You are on page 1of 19

Definisi Fibrilasi Atrium

Fibrilasi atrium merupakan salah satu bentuk aritmia jantung menetap yang
paling umum dijumpai. Kondisi fibrilasi atrium dapat ditandai dengan irama jantung
yang tidak teratur, dan disertai dengan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350
sampai 650 kali per menit, sehingga atrium akan menghantarkan impuls secara terus
menerus ke nodus atrioventrikularis (AV) (Bellone, 2011). Fibrilasi atrium dapat
terjadi secara episodik dan dapat terjadi secara permanen (Philip et al., 2010).
Pada fibrilasi atrium, terjadi mekanisme eksitasi dan recovery yang tidak
beraturan dari atrium, sehingga impuls yang berasal dari atrium dapat timbul dengan
sangat cepat dan tidak teratur. Akan tetapi hanya sebagian kecil dari impuls tersebut
yang dapat tersalurkan ke ventrikel karena dibatasi oleh periode refrakter dari nodus
AV (Bellone, 2011).

Etiologi Fibrilasi Atrium


Penyebab fibrilasi atrium dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni penyebab
yang berasal dari jantung dan penyebab yang berasal dari luar jantung (Nasution,
2007).
Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA
 Hipertrofi jantung
 Kardiomiopati
 Tumor intracardiac
 Penyakit jantung koroner
 Perikarditis dan endokarditis
 Infark miokardial

Penyakit di luar jantung, yang berhubungan dengan FA


 Chronic obstructive pulmonary disease
 Hipertensi sistemik
 Diabetes melitus
 Amiloidosis dan sarkoidosis
 Kelainan endokrin (hipertiroid, feokromositoma)
 Neurogenik (stroke, perdarhan subaraknoid)
Klasifikasi Fibrilasi Atrium
American Heart Association (AHA), mengklasifikasikan fibrilasi atrium (FA)
menjadi empat jenis, yaitu (AHA, 2011) :
 FA deteksi pertama, yaitu kondisi dimana sebelumnya seseorang belum
pernah terdeteksi maupun didiagnosis mengalami fibrilasi atrium.
 FA paroksismal, yaitu bila fibrilasi atrium berlangsung kurang dari tujuh
hari dan atau fibrilasi atrium yang episode pertamanya kurang dari 48
jam. Lima puluh persen penderita FA paroksismal, irama jantungnya
akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam kurun waktu 24 jam.
 FA persisten, yaitu bila fibrilasi atrium menetap lebih dari 2 hari atau 48
jam tetapi kurang dari 7 hari. Irama pada FA persisten tidak dapat
kembali ke irama sinus secara spontan. Kardioversi diperlukan untuk
mengembalikan ke irama sinus.
 FA kronik atau permanen, yaitu FA yang berlangsung lebih dari 7 hari.
Irama pada FA kronik sulit dikembalikan ke irama sinus, walaupun
menggunakan kardiorversi.
Selain dari 4 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh
awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut

ciri-ciri dari pasien:27

• FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular


lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi
jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.

• FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,


katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.

• FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu


FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.

Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat elektro siologi dari
NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau
tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat
dibedakan menjadi [gambar 4 (A, B, C)] :

1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit 


2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60- 100x/menit 


3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ menit 



Patofisiologi Fibrilasi Atrium
Mekanisme terjadinya fibrilasi atrium, didasarkan pada dua hal, yakni aktivasi
fokal dan multiple wavelet reentry. Pada mekanisme aktivasi fokal, melibatkan
proses depolarisasi tunggal maupun berulang. Pada proses ini, terdapat fokus
ektopik yang dominan yang berasal dari vena pulmonalis. Fokus ektopik tersebut
dapat mempengaruhi potensial aksi yang akan dicetuskan oleh nodus SA, dengan
menghasilkan suatu sinyal elektrik (Sudoyo, 2006).
Pada proses multiple wavelet reentry, merupakan suatu proses berulang
potensial aksi yang melibatkan jalur depolarisasi. Proses tersebut tidak bergantung
pada ada tidaknya fokus ektopik, akan tetapi dapat terpengaruh dari jumlah sinyal
elektrik yang timbul. Adanya wavelet atau gelombang menetap dari depolarisasi
atrial, dapat disebabkan oleh timbulnya gelombang atrial prematur atau aktivitas
aritmogenik secara cepat (AHA, 2011). Pada mekanisme ini, jumlah sinyal elektrik
yang timbul dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah kecepatan
konduksi, periode refractory dan volume ruang atrium (Sudoyo, 2006).
Hubungan Fibrilasi Atrium dengan Stroke
Pada fibrilasi atrium, dapat terjadi pembentukan trombus, hal ini dikarenakan
pada kondisi fibrilasi atrium, aktivitas sistolik pada atrium kiri tidak beraturan,
akibatnya, atrial flow velocities akan menurun (Hart and Pearce, 2009). Penurunan
atrial flow velocities, dapat menyebabkan stasis pada atrium kiri sehingga trombus
dapat terbentuk dengan mudah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
diketahui bahwa fibrilasi atrium dapat meningkatkan faktor von Willebran (faktor
VII), fibrinogen, D-dimer dan fragmen protrombin 1 dan 2. Akibat dari
peningkatan faktor-faktor tersebut, maka fibrilasi atrium akan meningkatkan
agregasi trombosit dan koagulasi (Craig, 2009).
Setelah trombus dapat terbentuk, kemudian terdapat suatu mekanisme
trombolisis yang terjadi pada endokardium menggunakan enzim trombolitik.
Selain itu, faktor mekanik yang turut berperan dalam proses pembentukan embolus
yakni akibat kontraksi dinding endokardium secara cepat dan tidak beraturan.
Embolus ini kemudian akan berjalan keluar dari jantung dan mengikuti aliran
darah melalui arcus aorta. Ketika embolus menyumbat aliran darah di otak.
Maka neuron pada bagian tersebut akan mengalami hipoksia, dan dapat terjadi
kematian neuron. Maka pada daerah tersebut akan terjadi iskemia dan kemudian
infark (Caplan, 2009).

Irama jantung
Fibrilasi atrium irreguler

Flow Arterial Suplai oksigen ke


Velocities jaringan

Takikardi Hipertensi
Stasis atrium kiri

Left Ventricle
Trombus Hypertrophy

Emboli Congestive Ischemic Heart


Heart Failure Disease

Oklusi pembuluh darah


otak Cardiomyopathy
Akumulasi
cairan di paru Cardiomyopathy
Cerebral Blood
Flow
Heart Failure
Edema

Stroke Iskemik

Bleeding Risk
Lama rawat inap

CHA2DS2-VASc Oral HAS-BLED


Score ≥ 2 Anticoagulant Score ≥3
Penegakan Diagnosis
EVALUASI KLINIS / RENCANA TINDAK LANJUT

Baru-baru ini dikenalkan skor simtom yang disebut skor EHRA (European Heart
Rhythm Association). Skor ini adalah alat klinis sederhana yang dapat digunakan untuk
menilai perkembangan gejala selama penanganan FA.

Skor klinis ini hanya memperhitungkan derajat gejala yang benar-benar disebabkan
oleh FA, dan diharapkan skor tersebut dapat berkurang seiring dengan konversi ke irama
sinus atau dengan kendali laju yang efektif.

Kelas EHRA Penjelasan

EHRA I Tanpa gejala

EHRA II Gejala ringan, aktivitas harian normal tidak terpengaruh

EHRA III Gejala berat, aktivitas harian terganggu

EHRA IV Gejala melumpuhkan, aktivitas harian terhenti

Seorang ahli yang sedang menangani FA, tidak hanya harus melakukan penilaian dan
pengobatan awal yang tepat, tetapi juga harus merencanakan tindak lanjut yang terstruktur.
Pertimbangan yang penting selama tindak lanjut dari pasien FA antara lain sebagai berikut :

o Apakah terdapat perubahan pro l risiko? (misalnya diabetes atau hipertensi baru) 

o Apakah saat ini antikoagulan diperlukan (misalnya dengan kemunculan faktor risiko
baru) atau antikoagulan dapat dihentikan? (misalnya pascakardioversi pada pasien
dengan risiko tromboemboli rendah)
o Apakah simtom pasien membaik dengan terapi ? Bila tidak, apakah terapi lain harus
dipertimbangkan? 

o Apakah terdapat tanda-tanda proaritmia atau risiko proaritmia; bila demikian,
haruskah dosis antiaritmia dikurangi atau diganti menjadi terapi lain? 

o Apakah pendekatan kendali laju bekerja dengan baik; apakah target nadi saat istirahat
dan saat aktivitas telah tercapai? Pada kunjungan lanjutan, EKG 12 sadapan harus
diambil 
untuk mendokumentasi irama dan laju jantung dan untuk menyelidiki
progresivitas penyakit. Untuk mereka yang sudah diberikan terapi obat antiaritmia,
adalah penting untuk menilai tanda-tanda dari EKG yang berpotensi proaritmia,
seperti pemanjangan interval PR, QRS, atau QT, takikardia ventrikular atau jeda
(pause). Bila terjadi perburukan simtom, maka tes darah, perekaman EKG jangka
panjang dan ekokardiogram ulang dapat dipertimbangkan. 
Pasien harus
diberitahukan mengenai kelebihan dan kekurangan dari berbagai pilihan pengobatan,
apakah itu antikoagulan, obat kendali laju, obat antiaritmia, atau terapi
intervensional.


TATA LAKSANA


Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu berkisar 1,5% pada
kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80
sampai 89 tahun. Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah 5%
(berkisar 3-4%). Oleh karena itu, penting sekali mengidenti kasi pasien FA yang memiliki
risiko tinggi stroke dan tromboemboli. Akan tetapi pada praktik sehari-hari yang lebih
penting justru identi kasi pasien FA yang benar-benar risiko rendah mengalami stroke agar
risiko yang tidak perlu akibat pemberian antikoagulan dapat dihindari. Terapi antitrombotik
tidak direkomendasikan pada pasien FA yang berusia <65 tahun dan FA sorangan karena
keduanya termasuk benar-benar risiko rendah dengan tingkat kejadian stroke yang sangat
rendah.

Dengan demikian panduan strati kasi risiko stroke pada pasien FA harus bersikap
lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum sehingga akan mencakup
seluruh spektrum pasien FA. Skor CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor risiko umum

yang sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari. CHA2DS2-VASc masing-masing

hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu Congestive heart failure, Hypertension,
Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2), peripheral Vascular
disease, Age between 65 to 74 years, Sex Category (female). Riwayat gagal jantung bukan
merupakan faktor risiko stroke, tetapi yang dimaksud dengan huruf ‘C” pada skor
CHA2DS2VASc adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular
Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan rawat inap
tanpa memandang nilai fraksi ejeksi. Hipertiroid juga bukan merupakan faktor risiko
independen stroke pada analisis multivariat. Jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko
stroke secara independen, tetapi perempuan yang berusia <65 tahun dan menderita FA
sorangan tidak meningkatkan risiko stroke sehingga tidak memerlukan terapi antikoagulan.

Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi pada berbagai studi kohor dan menunjukkan

hasil yang lebih baik untuk mengidenti kasi pasien- pasien FA yang benar-benar risiko
rendah tetapi juga sebaik atau mungkin lebih baik dari skor CHADS2 untuk identi kasi pasien

FA yang akan mengalami stroke dan tromboemboli. Skor CHA2DS2-VASc juga

memperbaiki penaksiran risiko pada FA risiko rendah pasca- ablasi.

Keputusan pemberian trombopro laksis perlu diseimbangkan dengan risiko


perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau
menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari Hypertension,
Abnormal renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value,
Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor

berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial.46,53,54 Evaluasi risiko perdarahan pada


setiap pasien FA harus dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka perlu perhatian khusus,
pengawasan berkala dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah.
Skor HAS-BLED tidak digunakan untuk melakukan eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi
sebagai panduan sistematis dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor
risiko yang dapat dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol, penggunaan aspirin
atau non-steroid anti-in ammatory drugs (NSAIDs), dsb. Hal yang penting untuk
diperhatikan bahwa pada skor HAS-BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial dan

perdarahan mayor lain dengan pemberian aspirin atau warfarin sama saja.46 Penggabungan
skor CHA2DS2-VASc dan HAS-BLED sangat bermanfaat dalam keputusan trombopro laksis

pada praktik sehari-hari.

>2
Terapi Antitrombotik

Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien FA


meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru), dan antiplatelet. Jenis
antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk prevensi stroke pasien FA.

Antagonis vitamin K (AVK)

Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat antikoagulan yang paling
banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada FA. Telaah lima penelitian acak yang
membandingkan AVK dengan plasebo mendapatkan penurunan insiden stroke iskemik dari
4,5% jadi 1,4% per tahun (relative risk reduction [RRR] 68%; 95% CI, 50% s/d 79%;
P<0.001). Angka perdarahan mayor akibat AVK adalah 1,3% per tahun dibandingkan hanya
1% pada plasebo. Suatu analisis-meta terhadap 26 studi baru-baru ini mendapatkan RRR 64%
(95% CI, 49% s/d 74%) untuk pencegahan sekunder stroke iskemik dan hemoragik. Angka
absolute risk reduction (ARR) 2,7% per tahun pada studi-studi prevensi primer dan 8,4% per
tahun pada studi-studi prevensi sekunder. Terdapat peningkatan mortalitas signi kan dengan
AVK yaitu ARR 1,6% per tahun. Bukti tambahan menunjukkan bahwa pencegahan stroke
oleh AVK hanya efektif bila time in therapeutic range (TTR)baikyaitu>70%. TTR adalah
proporsi waktu ketika INR 2-3 tercapai dibandingkan keseluruhan lama waktu
mengkonsumsi AVK. Oleh karena itu, upaya pengaturan dosis yang terus-menerus harus
dilakukan untuk memperoleh nilai target INR 2-3. Kesulitan pemakaian AVK di Indonesia
ialah tidak tersedianya fasilitas pemeriksaan INR di daerah-daerah perifer. Dalam kaitan ini
perlu juga diperhatikan adanya faktor genetik pada etnis Indonesia yang berkaitan dengan

sensitivitas individu terhadap warfarin.58

Antikoagulan Baru (AKB)

Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran Indonesia,
yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara menghambat
langsung trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya bekerja dengan cara
menghambat faktor Xa.

• Dabigatran Etexilate


Studi RE-LY (Randomized Evaluation of Long-term anticoagulant therapy with


dabigatran etexilate), suatu studi acak dengan tiga lengan yaitu membandingkan 2 jenis dosis
dabigatran etexilate [110 mg b.i.d. (D110) atau 150 mg b.i.d. (D150)] dengan adjusted- dose
warfarin (target INR of 2–3). Untuk primary e cacy endpoint berupa stroke dan emboli
sistemik, D150 lebih superior dari warfarin, tanpa perbedaan signi kan dalam hal primary
safety endpoint berupa perdarahan mayor. D110 non-inferior terhadap warfarin, dengan 20%
lebih sedikit kejadian perdarahan mayor. Angka stroke hemoragik dan perdarahan
intrakranial lebih rendah pada kedua dosis dabigatran tetapi perdarahan gastrointestinal
meningkat bermakna dengan D150. Terdapat penurunan signi kan stroke iskemik, terdapat
kecenderungan penurunan mortalitas segala sebab (P=0,051) dan penurunan signi kan
mortalitas vaskular (P=0,04) dengan D150. Angka berhenti minum obat lebih tinggi pada
D150 (20,7%) dan D110 (21,2%), dibanding dengan warfarin (16,6%) pada pengamatan 2
tahun. E kasi dan keamanan dabigatran konsisten pada seluruh strata skor CHADS2 dan sama

efeknya baik pada bekas pemakai maupun belum pernah memakai AVK. Berdasarkan hasil
studi RE-LY, dabigatran etexilate telah disetujui Food and Drug Administration (FDA) dan
European Medicines Agency (EMA), juga oleh beberapa badan otoritas obat dan makanan
berbagai negara lain, untuk pencegahan stroke dan tromboemboli. European Medicines
Agency menetapkan indikasi pemakaian dabigatran untuk FA non-valvular dengan paling
tidak satu faktor risiko berikut: riwayat stroke, transient ischaemic attack (TIA) atau emboli
sistemik; LVEF <40%; gagal jantung simtomatik; dan usia ≥75 tahun atau ≥65 tahun tetapi
disertai salah satu dari diabetes, penyakit jantung koroner atau hipertensi. FDA menyetujui
dosis 150 mg b.i.d., dan dosis 75 mg b.i.d. bila terjadi gangguan ginjal berat, sedangkan EMA
menyetujui baik dosis 110 mg b.i.d. maupun 150 mg b.i.d.

• Rivaroxaban


Studi buta ganda ROCKET-AF terhadap 14264 pasien FA risiko tinggi yang
diberikan rivaroxaban 20 mg o.d. (15 mg o.d. bila kreatinin klirens hitung 30–49 mL/min)
dibandingkan dengan warfarin. Subjek pada studi ini mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk stroke dibandingkan studi AKB lain tetapi rerata TTR hanya 55% yang lebih rendah
dibanding semua studi AKB lain. Didapatkan hasil bahwa rivaroxaban non-inferior dibanding
warfarin untuk primary endpoint berupa stroke dan emboli sistemik. Tidak terdapat
penurunan angka mortalitas atau stroke iskemik tetapi terdapat penurunan bermakna stroke
hemoragik dan perdarahan intrakranial. Tidak ada perbedaan pada primary safety endpoint
yaitu gabungan perdarahan mayor dan perdarahan yang relevan secara klinis tetapi terdapat
penurunan perdarahan fatal pada kelompok rivaroxaban. Lebih sering terjadi diskontinuitas
terapi pada rivaroxaban (23,9%) dibanding warfarin (22,4%). Rivaroxaban juga telah
disetujui oleh FDA dan EMA untuk prevensi stroke pada FA non-valvular, sebagaimana juga
di beberapa negara lain.

• Apixaban


Studi AVERROES terhadap 5599 pasien FA yang tidak cocok atau tidak ingin
mendapat terapi AVK diberikan apixaban [5 mg b.i.d. dengan penyesuaian dosis jadi 2,5 mg
b.i.d. bila usia ≥80 tahun, berat badan ≤60kg atau kreatinin serum ≥1,5 mg/dL (133mmol/L)]
atau diberikan aspirin (81-324 mg/hari, dengan 91% minum ≤162 mg/hari). Setelah masa
pengamatan 1,1 tahun, studi dihentikan lebih awal karena didapatkan penurunan signi kan
55% pada primary endpoint berupa stroke atau emboli sistemik pada kelompok apixaban
dibanding aspirin, tanpa perbedaan kejadian perdarahan mayor dan intrakranial. Apixaban
ditoleransi lebih baik daripada aspirin dengan angka penghentian minum obat 17,9%
dibandingkan aspirin yang mencapai 20,5% (p=0,03).

Sementara itu studi ARISTOTLE membandingkan apixaban [5 mg b.i.d. dengan


penyesuaian dosis jadi 2,5 mg b.i.d bila ≥80 tahun, berat badan ≤60kg atau dengan kreatinin
serum ≥1,5 mg/dL (133mmol/L)] dengan warfarin dosis disesuaikan untuk memperoleh nilai
INR 2–3 pada 18201 pasien FA non-valvular. Terdapat penurunan bermakna primary e cacy
outcome berupa stroke atau emboli sistemik hingga 21% pada kelompok apixaban dibanding
warfarin, penurunan 31% kejadian perdarahan mayor dan penurunan signi kan 11%
mortalitas segala sebab (tetapi bukan mortalitas kardiovaskular). Angka kejadian stroke
hemoragik dan perdarahan intrakranial lebih rendah secara bermakna pada kelompok
apixaban tetapi tidak demikian untuk stroke iskemik. Apixaban ditoleransi lebih baik
daripada warfarin dengan lebih sedikit diskontinuitas dini (25,3% vs 27,5%). Apixaban juga
sudah mendapat persetujuan EMA dan FDA untuk indikasi prevensi stroke pada FA non-
valvular.

IV.1.3. Penutupan aurikel atrium kiri (AAK)

Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya trombus yang bila lepas
dapat menyebabkan stroke iskemik pada FA. Dikatakan hampir 90% trombus pada FA
terbentuk di AAK. Angka stroke yang rendah didapatkan pada pasien yang dilakukan
pemotongan AAK pada saat operasi jantung. Baru-baru ini suatu teknik invasif epikard dan
teknik intervensi transeptal telah dikembangkan untuk menutup AAK. Teknik ini dapat
merupakan alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan risiko tinggi stroke
tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka lama.

Saat ini dua jenis alat penutup AAK yang dapat mengembang sendiri yaitu
WATCHMAN (Boston Scienti c, Natick, MA, USA) dan Amplatzer Cardiac Plug (St. Jude
Medical, St Paul, MN, USA), yang ditempatkan di AAK secara transeptal sudah mulai
dipakai di Eropa. Studi WATCHMAN LAA system for embolic PROTECTion in patients
with Atrial Fibrillation (PROTECT AF) melakukan randomisasi 707 pasien FA untuk
membandingkan pemakaian WATCHMAN dengan warfarin (nilai INR 2–3; n kontrol =
244). Pasien yang dipasang WATCHMAN diberikan juga warfarin selama 45 hari
pascaprosedur kemudian dilanjutkan dengan dual antiplatelet selama 6 bulan lalu aspirin saja
sebagai terapi jangka panjang. Angka primary e cacy event (gabungan antara stroke,
kematian kardiovaskular, dan emboli sistemik) pada kelompok AAK non-inferior
dibandingkan kelompok warfarin. Terdapat angka efek samping yang tinggi pada kelompok
AAK terutama akibat komplikasi periprosedur. Tetapi kejadian komplikasi makin berkurang
dengan learning curve. Studi lainya, PREVAIL (Prospective Randomized EVAluation of the
Watchman LAA closure device In patients with atrial brillation vs. Long-term warfarin
therapy) menunjukkan penutupan AAK memakai WATCHMAN makin aman bahkan jika
dilakukan oleh seorang operator pemula sekalipun. Sementara itu penutupan AAK memakai
Amplatzer Cardiac Plug dapat dilakukan dengan angka kesuksesan 96% dengan angka
komplikasi serius mencapai 7%. Suatu studi prospektif acak Amplatzer Cardiac Plug Trial
saat ini sedang berlangsung. Sekalipun konsep penutupan AAK masuk akal tetapi bukti-bukti
yang ada belum cukup untuk direkomendasikan terhadap setiap pasien FA tetapi hanya
terbatas bagi pasien yang kontraindikasi pemakaian antikoagulan oral jangka lama. Hal lain
yang perlu diperhatikan bahwa pasca-pemasangan penutup AAK masih diperlukan konsumsi
aspirin seumur hidup sementara itu risiko perdarahan karena aspirin cukup signi kan sehingga
hal ini akan menjadi faktor yang melemahkan pemakaian penutup AAK.
DAFTAR PUSTAKA

Aliah, A., Kuswara F. F., Arifin R. L., et al., 2007. Gambaran Umum Tentang Gangguan
Peredaran Darah Otak. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada Press pp.
81-101
American Heart Association. 2011. AHA Focusced Update on the Management of Patients
With Atrial Fibrillation. Circulation. 123:104-123
American Heart Association. 2014. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With
Stroke and Transient Ischemic Attack. Stroke. DOI: 10.1161
Aminoff, M. J., 2009. Nervous System Disorder. In McPhee S. J., Papadakis, M. A. (ed).,
Current Medical Diagnosis and Treatment. Forty Eight Edition. United State of
America: McGraw-Hill pp 864-70
Baluch, U. T., Kiani, I., Nisa Z. U., et al., 2008. Association of Dyslipidemia and Ischemic
Stroke. Ann Pak Institute of Medical Science. 4(3):165-7
Bellone, A., Etteri M., Vettorello M., et al., 2011. Cardioversion of Acute Atrial Fibrillation
in The Emergency Department: A Prospective Randomized Trial. Emergency
Medicine Journal
Bruggenjurgen, B., Rossnagel, K., Roll, S., et al., 2007. The Impact of Atrial Fibrilation on
The Cost of Stroke: The Berlin Acute Stroke Study. Germany: Institute for Social
Medicine, Epidemiology, and Health Economics University of Berlin
Craig, I., Baker, W. L., White, M., 2009. An Antiarrhiythmic Agent for The Management of
Atrial Fibrillation and Atrial Flutter. Formulary Journal. 44
Gutierrez, C., Blanchard, D. G., 2011. Atrial Fibrillation: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Phisician. 83:61-8
Han, C., Strauss, C., Garberich, R., et al., 2016. Standarized Nurse-Driven Protocol for
Postoperative Atrial Fibrillation Reduces Length of Stay and Hospital Costs.
Arryhtmias and Clinical Epidemiology, Minneapolis Heart Institute Foundation,
USA. 1188-340
Hart, R. G., Pearce. L. A., 2009. Current Status of Stroke Risk Stratification in Patrients With
Atrial Fibrillation. Stroke. 40:2607-10
Hu, S. L., Zhan, L., Liu, B., Gao, Y., 2012. Burden of Atrial Fibrillation Related Stroke in
China. Shanghai Health Development Research Center. China.
Karunawan, N. H., 2015. Pengaruh Kondisi Hiperglikemia Saat Masuk Rs Terhadap Luaran
Fungsional Pada Pasien Stroke Iskemik di RS Bethesda. Undergraduate Thesis, Duta
Wacana Christian University.
Lane, D. A., Lip, G. Y. H., 2012. Use of the CHA2DS2-VASc and HAS-BLED Scores to Aid
Decision Making for Thromboprophylaxis in Nonvalvular Atrial Fibrillation. Centre
for Cardiovascular Sciences, University of Birmingham, UK.
Nasution, S. A., Ismail, D., 2007. Fibrilasi Atrial. Dalam Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B.,
Alwi I., et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan 2. Jakarta: FKUI pp 1522-26
Pinzon, R. T., 2014. Profil Stroke: Gambaran Tentang Pola Demografi, Faktor Risiko,
Gejala Klinik, dan Luaran Klinis Psien Stroke. Yogyakarta: Betha Grafika
Rabinstein, A. A., Fugate J. E., Mandrekar J., et al., 2013. Paroxysmal Atrial Fibrillation in
Stroke: a Case-Control Study. J Stroke Cerebrovascular Disease. 22(8):1405-11
Rodica, E. P., Alexa, S. B., Sudha, S., et al., 2009. Gender Differences in Stroke Incidence
and Poststroke Disability in the Framingham Heart Study. Departments of
Neurology, Boston University School of Medicine, Boston, Mass. DOI:
10.1161/STROKEAHA.10.8.542894
Sacco, R. L., Adams, R., Albers, G., et al., 2006. Guidelines for Prevention of Stroke in
Patients With Ischemic Stroke or Transcient Ischemic Attack: a Statement for
Healthcare Professionals From The American Heart Association Council on Stroke.
US National Library of Medicine. National Institue of Health. 37(8):1967-1968
Sheikh, A., Patel, N. J., Nalluri, N., et al., 2015. Trens in Hospitalization for Atrial
Fibrillation: Epidemiology, Cost, and Implications for the Future. Elsevier inc : New
York.
Smith, W. S., English, J. D., Johnstron, S. C., 2010. Cerebrovascular Disease. In Harsen, S.
L., Josephson, S. A. (ed). Harsen dan Josephson, 2010’s Neurology in Clinical
Medicine. Second Edition. United State of America: McGraw-Hill pp 246-80
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., et al., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam.
Cetakan 2. Jakarta : FKUI. Pp 1522-26
World Health Organization, 2006. The WHO STEPwise Aproach to Stroke Surveillance
Wu, J., Yang, L., Zhu, G., 2012. Study on Hospitalization Costs for Patients With Atrial
Fibrillation Related Stroke in China. Peking University. Bayer Healthcare Company
Ltd. Beijing. China. pcv: 33

You might also like