Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Aulia Chusnulita NIM. 21030114120090
Dwi Purwati NIM. 21030114120089
ii
RINGKASAN
iii
SUMMARY
Iron is an important element in animal and human foods. Iron is naturally present in
cytochrome, enzyme, hemoglobin and myoglobin structures. Iron is also abundant
in nature. Iron deficiency as an important element of this is a deficiency that causes
iron anemia. Inhibitors that can cause iron degradation include tannins, calcium,
and peptides of partially digested proteins. So the problem of iron intake for iron
anemia can be overcome by means of encapsulation. With this method, iron is
limited by the encapsulation matrix so that contact with other components will be
limited. As a result, iron is protected from oxidation that can lead to undesirable
sensory changes. Matrix material in encapsulation is an important component. One
of the potential local materials as an encapsulated material of iron is glucomannan.
Glucomannan has excellent film-forming capabilities and the formed film is stable
in both cold and hot water and in acidic solutions. The ability of glucomannan that
can absorb water with a relatively high absorption index of 100 grams of water /
gram glucomannan into the problem. So the ability of glucomannin to absorb water
needs to be controlled or reduced by using chemical modification, for example by
deacetylation. Modification of glucomannan with deacetylation is considered most
appropriate because it is expected to reduce the solubility of glucomannan in water.
The success of encapsulation can be analyzed from the performance of the
encapsulation. However, studies that focus on yield and performance especially
with the glucomannan matrix have not been studied, so further research is needed
So specifically the purpose of this study is (i) studied the effect of glucomannan
variable ratio with iron mass, time of encapsulation and ethanol concentration in
iron encapsulation process to its psychokimian nature. (Ii) studying the effect of
glucomannan variable ratio with iron mass, time of encapsulation and ethanol
concentration in iron encapsulation process to effisiensi and yield of encapsulation
yielded .. (iii) studying effect of glucomannan variable ratio with iron mass, time of
encapsulation and concentration of ethanol In the process of iron encapsulation of
iron degradation encapsulated by iron inhibitors and oxidation. Application of
various variables include time of encapsulation, ethanol concentration and
glucomannan ratio with Ferrous sulfate. The process begins with porang flour
which will be deacetylated to the encapsulation process. The encapsulation results
are deposited until two layers are formed and then drips the encapsulation results
into 100 mL of ethanol with the corresponding concentration of the variable
prepared under low temperature (4 ° C). Will be bead result of loading after waiting
with time according to variable. Then in the deacetylated level analysis, the value
of the de-isethylated glucomannine viscosity, the solubility value, the iron content,
the encapsulation yield, and the analysis of the encapsulation performance.
iv
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga dapat terselesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Kajian Kondisi
Droping Pada Enkapsulasi Zat Besi Menggunakan Matrik Deasetilasi Glukomanan”
Proposal penelitian merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diambil oleh
semua mahasiswa sebagai syarat memenuhi tugas akhir. Dalam penyusunan laporan
penelitian ini diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan penelitian ilmiah sesuai
dengan laporan yang telah dibuat dan telah disetujui. Pada kesempatan ini
diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada.
1. Bapak Dr. Siswo Sumardiono, S.T., M.T., selaku Ketua Departemen Teknik
Kimia Universitas Diponegoro.
2. Ibu Dyah Hesti ,S.T., M.T., Ph.D selaku dosen pembimbing penelitian ini
hingga selesai.
3. Segenap dosen di Departemen Teknik Kimia UNDIP atas sumbangsih ilmu
pengetahuan yang telah diberikan dan atas segenap waktu dan tenaga yang
telah dicurahkan selama ini.
4. Kedua orang tua atas doa dan dukungan yang telah diberikan.
5. Teman-teman dan pihak-pihak yang telah banyak membantu atas
terselesaikannya laporan penelitian ini.
Disadari adanya keterbatasan di dalam penyusunan laporan penelitian ini. Untuk
itu, diharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dalam laporan
ini. Namun demikian, diharapkan semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat
bagi pembaca secara umum. Terima kasih.
Penulis
v
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
berpotensi sebagai bahan material enkapsulasi enzim, sel, unsur biologi, vitamin,
maupun campuran (Yang et al., 2009). Kemampuan glukomannan yang dapat
menyerap air dengan indeks penyerapan relatif tinggi yaitu 100 gram air/ gram
glukomannan menjadi permasalahan. Sehingga kemampuan glukomanan dalam
menyerap air perlu dikontrol atau dikurangi dengan menggunakan modifikasi
kimia, misalnya dengan asetilasi. Asetilasi melibatkan substitusi gugus asetil
terhadap atom hidrogen aktif. Asetilasi secara efektif akan mengurangi ikatan
hidrogen. Asetilasi glukomanan derajat substitusi rendah (0,05-0,23) dengan asam
asetat akan meningkatkan derajat substitusi. Derajat substitusi merupakan
banyaknya gugus asetil yang menggantikan atom hidrogen aktif pada
glukomanan. Dengan meningkatnya derajat substitusi, solubility akan meningkat
juga. Selain meningkatkan derajat substitusi, asetilasi akan mempengaruhi sifat
fungsional dari glukomanan (Liu et al., 2011).
Metode modifikasi glukomanan secara asetilasi dengan derajat substitusi
(degree of substitution = DS) yang rendah telah digunakan secara luas oleh
industri makanan selama bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh keunggulan
sifat fisikakimia yang dimiliki oleh glukomanan terasetilasi seperti suhu,
viskositas, daya kembang power, solubility, dan kelarutan, serta memiliki
stabilitas penyimpanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan glukomanan
yang asalnya (Raina, 2006). Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan dari
glukomanan terasetilasi lebih stabil dan tahan terhadap retrogradasi. Sifat fisika-
kimia pada glukomanan yang terasetilasi ini dipengaruhi oleh jumlah distribusi
gugus asetil yang menggantikan gugus hidroksil (OH-) pada glukoamanan.
Reagen yang biasa digunakan pada metode asetilasi adalah vinil asetat, asam
asetat, dan asetat anhidrat (Pawinee et al., 2008).
2
Penelitian yang dilakukan oleh jiang yun Liu et al., pada tahun 2012 yaitu
glukomanan digunakan sebagai eksipien untuk pengiriman obat terkontrol, gen
dan rekayasa jaringan. Dalam penelitian ini, metode asetilasi terkontrol
dikembangkan untuk memperbaiki kearutan dalam air dari bletillan 70 (BT)
terlebih dahulu, dengan mereaksikan dengan anhidrida asetat (AA) dalam N,
Ndimethylformamide pelarut. Parameter preparasi, seperti suhu reaksi, waktu
reaksi dan rasio molar BT / AA, dioptimalkan berdasarkan derajat gugus asetil.
IR dan 1H NMR Spektrum diaplikasikan untuk menjelaskan proses reaksi dan
pola substitusi, yang mengindikasikan bahwa asetilasi terjadi di C-6 dan C-2 dari
unit heksose dengan perbandingan 2: 1, dengan DS sampai 0,83. Analisis
viskositas menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan relative telah
memperbaiki kelarutan air. Metode baru ini Sederhana, ekonomis dan mudah
dikendalikan.
3
enkapsulasi (Zilberboim et al.,1986).Variabel jumlah besi yang digunakan
berturut-turut adalah 300gr, 500gr, 800gr, dan 1000gr memberikan efisiensi
enkapsulasinya 91,6%; 89,7%; 87,7% dan 85,5%. Hasil ini menunjukkan variabel
jumlah besi yang dienkapsulasi memberikan pengaruh yaitu semakin sedikit
jumlah zat besi yang dimasukkan maka efisiensi enkapsulasi semakin meningkat.
4
fisikokimia glucomannan yang dimodifikasi. Untuk eksipien DCR, Asetilasi
direkomendasikan untuk dilakukan dengan menggunakan 8.0 M asam asetat dan
1% glucomannan pada suhu 30oC selama 60 menit. yang menghasilkan DS
sebesar 0,899. Penentuan morfologi menunjukkan permukaan bentuk asetilisasi
lebih halus dari pada yang berasal dari glucomannan asli.
Berdasarkan ketiga penelitian di atas, belum terdapat kefokusan dalam
mempelajari yield dan kinerja enkapsulasi zat besi dengan menggunakan matrik
glukomanan dengan modifikasi asetilasi. Oleh karena itu perlu penelitian terhadap
masalah tersebut.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Zat Besi
Besi adalah elemen yang ketersediannya sangat melimpah di alam dan
merupakan kompenen penting dan esensial bagi makhluk hidup. Besi secara alami
terdapat pada banyak makanan, ditambahkan sebagai zat aditif pada makanan, dan
tersedia juga sebagai suplemen makanan. Dalam tubuh manusia, besi merupakan
komponen penting dari hemoglobin, protein pada eritrosit yang mentransfer
oksigen dari paru-paru ke jaringan-jaringan tubuh (Wessling, 2014). Zat besi pada
makhluk hidup ditemukan terutama dalam bentuk kompleks terikat dengan
protein (hemoprotein) sebagai senyawa heme yaitu hemoglobin dan mioglobin,
enzim heme, atau senyawa non-heme (enzim flavin-iron, transferrin, dan ferritin).
Tubuh membutuhkan zat besi untuk sintesis protein pembawa oksigen, dan untuk
pembentukan enzim heme dan enzim lainnya yang terlibat dalam transfer elektron
dan reaksi oksidasi-reduksi dalam tubuh (Hurrell, 1997). Sebagai komponen dari
mioglobin, protein yang memberikan oksigen ke otot, besi mendukung
metabolisme (Aggett, 2012). Besi juga diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan, fungsi sel normal, dan sintesis beberapa hormon dan jaringan ikat
(Murray, 2010). Hampir dua pertiga dari besi dalam tubuh terkandung pada
hemoglobin yang ada didalam sirkulasi eritrosit, 25% yang terkandung di tempat
penyimpanan besi yang dapat bergerak (mobilizable iron store), dan 15% sisanya
terikat dengan mioglobin dalam jaringan otot dan dalam berbagai enzim yang
terlibat dalam metabolisme oksidatif dan banyak fungsi sel lainnya (Yates, 2001).
6
ke berbagai jaringan tubuh oleh transferrin, suatu zat pengangkut besi yang
terdapat di plasma darah. 75 % zat besi yang terserap akan disuplai ke sum-sum
tulang untuk pembentukan sel darah merah (eritropoiesis), 5-15 % untuk proses
lain didalam tubuh, dan 10-20 % akan disimpan didalam molekul ferritin. Setelah
diserap, zat besi dapat hilang melalui mekanisme fisiologis untuk ekskresi zat besi
dari tubuh yaitu kehilangan darah pada kehamilan, menstruasi, maupun keringat
(Hurrell, 2014). Fraksi besi yang diserap dari jumlah yang dikonsumsi biasanya
rendah berkisar dari 14 - 18%, tergantung pada keadaan dan jenis besi (Mcdowell,
2003).
7
Tabel 2.1. Kandungan zat besi pada beberapa sumber makanan
Jenis Makanan Jumlah Zat Besi (mg)
8
Tabel 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi didalam
tubuh
Inhibitor utama dalam penyerapan zat besi oleh tubuh adalah asam fitat,
polifenol, kalsium, dan peptida dari protein yang tidak dicerna secara sempurna.
Pada sumber makanan nabati yaitu kacang-kacangan dan tumbuhan serealia,
fitat (myo-inositol heksakisfosfat) merupakan inhibitor utama dalam
penyerapan zat besi (Hurell, 2010). Bahan makanan yang mengandung fitat
akan menghambat penyerapan besi karena bahan tersebut akan mengikat besi
dalam usus sehingga bersifat tidak larut dan menurunkan bioavailabilitasnya (
Susiloningtyas, 2006). Efek negatif fitat pada penyerapan zat besi telah teruji
bergantung pada besarnya konsentrasi dan berpengaruh mulai dari konsentrasi
rendah yaitu 2-10 mg per sumber makanan. Polifenol terdapat pada berbagai
sumber makanan berbasis tanaman seperti sayuran, buah, sereal, teh, kopi, dan
anggur. Efek inhibisi polifenol telah teruji dengan teh hitam dan teh hijau
(Hurell, 1999). Kalsium mempunyai efek negatif pada penyerapan zat besi
heme dan non-heme. Efek inhibisi ditunjukkan pada penambahan 75-300 mg
kalsium dari roti dan 165 mg kalsium dari produk susu (Hallberg, 1991).
Protein hewani seperti telur, albumin, dan susu juga berpengaruh dalam proses
inhibisi penyerapan zat besi (Cook, 1976). Dua fraksi protein susu sapi yaitu
kasein dan dadih, dan putih telur telah terbukti menghambat penyerapan zat
besi pada manusia (Hurell, 1988). Protein dari kacang kedelai juga dapat
menurunkan penyerapan zat besi (Lynch, 1994).
9
Gambar 2.1 Proses Metabolisme Zat Besi dalam Tubuh
(Whytnei et al., 1987)
2.1.3. Kebutuhan Zat Besi Manusia
Selama awal masa bayi, kebutuhan zat besi dipenuhi oleh sejumlah kecil
zat besi yang terkandung dalam ASI. Kebutuhan zat besi meningkat tajam pada
4-6 bulan setelah kelahiran dan mencapai sekitar 0,7-0,9 mg/hari selama sisa
bagian dari tahun pertama. Antara 1-6 tahun, kandungan besi dalam tubuh
menjadi dua kali lipat. Kebutuhan zat besi juga sangat tinggi pada masa remaja,
khususnya selama periode pertumbuhan yang cepat. Remaja putri biasanya
memiliki percepatan pertumbuhan mereka sebelum menstruasi pertama, namun
pertumbuhan belum selesai pada saat itu. Pada remaja laki-laki ditandai dengan
massa dankonsentrasi hemoglobin yang meningkat selama masa pubertas.
Dalam tahap ini, kebutuhan besi meningkat ke tingkat di atas kebutuhan zat
besi rata-rata pada wanita menstruasi (World Health Organization, 2004).
10
Tabel 2.3. Jumlah zat besi yang terserap dari 97,5% individu, menurut
kelompok umur dan jenis kelamin
Anak-anak 1.17
Remaja 2.02
Pria dewasa 1.92
Wanita hamil 1.14
Trisemester pertama 0.8
Trisemester kedua dan ketiga 6.3
Wanita menyusui 1.31
Wanita menstruasi 2.38
Wanita post menopause 0.96
11
2.2 Enkapsulasi
Enkapsulasi merupakan metode penjebakan senyawa aktif dalam suatu
material pelindung (shell/coating) sehingga interaksi antara senyawa aktif dengan
senyawa-senyawa lain menjadi terbatas.. Substansi yang terenkapsulasi
dinamakan core material/activeagent, sementara substansi yang mengenkapsulasi
dinamakan carrier/coating material. Active agent adalah zat padat, cair, atau gas
yang seluruhnya terlapisi secara kontinyudidalam coating material (King, 1995).
Komposisi active agent pada teknologi enkapsulasi bervariasi, mengingat active
agent dapat tersebar dan/atau terlarut didalam coating material. Active agent dapat
berupa suatu campuran konstituen aktif, stabilisator, pengencer, atauakselerator.
Kemampuan enkapsulasi untuk beragam komposisi active agent menghasilkan
proses yang efektif dan fleksibilitas sifat enkapsulasi yang diinginkan (Umer,
2011).Salah satu tujuan enkapsulasi adalah melindungi senyawa aktif agar
terhindar dari degradasi yang disebabkan karena eksposure terhadap lingkungan
seperti air,oksigen,panas dan cahaya.Pada beberapa kasus, enkapsulasi digunakan
untuk menutupi rasa,warna dan rasa yang akan merusak tampilan produk,
mencegah reaksi dan interaksi yang tidak diinginkan antar senyawa aktif dan
antara senyawa aktif dengan komponen makanan lainnya. Selain itu, enkapsulasi
memfasilitasi pengiriman senyawa dimana absopsi berlangsung di dalam tubuh.
Enzim dan pH menjadi pencetus pelepasan senyawa aktif di saluran pencernaan
(Sobel et al., 2014).
12
tidak beracun dan biodegradable, serta mampu membentuk pembatas antara active
agent dengan lingkungan sekitarnya.
13
(ukuran, struktur, warna, kelarutan dalam minyak/air), meningkatkan efek
visibilitas produk, mampu memfasilitasi produk makanan yang lebih sehat dan
bercita rasa tinggi. (Zuidam, 2010)
Zat besi yang dapat dienkapsulasi tersedia dalam bentuk senyawa ferrous
sulfate, ferrous fumarate, ferric pyrophosphate maupun elemental Fe.
Rekomendasi bentuk senyawaini didasarkan pada sifat sensori senyawa yang baik
dan hasil dari studi isotop pada orang dewasa yang melaporkan bahwa nilai
penyerapan zat besi yang sama untuk fumarat dan sulfat (Hurrell, 2010).
14
dengan bioavailabilitas tingi pada bahan makanan dengan komposisi kimia yang
kompleks tanpa terjadi perubahan rasa dan warna. Selain itu, enkapsulasi
meningkatkan stabilitas produk serta memperpanjang shelf life produk
terfortifikasi dengan pencegah besi terlibat reaksi oksidasi lemak. Zat besi
terenkapsulasi cocok untuk fortifikasi produk makanan kering maupun produk
makanan dengan minimal (Hurrell et al., 2004).
2.4 Glukomannan
Glukomanan (GM) adalah komponen terbesar yang terdapat dalam umbi
porang dengan berat molekul yang cukup tinggi antara 105 -106 gr/mol , derajat
kristalinitasnya rendah serta dimanfaakan sebagai agen pembuat gel, pengental
makanan, dan dietary fiber (Bambang, 2015 dan Li, 2006)
15
Glukomanan memiliki daya absorbansi yang tinggi dalam air dan gel yang
stabil ketika dipanaskan dengan alkali (Mohamed, 2015). Glukomanan tidak akan
membentuk gel ketika gugus asetilnya mencegah rantai panjang glukomanan
untuk saling bertemu satu sama lain. Tetapi, glukomanan dapat membentuk gel
dengan pemanasan sampai 85℃ dengan pada kondisi pH 9 – 10. Gel ini bersifat
tahan panas (thermo irreversible gel) dan tetap stabil dengan pemanasan ulang
pada suhu 100℃ atau bahkan pada suhu 200℃. Glukomanan membentuk gel yang
bersifat tahan panas di dalam koagulan basa seperti Na2CO3 dengan adanya
pemanasan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maekaji (1974) mengatakan
bahwa glukomanan kehilangan gugus asetilnya pada keadaan basa, dan
glukomanan yang kehilangan gugus asetilnya kemudian berkumpul satu dengan
yang lain bergabung dengan ikatan hidrogen, sehingga rantai glukomanan akan
membentuk ikatan yang baru. Dengan cara demikian, gugus asetil inilah yang
pada akhirnya berperan utama untuk membentuk gel. Dampak dari penambahan
alkali / basa ini memudahkan deasetilasi dari rantai-rantai glukomanan. Hal
tersebut telah diterima secara luas bahwa deasetilasi yang menyebabkan
pembentukan gel oleh glukomanan (Joko dan Bertha, 2009).
16
2000 kDa, viskositas tinggi, dapat membentuk film yang sangat baik serta stabil
pada air dingin maupun panas (Yang, Xiao dan Ding, 2009).
17
dan kekuatan basa mempengaruhi kemampuan hidrolisa. Kemampuan hidrolisa
KOH lebih lemah dari NaOH karena derajationisasi KOH yang lebih rendah
daripada NaOH dalam media alkohol. Pengaruh berbagai konsentrasi larutan
NaOH terhadap daya swelling dan struktur hidrogel yang dihasilkan adalah
semakin besar konsentrasi NaOH maka daya swelling akan semakin kecil
(Prasetya dkk, 2015). Sedangkan pengaruh rasio tepung porang murni terhadap
daya swelling adalah semakin besar rasio massa tepung porang maka daya
swelling juga semakin besar (Xian, 2008).
Glukomannan dapat larut dalam air namun tidak larut dalam ethanol.
Terdapat 2 keuntungan dalam melakukan proses deasetilasi pada media ethanol.
Ethanol dapat memperlambat penetrasi alkali dengan mencegah swelling
18
glukomannan dan dapat mendukung reaksi deasetilasi dengan meningkatkan
alkalinitas pada sistem. Pada penelitian yang dilakukan oleh Li (2014), derajat
deasetilasi menunjukkan peningkatan, kemudian menurun secara perlahan seiring
dengan bertambahnya konsentrasi ethanol. Hal ini terjadi karena sebelum
konsentrasi ethanol mencapai 80%, deasetilasi secara dominan dipengaruhi oleh
larutan alkali, namun saat konsentrasi ethanol lebih dari 80%, deasetilasi
dipengaruhi oleh efek ethanol yang memperlambat penetrasi larutan alkali dengan
mencegah swelling dari glukomannan.
Deasetilasi lebih baik dijalankan pada suhu yang semakin tinggi. Hal ini
dapat dikorelasikan dengan fakta bahwa semakin tinggi suhu akan menyebabkan
meningkatnya keaktifan OH- dan penetrasinya kedalam makromolekul
glukomannan, yang akan mempercepat frekuensi penyerangan gugus ester (Ye,
2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Li (2014), dilaporkan bahwa derajat
deasetilasi (DD) meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Hal ini sesuai
dengan prinsip dasar deasetilasi glukomannan yaitu semakin lama waktu reaksi
OH- dengan gugus asetil akan meningkatkan probabilitas reaksi sehingga gugus
asetil yang tersubstitusi oleh OH- akan lebih banyak. DD meningkat tajam dalam
satu jam pertama (0 - 64,06%), sedangkan pada waktu berikut (1 - 72 jam), DD
meningkat perlahan. Hal ini terjadi karena deasetilasi merupakan jenis reaksi
substitusi nukleofilik yang tergantung pada konsentrasi substrat dan produk. Pada
awal reaksi produkDD rendah, kemudian terjadi reaksi yang cepat. Seiring dengan
meningkatnya waktu DD, terjadi penurunan jumlah gugus asetil pada produk
yang menyebabkan reaksi substitusi nukleofilik semakin lambat (Ye, 2014).
19
suspensi koloid. Dengan hal ini, glukomanan mempunyai kelarutan yang tinggi.
Kelarutan glukomanan dapat diturunkan dengan cara deasetilasi. Glukomanan
yang terdeasetilasi dapat lebih sukar larut pada air dan membentuk struktur gel
sehingga dapat dijadikan hydrogel (Prasetya, 2015).Dengan berkurangnya sifat
kelarutan glukomanan maka glukomanan dapat dijadikan sebagai matrik
enkapsulasi. Pada enkapsulasi besi sifat glukomanan yang telah terdeasetilasi
mampu meminimalisir terjadinya oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ akibat kontak
dengan O2 yang terlarut pada air (Salmin, 2005). Pengurangan penyerapan air
akan sangat penting dalam kestabilan dan efektivitas dari serbuk enkapsulasi
(Onwulata et al., 1998). Pada penelitian Gusdinar et al., (2011) dengan
menggunakan kopolimer gelatin-maltodekstrin untuk mengenkapsulasi pigmen
karotenoid. Enkapsulasi ekstrak karotenoid N.intermedia dengan kopolimer
gelatin-maltodekstrin dilakukan untuk memperbaiki sifat kelarutan karotenoid
tersebut di dalam air selain itu juga mengukur yield enkapsulasi dan
stabilitasnya.Dalam hal ini permukaan membran dari disakarida tersebut bersifat
kedap air dengan resistensi tinggi terhadap difusi pada kadar air yang rendahatau
membentuk formasi kompleks. Dengan proses enkapsulasi rangkap dapat
meningkatkan kemampuan menghalangi air masuk ke dalam partikel. Halangan
tersebut dapat dibentuk melalui suatu kombinasi penyalutan menggunakan zat
lilin sehingga dapat membentuk dinding rangkap. Oleh karena itu pengurangan
sifat kelarutan matrik enkapsulasi mempengaruhi kinerja dan stabilitas
enkapsulasi.
20
BAB III
METODE PELAKSANAAN
Deasetilasi glukomanan
21
3.2. Bahan dan Alat yang Digunakan
3.2.1. Bahan
Tepung porang
NaOH
Iron salt ( Ferrous suphatehepta hydrate)
Etanol 40%, 60%, 80%, 96%
HCl
PP
H2SO4
Bubuk Ferrous sulfat
Fenantrolin
Aquadest
Trichloroethylene (TCE)
3.2.2. Alat
Magnetic stirrer
Oven
Timbangan digital
Viskosimeter
Pipet tetes
Centrifuge
Gelas ukur
Kompor listrik
Labu digester
Cawan
Erlenmeyer
Beaker glass
22
Deasetilasi dilakukan pada labu leher tiga yang dilengkapi dengan
pendingin Liebig, magnetic stirrer dan heater dengan control suhu menggunakan
thermostat.
23
- Ratio Glukomanan : Ferrous sulfat (gram) 2:1 ; 2,5:1 ; 3:2
3.5.3. Loading
24
3.6. Analisis
dan V1 merupakan volume HCl yang terpakai untuk larutan sampel (ml). ωo
adalah kandungan asetil pada KGM,danωadalah kandungan asetil pada Da-KGM
3.6.2. Viskositas
25
3.6.3. Solubility
26
c. Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 520 nm
Larutan hasil preparasi dekstruksi kering diambil 0,1 mL dan dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 mL. Kemudian ditambahkan 1,1 mL natrium tiosulfat 100
ppm dan 1,5 mL larutan 1,10-fenantrolin 1000 ppm. Untuk menjaga pH tetap
asam maka ditambahkan larutan buffer asetat 1,5 mL pH 4,5, kemudian
ditambahkan aseton sebanyak 5 mL dan diencerkan menggunakan aqua DM
hingga tanda batas. Larutan tersebut dikocok dan didiamkan selama 120 menit,
kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer Uv-Vis pada
panjang gelombang maksimum. Ppengkuran sebanyak 3 kali.
d. Pengolahan data
1. Membuat kurva baku yang menunjukkan relasi konsentrasi Fe (x) dan
absorbansi (y). Lakukan teknik regresi linear untuk mendapatkan
persamaan matematika absorbansi seagai fungsi dari konsentrasi Fe.
2. Menentukan konsentrasi besi pada sampel berdasarkan absorbansi terukur
dengan kurva baku yang telah dipersiapkan
3.6.5.Analisa Yield
Analisis Yield
𝑀𝑆𝐴
% 𝐸𝑌 = 𝑀𝑆𝐵 x 100% (5)
Keterangan:
27
fitat. Analisa ini berdasarkan Bezbaruah dkk. (2011) yang menggunakan
Trichloroethylene (TCE) sebagai zat pendegradasi. Prosedur analisa ini yaitu
semua variabel dikontakkan dengan TCE di dalam beaker glass berbeda. TCE
sebayak 25 mL digunakan untuk direaksikan dengan 30 mg sampel. Semua
beaker glass diputar pada kecepatan 28 rpm di rotary shaker selama 90 menit.
Setelah proses selesai maka akan dilanjutkan dengan menimbang zat besi yang
sudah direaksikan dengan TCE dan membandingkannya dengan berat zat besi
sebelum direaksikan dengan TCE.
3. Oksidasi
Analisis oksidasi dilakukan pada suhu, pencahayaan dan kelembaban
lingkungan. Pengamatan akan dilakukan selama 7 hari yang kemudian diambil
sampelnya setiap hari. Selanjutnya dilakukan analisa kadar Fe2+ dengan metode
perhitungan Fe seperti pada sub bab 3.6.4. Perhitungan dilakukan setelah dan
sebelum dilakukan pemaparan pada suhu dan pencahayaan tertentu.
28
BAB IV
JADWAL KEGIATAN
No Jenis Bulan
Kegiatan 1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Studi
Literatur
2. Pembuatan
Proposal
Penelitian
3. Penyiapan
Bahan dan
Alat
4 Penelitian
5. Analisa
Hasil
6 Pembuatan
Laporan
Akhir dan
Artikel
7. Presentasi
Hasil
29
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour, N., Hurrell, R, & Kelishadi, R. (2014). Review on Iron and its importance
for Human Health Journal Research in Medical Science, 164-174.
Ashok, P. k., & Upadhayaya, k. (2012). Tannins are Astriagent. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry , Journal No: 8192, Vol. 1, Issue 3.
Chen, J., Li, B. (2011). Identification o Molecuar Driving orces Involved
Hydrophobic Association. Carbohydrate Polymers, 86(2), 865-871
Comunian, T.A., Thomazini, M., Alves, A.J., Junior, F.E., Balieiro, J.C., & Trindade,
C. S. (2013). Microencapsulation of Ascorbic Acid by complex Coacervation:
Protection and Controlled Release. Food Research International, 373-379.
Fang, Z., & Bhandari, B. (2010). Encapsulation of Polyphenols a review. Food
science & Technology, 510-523
Gallarate, M., Carlotti, M. E., Trotta, M., & Bovo, S. (1999). On the Stability of
Ascorbic Acid in Emulsified System for Topical and Cosmetic Use.
International Journal of Pharmaceutics, 233-241.
Gaucheron, F. (2000). Iron fortification in dairy industry. Trends in Food Science and
Technology, 11, 403–409.
Gharsallaoni,, A., Roudaut, G. Chambin, O., Voilley, A., & Saurel, R. (2007).
Applications of Spray-drying in Microencapsulation of Food Ingridients: An
Overview. Food Research International, 117-1121.
Hur, S.J., Lee, S. Y., & Lee, S. J. (2015). Effect of Biopolymer Encapsulation on The
Digestibility of Lipid and Cholesteroll Oxidation Products in Beef During in
vitro Human Digestion. Food Chemistry, 254-260.
James, C.S. (1995). Analytical Chemistry of Food. London : Blackie Academic &
Professional.
Kainuma,K., Odat, T., & Cuzuki, S. (1967). Study of Starch Phoshates Monoster. J.
Tecnol. Soc. Starch, 14: 24-28.
Li, J.-M., &Nie, S.-P., The functional and nutritional aspects of hydrocolloids in
foods, Food Hydrocolloids (2015),
30
http://dx.doi.org/10.1016/j.foodhyd.2015.01.035
Liu, F., Luo, X., Lin, X. (2010). Adsorbtion of Tannin from Aqueous Solution by
Deacetylated Konjac Glucomanan Journal of Hazerdous Materials,
178(1),844e850
Liu,J., Wang, H., Yin, Y., Cai,P., & Yang, S. (2012). Controlled Acetylation of
Watersolublle Glucomanan from Bletillla Striata. Carbohyrate Polymers, Vol.
89, 158-162.
Liyanage, c., & Zlotkin, S. (2002). Bioavailability of Iron from Micro-Encapsulated
Iron Sprikle Supplement. Food and Nutrition Bulletin, Vol. 23, No. 3.
Madane, A., Jacquot, M., Seher, J., & Desobry, S. (2006). Flavour Encapsulation and
Controlled Release- A Review. International Journal Of Food Science and
Technology 1-21.
Mohanraj, V.J. & Chen, y. (2006). Nanoparticles-A Review. Topical Journal of
Pharmaceutical Research, 561-573.
Nedovic, V., kalusevic, A., Manojlovic, V., Levic, S., & Bugarski, B. (2011). An
Overview of Encapsulation Technologies for Food Application. Procedia Food
Science, 1806-1815.
Onwulata, C.I.. konstance, R.P. dan holsinger, V.H. (1998), Properties of Single- and
Double-Encapsulated Butteroil Powders, Journal of Food Science, 63, No. 1
Pan, Z Meng, J., & Wang, Y. (2011). Effect of Alkalis on deacetilation of Konjac
Glucomanan in Mechano-Chemical Treatment. Particuology, 265-269.
Petranovic, D., Batinac, T., Petranovic, D., Ruzic, A. & Ruzic, T. (2008). Iron deficiency
anemia influences cognitive function. Medical Hypotheses, 70, 70–72.
Pramita D.S.( 2008). Pengaruh Teknik Pemanasan terhadap Kadar Fitat dan Aktivitas
Antioksidan Koro Benguk (Macuna pruriens) Koro Glinding (Phaseolus
Innatus), dan Koro Pedang (Canavallia ensiformis. Semarang Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro
Prube, U., Wittlich, P., Vorlop, K.D., Jahnz, U., & Breford, J. (2002). Bead
production with JetCutting and Rotating Disk / Nozzle Technologies. Aus dem
Institute fur Technologie und Biosystemtechnik, 241:1-10.
Rivas, E. R., Juliano, P., Yan, H., & Conavas, G.B. (1990). Food Powders: Physical
31
Properties Processing, andFunctionality. United State: Springer.
Schrooyen, P.M., vanderMeer, R., & Kruif, C. (2001). Microencapsulation: its
Application in Nutrition. Proceedings of The Nutrition Society, (pp. 475-479).
Soeparman, & Waspadji, S. (1990). Ilmu Penyakit Dalam II Jakarta: FKUI.
Stoltzfus, R J and Dreyfuss, M L, 2004, Guidelines for the Use of Iron Supplements to
Prevent and Treat Iron Deficiency Anemia, ILSI Press, Washington, 2004
Vemmer, M., & Patel, A.V. (2013). Review of Encapsulation Methods Suitable or
Microbial Biological Control Agents. Biological Control, doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2013.09.003.
Wang,, K., & He, Z. (2002). Alginate-Konjac Glucomanan-Chitosan Beads as
Controlled Release Matrix. International Journal of Pharmaceutics, 117-126
Yang, J., Xiao, J., & Ding, L. (2009). An Investigation Into The Application of
Konjac Glucomannan as A Flavor Encapsulant. Eur Food Res Technol,
229:467:474.
Yuniati, F. (2006). Penentuan Konsentrasi Fe2+ dan Fe3+ secara simultan dengan
spektrofotometri Tampak Menggunakan Pengompleks Ortho-fenantrolin
Seminar Tugas Akhir Jurusan Kimia FMIPA UNDIP. Semarang: Jurusan
Kimia UNDIP
Zilberboim, R., Kopelman, I. J., & Talmon, Y. (1986). Microencapsulation by
adehydrating liquid: retention of paprika oleoresin and aromatic esters.
Journalof Food science, 51(5), 1301e1306.
Zimmermann, M. B., & Windhab, E. J. (2010). Encapsulation Technologies for Active
FoodIngredients and Food Processing. United State: Spriger.
Zuidam, N J, 2012, An industry perspective on the advantages and disadvantages of
iron micronutrient delivery systems, in Encapsulation technologies and
delivery systems for food ingredients and Nutraceuticals, Edited by Garti, N
and McClements, D J, Woodhead Publishing Limited, Cambridge, p 505-540.
32