You are on page 1of 42

PROPOSAL PENELITIAN

KAJIAN KONDISI DROPING PADA ENKAPSULASI ZAT BESI


MENGGUNAKAN MATRIK DEASETILASI GLUKOMANAN

Oleh :
Aulia Chusnulita NIM. 21030114120090
Dwi Purwati NIM. 21030114120089

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN
PROPOSAL PENELITIAN

Nama/NIM : Aulia Chusnulita / 21030114120090


Nama/NIM : Dwi Purwati / 21030114120089
Judul : KAJIAN KONDISI DROPING PADA ENKAPSULASI ZAT
BESI MENGGUNAKAN MATRIK DEASETILASI
GLUKOMANAN

Semarang, Agustus 2017


Telah menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dyah Hesti Wardhani, S.T., M.T., P.hD


NIP. 197605282000122001

ii
RINGKASAN

Besi merupakan elemen penting di dalam makanan hewan dan manusia.Besi


secara alami hadir dalam struktur sitokrom, enzim, hemoglobin dan
mioglobin. Besi juga melimpah ketersediaannya di alam. Kekurangan besi
sebagai elemen penting ini adalah defisiensi yang menyebabkan anemia
besi. Inhibitor yang dapat menyebabkan degradasi besi antara lain tannin,
kalsium, dan peptida dari protein yang sebagian tercerna. Sehingga
permasalahan asupan zat besi untuk anemia zat besi dapat diatasi dengan
cara enkapsulasi. Dengan metode ini, zat besi dibatasi oleh matrik
enkapsulan sehingga kontak dengan komponen lain akan terbatas.
Akibatnya, zat besi terlindungi dari oksidasi yang dapat mengakibatkan
perubahan sensorial yang tidak diinginkan. Bahan matrik dalam enkapsulasi
merupakan komponen yang penting. Salah satu bahan lokal yang berpotensi
sebagai material enkapsulan zat besi adalah glukomanan. Glukomanan
memiliki kemampuan pembentukan film yang sangat baik dan film yang
terbentuk bersifat stabil pada air dingin maupun panas serta pada larutan
asam. Kemampuan glukomannan yang dapat menyerap air dengan indeks
penyerapan relatif tinggi yaitu 100 gram air/ gram glukomannan menjadi
permasalahan. Sehingga kemampuan glukomanan dalam menyerap air perlu
dikontrol atau dikurangi dengan menggunakan modifikasi kimia, misalnya
dengan deasetilasi. Modifikasi glukomannan dengan deasetilasi dirasa
paling tepat karena diharapkan dapat mengurangi kelarutan glukomannan
dalam air. Keberhasilan enkapsulasi bisa dianalisis dari kinerja
enkapsulasinya Akan tetapi kajian yang memfokuskan pada yield dan
kinerja khususnya dengan matrik glukomanan belum dipelajari, sehingga
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut perlu dilakukan. Maka secara
spesifik tujuan penelitian ini adalah (i) Mempelajari pengaruh variabel ratio
glukomanan dengan massa zat besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi
etanol dalam proses enkapsulasi zat besi terhadap sifat psikokimianya. (ii)
Mempelajari pengaruh variabel ratio glukomanan dengan massa zat
besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi etanol dalam proses enkapsulasi zat
besi terhadap effisiensi dan yield enkapsulasi yang dihasilkan.. (iii)
Mempelajari pengaruh variabel ratio glukomanan dengan massa zat
besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi etanol dalam proses enkapsulasi zat
besi terhadap degradasi zat besi terenkapsulasi oleh inhibitor dan oksidasi
zat besi. Penerapan berbagai variabel antara lain waktu enkapsulasi,
konsentrasi etanol dan ratio glukomanan dengan Ferrous sulfat. Proses
diawali dengan tepung porang yang akan di deasetilasi sampai dengan
proses enkapsulasi. Hasil enkapsulasi di endapkan sampai terbentuk dua
lapisan lalu meneteskan hasil enkapsulasi kedalam 100 mL etanol dengan
konsentrasi sesuai variabel dibuat dalam keadaan suhu rendah (4oC). Akan
terbentuk bead hasil loading setelah ditunggu dengan waktu sesuai variabel.
Kemudian di analisa derajad deasetilasi, nilai viskositas glukomanan
terdeasetilasi, nilai kadar solubility, kadar zat besi, yield enkapsulasi, dan
analisis kinerja enkapsulasi.

iii
SUMMARY

Iron is an important element in animal and human foods. Iron is naturally present in
cytochrome, enzyme, hemoglobin and myoglobin structures. Iron is also abundant
in nature. Iron deficiency as an important element of this is a deficiency that causes
iron anemia. Inhibitors that can cause iron degradation include tannins, calcium,
and peptides of partially digested proteins. So the problem of iron intake for iron
anemia can be overcome by means of encapsulation. With this method, iron is
limited by the encapsulation matrix so that contact with other components will be
limited. As a result, iron is protected from oxidation that can lead to undesirable
sensory changes. Matrix material in encapsulation is an important component. One
of the potential local materials as an encapsulated material of iron is glucomannan.
Glucomannan has excellent film-forming capabilities and the formed film is stable
in both cold and hot water and in acidic solutions. The ability of glucomannan that
can absorb water with a relatively high absorption index of 100 grams of water /
gram glucomannan into the problem. So the ability of glucomannin to absorb water
needs to be controlled or reduced by using chemical modification, for example by
deacetylation. Modification of glucomannan with deacetylation is considered most
appropriate because it is expected to reduce the solubility of glucomannan in water.
The success of encapsulation can be analyzed from the performance of the
encapsulation. However, studies that focus on yield and performance especially
with the glucomannan matrix have not been studied, so further research is needed
So specifically the purpose of this study is (i) studied the effect of glucomannan
variable ratio with iron mass, time of encapsulation and ethanol concentration in
iron encapsulation process to its psychokimian nature. (Ii) studying the effect of
glucomannan variable ratio with iron mass, time of encapsulation and ethanol
concentration in iron encapsulation process to effisiensi and yield of encapsulation
yielded .. (iii) studying effect of glucomannan variable ratio with iron mass, time of
encapsulation and concentration of ethanol In the process of iron encapsulation of
iron degradation encapsulated by iron inhibitors and oxidation. Application of
various variables include time of encapsulation, ethanol concentration and
glucomannan ratio with Ferrous sulfate. The process begins with porang flour
which will be deacetylated to the encapsulation process. The encapsulation results
are deposited until two layers are formed and then drips the encapsulation results
into 100 mL of ethanol with the corresponding concentration of the variable
prepared under low temperature (4 ° C). Will be bead result of loading after waiting
with time according to variable. Then in the deacetylated level analysis, the value
of the de-isethylated glucomannine viscosity, the solubility value, the iron content,
the encapsulation yield, and the analysis of the encapsulation performance.

iv
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga dapat terselesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Kajian Kondisi
Droping Pada Enkapsulasi Zat Besi Menggunakan Matrik Deasetilasi Glukomanan”
Proposal penelitian merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diambil oleh
semua mahasiswa sebagai syarat memenuhi tugas akhir. Dalam penyusunan laporan
penelitian ini diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan penelitian ilmiah sesuai
dengan laporan yang telah dibuat dan telah disetujui. Pada kesempatan ini
diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada.

1. Bapak Dr. Siswo Sumardiono, S.T., M.T., selaku Ketua Departemen Teknik
Kimia Universitas Diponegoro.
2. Ibu Dyah Hesti ,S.T., M.T., Ph.D selaku dosen pembimbing penelitian ini
hingga selesai.
3. Segenap dosen di Departemen Teknik Kimia UNDIP atas sumbangsih ilmu
pengetahuan yang telah diberikan dan atas segenap waktu dan tenaga yang
telah dicurahkan selama ini.
4. Kedua orang tua atas doa dan dukungan yang telah diberikan.
5. Teman-teman dan pihak-pihak yang telah banyak membantu atas
terselesaikannya laporan penelitian ini.
Disadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan laporan penelitian ini. Untuk
itu, diharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam laporan
ini. Namun demikian, diharapkan semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat
bagi pembaca secara umum. Terima kasih.

Semarang, Agustus 2017

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


RINGKASAN ........................................................ Error! Bookmark not defined.
SUMMARY ........................................................... Error! Bookmark not defined.
PRAKATA ............................................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang ......................................... Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah .................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 5
2.1 Zat Besi ..................................................................................................... 5
2.2 Enkapsulasi ............................................................................................. 11
2.3 Enkapsulasi Zat Besi ............................................................................... 13
2.4 Glukomanan ............................................................................................ 14
2.5 Deasetilasi Glukomanan ......................................................................... 16
2.6 Solubility Glukomanan ........................................................................... 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 21
3.1 Waktu, Tempat dan Tahap Penelitian ..................................................... 21
3.2 Bahan dan Alat Yang Digunakan ........................................................... 22
3.3 Gambar Rangkaian Alat .......................................................................... 22
3.4 Variabel Percobaan ................................................................................. 23
3.5 Prosedur Percobaan ................................................................................. 24
3.6 Analisis Hasil .......................................................................................... 25
BAB IV JADWAL PENELITIAN......................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30
LEMBAR KONSULTASI ................................ A-Error! Bookmark not defined.

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kandungan Zat Besi Pada Beberapa Sumber Makanan........................ 7


Tabel 2.2. Faktor-Faktor Yang Memppengaruhi Penyerapan Zat Besi di Dalam
Tubuh .................................................................................................... 8
Tabel 2.3. Jumlah Zat Besi Yang Terserap dari 97,5% Individu, menurut
Kelomok Umur dan Jenis Kelamin………………………………….10
Tabel 4.1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian……………………………………..28

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Proses Metabolisme Zat Besi dalam Tubuh ...................................... 9


Gambar 2.2 Tipe-tipe Enkapsulasi ......................................................................... 12
Gambar 2.3 Struktur Molekul Glukomanan .......................................................... 14
Gambar 2.4 Reaksi Deasetilasi dengan Menggunakan NaOH.............................. ..17
Gambar 3.1 Tahapan Penelitian ............................................................................ ..20
Gambar 3.2 Rangkaian Alat Deasetilasi ............................................................... ..22

viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Besi merupakan elemen penting di dalam makanan hewan dan


manusia.Besi secara alami hadir dalam struktur sitokrom, enzim, hemoglobin dan
mioglobin (Gaucheron, 2000). Besi juga melimpah ketersediaannya di alam.
Kekurangan besi sebagai elemen penting ini adalah defisiensi yang menyebabkan
anemia besi.Anemia zat besi merupakan defisiensi mikronutrien zat besi yang
paling banyak di temukan di dunia dan berdampak pada lebih dari 2 milyar orang
(Stoltsfus and Dreyfuss, 2004 ). Zat besi rentan rusak jika bereaksi dengan bahan
makanan yang mengandung asam fitat seperti yang terkandung di dalam kedelai
dan tanaman polong-polongan (Zimmermann and Windhab, 2004).Inhibitor yang
dapat menyebabkan degradasi besi antara lain tannin, kalsium, dan peptida dari
protein yang sebagian tercerna (Ashok dan Upadhayaya, 2012). Jadi tidak
memungkinkan apabila zat besi ditambahkan secara langsung ke dalam bahan
makanan karena adanya inhibitor yang akan menyebabkan degradasi besi ataupun
penurunan bioavailabilitas zat besi (Ashok dan Upadhayaya, 2012). Sehingga
permasalahan asupan zat besi untuk anemia zat besi dapat diatasi dengan cara
enkapsulasi (Zuidam, 2012). Dengan metode ini, zat besi dibatasi oleh matrik
enkapsulan sehingga kontak dengan komponen lain akan terbatas. Akibatnya, zat
besi terlindungi dari oksidasi yang dapat mengakibatkan perubahan sensorial yang
tidak diinginkan (Li and Nie, 2015).

Bahan matrik dalam enkapsulasi merupakan komponen yang penting. Salah


satu bahan lokal yang berpotensi sebagai material enkapsulan zat besi adalah
glukomanan. Glukomanan memiliki kemampuan pembentukan film yang sangat
baik dan film yang terbentuk bersifat stabil pada air dingin maupun panas serta
pada larutan asam (Prasetya, 2013).Penggunaan polisakarida (glukomanan)
sebagai material enkapsulan dapat meningkatkan biovailabilitas zat aktif karena
dapat meningkatkan kelarutan komponen hidrofobik yang terenkapsulasi dalam
partikel, melindungi zat aktif dari kondisi saluran pencernaan dan meningkatkan
waktu tinggal dalam saluran makanan (Fathi et al.,2014). Glukomannan juga

1
berpotensi sebagai bahan material enkapsulasi enzim, sel, unsur biologi, vitamin,
maupun campuran (Yang et al., 2009). Kemampuan glukomannan yang dapat
menyerap air dengan indeks penyerapan relatif tinggi yaitu 100 gram air/ gram
glukomannan menjadi permasalahan. Sehingga kemampuan glukomanan dalam
menyerap air perlu dikontrol atau dikurangi dengan menggunakan modifikasi
kimia, misalnya dengan asetilasi. Asetilasi melibatkan substitusi gugus asetil
terhadap atom hidrogen aktif. Asetilasi secara efektif akan mengurangi ikatan
hidrogen. Asetilasi glukomanan derajat substitusi rendah (0,05-0,23) dengan asam
asetat akan meningkatkan derajat substitusi. Derajat substitusi merupakan
banyaknya gugus asetil yang menggantikan atom hidrogen aktif pada
glukomanan. Dengan meningkatnya derajat substitusi, solubility akan meningkat
juga. Selain meningkatkan derajat substitusi, asetilasi akan mempengaruhi sifat
fungsional dari glukomanan (Liu et al., 2011).
Metode modifikasi glukomanan secara asetilasi dengan derajat substitusi
(degree of substitution = DS) yang rendah telah digunakan secara luas oleh
industri makanan selama bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh keunggulan
sifat fisikakimia yang dimiliki oleh glukomanan terasetilasi seperti suhu,
viskositas, daya kembang power, solubility, dan kelarutan, serta memiliki
stabilitas penyimpanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan glukomanan
yang asalnya (Raina, 2006). Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan dari
glukomanan terasetilasi lebih stabil dan tahan terhadap retrogradasi. Sifat fisika-
kimia pada glukomanan yang terasetilasi ini dipengaruhi oleh jumlah distribusi
gugus asetil yang menggantikan gugus hidroksil (OH-) pada glukoamanan.
Reagen yang biasa digunakan pada metode asetilasi adalah vinil asetat, asam
asetat, dan asetat anhidrat (Pawinee et al., 2008).

2
Penelitian yang dilakukan oleh jiang yun Liu et al., pada tahun 2012 yaitu
glukomanan digunakan sebagai eksipien untuk pengiriman obat terkontrol, gen
dan rekayasa jaringan. Dalam penelitian ini, metode asetilasi terkontrol
dikembangkan untuk memperbaiki kearutan dalam air dari bletillan 70 (BT)
terlebih dahulu, dengan mereaksikan dengan anhidrida asetat (AA) dalam N,
Ndimethylformamide pelarut. Parameter preparasi, seperti suhu reaksi, waktu
reaksi dan rasio molar BT / AA, dioptimalkan berdasarkan derajat gugus asetil.
IR dan 1H NMR Spektrum diaplikasikan untuk menjelaskan proses reaksi dan
pola substitusi, yang mengindikasikan bahwa asetilasi terjadi di C-6 dan C-2 dari
unit heksose dengan perbandingan 2: 1, dengan DS sampai 0,83. Analisis
viskositas menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan relative telah
memperbaiki kelarutan air. Metode baru ini Sederhana, ekonomis dan mudah
dikendalikan.

Keberhasilan enkapsulasi bisa dianalisis dari kinerja enkapsulasinya


(Ghupta et al., 2015). Diantaranya adalah degradasi terhadap inhibitor dan
oksidasi hasil enkapsulasi. Selain itu diharapkan proses enkapsulasi zat besi akan
mampu menghasilkan yield yang tinggi. Akan tetapi kajian yang memfokuskan
pada yield dan kinerja khususnya dengan matrik glukomanan belum dipelajari,
sehingga penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut perlu dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Ghupta et al., (2015) melakukan penelitian enkapsulasi besi menggunakan


material campuran gum arabicdan maltodekstrin untuk fortifikasi susu. Proses
enkapsulasi zat besi menggunakan alkohol sebagai medium dehidrasi. Penelitian
tersebut mengukur dan mengkaji stabilitas dan efesiensi enkapsulasi
makromolekulnya dengan menggunakan variabel konsentrasi alkohol, konsentrasi
matrik dan jumlah zat besi yang dienkapsulasi. Penggunaan alkohol absolute
dengan konsentrasi 98% yang didinginkan pada suhu yang rendah mampu
memberikan hasil efisiensi enkapsulasi yang maksimum yaitu 91,58%, untuk
konsentrasi alkohol 90% efisiensi enkapsulasinya 88% dan konsentrasi 80%
efisiensi enkapsulasinya adalah 76%. %. Pengurangan konsentrasi alkohol
mengurangi kapasitas retensi mikrokapsul sehingga akan mengganggu proses

3
enkapsulasi (Zilberboim et al.,1986).Variabel jumlah besi yang digunakan
berturut-turut adalah 300gr, 500gr, 800gr, dan 1000gr memberikan efisiensi
enkapsulasinya 91,6%; 89,7%; 87,7% dan 85,5%. Hasil ini menunjukkan variabel
jumlah besi yang dienkapsulasi memberikan pengaruh yaitu semakin sedikit
jumlah zat besi yang dimasukkan maka efisiensi enkapsulasi semakin meningkat.

Penelitian lain tentang enkapsulasi besi dilakukan oleh Bezbaruah et al.,


(2011) Dalam penelitian tersebut Nanoscale zero-valent iron(NZVI) dienkapsulasi
menggunakan matrik kalsium alginat untuk remidiasi lingkungan. Degradasi
inhibitor dan oksidasi dari Nanoscale zero-valent iron(NZVI) terenkapsulasi
dipelajari dalam penelitian tersebut. Trichloroethylene (TCE) digunakan sebagai
pendegradasi. Proses enkapsulasi selama 6 jam dengan suhu kamar (27-30 0C)
dengan larutan methanol 70%. Dengan kondisi operasi tersebut kinerja Nanoscale
zero-valent iron(NZVI) terenkapsulasi dalam degradasi Trichloroethylene (TCE)
adalah 89-91%. Oksidasi pada Nanoscale zero-valent iron(NZVI) terenkapsulasi
terhadap udara, cahaya dan lingkungan luar sebanding dengan kemampuan
degradasi Trichloroethylene (TCE). Metode analisis degradasi enkapsulasi zat
besi terhadap inhibitor menggunakan acuan analisis diatas, yaitu TCE sebagai
pendegradasi.
Aplikasi dari glukomanan sebagai pelepasan terkontrol obat (DCR)
eksipien telah diteliti oleh Alif et al., (2015) Untuk aplikasi ini, dibutuhkan
glucomannan pada kisaran derajat substitusi (DS) 0.8-0.9. Penelitian terdahulu
tentang glucomannan asetilasi diperlukan minimal reaksi 2h untuk mencapai DS
0.8-0.9. Sedangkan selulosa asetilasi menggunakan asam fosfat sebagai katalis
yang dicapai 2,8 DS hanya dalam 30 menit. Tujuan dari penelitian tersebut adalah
untuk mempelajari sifat fisikokimia asetil glucomannan untuk eksipien DCR
dengan menggunakan asam fosfat sebagai katalis. Hasilnya menunjukkan asam
asetat yang lebih tinggi konsentrasi, waktu reaksi yang lebih lama dan suhu yang
lebih tinggi menunjukkan dampak positif pada DS karena lebih banyak asetil
Kelompok asam menggantikan ikatan hidrogen glukomanan. DS yang lebih tinggi
ini memiliki dampak positif pada kelarutan, viskositas, dan daya pembengkakan
glucomannan yang dimodifikasi. Konsentrasi glucomannan yang lebih tinggi,
bagaimanapun, mengurangi DS dan menunjukkan efek negatif pada sifat

4
fisikokimia glucomannan yang dimodifikasi. Untuk eksipien DCR, Asetilasi
direkomendasikan untuk dilakukan dengan menggunakan 8.0 M asam asetat dan
1% glucomannan pada suhu 30oC selama 60 menit. yang menghasilkan DS
sebesar 0,899. Penentuan morfologi menunjukkan permukaan bentuk asetilisasi
lebih halus dari pada yang berasal dari glucomannan asli.
Berdasarkan ketiga penelitian di atas, belum terdapat kefokusan dalam
mempelajari yield dan kinerja enkapsulasi zat besi dengan menggunakan matrik
glukomanan dengan modifikasi asetilasi. Oleh karena itu perlu penelitian terhadap
masalah tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian


1. Mempelajari pengaruh variabel ratio glukomanan dengan massa zat
besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi etanol dalam proses enkapsulasi
zat besi terhadap sifat psikokimianya.
2. Mempelajari pengaruh variabel ratio glukomanan dengan massa zat
besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi etanol dalam proses enkapsulasi
zat besi terhadap effisiensi dan yield enkapsulasi yang dihasilkan.
3. Mempelajari pengaruh variabel ratio glukomanan dengan massa zat
besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi etanol dalam proses enkapsulasi
zat besi terhadapdegradasi zat besi terenkapsulasi oleh inhibitor dan
oksidasi zat besi.

1.3 Manfaat Penelitian


Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh ratio glukomanan dengan massa
zat besi,waktu enkapsulasi dan konsentrasi etanol dalam proses enkapsulasi zat
besi terhadap sifat psikokimia, yield dan efisiensi enkapsulasi, degradasi zat besi
terenkapsulasi oleh inhibitor dan oksidasi zat besi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Zat Besi
Besi adalah elemen yang ketersediannya sangat melimpah di alam dan
merupakan kompenen penting dan esensial bagi makhluk hidup. Besi secara alami
terdapat pada banyak makanan, ditambahkan sebagai zat aditif pada makanan, dan
tersedia juga sebagai suplemen makanan. Dalam tubuh manusia, besi merupakan
komponen penting dari hemoglobin, protein pada eritrosit yang mentransfer
oksigen dari paru-paru ke jaringan-jaringan tubuh (Wessling, 2014). Zat besi pada
makhluk hidup ditemukan terutama dalam bentuk kompleks terikat dengan
protein (hemoprotein) sebagai senyawa heme yaitu hemoglobin dan mioglobin,
enzim heme, atau senyawa non-heme (enzim flavin-iron, transferrin, dan ferritin).
Tubuh membutuhkan zat besi untuk sintesis protein pembawa oksigen, dan untuk
pembentukan enzim heme dan enzim lainnya yang terlibat dalam transfer elektron
dan reaksi oksidasi-reduksi dalam tubuh (Hurrell, 1997). Sebagai komponen dari
mioglobin, protein yang memberikan oksigen ke otot, besi mendukung
metabolisme (Aggett, 2012). Besi juga diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan, fungsi sel normal, dan sintesis beberapa hormon dan jaringan ikat
(Murray, 2010). Hampir dua pertiga dari besi dalam tubuh terkandung pada
hemoglobin yang ada didalam sirkulasi eritrosit, 25% yang terkandung di tempat
penyimpanan besi yang dapat bergerak (mobilizable iron store), dan 15% sisanya
terikat dengan mioglobin dalam jaringan otot dan dalam berbagai enzim yang
terlibat dalam metabolisme oksidatif dan banyak fungsi sel lainnya (Yates, 2001).

2.1.1. Metabolisme Zat Besi


Zat besi mengalami sirkulasi dan disimpan didalam hati dalam bentuk
ferritin sebagai suplai dan cadangan zat besi tubuh. Penyerapan zat besi terjadi di
duodenum (usus 12 jari) dan jejenum (usus kosong). Zat besi kemudian ditransfer
mukosa duodenum ke dalam darah (Nadadur, 2008) dimana zat besi akan disuplai

6
ke berbagai jaringan tubuh oleh transferrin, suatu zat pengangkut besi yang
terdapat di plasma darah. 75 % zat besi yang terserap akan disuplai ke sum-sum
tulang untuk pembentukan sel darah merah (eritropoiesis), 5-15 % untuk proses
lain didalam tubuh, dan 10-20 % akan disimpan didalam molekul ferritin. Setelah
diserap, zat besi dapat hilang melalui mekanisme fisiologis untuk ekskresi zat besi
dari tubuh yaitu kehilangan darah pada kehamilan, menstruasi, maupun keringat
(Hurrell, 2014). Fraksi besi yang diserap dari jumlah yang dikonsumsi biasanya
rendah berkisar dari 14 - 18%, tergantung pada keadaan dan jenis besi (Mcdowell,
2003).

Keadaan fisik besi saat memasuki duodenum sangat mempengaruhi


penyerapan. Pada pH fisiologis (kondisi basa pH 8-9), Fe+2 dengan cepat
teroksidasi menjadi Fe+3 (besi sukar larut). Asam lambung akan menurunkan pH
dalam duodenum proksimal sehingga mereduksi Fe+3 dalam lumen usus oleh
reduktase besi menjadi Fe+2, memungkinkan pengangkutan berikutnya melintasi
membran apikal enterosit. Kondisi asam akan meningkatkan kelarutan dan
penyerapan besi. Ketika produksi asam lambung terganggu, misalnya dengan
inhibitor seperti obat, penyerapan zat besi akan berkurang secara substansial
(Abbaspour, 2014).

2.1.2. Bioavalaibilitas Zat Besi


Suplai zat besi untuk tubuh terdiri dari 2 tipe: heme dan non heme. Sumber
utama zat besi heme adalah hemoglobin dan mioglobin dari konsumsi daging,
unggas, dan ikan, sedangkan besi non-heme diperoleh dari sereal, kacang-
kacangan, buah-buahan, dan sayuran (Tabel 2.1.). Besi heme sangat bioavailable
(15-35%) dan tidak terpengaruh oleh komponen makanan lain dalam penyerapan,
sedangkan penyerapan zat besi non-heme jauh lebih rendah(2-20%) dan sangat
dipengaruhi oleh adanya komponen makanan lainnya (Hurrell, 2010). Namun
jumlah zat besi non-heme dalam makanan adalah berlipat ganda lebih besar dari
heme di sebagian besar makanan. Jadi meskipun bioavailabilitas yang lebih
rendah, zat besi non-heme umumnya memberikan kontribusi lebih untuk gizi
dibandingkan sumber zat besi heme (Monsen, 1978).

7
Tabel 2.1. Kandungan zat besi pada beberapa sumber makanan
Jenis Makanan Jumlah Zat Besi (mg)

Daging kanguru 100 gr 4.4


Daging sapi 100 gr 3.1
Daging domba 100 gr 2.5
Daging ayam 100 gr 0.9
Daging tuna 100 gr 1.0
Telur 55 gr 1.1
Tofu 100 gr 5.2
Buncis 100 gr 6.2

(Nutrition Education Material Online, 2014).


Sejumlah bahan makanan mempengaruhi penyerapan zat besi (Tabel 2.2).
Asam askorbat dan asam sitrat meningkatkan penyerapan Fe2+ dengan bertindak
sebagai senyawa chelate untuk membantu melarutkan logam di usus 12 jari.
Asam askorbat membantu menyerap besi dengan cara mereduksi ion feri
menjadi ion fero dan menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan
yang tidak larut. Sebaliknya penyerapan Fe akan menurun apabila terdapat
fosfat atau antasida misalnya kalsium karbonat dan alumunium hidroksida (
Prihartini, 2014). Asam askorbat akan mengatasi efek negatif pada penyerapan
zat besi dari semua inhibitor dan akan meningkatkan penyerapan zat besi baik
asli maupaun fortifikasi (Ballot, 1987). Asam askorbat adalah satu-satunya
penyokong penyerapan zat besi pada makanan vegetarian. Penyerapan zat besi
dari makanan vegetarian dapat dioptimalkan dengan dimasukkannya asam
askorbat ke dalam sayuran. Proses pemasakan, industri pengolahan, dan
penyimpanan dapat mendegradasi asam askorbat dan menghapus efeknya dalam
meningkatkan penyerapan zat besi (Teucher, 2004).

8
Tabel 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi didalam
tubuh

Keterangan Jenis Senyawa


Asam askorbat, asam sitrat, beberapa
Penyokong (Enhancers)
asam amino, daging, ikan, unggas.
Fitat, polifenol, kalsium, telur, albumin,
Inhibitor
dan susu
Competitor Kobalt, timbal, seng, mangan, stronsium

Inhibitor utama dalam penyerapan zat besi oleh tubuh adalah asam fitat,
polifenol, kalsium, dan peptida dari protein yang tidak dicerna secara sempurna.
Pada sumber makanan nabati yaitu kacang-kacangan dan tumbuhan serealia,
fitat (myo-inositol heksakisfosfat) merupakan inhibitor utama dalam
penyerapan zat besi (Hurell, 2010). Bahan makanan yang mengandung fitat
akan menghambat penyerapan besi karena bahan tersebut akan mengikat besi
dalam usus sehingga bersifat tidak larut dan menurunkan bioavailabilitasnya (
Susiloningtyas, 2006). Efek negatif fitat pada penyerapan zat besi telah teruji
bergantung pada besarnya konsentrasi dan berpengaruh mulai dari konsentrasi
rendah yaitu 2-10 mg per sumber makanan. Polifenol terdapat pada berbagai
sumber makanan berbasis tanaman seperti sayuran, buah, sereal, teh, kopi, dan
anggur. Efek inhibisi polifenol telah teruji dengan teh hitam dan teh hijau
(Hurell, 1999). Kalsium mempunyai efek negatif pada penyerapan zat besi
heme dan non-heme. Efek inhibisi ditunjukkan pada penambahan 75-300 mg
kalsium dari roti dan 165 mg kalsium dari produk susu (Hallberg, 1991).
Protein hewani seperti telur, albumin, dan susu juga berpengaruh dalam proses
inhibisi penyerapan zat besi (Cook, 1976). Dua fraksi protein susu sapi yaitu
kasein dan dadih, dan putih telur telah terbukti menghambat penyerapan zat
besi pada manusia (Hurell, 1988). Protein dari kacang kedelai juga dapat
menurunkan penyerapan zat besi (Lynch, 1994).

9
Gambar 2.1 Proses Metabolisme Zat Besi dalam Tubuh
(Whytnei et al., 1987)
2.1.3. Kebutuhan Zat Besi Manusia
Selama awal masa bayi, kebutuhan zat besi dipenuhi oleh sejumlah kecil
zat besi yang terkandung dalam ASI. Kebutuhan zat besi meningkat tajam pada
4-6 bulan setelah kelahiran dan mencapai sekitar 0,7-0,9 mg/hari selama sisa
bagian dari tahun pertama. Antara 1-6 tahun, kandungan besi dalam tubuh
menjadi dua kali lipat. Kebutuhan zat besi juga sangat tinggi pada masa remaja,
khususnya selama periode pertumbuhan yang cepat. Remaja putri biasanya
memiliki percepatan pertumbuhan mereka sebelum menstruasi pertama, namun
pertumbuhan belum selesai pada saat itu. Pada remaja laki-laki ditandai dengan
massa dankonsentrasi hemoglobin yang meningkat selama masa pubertas.
Dalam tahap ini, kebutuhan besi meningkat ke tingkat di atas kebutuhan zat
besi rata-rata pada wanita menstruasi (World Health Organization, 2004).

10
Tabel 2.3. Jumlah zat besi yang terserap dari 97,5% individu, menurut
kelompok umur dan jenis kelamin

Umur/Jenis Kelamin AKG Besi (mg/hari)

Anak-anak 1.17
Remaja 2.02
Pria dewasa 1.92
Wanita hamil 1.14
Trisemester pertama 0.8
Trisemester kedua dan ketiga 6.3
Wanita menyusui 1.31
Wanita menstruasi 2.38
Wanita post menopause 0.96

(World Health Organization, 1989)


Rata-rata orang dewasa menyimpan sekitar 1-3 g zat besi dalam tubuhnya.
Akan terjadi keseimbangan zat besi dalam tubuh melalui penyerapan dan
kehilangan dengan asupan dan eksresi zat besi. Sekitar 1 mg zat besi yang hilang
setiap hari melalui peluruhan sel dari kulit dan permukaan mukosa, termasuk pada
lapisan saluran pencernaan (Cook, 1986). Menstruasi meningkatkan kehilangan
zat besi setiap hari rata-rata 2 mg per hari pada orang dewasa perempuan
premenopause (Bothwell, 1982). Augmentasi massa tubuh selama neonatal dan
pertumbuhan masa kanak-kanak secara sementara meningkatkan kebutuhan zat
besi (Gibson, 1989).

Asupan makanan yang mengandung zat besi diperlukan untuk


menggantikan besi yang hilang dalam tinja dan urin serta melalui kulit.
Kehilangan zat besi ini mewakili sekitar 0,9 mg untuk orang dewasa laki-laki dan
0,8 mg untuk wanita dewasa. Besi hilang dalam darah menstruasi harus
dipertimbangkan untuk wanita pada usia reproduksi (DeMaeyer, 1989).

11
2.2 Enkapsulasi
Enkapsulasi merupakan metode penjebakan senyawa aktif dalam suatu
material pelindung (shell/coating) sehingga interaksi antara senyawa aktif dengan
senyawa-senyawa lain menjadi terbatas.. Substansi yang terenkapsulasi
dinamakan core material/activeagent, sementara substansi yang mengenkapsulasi
dinamakan carrier/coating material. Active agent adalah zat padat, cair, atau gas
yang seluruhnya terlapisi secara kontinyudidalam coating material (King, 1995).
Komposisi active agent pada teknologi enkapsulasi bervariasi, mengingat active
agent dapat tersebar dan/atau terlarut didalam coating material. Active agent dapat
berupa suatu campuran konstituen aktif, stabilisator, pengencer, atauakselerator.
Kemampuan enkapsulasi untuk beragam komposisi active agent menghasilkan
proses yang efektif dan fleksibilitas sifat enkapsulasi yang diinginkan (Umer,
2011).Salah satu tujuan enkapsulasi adalah melindungi senyawa aktif agar
terhindar dari degradasi yang disebabkan karena eksposure terhadap lingkungan
seperti air,oksigen,panas dan cahaya.Pada beberapa kasus, enkapsulasi digunakan
untuk menutupi rasa,warna dan rasa yang akan merusak tampilan produk,
mencegah reaksi dan interaksi yang tidak diinginkan antar senyawa aktif dan
antara senyawa aktif dengan komponen makanan lainnya. Selain itu, enkapsulasi
memfasilitasi pengiriman senyawa dimana absopsi berlangsung di dalam tubuh.
Enzim dan pH menjadi pencetus pelepasan senyawa aktif di saluran pencernaan
(Sobel et al., 2014).

Carrier substance/coating material pada dasarnya adalah film-forming


materials yangberasal dari varietas polimer alami maupun sintetis. Pemilihan
coating material umumnya bersadarkan pada sifat fisik dan kimianya, active
agent yang akan dienkapsulasi, dan karakteristik produk yang diinginkan
(Enrique, 2013). Coating material harus dapat membentuk film yang kohesif
terhadap active agent, inert dengan active agent, dan menyediakan sifat pelapis
yang diinginkan seperti kekuatan, fleksibilitas, impermeabilitas, sifat optik, dan
stabilitas (Nigam, 2011). Efektifitas coating material dilihat berdasarkan pada
kemudahan manipulasi saat proses enkapsulasi (Juliano, 2013). Coating material
yang digunakan untuk produk pangan harus berstandar pangan (food grade) yaitu

12
tidak beracun dan biodegradable, serta mampu membentuk pembatas antara active
agent dengan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan pada distribusi active agent didalam coating material dan


proses pengendapan coating material, enkapsulasi dibagi menjadi 2 tipe utama
yaitu tipe reservoir dan tipe matriks, dan 1 tipe enkapsulasi pengembangan yaitu
tipe coated matrix (Gambar 2.2). Dengan kata lain, secara tidak langsung
penentuan tipe ini bergantung pada pemilihan coating material dan proses
enkapsulasinya (Mishra, 2015). Pada enkapsulasi tipe reservoirterdapat cangkang
disekitar active agent. Tipe ini juga disebut kapsul, single-core, mono-core, atau
tipe core-shell. Jika diberikan tekanan, enkapsulasi tipe reservoir dapat
mengalamikerusakan sehingga pecah dan melepas active agent yang ada
didalamnya (Zuidam 2010). Tipe matriks mempunyai struktur yang paling
sederhana (Mishra, 2015). Pada enkapsulasi tipe matriks, active agent cenderung
lebih terdispersi didalam coating material, baik berupa droplet kecil atau
terdistribusi secara homogen. Berbeda dengan enkapsulasi tipe reservoir, active
agent pada enkapsulasi tipe matriks secara umum juga bisa terdapat pada
permukaan coating material, kecuali saat coating material mempunyai coating
tambahan.

Gambar 2.2 Tipe-tipe enkapsulasi


(Zuidam, 2010)
Penggunaan proses enkapsulasi pada industri pangan memberikan berbagai
macam keuntungan yaitu meningkatkan keamanan core material dari degradasi
oleh lingkungan luar, melindungi dari zat-zat volatil yang flamabilitasnya tinggi,
meningkatkan penanganan activeagent, meningkatkan stabilitas proses dan
produk akhir, membuat properties dari active agent yang lebih mudah diatur

13
(ukuran, struktur, warna, kelarutan dalam minyak/air), meningkatkan efek
visibilitas produk, mampu memfasilitasi produk makanan yang lebih sehat dan
bercita rasa tinggi. (Zuidam, 2010)

2.3 Enkapsulasi Zat Besi


Keuntungan utama dari enkapsulasi zat besi adalah mampu mengurangi
oksidasi dan interaksi dengan inhibitor untuk penambahan senyawa besi yang
mempunyai bioavalabilitas tinggi kedalam makanan yang sukar terfortifikasi
seperti tepung sereal, produk-produk susu, dan garam berkualitas rendah
(Zimmerman, 2004). Enkapsulasi zat besi mampu mengurangi oksidasi asam
lemak, asam amino, dan mikronutrien lain yang terkatalis oleh besi. Oksidasi
tersebut dapat menyebabkan perubahan sensorik yang merugikan, dan
menurunkan nilai nutrisi dari makanan (Schrooyen dkk. 2001). Enkapsulasi besi
juga mampu mengurangi interaksi besi dengan inhibitor yang menyebabkan
perubahan warna dan menurunkan bioavalaibilitas zat besi seperti tannin,
polifenol, dan fitat (Hurrell, 2002).

Zat besi yang dapat dienkapsulasi tersedia dalam bentuk senyawa ferrous
sulfate, ferrous fumarate, ferric pyrophosphate maupun elemental Fe.
Rekomendasi bentuk senyawaini didasarkan pada sifat sensori senyawa yang baik
dan hasil dari studi isotop pada orang dewasa yang melaporkan bahwa nilai
penyerapan zat besi yang sama untuk fumarat dan sulfat (Hurrell, 2010).

Pada enkapsulasi zat besi, material enkapsulasi berfungsi sebagai membran


impermeable bagi difusi oksigen sehingga zat besi terlindungi dari oksidadi
akibatnya perubahan sensorial yang tidak diinginkan dapat dihindari. Selain itu,
material enkapsulasi dapat membantu meningkatkan bioavailabilitas zat besi
(Gupta, et al., 2015, Zimmermann, 2004).Coating material yang terlarut dalam air
seperti maltodekstrin dan selulosa biasanya tidak mampu memberikan
perlindungan yang memadai dari reaksi oksidasi besi pada lingkungan yang
lembab. Sehingga kebanyakan enkapsulasi besi menggunakancoating material
dari minyak terhidrogenasi yang memberikan perlindungan dari air yang adadi
lingkungan sekitar dengan biaya yang cukup rendah (Zuidam, 2010).Keuntungan
utama enkapsulasi zat besi adalah memungkinkannya penambahan zat besi

14
dengan bioavailabilitas tingi pada bahan makanan dengan komposisi kimia yang
kompleks tanpa terjadi perubahan rasa dan warna. Selain itu, enkapsulasi
meningkatkan stabilitas produk serta memperpanjang shelf life produk
terfortifikasi dengan pencegah besi terlibat reaksi oksidasi lemak. Zat besi
terenkapsulasi cocok untuk fortifikasi produk makanan kering maupun produk
makanan dengan minimal (Hurrell et al., 2004).

2.4 Glukomannan
Glukomanan (GM) adalah komponen terbesar yang terdapat dalam umbi
porang dengan berat molekul yang cukup tinggi antara 105 -106 gr/mol , derajat
kristalinitasnya rendah serta dimanfaakan sebagai agen pembuat gel, pengental
makanan, dan dietary fiber (Bambang, 2015 dan Li, 2006)

Gambar 2.3 Struktur molekul glukomanan


(Takigami, 2000)
Kandungan glukomannan dalam umbi porang cukup tinggi (15-64% basis
kering) (Peiying, 2002). Ekstraksi glukomannan dari umbi porang umumnya
menggunakan larutan etanol (Ohashi dkk, 2000). Dengan menggunakan metode
ekstaksi bertingkat dengan perbandingan rasio tepung porang dengan etanol 10 g :
1000 ml, kadar glukomannan dapat meningkat menjadi 84,05% (Saputro, 2014).
Glukomannan adalah polisakarida bersifat netral yang terdiri dari D-mannosa dan
D-glukosa dengan perbandingan 1,6 : 1 dengan ikatan -1,4 (Kato, 1969) dengan
8% rantai percabangan -1,6 glukosil (Li dan Xie, 2003). Ikatan pada rantai
glukomannan mengandung 5-10% gugus asetil (Takigami, 2000). Glukomannan
merupakan polimer amorf dengan berat molekul 200 sampai 2000 kDa (Li dan
Xie, 2003). Glukomannan mempunyai viskositas paling tinggi diantara berbagai
jenis tipe gum (Yaseen dkk, 2005).

15
Glukomanan memiliki daya absorbansi yang tinggi dalam air dan gel yang
stabil ketika dipanaskan dengan alkali (Mohamed, 2015). Glukomanan tidak akan
membentuk gel ketika gugus asetilnya mencegah rantai panjang glukomanan
untuk saling bertemu satu sama lain. Tetapi, glukomanan dapat membentuk gel
dengan pemanasan sampai 85℃ dengan pada kondisi pH 9 – 10. Gel ini bersifat
tahan panas (thermo irreversible gel) dan tetap stabil dengan pemanasan ulang
pada suhu 100℃ atau bahkan pada suhu 200℃. Glukomanan membentuk gel yang
bersifat tahan panas di dalam koagulan basa seperti Na2CO3 dengan adanya
pemanasan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maekaji (1974) mengatakan
bahwa glukomanan kehilangan gugus asetilnya pada keadaan basa, dan
glukomanan yang kehilangan gugus asetilnya kemudian berkumpul satu dengan
yang lain bergabung dengan ikatan hidrogen, sehingga rantai glukomanan akan
membentuk ikatan yang baru. Dengan cara demikian, gugus asetil inilah yang
pada akhirnya berperan utama untuk membentuk gel. Dampak dari penambahan
alkali / basa ini memudahkan deasetilasi dari rantai-rantai glukomanan. Hal
tersebut telah diterima secara luas bahwa deasetilasi yang menyebabkan
pembentukan gel oleh glukomanan (Joko dan Bertha, 2009).

Glukomannan dinyatakan aman untuk dikonsumsi (Takigami, 2000).


Glukomannan telah digunakan sebagai obat tradisional dan bahan pangan
(Wootton dkk., 1993). Glukomannan merupakan zat makanan dengan kandungan
serat larut air yang tinggi, rendah kalori, dan juga memiliki sifat hidrokoloid yang
khas (Peiying, 2002). Glukomannan tidak dapat terhidrolisa oleh enzim-enzim
pencernaan dalam tubuh manusia dan dikategorikan sebagai indigestible dietary
fiber sehingga dapat mengurangi resiko diabetes, penyakit jantung, dan konstipasi
(Vuksan dkk, 2000). Glukomannan secara signifikan meningkatkan bifidobakteri
dan pembusukan feses di usus besar, sehingga dapat dikatakan mempunyai
efekprebiotik (Chen dkk, 2005). Glukomannan digunakan dalam berbagai aplikasi
termasuk di dalam industri farmasi, sebagai bagian dari bahan pelapis dan
enkapulasi, sebagai bahan pengemulsi dan bahan-bahan kosmetik (Zhang
dkk.,2005). Dalam dunia farmasi, glukomannan dapat dimanfaatkan sebagai
material enkapsulasi obat-obatan karena memiliki berat molekul besar yaitu 200 -

16
2000 kDa, viskositas tinggi, dapat membentuk film yang sangat baik serta stabil
pada air dingin maupun panas (Yang, Xiao dan Ding, 2009).

2.5. Deasetilasi Glukomannan


Keunggulan dari glukomannan adalah keunikan karakter sebagai bahan
pengental (thickening agent) antara lain adalah memiliki kapasitas penyerapan air
lebih dari 100x beratnya sendiri. Glukomannan bersifat water-soluble, dimana
memiliki viskositas tinggi meskipun pada konsentrasi rendah dan dapat
membentuk struktur gel (Prasetya, 2015). Sifat gelling pada glukomannan
didasarkan oleh kandungan gugus asetil yang terdapat pada rantai,yang
menghalangi interaksi antar-rantai (Kishida dkk, 1978). Setelah dilakukan
pemanasan dengan adanya zat alkali seperti KOH dan NaOH, glukomannan
bertransformasi menjadi gel yang kuat, elastis, dan ireversibel (Takigami, 2000).
Glukomannan yang terdeasetilasi dapat lebih sukar larut pada air dan membentuk
struktur gel sehingga dapat dijadikan hidrogel (Prasetya, 2015). Dengan
membentuk struktur gel yang merupakan fase padat yang stabil, enkapsulasi
menggunakan KGM akan lebih mungkin dilakukan karena mempunyai
kemampuan untuk membungkus active agent, tidak larut dalam air, dan
mempunyai titik didih yang lebih tinggi (Wandrey dkk., 2010). Menurut Xuegang
(2003), secara umum metode deasetilasi dilakukan dengan penambahan larutan
natrium hidroksida seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Penelitian mengenai proses deasetilasi glukomannan dalam larutan alkali


telah dilakukan dan dapat membentuk struktur gel. Larutan alkali memiliki peran
dalam proses deasetilasi yang akan mengurangi sifat kelarutan. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Li (2014) yang identik dengan penelitian oleh Maekaji
(1978), telah dibuktikan bahwa penghilangan gugus asetil dalam 1 gram
glukomannan membutuhkan 3.45 x 10-4 mol OH-. Semakin besar jumlah larutan
alkali yang digunakan akan memberikan dampak yang baik terhadap deasetilasi.
Penghilangan seluruh gugus asetil pada glukomannan dapat terjadi saat
menggunakan larutan alkali ekses. Alkali yang paling baik digunakan dalam
deasetilasi adalah NaOH, KOH, Ca(OH)2, dan Na2CO3 berturut-turut. Hasil
penelitian ini dapat menjadi bukti bahwa deasetilasi merupakan reaksi hidrolisis

17
dan kekuatan basa mempengaruhi kemampuan hidrolisa. Kemampuan hidrolisa
KOH lebih lemah dari NaOH karena derajationisasi KOH yang lebih rendah
daripada NaOH dalam media alkohol. Pengaruh berbagai konsentrasi larutan
NaOH terhadap daya swelling dan struktur hidrogel yang dihasilkan adalah
semakin besar konsentrasi NaOH maka daya swelling akan semakin kecil
(Prasetya dkk, 2015). Sedangkan pengaruh rasio tepung porang murni terhadap
daya swelling adalah semakin besar rasio massa tepung porang maka daya
swelling juga semakin besar (Xian, 2008).

Gambar 2.4 Reaksi Deasetilasi Dengan Menggunakan NaOH


(Luo, He, dan Lin, 2013).
Di dalam air, molekul glukomannan akan mengalami hidrasi dan terbentuk
ikatanhidrogen antara atom O dalam air dengan gugus OH- di dalam rantai
glukomannan. Namunjika terdapat ion OH- didalam air, akan terjadi kerusakan
ikatan hidrogen tersebut. Gaya tolakmenolak elektrostatis terjadi antara ion OH di
dalam larutan dengan gugus OH pada rantaiglukomannan.Gugus asetil pada rantai
glukomannan akan terlepas sehingga terjadipenggumpalan (Prasetya, 2015).

Glukomannan dapat larut dalam air namun tidak larut dalam ethanol.
Terdapat 2 keuntungan dalam melakukan proses deasetilasi pada media ethanol.
Ethanol dapat memperlambat penetrasi alkali dengan mencegah swelling

18
glukomannan dan dapat mendukung reaksi deasetilasi dengan meningkatkan
alkalinitas pada sistem. Pada penelitian yang dilakukan oleh Li (2014), derajat
deasetilasi menunjukkan peningkatan, kemudian menurun secara perlahan seiring
dengan bertambahnya konsentrasi ethanol. Hal ini terjadi karena sebelum
konsentrasi ethanol mencapai 80%, deasetilasi secara dominan dipengaruhi oleh
larutan alkali, namun saat konsentrasi ethanol lebih dari 80%, deasetilasi
dipengaruhi oleh efek ethanol yang memperlambat penetrasi larutan alkali dengan
mencegah swelling dari glukomannan.

Deasetilasi lebih baik dijalankan pada suhu yang semakin tinggi. Hal ini
dapat dikorelasikan dengan fakta bahwa semakin tinggi suhu akan menyebabkan
meningkatnya keaktifan OH- dan penetrasinya kedalam makromolekul
glukomannan, yang akan mempercepat frekuensi penyerangan gugus ester (Ye,
2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Li (2014), dilaporkan bahwa derajat
deasetilasi (DD) meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Hal ini sesuai
dengan prinsip dasar deasetilasi glukomannan yaitu semakin lama waktu reaksi
OH- dengan gugus asetil akan meningkatkan probabilitas reaksi sehingga gugus
asetil yang tersubstitusi oleh OH- akan lebih banyak. DD meningkat tajam dalam
satu jam pertama (0 - 64,06%), sedangkan pada waktu berikut (1 - 72 jam), DD
meningkat perlahan. Hal ini terjadi karena deasetilasi merupakan jenis reaksi
substitusi nukleofilik yang tergantung pada konsentrasi substrat dan produk. Pada
awal reaksi produkDD rendah, kemudian terjadi reaksi yang cepat. Seiring dengan
meningkatnya waktu DD, terjadi penurunan jumlah gugus asetil pada produk
yang menyebabkan reaksi substitusi nukleofilik semakin lambat (Ye, 2014).

2.6. Solubility Glukomanan


Koyama et al., (1993); Dave et al., (1998) menuliskan bahwa glukomanan
mempunyai kelarutan yang tinggi baik dalam air panas maupun dingin dan
membentuk sol yang viscous, dapat membentuk gel dengan alkali ringan.
Glukomanan mempunyai sifat yang larut dalam air. Glukomanan dalam air dapat
membentuk larutan yang sangat kental. Larutan glukomanan 2% di dalam air
dapat membentuk lendir dengan kekentalan sama dengan larutan gum arab 4%.
Larutan glukomanan yang sangat encer (0.0025%) dapat menggumpalkan suatu

19
suspensi koloid. Dengan hal ini, glukomanan mempunyai kelarutan yang tinggi.
Kelarutan glukomanan dapat diturunkan dengan cara deasetilasi. Glukomanan
yang terdeasetilasi dapat lebih sukar larut pada air dan membentuk struktur gel
sehingga dapat dijadikan hydrogel (Prasetya, 2015).Dengan berkurangnya sifat
kelarutan glukomanan maka glukomanan dapat dijadikan sebagai matrik
enkapsulasi. Pada enkapsulasi besi sifat glukomanan yang telah terdeasetilasi
mampu meminimalisir terjadinya oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ akibat kontak
dengan O2 yang terlarut pada air (Salmin, 2005). Pengurangan penyerapan air
akan sangat penting dalam kestabilan dan efektivitas dari serbuk enkapsulasi
(Onwulata et al., 1998). Pada penelitian Gusdinar et al., (2011) dengan
menggunakan kopolimer gelatin-maltodekstrin untuk mengenkapsulasi pigmen
karotenoid. Enkapsulasi ekstrak karotenoid N.intermedia dengan kopolimer
gelatin-maltodekstrin dilakukan untuk memperbaiki sifat kelarutan karotenoid
tersebut di dalam air selain itu juga mengukur yield enkapsulasi dan
stabilitasnya.Dalam hal ini permukaan membran dari disakarida tersebut bersifat
kedap air dengan resistensi tinggi terhadap difusi pada kadar air yang rendahatau
membentuk formasi kompleks. Dengan proses enkapsulasi rangkap dapat
meningkatkan kemampuan menghalangi air masuk ke dalam partikel. Halangan
tersebut dapat dibentuk melalui suatu kombinasi penyalutan menggunakan zat
lilin sehingga dapat membentuk dinding rangkap. Oleh karena itu pengurangan
sifat kelarutan matrik enkapsulasi mempengaruhi kinerja dan stabilitas
enkapsulasi.

20
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1. Waktu , Tempat dan Tahap Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan selama 6 bulan yang dimulai pada tanggal 1
September 2017 hingga tanggal 1 Maret 2018. Tempat pelaksanaan penelitian
adalah di Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro,

Pemurnian Glukomanan dari Tepung


Porang

Deasetilasi glukomanan

Enkapsulasi Zat Besi dengan


Campuran hasil proses deasetilasi, Glukomanan
Ferrous Sulfat, etanol absolute
Proses Loading Enkapsulasi Fe

Hasil Loading berbentuk beed

Analisis Derajad Deasetilasi, nilai


Viskositas glukomanan
terdeasetilasi, nilai kadar solubility,
kadar zat besi, yield enkapsulasi,
kinerja enkapsulasi.

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian

21
3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan

3.2.1. Bahan

 Tepung porang
 NaOH
 Iron salt ( Ferrous suphatehepta hydrate)
 Etanol 40%, 60%, 80%, 96%
 HCl
 PP
 H2SO4
 Bubuk Ferrous sulfat
 Fenantrolin
 Aquadest
 Trichloroethylene (TCE)
3.2.2. Alat

 Magnetic stirrer
 Oven
 Timbangan digital
 Viskosimeter
 Pipet tetes
 Centrifuge
 Gelas ukur
 Kompor listrik
 Labu digester
 Cawan
 Erlenmeyer
 Beaker glass

3.3 Gambar Rangkaian Alat

22
Deasetilasi dilakukan pada labu leher tiga yang dilengkapi dengan
pendingin Liebig, magnetic stirrer dan heater dengan control suhu menggunakan
thermostat.

Gambar 3.2 Rangkaian alat deasetilasi

3.4. Variabel Percobaan

3.4.1. Variabel Tetap

- Volume etanol 100 mL


- Volume NaOH 100 mL
- Suhu deasetilasi 50 °C
- Kecepatan shaker 225 rpm
- Waktu deasetilasi = 8 jam
- Konsentrasi ethanol saat deasetilasi
- pH

3.4.2. Variabel Berubah

- Waktu enkapsulasi (menit) 30 ; 45 ; 60 ; 75


- Konsentrasi ethanol (%) 60% ;70% ;80% ;96%

23
- Ratio Glukomanan : Ferrous sulfat (gram) 2:1 ; 2,5:1 ; 3:2

3.5. Prosedur Percobaan

3.5.1. Proses Deasetilasi Glukomannan pada Tepung Porang

Tepung porang yang diperoleh kemudian dideasetilasi dengan dimasukkan


ke dalam gelas beaker dan ditambahkan pelarut etanol 50% dengan perbandingan
massa tepung dan volume pelarut 5 gr : 100 mL Kemudian ditambahkan NaOH
dengan konsentrasi 0,12 N dalam bentuk gram per 100 mL basis. Campuran
tersebut diaduk menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan pengadukan tetap
(225 rpm) dan suhu tetap (50 ºC )selama 4 jam. Tepung porang kemudian
dipisahkan dengan menggunakan kertas saring

3.5.2. Enkapsulasi Zat Besi dengan Glukomannan

Glukomanan terdeasetilasi yang telah kering (tidak mengandung air/ basah)


diambil sesuai dengan ratio pada variabel dan dimasukkan ke dalam beaker glass
yang telah berisi 100 mL aquades. Campur glukomannan dengan aquades selama
5 menit dan digunakan magntic stirrer skala 8 untuk memaksimalkan
pencampuran. Kemudian dimasukkan bubuk Ferrous Sulfat ratio pada variabel
kemudian dicampur selama 15 menitdi atas magnetic plate.

3.5.3. Loading

Endapkkan hasil enkapsulasi selama 30 menit hingga terbentuk dua lapisan


(endapan berupa padatan dan cairan di atasnya). Siapkan 100 mL etanol dengan
konsentrasi sesuai dengan variabel dibuat dalam keadaan suhu rendah (40C) ketika
sedang dienkapsuasi sebagai solvent dan dijaga suhunya menggunakan styrofoam
box. Teteskan cairan hasil enkapsulasi (pencampuran glukomanan dan Ferois
Sulfat) ke dalam etanol dengan konsentrasi sesuai variabel menggunakan injector.
Akan terbentuk bead hasil loading setelah ditunggu dengan waktu sesuai variabel
yang kemudian dikeringkan dengan disaring terlebih dahulu guna mempercepat
pengeringan.

24
3.6. Analisis

3.6.1. Analisa Derajad Deasetilasi (DD)

Metode penentuan derajad deasetilasi merujuk pada penelitian yang


dilakukan oleh Liu et al., (2010). Satu gram bubuk Da-KGM dicampur dengan 50
mL alkohol 50% dan dijaga suhunya pada 50°C di dalam water bath selama 60
menit. Kemudian, 1 mL NaOH 0,5 M ditambahkan dan diaduk selama 48 jam
untuk bereaksi. Selanjutnya, ditambahkan phenopthalein (PP) sebagai indikator
kemudian NaOH yang tersisa dititrasi balik dengan HCl 0,02 M. Proses titrasi
diulangi tiga kali pada masing-masing variabel. Gugus asetil (Nacetyl) pada
glukomannan didapatkan dengan mengulangi prosedur tersebut dengan bubuk
glukomannan. Derajad deasetilasi (%) pada sampel dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

(𝑉2−𝑉1) 𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝑙 𝑥 𝐵𝑀 𝐴𝑐𝑒𝑡𝑦𝑙


ωo = (1)
𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
(𝑉2−𝑉1) 𝑥 𝑁 𝐻𝐶𝑙 𝑥 𝐵𝑀 𝐴𝑐𝑒𝑡𝑦𝑙
ω= (2)
𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝜔𝑜− 𝜔
DD(%) = 𝑥 100 % (3)
𝜔𝑜
Dimana V2 merupakan volume HCl yang terpakai untuk larutan blank (ml)

dan V1 merupakan volume HCl yang terpakai untuk larutan sampel (ml). ωo
adalah kandungan asetil pada KGM,danωadalah kandungan asetil pada Da-KGM

(Liu dkk., 2010).

3.6.2. Viskositas

Mengekstrak 1 gram tepung glukomannan terdeasetilasi degan 40 mL


aquades selama 90 menit dengan suhu 45 ºC dan pengadukan skala 6 pada hot
plate. Saring hasil ekstraksi antara ampas dan filtratnya sehingga didapatkan
filtratnya. Pengukuran viskositas larutan filtrat denga menggunakan viskometer
ostwald sebanyak 3 kali pengulangan (Fernida, 2009).

25
3.6.3. Solubility

Uji solubility Da-KGM menggunakan metode yang dilakukan oleh Kainuma


dkk. (1967) yaitu 0,1 gr Da-KGM powder dilarutkan dalam 10 ml aquadest ,
kemudian larutan dipanaskan dalam water bath dengan temperatur 60 ºC selama
30 menit. Supernatant dipisahkan menggunakan centrifuge dengan kecepatan
3000 rpm selama 20 menit. Supernatant ditimbang dan dicatat beratnya sebelum
dikeringkan dalam oven dan dicatat berat endapan keringnya.

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔


% 𝑆𝑜𝑙𝑙𝑢𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 = x 100% (4)
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑢𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎𝑡𝑎𝑛

1.6.4. Analisa Kadar Zat Besi


Metode:

a. Pembuatan larutan untuk kurva baku


Larutan standar Fe (III) 1000 ppm dimasukkan ke labu ukur 10 mL
sebanyak 0,1 mL, kemudian ditambhakan 1,1 mL larutan natrium tiosulfat 100
ppm. Selanjutnya ditambahkan 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm dan 1,5
mL buffer asetat pH 4,5. Setelah itu, ke dalam campuran ditambahkan asetn
sebanyak 5 mL dan diencerkan menggunakan aquades hingga tanda batas. Larutan
tersebut dikocok dan didiamkan selama 120 menit, kemudian diukur pada panjang
gelombang maksimum. Prosedur ini diulangi sebanyak 4 kali dengan jumlah
larutan standar Fe(III) 100 ppm masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4
mL. Hasil absorbansi yang didapatkan kemudian dibuat kurva kalibrasi antara
absorbansi dengan konsentrasi Fe(III).

b. Preparasi sampel (Destruksi kering)


Sampel ditimbang sebanyak 0,4 gram dan dimasukkan dalam beaker glass.
Selanjutnya sampel dipanaskan daalam oven dengan suhu 110 ºC selama 120
menit. Selanjutnya ke dalam beaker glass dtambahkan HCl 6M sebanyak 10 mL,
kemudian dipanaskan di atas hot plate selama 1 jam hingga abu larut. Larutan
tersebut disaring dan filtrat dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Ditambahkan
aquades hingga tanda batas dan dihomogenkan.

26
c. Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 520 nm
Larutan hasil preparasi dekstruksi kering diambil 0,1 mL dan dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL. Kemudian ditambahkan 1,1 mL natrium tiosulfat 100
ppm dan 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm. Untuk menjaga pH tetap
asam maka ditambahkan larutan buffer asetat 1,5 mL pH 4,5, kemudian
ditambahkan aseton sebanyak 5 mL dan diencerkan menggunakan aqua DM
hingga tanda batas. Larutan tersebut dikocok dan didiamkan selama 120 menit,
kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer Uv-Vis pada
panjang gelombang maksimum. Ppengkuran sebanyak 3 kali.

d. Pengolahan data
1. Membuat kurva baku yang menunjukkan relasi konsentrasi Fe (x) dan
absorbansi (y). Lakukan teknik regresi linear untuk mendapatkan
persamaan matematika absorbansi seagai fungsi dari konsentrasi Fe.
2. Menentukan konsentrasi besi pada sampel berdasarkan absorbansi terukur
dengan kurva baku yang telah dipersiapkan

3.6.5.Analisa Yield

Analisis Yield

𝑀𝑆𝐴
% 𝐸𝑌 = 𝑀𝑆𝐵 x 100% (5)

Keterangan:

MSA = total massamikrokapsulsetelah di enkapsulasi

MSB= total massamikrokapsulsebelum di enkapsulasi

3.6.6. Kinerja Enkapsulasi


1. Analisa Efisiensi Enkapsulasi
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑘𝑎𝑝 − 𝐹𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑘𝑎𝑝
% 𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐸𝑛𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 =
𝐹𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑘𝑎𝑝

2. Degradasi terhadap inhibitor


Analisa degradasi zat besi oleh inhibitornya akan dilakukan dengan
menggunakan salah satu inhibitor yang mampu mendegradasi zat besi yaitu asam

27
fitat. Analisa ini berdasarkan Bezbaruah dkk. (2011) yang menggunakan
Trichloroethylene (TCE) sebagai zat pendegradasi. Prosedur analisa ini yaitu
semua variabel dikontakkan dengan TCE di dalam beaker glass berbeda. TCE
sebayak 25 mL digunakan untuk direaksikan dengan 30 mg sampel. Semua
beaker glass diputar pada kecepatan 28 rpm di rotary shaker selama 90 menit.
Setelah proses selesai maka akan dilanjutkan dengan menimbang zat besi yang
sudah direaksikan dengan TCE dan membandingkannya dengan berat zat besi
sebelum direaksikan dengan TCE.

𝑍𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙 (𝑔)


% 𝐷𝑒𝑔𝑟𝑎𝑑𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑒𝑠𝑖 = x 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑧𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑠𝑖 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝑔)

3. Oksidasi
Analisis oksidasi dilakukan pada suhu, pencahayaan dan kelembaban
lingkungan. Pengamatan akan dilakukan selama 7 hari yang kemudian diambil
sampelnya setiap hari. Selanjutnya dilakukan analisa kadar Fe2+ dengan metode
perhitungan Fe seperti pada sub bab 3.6.4. Perhitungan dilakukan setelah dan
sebelum dilakukan pemaparan pada suhu dan pencahayaan tertentu.

28
BAB IV
JADWAL KEGIATAN

4.1 Jadwal Kegiatan

Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No Jenis Bulan
Kegiatan 1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Studi
Literatur
2. Pembuatan
Proposal
Penelitian
3. Penyiapan
Bahan dan
Alat
4 Penelitian
5. Analisa
Hasil
6 Pembuatan
Laporan
Akhir dan
Artikel
7. Presentasi
Hasil

29
DAFTAR PUSTAKA

Abbaspour, N., Hurrell, R, & Kelishadi, R. (2014). Review on Iron and its importance
for Human Health Journal Research in Medical Science, 164-174.
Ashok, P. k., & Upadhayaya, k. (2012). Tannins are Astriagent. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry , Journal No: 8192, Vol. 1, Issue 3.
Chen, J., Li, B. (2011). Identification o Molecuar Driving orces Involved
Hydrophobic Association. Carbohydrate Polymers, 86(2), 865-871
Comunian, T.A., Thomazini, M., Alves, A.J., Junior, F.E., Balieiro, J.C., & Trindade,
C. S. (2013). Microencapsulation of Ascorbic Acid by complex Coacervation:
Protection and Controlled Release. Food Research International, 373-379.
Fang, Z., & Bhandari, B. (2010). Encapsulation of Polyphenols a review. Food
science & Technology, 510-523
Gallarate, M., Carlotti, M. E., Trotta, M., & Bovo, S. (1999). On the Stability of
Ascorbic Acid in Emulsified System for Topical and Cosmetic Use.
International Journal of Pharmaceutics, 233-241.
Gaucheron, F. (2000). Iron fortification in dairy industry. Trends in Food Science and
Technology, 11, 403–409.

Gharsallaoni,, A., Roudaut, G. Chambin, O., Voilley, A., & Saurel, R. (2007).
Applications of Spray-drying in Microencapsulation of Food Ingridients: An
Overview. Food Research International, 117-1121.
Hur, S.J., Lee, S. Y., & Lee, S. J. (2015). Effect of Biopolymer Encapsulation on The
Digestibility of Lipid and Cholesteroll Oxidation Products in Beef During in
vitro Human Digestion. Food Chemistry, 254-260.
James, C.S. (1995). Analytical Chemistry of Food. London : Blackie Academic &
Professional.
Kainuma,K., Odat, T., & Cuzuki, S. (1967). Study of Starch Phoshates Monoster. J.
Tecnol. Soc. Starch, 14: 24-28.
Li, J.-M., &Nie, S.-P., The functional and nutritional aspects of hydrocolloids in
foods, Food Hydrocolloids (2015),

30
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2015.01.035
Liu, F., Luo, X., Lin, X. (2010). Adsorbtion of Tannin from Aqueous Solution by
Deacetylated Konjac Glucomanan Journal of Hazerdous Materials,
178(1),844e850
Liu,J., Wang, H., Yin, Y., Cai,P., & Yang, S. (2012). Controlled Acetylation of
Watersolublle Glucomanan from Bletillla Striata. Carbohyrate Polymers, Vol.
89, 158-162.
Liyanage, c., & Zlotkin, S. (2002). Bioavailability of Iron from Micro-Encapsulated
Iron Sprikle Supplement. Food and Nutrition Bulletin, Vol. 23, No. 3.
Madane, A., Jacquot, M., Seher, J., & Desobry, S. (2006). Flavour Encapsulation and
Controlled Release- A Review. International Journal Of Food Science and
Technology 1-21.
Mohanraj, V.J. & Chen, y. (2006). Nanoparticles-A Review. Topical Journal of
Pharmaceutical Research, 561-573.
Nedovic, V., kalusevic, A., Manojlovic, V., Levic, S., & Bugarski, B. (2011). An
Overview of Encapsulation Technologies for Food Application. Procedia Food
Science, 1806-1815.
Onwulata, C.I.. konstance, R.P. dan holsinger, V.H. (1998), Properties of Single- and
Double-Encapsulated Butteroil Powders, Journal of Food Science, 63, No. 1
Pan, Z Meng, J., & Wang, Y. (2011). Effect of Alkalis on deacetilation of Konjac
Glucomanan in Mechano-Chemical Treatment. Particuology, 265-269.
Petranovic, D., Batinac, T., Petranovic, D., Ruzic, A. & Ruzic, T. (2008). Iron deficiency
anemia influences cognitive function. Medical Hypotheses, 70, 70–72.

Pramita D.S.( 2008). Pengaruh Teknik Pemanasan terhadap Kadar Fitat dan Aktivitas
Antioksidan Koro Benguk (Macuna pruriens) Koro Glinding (Phaseolus
Innatus), dan Koro Pedang (Canavallia ensiformis. Semarang Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro

Prube, U., Wittlich, P., Vorlop, K.D., Jahnz, U., & Breford, J. (2002). Bead
production with JetCutting and Rotating Disk / Nozzle Technologies. Aus dem
Institute fur Technologie und Biosystemtechnik, 241:1-10.
Rivas, E. R., Juliano, P., Yan, H., & Conavas, G.B. (1990). Food Powders: Physical

31
Properties Processing, andFunctionality. United State: Springer.
Schrooyen, P.M., vanderMeer, R., & Kruif, C. (2001). Microencapsulation: its
Application in Nutrition. Proceedings of The Nutrition Society, (pp. 475-479).
Soeparman, & Waspadji, S. (1990). Ilmu Penyakit Dalam II Jakarta: FKUI.
Stoltzfus, R J and Dreyfuss, M L, 2004, Guidelines for the Use of Iron Supplements to
Prevent and Treat Iron Deficiency Anemia, ILSI Press, Washington, 2004

Vemmer, M., & Patel, A.V. (2013). Review of Encapsulation Methods Suitable or
Microbial Biological Control Agents. Biological Control, doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2013.09.003.
Wang,, K., & He, Z. (2002). Alginate-Konjac Glucomanan-Chitosan Beads as
Controlled Release Matrix. International Journal of Pharmaceutics, 117-126
Yang, J., Xiao, J., & Ding, L. (2009). An Investigation Into The Application of
Konjac Glucomannan as A Flavor Encapsulant. Eur Food Res Technol,
229:467:474.
Yuniati, F. (2006). Penentuan Konsentrasi Fe2+ dan Fe3+ secara simultan dengan
spektrofotometri Tampak Menggunakan Pengompleks Ortho-fenantrolin
Seminar Tugas Akhir Jurusan Kimia FMIPA UNDIP. Semarang: Jurusan
Kimia UNDIP
Zilberboim, R., Kopelman, I. J., & Talmon, Y. (1986). Microencapsulation by
adehydrating liquid: retention of paprika oleoresin and aromatic esters.
Journalof Food science, 51(5), 1301e1306.
Zimmermann, M. B., & Windhab, E. J. (2010). Encapsulation Technologies for Active
FoodIngredients and Food Processing. United State: Spriger.
Zuidam, N J, 2012, An industry perspective on the advantages and disadvantages of
iron micronutrient delivery systems, in Encapsulation technologies and
delivery systems for food ingredients and Nutraceuticals, Edited by Garti, N
and McClements, D J, Woodhead Publishing Limited, Cambridge, p 505-540.

32

You might also like