
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan
sebagai PPOK, maka riwayat penyakit yang perlu diperhatikan
diantaranya:
a. Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan
lingkungan ataupun pekerjaan.
b. Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial,
alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa
anak-anak, dan penyakit respirasi lainnya.
c. Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
d. Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk
penyakit respirasi.
e. Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis,
penyakit musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin
memberikan kontribusi pembatasan aktivitas.
f. Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk
pembatasan aktivitas, pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang
salah.
g. Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
h. Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama
menghentikan merokok

b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa
bentuk dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas
purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan
dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan
edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya
hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus
25

melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi


memanjang, ronki, dan mengi.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut
 Inspeksi
- Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong )
- Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang
meniup )
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu
nafas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater

 Palpasi
- Fremitus melemah
- Sela iga melebar

 Perkusi
- Hipersonor

 Auskultasi
- Fremitus melemah
- Suara nafas vesikuler melemah atau normal
- Ekspirasi memanjang
- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
- Ronki
26

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing.

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer.

Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO yang
terjadi pada gagal
napas kronik.

B. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
- Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV dan
FVC dengan spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi
menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Pengukuran spirometri harus
memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari
titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced
Expiratory Volume in one second (FEV)), dan rasio kedua
pengukuran tersebut (FEV1/FVC). Pada tabel 1 diperlihatkan
klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada
pasien PPOK.
27

Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,7


GOLD 1 Ringan FEV1 = 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% = FEV1< 80%
prediksi
GOLD 3 Berat 30% = FEV1< 50%
prediksi
GOLD 4 Sangat berat FEV1< 30% prediksi

- Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP< 200 ml. Uji
bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

- Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

- Radiologi (foto toraks)


Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan
paru berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar,
corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan
ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis
banding dari keluhan pasien.
- Analisa gas darah
Harus dilakukan bila ada kecurigaan gagal nafas. Pada
hipoksemia kronis kadar hemiglobin dapat meningkat.
28

2.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Berhenti Merokok
b. Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan
toleransi aktivitas.
c. Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik,
tergantung beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan
respon pasien.
d. Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
e. Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas
fisik dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari

Terapi Farmakologi
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk
meningkatkan FEV atau mengubah variable spirometri dengan cara
mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.
- ß-Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari ß-agonis adalah relaksasi otot polos jalan
napas dengan menstimulasi reseptor ß-adrenergik dengan
meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional
terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting ß-
agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan ß-agonis
secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B).
Penggunaan dosis tinggi short acting ß-agonist pro renata pada
pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak
didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting ß-agonist
inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan
salmeterol memperbaiki FEV dan volume paru, sesak napas, health
29

related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan


(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan
mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan
perawatan di rumah sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan
Long acting ß-agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja
secara signifikan memperbaiki FEV sesak dan kualitas hidup
pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor ß-
adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan
mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat golongan
ini.

- Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek
bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama
dibanding short acting ß-agonist. Tiopropium memiliki waktu
kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi
eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status
kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat
penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat
membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan
penggunaan obat tersebut.

b. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat
ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun
obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
30

c. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV<60% prediksi.
d. Phosphodiesterase-4 inhibitor
mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi
dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi,
penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual,
menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan
sakit kepala.

Terapi Farmakologis Lain


a. Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
b. Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini
sangat mahal, dan tidak tersedia di hamper semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
c. Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
d. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan:
Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-
acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
e. Immunoregulators (imunostimulators, imunomodulator)
f. Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
g. Vasodilator
h. Narkotik (morfin)
i. Lain-lain :Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan
hemopati) juga tidak ada yang efektif bagi pengobatan PPOK
31

Terapi Lain
a. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang
pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan
mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang
gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang
adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai
pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2
dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang
sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia.
b. Ventilatory Support
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK
eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta
memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi
intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan
negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif
dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan
NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa
Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang
secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka
keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV
memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi
pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap.

c. Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS),


Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR), Lung
Transplantation, Bullectomy
32

Algoritma penanganan PPOK


33
34

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas
kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan
kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas
darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat
normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi
sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini
imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada
EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan.

2.8 Pemantauan dan Follow Up


Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien
termasuk PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan
dengan pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari
keterbatasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan kapan
dilakukan modifikasi terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi
yang bisa timbul.

Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi


a. Spirometri
Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri, dilakukan
sekurang-kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti CAT
bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.
35

b. Gejala
Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat
kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq,
keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.
c. Merokok
Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan paparan
terhadap rokok.

Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain


Agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya
penyakit, setiap follow up harus termasuk diskusi mengenai regimen
terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap regimen, teknik
penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam
mengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam
pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari
polifarmasi yang tidak diperlukan.

Pemantauan Riwayat Eksaserbasi


Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya eksaserbasi.
Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak napas dan adanya
sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik terhadap kunjungan
yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas kesehatan dan
penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya
eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat
bronkhodilator atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi
antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus terdokumentasi, termasuk
fasilitas, lamanya perawatan, dan penggunaan ventilasi mekanik.

Pemantauan Komorbid
36

Komorbid biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK,


memperbesar ketidakmampuan yang berhubungan dengan PPOK dan
potensial menimbulkan penatalaksanaan menjadi lebih kompleks.
37

BAB III
KESIMPULAN

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel
parsial. Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas.
Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Pasien biasanya mendefinisikan
sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas,
gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya
batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya
merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk kronis pada
PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak. Faktor risiko PPOK berupa
merokok, genetik, paparan terhadap partikel berbahaya, usia, asma/
hiperreaktivitas bronkus, status sosio ekonomi, dan infeksi. Pada awal
perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan saat dilakukan
pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi mengi dan
ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi seperti
barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori
pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien dengan PPOK
sedang sampai berat. Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif
untuk diagnosis PPOK. Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah
untuk mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk
membantu menentukan diagnosis PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan
dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Prinsip penatalaksanaan
PPOK diantaranya adalah Berhenti Merokok, terapi farmakologis dapat
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan
memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivitas. Regimen terapi
farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung beratnya gejala, risiko
eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien. Vaksinasi Influenza dan
Pneumococcal Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
38

rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan
emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.
39

DAFTAR PUSTAKA

1. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global


strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir Crit
Care Med. 2014;187(4):347 - 65.
2. Menezes AMB, Perez-Padilla R, Jardim JB, Muiño A, Lopez MV, Valdivia
G, et al. Chronic obstructive pulmonary disease in five Latin American cities
(the PLATINO study): a prevalence study. The Lancet.
2005;366(9500):1875-81.
3. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, et al. International
variation in the prevalence of PPOK (The BOLD Study): a population-based
prevalence study. The Lancet. 2007;370(9589):741-50
4. Indonesia KKR. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
5. PDPI. Klasifikasi. Dalam : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Juli 2011

You might also like