You are on page 1of 58

Abstrak

Lesi Periapikal adalah kondisi peradangan jaringan periapikal gigi, dipicu oleh infeksi pulpa gigi dan
ditandai dengan eksudasi sel imun terhadap jaringan yang terkena dan produksi mediator inflamasi
seperti sitokin. Reaksi inflamasi periapikal ini terutama dipicu oleh Th-1, Th-2,da respon Th-17, dan
polarisasi tersebut dapat mengatur perkembangan dari penyakit dan ekspresi dari sitokin proresoptif
tulang. IL-12 menyebabkan produksi IFN-γ meningkat yang merangsang efektor sel Th-1. Banyak
bukti telah menunjukkan korelasi positif antara sitokin resorptive tulang IL-1β dan produksi IL-12 dan
IFN-γ. Selain itu, IL-12 mungkin memiliki peran potensial dalam pelepasan mediator resorptive
tulang dan blokade sitokin Th2, yang mempengaruhi perkembangan hilangnya tulang periapikal.
Namun demikian, IL-12 dan IFN-γ juga telah digambarkan sebagai penekan diferensiasi osteoklas dan
aktivasi, mendukung pemeliharaan tulang. Makalah ini berfokus pada peran kontroversial IL-12 pada
lesi periapikal.

1. Pendahuluan

Interleukin 12 (IL-12) adalah pengatur penting sitokin yang memiliki fungsi penting dalam inisiasi
dan regulasi respon imun seluler. Ini dapat mengatur diferensiasi dari sel T naif, yang penting dalam
menentukan resistensi dan jenis respon yang akan timbul pada respon terhadap patogen tertentu
[1]. IL-12 ini di produksi utamanya oleh makrofag, monosit, denritik, dan sel beta sebagai respon
imun terhadap bakteri dan parasit intraseluler. IL-12 ini selanjutnya memproduksi interferongamma
(IFN-γ) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dari NK cells dan T helper cells. IL-12 menginduksi
(IFN-γ) untuk meningkatan sekresi fagositosis, produksi Nitrogen Oksida (NO), dan ledakan oksidatif,
yang mengakibatkan kerusakan pada patogen [2].. IL-12 ini juga sebagai penanda dalam menekan
Th 2, seperti IL-4 dan IL-10 [3]. Peran IL12 dalam respon imun, yaitu patogenesis pada beberapa
penyakit, seperti rheumatoid arthritis [4], psoriasis [5] , dan Crohn’s disease [6], sedangkan pada
kondisi oral periodontitis [7]. Tujuan dari makalah ini adalah untuk membahas mekanisme
hubungan respon imun gigi pada lesi periapikal terhadap IL-12.

2. Konsep dan Pengertian Lesi Periapikal

Pulpa gigi dilindungi oleh enamel dan dentin dari mikroorganisme pada rongga mulut. Paparan dari
mikroorganisme dan hasil produknya terhadap pulpa gigi menyebabkan terjadinya karies gigi,
fraktur, operasi, serta memicu respon inflamasi lokal. Peningkatan infeksi dan peradangan tersebut
menyebabkan nekrosis pulpa dan mengakibatkan keterlibatan jaringan periapikal yang menghasilkan
lesi periapikal [8,9]. Pada lesi periapikal, bermula dari respon singkat inflamasi akut yang
intensitasnya bervariasi disertai dengan nyeri, penyimpangan pada gigi, serta nyeri pada saat
perkusi. Perubahan jaringan ini ditandai dengan adanya hiperemia dan pengerahan neutrofil yang
biasanya terbatas pada ligamen periodontal. Dengan iritasi yang terjadi secara terus menerus pada
periapex, respon akut ini akan berubah menjadi granulomatosa jaringan dengan inflamasi kronis sel-
sel dan fibroblas, granuloma apikal [8, 9]. Kondisi ini asimptomatik dan disertai dengan
pembentukan daerah radioulsen sebagai akibat dari penyerapan tulang periapikal. Sebuah
granuloma bisa berbentuk laten atau diubah menjadi inflamasi kista yang mekanismenya belum
diketahui. Kista didiagnosis sebagai adanya pembentukkan cavitas yang dibatasi oleh lapisan epitel
skuamous bertingkat dengan ketebalan tertentu dan kapsul fibrosa [8].
Perubahan patologis pada jaringan periapikal merupakan klinis dari reaksi pertahanan tubuh
terhadap bakteri yang berjalan keluar melalui foramen periapikal dari pulpa gigi yang terinfeksi [8, 9,
10]. Respon ini ditandai oleh perpindahan terus-menerus dari polimorfonuklear, leukosit, monosit,
plasma, dan sel mast ke daerah yang terinfeksi, dan sebagian besar untuk mencegah masuknya
mikroba ke dalam jaringan periapikal [8, 12, 13]. Sepertinya terdapat kemiripan antara respon
imunologi dengan reaksi lain terhadap infeksi bakteri, kecuali pada penyerapan tulang periapikal
[14]. Dalam hal ini, meskipun tanggung jawab dari sel imun dan produksi mediator inflamasi
melindungi sel host dari invasi patogen, ini menjelaskan bahwa terjadi banyak penyerapan tulang
periapikal [15].

3. Keterlibatan sel T pada Lesi Periapikal

Lesi periapikal ditandai dengan adanya adhesi molekul sel, produksi faktor chemotactic, dan
pelepasan sitokin, termasuk proresorptive tulang IL-1 dan IL-6, serta TNF-α [14, 18-22]. Respon
tersebut terutama di atur oleh jaringan sel T yang merupakan turunan sitokin, termasuk dalam jenis
IL-12 [18, 23, 24].

T-helper (Th) sel adalah jenis sel utama yang mengatur respon imun dan diferensiasi naive CD4+ dan
sel Th menjadi sel efektor T-sel [25]. CD4+ dan sel-T efektor dapat dibagi menjadi golongan yang
berbeda seperti Th1, Th-2, Th-17, dan sel-T regulasi (T-reg). Pada konteks ini, golongan dari IL-
12memiliki kemampuan untuk membantu regulasi dan / atau pemeliharaan sel Th-1, dan mereka
menghasilkan salah satu kejadian penting pada diferensiasi populasi sel-T. IL-12 dan anggotanya, IL-
27 dan IL-23, juga bertindak sebagai kofaktor untuk meningkatkan proliferatif sel-T [3, 26- 28]. IL-12
sebagai penghasil besar INF-gamma, yang merangsang efektor sel Th-1 [29]. Peran feferensial dari IL-
12, IL-23, dan IL-27 telah dilakukan untuk diferensiasi sel-T pertama, IL-27 menjalankan CD4+ naive
dan sel-T naive untuk berdeferensiasi menjadi sel Th 1 dengan mengaktifkan reseptor IL-22,
kemudian IL-12 bertindak sebagain efektor sel Th-1 untuk merangsang produksi IFN-γ yang diikuti
oleh IL-22 sebagai perantara sel-T memori. IL-23 yang juga di produksi oleh sel dendritik dan naif
CD4+T sel menginduksi sel Th-17. Produksi IL-23 diperantarai oleh bentuk strutural tertentu dari
berbagai jenis patogen seperti reseptor TLRs 2 dan 4. TLR 2 dan TLR 4 agonis (peptidoglikan dan LPS,
resp) mudah menginduksi munculnya IL-12/23p40 dan akibatnya, produksi IL-23 mendukung
diferensiasi Th-17 [30, 31]. Kemudian sel Th-17, dibeakan mampu melepas IL-17 yang menginduksi
IFN-γ juga [26, 32].

Ciri umum dari lesi periapikal, berdasarkan penyebabnya, yaitu eksudasi terus-menerus dari sel
imunokompeten, sel T menjadi komponen seluler dominan di patologi periapikal manusia [33-35].
Seperti yang telah diketahui bahwa reaksi peradangan periapikal dipicu oleh Th-1, Th-2, dan Th-17,
serta respon T-reg, dan memungkinkan polarisasi tersebut dapat mengatur ekpresi dari penyerapan
sitokin tulang [18, 32, 36]. Walaupun dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel T memiliki
sedikit peran dalam patogenesis lesi periradicular, sebagian besar bukti menunjukkan bahwa
perkembangan penyakit tersebut, dengan resorpsi tulang, membutuhkan sel Th-1 dan sel Th-17,
sedangkan sel Th-2 dan T-reg berhubungan dengan kondisi kronis dari inflamasi [ 32, 36, 39].

Tentu saja, lesi periapikal tidak berkembang dalam periode yang lama, pada defisiensi nu/nu sel-T
tikus. Pada percobaan yang dilakukan pada hewan, perkembangan lesi periapikal berhenti setelah
diinduksi infeksi selam 6 minggu dan ditandai dengan adanya fibroblast, bahkas sel-sel inflamasi
yang terpapar pulp akan terkena setelah 8 minggu [40].

Sesuai dengan temuan ini, beberpaa penelitian menunjukkan bahwa respon imun Th-1 memiliki
peranan penting terhadap semua tahapan perkembanganlesi periapikal, sementara respon regulasi
imun Th-2 mungkin berkaitan dengan lesi kronis dan asimptomatik [32, 36, 39]. Bersamaan dengan
respon Th-1 dan Th-2, beberapa bukti terbaru juga menunjukkan hubungan IL-17 yang berperan
dalam perkembangan sitokin lesi apikal periodontal [32, 41].

Bagaimanapun, pembentukkan dan perkembangan lesi periapikal tergantung sel-T yang


mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator tersebut.

4. Hubungan antara Respon IL-12 dengan Lesi Periapikal

Sebagian besar ekspresi dari sitokin Th-1, termasuk, IL-2, IL-12, dan IFN-γ, terbukti setelah penelitian
menunjukkan bahwa meningkatkan lesi periapikal setelah terpapar pulpa. Meskipun sumber sel dari
IL-12 belum dipastikan, namun kemungkinan besar makrofag dan sel dendritik bertanggung jawab
atas sekresi tersebut seperti sitokin [42] dan respon sel Th-1 terhadap makrofag mungkin diturunkan
dari IL-12 yang melepaskan IFN-γ dan IL-2 [43]. Di sisi lain, ekspresi dari sitokin Th-2 juga meningkat
di jaringan periapikal, tetapi menurun dengan sangat lambat pada waktu terntentu, ini menunjukkan
adanya hambatan oleh mediator Th-1. Bahkan, IL-2 ditandai sebagai penekan sitokin Th-2, seperti IL-
4 [3]. Reaksi imunologi ini dapat membantu mengahancurkan jaringan periapikal. Dalam hal ini,
hubungan nyata antara kadar IL-α dan derivat dari Th-1 mendukung mediator inflamasi IL-2, IL-12,
TNF-α, dan IFN-γ [18]. Walaupun demikian, ada kelemahan dari hubungan antara IL-1α dan Th-2 tipe
mediator anti inflamasi, termasuk IL-4, IL-6, dan IL-10. Data ini menunjukkan potensi peran dari IL-12
dalam pelepasan mediator proinflamasi dan memblok sitokin Th-2, yang dapat meningkatkan
perkembangan infeksi yang disebabkan oleh lesi periapikal. Selain paradigma Th-1/Th-2, Th-17 sering
digambarkan memiliki peran pada respon imun IL-12 terhadap lesi periapikal. Xiong dkk [44]
melaporkan bahwa beberapa ekspresi dari sel IL-17 meningkat pasca operasi dalam percobaan yang
dilakukan pada tikus, dan Marc dkk [41] menjelaskan bahwa frekuensi positif IL-17 secara signifikan
lebih tinggi pada kista radikuler daripada granuloma pada tubuh normal. IL-17 disekresikan oleh Th-
17 yang dapat mengakibatkan produksi dari IFN-γ berdiferensiasi menjadi CD4+ dan sel T yang
memperburuk kondisi inflamasi [32]. Selain itu, IL-17 meningkatkan ekspresi dari neutrofil kemokin
CXCL-1 dan CXCL-5, seperti yang ditunjukkan pada percobaan menggunakan IL-17R- pada tikus,
mendukung respon sel host terhadap periodontopatogen [45]. Meskipun ini pengetahuan baru pada
IL-17 dalam pemahaman tentang IL-12 terkait dengan immune pathway pada lesi periapikal, masih
banyak yang belum diketahui, pengetahuan yang luas ini masih berfokus pada respon Th-1 dan Th-2.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh kelompok kami menunjukkan bahwa jenis sel Th sangat
jelas berpengaruh pada kondisi periapikal manusia yang menjadi sel Th marker yang berkaitan
dengan granuloma, ketika sel Th-2 diaugmentasi dalam kista. Namun kedua lesi tersebut
menunjukkan ekspresi yang sama IL-4 dan IFN-γ [16, 36]. Sebaliknya, pada investigasi lain
menunjukkan regulasi di daerah granuloma, dengan tingginya transformasi pertumbuhan faktor
(TGF)-β dan kadar rendah dari pemicu infalmasi sitokin. Berbeda lagi, kista periapikal ditandai
dengan respon Th-1 dan Th-2 dengan peningkatan level INF-γ, TNF-α, dan IL-4 yang berhubungan
dengan bukti klinis dari pembengkakan dan nyeri pada sat dilakukan perkusi [46]. Pada penelitian
lain menunjukkan bahwa respon Th-1 dominan pada jaringan granula apikal, sedangkan respon Th-2
menunjukkan dominasi pada regenerasi dari lesi periapikal [21, 47]. Disisi lain, pada model
percobaan menunjukkan tingkatan dari Th-2 di imunomodulasi dari periodontitis apikal, dengan
pertimbangan bahwa tidak adanya sitokin tipe Th-1 ( IFN-γ dan IL-12) tidak mengganggu
perkembangan lesi [23, 24], sedangkan kekurangan sitokin Th-2, IL-6 [20], dan IL-10 [23, 48]
meningkatkan perluasan lesi.
Untuk menentukan fungsi masing-masing dari pembawa sitokin Th-1, IL-12, dan IFN-γ dalam
patogenesis tulang periapikal, Sasaki dkk [24] menggunakan model mapan dari lesi periapikal yang
tepat pada tikus yang mencolok. Lesi periapikal diinduksi oleh inokulasi dari jumlah bakteri yang
dimasukkan ke dalam saluran akar geraham pertama tikus dan hasilnya menunjukkan bahwa Il-12 -/-
dan IFN-γ -/- tikus memiliki resorpsi tulang yang sama secara in vivo, dibandingnkan dengan tikus
wild type. Infus rekombinan IL-12 yang diinfeksikan secara konvensional pada hewan (untuk
mendeteksi apakah konsentrasi tinggi sitokin mengakibatkan setiap perubahan dalam resorpsi
tulang) juga tidak mengubah kehilangan pada tulang periapikal. Disini, uji in vitro dilakukan, dan
hasilnya menunjukkan bahwa IL-12 dan IFN-γ gagal untuk mengatur produksi makrofag IL-1α [24].
Dengan demikian, masing-masing dari IL-2dan IFN-γ kelihatannya tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan terhadap patogenesis lesi periapikal in vivo. Yang penting untuk diperimbangkan adalah
efek dari masing-masing subset leukosit dan sitokin biasanya diteliti melalui ssistem kontrol yang
ketat, ketika in vivo, fungsi putatif sitokin harus diperkirakan pada sebuah lingkungan kompleks,
dengan adanya beberapa sitokin lain, ini dapat mengatur atau diatur oleh mereka untuk penentuan
hasil klinis.

Walaupun demikian, sangat berbeda pada kelompok penelitian lain, divergen menghasilkan IFN-γ -/-
tikus, pada dasarnya dengan menggunakan model yang sama [23], IFN-γ -/- menunjukkan adanya
peningkatan pengeroposan tulang periapikal, yang kaitannya dengan hewan wildtype, tetapi terjadi
penurunan jumlah neutrofil yang terkait dengan peningkatan relatif jumlah sel mononuklear pada
daerah periapikal. Jumlah bakteri didalam sistem saluran akar, dan jumlah osteoklas pada tulang
periapikal sama pada tikus wildtype. Hasil ini menunjukkan bahwa IFN-γ sebagai penekan kerusakan
lesi periapikal tulang [23]. Beberapa perbedaan metodologis bisa menjelaskan hasil yang berbeda,
seperti metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis kehilangan tulang (tomografi
microcomputed dibandingkan analisis histologis), berbeda dengan bakteri strain yang digunakan
utnuk meinginduksi infeksi pulpa yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang [23, 24]. Bahkan,
keberadaan patogen tertentu dapat menganggu lingkungan sitokin, kembali ke model skenario in
vivo dengan beberapa spesies bakteri bahkan lebih kompleks untuk dievaluasi, tetapi mungkinlebih
mirip dengan lesi pada manusia. Meskipun kontroversi, kedua penelitian ini menyarankan secara
berlebihan mungkin pro- atau anti-inflamasi pathway yang berhubungan dengan lesi periapikal.
Meskipun jalur IL-12-IFN-γ adalah gambaran imunologis sebagai dominasi Th-1 peroinflamasi dan
mengakibatkan kerusakan sistem tulang, telah dijelaskan sebagai supressor dari osteoklas dan
aktivasi [49, 50].

Perubahan pada proses keseimbangan ini berlawanan dengan proses sinyal proinflamasi untuk
mencegah dibandingkan mennghambat aktifitas osteoklas bisa menjelaskan kurangnya efek dari IL-
12 dalam mengontrol infeksi pulp dan perkembangan lesi periapikal.

5. Pengaruh IL-12 terhadap Resorpsi Tulang Periapikal

Resorpsi tulang periapikal disebabkan oleh ketidakseimbangan aktifitas osteoklas dan osteoblas.
Pembentukkan tulang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti morpogenetik protein, tulang,
sitokin, dan faktor pertumbuhan yang menyebabkan diferensiasi sel prekursor ke dalam fenotip
osteoblas [51-53]. Setelah berdiferensiasi, osteoblas menghasilkan beberapa protein yang akan
membentuk tulang baru [54], kemudian berdiferensiasi menjadi fenotip osteosit [55]. Sementara ini
tidak ada data yang tersedia pada literatur ekspresi dari pembentukkan marker tulang khususnya
pada lesi periapikal, penelitian terbaru menunjukkan bahwa inflamasi sitokin (Gambaran regulasi
oleh respon Th-1) menganggu penyatuan bentuk tulang (proses pembentukkan tulang setara dengan
resorpsi tulang yang berlangsung dalam kondisi homeostasis) [56, 57] menunjukkan bahwwa
fenomena ini bisa menjelaskan kejadian tulang keropos pada lesi periapikal. Di sisi lain, diferensiasi
dan aktivasi osteoklas dan menyebabkan resorpsi tulang yang dipicu oleh RANK (reseptor activator
of nuclear factor-kB), ligan RANKL, dan larutan golongan OPG (Osteoprotegerin) [58]. RANKL
mengikat reseptor RANK, muncul pada permukaan preosteoklas, mendorong pematangan dan
aktivasinya, sementara OPG bertindak sebagai umpan reseptor dan menghambat keterlibatan
RANKL-RANK [58]. Uniknya, granuloma periapikal muncul dengan pola RANKL heterogen dan
ekspresi OPG, mulai dari sampel dengan rasio RANKL/OPG yang mirip pada daerah yang terlihat
resorpsi tulang yang menunjukkan resorpsi tulang aktif tanpa pola [59]. Ketidakseimbangan tersebut
dipicu oleh sitokin utama yang dihasilkan selama fase lesi periapikal : IL-1α, IL-1β, RANKL, dan TNF-α)
[10, 11, 60-63]. Banyak bukti menunjukkan korelasi positif antara resorbtif sitokin tulang IL-1β, IL-2,
IL-12, TNF-α , dan IFN-γ [18, 19]. Sebagian besar dari sitokin Th-1 dan diproduksi selama fase akut
lesi periapikal. Di sisi lain, fase kronik penyakit ini ditandai oleh produksi sitokin Th-2 (IL-4, IL-6, IL-10,
IL-13) yang mengurangi aktifitas resorpsi tulang [7]. Seperti penegassan yang ditunjukkan ppada
percobbaan diatas menggunakan IL-10 -/- tikus. Itu tidak menunjukkan adanya IL-10 yang mengarah
pada perkembangan lesi periapikal yang lebih besar dibandingkan dengan tikus wildtype. Selain itu,
kadar IL-1β dan IL-12 sangat tinggi dibandingkan dengan hewan wildtype, menunjukkan bahwa IL-10
bertindak sebagai penekan overprooduksi dari IL-1β dan IL-12 [7, 48]. Di lain hal, sitokin juga
memiliki fungsi seperti IL-4 dan IL-13 juga menghambat resorpsi tulang dengan mengurangi produksi
sitokin Th-1 [19]. Paradoksnya, gen yang kalah dari prototipe mediator Th-1 Interferon-γ (IFN-γ) atau
IFN-γ mengakibatkan IL-2 dan IL-18 tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kerusakan
tulang periapikal, baik menunjukkan kurangnya aktifitas regulasi atau redundansi dalam jalur
proinflamasi [24].
Gambar 1: Skema gambar menunjukkan peran kontroversial IL-12 pada resorpsi tulang pada daerah
periodontal apikal.

Perkembangan infeksi pulpa gigi memicu respon inflamasi pada jaringan periapikal. Sel inflamasi,
seperti makrofag, diambil untuk daerah dan pelepasan mediator proinflamasi. Salah satu
mediatonya adalah IL-12 yang menyebabkan sel Th-1 untuk memproduksi IFN-γ. IL-12-IFN-γ pathway
dapat mengakibatkan resorpsi tulang dengan memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan
IL-1β yang menyebabka akfivasi dari osteoklas. Sebaliknya, jalur ini juga terlibat pada degradasi
adaptor protein RANK, TRAF6 yang mengurangi diferensiasi osteoklas RANKinduced. Dalam konteks
ini, sel dendritik dan sel CD4+ naif juga memproduksi sitokin family IL-12 anggota IL-23 yang
menyebabkan diferensiasi sel Th-17. Sel-sel ini melepaskan IL-17, meningkatkan produksi IFN-γ.
Kondisi lingkungan ini mendukung proinflamasi IL-12 yang juga dapat memblokir Th-2, merangsang
perkembangan infeksi yang disebabkan oleh lesi pereapikal. Ini berlawanan dengan mekanisme yang
mungkin menjelaskan temuan disk repant mengenai IL-12 dan IFN-γ pada lesi periapikal. IFN-γ ;
interferon-γ ; RANK ; Receptor Activator of Nuclear kB ; TRAF6 ; Tumor necrosi factor Receptor-
Activator Factor 6)

Hal ini dapat dianggap bahwa IL-12 memiliki efek dikotomis terkait dengan osteoklastogenesis
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1. Satu-satunya yang menyebabkan diferensiasi osteoklas
oleh peningkatan produksi IL-8β dan sitokin Th-1 dan mempengaruhi oosteolisis untuk merusak
daerah sekitar akar apeks selama perkembangan lesi periapikal [19]. Namun penelitian in vitro
menunjukkan bahwa IL-2 secara tidak langsung mengurangi induksi RANKL diferensiasi osteoklas
sendiri atau bersinergi dengan IL-8 [64]. Selain itu sel T mempunyai peranan penting dalam
menghambat osteoklastogenesis karena ketiadaan mereka merupakan efek dari pengobatan IL-12
[64]. Pada kelompok lain menunjukkan bahwa IFN-γ menekan RANKL yang menyebabkan
diferensiasi osteoklas dan osteoklas dewasa meningkat dengan adanya fungsi IFN-γ yang
menyebabkan degradasi adaptor protein RANK, TRAF6 (Tumor Necrosis-Factor Receptor Associated
Factor 6) yang menghasilkan hambatan kuat dari aktivasi RANKL yang diinduksi faktor-faktor
transkripsi NF-kB dan JNK [50]. Uniknya, ablasi henetik dari reseptor kemokin CCR5, merupakan
ekspresi yang khas dari limfosit Th-1 yang terpolarisasi, hasilnya pada pembentukakan lesi periapikal
lebih besar [23], untuk memperkuat peran IFN-γ sebagai pelindung lesi pada litik tulang. Oleh karena
itu, kita bisa bertanya-tanya bahwa efek penghambatan IL-12 pada diferensiasi osteoklas setidaknya
tergantung pada produksi INF-γ oleh sel T. Namun, pengaruh dari proinflamasi INF-γ menunjukkan
secara in vivo yang menghasilkan upregulasi pada tingkat TNF-α dan IL-1β (dan akibatnya pada
RANKL), terlihat untuk mengatasi pengaruh antiosteoclastogenic langsung secara in vitro [65, 66].
Selain itu IFN-γ juga merangsang pembentukkan osteoklas dan tulang keropos pada in vivo melalui
pembawa aktivasi antigen sel Tatau melalui chemmoattraction sel RANKL+ [65-67]. Sesuai dengan
perannya yang merusak potensi pembawa IL-12 dan IFN-γ yang diperantarai respon Th-1 pada lesi
periapikal, data dari dukungan kelompok kami tentang hipotesis ini tidak diterbitkan lagi. Ketika
granuloma periapikal digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif berdasarkan pola ekspresi
RANKL/OPG (sebelumnya sudah dikutip) [59], hasil kami menunjukkan bahwa ekspresi dari IL-12 dan
IFN-γ adalah nyata lebih tinggi pada lesi aktif, sedangkan sitokin tipe Th-2 dan Th-22 berlaku pada
lesi aktif.

Selain itu, meskipun tidak ada data langsung yang tersedia tentang lesi periapikal IL-23/IL-17
dikabarkan baru-baru ini mungkin juga bisa menjelaskan pengaruh yang berbeda dari IL-12 pada
resorpsi tulang. IL-23 merupakan sitokin heterodinamic yang terdiri dari subunit IL-12p40 ditambah
dengan IL-23 khususnya subunit P19. Dengan adanya heterodimer IL-12 IL-12Rβ pada reseptor
mereka mengaktifkan banyak sinyal yang sama dan jalur transkripsi [68,69]. Pada model radang
sendi, sel Th-17 distimulasi oleh IL-23 mendorong osteoklastogenesis melalui produksi dari IL-17
yang pada fase ini menyebabkan sel mesenkimal untuk melepaskan RANKL [69,70]. IL-23 juga dapat
menstimulasi pembentukkan osteoklas dengan cara langsung pada prekursor myeloid (menginduksi
ekspresi dari RANK) dan tidak langusng pada osteoblas (upregulasi ekspresi dari RANKL) [69]. Sebuah
penelitian baru menyatakan bahwa dosis ketergantungan IL-23 meregulasi ekspresi dari RANK pada
makrofag di sumsum tulang mencit dan sel RAW264. 7 sel pemicu diferensiasi sel IL-17 sendiri. Hasil
ini juga menunjukkan bahwa IL-23 sinergi dengan RANK untuk memicu pembentukkan osteoklas
tetapi IL-23 sendiri tidak mampu menyebabkan osteoklastogenesis [71].

Walaupun demikian, seperti IL-12 dan IL-23 yang bisa sinergis dengan IL-18 untuk memblokir
osteoklastogenesis pada CD4+ sel T yang bergantung secara in vitro. Uniknya, IL-23 kelihatannya
tidak memperantarai IL-12 walaupun IL-23 menyebabkan ekspresi dari IL-12 [72]. Osteoklastogenesis
yang berasal dari sumsum tulang disebabkan oleh cairan RANKL yang sebagian dihambat oleh IL-23
dengan penurunan angka multinukleat, tetapi interleukin ini tidak mempengaruhi proliferasi
progenitor sel osteoklas [73]. Temuan ini menunjukkan pada sebuah kasus yang berbeda kondisi
sitokin inilah yang melibatkan resorpsi tulang. Oleh karena itu, pendekatan yang terdiri dari
beberapa sitokin masing-masing ini malahan memberikan dasar yang luas untuk mendefenisikan
peran sitokin dalam munculnya lesi periapikal, karena ini membutuhkan penjelasan secara
keseluruhan dari dengan keseimbangan sitokin dengan fungsi yang berlawanan atau mirip. Demikian
juga, penentuan penyakit putatif seperti oleh aktifitas RANKL/OPG tidak ada data klinis yang
defenitif mengenai pola mengatasi aktifitas penyakit yang sebenarnya (yaitu, resorpsi tulang aktif)
yang tentunya memberikan kotribusi yang bertentangan dengan peran IL-12 (dan juga beberapa
sitokin lain yang terlibat) dalam pembentukkan lesi periapikal. Akhirnya, perkembangan dari
penerapan model percobaan yang menggunakan rekayasa genetika tikus strain memungkinkan
hubungan sebab-akibat, menyediakan kontribusi penting untuk penelitian imunopatologis ini pada
patologi periapikal [63, 74, 75].

6. Penutup

Pembentukkan dan perkembangan lesi periapikal nyata tergantung pada reaksi inflamasi yang dipicu
oleh infeksi pulpa. IL-12 berhubungan diferensiasi sel Th-1 dan ada bukti bahwa sel-sel Th terlibat
langsung pada lesi periapikla dan resorpsi tulang. Respon sel Th-1 ke makrofag dari derivat IL-12
yang melepaskan IFN-γ dan menekan sitokin Th-2 mendukung terjadinya infeksi yang disebabkan
oleh tulang keropos. Dengan demikian IL-12-INF-γ pathway dapat membantu meningkatkan lesi
periapikal karena aktifitas proinflamasi. Kemudian, diferensiasi sel Th-17 pada produksi IL-23 juga
tampaknya mernagsang proinflamasi periapikal gigi melalui reaksii IL-17 yang mengeluarkan IFN-γ.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya pengaruh masing-masing IL12 dan IFN-γ terhadap
lesi periapikal. Peran proinflamasi IL-12 pada lesi diimbangi oleh pengaruh penghambatan dalam
diferensiasi osteoklas yang setidaknya sebagian tergantung pada produksi IFN-γ. Kesimpulannya, IL-
12 memiliki peran ganda dalam patogenesis periapikal.

Ucapan Terima Kasih

Pekerjaan ini telah didukung oleh Fundac ¸ ~ ao de Amparo sebuah


Pesquisas do Estado de Minas Gerais (FAPEMIG, Brasil),

Coordenac ¸ ~ ao de Aperfeic ¸ oamento de Pessoal de Unggul N'ıvel

(Bertopi, Brasil), dan Conselho Nacional de Desenvolvimento

Cient'ıfico e Tecnol 'ogico (CNPq, Brasil).

Referensi

[1] P. L. W. Yun, A. A. Decarlo, C. Collyer, and N. Hunter, “Hydrolysis of interleukin-12 by


Porphyromonas gingivalis major cysteine proteinases may affect local gamma interferon
accumulation and the Th1 or Th2 T-cell phenotype in periodontitis,” Infection and Immunity, vol. 69,
no. 9, pp. 5650–5660, 2001.

[2] G. Trinchieri and F. Gerosa, “Immunoregulation by interleukin-12,” Journal of Leukocyte Biology,


vol. 59, no. 4, pp. 505–511, 1996.

[3] G. Trinchieri, S. Pflanz, and R. A. Kastelein, “The IL-12 family of heterodimeric cytokines: new
players in the regulation of T cell responses,” Immunity, vol. 19, no. 5, pp. 641–644, 2003.

[4] A. J. Hueber, D. L. Asquith, I. B. McInnes, and A. M. Miller, “Embracing novel cytokines in RA—
complexity grows as does opportunity!,” Best Practice&Research: Clinical Rheumatology, vol. 24, no.
4, pp. 479–487, 2010.

[5] A. Glowacka, P. Lewkowicz, H. Rotsztejn, and A. Zalewska, “IL-8, IL-12 and IL-10 cytokines
generation by neutrophils, fibroblasts and neutrophils-fibroblasts interaction in psoriasis,” Advances
in Medical Sciences, vol. 55, no. 8, pp. 1–7, 2010.

[6] W. Strober, F. Zhang, A. Kitani, I. Fuss, and S. Fichtner-Feigl, “Proinflammatory cytokines


underlying the inflammation of Crohn’s disease,” Current Opinion in Gastroenterology, vol. 26, no. 4,
pp. 310–317, 2010.

[7] H. Sasaki, N. Suzuki Jr., R. Kent, N. Kawashima, J. Takeda, and P. Stashenko, “T cell response
mediated by myeloid cellderived IL-12 is responsible for Porphyromonas gingivalisinduced
periodontitis in IL-10-deficient mice,” Journal of Immunology, vol. 180, no. 9, pp. 6193–6198, 2008.

[8] P. N. R. Nair, “Apical periodontitis: a dynamic encounter between root canal infection and host
response,” Periodontology 2000, vol. 14, no. 1, pp. 121–148, 1997.

[9] P. N. R. Nair, “Pathogenesis of apical periodontitis and the causes of endodontic failures,” Critical
Reviews in Oral Biology and Medicine, vol. 15, no. 6, pp. 348–381, 2004.

[10] R. Vernal, A. Dezerega, N. Dutzan et al., “RANKL in human periapical granuloma: possible
involvement in periapical bone destruction,” Oral Diseases, vol. 12, no. 3, pp. 283–289, 2006.

[11] N. Kawashima, N. Suzuki, G. Yang et al., “Kinetics of RANKL, RANK and OPG expressions in
experimentally induced rat periapical lesions,” Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral
Radiology and Endodontology, vol. 103, no. 5, pp.707–711, 2007.

[12] C. O. Rodini and V. S. Lara, “Study of the expression of CD68+ macrophages and CD8+ T cells in
human granulomas and periapical cysts,” Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral
Radiology, and Endodontics, vol. 92, no. 2, pp. 221–227, 2001.
[13] S. Liapatas, M. Nakou, and D. Rontogianni, “Inflammatory infiltrate of chronic periradicular
lesions: an immunohistochemical study,” International Endodontic Journal, vol. 36, no. 7, pp. 464–
471, 2003.

[14] P. Stashenko, S. M. Yu, and C. Y. Wang, “Kinetics of immune cell and bone resorptive responses
to endodontic infections,”Journal of Endodontics, vol. 18, no. 9, pp. 422–426, 1992.

[15] K. Takahashi, “Microbiological, pathological, inflammatory,immunological and molecular


biological aspects of periradiculardisease,” International Endodontic Journal, vol. 31, no. 5,pp. 311–
325, 1998.

[16] T. A. Silva, G. P. Garlet, V. S. Lara, W. Martins Jr., J. S.Silva, and F. Q. Cunha, “Differential
expression of chemokinesand chemokine receptors in inflammatory periapical
diseases,”OralMicrobiology and Immunology, vol. 20, no. 5, pp. 310–316,2005.

[17] T. A. Silva, G. P. Garlet, S. Y. Fukada, J. S. Silva, and F. Q. Cunha, “Chemokines in oral


inflammatory diseases: apical periodontitis and periodontal disease,” Journal of Dental Research,
vol. 86, no. 4, pp. 306–319, 2007.

[18] N. Kawashima and P. Stashenko, “Expression of boneresorptive and regulatory cytokines in


murine periapical inflammation,” Archives of Oral Biology, vol. 44, no. 1, pp. 55–66, 1999.

[19] P. Stashenko, R. Teles, and R. D’Souza, “Periapical inflammatory responses and their
modulation,” Critical Reviews in Oral Biology and Medicine, vol. 9, no. 4, pp. 498–521, 1998.

[20] K. Balto, H. Sasaki, and P. Stashenko, “Interleukin-6 deficiency increases inflammatory bone
destruction,” Infection and Immunity, vol. 69, no. 2, pp. 744–750, 2001.

[21] M. Cˇ olic´, A. Lukic´, D. Vucˇevic´ et al., “Correlation between phenotypic characteristics of


mononuclear cells isolated from human periapical lesions and their in vitro production of Th1 and
Th2 cytokines,” Archives of Oral Biology, vol. 51, no. 12, pp. 1120–1130, 2006.

[22] D. Gazivoda, T. Dzopalic, B. Bozic, Z. Tatomirovic, Z. Brkic, and M. Colic, “Production of


proinflammatory and immunoregulatory cytokines by inflammatory cells from periapical lesions in
culture,” Journal of Oral Pathology & Medicine, vol. 38, no. 7, pp. 605–611, 2009.

[23] A. De Rossi, L. B. Rocha, and M. A. Rossi, “Interferongamma,interleukin-10, intercellular


adhesion molecule-1,and chemokine receptor 5, but not interleukin-4, attenuate thedevelopment of
periapical lesions,” Journal of Endodontics, vol.34, no. 1, pp. 31–38, 2008.

[24] H. Sasaki, K. Balto, N. Kawashima et al., “Gamma interferon(IFN-γ) and IFN-γ-inducing cytokines
interleukin-12 (IL-12)and IL-18 do not augment infection stimulated bone resorptionin vivo,” Clinical
and Diagnostic Laboratory Immunology, vol. 11, no. 1, pp. 106–110, 2004.

[25] H. Ohyama, N. Kato-Kogoe, A. Kuhara et al., “The involvement of IL-23 and the Th 17 pathway in
periodontitis,” Journal of Dental Research, vol. 88, no. 7, pp. 633–638, 2009. Clinical and
Developmental Immunology 7

[26] J. Zhu, H. Yamane, andW. E. Paul, “Differentiation of effector CD4 T cell populations,” Annual
Review of Immunology, vol. 28, pp. 445–489, 2010.

[27] C. Beadling and M. K. Slifka, “Regulation of innate and adaptive immune responses by the
related cytokines IL- 12, IL-23, and IL-27,” Archivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis, vol.
54, no. 1, pp. 15–24, 2006.
[28] L. Fantuzzi, P. Puddu, B. Varano, M. Del Corno, F. Belardelli, and S. Gessani, “IFN-α and IL-18
exert opposite regulatory effects on the IL-12 receptor expression and IL-12-induced IFN-γ
production in mouse macrophages: novel pathways in

the regulation of the inflammatory response of macrophages,” Journal of Leukocyte Biology, vol. 68,
no. 5, pp. 707–714, 2000.

[29] H. Yoshida and M. Yoshiyuki, “Regulation of immune responses by interleukin-27,”


Immunological Reviews, vol. 226, no. 1, pp. 234–247, 2008.

[30] R. J. Carmody, Q. Ruan, H. C. Liou, and Y. H. Chen, “Essential roles of c-Rel in TLR-induced IL-23
p19 gene expression in dendritic cells,” Journal of Immunology, vol. 178, no. 1, pp. 186–191, 2007.

[31] S. Goriely, M. F. Neurath, and M. Goldman, “How microorganisms tip the balance between
interleukin-12 family members,” Nature Reviews Immunology, vol. 8, no. 1, pp. 81–86, 2008.

[32] M. Cˇ olic´, D. Gazivoda, D. Vucˇevic´, S. Vasilijic´, R. Rudolf and A. Luki´c, “Proinflammatory and
immunoregulatory mechanisms in periapical lesions,”Molecular Immunology, vol. 47, no. 1, pp. 101–
113, 2009.

[33] M. H. Stern, S. Dreizen, B. F. Mackler, and B. M. Levy, “Isolation and characterization of


inflammatory cells from the human periapical granuloma,” Journal of Dental Research, vol. 61, no.
12, pp. 1408–1412, 1982.

[34] R. Nilsen, A. C. Johannessen, N. Skaug, and R. Matre,“In situ characterization of mononuclear


cells in human dental periapical inflammatory lesions using monoclonal antibodies,” Oral Surgery
Oral Medicine and Oral Pathology,vol. 58, no. 2, pp. 160–165, 1984.

[35] H. O. Trowbridge, “Immunological aspects of chronic inflammation and repair,” Journal of


Endodontics, vol. 16, no. 2, pp. 54–61, 1990.

[36] S. Y. Fukada, T. A. Silva, G. P. Garlet, A. L. Rosa, J. S. da Silva, and F. Q. Cunha, “Factors involved
in the T helper type 1 and type 2 cell commitment and osteoclast regulation in inflammatory apical
diseases,” Oral Microbiology and Immunology, vol. 24, no. 1, pp. 25–31, 2009.

[37] P. Bab´al, P. Soler, M. Brozman, J. Jakubovsky, M. Beyly, and F. Basset, “In situ characterization
of cells in periapical granuloma by monoclonal antibodies,” Oral Surgery Oral Medicine and Oral
Pathology, vol. 64, no. 3, pp. 348–352, 1987.

[38] J. B.Wallstrom, M. Torabinejad, J. Kettering, and P.McMillan, “Role of T cells in the pathogenesis
of periapical lesions: a preliminary report,” Oral Surgery Oral Medicine and Oral Pathology, vol. 76,
no. 2, pp. 213–218, 1993.

[39] N. Kawashima, T. Okiji, T. Kosaka, and H. Suda, “Kinetics of macrophages and lymphoid cells
during the development of experimentally induced periapical lesions in rat molars: a quantitative
immunohistochemical study,” Journal of Endodontics, vol. 22, no. 6, pp. 311–316, 1996.

[40] N. Tani-Ishii, K. Kuchiba, T. Osada, Y. Watanabe, and T. Umemoto, “Effect of T-cell deficiency on
the formation of periapical lesions in mice: histological comparison between periapical lesion
formation in BALB/c and BALB/c nu/nu mice,” Journal of Endodontics, vol. 21, no. 4, pp. 195–199,
1995.
[41] J. R.B. Marc¸al, R. O. Samuel, D. Fernandes et al., “T-helper cell type 17/regulatory T-cell
immunoregulatory balance in human radicular cysts and periapical granulomas,” Journal of
Endodontics, vol. 36, no. 6, pp. 995–999, 2010.

[42] G. Trinchieri, “Interleukin-12: a cytokine produced by antigen-presenting cells with


immunoregulatory functions in the generation of T-helper cells type 1 and cytotoxic lymphocytes,”
Blood, vol. 84, no. 12, pp. 4008–4027, 1994.

[43] M. Seitz, P. Loetscher, B. Dewald, H. Towbin, and M. Baggiolini, “Opposite effects of interleukin-
13 and interleukin-12 on the release of inflammatory cytokines, cytokine inhibitors and
prostaglandin E from synovial fibroblasts and blood mononuclear cells,” European Journal of
Immunology, vol. 26,no. 9, pp. 2198–2202, 1996.

[44] H. Xiong, L. Wei, and B. Peng, “Immunohistochemical localization of IL-17 in induced rat
periapical lesions,” Journal of Endodontics, vol. 35, no. 2, pp. 216–220, 2009.

[45] S. L. Gaffen and G. Hajishengallis, “A new inflammatory cytokine on the block: re-thinking
periodontal disease and the Th1/Th2 paradigm in the context of Th17 cells and IL-17,” Journal of
Dental Research, vol. 87, no. 9, pp. 817–828, 2008.

[46] T. B. Teixeira-Salum, D. B. R. Rodrigues, A. M. Gerv´asio, C. J. A. Souza, V. Rodrigues Jr., and A.


M. Loyola, “Distinct Th1, Th2 and Treg cytokines balance in chronic periapical granulomas and
radicular cysts,” Journal of Oral Pathology & Medicine, vol. 39, no. 3, pp. 250–256, 2010.

[47] H. Kabashima, K. Nagata, K. Maeda, and T. Iijima, “Presence of IFN-γ and IL-4 in human
periapical granulation tissues and regeneration tissues,” Cytokine, vol. 14, no. 5, pp. 289–293, 2001.

[48] H. Sasaki, L. Hou, A. Belani et al., “IL-10, but not IL- 4, suppresses infection-stimulated bone
resorption in vivo,” Journal of Immunology, vol. 165, no. 7, pp. 3626–3630, 2000.

[49] N. Yamada, S. Niwa, T. Tsujimura et al., “Interleukin-18and interleukin-12 synergistically inhibit


osteoclastic boneresorbingactivity,” Bone, vol. 30, no. 6, pp. 901–908, 2002.

[50] H. Takayanagi, K. Ogasawara, S. Hida et al., “T-cellmediated regulation of osteoclastogenesis by


signalling crosstalk between RANKL and IFN-γ,” Nature, vol. 408, no. 6812, pp. 600–605, 2000.

[51] N. A. Sims and J. H. Gooi, “Bone remodeling:multiple cellular interactions required for coupling
of bone formation and resorption,” Seminars in Cell & Developmental Biology, vol. 19, no. 5, pp.
444–451, 2008.

[52] H. K. Datta, W. F. Ng, J. A. Walker, S. P. Tuck, and S. S. Varanasi, “The cell biology of bone
metabolism,” Journal of Clinical Pathology, vol. 61, no. 5, pp. 577–587, 2008.

[53] F. J. Hughes, W. Turner, G. Belibasakis, and G. Martuscelli, “Effects of growth factors and
cytokines on osteoblast differentiation,” Periodontology 2000, vol. 41, no. 1, pp. 48–72, 2006.

[54] T. Katagiri and N. Takahashi, “Regulatory mechanisms of osteoblast and osteoclast


differentiation,” Oral Diseases, vol. 8, no. 3, pp. 147–159, 2002.

[55] L. F. Bonewald, “Osteocytes as dynamic multifunctional cells,” Annals of the New York Academy
of Sciences, vol. 1116, pp. 281– 290, 2007.
[56] A. M. Parfitt, “The coupling of bone formation to bone resorption: a critical analysis of the
concept and of its relevance to the pathogenesis of osteoporosis,”Metabolic Bone Disease &Related
Research, vol. 4, no. 1, pp. 1–6, 1982.

[57] Y. Behl, M. Siqueira, J. Ortiz et al., “Activation of the acquired immune response reduces
coupled bone formation in response to a periodontal pathogen,” Journal of Immunology, vol. 181,
no. 12, pp. 8711–8718, 2008. 8 Clinical and Developmental Immunology

[58] A. Leibbrandt and J. M. Penninger, “RANK/RANKL: regulators of immune responses and bone
physiology,” Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1143, pp. 123–150, 2008.

[59] R. Menezes, T. P. Garlet, A. P. F. Trombone et al., “The potential role of suppressors of cytokine
signaling in the attenuation of inflammatory reaction and alveolar bone loss associated with apical
periodontitis,” Journal of Endodontics, vol. 34, no. 12, pp. 1480–1484, 2008.

[60] S. M. Yu and P. Stashenko, “Identification of inflammatory cells in developing rat periapical


lesions,” Journal of Endodontics, vol. 13, no. 11, pp. 535–540, 1987.

[61] P. Stashenko, C. Y. Wang, N. Tani-Ishii, and S. M. Yu, “Pathogenesis of induced rat periapical
lesions,” Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, vol. 78, no. 4, pp. 494–502, 1994.

[62] C. A. Dinarello, “Biologic basis for interleukin-1 in disease,” Blood, vol. 87, no. 6, pp. 2095–2147,
1996.

[63] S. R. Rittling, C. Zetterberg, K. Yagiz et al., “Protective role of osteopontin in endodontic


infection,” Immunology, vol. 129, no. 1, pp. 105–114, 2010.

[64] N. J. Horwood, J. Elliott, T. J. Martin, and M. T. Gillespie, “IL-12 alone and in synergy with IL-18
inhibits osteoclas formation in vitro,” Journal of Immunology, vol. 166, no. 8, pp. 4915–4921, 2001.

[65] G. P. Garlet, C. R. B. Cardoso, A. P. Campanelli et al., “The essential role of IFN-γ in the control of
lethal Aggregatibacter actinomycetemcomitans infection in mice,” Microbes and Infection, vol. 10,
no. 5, pp. 489–496, 2008.

[66] Y. Gao, F. Grassi,M. R. Ryan et al., “IFN-γ stimulates osteoclast formation and bone loss in vivo
via antigen-driven T cell activation,” Journal of Clinical Investigation, vol. 117, no. 1, pp. 122–132,
2007.

[67] C. E. Repeke, S. B. Ferreira, M. Claudino et al., “Evidences of the cooperative role of the
chemokines CCL3, CCL4 and CCL5 and its receptors CCR1+ and CCR5+ in RANKL+ cell migration
throughout experimental periodontitis in mice,” Bone, vol. 46, no. 4, pp. 1122–1130, 2010.

[68] Y. Iwakura and H. Ishigame, “The IL-23/IL-17 axis in inflammation,” Journal of Clinical
Investigation, vol. 116, no. 5, pp. 1218–1222, 2006.

[69] A. Paradowska-Gorycka, A. Grzybowska-Kowalczyk, E. Wojtecka- Lukasik, and S. Maslinski, “IL-23


in the pathogenesis of rheumatoid arthritis,” Scandinavian Journal of Immunology, vol. 71, no. 3, pp.
134–145, 2010.

[70] T. Yago, Y. Nanke, M. Kawamoto et al., “IL-23 induces human osteoclastogenesis via IL-17 in
vitro, and anti-IL- 23 antibody attenuates collagen-induced arthritis in rats,” Arthritis Research and
Therapy, vol. 9, no. 5, article R96, 2007.
[71] L. Chen, X. Q. Wei, B. Evans, W. Jiang, and D. Aeschlimann, “IL-23 promotes osteoclast
formation by up-regulation of receptor activator of NF-κB (RANK) expression in myeloid precursor
cells,” European Journal of Immunology, vol. 38, no. 10, pp. 2845–2854, 2008.

[72] J. M. W. Quinn, N. A. Sims, H. Saleh et al., “IL-23 inhibits osteoclastogenesis indirectly through
lymphocytes and is required for the maintenance of bone mass in mice,” Journal of Immunology, vol.
181, no. 8, pp. 5720–5729, 2008.

[73] S. Kamiya, C. Nakamura, T. Fukawa et al., “Effects of IL-23 and IL-27 on osteoblasts and
osteoclasts: inhibitory effects on osteoclast differentiation,” Journal of Bone and Mineral
Metabolism, vol. 25, no. 5, pp. 277–285, 2007.

[74] T. P. Garlet, S. Y. Fukada, I. F. Saconato et al., “CCR2 deficiency results in increased osteolysis in
experimental periapical lesions inmice,” Journal of Endodontics, vol. 36, no. 2, pp. 244– 250, 2010.

[75] S. Y. Fukada, T. A. Silva, I. F. Saconato et al., “iNOSderived nitric oxide modulates infection-
stimulated bone loss,” Journal of Dental Research, vol. 87, no. 12, pp. 1155–1159, 2008.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit jaringan periradikular dapat terjadi akibat pulpa yang mengalami pulpitis irreversible
ataupun nekrosis. Berlainan dengan jaringan pulpa, jaringan periradikuler memiliki sumber sel tak
terdiferensiasi yang jumlahnya hampir tak terbatas dan berpartisipasi baik dalam inflamasi maupun
perbaikan. Interaksi antara iritan yang berasal dari ruang pulpa dengan pertahanan pejamu akan
mengaktifkan serangakaian reaksi untuk melindungi pejamu. Reaksi yang muncul sangat komplek
dan biasanya diperantarai oleh mediator inflamasi non-spesifik atau reaksi imun spesifik.

Dalam penegakan diagnosis penyakit periradikular, dilakukan tes klinis perkusi dan palpasi. Pasien
dengan respon positif mengindikasikan adanya lesi periradikuler dan harus dilakukan perawatan.
Untuk mendapat prognosis baik, rencana perawatan yang dapat dipertimbangkan adalah drainase,
pengilangan iritan, dan perawatan saluran akar, sesuai dengan lesi yang akan dirawat.

1.2 Batasan masalah

A. Oral Biologi

1. Mekanisme nyeri pulpa

2. Klasifikasi nyeri

3. Intesitas nyeri

4. Kualitas nyeri

5. Sel somatik dan imunokompeten

6. Imunopatogenesis penyakit pulpa dan periradikular

7. Respon imun

8. Biologi pulpa dan periradikular

9. Etiologi dan patognesis penyakit pulpa dan periradikular

10. Faktor virulensi bakteri

11. Biofilm saluran akar

12. Hubungan pulpa dengan agen infeksi dan agen non-infeksi

B. Konservasi

1. Pemeriksaan klinis

2. Klasifikasi penyakit periradikular

3. Diagnosis dan diagnosis banding penyakit periradikular

4. Prognosis penyakit periradikular

5. Rencana perawatan penyakit periradikular

6. Evaluasi pasca perawatan penyakit periradikular


7. Mekanisme penyembuhan

C.Interpretas radiograf pada penyakit periapeks

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Oral Biologi

2.1.1 Mekanisme nyeri pulpa

Saraf sensoris yang mempersarafi pulpa adalah saraf campuran yang mengandung baik akson
mielin maupun tidak bermielin. Akson bermielin digolongkan menurut diameter dan kecepatan
konduksinya. Termasuk dalam golongan ini adalah akson Aδ, diameter 1-6μm, yang merupakan saraf
bermielin dengan konduksi lambat dan yang jumlahnya paling banyak. Saraf sensoris bermielin
bercabang makin banyak ketika naik ke arah korona. Pada akhirnya saraf ini akan kehilangan
selubung mielinnya dan berakhir sebagai cabang-cabang tak bermielin baik di bawah odontoblas,
sekitar odontoblas, maupun sepanjang prosesus odontoblas dalam tubulus dentin. Di sana saraf ini
membentuk sinsitium saraf yang disebut pleksus subodontoblas Raschkow. Stimulus serabut ini akan
menghasilkan nyeri tajam yang cepat yang relative mudah ditentukan lokasinya.

Akson nosiseptif tidak bermielin, atau serabut c (diameternya <1μm), adalah saraf yang paling
banyak terutama ditemukan pada inti pulpa. Kecepatan konduksinya lebih lambat daripada serabut
Aδ, dan stimulasi serabut ini menghasilkan nyeri yang lebih lambat awitannya dan sifatnya tumpul
serta menyebar.

Terdapat beberapa teori mekanisme nyeri :

ü Persarafan langsung dari dentin

Dentin memiliki ujung serat saraf sensorik dan akan menerima rangsang yang jatuh pada dentin
tersebut.

stimulus→email→dentin→pulpa→sensasi→reaksi nyeri

ü Teori persarafan odontoblast

stimulus→email→dentin→ditangkap oleh serat tomes→sel saraf pada odontoblast→pulpa→SSP


anterior→memerintahkan neuron motorik untuk memunculkan gerak refleks atau reaksi nyeri.

ü Teori hidrodinamik

stimulus→email→dentin(cairan tubulus dentin bergerak naik turun)→sel saraf pada


odontoblas→pulpa→SSP→memerintahkan neuron motorik untuk memunculkan gerak refleks atau
reaksi nyeri.1
2.1.2 Klasifikasi nyeri

a. Nyeri Spontan (tanpa rangsangan)

Nyeri spontan timbul tanpa adanya stimulus. Jadi nyeri yang mengagetkan pasien atau timbul
tanpa sebab disebut neri spontan. Nyeri spontan jika digabung dengan nyeri intens biasanya
mengindikasikan adanya penyakit pulpa atau penyakit periradikular yang parah. Nyeri ini adalah
tanda dari pulpitis ireversibel.

b. Nyeri tidak spontan (dengan rangsangan)

Nyeri tidak spontan merupakan rasa tidak enak yang timbul dari terangsangnya jalur nyeri
oleh stimulus yang menyebabkan atau memungkinkan kerusakan jaringan. Nyeri ini dapat hilang
apabila rangsangan dihilangkan.

c. Membedakan nyeri akut dan nyeri kronis

· Nyeri akut adalah rasa yang tidak enak yang timbul dari terangsangnya jalur nyeri oleh stimulus
yang menyebabkan atau memungkinkan kerusakan jaringan. Nyeri akut berlangsung dalam hitungan
menit (kurang dari 6 bulan). Ditandai dengan peningkatan nadi dan respirasi. Respon pasien dapat
berupa menangis atau mengerang dan fokus pada nyeri.

· Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul tanpa adanya stimulus dan kerusakan jaringan yang jelas.
Suatu rasa yang tidak begitu mengganggu sehingga pasien tidak mengeluh tentang nyeri. Nyeri
kronis berlangsung lebih dari 6 bulan.2

2.1.3 Intensitas nyeri

Nyeri Intens adalah nyeri yang baru terjadi,tak dapat diredakan oleh analgesik dan menyebabkan
pasien mencari pertolongan.Nyeri yang sudah berlangsung lama biasanya tidak intens. Nyeri yang
sifatnya ringan atau sedang dengan durasi yang lama tidak dengan sendirinya bersifat diagnostik
secara endodonsia. Nyeri intens dapat timbul dari pulpitis ireversibel atau periodontitis atau abses
apikalis simtomatik (akut).2

2.1.4 Kualitas nyeri

a. Nyeri cepat

· Disalurkan ke medulla spinalis oleh serat Aδ

· Dirasakan dalam waktu 0,1 detik

· Lokalisasi jelas, seperti menusuk

· Berespon terhadap rangsangan mekanis dan suhu

b. Nyeri lambat

· Disalurkan ke medulla spinalis oleh serat c

· Dirasakan dalam waktu 1 detik

· Lokalisasi kurang jelas, berdenyut, pegal

· Berespon terhadap rangsangan kimiawi3


2.1.5 Sel somatik dan imunokompeten

a.Sel somatik

Sel somatik adalah sel-sel penyusun tubuh dengan jumlah kromosom 2n (diploid). Dalam proses
pertumbuhan makhluk hidup multiseluler sel somatik mengalami proses pembelahan mitosis.
Terdapat beberapa sel somatik pada pulpa seperti:

· Odontoblas

Odontoblas adalah sel pulpa yang paling khas. Sel ini membentuk lapisan tunggal diperifernya dan
mensintesis matriks yang kemudian termineralisasi dan menjadi dentin. Dibagian mahkota ruang
pulpa terdapat odontoblas yang jumlahnya banyak sekali dan bentuknya seperti kubus relatif besar.
Jumlahnya di daerah itu sekitar 45.000 dan 65.000/mm2. Di daerah serviks dan tengah-tengah akar
jumlahnya lebih sedikitb dan tampilannya lebih gepeng (skuamosa). Morfologi sel umumnya secara
signifikan mencerminkan aktivitas fungsionalnya, dan sel yang lebih besar memiliki kapasitas
mensintesis lebih banayak matriks. Odontoblas adalah sel akhir yakni tidak mengalami lagi
pembelahan sel. Seumur hidupnya, yang bisa sama dengan umur vitalitas pulpa, odontoblas
mengalami masa fungsional, transisi, transisional, dna fase istrahat, yang masing-masing berbeda
dalam ukuran dan ekspresi organelnya.

Odontoblas terdiri atas dua komponen structural dan fungsional utama yakni badan sel dan prosesus
sel. Badan sel terletak dissebelah matriks dentin tak termineralisasi (predentin). Prosesus sel
memanjang ke luar kea rah tubulus di dentin dan predentin. Sampai dimana prosesu odontoblas
berjalan di tubulus.

Badan sel adalah bagian dari sel yang begrfungsi sintesis dan mengandung nucleus yang terletak
dibasal serta struktur organel didalam sitoplasma yang adalah khas dari suatu sel pensekresi. Selama
dentinogenesis aktif, reticulum endoplasma dan apparatus golgi tampak menonjol disertai banyak
mitokondria dan vesikel. Badan sel dilengkapi dengan berbagai junction ayng kompleks yang
mengandung gap junction, tight junction, dan desmosom yang lokasinya bbervariasi dan ditentukan
oleh fungsinya. Junction mengisolasi lokasi tempat terbentuknya dentin dan mengatur aliran zat ke
dalam dan keluar area. Produk ekskresi dari odontoblas ke dalam membrane sel diujung perifer
badan sel dan ujung basal dari prosesus sel. Pada mulanya produk ini mencakup komponen matriks
yang di sekresi ke luar. Odontoblas bekerja paling aktif selama dentinogenesis primer dan selama
pembentukan dentin reparatif. Aktivitas nya banyak berkurang selama dentinogenesis sekunder
sedang berjalan.

· Preodontoblas

Odontoblas baru dapat tumbuh setelah odontoblas yang lama hilang akibat cedera. Namun
tumbuhnya odontoblas baru hanya baru terjadi jika pada zona kaya akan sel telah ada
preodontoblas. Preodontoblas adalah sel yang telah terdiferensiasi sebagian sepanjang garis
odontoblas. Preodontoblas ini akan bermigrsi ke tempat terjadinya cedera dan melanjutkan
differensiasinya pada tenpat tersebut.

· Fibroblast

Preodontoblas adalah tipe sle yang paling umum terlihat dalam jumlah yang paling besar di pulpa
mahkota. Sel ini menghasilkan dan mempertahankan kolagen serta zat dasar pulpa juka ada
penyakit. Seperti odontoblas , penonjolan organel sitoplasmanya berubah-ubah sesuai dengan
aktivitasnya. Makin aktif selnya, makin menonjol organel dan komponen lainnya yang diperlukan
untuk sintesis dan sekresi. Akan tetapi, tidak seperti odontoblas, sel-sel ini mengalami kematian
apoptosis dan diganti jika perlu oleh maturasi dari sel-sel yang kurang terdiferensiasi.

· Sel Cadangan (Sel Tak Berdiferensiasi)

Sel ini merupakan sumber bagi sel jaringan ikat pulpa. Sel precursor ini ditemukan di zona kaya akan
sel dan inti pulpa serta dekat sekali dengan pembuluh darah. Tampaknya, sel-sel ini merupakan sel
yang pertama kali membelah ketika terjadi cedera. Sel ini akan berkurang jumlahnya sejalan dengan
meningkatnya kalsifikasi pulpa dan berkurangnya aliran darah akan menurunkan kemampuan
regeneratifnya.

· Sel-Sel Sistem Imun

Makrofag, limfosit T, dan sel dendritik merupakan penghuni seluler yang normal dari pulpa. Sel
dendritik dan ptosesusnya ditemukan diseluruh lapisan odontblas dan memiliki hubungan dekat
dengan elemen veskular dan elemen saraf. Sel-sel ini merupakan bagian Dario system respon imun
awal dan pemantau (surveillance) dari pulpa. Sel ini akan menangkap dan memaparkan antigen
terhadap sel T residen dan makrofag. Secara kolektif, kelompok sel ini merupakan sekitar 8%
populasi sel dalam pulpa.

Pulpa gigi terdiri dari jaringan penghubung vascular yang terdapat didalam dinding dentin yang
kerasa. Meskipun sama dengan jaringan penghubung lainnya didalam badan manusia, jaringan ini
khusus dan lingkungannya.4

b. Sel imunokompeten

Sel imunokompeten adalah sel yang mampu membedakan sel tubuh dengan zat asing dan
menyelenggarakan inaktivasi atau perusakan benda-benda asing. Sel imunokompeten yang berperan
dalam respon imunologik pada inflamasi pulpa adalah limfosit T, limfosit B (lebih sedikit), makrofag,
dan sel dendritik yang mengekspresikan molekul kelas II yang secara morfologik serupa dengan
makrofag dalam jumlah yang cukup banyak.

Sel dendritik merupakan salah satu antigen-presenting cell (APC) yang berbentuk seperti
dendrit pada saraf namun berfungsi untuk menstimulasi molekul pada pengaktivan sel T bukan
berfungsi sebagai sel saraf. Sel ini pada pulpa terletak di perifer jaringan, dimana biasanya antigen
masuk. Fungsi utama sel dendritik ini adalah memperingatkan sistem imun untuk mengeleminasi
secara efektif.5

2.1.6 Imunopatogenesis penyakit pulpa dan periradikular

Reaksi pertahanan kompleks dentin-pulpa yang penting adalah: 1) sklerosis tubuler di dalam dentin,
2) dentin reaksioner dianntara dentin dan pulpa, 3) peradangan pulpa. Semua reaksi pertahanan ini
bergantung pada adanya jaringan pulpa yang vital.

1. Sklerosis tubuler

Suatu proses dimana mineral diletakkan didalam lumen tubulus dentin dan bisa dianggap sebagai
ekstensi mekanisme normal dari pembentukan dentin peritubuler. Reaksi jaringan, yang
memerlukan pengaruh odontoblas vital, biasanya terlihat pada daerah perifer karies dentin.
Sklerosis tubuler mengakibatkan terjadinya daerah yang strukturnya lebih homogen. Sklerosis
tubuler merupakan suatu pelindung dalam arti ia menurunkan permeabilitas jaringan, seningga
mencegah penetrasi asm dan toksin-toksin bakteri.
2. Dentin reaksioner

Suatu lapisan dentin yang terbentuk diantara dentin dan pulpa, sebagai suatu reaksi terhadap
rangsang yang terjadi didaerah perifer. Oleh karena itu, penyebaran dentin reparatif terbatas
didaerah dibawah rangsang. Dentin reaksioner terbentuk sebagai atas rangsang yang ringan. Tetapi
keparahan yang meningkat akan menimbulkan kerusakan odontoblas yang meningkat pula serta
displasia dentin reaksioner yang baru terbentuk. Rangsang yang sangat hebat dapat mengakibatkan
kematian odaotoblast dan pada keadaan ini tak akan ada dentin reaksioner yang terbentuk. Akan
tetapi, kadang-kadang ada sel-sel lain didalam pulpa yang berdiferensiasi menjadi sel atubuler yang
terkalsifikasi. Suplai darah kedalam dianggap merupakan faktor penting dalam menentukan
kesanggupan pulpa membentuk dentin reaksioner. Oleh karena itu, diperlukan gigi muda mampu
membentuk dentin reaksioner dari pada gigi tua.

3. Peradangan pulpa

Peradangan pulpa merupakan reaksi jaringan ikat vaskuler yang sangat penting terhadap cedera.
Macam reaksi (respon) pulpa sebagian disebabkan oleh lama atau intensitas rangsangnya. Pada lesi
karies dentin yang berkembang lambat, stimulus yang mencapai pulpa adalah toksin bakteri dan
sengatan termis dan osmotis dari daerah sekitarnya. Reaksi terhadap rangsangan yang ringan akan
berupa inflamasi kronik. Akan tetapi, pada saat organisme itu mencapai pulpa sehingga pulpa
berkontak dengan karies, maka akan terjadi inflamasi akut bersama-sama dengan kronik. Reaksi
peradangan mempunyai komponen vaskuler dan seluler. Komponen seluler, pada peradangan
kronik denagan dijumpampainya sel-sel limfosit,sel plasma,monosit dan mokrofag. Suatu waktu
mungkin terjadi peningkatan produksi kolagen yang mengakibatkan terjadinya fibrosis. Reaksi
peradangan kronik tidak akan membahayakan vitalitas pulpa.

Pada imunopatogenesis lesi periradikular terdapat banyak sekali antigen potensial yang
berakumulasi dalam pulpa nekrosis, yang terdiri atas sejumlah spesies mikroorganisme beserta
toksinnyaa, dan jaringan pulpa yang telah berubah. Saluran akar merupakan jalur untuk sensitisasi.
Adanya antigen potensial dalam saluran akar dan immunoglobulin IgE serta sel mast dalam pulpa
yang mengalami kelainan patologis serta lesi periradikuler, mengindikasikan tarjadinya reaksi
imunologi tipe I. pada lesi ini berbagai kelas immunoglobulin, termasuk antibody spesifik terhadap
sejumlah spesies bakteri dalam saluran akar yang terinfeksi. Selain itu, dalam lesi periradikuler
manusia terdapat pula berbagai tipe sel imunokomplemen seperti sel penyaji antigen, makrofag,
leukosit PMN, dan sel B serta sel T. Keberadaan kompleks imun dan sel imunokompeten seperti sel T
mengindikasikan bahwa berbagai tipe reaksi imunologi (tipe II sampai IV) dapat memulai,
memperkuat, atau memperparah lesi inflamasi ini.6

2.1.7 Respon imun

Seperti halnya jaringan ikat lain pada tubuh, jaringan pulpa akan mengadakan respon terhadap iritan
dengan:

1. Reaksi inflamasi non spesifik

2. Reaksi imunologi spesifik

Inflamasi pulpa akibat karies dimulai sebagai respon seluler kronik yang ditandai oleh adanya
limfosit, sel-sel plasma dan makrofag.respon terhadap karies oleh pulpa dentinal kompleks meliputi
pembentukan dentin peritubuler, menurunnya permeabilitas tubulus dentin, dan sering dengan
pembentukan dentin tersier. Dentin tersier tidak teratur ini memiliki tubulus lebih sedikit dan
mungkin berfungsi sebagai barier terhadap karies yang sedang menyerbu. Pada umumnya pulpa
tidak akan mengalami inflamasi yang payah (tidak ireversibel) jika kariesnya tidak berpenetrasi ke
dalam pulpa.

Setelah pulpa terbuka karena karies, berbagai spesies bakteri yang oportunis dan flora oral akan
berkoloni pada pulpa yang terbuka tersebut. Leukosit polimorfonukleus (PMN) yang merupakan
tanda dari inflamasi akut, secara khemotaktik akan tertarik ke daerah terinflamasi dalam waktu yang
lama, atau bisa juga dengan cepat menjadi nekrosis. Dinamika reaksi pulpa ini terkait dengan
virulensi bakteri, respon pejamu, jumlah sirkulasi pulpa dan derajat drainasenya. Karena jaringan
pulpa terkurung oleh jaringan keras, jaringan pulpa yang terinflamasi dikatakan berlokasi dalam
lingkungan yang unik yaitu lingkungan low compliance. Keadaan yang low compliance ini akan
meningkatkan tekanan intrapulpa ketika sel-sel dan cairan inflamasi ekstravaskuler terakumulasi.
Meningkatnya tekanan ini selanjutnya akan mengganggu sirkulasi pulpa yang normal dan fungsi sel,
sehingga sel-sel akan lebih rentan terhadap cedera atau takkan mati.6

2.1.8 Biologi pulpa dan periradikular

a. Anatomi pulpa

Pulpa gigi adalah jaringan lunak dari bagian gigi. Umumnya jaringan pulpa mengikuti garis luar
bentuk gigi. Bentuk garis luar ruang pulpa mengikuti bentuk mahkota gigi dan bentuk gigi saluran
pulpa mengikuti akar gigi. Pulpa gigi dalam rongga berasal dari jaringan mesenkim dan mempunyai
berbagai fungsi yaitu: sebagai pembentuk, penahan, mengandung zat-zat makanan, mengandung
sel-sel saraf sensori. Fungsi permulaan dari pulpa gigi adalah memebentuk dentin. System yang
sensori yang kompleks dari pulpa ialah mengontrol peredaran dan sensasi rasa sakit.

Bagian-bagian pulpa:

1. Ruang pulpa : Rongga pulpa yang terdapat pada bagian tengah korona gigi dan selalu tunggal.

2. Tanduk pulpa : Ujung dari ruang pulpa.

3. Saluran pulpa/saluran akar : Rongga yang terdapat pada bagian akar gigi.

4. Foramen apical : Ujung dari saluran pulpa yang terdapat pada apeks akar berupa suatu lubang
kecil.

5. Supplementary kanal : Beberapa akar gigi yang mungkin mempunyai lebih dari satu foeramen.
Dalam hal ini saluran tersebut mempunyai dua atau lebih cabang dekat apikalnya yang disebut
multiple foramina/supplementary canal.

6. Orrifice/eritrance into the pulp canal : Pintu masuk ke saluran akar gigi saluran pulpa
dihubungkan dengan ruang pulpa.

b. Histologi pulpa

Pada pulpa secara histology terdapat 4 zona, yaitu:

· Odontoblastik layer

Lapisan ini terdiri dari badan sel odontoblas dan prosesus odontoblas. Badan sel membentuk daerah
odontoblastik dan prosesus odontoblas berlokasi di dalam matriks predentin dan tubuli dentin
meluas ke dalam dentin. Pada daerah odontoblastik ini terdapat kapiler dan saraf sensoris yang tidak
bermielin di sekeliling badan sel.
Pada potongan histologik, odontoblas kelihatan berderet dalam suatu susunan memagari pada
perifer pulpa. Lapisan predentin berkalsifikasi akan mengahasilkan tubulus dentin dan dentin
diantara tubuli ini disebut dentin intertubular. Selain itu terdapat prosesus odontoblastik, dentin
sekunder dan dentin reparatif

· Free-cell zone

Daerah ini disebut juga daerah Weil adalah daerah pulpa yang relatif aselular terletak sebelah
sentral dari daerah odontoblas. Daerah ini berisi fibroblas, sel mesenkim, dan makrofag

· Rich-cell zone

Zona ini berisi subsatansi dasar (substansi gelatinus yang disusun oleh proteoglikan, glikoprotein,
dan air), fibroblast, kolagen sel mesenkim yang tidak berkembang dan sel sistem imun.

· Pulp core

Daerah ini berisi pembuluh darah dan saraf yang tertanam di dalam matriks pulpa bersama-sama
dengan fibroblast.7

c. Biologi periradikular

Periodontium, jaringan yang mengelilingi dan merupakan tempat tertanamnya akar gigi terdiri atas
sementum, ligamen periodontium dan tulang alveolus. Jaringan ini berasal dari folikel dentalis yang
mengelilingi organ email; pembentukannya dimulai ketika perkembangan akarnya mulai
berlangsung.

1. Sementum

Sementum adalah jaringan yang menyerupai tulang yang menutupi akar dan menyediakan
perlekatan bagi serabut periodontium utama. Terdapat tipe sementum.

1) Sementum serabut intrinsik aseluler primer. Ini adalah sementun yang pertama kali terbentuk
dan telah ada sebelum serabut periodontium utama terbentuk sempurna. Jaringan ini meluas dari
tepi servikal ke sepertiga akar gigi pada beberapa gigi dan mengelilingiseluruh akar pada jumlah gigi
lainnya.

2) Sementum serabut ekstrinsik aseluler primer. Ini adalah sementum yang terus-menerus
terbentuk sekitar serabut periodontium primer setelah keduanya telah digabungkan ke dalam
sementum serabut intrinsik aseluler primer.

3) Sementum serabut intrinsik seluler sekunder. Sementum ini memiliki penampilan seperti
tulang dan hanya memainkan peran yang kecil dalam perlekatan serabut.

4) Sementum serabut campuran seluler sekunder. Sementum ini adalah suatu tipe adaptif dari
sementum seluler yang melibatkan serabut periodontium sambil terus berkembang.

5) Sementum afibriler aseluler. Ini adalah sementum yang terdapat pada email yang tidak
berperan dalam perlekatan serabut.

Walaupun kadang-kadang mengandung sel, sementum tidak memiliki vaskularisasi dan tampaknya
lebih tahan terhadap resorpsi dibanding tulang.

2. Ligamen periodontium
Merupakan jaringan khusus, fungsinya sebagian berikatan dengan keberadaan bundel serabut
kolagen yang tersusun secara khusus yang mendukung gigi dalam soketnya dan menyerap gaya
oklusi sehingga tidak ditransmisikan ulang ke sekitarnya. Rongga ligamen periodontium tidak luas,
antara 0,21 mm pada gigi muda sampai 0,15 mm pada gigi tua.

Rongga periodontium dipagari oleh ostoeblas dan osteoklas. Diantara serabut-serabut periodontium
utama terjalin jaringan ikat longgar yang mengandung fibroblas, sel cadangan, makrofag, osteoklas,
pembuluh darah, saraf dan pembuluh limfe.

3. Tulang Alveolus

Tulang rahang disebut sebagai prosesus alveolaris. Tulang yang memagari soket dan tempat
melekatnya serabut periodontium utama disebut tulang alveolus proprium. Tulang alveolus meiliki
libang kecil bagi masuknya pembuluh, saraf, jaringan ikat, yang lewat dari prosesus alveolaris ke
rongga periodontium. Walaupun memiliki lubang-lubang kecil, tulang alveolus propium tetap lebih
padat dari tulang kanselus yang mengelilinginya dan meiliki tampilan opak yang jelas pada
radiograf.8

2.1.9 Etiologi dan pathogenesis penyakit pulpa dan periradikular

· Etiologi Penyakit Pulpa

Sebab-sebab dari penyakit pulpa adalah sebagai berikut.

1. Fisis

A. Mekanis

Injuri pulpa secara mekanis ini biasanya disebabkan oleh trauma atau pemakaian patologik gigi.

Injuri traumatic dapat disertai atau tidak disertai dengan fraktur mahkota atau akar. Injuri traumatik
pulpa dapat disebabkan karena adanya pukulan keras pada gigi, baik sewaktu olah raga, kecelakaan,
atau ketika perkelahian. Selain itu, injuri traumatic pulpa juga dapat disebabkan oleh prosedur
kedokteran gigi. Misalnya, terbukanya pulpa secara tidak sengaja ketika ekskavasi struktur gigi yang
terkena karies.

Pulpa juga dapat terbuka atau hampir terbuka oleh pemakaian patologik gigi, baik abrasi maupun
atrisi bila dentin sekunder tidak cukup cepat ditumpuk.

B. Termal

Penyebab termal injuri pulpa adalah panas yang didapat karena preparasi kavitas, dan konduksi
panas dari tumpatan.

Panas karena preparasi kavitas merupakan panas yang ditimbulkan oleh bur ketika sedang
mempreparasi kavitas. Ketika menggunakan bur, sebaiknya gunakan pendingin agar injuri pulpa
dapat dihindari. Bukti menunjukkan bahwa kerusakan pulpa lebih cepat disembuhkan bila preparasi
kavitas dilakukan dibawah semprotan air.

Konduksi panas dari tumpatan dihasilkan dari tumpatan metalik. Tumpatan metalik yang dekat pada
pulpa tanpa suatu dasar semen perantara dapat menyalurkan secara cepat perubahan panas ke
pulpa dan mungkin dapat merusak pulpa tersebut.
2. Kimiawi

Aplikasi suatu pembersih kavitas pada lapisan dentin yang tipis dapat menyebabkan inflamasi pulpa.
Pada suatu studi, pembersih kavitas seperti asam sitrat menyebabkan respon radang yang sangat
dalam yang secara berangsur-angsur berkurang dalam kira-kira satu bulan.

Erosi yang lambat dan progresif pada permukaan labial atau fasial leher gigi akhirnya dapat
mengiritasi pulpa dan dapat menyebabkan kerusakan permanen.

3. Bakterial

Penyebab paling umum injuri pulpa adalah bakteri. Bakteri atau produk-produknya mungkin
masuk ke dalam pulpa melalui suatu keretakan di dentin, baik dari karies maupun terbukanya pulpa
karena kecelakaan, dari perluasan infeksi dari gusi atau melalui peredaran darah.

· Etiologi Penyakit Periapeks

1. Periodontitis Apikalis Akut

Iritanya meliputi mediator inflamasi dari pulpa yang terinflamasi irreversibel atau toksin bakteri dari
pulpa nektorik, zat-zat kimia seperti irigan atau desinfektan, restorasi yang hiperoklusi,
instrumentasi yang berlebihan, dan keluarnya material obturasi ke jaringan periapeks. Pulpanya
dapat pulpa yang terinflamasi ireversibel atau pulpa nekrotik.

2. Periodotitis Apikalis Kronik

Periodontitis apikalis kronik timbul akibat nekrosis pulpa dan biasanya merupakan lanjutan dari
periodontitis apikalis akut.

3. Condensing Osteitis

Penyebab utama condensing osteitis adalah penyebaran iritan dari saluran akar ke jaringan
periradikuler.

4. Abses Apikalis Akut

Abses apikalis akut merupakan respons inflamasi yang parah terhadap iritan mikroba dan nonbakteri
dari pulpa nekrotik.

5. Abses Apikalis Kronik

Penyakit ini merupakan akibat dari nekrosis pulpa dan biasanya diasosiasikan dengan periodontitis
apikalis kronis yang telah membentuk abses. Abses telah menenyebar melalui tulang dan jaringan
lunak untuk membentuk stoma saluran sinus pada mukosa oral, atau terkadang hingga ke kulit
wajah.2

6. Eksaserbasi Akut Suatu Lesi Kronis

Daerah periradikuler mungkin bereaksi terhadap stimulus noksinus dari suatu pulpa yang sakit, yang
menderita penyakit periradikular kronis. Terkadang, karena kemasukan produk nekrotik dari pulpa
yang sakit, atau karena bakteri dan toksinnya, lesi yang kelihatan tidak aktif ini dapat bereaksi dan
dapat menyebabkan suatu respon inflamatori akut. Penurunan daya tahan tubuh pada keberadaan
bakteri dan pelepasan bakteri dari saluran akar atau iritasi mekanis selama preparasi saluran akar
juga dapat memicu respon inflamatori akut.

7. Granuloma
Sebab perkembangan suatu granuloma adalah matinya pulpa, diikuti oleh suatu infeksi ringan atau
iritasi jaringan periapikal yang merangsang suatu reaksi seluler produktif. Suatu granuloma hanya
berkembang beberapa saat setelah pulpa mati. Pada beberapa kasus, suatu granuloma didahului
oleh abses alveolar kronis.

8. Kista Radikular

Kista radikular mensyaratkan injuri fisis, kimiawi, bacterial yang menyebabkan matinya pulpa, diikuti
oleh stimulasi sisa epitellial Malassez, yang biasanya dijumpai pada ligament periodontal.

9. Resorpsi Eksternal Akar

Resorpsi eksternal adalah inflamasi periradikular yang disebabkan oleh trauma, kekuatan berlebihan,
granuloma, kista, tumor rahang sentral, replantasi gigi, bleaching gigi, impaksi gigi, dan penyakit
sistemik.9

· Patogenesis

Jaringan pulpa akan mengadakan respons terhadap iritan dengan (1) reaksi inflamasi nonspesifik dan
(2) reaksi imunologi spesifik. Inflamasi pulpa akibat karies dimulai sebagai respons seluler kronik
yang ditandai oleh adanya limfosit, sel-sel plasma, dan makrofag. Respons terhadap karies oleh
kompleks dentin-pulpa meliputi pembentukan dentin peritubuler, menurunnya permeabilitas
tubulus dentin, dan sering, dengan pembentukan dentin tersier. Dentin tersier tidak teratur ini
memiliki tubulus lebih sedikit dan mungkin berfungsi sebagai barier terhadap karies yang sedang
menyerbu. Umumnya, pulpa tidak akan mengalami inflamasi yang parah (tidak ireversibel), jika
kariesnya tidak berpenetrasi ke dalam pulpa.

Setelah pulpa terbuka karena karies, berbagai spesies bakteri yang oportunis dari flora oral akan
berkoloni pada pulpa yang terbuka tersebut. Leukosit polimorfonuklear, yang merupakan tanda dari
inflamasi akut, secara kemotaktik akan tertarik ke daerah terinflamasi. Akumulasi leukosit
polimorfonuklear akan menyebabkan terbentuknya abses. Jaringan pulpa bisa tetap terinflamasi
dalam waktu yang lama, atau bisa juga dengan cepat menjadi nekrosis. Karena jaringan pulpa
terkurung oleh jaringan keras, jaringan pulpa yang terinflamasi dikatakan berlokasi dalam lingkungan
yang low compliance. Keadaan low compliance ini akan meningkatkan tekanan intrapulpa ketika sel-
sel dan cairan inflamasi ekstravaskuler terakumulasi. Meningkatnya tekanan ini selanjutnya akan
mengganggu sirkulasi pulpa yang normal dan fungsi sel, sehingga sel-sel akan lebih rentan terhadap
cedera atau akan mati.

Patosis jaringan periradikuler dapat terjadi akibat pulpa yang nekrosis, yaitu dari bakteri atau produk
sampingnya dan iritan-iritan lain dari pulpa yang nekrosis yang berdifusi dari saluran akar ke arah
periapeks sehingga timbul lesi inflamasi yang parah. Jaringan periradikuler memiliki sumber sel tak
terdiferensiasi yang jumlahnya hampir tak terbatas dan berpartisipasi baik dalam inflamasi maupun
perbaikan. Interaksi antara iritan yang berasal dari ruang pulpa dengan pertahanan pejamu akan
mengaktifkan serangkaian reaksi untuk melindungi pejamu. Reaksi yang muncul sangat kompleks
dan biasanya diperantarai oleh mediator inflamasi nonspesifik dan reaksi imun spesifik.

ü Mediator Nonspesifik Lesi Periradikuler

Mediator nonspesifik reaksi inflamasi adalah neuropeptid, peptid fibrinolitik, kinin, fragmen
komplemen, amin vasoaktif, enzim lisosom, metabolit asam arakhidonat dan sitokin.
Berkontaknya faktor Hageman dengan kolagen dari enzim membrane basalis seperti kalikrein atau
plasmin, atau endotoksin yang berasal dari saluran akar yang teinflamasi, akan mengaktifkan
kaskade pembekuan darah dan system fibrinolitik. Fibrinopeptid yang dilepaskan oleh molekul
fibrinogen dan produk degradasi fibrin yang dilepaskan selama proses proteolisis dari fibrin oleh
plasmin turut berperan dalam timbulnya inflamasi. Trauma pada jaringan periapeks selama
perawatan saluran akar dapat juga mengaktifkan system kinin dan, pada gilirannya, system
komplemen.

Cedera fisik atau kimia dapat menyebabkan lepasnya amin vasoaktif seperti histamine, yang dapat
menarik (kemitaktik) leukosit dan makrofag. Selain itu, enzim lisosom dapat menyebabkan lepasnya
C5 dan membentuk C5a, suatu komponen kemotaktik yang poten, serta pembebasan bradikinin aktif
dari kininogen plasma. Bermacam-macam sitokin seperti interleukin, faktor nekrosis tumor, dan
faktor pertumbuhan terlibat dalam perkembangan dan kelanjutan lesi periradikuler.

ü Mediator Spesifik Lesi Periradikuler

Selain mediator nonspesifik dalam reaksi inflamasi, reaksi imunologi juga berpartisipasi dalam
pembentukan dan kelanjutan patosis periradikuler. Banyak sekali antigen potensial yang
berakumulasi dalam pulpa nekrosis, yang terdiri atas sejumlah spesies mikroorganisme beserta
toksinnya, dan jaringan pulpa yang telah berubah. Adanya antigen potensial dalam saluran akar dan
immunoglobulin IgE serta sel mast dalam pulpa yang mengalami kelainan patologis serta lesi
periradikuler, mengindikasikan terjadinya reaksi imunologi tipe I.

Pada lesi ini terdapat berbagai kelas immunoglobulin, termasuk antibody spesifik terhadap sejumlah
spesies bakteri dalam saluran akar yang terinfeksi. Dalam lesi periradikuler manusia juga terdapat
berbagai tipe sel imunokompeten seperti sel penyaji antigen (Iaantigen-expressing nonlymphoid
cells), makrofag, leukosit polimorfonuklear, dan sel B serta sel T. Keberadaan kompleks-imun dan sel
imunokompeten seperti sel T mengindikasikan bahwa reaksi imunologi (tipe II sampai IV) dapat
memulai, memperkuat, atau memperparah lesi inflamasi ini.10

2.1.10 Faktor virulensi bakteri

Faktor virulensi bakteri adalah sebagai berikut.

1. Fimbria

Fimbria bakteri berperan penting bagi perlekatan bakteri ke permukaan atau ke bakteri lain. Fimbria
juga berperan penting dalam hubungan sinergi diantara bakteri.

2. Kapsul

Kapsul adalah faktor resisten yang signifikan bagi bakteri yang memungkinkannya mampu
menghindari fagositosis.

3. Lipopolisakarida

Lipopolisakarida ditemukan pada permukaan bakteri Gram-Negatif dan memilikibanyak sekali efek
biologis yang dapat menginduksi penyakit periradikuler. Lipopolisakarida memiliki antigen
nonspesifik yang tidak dapat dinetralkan dengan sempurna oleh antibody. Antigen lipopolisakarida
akan mengaktifkan cascade komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Ketika
lipopolisakarida dilepas dari dinding sel, lipopolisakarida disebut endotoksin. Endotoksin mampu
berdifusi melintasi dentin. Kandungan lipopolisakarida di dalam saluran akar gigi yang menimbulkan
gejala dan disertai lesi radiografis serta mengeluarkan eksudat tenyata lebih tinggi daripada
kandungan lipopolisakarida pada gigi yang asimtomatik.

4. Enzim

Bakteri menghasilkan enzim-enzim yang bisa menetralkan immunoglobulin dan komponen


komplemen.

5. Vesikel Ekstrasel

Vesikel ekstrasel dapat berupa endotoksin bebas, bleb, dan fragmen membrane luar. Vesikel
mengandung enzim atau produk lain yang dapat memengaruhi sel pejamu. Vesikel-vesikel ini terlibat
dalam hemaglutinasi, hemolisis, adhesi bakteri, dan aktivitas proteolitik.

6. Asam Lemak

Asam lemak rantai pendek adalah faktor virulensi yang aktif yang mempengaruhi kemotaksis
neutrofil, degranulasi, luminesensi kimia, fagositosis, dan perubahan intrasel yang lain. Asam butirat
memiliki inhibisi terhadap blastogenesis sel T yang lebih besar daripada asam propiat dan isobutirat.

7. Poliamin

Sel pejamu dan hampir semua bakteri, terutama bakteri Gram-Negatif. mengandung banyak sekali
poliamin. Poliamin seperti putresin, kadaverin, spermidin, dan spermin adalah poliamin yang terlibat
dalam regulasi pertumbuhan sel, regenerasi jaringan, dan modulasi inflamasi.11

2.1.11 Biofilm saluran akar

Kombinasi dari plaque, pelikel dan bakteri dikenal sebagai oral biofilm. Oral biofilm adalah istilah
yang digunakan untuk menjelaskan pembentukan total yang sempurna ketika pelikel melekat ke
permukaan gigi dan menjadi terpopulasi dengan bakteri dan produk-produk ekstraselulernya.12

Ada 4 fase pembentukan biofilm, yaitu;

1. Transpor bakteri ke permukaan.

2. Awal adhesi.

3. Pelekatan.

4. Kolonisasi pada permukaan dan pembentukan biofilm.

Biofilm secara umum, mempunyai struktur yang teratur, mereka tersusun dari mikrokoloni sel-sel
bakteri yang tidak sembarangan didistribusikan pada sebuah bentuk matriks atau glycocalyx.13 Jika
bakteri telah mencapai pulpa, maka jaringan pulpanya akan terinflamasi tetapi tetap vital untuk
beberapa waktu lamanya, atau akan cepat menjadi nekrosis. Mikroorganisme akan menginvasi pulpa
yang nekrosis, berkembangbiak dan menginfeksi sistem saluran akar termasuk tubulus dentinnya.

Jika telah menjadi nekrosis, jaringan pulpa akan menjadi reeservoir bagi mikroorganisme, produk
samping bakteri dan produk-produk pemecahan mikroorganisme. Infeksi endodonsia melibatkan
infeksi baik di rongga pulpa maupun jaringan periradikuler yang terkena penyakit.

Dari sekitar 500 spesies bakteri yang dikenal sebagai flora normal rongga mulut hanya relatif sedikit
saja kelompok yang dapat diisolasi dari ruang pulpa yang terinfeksi. Yang dominan adalah bakteri
anaerob obligat, dengan sedikit bakteri anaerob fakultatif yang jarang sekali ditemukan yang
aerob.14
Predominant Isolates from the Root Canals of 65 Teeth with Periapical Lesion

2.1.12 Hubungan pulpa dengan agen infeksi dan agen non-infeksi

a. Agen infeksi

· Mikroba

Akibat adanya mikroorganisme serta produk sampingnya di dalam dentin, jaringan pulpa akan
terinfiltrasi secara lokal (pada basis tubulus yang terkena karies) terutama oleh sel-sel inflamasi
kronik seperti makrofag, limfosit dan sel plasma. Ketika karies meluas ke arah pulpa, intensitas dan
karakter infiltrat akan berubah.

Jika pulpa terbuka, jaringan pulpa akan diinfiltrasi secara lokal oleh leukosit PMN untuk membentuk
suatu daerah nekrosis likuifaksi pada lokasi terbukanya pulpa. Setelah pulpa terbuka, bakteri akan
berkoloni dan tetap tinggal di daerah nekrosis. Jaringan pulpa bisa terus mengalami inflamasi hingga
nekrosis ditentukan oleh faktor :

1. Virulensi bakteri

2. Kemempuan megeluarkan cairan inflamasi guna mencegah peningkatan tekanan intrapulpa.

3. Ketahanan pejamu.

4. Jumlah sirkulasi.

5. Drainase limfe.

b. Agen noninfeksi

· Mekanik

Preparasi kavitasyang dalam, pembuangan struktur gigi tanpa pendinginan yang memadai, dampak
trauma, trauma oklusal, kuretase periodonsium yang dalam merupakan iritan suhu dan fisik yang
paling berperan terhadap jaringan pulpa. Jika diabaikan akan merusak odontoblas, permeabilitas
akan meningkat pada dentin, potensi iritasi pulpa semakin meningkat.

· Kimia

Irigan antibakteri yang dipakai selama pembersihan dan pembentukan saluran akar, obat intrakanal,
dan beberapa senyawa pembersih dentin, zat yang dalam tumpatan sementara adalah iritan yang
potensial mengiritasi dapat menyebabkan inflamasi pada pulpa jaringan dibawahnya.15

2.2 Konservasi

2.2.1 Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis untuk lesi periradikular adalah dengan melakukan tes klinis, yaitu:

a. Perkusi
Perkusi dapat menetukan ada tidaknya penyakit periradikuler. Respon positif yang jelas menandakan
adanya imflamasi periodontium. Cara melakukan perkusi adalah dengan mengetuk ujung kaca mulut
yang dipegang parallel atau tegak lurus terhadap mahkota pada permukaan insisal atau oklusal
mahkota. Tes perkusi lainnya adalah dengan meminta pasien menggigit objek keras misalnya
gulungan kapas, pada gigi yang dicurigai.

b. Palpasi

Palpasi menentukan seberapa jauh proses inflamasi telah meluas ke arah periapeks. Respon positif
pada palpasi menandakan adanya inflamasi periadikuler. Palpasi dilakukan dengan menekan mukosa
diatas apeks dengan kuat. Penekanan dilakukan dengan ujung jari.

c. Tes kevitalan pulpa

Stimulasi lansung pada dentin, dingin, panas, dan tes elektrik akan menentukan respon terhadap
stimulus dan kadang-kadang dapat mengidentifikasikan gigi yang dicurigai karena timbulnya respon
yang abnormal.16

2.2.2 Klasifikasi penyakit periradikular

a. Penyakit periradikular akut

· Abses alveolar akut

Ø Definisi

Suatu kumpulan nanah yang terbatas pada tulang alveolar pada apeks akar gigi setelah kematian
pulpa, dengan perluasan infeksi ke dalam jaringan periradikular melalui foramen apical. Diikuti oleh
suatu reaksi parah setempat dan kadang-kadang umum. Penyakit ini merupakan suatu kelanjutan
proses penyakit pulpa yang dimulai di pulpa dan berkembang ke jaringan periradikular yang giliranya
bereaksi tehadap infeksi.

Ø Gejala

Gejala pertama mungkin adalah suatu sensitivitas gigi yang dapat berkurang dengan tekanan ringan
terus menerus pada gigi yang ekstruksi untuk menekannya kembali ke dalam alveolus. Selanjutnya ,
pasien menderita rasa sakit berdenyut yang parah dengan disertai pembengkakan jaringan lunak
yang melapisinya. Jika infeksi berkembang, pembengkakan menjadi lebih nyata dan meluas melebihi
tempat semula. Gigi terasa lebih sakit, memanjang, dan goyah. Kadang rasa sakit mereda atau hilang
sama sekali sedangkan jaringan di dekatnya tetap membengkak. Bila dibiarkan tanpa perawatan,
infeksi mungkin berkembang menjadi osteoitis, perioitis, selulitis, dan osteomilitis. Nanah yang
terkandung dapat keluar membentuk fistula.

· Periodontitis apical akut

Ø Definisi

Adalah suatu inflamasi periodonsium dengan rasa sakit sebagai akibat trauma, iritasi, atau infeksi
melalui saluran akar, tanpa memperhatikan apakah pulpa vital atau non vital.

Ø Gejala

Gejala periodontitis apical akut adalah rasa sakit gigi sangat sensitif. Dapat juga gigi merasa agak
sakit, kadang-kadang hanya bila diperkusi pada arah tertentu atau rasa sakitnya dapat sangat.
· Eksaserbasi akut suatu lesi

Ø Definisi

Suatu reaksi inflamatori akut yang melapisi suatu lesi kronis yang ada, seperti kista atau granuloma

Ø Gejala

Pada mulanya, gigi sensitif terhadap perabaan. Bila inflamasi berkembang, gigi dapat terangkat
dalam soketnya dan dapat menjadi sensitif. Mukosa yang melapisi daerah radikular dapat sensitif
terhadap palpasi dan terlihat merah dan membengkak.

b. Penyakit periradikular kronis dengan daerah rarefraksi

· Abses alveolar kronis

Ø Definisi

Suatu infeksi tulang alveolar periradikular yang berjalan lama dan bertingkat rendah. Sumber infeksi
terdapt di dalam saluran akar.

Ø Gejala

Biasanya asintomatik; kadang-kadang abses semacam itu hanya dapat dideteksi pada waktu
pemeriksaan radiografik rutin atau karena adanya fistula.

· Granuloma

Ø Definisi

Suatu pertumbuhan jaringan granulomatus yang bersambung dengan ligament periodontal.


Disebabkan oleh matinya pulpa dan difusinya bakteri dan toksin bakteri dari saluran akar ke dalam
jaringan periradikular di sekitarnya melalui foramen apical dan lateral.

Ø Gejala

Suatu granuloma tidak menghasilkan reaksi subjektif, kecuali pada kasus langka bila runtuh dan
mengalami supurasi. Biasanya granuloma adalah asimtomatik.

· Kista radikular

Ø Definisi

Suatu kavitas tertutup atau kantung yang bagian dalamnya dilapisi oleh epithelium dan pusatnya
terisi cairan atau bahkan semisolid. Suatu kista radikular atau alveolar adalah suatu kantung
epithelial yang pertumbuhannya lambat pada apeks gigi yang melapisi suatu kavitas patologik pada
tulang alveolar. Lumen kista berisi cairan protein berkonsentrasi rendah.

Ø Gejala tidak ada gejala yang dihubungkan degan perkembangan suatu kista, kecuali yang
kebetulan diikuti nekrosis pulpa. Suatu kista dapat menjadi cukup besar untuk secara nyata menjadi
pembengkakan.

c. Penyakit periradikular kronis dengan daerah kondensasi

· Osteoitis memadat
Ø Definisi

Reaksi terhadap suatu inflamasi kronis tingkat rendah daerah periradikular yang disebabkan oleh
suatu rangsangan ringan melalui saluran akar.

Ø Gejala

Gangguan ini biasanya tanpa gejala dan ditemukan pada waktu pemeriksaan radiografik rutin

d. Lesi-lesi periradikular lainnya

· Resorpsi eksternal akar

Ø Definisi

Suatu proses litik yang terjadi di dalam sementum atau dentin akar gigi.

Ø Gejala

Biasanya asimtomatik. Apabila akar sama sekali telah teresorpsi, gigi menjadi goyah.17

2.2.3 Diagnosis dan diagnosis banding penyakit periradikular

a. Penyakit periradikular akut

· Abses alveolar akut

Ø Diagnosis

Pada tingkat awal sulit untuk menentukan giginya karena tidak adanya tanda-tanda klinis dan
adanya rasa sakit yang difus dan menjengkelkan. Suatu radiograf dapat menolong untuk
menentukan gigi yang terlibat dengan memperlihatkan suatu kavitas, suatu restorasi yang rusak,
ruang ligament periodontal yang menebal atau bukti kerusakan tulang pada daerah apeks gigi.
Karena lesi sudah ada untuk beberapa waktu dan dibatasi tulang medularis, suatu radiograf tidak
menunjukkan kerusakan tulang alveolar. Bila abses akut merupakan eksaserbasi abses alveolar
kronis yang sudah berjalan lama, suatu daerah rarefraksi periapikal terlihat jelas pada radiograf. Gigi
yang teribat adalah nekrotik dan tidak bereaksi terhadap arus listrik atau aplikasi dingin, gigi
sensitive terhadap perkusi atau pasien menyatakan bahwa gigi terasa sakit bila digunakan
mengunyah, mukosa apical terasa sensitif terhadap palpasi dan gigi mungkin goyah dan ekstruksi.

Ø Diagnosis banding

Suatu abses periodontal merupakan suatu kumpulan nanha di sekitar permukaan akar gigi yang
berasal dari infeksi pada struktur penyangga gigi. Ini berhubungan dengan suatu poket periodontal
dan menunjukkan pembengkakan dan rasa sakit ringan. Pembengkakan biasanya terletak
berhadapan dengan daerah tengah akar dan tepi gingival., daripada berhadapan dengan apeks gigi
atau melebihinya. Suatu abses periodontal umumnya dihubungkan dengan gigi vital daripada gigi
tanpa pulpa, berlawanan dengan suatu abses alveolar akut yang pulpanya telah mati. Tes vitalitas
pulpa berguna untuk mendapatkan suatu diagnosa yang tepat.

· Periodontitis apical akut

Ø Diagnosis
Gejalanya adalah hasil dari rangsangan yang berasal dari perawatan endodontic, yang disebabkan
oleh instrumentasi yang berlebih, rangsangan obat-obatan, atau pengisian yang berlebihan. Dalam
kasus ini giginya tanpa pulpa atau hasil stimulasi noksius yang merangsang ligament periodontal
yang dalam kasusu ini giginya vital. Gigi sensitive terhadap perkusi atau terhadap tekanan ringan,
sedangkan mukosa yang melapisi apeks akar mungkin sensitif atautidak sensitive terhadap palpasi.
Pemeriksaan radiograf dapat menunjukkan ligament periodontal yang menebal suatu daerah kecil
rarefraksi bila melibatkan gigi tanpa pulpa dan dapat menunjukkan struktur periradikular normal bila
terdapat pulpa vital di dalam mulutunya.

Ø Diagnosis banding

Diagnosis banding antara periodontitis apical akut dan abses alveolar akut. Kadang perbedaannya
hanya satu tingkat lanjutan. Dalam perkembanganya dengan kerusakan jaringan periapikal daripada
hanya satu reaksi inflamasi ligament periodontal. Riwayat pasien, gejala dan hasil tes klinis akan
menolong untuk membedakan penyakit ini.

· Eksaserbasi akut suatu lesi

Ø Diagnosis

Biasanya dihubungkan dengan permulaan terapi saluran akar pada gigi yang sama sekali
asimtomatik. Pada gigi semacam itu, radiograf menunjukkan lesi periradikuler yang jelas. Pasien
mungkin mempunyai suatu riwayat kecelakaan traumatic yang mengubah warna gigi menjadi gelap
setelah beberapa lama atau rasa sakit pasca bedah pada gigi yang telah reda sampai peristiwa rasa
sakit yang sekarang. Tidak adanya reaksi terhadap tes vitalitas menunjukkan pada suatu diagnosis
pulpa nekrotik, meskipun pada peristiwa yang jarang terjadi, sebuah gigi dapat bereaksi terhadap tes
pulpa listrik karena adanya cairan di dalam saluran akar.

Ø Diagnosis banding

Eksaserbasi akut lesi kronis akan memberikan gejala yang sama dengan gejala abses alveolar akut.
Karena perawatan kedua lesi adalah sama, tidak diperlukan diagnosis banding.

b. Penyakit periradikular kronis dengan daerah rarefraksi

· Abses alveolar kronis

Ø Diagnosis

Mungkin tidak memberikan rasa sakit atau hanya rasa sakit ringan. Kadang tanda pertama kerusakan
oseus nyata terlihat secara radiografik pada waktu pemeriksaan rutin atau terdapat perubahan
warna pada mahkota gigi. Radiograf sering menunjukkan suatu rasa sakit menusuk yang tiba-tiba
yang menjadi reda dan tidak timbul lagi, atau dia menceritakan suatu peristiwa injuri traumatic.
Pemeriksaan klinis menunjukkan suatu kavitas, suatu restorasi komposit, akrilik atau metalik. Pulpa
mungkin mati tanpa menyebabkan gejala. Pada kasus lainnya, pasien mengeluh tentang rasa sakit
ringan pada gigi, terutama pasa waktu mengunyah, gigi tidak bereaksi terhadap tes termal atau tes
pulpa listrik.

Ø Diagnosis banding
Suatu abses kronis juga harus dibedakan dari osteofiriosis periapikal, dikenal juga sebagai sementosa
atau fibroma menulang, yang dihubungkan dengan suatu gigi vital dan tidak memerlukan perawatan
endodontic.

· Granuloma

Ø Diagnosis

Adanya granuloma yangtanpa gejala akan terlihat saat pemeriksan rutin. Adanya daerah rarefraksi
nampak nyata, dengan tidak adanya kontinuitas lamina dura. Diagnosis tepat hanya dapat dibuat
dengan pemeriksaan mikroskop. Gigi yang terlibat biasanya tidak peka terhadap perkusi dan tidak
goyah. Mukosa diatas apeks akar mungkin peka atau mungkin tidak peka terhadap palpasi. Dapat
dijumpai suatu fistula. Gigi tidak bereaksi terhadap tes termal atau tes pulpa listrik. Pasien
memberikan riwayat pulpalgia yang mereda

Ø Diagnosis banding

Suatu granuloma tidak dapat dibedakan dari penyakit periradikular lain kecuali kalau diperiksa
secara mikroskopik. Suatu pulpa nekrotik dan suatu daerah rarefraksi periapikal pada radiograf
biasnya cukup merupakan bukti.

· Kista radikular

Ø Diagnosis

Pulpa gigi dengan kista radikular tidak bereaksi terhadap stimuli listrik atau termal dan hasil tes klinis
lainnya adalah negative, kecuali radiograf. Pasien mungkin mendapatkan suatu riwayat sakit lainnya.
Biasanya pada pemeriksaan radiograf, terlihat tidak adanya kontinuitas lamina dura, dengan suatu
daerah rarefraksi. Daerah radiolusen biasanya terlihat bulat dalam garis berikutnya. Daerah
radiolusen lebih besar daripada suatu granuloma dan dapat meliputi lebih dari satu gigi.

Ø Diagnosis banding

Suatu kista biasanya lebih besar daripada granuloma dan dapat menyebabkan akar yang berdekatan
merenggang karena tekana yang terus menerus dari akumulasi cairan kista. Suatu kavitas normal
kelihatan terpisah dari apeks akar yang memperhatikan sudut pengambilan radiograf, sedangkan
suatu kista tetap terikat pada apeks akar tanpa memperhatikan sudut pengambilan gambar.

c. Penyakit periradikular kronis dengan daerah kondensasi

· Osteoitis memadat

Ø Diagnosis

Secara radiograf terlihat sebagai suatu radiopak terlokalisir yang mengelilingi gigi yang terpengaruh.
Ini adalah suatu daerah tulang padat dengan pola trabekular yang berkurang.
d. Lesi-lesi periradikular lainnya

· Resorpsi eksternal akar

Ø Diagnosis

Daerah kecil resorpsi permukaan sementum yang tidak dapat dilihat secara radiografis hanya dapat
diketahui secara histologis. Secara radiografis, resorpsi eksternal terlihat sebagai daerah cekungan
atau tidak rata pada permuakaan akar atau penumpulan apeks. Daerah resorpsi pengganti atau
ankilosis memunyai akar yang teresorpsi tanpa ruang ligament periodontal dan dengan tulang
menggantikan kerusakan. Daerah resorpsi inflamatori yang disebabkan oleh tekanan suatu
granuloma yang tumbuh, kista, atau tumor mempunyai daerah resorpsi akar dekat dengan daerah
radiolusensi. Kista biasanya karena pertumbuhannya lambat, menggunakan tekanan pada akar gigi
dan menggerakkan akar daripda menyebabkan resorpsi. Tumor neoplastik menyebabkan resorpsi
akar cepat.

Ø Diagnosis banding

Resorpsi eksternal perlu dibedakan dengan resorpsi internal. Pada resorpsi eksternal, radiograf
menunjukkan suatu penumpulan apeks, daerah tidak rata, suatu daerah yang “tergali” pada sisi akar
atau apabila daerahnya terletak di atas saluran akar, saluran akar dengan jelas melintasi daerah
resorpsi. Pada resorpsi internal, akan terlihat sebuah saluran akar dengan daerah”seperti balon”
yang membesar dan dibatasi dengan baik. Bila tulang di dekat daerah resorpsi terpengaruh dan
daerah yang teresorpsi cekung ke arah luar dan bila saluran akar utuh, sebagai yang terlihat pada
radiogrfa, maka terdapat resorpsi eksternal.17

2.2.4 Prognosis penyakit periradikular

a. Penyakit Periradikular Akut

· Abses Alveolar Akut

Prognosis bagi gigi biasanya baik, tergantung pada tingkat keterlibatan lokal dan jumlah kerusakan
jaringan. Meskipun gejala abses alveolar akut dapat parah, rasa sakit dan pembengkakan umumnya
mereda bila dilakukan drainase yang memadai. Pada kebanyakan kasus, gigi dapat diselamatkan
oleh perawatan endodontik dan keparahan gejala tidak perlu dihubungkan dengan mudah atau
sukarnya perawatan.

· Periodontitis Apikal Akut

Prognosis bagi gigi umumnya baik. Terjadi gejala periodontitis apikal akut waktu perawatan
endodontik tidak akan mempengaruhi hasil akhir perawatan.

· Eksaserbasi Akut suatu Lesi

Prognosis bagi gigi adalah baik begitu gejalanya hilang.

b. Penyakit Periradikular Kronis dengan Daerah Rarefaksi


· Abses Alveolar Kronis

Prognosis bagi gigi tergantung pada pembersihan yang tepat., pemberian bentuk dan obturasi
saluran akar. Disamping itu, faktor-faktor lain seperti status periodontal, keperluan restoratif, dan
potensi fungsional, membantu untuk menentuka prognosis.

· Granuloma

Prognosis bagi retensi jangka panjang gigi adalah baik sekali.

· Kista Radikular

Prognosis tergantung pada gigi khususnya, perluasan tulang yang rusak dan mudah dicapainya
perawatan.

c. Penyakit Periradikular Kronis dengan Daerah Kondensasi

· Osteitis Memadat

Prognosis bagi retensi jangka panjang gigi adalah bagus sekali bila terapi saluran akar dilakukan dan
bila gigi direstorasi secara memuaskan. Lesi memadat dapat bertahan setelah perawatan
endodontik.

d. Lesi-Lesi Periradikular Lainnya

· Resorpsi Eksternal Akar

Prognosisnya adalah berhati-hati. Bila faktor etiologik diketahui dan diambil, proses resorptif akan
berhenti tetapi akan menimbulkan sebuah gigi lemah yang tidak mampu menahan kekuatan
fungsional.17

2.2.5 Rencana perawatan penyakit periradikular

a. Penyakit Periradikular Akut

· Abses Alveolar Akut

Perawatan terdiri dari mengadakan drainase dan mengontrol reaksi sistemik. Bila gejala telah
mereda, gigi harus dirawat endodontic secara konservatif. Pada waktu kunjungan pertama, bila gigi
telah dibiarkan terbuka untuk drainase, harus seara hati-hati dan cermat dilakukan debridment
dengan irigasi dan instrumentasi sebelum mengobati dan menutup saluran akar. Sekali saluran akar
ditutup, perawatan endodontik diselesaikan.

· Periodontitis Apikal Akut


Perawatan periodontitis apikal akut terdiri dari penentuan sebab dan meredakan gejalanya.
Terutama sangat penting untuk menentukan apakah periodontitis apikal akut ada hubungannya
dengan gigi vital atau gigi tanpa pulpa. Bila fase akut sudah reda, gigi dirawat secara konservatif.

· Eksaserbasi Akut suatu Lesi

Perawatan eksaserbasi akut lesi kronis yang termasuk gawat, sama dengan perawatan abses
alveolar akut.

b. Penyakit Periradikular Kronis dengan Daerah Rarefaksi

· Abses Alveolar Kronis

Perawatan terdiri dari pengambilan infeksi pada saluran akar. Begitu bagian akhir ini diselesaikan
dan saluran akar diisi, perbaikan jaringan periradikular umumnya terjadi.

· Granuloma

Terapi saluran akar cukup untuk merawat granuloma. Pengambilan sebab inflamasi biasanya diikuti
oleh resorpsi jaringan granulomatus dan perbaikan dengan tulang bertrabekular.

· Kista Radikular

Pengambilan secara bedah seluruh kista radikular sehingga bersih tidak perlu dilakukan pada semua
kasus. Perawatan endodontik juga dapat menyembuhkan kista radikular.

c. Penyakit Periradikular Kronis dengan Daerah Kondensasi

· Osteitis Memadat

Diindikasikan perawatan endodontik.

d. Lesi-Lesi Periradikular Lainnya

· Resorpsi Eksternal Akar

Berubah-ubah sesuai etiologinya. Bila resorpsi eksternal disebabkan perluasan penyakit pulpa ke
jaringan pendukung, terapi saluran akar biasanya memberhentikan proses resorptif. Karena
kekuatan yang berlebihan dari alat-alat ortodontik dapat diberhentikan dengan mengurangi
kekuatan tersebut. Karena resorpsi eksternal disebabkan oleh replantasi gigi, preparasi saluran akar
dan obturasi dengan pasta Ca(OH)2.17

2.2.6 Evaluasi pasca perawatan penyakit periradikular


a. Pemeriksaan klinis

· Tidak adanya pembengkakan

· Hilangnya saluran sinus

· Tidak adanya fungsi yang hilang

· Tidak ada bukti rusaknya jaringan lunak termasuk adanya sulkus yang dalam pada pemeriksaan
dengan sonde periodontium

b. Temuan radiografi

· Berhasil: tidak ada lesi yang resorptik, secara radiologis radiolusensi tidak berkembang atau
hilang setelah interval pasca perawatan 1 sampai 4 tahun

· Gagal: kelainan menetap atau berkembangnya suatu tanda penyakit yang jelas secara
radiografis. Secara khusus adanya lesi radiolusensi yang telah membesar.

· Meragukan: situasinya tergambar dengan adanya lesi radiolusensi yang tidak berkemabng
menjadi lebih banyak atau membaik dengan jelas.

c. Pemeriksaan histologi

Suatu perbaikan struktur periapeks dan tidak adanya inflamasi.18

2.2.7 Mekanisme penyembuhan

Berdasarkan proses reparasi tempat bekas ekstraksi (yang pada jaringan lain mungkin tidak
persis sama), proses inflamasi akan menurun sedangkan sel-sel pembentuk jaringan (fibroblast dan
sel endotel) akan meningkat setelah penyebabnya dibuang. Saat ini, organisasi dan maturasi jaringan
mulai aktif. Tulang yang telah diresorpsi mulai diisi oleh tulang baru dan sementum yang teresorpsi
direparasi oleh sementum seluler. Ligament periodontium yang pertama kali terkena meruapakan
jaringan terakhir yang dipulihkan arsitektur normalnya.

Pemeriksaan histologi atas lesi periradikuler yang sedang menyembuh menunjukkan adanya
deposisi sementum, peningkatan vaskularisasi, dan peningkatan aktivitas fibroblast dan osteoblas.
Sitokinin memegang peran penting selama penyembuhan lesi periradikular.

Pada beberapa lesi terlihat bahwa tidak semua struktur pulih kembali seperti sediakala.
Terlihat adanya variasi dalam pola tulang atau serabut yang berbeda. Bisa terlihat dalam radiograf
sebagai melebarnya lamina dura atau berubahnya konfigurasi tulang. 19

2.3 Interpretas Radiograf Pada Penyakit Periapeks

a. Mutu Gambaran Radiograf

1. Kualitas Gambar

Kualitas gambar den beberapa detil yang ditunjukkan pada gambaran radiograf tergantung pada
beberapa faktor yang meliputi:

· Kontras

· Geometri gambar

· Karakteristik sinar X-Ray


· Ketajaman gambar dan resolusi

2. Persyaratan utama untuk interpretasi radiografi gigi diringkas sebagai berikut:

· Kondisi pandangan optimum

· Memahami sifat dan batasan dari radiograf hitam, abu-abu, dan putih

· Pengetahuan tentang radiografi apa yang digunakan harusnya terlihat, sehingga penilaian
penting terhadap kualitas film individu dapat dibuat

· Pengethuan rinci mengenai tampilan radiografi struktur anatomi normal

· Pengetahuan rinci mengenai tampilan radiografi dari kondisi patologis yang mempengaruhi
kepala dan leher

· Pendekatan sistematis untuk melihat seluruh radiograf dan untuk melihat serta
menggambarkan lesi spesifik

· Akses ke film sebelumnya untuk perbandingan.20

b. Lesi Periapeks

Gambaran radioopak dan radiolusen dalam rahang (baik secara normal maupun non-endodonsia)
dapat tertukar dengan lesi endodonsia. Lesi periradikular yang disebabkan oleh pulpa biasanya
didasri pada empat karakter yaitu:

· Hilangnya lamina dura di daerah apeks

· Radiolusensi tetap terlihat di apeks bagaimanapun sudut pengambilannya, kecuali pada


condensing osteitis yang terlihat sebagai gambaran radioopak

· Radiolusensi menyerupai hanging drop

· Biasanya pulpa sudah nekrosis.21

1. Periodontitis Apikalis Akut


Penebalan garis radiolusen pada ligamen periodontal.

2. Abses Periapikal Akut

Hilangnya struktur radioopak lamina dura pada apeks gigi.

3. Abses Alveolar Kronis

Radiograf menunjukkan suatu daerah difus rarefraksi tulang, ligamen periodontal menebal. Tampak
gambaran radiolusen yang besar dengan tepi difus yang tidak teratur.

4. Kista Periapeks

Radiograf menunjukkan gambaran radiolusen yang terdefinisi dengan baik dengan batas radioopak
(sklerotik). Daerah radiolusen biasanya bulat

5. Granuloma
Radiograf menunjukkan gambaran radiolusen kecil yang terdifinisi dengan baik. Struktur radiolusen
tersebut dikelilingi oleh tulang sklerosis yang memadat.

6. Osteitis Memadat

Pada radiograf terlihat sebagai suatu daerah radioopak terlokalisasi yang mengelilingi gigi.

c. Diagnosis Banding

1. Perbedaan diagnosis abses dan kista radikular/Granuloma adalah batas pada gambaran
radiolusen. Kalau kista dan granuloma memiliki batas radioopak yang jelas, sedangkan pada abses
tidak memiliki batas yang jelas.1

2. Perbedaan diagnosis kista radikular dengan granulome terletak pada ukurannya. Pada
radiograf, gambaran radiolusen granuloma lebih kecil daripada kista. Akan tetapi, kista radikular
yang masih kecil tidak dapat dibedakan dari granuloma secara radiograf. Cara untuk
membedakannya secara akurat adalah dengan pemeriksaan mikroskopik. Gambaran kista
radikular/periapikal ditandai dengan adanya rongga yang dilapisi non-keratinizing stratisfied
squamous (epitelum pipih berlapis tidak berkeratin). 22

BAB 3

KESIMPULAN

· Nyeri spontan merupakan salah satu tanda pulpitis irreversible.

· Penyakit jaringan periradikular dapat terjadi akibat pulpa yang mengalami pulpitis irreversible
ataupun nekrosis pulpa.

· Reaksi imun pada lesi periradikular biasanya diperantarai oleh mediator inflamasi nonspesifik
dan reaksi imun spesifik.

· Dalam penegakan diagnosis penyakit periradikular, dilakukan tes klinis perkusi dan palpasi.

· Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiograf dan histologi sangat membantu


penegakan diagnosis.

· Rencana perawatan yang dapat dipertimbangkan adalah drainase, pengilangan iritan, dan
perawatan saluran akar, sesuai dengan lesi yang akan dirawat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
20-2
2. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
68, 586

3. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 53

4. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
12-5

5. Bergenholtz G. Bindslev PH. Reit C. Texbook of Endodontology. 2nd ed. United Kingdom: Willey-
Blackwell. 2010. p. 17

6. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
46-7

7. Grossman LI. Oliet S. Rio CED. Ilmu Endodontik dalam Praktik. Ed.11. Jakarta: EGC. 1995. p. 40-8

8. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
23-6

9. Grossman LI. Oliet S. Rio CED. Ilmu Endodontik dalam Praktik. Ed.11. Jakarta: EGC. 1995. p. 66

10. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 46

11. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
321-2

12. Mount GJ. Hume WR. Preservation and Restoration of Tooth Structure. Queensland : Knowledge
Book & software. 2005.p 22, 63

13. Newman. Michael G. Carranza FA. Et.al. Carranza’s Clinical Periodontology. 10thed. Philadelphia:
Saunders Elsevier. 2006. p 138, 141

14. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 319

15. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 30-
3

16. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 66-
7

17. Grossman LI. Oliet S. Rio CED. Ilmu Endodontik dalam Praktik. Ed.11. Jakarta: EGC. 1995. p. 90-
109

18. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p.
375-6

19. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 52

20. Whaites Eric. Essentials of Dental Radiography and Radiology. UK: Churchill Livingstone. 3rd Ed.
2002. P 211, 236-239

21. Walton RE. Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. 3. Jakarta: EGC. 2008. p. 71

22. Danidiningrat. Kista Odontogen dan Nonodontogen. 2005. Surabaya: Airlangga University Press.
KISTA ODONTOGENIK

Oleh: drg. Risky Aprilia Pusparatri

Kista di definisikan sebagai kavitas pathologis dari epithelium – line. Kista pada maksila, mandibula
dan regio perioral sangat mencolok dalam ragam histogenesis, cara terbentuknya, perilakunya dan
perawatannya. Kista dibagi menjadi kista odontogenik, kista non-odontogenik, pseudocyst, dan kista
pada leher.

Kista odontogenik

Kista periapikal (radikular)

Kista periapikal (radikular atau periodontal apikal) merupakan kista yang paling sering terjadi di
rahang. Inflamasi kista berasal dari ephitelial lining yang mengalami poliferasi akibat adanya sedikit
residu (sisa) epitel odontogenik (rest malassez) di dalam periodontal ligament.

Etiologi dan phatogenisis. Kista periapikal berkembang dari perluasan periapikal granuloma, yang
mana merupakan pusat dari inflamasi kronis jaringan granulasi yang berlokasi pada tulang di bagian
apeks dari gigi non-vital. Granuloma periapikal terjadi dan terbentuk oleh degradasi produksi dari
jaringan pulpa yang nekrose. Stimulasi dari epitelial rest malassez terjadi akibat respon
pembentukan inflamasi. Pembentukan kista terjadi akibat adanya poliferasi epithelial, yang akan
membantu untuk pemisahan stimulus inflamasi (nekrotik pulpa) dari tulang di sekitarnya.

Pemisahan debris sel dari lumen kista akan meningkatkan konsentrasi protein, memproduksi
peningkatan tekanan osmotik. Hasilnya adalah cairan berjalan melewati epitel lining menuju lumen
dari sisi conective tissue. Cairan berhubungan langsung dengan pertumbuhan dari kista. Dengan
adanya resorbsi tulang osteoclastic, terjadi perluasan kista. Faktor resobsi tulang yang lainnya,
seperti prostaglandins, interleukins, dan proteinase, dari sel inflamasi dan sel peripheral pada lesi
akan menyebabkan pertambahan luas kista.

Gambaran klinis. Kista periapikal merupakan kista rahang yang terjadi sebanyak setengah atau tiga
perempat dari semua kista rahang yang ada. Distribusi usia terjadi pada dekade ke tiga hingga ke
enam. Jarang sekali di temukan kista periapikal pada dekade pertama, walaupun munculnya karies
dan gigi non-vital sering terjadi pada usia ini. Kebanyakan kista terjadi pada rahang atas, terutama
pada regio anterior, lalu pada regio posterior rahang atas kemudian gigi posterior rahang bawah,
terakhir pada regio anterior rahang bawah.

Kista periapikal biasanya asimptomatik dan sering ditemukan saat pemeriksaan dental rutin dengan
radiografi. Kista ini menyebabkan resorbsi tulang namun tidak menyebabkan ekspansi tulang.
Dengan pengertian, gigi non-vital biasanya berhubungan dengan diagnosa dari kista periapikal.

Secara radiografi, kista periapikal tidak dapat di bedakan dengan granuloma periapikal. Radiolusen
berbentuk ovoid dan memiliki batas berwarna putih yang berhubungan dengan lamina dura dari gigi
yang bersangkutan. Komponen peripheral yang berwarna radioopaque mungkin tidak akan nampak
jikka telah terjadi perluasan kista yang cepat. Diameter kista memiliki range beberapa milimeter
hingga menjadi beberapa sentimeter, walaupun biasanya tidak kurang dari 1,5 cm. Pada kista yang
terjadi dalam jangka panjang, mungkin akan terlihat adanya resorpsi akar dari gigi yang besangkutan
juga pada gigi yang berdekatan.

Histopatologi. Kista periapikal dibentuk dari epitel squamos nonkeratinasi dengan ketebalan yang
beragam. Perpindahan dari sel inflamasi ke epitelium mungkin akan terjadi, dengan jumlah
polymorphonuclear leukosit (PMNs) yang besar dan beberapa limposit. Jaringan yang berada di
bawahnya mungkin akan mengalami infiltrasi fokal atau difuse dengan campuran dari sel inflamasi.
Inflamasi plasma sel dan hubungan refractile dan interselular spherical Russel Bodies, menunjukan
adanya akumulasi gamma globulin, sering di temukan dan kadang mendominasikan pada gambaran
mikroskopis. Kalsifikasi Foci of distrophi, pecahan kolesterol, multinukleal dari benda asing- tipe
giant sel akan terlihat subsequent hingga hemorhage pada dinding kista. Benih dari granuloma
biasanya juga sering ditamakan pada dinding ista periapikal, yang menunjukan bahwa terdapat
hubungan dengan rongga mulut terutama pada sekitar root canal dan lesi karies.

Pada presentasi kista periapikal yang lebih kecil (dan kista dentigerous), mungkin juga dapat ditemui
hyaline atau yang juga biasa di sebut dengan Rusthon bodies. Yang mana di pada epitel lining di
tandai dengan karateristik hairpin kurva atau kurva yang tipis, konsentrasi lamina dan mineralisasi
dari basiphil. Adanya hal ini dipercaya menunjukan hubungan dengan hemorhage yang terjadi
sebelumnya. Dimana tidak terdapat data klinis yang signifikan.

Diferensial diagnosa. Secara radiographi, DD dari kista periapikal harus mencantumkan periapikal
granuloma di dalamnya. Pada daerah yang telah dialkukan perawatan apikal, kerusakan akibat
operasi atau periapikal scar mungkin dapat digunakan. Pada regio anterior rahang bawah radiolusen
pada peiapikal harus dapat dibedakan dengan fase awal perkembangan dari cementooseous
dysplasia.pada regio posterior harus, gambaran radiolusen apikal harus dapat dibedakan dengan
kista traumatik tulang. Kadang kala tumor odontogenik, lesi sel giant, penyakit metatase dan tumor
osseous primary dapat menunjukan gambarab radiographi yang menyerupai kista periapikal. Namun
pada semua keadaan di atas gigi alam keadaan vital.
Perawatan dan prognosa. Lesi periapikal (kista /granuloma) akan dapat diangkat dengan baik dengan
ekstraksi gigi penyebab yang nonvital dan diikuti dengan kuretase pada bagian apikal tersebut.
Alternatif lain adalah dilakukan pengisian saluran akar yang diikuti dengan apicoectomy (direct
kuretase dari lesi). Yang ketiga, dan yan paling sering digunakan, adalah menggunakan pengisian
saluran akar saja, karena biasanya pada banyak lesi periapikal granuloma akan hilang setelah
pengangkatan daerah yang menyebabkan infeksi (nekrotik pulpa). Bedah (apicoectomy dan
curetage) adalah untuk menghilangkan lesi yang persistent (menetap), indikasi untuk kista yang ada
pada perawatan saluran akar yang gagal.

Ketika gigi yang nekrotik di angkat namun kista tidak terangkat seluruhnya, maka mungkin akan
terjadi residual cyst pada waktu beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian setelah dilakuakan
ekstirpasi awal. Jika kista residual atau lesi kista periapikal awal tidak dirawat, perkembangan akan
terus belanjut dan menyebabkan resorpsi tulang yang signifikan dan kemudian akan melemahkan
mandibula atau maksila. Perbaikan tulang secara sempurna biasanya akan tampak setelah dilakukan
perawatan pada kista periapikal atau residual.

Kista periodontal lateral

Kista periodontal lateral merupakan perkembangan kista non-keratin yang terjadi pada perlekatan
atau bagian lateral dari akar gigi. Kista ini sama dengan kista gingival pada dewasa akibat
histogenetikal dan patologi dan akan di bahas di sini.

Etiologi dan patogenesis. Kista ini dipercaya berhubungan dengan proliferasi dari rest (sisa) dental
lamina. Kista periodontal lateral menjadi patogen berhubungan dengan kista gingival pada orang
dewasa; pembentukannya dipercaya dari lamina gigi yang tersisa didalam tulang, dan pada gingival
kista lamina tertinggal pada jaringan lunak diantara epitelium dan periosteum (restofserres).
Hubungan keduanya adalah distribusi yang sama pada kandungan konsentrasi lamina dental, dan
keduanya identik secara histologi. Bedanya, kista periapikal biasanya ditemukan pada daerah apikal,
dimana yang ditemukan adalah sisa sel malasses yang banyak.

Gambaran klinis. Kista periodontal lateral dan kista gingival pada dewasa banyak di temui pada gigi
premolar mandibula dan regio cuspid dan juga pada daerah ini. Pada maksila, lesi biasanya
ditemukan pada regio insisif. Kista Periodontal lateral biasanya lebih cenderung menyerang laki –laki
dengan distribusi 2 hinga 1. Kista Gingival pada dewasa tidak menunjukan kecenderungan kelamin.
Median usia untuk kedua tipe ini adalah diantara dekade ke-lima dan ke-enam, yaitu berkisar antara
20-85 tahun untuk kista periodonta lateral dan 40-75 tahun untung kista gingiva pada dewasa.

Secara klinis, kista gingiva menunjukan adanya pembengkakan kecil pada jaringan lunak di dalam
atau pada bagian inferior dari interdental papil. Dimana akan tampak diskolorisasi yang berwarna
kebiru – biruan ketika sedikit membesar. Kebanyakan diameter kista berukuran kurang dari 1 cm.
Dan tidak ada gambaran radiografik yang terlihat.
Kista periodontal lateral bersifat asimptomatik, mudah di gambarkan, berbentuk bundar atau
unilocular teardrop (seperti tetesan air mata) (dan biasanya multilocular), radiolusen dengan batas
opaq di sepanjang permukaan lateral dari akar gigi yang vital. Jarang nampak adanya perubahan
bentuk akar. Pada lesi yang multilocular sering juga di sebut kista botryoid odontegenic.

Histopatologis. Baik pada kista periodontal lateral dan kista gingival pada dewasa ditandai dengan
garis epitelium nonkeratin yang tipis. Kaya akan kandungan glikogen, sel epitel mungkin akan
ditemukan nampak jelas pada garis kista yang tebal.

Diferensial diagnosa. Kista periodontal lateral harus dibedakan dengan kista yang di sebabkan oleh
infeksi yang diakibatkan lateral akar gigi yang nonvital (kista radikular lateral), odontogenik keratosis
pada permukaan lateral akar, dan tumor odontogenik yang radiolusen. DD untuk kista gingival untuk
dewasa yaitu termasuk gingival mukokel, Fordyce’s granular, parulis, dan juga tumor odontogenik.

Perawatan dan prognosa. Eksisi biasanya merupakan pilihan baik pada kista gingival maupun pada
kista periodontal lateral. Sedangkan kista botryoid odontegenik memiliki kecenderungan untuk
rekuren. Untuk mengatasinya, di sarankan melakukan perawatan untuk kista multilokular
odontegenik.

Kista gingival pada bayi baru lahir

Kista pada bayi juga di kenal dengan kista dental lamina pada bayi atau Born’s nodule. Kista ini
menunjukan nodul yang multipel sepanjang alveolarnya pada neonatal. Dipercaya bahwa fragmen
pada dental lamina tertinggal pada mukosa alveolar ridge setelah pembentukan gigi proliferal,
sehingga menyebabkan terbentuknya kista keratin ini. Pada kebanyakan kasus kista ini akan
beregenerasi dan luruh atau terpecah di dalam rongga mulut.

Secara histopatologi, kista ini di batasi oleh epitelium squamous yang lunak. Tidak perlu dilakukan
perawatan karena akan terpecah dan luruh secara spontan sebelum usia pasien mencapai usia 3
tahun.

Kista epitelial inklusi yang sama mungkin dapat terjadi pada daerah midline dan palatal (kista
palatinus pada bayi atau Epstein’s pearls). Yaitu kista yang berkembang dan terjadi dari epitelium
yang ada pada fusion line diantara palatal shelve dan prosesus nasal. Tidak diperlukan perawatan,
karena akan bergabung dengan epitelium oral dan luruh secara spontan

Kista dentigerous
Kista dentigerous atau kista folikular adalah tipe kedua dari kista odontodenik yang paling sering di
temui, dan merupakan kista yang paling sering sekali ada di rahang. Dari definisinya, kista ini melekat
pada cervix gigi (enamel-cemento junction) dan berdekatan dengan mahkota gigi yang unerupsi.

Etiologi dan patologi. Kista dentigerous berkembang dari proliferasi enamel yang tersisa atau
pembentukan epitelium enamel. Sama seperti kista tipe lain, ekspansi dari kista tipe ini berhubungan
dengan proliferasi epitel, menghilangkan tulang- faktor resorbsi, dan meningkatnya cairan
osmolalitas kista.

Gambaran klinis. Kista dentigerous merupakan kista yang paling sering berhubungan dengan gigi
molar ketiga dan kaninus maksila, yang mana merupakan dua gigi yang paling sering mengalami
impacted. Paling banyak ditemukan pada usia dekade kedua dan ketiga, lebih banyak pada pria,
dengan rasio 1.6 hingga 1.

Biasanya asimptomatik, namun terdapat penundaan erupsi yang merupakan indikasi yang paling
sering dari adanya pembentukan kista dentigerous. Kista ini memiliki kemampuan untuk mencapai
ukuran yang signifikan, biasanya berhubungan dengan perluasan tulang kortikal namun jarang
membesar pada pasien dengan predisposisi hingga menyebabkan fraktur pathologi.

Secara radiografi, kista dentigorous menunjukan gambaran yang baik, unilokular atau multilokular
radiolusen dengan margin kontikal yang berhubungan dengan mahkota gigi yang un-erupted. Gigi
yang tidak erupsi ini biasanya di gantikan posisinya. Pada mandibula hubungan radiolusen akan
meluas ke superior dari molar tiga hingga ke ramus atau anterior inferior sepanjang mandibula. Pada
kista dentigerous maksila yang mengenai regio kaninus, perluasan terjadi hingga ke sinus maksila
atau hingga ke dasar orbital. Resorbsi dari akar yang melekat pada gigi yang erupsi juga dapat
terlihat.

Kista dentigorous yang berdasarkan pembentukan bifurkasi gigi molar dibagi menjadi kista
paradental atau kista buccal bifurkasi. Awalnya Kista ini berada di sepanjang permukaan akar bagian
bukal dai gigi molar tiga yang mengalami partial erupted (erupsi sebagian). Namun kemudian
biasanya akan meluas hingga ke gigi molar lainnya di ahang bawah. Pada keadaan ini biasanya molar
tersebut telah erupsi sempurna. Secara radiografi, kista paradental mengalami gambaran radiolusen
pada regio bifurkasi bukal. Seringnya baru terlihat keadaan molar yang tipping pada gambaran
radiographi oklusal. Secara histopatologi, tampak adanya dinding kista dentigerous diikuti dengan
second inflamasi atau tidak sama sekali.

Histopatologi. fibrosa jaringan pendukung pada kista ini biasanya menunjukan adanya epitel
Squamos yang strafikasi. Pada kista dentigerous yang tidak terinflamasi memiliki epitel lining yang
tidak berkeratin dan memiliki sel layers sebanyak empat hingga enam ketebalannya. Kemudian,
mungkin ditemukan sel mukosa, sel siliasi, dan terkadang sel sebaceous pada epitelium lining.
Epitelium ini – perlekatan jaringan konektiv biasanya berbentuk datar, walaupun pada kasus dengan
second inflamasi, nampak adanya bercak – bercak.

Deferensial diagnosa. Diferensial diagnosa dari perikoronal radiolusen juga termasuk odontogenik
keratosit, ameloblastoma, dan tumor odontogenik lainnya. Transformasi ameloblastik dari kista
dentigerous juga merupakan bagian dari DD. Tumor odootogenik adenomatoid dapat dijadikan
pertimangan jika ada radiolusen pada daerah anterior perikoronal, sedangkan ameloblastik fibroma
untuk lesi yang terjadi pada posterior rahang pada pasien usia muda.

Perawatan. Pengangkatan gigi penyebab dan enukleasi dari jaringan lunak merupakan terapi yang
paling sering di gunakan. Pada kasus dimana kista mengenai mandibula secara signifikan, perawatan
awal termasuk exterriorisasi atau marsupialisasi dari kista dapat dilakukan untuk menekan dan
penyusutan dari lesi, dengan demikian menghasilkan penundaan tindakan bedah.

Kemungkinan komplikasi dari kista dentigerous yang tidak dirawat termasuk adanya transformasi
dari epitel lining hingga menjadi ameloblastoma dan mungkin (walau jarang) bertransformasi
menjadi carcinomatous. Pada kasus dimana terdapat keberadaan sel mukous, perkembangan
menjadi intraosseous mucoepidermoid carcinoma mungkin dapat terjadi.

Kista erupsi.

Kista erupsi disebabkan oleh adanya akumulasi cairan di dalam ruangan folikular dari gigi yang
erupsi. Epitelium lining dari ruangan ini memproduksi enamel epitelium. Dengan trauma, darah akan
muncul pada ruangan ini, membentuk yang biasa disebut dengan eruption hematoma. Tidak ada
perawatan yang di perlukan, karena gigi erupsi melalui lesi tersebut. Akibat penekanan erupsi, kista
akan menhilang secara spontan tanpa menimbulkan komplikasi.

Kista glandular odontogenik

Kista glandular odontogenik, atau bisa di sebut juga dengan kista sialoodontogenik, yang mana
pertama kali di jabarkan pada tahun 1987 dan memiliki gambaran histologis yang menunjukan
produksi mukus tumor glandula saliva.

Gambaran klinis. Yang paling banyak berada pada mandibula (80%), terutama pada regio anterior
rahang bawah. Lesi maksila biasa terjadi pada bagian anterior. Ekspansi rahang jarang terjadi,
biasanya berhubungan dengan lesi mandibular. Rasio gender kira – kira 1 banding 1. Mean usia 50
tahun, dengan perluasan usia pada dekade ke-dua hingga ke-sembilan.
Gambaran radiograpis. Kebanyakan kasus menunjukan gambaran radiografi multiloculated. Pada
kasus dengan gambaran radiolusen unilocular dengan adanya tanda awal, lesi rekuren dapat
menjadi multilocular. Lesi menunjukan ukuran yang bervariasi, dari kurang dari 1 cm hingga yang
mengenai mandibular bilateral. Batas radiographi mungkin akan tampak jelas atau sclerotic. Lesi
yang lebih agresiv tampak pada penyakit periperal border.

Histopathologis. Secara histopatologis, kista multilocular di batasi oleh epitelium tidak berkeratin
dengan ketebalan tertentu dimana sel epitel diasumsikan berbentuk melingkar. Epitelial lining
mengandung sel cuboidal, sering ditemani dengan silia pada permukaan luminal. Sel mukous
berkelompok pada batas kista bersama dengan musinpools. Secara keseluruhan histomorfologinya
mengingatkan kita pada carsinoma mukoepidermal tingkat rendah.

Perawatan dan prognosa. Lesi dapat menjadi agresif; maka dari itu rencana pembedahan harus
memperhatikan perluasan penyakit melalui gambaran klinis dan radiograpis. Dimana tulang yang
kuat disisakan dari perluasan lesi cystic, mungkin dapat digunakan kuretase bagian peripheral atau
eksisi dari margin. Perawatan jangka panjang mungkin harus diberikan pada penyakit yang agresif
atau rekuren.

Odontogenik keratocyst

Odontogenik keratocyst (OKCs) biasanya menunjukan gambaran klinis yang agresif, kemungkinan
rekurent dan juga berhubungan dengan nevoid basal sel carcinoma syndrome (NBCCS). Mereka
dapat ditemukan pada semua bagian rahang dan secara radiographi menunjukan gambaran yang
menyerupai kista tipe lain. Secara mikroskopis, mereka menunjukan keadaan yang unik dan
konsisten.

Etiologi dan patologis. Terdapat kesepakatan umu yang mengatakan bajhwa OKCs berkembang dari
sisa dental lamina pada mandibula dan maksila. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa
pembentukan asli dari kista ini adalah adanya perluasan sel basal pada overlying epitelium oral.
Mekanisme phatogenesis menyerupai pertumbuhan dan ekspansi dari OKCs termasuk adanya
proliferasi yang tinggi, overekspresi dari antiapoptic protein Bcl-2, dan ekspresidari matriks
metalloproteinasis (MMPs 2 dan 9).

Kerusakan gen yang berhubungan dengan NBCCS pertama kali di identifikasi pada kromosom 9p22.3
dan di temukan menjadi homologous menjadi Drosophilia (fruit fly) patched (PTCH) gen. Protein
hasil dari PTCH gen (gen tumor supresor) merupakan komponen tanda hedgehog pathway dan
berhubungan dengan perkembangan selama masa embriogenesis dan tanda sel pada orang dewasa.
Produksi PTCH gen normalnya meningkatkan aktivitas dari sonic hedgehog protein dan juga sinyal
protein, seperti smoothened protein. Jika gen PTCH tidak berfungsi, sehingga terjadi overekspresi
dari sonic hedgehog dan/atau moothened protein, yang kemudian akan menyebabkan peningkatan
proliferasi sel.
Mutasi dari gen PTCH mempengaruhi dalam perkembangan carsinoma sindroma sel basal dan juga
membentuk carsinoma aporadic sel basal (sama seperti moduloblastoma), menyediakn kesempatan
untuk PTCH sebagai tumor supresor pada keratinosis manusia. Mutasi PTCH juga ditemukan pada
OKCs pada pasien NBCCS dan juga beberapa OKCs yang terjadi secara sporadikal. Mutasi dari SUFU
gen yang mengkode komponen dari sonic hedgehog pathway telah teridentifikasi sebagai
pengantian genetik kedua yang dapat terjadi pada NBCCS dan moduloblastoma.

Gambaran klinis. OKCs merupakan kista yang sering terjadi di rahang. OKCs dapat terjadi pada
semua usia dan mencapai puncak pada dekade ke-dua dan ke-tiga. Lesi yang ditemukan pada anak –
anak seringnya merupakan refleksi dari OKCs multipel sebagai komponen dari NBCCS. OKCs memiliki
presentase 5% hingga 15% dari seluruh kista odontogenik. Sekitar 5% pasien dengan OKCs memiliki
multipel kista dan yang 5% lainnya merupakan NBCCS.

OKCs yang ditemukan di mandibula memilki rasio sekitar 2 hingga 1. Daerah posterior rahang bawah
dan ramus merupakan daerah yang paling sering terkena, sedangkan pada maksila daerah molar
ketiga merupakan daerah yang paling banyak terkena.

Secara radiografis, karakteristik OKC menunjukan batas radiolusen yang baik dengan margin yang
berwarna radioopaq tipis. Multilokular lebih sring terlihat pada lesi yang besar. Kebanyakan dari lesi,
bagaimanapun, unilokular, dengan tanda perlekatan pada mahkota sebanyak 40% pada gigi yang
tidak erupsi (presentasi kista dentigerous). Sekitar 30% dari lesi maksila dan 50% pada lesi
mandibular mengalami bukal ekspansi. Juga terdapat kemungkinan adanya mandibular lingual
enlargmen.

Histopathologi. Epitel lining yang terbentuk memiliki ketebalan yang sama, biasanya berkisar dari 8
atau 10 lapisan tebal. Basal layer menunjukan karateristik pola palisaded dengan polarisasi dan
memiliki diameter nukleus yang sama. Sel epitel merupakan parakeratinisasi dan memproduksi
bentuk yang tidak biasa atau yang seperti ombak. Fokal zone dari orthokeratin jarang terlihat.
Sebagai tambahan gambaran histologis adakalanya saling bertemu termasuk masa budd dari sel
basal hingga ke dinding konektiv tissue dan pembentukan microcyst. Komponen Fibrous dari
jaringan konektif di dinding kista seringnya terbebas dari infiltrasi sel inflamasi dan cukup tipis.
Epitelium – jaringan conective yang berhubungan memiliki karakteristik yang berbentuk flat, dengan
tidak memiliki bentuk epitelial ridge. Juga disebut dengan primordial kista (kista yang bertempat di
gigi), dimana Ketika dilakukan pemeriksaan mikroskopis, ternyata mengandung OKCs.

Kista odontogenik orthokeratin telah dijelaskan dan ada sekitar satu banding 20 sama seperti OKC.
Perbedaan histologi antara parakertin dan orthokeratin tebentuk karena lesi orthokeratin
merupakan kista yang kurang agresif, memiliki data rekuren yang rendah, dan tidak berhubungan
dengan sindrome. Pada kista odontegen orthogenetik yang sangat mencolok adalah adanya granular
layer yang ditemukan di bawah permukaan yang flat bukan yang berombak. Sel basal layer tidak
terlalu mencolok, dengan lebih banyak bentuk flat atau squamosa jika di bandingkan dengan
parakeratotik.

Diferensial diagnosa. Ketika kista di duga berhubungan dengan gigi, maka beberapa penyakit
mungkin dapat dipertimbangkan, seperti kista dentigerous, ameloblastoma,odontogenik myxoma,
adenomatois odontogenik tumor, dan ameloblastik fibroma. Kemudian, tumor nonodontogenik,
seperi granuloma sel giant sentral, kista traumatik tulang, dan kista tulang aneurysmal, mungkin
dapat dimasukan sebagai diferensial diagnosa jika penyakit menyerang pasien usia muda.

Perawatan dan prognosa. Bedah eksisi dengan kuretase peripheral osseous atau ostectomy
merupakan metode yang dapat dilakukan. Tindakan yang agresif ini dapat benarkan karena
rekurensi yang tinggi yang berhubungan dengan OKCs. Beberapa juga menganjurkan penggunaan
chemical kauterisasi pada kista dengan menggunakan solusi Carnoy’s (biologic fixative). Pada
beberapa kasus dengan OKCs yang besar, dapat dilakukan marsipulisasi untuk mendapatkan
penyusutan dari kista, yang kemudian diikuti dengan enukleasi.

Rata – rata data rekuren menunjukan angka 10% hingga 30% yang berhubungan dengan beberapa
faktor fisik. Dinding jaringan kista yang rapuh mungkin akan menyebabkan pengangkatan yang tidak
sempurna. Sisa dental lamina atau kista pada perlekatan tulang ke lesi awal dapat menyebabkan
rekurensi. Juga, proliferasi kista dari layer sel basal pada oral, jika tidak dihilangkan pada saat
pengangkatan kista, dapat menimbulkan rekuren. Kualitas biologi yang aktual dari epitelium kista,
seperti peningkatan indeks mitotic dan faktor produksi dari resorbsi tulang, sangat berkaitan dengan
keadaan rekuren.

Pemeriksaan lebih lanjut penting untuk dilakukan. Pasien harus di evaluasi untuk meyakinkan
apakah eksisi telah sempurna, keratocit baru, dan NBCCS. Kebanyakan rekuren baru akan terlihat
secara klinis dalam jangka waktu 5 tahun setelah perawatan. Namun pada kasus rekuren, jarang di
temukan komplikasi transformasi ameloblastik. Pasien dengan multipel keratosit memiliki
kemungkinan rekuren yang tinggi dibanding mereka yang memiliki single keratosit ; yakni 30% dan
10%.

Manifestasi klinis dari NBCCS termasuk multipel OKCs, kerusakan tulang, dan carcinoma multipel sel
basal. Kerusakan kutan lainnya termasuk palmar dan plantar keratik pitting, multipel milia, dan
dermal calinocis. Kerusakan tulang termasuk adanya bifid ribs, termasuk kerusakan tulang belakang
dan metakarpal. Mandibular yang prognati sedang dilaporkan memiliki presentasi kasus yang
rendah. Fasial Dismorpogenesis, termasuk broad nasal bridge dengan koresponding ocular
hypertelorism dan lateral displace inner ocular canthi (distopia canthrum), mungkin akan terjadi.
Keabnormalan dari syaraf, termasu di dalamnya meduloblastoma, dysgenesis atau agenesis dari
corpus callosum, kalsifikasi dari falx cerebri dan juga (jarang) kalsifikasi falx cerebelli.

Kalsifikasi kista odontogenik


Kalsifikasi kista odontogenik (COCs) lesi odontogenik yang berkembang dan memiliki kemungkinan
rekuren. Variasi yang lebih padat disebut dengan odontogenik ghost cell tumor yang di percaya
memiliki sifat klinis lebih agresif.

Etiologi dan pathogenesis. COCs dipercaya berasal dari sisa epitelial odontogenik di dalam gingiva
atau di dalam mandibula atau maksila. “gosht cell kaeratin” memiliki karakteristik gambaran
mikroskopis yang menyerupai kista ini, dan juga mengambarkan lesi cutaneous yang disebut dengan
kalsifikasi epithelioma dari Malherby atau pilomatrixoma. Pada rahang, ghost sel juga terlihat pada
beberapa tumor odontogenik lainnya, seperti odontoma, ameloblastoma, adenomatoid odontogenik
tumor, ameloblastik fibroodontoma, dan ameloblasik fibroma.

Gambaran klinis. Pada kista ini terdapat range usia yang luas, dengan puncak kasus terjadi pada usia
dekade ke-dua. Biasanya terjadi pada individu di bawah usia 40 tahun dan lebih banyak menyerang
perempuan. Lebih dari 70% COCs menyerang maksila. COCs juga dapat berada di intraosseous
masses dari gingiva, walaupun hal ini jarang terjadi kista yang biasanya terjadi pada lokasi
ekstraosseous atau peripheral biasanya menyerang pasien usia 50 tahun dan biasanya terletak pada
anterior hingga regio molar pertama.

Secara radiografi, COCs menunjukan radiolusen yang unilocular atau multilocular dengan memiliki
ciri – ciri margin yang memiliki garis yang jelas. Gambaran radiolusen mungkin tampak berserakan,
ukuran kalsifikasi tidak selalu sama. Beberapa bagian opaq akan menunjukan pola salt and paper
(garam dan lada, dengan distribusi yang sama dan difuse. Pada beberapa kasus mungkin akan terjadi
mineralisasi sehinga ada perluasan margin lesi yang bila dilihat secara radiographisnya akan lebih
sulit untuk ditentukan.

Histopatologis. Kebanyakan dari COCs menunjukan poliferasi kista yang memiliki gambaran yang
bagus dengan adanya fibrosa jaringan yang di garis oleh epitelium odontogenik. Proliferasi
intraluminal epitelium biasanya memburamkan lumen kista, dengan demikian menyebabkan
tekanan pada tumor yang padat. Garis epitelial memiliki ketebalan yan beragam. Epitelium basal
merupakan bagian yang mencolok, dengan pola hipercromatik nukleus dan cuboidal columnar.
Basallayer lebih bersifat bebas dalam menyusun sel epitel, kadang meniru stelate reticulum dari
organ enamel. Yang paling menonjol dan unik dari gambaran mikroskopis adalah keberadaan ghost
sel keratin. Sel ghost ini anucleate dan menguasai garis luar dari membran sel. Sel ini mengalami
distrophic karakterisasi mineralisasi dengan menemukan basofil granular, yang mana memungkinkan
untuk kalsifikasi bahan dalam jumlah besar. Dalam kesempatan ini sel ghost menempati dinding
jaringan, menimbulkan respon sel giant terhadap benda asing.

Deferensial diagnosa. Pada tahap awal pembentukan, COCs hanya memiliki sedikit mineralisasi atau
bahkan tidak memilikinya sama sekali maka akan yampak berwarna radiolusen. DD untuk tahapan ini
termasuk kista dentigerous, OKC, dan ameloblastoma. Pada tahap selanjutnya ketika gambaran
menunjukan adanya pencampuran radiolusen dan radioopaq, DD yang memungkinkan adalah
adenomatoid odontogenik tumor, mineralisasi odontoma sebagian, kalsifikasi epitel odontogenik
tumor, dan ameloblastic fibroodontoma.

Perawatan dan prognosa. Karena lesi ini memiliki sifat biologi yang tidak dapat di duga, perawatan
yang di gunakan biasanya lebih agresif dari sekedar kuretase sederhana. Pasien harus terus di awasi
selama perawatan karena rekuren dapat terjadi. Penanganan untuk tipe ekstraosseous dan
peripheral adalah tindakan konservatif karena tidak menunjukan adanya karakteristik rekurensi.

INTERPRETASI PENYAKIT PERIAPIKAL BERDASARKAN GAMBARAN RONTGEN

PENDAHULUAN

Radiologi adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan substansi radioaktif,
pancaran sinar serta diagnose dan perawatan dengan menggunakan sinar rongsen atau ultrasound.
Fungsi dari sinar radioaktif atau yang biasa disebut sinar rongsen ini pada dasarnya untuk melihat
jaringan yang sulit dilihat dengan kasat mata sehingga dapat membantu menegakkan diagnose.

Macam-macam infeksi gigi antara lain, karies gigi, infeksi dentoalveolar (infeksi pulpa dan abses
periapikal), gingivitis (ANUG), periodontitis (termasuk perikoronitis dan peri-implantitis), Deep facial
space infection, dan osteomielitis. Apabila infeksi ini tidak dirawat dapat menyebar dan
memperbesar infeksi polimikrobial pada organ tubuh lainnya.

Infeksi gigi ini umumnya dimulai dari permukaan gigi yaitu, karies gigi. Karies gigi pada tahap awal
tidak menimbulkan rasa sakit namun pada tahap lanjut dapat menimbulkan rasa sakit, baik pada gigi
yang terkena maupun daerah sekitar gigi tersebut. Rasa sakit ini pada permulaannya didahului oleh
rasa sakit yang ringan pada saat gigi kontak makanan/minuman dingin atau panas. Apabila lubang
dan invasi bakteri semakin dalam hingga menembus dentin, maka rasa sakit muncul sesekali dan
semakin tajam. Apabila invasi bakteri sudah mencapai pulpa gigi yang terdiri dari pembuluh darah
dan saraf, maka dapat menimbulkan infeksi pada pulpa yang dapat menyebabkan rasa sakit yang
sangat dan berdenyut. Serangan bakteri yang terus-menerus pada pulpa akan menyebabkan pulpa
mati. Dengan kematian saraf gigi ini, maka rasa sakit juga menghilang. Namun keadaan ini dapat
berlanjut lebih buruk lagi dengan terjadinya abses sekitar gigi yang sangat sakit. Pada akhirnya gigi
mengalami pembusukan, apabila tidak dilakukan perawatan terhadap gigi yang telah busuk tersebut.

Jenis terapi untuk gigi karies adalah tumpatan/konservatif, RCT/endodontik, dan exodonsia.
Tumpatan (konservatif) digunakan sebagai tindakan preventif atau pencegahan dari perluasan
penyebaran karies. Sedangkan terapi endodontik di indikasikan untuk pulpa gigi yang telah mati.
Tindakan ekstraksi dilakukan bila gigi telah hancur oleh karena proses karies atau sudah tidak dapat
dipertahankan lagi.

Gigi yang mengalami periapikal abses, namun masih dapat dipertahankan. Maka dapat dirawat
dengan perawatan saluran akar (Root Canal Treatment/RCT). Namun apabila gigi tersebut sudah
tidak dapt dipertahankan lagi, maka gigi harus diangkat, kemudian dilakukan kuretase pada seluruh
bagian jaringan lunak dari apikal gigi. Akan tetapi, bila abses yang telah dirawat dengan teknik RCT
tidak berhasil, maka hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

· Pembentukan kista

· Perawatan yang in-adekuat


· Fraktur vertical pada akar

· Adanya material asing pada lesi

· Penetrasi dengan sinus maksilaris

Karies merupakan salah satu penyakit tertua yang telah ada sejak 14.000 tahun yang lalu. sesuai
dengan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 2004 yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan menyebut prevalensi karies gigi di Indonesia adalah 90,05 persen. Karies yang berlanjut
lambat laun akan mencapai bagian pulpa dan mengakibatkan peradangan pada pulpa. Walton
mengklasifikasikan keradangan pada pulpa terdiri dari pulpitis reversibel, pulpitis irreversibel,
degeneratif pulpa dan nekrosis pulpa. Proses peradangan pulpa yang berlanjut dapat menyebabkan
kelainan periapikal. Lesi periapikal dikelompokkan menjadi : simptomatik apikal periodontitis,
asimptomatik apikal periodontitis dan abses periapikal. Nobuhara dan del Rio(1) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa 59.3% dari lesi periapikal merupakan granuloma periapikal, 22%
kista periapikal, 12% jaringan parut periapikal dan 6.7% lainnya.

Penyakit periapikal merupakan suatu keadaan patologis yang terlokalisir pada daerah apeks atau
ujung akar gigi atau daerah periapikal gigi.

Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh jaringan tulang yang disebabkan
oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis
jaringan pulpa. Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan
rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi.

Granuloma periapikal merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan perkembangan yang lambat
yang berada dekat dengan apex dari akar gigi, biasanya merupakan komplikasi dari pulpitis. Terdiri
dari massa jaringan inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul fibrous yang merupakan
ekstensi dari ligamen periodontal.

Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan bahan setengah cair atau gas biasanya berdinding
jaringan ikat dan berisi cairan kental atau semi likuid, dapat berada dalam jaringan lunak ataupun
keras seperti tulang. Rongga kista di dalam rongga mulut selalu dibatasi oleh lapisan epitel dan
dibagian luarnya dilapisi oleh jaringan ikat dan pembuluh darah.

TINJAUAN PUSTAKA

A. ABSES PERIAPIKAL

Abses adalah daerah jaringan yang terbentuk dimana didalamnya terdapat nanah yang terbentuk
sebagai usaha untuk melawan aktivitas bakteri berbahaya yang menyebabkan infeksi. Sistim imun
mengirimkan sel darah putih untuk melawan bakteri. Sehingga nanah atau pus mengandung sel
darah putih yang masih aktif atau sudah mati serta enzim. Abses terbentuk jikalau tidak ada jalan
keluar nanah/pus. Sehingga nanah atau pus tadi terperangkap dalam jaringan dan terus membesar.

Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh jaringan tulang yang disebabkan
oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis
jaringan pulpa. Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan
rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah
memfagosit bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk
nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan sekitarnya akan
terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh
untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa
menyebar tergantung kepada lokasi abses.

Penyebab Abses Periapikal adalah Tubuh menyerang infeksi dengan sejumlah besar sel darah putih;
nanah adalah sekumpulan sel darah putih dan jaringan yang mati. Biasanya nanah dari infeksi gigi
pada awalnya dialirkan ke gusi, sehingga gusi yang berada di dekat akar gigi tersebut membengkak.

Nanah bisa dialirkan ke kulit, mulut, tenggorokan atau tengkorak, tergantung kepada lokasi gigi yang
terkena.

Gejala Abses Periapikal yaitu gigi terasa sakit, bila mengunyah juga timbul nyeri. Kemungkinan ada
demam disertai pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Jika absesnya sangat berat, maka di
daerah rahang terjadi pembengkakan.

Orang yang memiliki daya resistensi tubuh yang rendah, memiliki resiko tinggi untuk menderita
abses. Pada awalnya, penderita abses mengalami sakit gigi yang bertambah parah. Sehingga saraf di
dalam mulut juga dapat terinfeksi. Jika absesnya tersembunyi di dalam gusi, maka gusi bisa
berwarna kemerahan. Untuk menterapinya, dokter gigi membuat jalan di permukaan gusi agar pus
bisa berjalan keluar. Dan ketika pus sudah mendapatkan jalan keluar, kebanyakan rasa sakit yang
diderita oleh pasien berkurang drastis. Jika abses tidak di irigasi/drainasi dengan baik, hanya sekedar
pecah. Maka infeksi tadi akan menyebar ke bagian lain di mulut bahkan bisa menyebar ke leher dan
kepala.

Gejala awal adalah pasien akan merasakan sakit yang berdenyut-denyut di daerah yang terdapat
abses. Lalu gigi akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsang panas dan dingin serta tekanan dan
pengunyahan. Selanjutnya pasien akan menderita demam, kelenjar limfe di bagian rahang bawah
akan terasa lebih menggumpal/sedikit mengeras dan terasa sakit jika diraba. Pasien juga merasa
sakit pada daerah sinus. Jika pus mendapat jalan keluar, atau dengan kata lain bisulnya pecah, akan
menimbulkan bau busuk dan rasa sedikit asin dalam mulut anda.

Biasanya para dokter gigi dapat mendiagnosa adanya abses dalam rongga mulut dengan
memeriksanya secara langsung. Dokter gigi juga dapat melakukan diagnosa pulpa, untuk mengetahui
apakah gigi anda masih vital atau tidak. Dan untuk lebih memastikan, dokter gigi juga mengambil
gambaran radiografi. Gambaran radiografi dari abses ini tampak gambaran radiolusen berbatas difus
di periapikal.

Patofisologi : Umumnya disebabkan oleh infeksi kuman dari proses karies. Dengan perkembangan
karies, atau beberapa antigen dapat menyebabkan respons keradangan jaringan pulpa. Oleh karena
pulpa tertutup oleh struktur padat dentin maka tidak terdapat ruangan untuk perluasan eksudat
radang dan melalui saluran akar akan menyebar ke jaringan periapikal membentuk abses periapikal
akut dan bila prosesnya kronik akan menjadi kelainan berupa abses kronik, granuloma dan kista
radikular.

Kuman saluran akar merupakan penyebab utama abses periapikal, dan umumnya berupa Gram
positif, Gram negatif baik aerob dan anaerob yang akan invasi ke jaringan periapikal dan akhirnya
dapat menyebabkan kerusakan.

Pasien dengan abses periapikal mungkin dapat dengan atau tanpa tanda-tanda peradangan, yang
difus atau terlokalisasi. Pada pemeriksaan perkusi dan palpasi dapat ditemukan tanda-tanda
sensitifitas dengan derajat yang bervariasi. Pulpa tidak bereaksi terhadap stimulasi thermal karena
berhubungan dengan pulpa yang telah nekrosis. gambaran radiografi dapat bervariasi dari penipisan
ligamen periodontal hingga lesi radiolusensi dengan batas yang tidak jelas.

Abses atau selulitis diatasi dengan menghilangkan infeksi dan membuang nanah melalui bedah
mulut atau pengobatan saluran akar. Untuk membantu menghilangkan infeksi seringkali diberikan
antibiotik. Tindakan yang terpenting adalah mencabut pulpa yang terkena dan mengeluarkan
nanahnya.

Pada pemerikasaan rontgen akan tampak gambaran radiolusen berbatas difus di periapikal. Terapi
yang dilakukan adalah insisi, drainase dan pemberian antibiotik.

B. GRANULOMA PERIPIKAL

Granuloma periapikal merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan perkembangan yang lambat
yang berada dekat dengan apex dari akar gigi, biasanya merupakan komplikasi dari pulpitis. Terdiri
dari massa jaringan inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul fibrous yang merupakan
ekstensi dari ligamen periodontal.

Gambaran radiografi yaitu Tampak gambaran radiolucent dengan batas tepi yang kadang terlihat
jelas pada periapikal. Umumnya berbentuk bulat. Gigi yang bersangkutan akan menunjukkan
hilangnya gambaran lamina dura. Biasanya tidak disertai adanya resorbsi akar, namun ada juga yang
menunjukkan gambaran resorbsi akar.

Granuloma periapikal dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada pulpa yang berlanjut hingga ke
jaringan sekitar apeks maupun yang mengenai jaringan periapikal. Iritan dapat disebabkan oleh
organisme seperti: bakteri dan virus; dan non-organisme seperti: iritan mekanis, thermal, dan kimia.

Penelitian yang dilakukan terhadap spesimen periapikal granuloma, sebagian besar merupakan
bakteri anaerob fakultatif dan organisme yang tersering adalah Veillonella species (15%),
Streptococcus milleri (11%), Streptococcus sanguis (11%), Actinomyces naeslundii (11%),
Propionibacterium acnes (11%), dan Bacteroides species (10%).3 Sedangkan faktor non-organisme
adalah karena iritan mekanis setelah root canal therapy, trauma langsung, trauma oklusi, dan
kelalaian prosedur endodontik; dan bahan kimia seperti larutan irigasi.

Secara klinis dental granuloma tidak dapat dibedakan dengan lesi keradangan periapikal lainnya.
Untuk membedakan dengan lesi periapikal lainnya diperlukan pemeriksaan radiografi. Ukurannya
bervariasi, mulai dari diameter kecil yang hanya beberapa millimeter hingga 2 centimeter.

Dental granuloma terdiri dari jaringan granulasi yang dikelilingi oleh dinding berupa jaringan ikat
fibrous. Pada dental granuloma yang sudah cukup lama, cenderung memberikan gambaran adanya
sel plasma, limfosit, neutrofil, histiosit, dan eusinofil, serta sel epithelial rests of Malassez. Pada gigi
dengan karies perforasi pada pemeriksaan mikrobiologi akan didapatkan mikroaerofilik bacterium
actynomices.

Disebabkan oleh kelainan patologis dari reaksi keradangan pulpa yang berlanjut hingga ke jaringan
sekitar apeks. Pulpitis itu sendiri dapat disebabkan oleh infeksi karies sekunder, trauma, atau
kegagalan perawatan saluran akar. Nekrosis pulpa akan menstimulasi reaksi radang pada jaringan
periodontal gigi yang bersangkutan.

Patofisiologi dari Granuloma periapikal juga dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada pulpa yang
berlanjut hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang mengenai jaringan periapikal. Iritan dapat
disebabkan oleh organisme seperti: bakteri dan virus; dan non-organisme seperti: iritan mekanis,
thermal, dan kimia timbul akibat nekrosis pulpa, penyebaran pertama dari inflamasi pulpa ke
jaringan periradikuler. Granuloma periapikal merupakan kelanjutan dari abses periapikal akut.
Iritannya meliputi mediator inflamasi dari pulpa yang terinflamasi irreversible atau toksin bakteri
dari pulpa yang nekrotik.

Patogenesis yang mendasari granuloma periapikal adalah respon system imun untuk
mempertahankan jaringan periapikal terhadap berbagai iritan yang timbul melalui pulpa, yang telah
menjalar menuju jaringan periapikal. Terdapat berbagai macam iritan yang dapat menyebabkan
peradangan pada pulpa, yang tersering adalah karena bakteri, proses karies yang berlanjut akan
membuat jalan masuk bagi bakteri pada pulpa, pulpa mengadakan pertahanan dengan respon
inflamasi.

Terdapat tiga karakteristik utama pulpa yang mempengaruhi proses inflamasi. Pertama, pulpa tidak
dapat mengkompensasi reaksi inflamasi secara adekuat karena dibatasi oleh dinding pulpa yang
keras. Inflamasi akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan meningkatnya volume jaringan
karena transudasi cairan. Kedua, meskipun pulpa memiliki banyak vaskularisasi, namun hanya
disuplai oleh satu pembuluh darah yang masuk melalui saluran sempit yang disebut foramen apikal,
dan tidak ada suplai cadangan lain. Edema dari jaringan pulpa akan menyebabkan konstriksi
pembuluh darah yang melalui foramen apikal, sehingga jaringan pulpa tidak adekuat dalam
mekanisme pertahanan, terlebih lagi edema jaringan pulpa akan menyebabkan aliran darah
terputus, menyebabkan pulpa menjadi nekrosis. Ruangan pulpa dan jaringan pulpa yang nekrotik
akan memudahkan kolonisasi bakteri. Ketiga, karena gigi berada pada rahang, maka bakteri akan
menyebar melalui foramen apikal menuju jaringan periapikal.

Gejala klinis dari granuloma periapikal dan kista periapikal sangat sulit dibedakan, biasanya pasien
tidak mengeluhkan adanya nyeri, dan tes perkusi negatif. Oleh karena berhubungan dengan pulpa
yang telah nekrosis, stimulasi thermal akan menunjukkan nilai yang negatif. Gambaran radiografi
akan menunjukkan adanya radiolusen dengan batas yang jelas. Meskipun pemeriksaan dengan
radiografi merupakan kunci diagnostik, satu satunya cara untuk dapat membedakan keduanya
secara akurat adalah dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik; gambaran histopatologis
granuloma periapikal telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan gambaran histopatologis kista
periapikal ditandai dengan adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel jenis non-keratinizing
stratified squamous dengan ketebalan yang bervariasi, dinding epitelium tersebut dapat sangat
proliferatif dan memperlihatkan susunan plexiform. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang
dengan ditemukannya banyak sel radang, yaitu sel plasma dan sel limfosit pada dinding kista
tersebut. Rousel body atau round eusinophilic globule banyak ditemukan didalam atau diluar sel
plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis imunoglobulin.

Granuloma periapikal merupakan reaksi inflamasi kronis yang berada di sekitar apex gigi yang
merupakan kelanjutan dari keradangan pada pulpa yang disebabkan oleh berbagai macam iritan,
seperti bakteri, trauma mekanis, dan bahan kimia. Patogenesis yang mendasarinya adalah reaksi dari
sistem imun tubuh terhadap adanya iritan. Granuloma periapikal biasanya tidak bergejala dan
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiografi sebagai gambaran radiolusen, diagnosis
bandingnya termasuk kista periapikal dan abses periapikal, yang hanya dapat dibedakan melalui
pemeriksaan mikroskopis. terapi dapat dilakukan dengan penanganan endodontik non pembedahan
maupun pembedahan. Prognosis dari granuloma periapikal adalah baik.

Dental granuloma umumnya tidak menimbulkan gejala-gejala yang pasti. Gigi yang bersangkutan
akan memberikan respon negative pada perkusi, tes termal, dan tes elektrik pulpa. Pada dental
granuloma yang terus berlanjut dan dibiarkan tanpa perawatan dapat berubah menjadi kista
periapikal.

Lesi inflamasi apical umumnya disebabkan oleh adanya produk toksik yang dihasilkan oleh bakteri
yang ada di saluran akar, sehingga keberhasilan perawatan tergantung pada eliminasi bakteri pada
gigi yang bersangkutan.

Pada gigi yang masih dapat dipertahankan dapat dilakukan perwatan saluran akar. Sedangkan pada
gigi yang tidak dapat dilakukan restorasi maka harus dilakukan ekstraksi. Pada gigi yang dirawat
saluran akar perlu dilakukan evaluasi pada tahun pertama dan kedua untuk memastikan apakah lesi
bertambah besar atau telah sembuh.

Kebanyakan dari periapikal granuloma ditemukan secara tidak sengaja selama pemeriksaan rutin.
Karena granuloma periapikal merupakan kelanjutan dari nekrosis pulpa maka pada pemeriksaan fisik
akan didapatkan tes thermal yang negatif dan tes EPT yang negatif. Pada gambaran radiografi lesi
yang berukuran kecil tidak dapat dipisahkan secara klinis dan radiografi. Periapikal granuloma
terlihat sebagai gambaran radiolusen yang menempel pada apex dari akar gigi. Sebuah gambaran
radiolusensi berbatas jelas atau difus dengan berbagai ukuran yang dapat diamati dengan hilangnya
lamina dura, dengan atau tanpa keterlibatan kondensasi tulang.

Kegagalan proses penyembuhan bisanya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

- Berubah menjadi bentukan kista

- Kegagalan perawatan saluran akar

- Fraktur akar vertical

- Adanya penyakit periodontal

Gejala klinis dari granuloma periapikal dan kista periapikal sangat sulit dibedakan, biasanya pasien
tidak mengeluhkan adanya nyeri, dan tes perkusi negatif. Oleh karena berhubungan dengan pulpa
yang telah nekrosis, stimulasi thermal akan menunjukkan nilai yang negatif. Gambaran radiografi
akan menunjukkan adanya radiolusen dengan batas yang jelas. Meskipun pemeriksaan dengan
radiografi merupakan kunci diagnostik, satu satunya cara untuk dapat membedakan keduanya
secara akurat adalah dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik; gambaran histopatologis
granuloma periapikal telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan gambaran histopatologis kista
periapikal ditandai dengan adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel jenis non-keratinizing
stratified squamous dengan ketebalan yang bervariasi, dinding epitelium tersebut dapat sangat
proliferatif dan memperlihatkan susunan plexiform. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang
dengan ditemukannya banyak sel radang, yaitu sel plasma dan sel limfosit pada dinding kista
tersebut. Rousel body atau round eusinophilic globule banyak ditemukan didalam atau diluar sel
plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis imunoglobulin

C. KISTA RADIKULER

Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan bahan setengah cair atau gas biasanya berdinding
jaringan ikat dan berisi cairan kental atau semi likuid, dapat berada dalam jaringan lunak ataupun
keras seperti tulang. Rongga kista di dalam rongga mulut selalu dibatasi oleh lapisan epitel dan
dibagian luarnya dilapisi oleh jaringan ikat dan pembuluh darah.

Kista radikuler disebut juga kista periapikal. Kista ini merupakan jenis kista yang paling sering
ditemukan. Kista radikuler terbentuk oleh karena iritasi kronis gigi yang sudah tidak vital. Kista ini
tumbuh dari epitel rest of Malassez yang mengalami proliferasi oleh karena respon terhadap proses
radang yang terpicu oleh karena infeksi bakteri pada pulpa yang nekrosis

Kista periapikal adalah kista yang terbentuk pada ujung apeks (akar) gigi yang jaringan pulpanya
sudah nonvital/mati. Kista ini merupakan lanjutan dari pulpitis (peradangan pulpa). Dapat terjadi di
ujung gigi manapun, dan dapat terjadi pada semua umur. Ukurannya berkisar antara 0.5-2 cm, tapi
bisa juga lebih. Bila kista mencapai ukuran diameter yang besar, ia dapat menyebabkan wajah
menjadi tidak simetri karena adanya benjolan dan bahkan dapat menyebabkan parestesi karena
tertekannya syaraf oleh kista tersebut. Dalam pemeriksaan rontgen kista radikuler akan terlihat
gambaran radiolusen berbatas jelas.

Pola umum pertumbuhan suatu kista terjadi karena adanya stimulasi (cytokinase) pada sisa-sisa sel
epitel pertumbuhan yang kemudian mengalami proliferasi dan di dalam pertumbuhannya tidak
menginvasi jaringan sekitarnya. Sisa epitel tersebut kemudian akan berproliferasi membentuk massa
padat. Kemudian massa akan semakin membesar sehingga sel-sel epitel di bagian tengah massa
akan kehilangan aliran darah, sehingga aliran nutrisi yang terjadi melalui proses difusi akan terputus.
Kematian sel-sel dibagian tengah massa kista tersebut akan menyebabkan terbentuk suatu rongga
berisi cairan yang bersifat hipertonis. Keadaan hipertonis akan menyebabkan terjadinya proses
transudasi cairan dari ekstra lumen menuju ke dalam lumen. Akibatnya terjadi tekanan hidrostatik
yang berakibat semakin membesarnya massa kista. Proses pembesaran massa kista dapat terus
berlangsuung, kadang sampai dapat terjadi parastesia ringan akibat ekspansi massa menekan daerah
saraf sampai timbulnya rasa sakit.

Kista ini tidak menimbulkan keluhan atau rasa sakit, kecuali kista yang terinfeksi. Pada pemeriksaan
radiografis, kista periapikal memperlihatkan gambaran seperti dental granuloma yaitu lesi radiolusen
berbatas jelas di sekitar apeks gigi yang bersangkutan dan tepinya seperti lapisan tipis yang kompak
seperti lamina dura.

Hampir semua kista radikuler berasal dari granuloma periapikal yang terjadi sebelumnya. Kista ini
juga disebabkan oleh berlanjutnya peradangan yang awalnya terjadi pada pulpa, yang kemudian
meluas hingga jaringan periapikal di bawahnya.

Patofisiologi dari kista radikuler yaitu diawali dari peradangan jaringan pulpa yang lama kelamaan
menyebabkan inflamasi periapikal. Inflamasi ini merangsang the malassez ephitelial rest yang
terdapat pada ligamentum periodontal sehingga menghasilkan pembentukan granuloma periapikal
yang dapat bersifat terinfeksi atau steril. Akhirnya epitelium mengalami nekrosis karena kehilangan
suplai darah dan granuloma berubah menjadi kista.

Kista residual merupakan kista yang disebabkan oleh keradangan pada fragmen akar yang tertinggal
saat pencabutan atau adanya sisa granuloma yang tidak terambil saat pencabutan. Pada
pemeriksaan klinis didapatkan rahang tidak bergigi dengan sejarah pernah dilakukan ekstraksi dan
pada gambaran radiologi ditemukan gambaran radiolusen. Secara histopatologis ditandai dengan
adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel yang tidak mengalami keratinisasi squamosa dan
mempunyai ketebalan yang bervariasi. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang dengan
ditemukannya banyak sel neutrofil pada dinding kista. Perawatan kista residual adalah dengan
melakukan enukleasi dan pada umumnya tidak terjadi rekuren.
Perawatan terdiri dari perawatan saluran akar, atau pencabutan gigi yang bersangkutan kemudian
kista dikuretase. Dapat juga diterapi dengan cara Marsupialisasi dan enukleasi.

PENUTUP

· Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh jaringan tulang yang
disebabkan oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Abses periapikal umumnya berasal dari
nekrosis jaringan pulpa. Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur,
meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang
merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan
setelah memfagosit bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini maka jaringan
sekitarnya akan terdorong dan menjadi dinding pembatas abses. Hal ini merupakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam
maka infeksi bisa menyebar tergantung kepada lokasi abses.

· Granuloma periapikal merupakan reaksi inflamasi kronis yang berada di sekitar apex gigi yang
merupakan kelanjutan dari keradangan pada pulpa yang disebabkan oleh berbagai macam iritan,
seperti bakteri, trauma mekanis, dan bahan kimia. Patogenesis yang mendasarinya adalah reaksi dari
sistem imun tubuh terhadap adanya iritan. Granuloma periapikal biasanya tidak bergejala dan
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiografi sebagai gambaran radiolusen, diagnosis
bandingnya termasuk kista periapikal dan abses periapikal, yang hanya dapat dibedakan melalui
pemeriksaan mikroskopis. terapi dapat dilakukan dengan penanganan endodontik non pembedahan
maupun pembedahan. Prognosis dari granuloma periapikal adalah baik.

· Kista periapikal adalah kista yang terbentuk pada ujung apeks (akar) gigi yang jaringan pulpanya
sudah nonvital/mati. Kista ini merupakan lanjutan dari pulpitis (peradangan pulpa). Dapat terjadi di
ujung gigi manapun, dan dapat terjadi pada semua umur. Ukurannya berkisar antara 0.5-2 cm, tapi
bisa juga lebih. Bila kista mencapai ukuran diameter yang besar, ia dapat menyebabkan wajah
menjadi tidak simetri karena adanya benjolan dan bahkan dapat menyebabkan parestesi karena
tertekannya syaraf oleh kista tersebut. Dalam pemeriksaan rontgen kista radikuler akan terlihat
gambaran radiolusen berbatas jelas.

You might also like