You are on page 1of 21

DETERMINAN SOSIO-EKONOMI, MODAL SOSIAL,

DAN IMPLIKASINYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT

Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat


Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka
Universitas Sebelas Maret Tanggal 7 Januari 2010

oleh:
Prof. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD

Universitas Sebelas Maret Surakarta


2009
Bismillahirohmanirrohim

Yang saya hormati,

Rektor/ Ketua Senat, Pembantu Rektor, Sekretaris Senat, dan para Anggota Senat Universitas
Sebelas Maret Surakarta

Para Guru Besar Tamu


Para pejabat dari jajaran Pemerintah Kota Surakarta
Para pejabat Sipil dan Militer

Diektur Program Pascasarjana, seluruh Dekan, Ketua Program Studi, Ketua Jurusan, Kepala Bagian
dan Subagian, Kepala UPT, Kepala Laboratorium, seluruh Tata Usaha serta Tenaga Adminisitrasi
di Universitas Sebelas Maret Surakarta

Seluruh Direktur beserta Wakilnya dan para Kepala Bagian Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta di
Surakarta dan sekitarnya

Teman sejawat dan segenap Civitas Academica Universitas Sebelas Maret Surakarta

Para tamu undangan, sanak keluarga, handai taulan, dan hadirin yang saya muliakan.

Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokaatuh

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Hadirin yang saya muliakan,

Mengawali pidato pengukuhan saya pagi ini, marilah bersama kita panjatkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayahNya, sehingga kita dapat
berkumpul di Auditorium Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam keadaan sehat wal afiat untuk
menghadiri sidang Senat Terbuka dengan acara pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam Ilmu
Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Saya menghaturkan terima kasih kepada Bapak Rektor/ Ketua Senat Universitas Sebelas Maret
yang telah mengizinkan saya menyampaikan pidao pengukuhan yang berjudul:

DETERMINAN SOSIO-EKONOMI, MODAL SOSIAL,


DAN IMPLIKASINYA BAGI KESEHATAN MASYARAKAT

Hadirin yang saya muliakan,

Dalam tempo 100 tahun terakhir dunia telah menyaksikan peningkatan umur harapan hidup yang
dramatis (dua kali lipat) dari rata-rata 35 tahun pada awal abad ke 20 menjadi 65 tahun pada akhir
abad ke 20. Perubahan tersebut merupakan hasil dari perbaikan dalam kesehatan masyarakat,
pelayanan medik, dan nutrisi.

Tetapi peningkatan status kesehatan seperti umur harapan hidup yang makin panjang dan indikator-
indikator lainnya seperti angka kesakitan, angka kematian, dan kualitas hidup terkait kesehatan,
tidak tersebar dengan merata atau adil antar populasi. Terdapat kesenjangan kesehatan (health
inequity) yang mencolok antara masyarakat di negara kaya dan negara miskin, antarwilayah di
dalam suatu negara, dan antarmasyarakat dengan berbagai latar belakang status sosial ekonomi.

Padahal kesehatan merupakan hak azasi manusia, yang seharusnya tidak memihak kepada status
sosial-ekonomi tertentu. Sebagai contoh, kesehatan seharusnya tidak memihak kepada orang kaya
dan menjauhi orang miskin. Tetapi kenyataannya di negara maju maupun negara berkembang,
masyarakat miskin lebih banyak dan lebih sering mengalami penyakit daripada masyarakat mampu.

Dalam upaya untuk meningkatkan kesehatan populasi, agenda kesehatan internasional dalam
beberapa dekade menunjukkan kecenderungan yang terbelah antara dua pilihan: (1) Pendekatan
yang mengandalkan intervensi medik dan kesehatan masyarakat yang berbasis teknologi; dan (2)
Pendekatan yang memandang kesehatan merupakan suatu fenomena sosial, yang memerlukan
bentuk kompleks langkah-langkah kebijakan intersektoral untuk mencapainya.

Sudah sejak lama telah diketahui dan diakui bahwa determinan sosio-ekonomi memiliki peran
penting bagi kesehatan, penyakit, dan mortalitas (Townsend dan Davidson, 1982; Pearce dan
Davey-Smith, 2003). Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendekatan sosial di dalam
pengorganisasian dan penyelenggaraan kesehatan masyarakat memiliki potensi untuk mengurangi
kesenjangan kesehatan antarkelompok, dan meningkatkan kesehatan kelompok-kelompok yang tak
diuntungkan di dalam masyarakat (d’Hombres et al., 2007).

Sejak awal berdirinya WHO, konstitusi tahun 1948 dari organisasi kesehatan sedunia itu dengan
jelas mengakui adanya dampak kondisi sosial dan politik terhadap kesehatan, dan perlunya
kolaborasi antarsektor, seperti pertanian, pendidikan, perumahan, dan kesejahteraan sosial, untuk
mencapai tujuan kesehatan. Tetapi sejak tahun 1950 dan 1960an terdapat pergeseran arah kebijakan
WHO dan negara-negara anggota yang menekankan intervensi kesehatan “vertikal” yang
mengandalkan teknologi dengan hanya sedikit memberikan perhatian kepada konteks struktural
sosial-ekonomi (CSDH, 2007).

Pada 1978 model pendekatan sosial tentang kesehatan mengalami kebangkitan kembali dengan
dikemukakannya Deklarasi Alma-Ata tentang “Primary Health Care” dan munculnya gerakan
“Health For All”. Deklarasi tersebut mengingatkan kembali perlunya meningkatkan upaya untuk
memperbaiki kesetaraan kesehatan dengan cara memperbaiki kondisi-kondisi sosial melalui
program intersektoral (CSDH, 2007).

Pada awal abad ke 21 PBB mencanangkan sembilan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goals) sebagai berikut: pengentasan kemiskinan, eliminasi kelaparan, pendidikan
untuk semua, kesetaraan gender, kesehatan anak, kesehatan maternal, pengendalian HIV/AIDS,
kelestariaan lingkungan, dan kemitraan global. Tujuan pembangunan tersebut merupakan tujuan-
tujuan sosial ekonomi yang berdampak kepada kesehatan, penyakit, dan mortalitas.

Menyadari masih terdapat kesenjangan kesehatan yang lebar, WHO dalam World Health Report
2008 menegaskan perlunya reformasi dalam sistem kesehatan di semua negara anggota untuk
mencapai kesetaraan kesehatan, keadilan sosial, pengakhiran eksklusi sosial, melalui akses
pelayanan kesehatan universal dan perlindungan kesehatan sosial (WHO, 2008).

Pidato pengukuhan ini memberikan telaah peran determinan sosial ekonomi dalam mempengaruhi
kesehatan dan upaya untuk meningkatkan kesehatan individu dan masyarakat. Tujuannya adalah
untuk mengingatkan bahwa kebijakan di semua level – di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, di

3
lembaga pemerintah maupun swasta, dan di tempat kerja maupun komunitas – hendaknya
mempertimbangkan determinan sosial, ekonomi, dan politik, di samping pelayanan medik dan
kesehatan masyarakat, agar tujuan meningkatkan kesehatan kesehatan populasi dapat dicapai
dengan lebih adil.

Epidemiologi dan Determinan Sosio-Ekonomi Kesehatan

Hadirin yang saya muliakan,

Pembahasan tentang determinan sosio-ekonomi akan saya dekati dengan perspektif disiplin ilmu
yang paling relevan, yaitu epidemiologi. Tahun 1983 Asosiasi Epidemiologi Internasional (IEA)
mendefinisikan epidemiologi “ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan keadaan dan
peristiwa terkait kesehatan pada populasi-populasi tertentu, dan penerapannya untuk mengendalikan
masalah-masalah kesehatan” (Last, 2001).

Epidemiologi merupakan sains inti dari ilmu kesehatan masyarakat. Berbeda dengan mispersepsi
banyak orang, epidemiologi sesungguhnya bukan sekedar deskripsi tentang insidensi dan prevalensi
penyakit menurut orang, tempat, dan waktu. Epidemiologi merupakan sains yang mempelajari
determinan penyakit pada populasi manusia. Determinan adalah istilah inklusif yang merujuk
kepada semua faktor, baik fisik, biologi, perilaku, sosial, maupun kultural yang mempengaruhi
kesehatan dan terjadinya penyakit (Last, 2001). Konsep determinan kesehatan mencakup faktor
risiko dan kausa.

Faktor risiko adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam (atribut) atau dari luar (paparan) yang
berhubungan dengan meningkatnya probabilitas terjadinya suatu penyakit. Atribut adalah
karakteristik intrinsik dari individu (misalnya, umur, jenis kelamin, kerentanan genetik, status
imunitas, berat badan). Sedang paparan (exposure) adalah faktor risiko lingkungan di luar individu
(misalnya, agen infeksi, agen toksik, nutrisi, perumahan, pekerjaan).

Kausa adalah kombinasi dari faktor-faktor risiko tersebut, yang secara sendiri atau bersama
(multifaktor), pada suatu saat di dalam siklus hidup individu, menghasilkan suatu penyakit pada
individu tersebut.

Determinan sosial-ekonomi kesehatan adalah kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang melatari
kehidupan seorang, yang mempengaruhi kesehatan (Wikpedia, 2009). Cabang epidemiologi yang
mempelajari distribusi sosial dan determinan sosial kesehatan adalah epidemiologi sosial.
Epidemiologi sosial mempelajari karakteristik spesifik dari kondisi-kondisi sosial dan mekanisme
dari kondisi-kondisi sosial itu dalam mempengaruhi kesehatan (Krieger, 2001).

Epidemiologi sosial mempelajari peran variabel di tingkat individu, misalnya, gender, umur,
pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, status sosial, posisi dalam hirarki sosial. Tetapi epidemiologi
sosial juga mempelajari peran variabel-variabel sosial, seperti kondisi kerja, pendapatan absolut
wilayah, distribusi pendapatan, kesenjangan pendapatan, perumahan, ketersediaan pangan, modal
sosial, eksklusi sosial, isolasi sosial, kebijakan kesehatan tentang penyediaan pelayananan
kesehatan (misalnya, akses universal terhadap pelayanan kesehatan), dan pembiayaan pelayanan
kesehatan (misalnya, ketersediaan jaring pengaman sosial).

Gambar 1 memeragakan model pendekatan epidemiologi sosial untuk memahami determinan sosial
kesehatan dan disparitas kesehatan (National Academy of Sciences, dikutip Kaplan, 2004) Model

4
itu memperlihatkan determinan hilir (proksimal, mikro) dan hulu (distal, makro) sebagai lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan individu dan populasi sepanjang hayat

Gambar 1 Determinan hilir dan hulu bagi kesehatan individu dan kesehatan
populasi (National Academy of Sciences, dikutip Kaplan, 2004).

Model tersebut menjelaskan bahwa determinan kesehatan tidak terletak di satu tingkat, melainkan
beberapa tingkat (multilevel). Model tersebut mengingatkan para praktisi kesehatan agar tidak
terjebak pada cara pandang yang sempit, terlalu simplistik, yang mereduksi kausa kesehatan hanya
terletak di tingkat hilir (proksimal), yakni tingkat biologis-medis.

Teori Distribusi Kesehatan

Hadirin yang saya muliakan,

Uraian saya akan saya teruskan tentang teori yang menjelaskan mengapa determinan sosio-ekonomi
mempengaruhi kesehatan individu dan populasi.

Epidemiologi sosial kontemporer mengenal tiga teori yang menjelaskan kesenjangan kesehatan
(Krieger, 2001; CSDH, 2007): (1) Pendekatan psikososial; (2) Produksi sosial penyakit/ ekonomi
politik kesehatan; (3) Teori ekososial. Ketiga teori tidak mutually exclusive melainkan
komplementer. Perbedaan hanya terletak dalam penekanan kondisi sosial dan biologis yang
membentuk kesehatan populasi, cara mengintegrasikan kondisi sosial dan biologis tersebut, dan
rekomendasi yang diberikan.

1. Pendekatan psikososial

Teori psikososial mengemukakan bahwa perbedaan status sosio-ekonomi mempengaruhi kesehatan


melalui persepsi tentang posisi seorang di dalam hirarki sosial (Kawachi et al., 1997; MacLeod dan
Davey-Smith, 2003). Perbandingan yang dilakukan seorang dengan orang lain mempengaruhi
kesehatan dan kesejahterannya. Faktor-faktor psikososial seperti stres, permusuhan, depresi, rasa
putus asa, dan kontrol pekerjaan, berhubungan dengan kesehatan fisik, khususnya penyakit jantung
(MacLeod dan Davey-Smith, 2003).

5
Di tingkat mikro, kesenjangan pendapatan menyebabkan proses kecemburuan sosial yang
memperkuat hirarki sosial, selanjutnya menyebabkan stres kronis, menyebabkan emosi-emosi
negatif seperti rasa malu, curiga, syak wasangka, yang akhirnya menyebabkan penurunan tingkat
kesehatan di kalangan masyarakat berpendapatan rendah, melalui mekanisme “psiko-neuro-
endokrin”, atau melalui terbentuknya perilaku-perilaku yang didorong oleh stres seperti merokok
(Wilkinson, 1992, 1996; Macleod dan Davey-Smith, 2003).

Pada tingkat makro, kesenjangan pendapatan mengikis kohesi sosial (socal cohesion) dan ikatan
sosial (social bonds) yang diperlukan orang untuk bekerja sama, sehingga menurunkan sumber-
sumber daya sosial, yang mengakibatkan berkurangnya tingkat kepercayaan dan partisipasi warga,
meningkatnya kejahatan, dan kondisi-kondisi tidak sehat lainnya.

Berbagai risiko psikososial yang terakumulasi sepanjang hayat meningkatkan risiko terjadinya
gangguan kesehatan jiwa dan kematian dini. Makin rendah letak seorang dalam hirarki sosial,
makin sering mengalami masalah-masalah tersebut (Wilkinson dan Marmot, 2003).

2. Produksi sosial penyakit/ ekonomi politik kesehatan

Teori ini secara eksplisit mengemukakan peran determinan ekonomi dan politik dalam
mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Pendekatan yang sering disebut “materialis” atau “neo-
materialis” ini tidak menyangkal tentang adanya konsekuensi psikososial yang negatif dari
kesenjangan pendapatan. Tetapi hubungan antara kesenjangan pendapatan dan kesehatan melewati
faktor struktural, bukan sekedar persepsi tentang kesenjangan. Faktor struktural tersebut, yaitu
proses ekonomi dan keputusan politik mengkondisikan tersedianya sumber-sumber daya bagi
individu-individu, dan membentuk infrastruktur publik – seperti pendidikan, pelayanan kesehatan,
transportasi, kontrol lingkungan, ketersediaan makanan, kualitas perumahan, regulasi kesehatan
kerja – yang membentuk matriks “neo-materialis” tentang kehidupan kontemporer (masa kini).

Pengaruh kesenjangan pendapatan terhadap kesehatan mencerminkan tidak hanya ketiadaan atau
kekurangan sumberdaya yang dihadapi individu-individu, tetapi juga rendahnya investasi pada
berbagai infrastruktur komunitas.

Pada level mikro, kesenjangan pendapatan individu berimplikasi kepada sedikitnya sumberdaya
ekonomi yang dimiliki orang-orang miskin, sehingga menyebabkan rendahnya kemampuan mereka
dalam menghindari risiko, menyembuhkan penyakit dan cedera, maupun mencegah penyakit.

Pada level makro, kesenjangan pendapatan menyebabkan rendahnya investasi sosial dan lingkungan
(perumahan sehat dan aman, sekolah yang baik, dan sebagainya) yang diperlukan untuk
meningkatkan kesehatan di antara orang-orang miskin.

3. Pendekatan ekososial

Dikemukakan oleh Krieger (2001), pendekatan ekososial bersifat multilevel, mencoba menganalisis
pola kesehatan dan penyakit pada populasi dalam kaitannya dengan organisasi biologis, ekologis,
dan sosial pada tiap-tiap level, mulai dari level sel, kelompok sosial manusia, hingga ekosistem
secara keseluruhan.

Teori ekososial berusaha memperoleh pandangan baru tentang pola distribusi kesehatan, dengan
cara menjelaskan pola kesehatan dan penyakit pada populasi sebagai suatu ekspresi biologis dari

6
relasi sosial, maupun sebaliknya untuk menjelaskan pengaruh sosial terhadap pola kesehatan dan
penyakit pada populasi sebagai ekspresi biologis.

Gambar 2 menyajikan kerangka konsep yang merangkum berbagai determinan kunci yang
mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan (CSDH, 2007)

Gambar 2. Kerangka determinan kunci yang mempengaruhi kesehatan


dan kesejahteraan (Sumber: CSDH, 2007)

Model Determinan Sosial Ekonomi

Berdasarkan teori distribusi kesehatan dapat dibuat beberapa model spesifik yang menjelaskan
mekanisme determinan sosial ekonomi dalam mempengaruhi distribusi kesehatan (Næss dan
Claussen, 2002; CSDH, 2007): (1) Seleksi sosial; (2) Kausasi sosial; dan (3) Perspektif sepanjang
hayat.

1. Seleksi sosial
Perspektif ini menjelaskan bahwa kesehatan mempengaruhi posisi sosio-ekonomi, bukan posisi
sosio-ekonomi mempengaruhi kesehatan. Kesehatan memberikan pengaruh kuat kepada individu
dalam mencapai posisi sosial (misalnya, pendapatan), sehingga menghasilkan pola mobilitas sosial,
di mana individu-individu yang tidak sehat akan bergeser ke bawah, dan individu-individu sehat
bergerak ke atas.dalam mobilitas sosial tersebut (CSDH, 2007).

2. Kausasi sosial
Perspektif ini menjelaskan bahwa posisi sosial mempengaruhi kesehatan melalui faktor-faktor
antara. Kelompok faktor utama yang telah diidentifikasi memiliki peran penting dalam
memerantarai terjadinya kesenjangan kesehatan adalah faktor material, psikososial, dan perilaku
dan/ atau faktor biologi. (CSDH, 2007)

7
Faktor material berhubungan dengan kondisi kesulitan ekonomi dan kondisi lingkungan fisik yang
merusak kesehatan, misalnya perumahan dan kondisi kerja yang buruk, dan sebagainya. Jalinan
antara faktor material dan keberuntungan sosial akan menyebabkan orang memiliki lebih banyak
sumberdaya seperti pengetahuan, uang, kekuasaan, prestise, dan koneksi sosial, sehingga lebih
mampu untuk menghindari risiko penyakit maupun mengadopsi strategi protektif untuk
kesehatannya.

Sebaliknya jalinan antara faktor material dan ketidakberuntungan sosial akan menyebabkan orang
kekurangan sumber daya tersebut, sehingga mengurangi kemmapuan orang untuk menghindari
penyakit dan memproteksi kesehatannya..

Faktor psikososial berhubungan dengan persepsi individu tentang posisinya dalam hirarki sosial
seperti dijelaskan dalam teori psikososial. Faktor-faktor yang relevan mencakup stresor (misalnya,
peristiwa hidup yang negatif), kondisi hidup yang penuh stres, ketiadaan dukungan sosial, dan
sebagainya.

Peneliti yang menggunakan model ini (misalnya, Marmot et al.) berargumen, kesenjangan sosio-
ekonomi dalam morbiditas dan mortalitas tidak semuanya bisa dijelaskan oleh faktor-faktor risiko
penyakit yang terkenal, baik perilaku maupun materi. Sebagai contoh, faktor-faktor risiko seperti
merokok, kolesterol serum yang tinggi, dan tekanan darah tinggi, hanya dapat menjelaskan kurang
dari separoh dari perbedaan sosio-ekonomi tentang mortalitas karena penyakit kardiovaskuler.
Menurut Marmot et al., adanya kesamaan tingkat faktor risiko pada sejumlah penyakit
mengisyaratkan beroperasinya faktor-faktor lain yang mempengaruhi kerentanan individu.

Faktor perilaku seperti merokok, pola konsumsi makanan, olahraga, merupakan determinan penting
yang memerantarai determinan sosial dengan distribusi kesehatan. Biasanya faktor-faktor perilaku
disebarkan secara tidak merata di antara posisi sosio-ekonomi yang berbeda, sehingga
menyebabkan kesenjangan kesehatan.

3. Perspektif sepanjang hayat

Pendekatan sepanjang hayat (life-course approach) secara eksplisit menekankan pentingnya


dimensi waktu dalam memahami hubungan kausal antara paparan dan kesehatan dan penyakit,
sepanjang perjalanan hidup individu, lintas generasi, maupun kecenderungan penyakit pada level
populasi (Næss dan Claussen, 2002, CSDH, 2007)

Perspektif sepanjang hayat memberikan perhatian langsung kepada determinan sosial kesehatan
yang beroperasi pada setiap level perkembangan – masa awal anak-anak, masa anak-anak, remaja,
dan dewasa. Perspektif ini mencoba memahami hubungan distribusi kesehatan sepanjang hayat
dalam suatu generasi.

Tetapi menurut Kuh dan Ben-Shlomo (1997), pendekatan sepanjang hayat tidak hanya bisa
digunakan untuk menjelaskan pengaruh sosial pada individu-individu selama satu generasi, tetapi
juga pada transmisi risiko biologis dan sosial lintas generasi. Artinya, perspektif ini dapat
digunakan untuk menjelaskan proses temporal sepanjang perjalanan hidup dari sebuah kohor
dengan kohor sebelumnya atau sesudahnya, dan manifestasi proses temporal itu dalam
kecenderungan penyakit yang terlihat sepanjang waktu pada level populasi.

Perspektif sepanjang hayat melibatkan dua model (CSDH, 2007): (1) Model masa kritis; dan (2)
Model akumulasi risiko. Model masa kritis memusatkan perhatian kepada paparan di suatu periode

8
tertentu yang memberikan pengaruh jangka panjang dan sepanjang hayat terhadap struktur organ,
fungsi organ, sistem jaringan dan tubuh, yang tidak mudah berubah pada pengalaman di kemudian
hari. Model ini juga dikenal sebagai pemrograman biologis (biological programming) atau model
laten. Hipotesis Barker tentang pengaruh intrauterin terhadap penyakit di masa dewasa, merupakan
contoh model masa kritis (Barker, 1989)

Model akumulasi risiko memberikan perhatian kepada adanya akumulasi pengaruh faktor-faktor
yang meningkatkan risiko penyakit atau sebaliknya memperbaiki status kesehatan sepanjang
perjalanan hidup. Model ini juga menekankan, terdapat masa perkembangan tertentu di mana
faktor-faktor itu memberikan dampak yang lebih besar daripada masa perkembangan lainnya.

Determinan Sosial-Ekonomi dan Implikasi Bagi Kebijakan

Hadirin yang saya muliakan,

Selanjutnya akan saya soroti secara khusus beberapa di antara determinan sosio-ekonomi dan
implikasinya bagi kebijakan.

Kelas Sosial

Kelas sosial merujuk kepada hubungan kepemilikan atau kontrol terhadap sumber-sumber daya
produktif (yakni, fisik, finansial, dan organissasi). Orang-orang di kelas atas memiliki kekayaan
yang sebagian besar merupakan warisan. Sedang orang-orang di kelas pekerja - sebagian besar
pekerja kasar, semi-terampil, atau tidak terampil - menerima upah sedang atau rendah, dan tidak
mewarisi kekayaan seperti kelas atas (Wilkinson dan Marmot, 2003; CSDH, 2007).

Kelas sosial memberikan konsekuensi penting bagi kehidupan individu. Besarnya hak dan
kekuasaan individu untuk mengontrol aset produktif mempengaruhi cara individu dalam
mendapatkan pendapatan, sehingga mempengaruhi standar kehidupan individu tersebut. Posisi
kelas “pemilik perusahaan” dapat mempekerjakan “pekerja” dan memperoleh keuntungan dari
“eksploitasi” tersebut, sedang posisi kelas “pekerja” hanya mencari pekerjaan dan melakukan
pekerjaan itu.

Kelas sosial merupakan salah satu prediktor kuat penyakit dan kesehatan. Hasil penelitian
menunjukkan, umur harapan hidup dan kejadian penyakit berhubungan dengan kelas sosial anggota
masyarakat. Orang-orang dengan kelas sosial rendah umumnya memiliki risiko dua kali lebih besar
untuk mengalami penyakit dan kematian dini daripada mereka yang berada pada kelas sosial yang
lebih tinggi.

Di tempat kerja, pekerja rendahan lebih besar memiliki kemungkinan mengalami penyakit dan
kematian dini lebih besar daripada pekerja di tingkat atas atau majikan (Wilkinson dan Marmot,
2003). Sebagai contoh, studi longitudinal yang dilakukan Bartley dan Pwelis (2002) di Wales dan
Inggris menemukan, pekerja kasar dan pengangguran memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami penyakit kronis hingga 20 tahun semasa hidupnya.

Ketidakberuntungan sosial yang berkaitan dengan kepemilikan atau kontrol terhadap sumberdaya
produktif dapat bersifat absolut atau relatif, misalnya hanya sedikit memiliki aset keluarga,
pendidikan yang buruk di masa remaja, pekerjaan yang berbahaya, tinggal di perumahan yang
buruk, hidup tanpa jaminan hari tua, dan sebagainya. Sebagai contoh, studi potong-lintang yang
dilakukan Mitchell at al. (2002) di Inggris menemukan, tinggal lama di daerah dingin dengan

9
kualitas perumahan yang buruk menyebabkan kerusakan kesehatan, yakni meningkatkan risiko
hipertensi diastolik (OR= 1.45, CI95% 1.18 hingga 1.77) dan hipertensi sistolik (OR= 1.25, CI 95%
CI: 1.01 hingga 1.53).

Kesehatan yang baik memerlukan kebijakan yang ditujukan tidak hanya untuk mengatasi keadaan
sulit yang akut, seperti jejaring pengaman sosial, tetapi juga kebijakan yang lebih permanen yang
melindungi warga di tingkat sosial rendah agar tidak jatuh ke dalam keadaan yang tidak
menguntungkan, misalnya pengurangan angka putus sekolah, pengurangan pengangguran,
perbaikan standar perumahan. Selain itu, masyarakat yang sehat ditentukan oleh sejauh mana
masyarakat memberikan kesempatan kepada semua warganya untuk memainkan peran yang
bermanfaat secara penuh di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Masyarakat yang sehat
sulit dicapai jika warganya menghadapi masalah eksklusi, kemiskinan, dan keadaan tidak aman.

Stres

Kondisi sosial dan psikologis dapat menyebabkan stres berkepanjangan. Kecemasan yang
berkelanjutan, perasaan tidak aman, perasaan rendah diri, isolasi sosial, ketidakmampuan
mengendalikan pekerjaan dan kehidupan keluarga, memiliki pengaruh kuat terhadap kesehatan.
Risiko psikososial tersebut terakumulasi sepanjang hayat dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya gangguan kesehatan jiwa dan kematian dini (Wilkinson dan Marmot, 2003)

Kecemasan dan perasaan tidak aman yang berlangsung lama, dan ketiadaan teman, bersifat merusak
kesehatan pada setiap fase hidup. Makin rendah letak orang di dalam hirarki sosial, makin sering
orang mengalami masalah-masalah tersebut.

Alasan tentang mengapa faktor-faktor psikososial mempengaruhi kesehatan fisik telah dijelaskan
dengan teori psikososial sebelumnya. Dalam keadaan darurat, sistem hormon dan syaraf
memberikan kesiapan kepada manusia untuk mengatasi ancaman fisik dengan cara memicu respons
pembelaan diri, seperti peningkatan denyut jantung, mobilisasi energi yang tersimpan, distribusi
darah ke otot-otot, dan peningkatan kewaspadaan.

Mekanisme itu telah ditunjukkan oleh sejumlah studi. Sebagai contoh, Brunner et al. (2002)
melakukan studi kasus kontrol “nested” untuk menguji hipotesis bahwa gangguan neuroendokrin
dan kegiatan autonomik jantung (cardiac autonomic activity=CAA) berhubungan dengan terjadinya
sindroma metabolime (metabolic syndrome=MS), yang merupakan prekursor penyakit jantung
koroner. Studi itu menemukan bahwa indikator-indikator hormon metabolisme, seperti metabolit
kortisol dan normetanefrin lebih tinggi pada kasus (MS) daripada kontrol. Demikian juga indikator-
indikator imunologis seperti interleukin-6 serum, C-reactive protein plasma, dan viskositas lebih
tinggi pada kasus daripada kontrol. Studi itu menyimpulkan, gangguan neuroendokrin dan kegiatan
autonomik jantung (CAA) berhubungan dengan terjadinya MS.

Baik sistem kardiovaskuler dan imunitas terpengaruhi oleh stresor psikososial. Dalam jangka
pendek, perubahan neuroendokrin tersebut reversibel dan tidak menyebabkan masalah. Tetapi jika
ketegangan terlalu sering terjadi atau terlalu lama, maka orang akan menjadi rentan untuk
mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk di antaranya infeksi, diabetes, tekanan darah
tinggi, serangan jantung, stroke, depresi, dan agresi.

Sebagai contoh, studi kohor prospektif yang dilakukan oleh Kivimaki et al (2002) di Finlandia
yang melibatkan 812 pekerja industri yang pada awal studi bebas dari penyakit kardiovaskuler.
Para pekerja tersebut diikuti selama rata-rata 25 tahun. Studi itu menyimpulkan, ketegangan
pekerjaan yang tinggi dan kepincangan antara upaya dan imbalan pekerja meningkatkan risiko

10
kematian karena penyakit kardiovaskuler. Setelah mengontrol pengaruh umur dan jenis kelamin,
para pekerja dengan ketegangan pekerjaan yang tinggi, yaitu kombinasi antara tuntutan tinggi
dalam pekerjaan dan kontrol pekerjaan yang rendah, memiliki risiko untuk mengalami kematian
kardiovaskuler 2.2 kali lebih besar daripada kolega dengan ketegangan kerja yang lebih rendah (
OR= 2.2 CI 95% 1.2 hingga 4.2)..

Umumnya perubahan biologis akibat stres dikendalikan di tingkat hilir (oleh dokter dan psikiater)
dengan memberikan obat. Strategi itu bersifat sementara dan tidak memadai. Strategi yang lebih
permanen perlu difokuskan kepada akar penyebab stres kronis di tingkat hulu.

Di sekolah-sekolah, tempat kerja, dan institusi lainnya, kualitas lingkungan sosial dan keamanan
sering kali sama pentingnya untuk kesehatan dibandingkan dengan lingkungan fisik. Institusi yang
bisa memberikan orang perasaan memiliki, memberikan kesempatan partisipasi, dan memberikan
penghargaan, memberikan rasa aman, merupakan tempat yang lebih sehat daripada institusi di mana
orang merasa terasingkan, tidak aman, tidak dihiraukan, atau dianggap tidak berguna.

Implikasinya, pemerintah hendaknya menyadari bahwa dibutuhkan program kesejahteraan yang


tidak hanya memenuhi kebutuhan material tetapi juga psikologis, karena keduanya merupakan
sumber kecemasan dan rasa tidak aman. Selain itu, pemerintah hendaknya memberikan dukungan
kepada kegiatan komunitas, menghilangkan isolasi sosial, mengurangi ketidakamanan material dan
finansial.

Awal Kehidupan

Hasil-hasil studi epidemiologi sepanjang hayat (life-course epidemiology) menunjukkan, fondasi


kesehatan di usia dewasa telah diletakkan sejak dini pada awal kehidupan sebelum dan setelah
kalahiran. Keadaan yang buruk selama kehamilan, seperti defisiensi nutrisi selama kehamilan, stres
maternal, olahraga yang tidak cukup (ibu hamil juga memerlukan senam), dan perawatan prenatal
yang tidak memadai, dapat menyebabkan perkembangan fetus yang tidak optimal. Perkembangan
fetus yang buruk merupakan risiko kesehatan pada kehidupan selanjutnya (Wilkinson dan Marmot,
2003)

Banyak gangguan kronis yang timbul di usia dewasa diduga berhubungan dengan dua faktor yang
tampaknya saling bertentangan yang bisa terjadi pada awal kehidupan: (1) kemiskinan (yakni, ibu
malnutrisi melahirkan bayi malnutrisi dengan berat badan lahir rendah); (2) kemakmuran (yakni,
paparan yang dialami bayi dengan fenotipe berat badan lahir rendah terhadap diet tinggi kalori/
energi). Faktor-faktor itu memiliki peran terhadap fenomena biologis kelenturan perkembangan
(development plasticity), atau kemampuan genotipe untuk menghasilkan aneka bentuk dan perilaku
sebagai respons terhadap kondisi lingkungan. (Bihl, 2003).

Sebagai contoh, hipotesis Barker (1989) mengemukakan bahwa gangguan pertumbuhan intrauterin
memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan sistem kardiovaskuler dan mendorong
terjadinya hipertensi, resistensi insulin, hiperkolesterolemia, dan hiperurisemia pada masa dewasa
Sejumlah studi mendukung hipotesis Barker dan menemukan adanya hubungan yang terbalik antara
berat lahir bayi lahir prematur atau aterm dan peningkatan insidensi hipertensi, penyaki jantung
koroner (PJK), gangguan toleransi glukose, resistensi insulin, dan DM tipe 2 (Phenekos, 2001).
Hubungan itu telah direplikasi dalam sejumlah studi di berbagai negara dan tampaknya bukan
merupakan hasil dari faktor perancu (Godfrey, 2001)

Demikian pula pengalaman di masa bayi penting bagi kesehatan di kemudian hari, karena
berlanjutnya masalah ketidakmampuan sistem biologis. Kelambatan pertumbuhan dan dukungan
11
emosional yang buruk di masa anak-anak menngkatkan risiko untuk mengalami kesehatan fisik
yang buruk, dan mengurangi fungsi fisik, kognitif, dan emosional di usia dewasa. Melalui
pemrograman biologis, berbagai input kognitif, emosional, sensorik pada masa bayi memprogram
respons otak. Keadaan dan stimulasi emosi yang buruk dapat menyebabkan ketidaksiapan anak
untuk memulai sekolah, prestasi sekolah yang rendah, memiliki masalah perilaku, dan risiko
marginalisasi sosial.

Selanjutnya, pertumbuhan fisik yang lambat pada bayi berhubungan dengan penurunan
perkembangan dan fungsi kardiovaskuler, respirasi, pancreas, dan ginjal, sehingga meningkatkan
risiko penyakit di usia dewasa (Wilkinson dan Marmot, 2003).

Risiko terjadinya penyakit di usia dewasa lebih tinggi pada anak yang berasal dari kondisi
lingkungan sosio-ekonomi buruk. Risiko sepanjang hayat tersebut bisa dikurangi melalui
pendidikan dan perbaikan pelayanan kesehatan preventif kepada wanita sebelum kehamilan
pertama, dan wanita sebelum dan sesudah persalinan. Program kesehatan dan pendidikan tersebut
memberikan manfaat langsung, dengan meningkatkan kesadaran orangtua tentang kebutuhan
anaknya, dan penerimaan orangtua terhadap informasi tentang kesehatan dan perkembangan.

Modal Sosial

Modal sosial (social capital) merupakan konsep yang relatif baru yang telah menarik perhatian di
bidang penelitian kesehatan beberapa tahun terakhir. Hasil studi telah menunjukkan modal sosial
berhubungan dengan berbagai indikator kesehatan ataupun perilaku kesehatan, meliputi mortalitas
(Kawachi et al., 1997; Skrabski et al., 2003), status kesehatan yang dinilai sendiri (self-reported
health) (Veenstra, 2000; Murti, 2005), kesehatan jiwa (de Silva et al., 2005; Miller et al., 2006),
kebiasaan merokok (Murti, 2005).

Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial “karakteristik organisasi sosial, seperti jejaring, norma-
norma, dan kepercayaan sosial, yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk manfaat
bersama”.

Menurut Fujiwara dan Kawachi (2008), modal sosial adalah “sumber-sumber daya yang diakses
oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam sebuah struktur sosial, yang memudahkan
kerjasama, tindakan kolektif, dan terpeliharanya norma-norma”.

Portes (1998) mendefinisikan modal sosial “kemampuan para pelaku untuk mendapatkan manfaat-
manfaat melalui keanggotaannya dalam jejaring osial atau struktur sosial lainnya”. Portes
memberikan analogi yang berguna untuk memahami konsep modal sosial: jika modal ekonomi
(economic capital) seorang terletak pada tabungan bank, modal manusia (human capital) terletak di
dalam kepalanya, modal kesehatan (health capital) terletak di dalam tubuhnya, maka modal sosial
(social capital) terletak di dalam struktur hubungan-hubungan manusia.

Jadi modal sosial merujuk kepada hubungan-hubungan sosial dan koneksi antar individu, karena itu
lebih merupakan relasi antarindividu daripada suatu atribut individu. Konsep kunci di sini adalah
bahwa modal sosial bukan merupakan sebuah karakteristik individu atau sifat kepribadian,
melainkan suatu sumberdaya yang terletak di dalam jejaring dan kelompok-kelompok orang.
Sumberdaya tersebut berguna untuk produksi kesehatan jika dimanfaatkan.

Modal sosial dapat dibagi menjadi dua elemen – struktural dan kognitif. Bentuk struktural merujuk
kepada struktur sosial seperti jejaring dan hubungan. Elemen ini dapat dipandang sebagai

12
“sumberdaya” dari modal sosial. Bentuk kognitif merujuk kepada elemen subjektif seperti
kepercayaan dan norma timbal balik (norm of reciprocity). Elemen ini dapat dipandang sebagai
“hasil” dari modal sosial.

Szreter and Woolcock (2004) membedakan 3 jenis modal sosial: “bonding social capital”, “bridging
social capital”, dan “linking social capital”. Bonding social capital merujuk kepada hubungan
kerjasama dan saling percaya antara anggota-anggota sebuah jejaring, yang memiliki kesamaan
sosio-demografis.

Bridging social capital merujuk kepada hubungan-hubungan saling menghormati dan saling
menguntungkan antara orang-orang yang memiliki perbedaan sosio-demografis (atau identitas
sosial), misalnya perbedaan usia, kelompok etnis, kelas sosial, dan sebagainya (Szreter dan
Woolcock, 2004).

Teori lainnya menjelaskan, bridging social capital beroperasi pada tingkat horisontal (percaya
kepada orang lain) maupun di tingkat vertikal (percaya kepada institusi-institusi vertikal) (Narayan,
2002; Narayan and Cassidy, 2001). Integrasi antar warga di lingkungan tetangga yang homogen
merupakan contoh bonding capital, dan integrasi antar warga di lingkungan tetangga yang
heterogen merupakan contoh bridging social capital.

Linking social capital merujuk kepada norma-norma saling menghormati dan jejaring hubungan
yang saling percaya antara orang-orang yang berinteraksi lintas kekuasaan formal dan terlembaga
atau lintas tingkat otoritas di dalam masyarakat. Linking social capital menghubungkan orang-orang
lintas tingkat kekuasaan vertikal ataupun menciptakan ikatan saling percaya terhadap institusi-
institusi formal (Szreter and Woolcock, 2004). Interaksi antara warga dan pemerintah daerah,
kepercayaan warga terhadap sistem pelayanan kesehatan formal, kedekatan antara warga
masyarakat dan pemimpin formal, koordinasi antar institusi, merupakan contoh linking social
capital.

Hubungan antara modal sosial dan kesehatan dapat dijelaskan dengan teori “psikososial” maupun
“neo-materialis”.. Teori psikososial mengemukakan, rendahnya tingkat kepercayaan dan
merenggangnya kohesi sosial akan diterjemahkan ke dalam emosi-emosi negatif, kemudian melalui
mekanisme “psiko-neuro-endokrin” menyebabkan gangguan kesehatan. Selain itu rendahnya
tingkat modal sosial bisa juga menginduksi stres dan menimbulkan perilaku-perilaku yang tidak
sehat, seperti kebiasaan merokok (Pearce dan Davey-Smith, 2003).

Teori “neo-materialis” menekankan kepada proses ekonomi dan keputusan politik yang
mengkondisikan tersedianya sumber-sumber daya bagi individu-individu, dan terbentuknya
infrastruktur publik. Pertama, dengan linking social capital, ikatan vertikal antara warga dan
lembaga kekuasaan memungkinkan warga merasa sebagai bagian dari masyarakat madani, bisa ikut
membuat perencanaan, dan bisa melakukan sesuatu menyangkut berbagai isu sosial yang terkait
kesehatan. Kedua, linking social capital meningkatkan kesempatan bagi warga untuk bisa
mengakses sumber-sumber daya untuk memproduksi kesehatan (misalnya, pelayanan kesehatan,
taman rekreasi) di lingkungan komunitasnya (Blakely dan Ivory, 2006).

Dengan memperluas teori Grossman (1972) tentang “Demand for Health Capital”, Bolin et al.
(2003) menjelaskan peran modal sosial dalam perspektif ekonomi, yakni peran dalam produksi
kesehatan. Bolin et al. (2003) mengemukakan, individu/ keluarga tidak hanya meminta (demand)
dan menginvestasikan kesehatan tetapi juga modal sosial. Keluarga menginvestasikan modal sosial
dengan cara membentuk dan memelihara hubungan (links) dengan anggota masyarakat lainnya.

13
Imbalan dari investasi tersebut adalah, modal sosial (misalnya, sosialisasi) memberikan kepuasan
langsung kepada individu, dan memperluas kemampuan keluarga untuk mengakses sumber-sumber
daya yang tersedia di dalam masyarakat, sehingga memudahkan produksi kesehatan untuk keluarga.

Melalui kepercayaan dan jejaring sosial informal maupun formal, modal sosial membantu warga
masyarakat untuk mengakses informasi kesehatan, mendesain sistem penyelenggaran pelayanan
kesehatan, bertindak kolektif untuk memperbaiki infrastruktur, mendukung upaya-upaya preventif,
mengubah norma-norma kultural yang merugikan kesehatan (World Bank, 2009).

Sejumlah penelitian dalam dekade terakhir memberikan bukti-bukti bahwa modal sosial merupakan
faktor kunci yang membentuk kesehatan populasi.

Systematic review yang dilakukan de Silva (2005) terhadap 21 hasil studi menunjukkan terdapat
bukti-bukti kuat hubungan yang terbalik antara tingkat kognitif modal sosial dan gangguan jiwa
umum. Demikian pula terdapat bukti hubungan yang terbalik dengan kekuatan sedang antara aspek-
aspek kognitif modal sosial dan penyakit jiwa anak.

Analisis multilevel di Swedia yang melibatkan 11,175 laki-laki menemukan, linking social capital
berhubungan dengan kesehatan (Sundquist dan Ming, 2007). Individu-individu yang tinggal di
lingkungan pertetanggaan dengan tingkat linking social capital yang rendah menunjukkan risiko
yang lebih tinggi untuk mengalami kesehatan yang buruk daripada individu-individu yang tinggal di
lingkungan pertetanggaan dengan tingkat linking social capital yang lebih tinggi, setelah
mengontrol pengaruh karakteristik individu.

Hubungan antara modal sosial dan kesehatan yang positif juga ditunjukkan pada masyarakat di
Indonesia.

Murti (2005 melakukan survei rumah tangga di Surakarta, Pati, dan Tulungagung, menggunakan
sampel sebanyak 1986 perempuan, Dengan mengendalikan pengaruh usia, pendidikan, dan
pendapatan keluarga, status asuransi kesehatan, urban-rural, dan status kesehatan suami, studi
tersebut menemukan hubungan positif antara modal sosial dan kesehatan perempuan. Perempuan
yang tinggal di komunitas dengan tingkat modal sosial tinggi memiliki kemungkinan untuk menilai
dirinya sehat dua kali lebih besar daripada perempuan di komunitas dengan tingkat modal rendah
(OR= 1.83; CI95% 1.30 hingga 2.57).

Miller et al. (2006) menganalisis data hasil Indonesian Family Life Survey tahun 1993 dan 1997,
melibatkan sampel 10,000 orang dewasa. Dengan mengontrol pengaruh berbagai faktor sosio-
demografi dan ekonomi pada level individu, rumah tangga, maupun komunitas, penelitian tersebut
menemukan hubungan positif antara modal sosial dan sejumlah variabel kesehatan fisik maupun
kesehatan jiwa.

Modal sosial berhubungan positif dengan kesehatan yang dilaporkan sendiri (self-reported health)
maupun activity daily living (ADL). Individu-indvidu yang tinggal di komunitas dengan tingkat
modal sosial tinggi melaporkan dirinya lebih sehat daripada individu-individu yang tinggal dalam
komunitas dengan tingkat modal sosial rendah.

Studi tersebut menemukan adanya interaksi antara modal sosial berinteraksi dan modal manusia/
human capital (yaitu pendidikan) dalam mempengaruhi ADL. Modal sosial bersifat protektif bagi
individu-individu dengan pendidikan rendah dan menengah, tetapi tidak berkorelasi dengan ADL

14
pada individu-individu dengan pendidikan tinggi. Selain itu, modal sosial berhubungan negatif
dengan pengalaman rasa nyeri.

Studi Miller et al (2006) juga menemukan hubungan negatif yang kuat antara modal sosial dan
sejumlah variabel kesehatan jiwa, yakni perasaan sedih, kecemasan, insomnia, dan sifat pemarah.

Konsep modal sosial termasuk baru dalam kesehatan masyarakat. Jika modal sosial dipahami
sebagai kemampuan sosial yang lebih luas menyangkut inklusivitas, hak azasi manusia, keadilan
sosial, partisipasi ekonomis dan politik secara penuh dari warga masyarakat, maka investasi modal
sosial merupakan strategi yang berguna untuk kesehatan masyarakat (Lynch et al., 2000).

Penutup

Hadirin yang saya muliakan,

Mengakhiri uraian ini, saya menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi kebijakan sebagai
berikut. Kesehatan merupakan fenomena kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sudut.
Tingkat kesehatan individu dan populasi tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor biologis-medis di
tingkat mikro seperti obat-obatan dan teknologi kedokteran, tetapi lebih-lebih ditentukan oleh
berbagai faktor sosial, ekonomi dan politik di tingkat makro. Implikasinya, upaya untuk mencapai
tujuan kesehatan masyarakat memerlukan langkah-langkah kebijakan intersektoral dan pendekatan
multidisipliner yang mampu mengubah aneka determinan kesehatan tersebut.

Bagi pemerintah pusat dan daerah, swasta dan masyarakat, ke depan diperlukan kebijakan investasi
sosial dan ekonomi yang lebih besar untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan lingkungan fisik
yang menguntungkan bagi terciptanya tingkat kesehatan masyarakat yang tidak hanya lebih tinggi
tetapi juga berkeadilan (equitable health).

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang saya muliakan

Kini sampailah kita pada bagian akhir dari pidato pengukuhan saya untuk menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan kepada berbagai pihak. Pertama-tama sudah barang tentu saya sangat
bersyukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan taufik dan hidayahNya, sehingga saya
mendapat kekuatan dan kemampuan untuk mencapai jabatan guru besar yang terhormat ini.

Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus
kepada:
Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Menteri Pendidikan Nasional, atas kepercayaan yang
diberikan kepada saya untuk memangku jabatan akademik sebagai guru besar di lingkungan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Kepada Prof. Dr. HM Syamsulhadi, dr, SpKJ (K), beserta Sekretaris Senat Prof. Dr. Aris Sudiyanto,
dr, SpKJ (K), para anggota Senat Universitas, saya mengucapkan terima kasih atas persetujuan
kenaikan jabatan dan pangkat saya.

Kepada Prof. Dr. H. AA. Subijanto, dr, MS, selaku Dekan dan Ketua Senat Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, saya sampaikan ucapan terima kasih atas persetujuan dan kesediaan

15
pengangkatan kenaikan pangkat saya sebagai Guru Besar dan menerima saya di lingkungan Senat
UNS.

Kepada Prof. Bambang Suprapto, dr, MMedSc Nut, SpGK, Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr, SpPA
(K), Prof.. Dr. JB Suparyatmo, dr, SpPK (K), Prof. Dr. Santoso, dr, MS, SpOK, Isdariyanto, dr,
PHK, MARS, Rosalia Sri Hidayati, dr, MKes, Sri Indratni, dr, PAK, MOR, Dr. Diffah Hanim, Dra,
MSi, dan Ibu Pujiastuti, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan selama proses
pengajuan guru besar saya.

Kepada para guru saya di SD Pendrikan Tengah IV Semarang, para guru saya di SMP Negeri I
Semarang, para guru saya di SMA Katolik Loyola Semarang, dan para dosen saya di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, saya mengucapkan terima kasih atas semua pelajaran
dan pendidikan yang pernah diberikan kepada saya.

Kepada para profesor saya di Tulane School of Public Health and Tropical Medicine, New Orleans,
AS, para profesor saya di University of York, York, Inggris, para profesor saya pada Institute of
Health Economics/ University of Alberta, Edmonton, Kanada, para profesor saya di Umea
University, Swedia, para profesor saya di University of Newcastle, Newcastle, Australia, saya
mengucapkan terima kasih atas pelajaran dan bimbingan yang diberikan kepada saya.

Kepada Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Kerajaan Inggris, Pemerintah Kerajaan Swedia,
Institute of Health Economics Kanada, dan Pemerintah Australia, saya mengucapkan terima kasih
atas hibah yang diberikan, sehingga memungkinkan saya studi di berbagai negara maju tersebut.

Kepada Erasmus Mundus – Uni Eropa, saya mengucapkan terima kasih atas hibah yang diberikan
untuk mengajar pada University College London, London, dan University of Bergen, Bergen,
Norwegia. Terima kasih kepada Prof. Sheila Wirz, PhD atas kerjasamanya dalam pengajaran dan
penelitian.

Kepada teman-teman dosen dan karyawan administrasi, baik yang masih aktif maupun pensiun atau
almarhum, pada Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, pada Fakultas Kedokteran, maupun pada
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, tentu saya tidak lupa mengucapkan terima kasih
atas bantuan dan kerja sama yang diberikan selama ini.

Kepada kolega saya Prof. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, dosen senior Dr. Rossi Sanusi, PhD,
dan staf pada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK), Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, saya mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya dalam pengajaran maupun
penelitian.

Kepada penerbit Gadjah Mada University Press, khususnya Drs. Akor Tarigan dan W.
Sulistyaningsih, kepada penerbit Gramedia Pustaka Utama, kepada penerbit Kanisius, saya
mengucapkan terima kasih atas kerjasama dalam penerbitan buku-buku akademik.

Kepada para mahasiswa yang pernah saya bimbing atau mengikuti kuliah saya, saya mengucapkan
terima kasih atas kerjasamanya dalam proses belajar mengajar yang selama ini dijalani.

Teristimewa kepada para teman, sahabat, serta sejawat yang hadir dari dalam dan luar kota, saya
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kerjasama yang diberikan selama ini. Semoga
hubungan kita terus bertambah akrab dalam upaya mengembangkan ilmu kesehatan masyarakat
serta pendidikan umumnya.

16
Hadirin yang saya muliakan,

Pada kesempatan ini izinkanlah saya menyampaikan rasa hormat dan kasih sayang kepada kelurga
dekat saya.

Kepada kedua orangtua saya, Ayah Dr. Suhartono (Alm.), dan Ibu Ni Wayan Rienten, saya
mengucapkan terima kasih atas pendidikan, dukungan, dan doanya, yang tidak mungkin terbalas
oleh saya. Semoga apa yang saya capai dapat menyenangkan hati orangtua saya. Khususnya kepada
almarhum Ayah Dr. Suhartono, semoga Allah SWT mengampuni segala dosanya, diterima semua
amal ibadah dan arwah beliau di sisiNya.

Kepada kedua mertua saya, Bapak Rijanto Prasetyo (Alm.) dan Ibu Sukarti (Alm.), saya
mengucapkan terima kasih atas dukungan dan doa restunya. Semoga almarhum Bapak Rijanto
Prasetyo dan almarhumah Sukarti diampuni segala dosa dan diterima semua amal ibadah dan arwah
beliau di sisiNya.

Kepada semua saudara saya yang tercinta, Krisna Murti, Samba Murti (Alm.), Sita Murti, Laksmi
Murti (Alm.), dan Yudhi Murti, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya selama ini.

Kepada istri saya tercinta. Dra. Ony Dwi Karyani, yang telah mendampingi saya pada saat suka
maupun duka selalu setia dan ikhlas mendukung pekerjaan saya, saya mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga. Demikian pula kepada anak saya tercinta Bobby Suryolaksono, saya
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pengertian, dukungan dan doanya bagi saya
dalam menekuni pekerjaan saya.

Kepada semua Hadirin, tamu undangan, semua pihak dan handai taulan, serta para guru besar dan
teman sejawat yang tidak dapat saya sebut satu per satu, yang secara langsung atau tidak langsung
telah menghadiri dan ikut membantu tercapainya jabatan guru besar, saya ucapkan terima kasih.

Akhirnya kepada semua pihak saya juga mohon maaf yang sebesarnya atas segala kekeliruan saya,
selama saya menekuni pekerjaan saya di lingkungan Fakultas Kedokteran dan Universitas Sebelas
Maret, pada masa lalu dan masa datang.

Semoga Allah SWT selalu memberikan semangat, kesabaran, petunjuk, dan kemudahan bagi kita
semua, yang ikut berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan di negara tercinta,
Indonesia.

Terima kasih atas kesabaran dan perhatian Hadirin.

Wa billaahi taufik wal hidayah


Wassalamu ‘alaikum warohmatullahi wabarokaatuh

17
DAFTAR PUSTAKA

Barker DJ, Winter PD, Osmond C, Margetts B, Simmonds SJ (1989).. Weight in infancy and death
from ischaemic heart disease. Lancet; 2:577-580.
Bartley M, Plewis I (2002). Accumulated labour market disadvantage and limiting long-term
illness: data from the 1971–1991 Office for National Statistics' Longitudinal Study
International Journal of Epidemiology;31:336-341
Blakely T, Ivory V (2006). Commentary: Bonding, bridging, and linking—but still not much going
on/ International Journal of Epidemiology;35:614–615
Brunner, E.J. et al. (2002) Adrenocortical, autonomic, and inflammatory causes of the metabolic
syndrome - nested case-control study. Circulation, 106 (21). pp. 2659-2665.
Bihl GR (2003). Intrauterine growth and disease in later life. Medscape Public Health & Prevention.
www.medscape. com/viewarticle/453242_2. Diakses Desember 2009
Bolin K, Lindgren B, Lindstrom M, Nystedt P (2003). Investments in social capital – implications
of social interactions for the production of health. Social Science and Medicine. 56:2379-90.
CSDH (Commission on Social Determinants of Health (2007). A conceptual framework for action
on the social determinants of health. Discussion paper. Geneva: WHO.
www.who.int/social_determinants/.../csdh_ framework_action_05_07.pdf. Diakses 25
Desember 2009.
Godfrey KM, Barker DJ (2001). Fetal programming and adult health. Public Health Nutr;4:611-
624.
Grossman M (1972). On the concept of health capital and the demand for health. Journal of Political
Economy. 80: 223-255.
Kaplan GA (2004). What’s wrong with social epidemiology, and how can we make it better?
Epidemiol Rev, 26: 124-135
Kawachi I, Kennedy BP, Lochner K, et al. (1997). Social capital, income inequality, and mortality.
American Journal of Public Health, 87: 1491-1499.
Kivimäki K, Leino-Arjas P, Luukkonen R, Riihimäki H, Vahtera J, Kirjonen J (2002). Work stress
and risk of cardiovascular mortality: prospective cohort study of industrial employees. BMJ;
325:857-860 (19 October)
Krieger N (2001). Theories for social epidemiology in the 21th century: An ecosocial perspective.
Int J Epidemiol, 30: 668-677
Kuh D, Ben-Shlomo Y. (1997) A life course approach to chronic disease epidemiology. Oxford:
Oxford University Press
Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
Lynch J, Due P, Muntaner C, Davey Smith G (2000). Social capital – Is it a good investment
strategy for public health? J Epidemiol Community Health, 54: 404-408.
MacLeod J, Davey Smith G (2003). Psychosocial factors and public health: a suitable case for
treatment? J Epidemiol Community Health;57:565–570
Miller DL, Scheffler R, Lam S, Rosenberg R, Rupp A (2006). Social capital and health in
Indonesia. World Development 34 (6): 1084–1098.
Mitchell R, Blane D, Bartley M (2002). Elevated risk of high blood pressure: climate and the
inverse housing law. International Journal of Epidemiology, 31:831–838.
Murti B (2005). The family as health producer in Indonesia: An examination using the Grossman
model and its extensions. Disertasi doktoral: University of Newcastle.
Naess O, Claussen B (2002). Life-course influences on social inequality in adult mortality risk: A
review. Norsk Epidemiologi; 12 (1): 27-31
Narayan D (2002). Bonds and bridges: social capital and poverty. Dalam Social Capital and
Economic Development: Well-being in Developing Countries, diedit Sunder Ramaswamy.
Cheltenham, UK: Edward Elgar.

18
Narayan D, Cassidy MF (2001). A dimensional approach to measuring social capital: development
and validation of a social capital inventory. Current Sociology 49: 59-102.
Pearce N, Davey-Smith G (2003). Is social capital the key to inequalities in health? Am J Public
Health, 93(1): 122-29
Phenekos C.(2001). Influence of fetal body weight on metabolic complications in adult life: review
of the evidence. J Pediatr Endocrinol Metab;14 (Suppl 5): 1361-1363.
Portes A (1998). Social capital: its origins and applications in modern sociology. Annual Review of
Sociology, Vol. 24: 1-24.
Putnam RD (1993). Making democracy work: Civic traditions in modern Italy. Princeton: Princeton
University Press.
Veenstra G (2000). Social capital, SES and health: an individual-level analysis. Social Science and
Medicine. 50: 619-629.
Szreter S, Woolcock M (2004). Health by association? Social capital, social theory, and the political
economy of public health. Int J Epidemiol;33:650–67.
Townsend P, Davidson N (1982). Inequalities in health. The Black Report, Harmondworths.
England: Penguin
Wilkinson R, Marmot M (2003). Social determinants of health. The solid facts. Copenhagen,
Denmark: WHO
WHO (2008). The World Health Report 2008: Primary Health Care – Now More Than Ever.
Geneve: World Health Organization
World Bank (2009). Social capital and health, nutrition and population. web.worldbank.org.
Diakses 30 Desember 2009.

19
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama: Bhisma Murti


Tempat, tanggal lahir: Kupang (NTT), 21 Oktober 1955
Agama: Islam
NIP: 19551021 199412 1 001
Alamat kantor: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM)/ Institute for Health
Economic and Policy Studies (IHEPS), Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126. Telp.
(0271) 634004, 664178. Faks: (0271) 634004
Nama istri: Dra. Ony Dwi Karyani
Nama anak: Bobby Suryolaksono

Bhisma Murti keluar dari status PNS di jajaran DepKes pada 1992 dengan pangkat terakhir yang
ditinggalkan IIIc. Bhisma Murti diterima sebagai calon PNS (capeg) dengan angka kredit 0 pada
Desember 1994 di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, meraih jabatan profesor per 1
September 2009 dalam waktu 15 tahun sejak capeg, dikukuhkan sebagai profesor 7 Januari 2010.

Pekerjaan:

1. Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
2. Dosen pada program pasca-sarjana Universitas Sebelas Maret dan beberapa universitas lainnya.
3. Dosen tamu pada University College London (Inggris) dan University of Bergen (Norwegia).
4. Peneliti, konsultan, dan pembicara di bidang kesehatan masyarakat.

Pendidikan:

1. Doctor of Philosophy (PhD) bidang Ekonomi Kesehatan, dari University of Newcastle,


Newcastle, Australia.
2. Master of Science (MSc) bidang Ekonomi Kesehatan, dari University of York, York, Inggris.
3. Master of Public Health (MPH) bidang Epidemiologi dan Biostatitik, dari Tulane School of
Public Health and Tropical Medicine, New Orleans, AS
4. Dokter (Dr) dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
5. SMA Katolik Loyola, Semarang
6. SMP Negeri I Semarang
7. SD Negeri Pendrikan Tengah IV Semarang

Penghargaan:

1. Dokter Puskesmas Teladan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 1989


2. Hubert H Humphrey North-South Fellowship Award (AS) 1990/1991
3. Warga Negara Kehormatan Kota New Orleans, AS, 1990/1991 diberikan oleh Walikota New
Orleans Sidney Barthemy
4. British Chevening Award (Inggris) 1996/1997
5. Dosen Teladan Universitas Sebelas Maret 1999
6. University of Newcastle Research Scholarship/UNRS (Australia) 2001-2004
7. Overseas Postgraduate Research Scholarship/OPRS (Australia) 2001-2004
8. Erasmus Mundus Scholarship (Uni Eropa). 2009
9. Profesor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret, dikukuhkan 2010.

20
Publikasi:

1. Sejumlah artikel hasil penelitian dan kajian lainnya di bidang ekonomi kesehatan, epidemiologi,
biostatistik, dan metodologi penelitian telah diterbitkan di sejumlah jurnal kesehatan masyarakat
dan kedokteran.
2. Beberapa buku teks kesehatan masyarakat telah diterbitkan oleh penerbit terkemuka di
Indonesia, yaitu Gramedia Pustaka Utama (Jakarta), Yayasan Kanisius (Yogyakarta), dan
Gadjah Mada University Press (Yogyakarta).
3. Pemimpin Redaksi Jurnal Kedokteran Indonesia

___________________

21

You might also like