You are on page 1of 19

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI VETERINER II

PENGAMATAN TELUR CACING PADA FESES

Kelompok B (2)

Marisa Aplugi 1309012007

Indah Sulistyani 1309012016

Yunita A. Nope 1309012024

Lidya E. Ngefak 1309012034

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Helminthes atau cacing secara garis besar terbagi menjadi Nematoda dan Cestoda
serta Trematoda, masing-masing mempunyai morfologi yang spesifik. Helminthes secara
garis besar terdiri atas cacing pipih dan gilik yang mempunyai sistem organ yang
berbeda. Sebagian masih bersifat hemaphrodite terutama pada Cestoda dan Trematoda,
sedangkan pada Nematode pada umumnya sudah mempunyai jenis kelamin yang terpisah
dan berbeda antara jantan dan betina.

Cestoda adalah cacing hermaprodit yang mempunyai badan panjang, beruas-ruas


(bersegmen), berbentuk pipih dorsoventral, tanpa rongga badan maupun saluran
pencernaan (Soulsby, 1982). Bagian tubuh terdiri atas sebuah kepala yang disebut
skoleks dan badan yang disebut strobili. Skoleks dilengkapi dengan empat batil hisap dan
beberapa kait yang biasanya berbahaya karena kait dapat menancap pada jaringan
sehingga dapat menyebabkan pendarahan. Strobili terdiri atas proglotida gravid,
proglotida dewasa dan proglotida muda. (Kusumamihardja, 1992).

Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi


dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menjadi
satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai batil isap
kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh. Dalam
siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai hospes perantara I
dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuhan air sebagai hospes
perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjadi hospes definitifnya.

Kecacingan adalah penyakit parasitic yang banyak menyerang ternak. Penyakit


yang disebabkan oleh helminthes parasit sering diabaikan. Penyakit yang disebabkan oleh
cacing parasit dapat menyebabkan berat badan ternak menurun, infeksi cacing pada
saluran pencernaan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan dan terjadi kompetisi
dalam penyerapan nutrisi makanan sehingga menghambat pertumbuhan ternak. Menurut
Medicastore(2011), cacing bersifat zoonosis, selain dapat menimbulkan kerugian
ekonomi juga mengancam kesehatan peternak.

Hal yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi helmintes pada ternak
dapat diduga melalui pemeriksaan feses ternak. Setiap jenis cacing dewasa mempunyai
organ predileksi pada hospes, baik definitive maupun sementara. Pada Praktikum ini
mahasiswa di tugaskan melakukan koleksi feses segar pada hospes sapi, kambing, ayam
dan babi. Untuk dilakukan determinasi jenis di laboratorium.

1.2 Tujuan
1.2.1 Praktikum ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan jenis telur
cacing pada hospes sapi, kambing, ayam dan babi
1.2.2 Hasil praktikum ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi ilmiah dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Waktu dan tempat :


Praktikum dilaksanakan sebanyak dua kali di laboratorium parasitologi Fakultas
Kedokteran Hewan Undana .
Hari/ Tanggal : Jumat, 15 Mei 2015 pukul 16.00 - Selesai
Jumat 29 Mei 2015 pukul 13.00 - Selesai

2.2 Alat dan Bahan

Alat :

 Tabung reaksi  Pipet


 Mikroskop  Gelas ukur
 Object glass  Saringan
 Cover glass  Mortal
 Centrifuge  MC master
 Batang pengaduk
Bahan :

 Feses ( sapi, kambing, babi, ayam )


 Aquades
 Larutan gula dan garam jenuh
 Metilene blue
 Tissue

2.3 Prosedur Kerja

2.3.1 Metode Natif

1. Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukan kedalam gelas ukur.
2. Gelas ukur tersebut diisi 30 ml aquades, diaduk lalu disaring menggunakan
saringan teh.
3. Larutan yang disaring diambil dengan pipet tetes dan di tetesi pada objek
glass, kemudian ditutupi dengan cover glass dan diamati dibawah mikroskop.

2.3.2 Metode Apung

1. Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukan ke dalam gelas ukur.
2. Gelas ukur tersebut diisi 30 ml aquades, diaduk lalu disaring menggunakan
saringan teh.
3. Larutan yang disaring dimasukan ke dalam tabung reaksi sebanyak ¾ tabung
4. Disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 3-5 menit.
5. Bagian supernatant dibuang, prosedur selanjutnya diulang dengan cara yang
sama.
6. Setelah supernatant terakhir dibuang kemudian ditambahkan larutan gula ¾
tabung dan disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 3 menit.
7. Kemudian ditambahkan larutan gula jenuh sampai cembung.
8. Diamkan selama 5 menit, lalu pada mulut tabung ditutup dengan cover glass
dan segera diletakkan di atas objek glass kemudian diamati dibawah
mikroskop

2.3.3 Metode Sedimentasi

1. Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukan ke dalam gelas


ukur, diisi aquades 30 ml dan diaduk sampai homogen.
2. Larutan disaring sebanyak dua kali menggunakan saringan teh kemudian
dimasukan kedalam tabung reaksi 3/4 .
3. Larutan disentrifuge selama 3 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Lalu
supernatant yang terbentuk dibuang perlahan sehingga menyisahkan endapan.
4. Endapan yang tersisa diberi metilen blue kemudian diamati dibawah
mikroskop.
2.3.4 MC master

1. Diambil ± 4 g tinja dan dicampur dengan larutan gula jenuh secukupnya


kemudian digerus pada mortal sampai larut. Bila terdapat serat-serat selulosa
disaring terlebih dahulu dengan penyaring teh.
2. Tuangkan kedalam gelas ukur, kemudian pipet digunakan untuk dimasukan ke
dalam MC master ( 6 garis ke bawah )
3. Diamkan selama 5 menit, kemudian diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10x10
4. Penghitungan diukur dengan rumus
X = jumlah telur x 504
kotak
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Ayam

Berdasarkan hasil pemeriksaan feses pada ayam menggunakan metode apung


didapatkan cacing dengan tipe telur Tricuris Sp. Taksonomi dari Trichuris sp sebagai
berikut:

Phylum : Nemathelminthes
Subclass : Aphasmida
Order : Enoplida
Superfamily : Trichuroidea
Family : Trichuridae
Genus : Trichuris

Telur berukuran 50x25 m, memiliki bentuk seperti tempayan, pada kedua


kutubnya terdapat operkulum, yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol.
Dinding telur terdiri atas dua lapis, bagian dalam jernih, dan bagian luar berwarna
kecoklat-coklatan (Natadisatra & Agoes 2009: 78).

Siklus Hidup Trichuris trichiura Telur yang keluar bersama feses hospes
berada dalam keadaan belum matang (belum membelah), atau tidak infektif. Telur
memerlukan pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur
infektif yang berisi embrio di dalamnya. Hospes terkena infeksi jika telur yang
infektif tertelan dari makanan atau minuman yang terkontaminasi, selanjutnya di
bagian atas usus halus, dinding telur pecah,sehingga larva infektif keluar dan menetap
selama 3-10 hari (Hamer 1996: 473). Larva infektif setelah menjadi cacing dewasa
akan turun ke usus besar terutama sekum dan menetap dalam beberapa tahun. Waktu
yang diperlukan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur
yaitu 30-90 hari (Natadisastra & Agoes 2009: 78-79).

3.2. Babi

Berdasarkan hasil pemeriksaan feses pada babi menggunakan metode natif


didapatkan 3 jenis tipe telur yaitu Strongiloides sp., Oesophagustomum dan Moniezia

strongiloides
esofagustonum

Moniezia

3.2.1. Strongiloides

Pada ternak babi, spesies Strongyloides yang menginfeksi


adalah Strongyloides ransomi, yang tergolong dari :
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Family : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Species : ransomi
Hasil pemeriksaan telur cacing Strongyloides memperlihatkan bentuk telur
oval atau elips, tidak berwarna ( transparan ) tetapi didalamnya terlihat sel yang
berwarna keabuan. Telur Strongyloides terdapat selubung yang tipis dan memiliki
ukuran panjang 30µm dan lebar 18µm. (Rismawati, dkk. 2013)
Parasit ini mempunyai 3 macam daur hidup :
1) Siklus langsung
Larva rabditiform setelah 2 – 3 hari di tanah akan berubah menjadi
larva filariform (bentuk infektif). Larva ini hidup di tanah dan dapat
menembus kulit manusia kemudian masuk ke vena menuju jantung kanan dan
paru - paru. Dalam paru - paru, cacing menjadi dewasa dan menembus
alveolus kemudian masuk ke trakea dan laring. Hal itu menyebabkan batuk –
batuk di laring sehingga cacing terasa tertelan hingga ke usus halus bagian
atas.
2) Siklus tidak langsung
Pada siklus ini, larva rabditiform berkembang menjadi cacing jantan
dan betina bentuk bebas. Telur betina setelah dibuahi selanjutnya menetas
menjadi larva rabditiform.
Larva ini setelah beberapa hari berkembang menjadi larva filariform
(bentuk infektif) kemudian masuk ke dalam hospes baru. Larva rabditiform
dapat mengulangi fase bebas.
3) Autoinfeksi
Larva rabditiform juga dapat berkembang menjadi larva filariform di
rongga usus atau di daerah perianal. Bila larva filariform menembus mukosa
usus atau kulit perianal maka terjadi daur perkembangan di dalam hospes.
(Onggowaluyo, Jangkung S., 2001).

3.2.2. Oesophagustomum

Pada ternak babi, spesies menginfeksi adalah Oesophagustomum


dentatum, yang tergolong dari :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Famili : Trichonematidae
Genus : Oesophagustomum

Telur Oesophagustomom berbentuk oval mengandung morula dan


memiliki ujung yang tumpul dengan ukuran 70-76 x 36-40 mikron,
kerabang telur yang tipis dan licin. Morula akan berkembang menjadi L-1
dalam waktu 1-2 hari menjadi L-2. Pergantian kutikula (molting) pada L-2
merupakan pelindung untuk L-3 hingga larva menemui inang definitif yang
cocok. Sekitar satu minggu, L-3 akan bermigrasii mencari lingkungan basah
sekitar tanah maupun tumbuhan. Proses infeksi akan terjadi apabila larva
infektif termakan inang definitif.

Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama tinja akan menetas dalam waktu 20 jam,
larva infektif dicapai dalam waktu 5-6 hari. Infeksi terjadi pada waktu makan
rumput, minum atau ketika menjilati bulunya yang mengandung larva infektif.
Larva infektif yang tertelan itu ekdisis dalam usus kecil, terutama ileum dan
masuk dalam mucosa usus kecil atau sekum serta tinggal didalam mukosa
selama 10 hari membentuk nodul. Selama itu larva tumbuh menjadi larva ke
empat. Larva kembali kedalam lumen usus dan menjadi dewasa serta tinggal
dalam kolon. Telur ditemukan dalam tinja 37-41 hari sesudah infeksi.
Patogenesis Larva yang tertelan masuk dalam mucosa sampai submukosa
ileum dan sekum membentuk nodul dengan garis tengah 1.0 mm. Sepuluh
hari sesudah infeksi nodul tersebut besarnya mnejadi dua kali lipat. Beberapa
nodul pecah dan berdarah, yang menunjukan bahwa larva kembali ke lumen
usus menjadi dewasa. Sebagian dari nodul berisi nanah.

3.2.3. Moniezia

Phyllum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Anoplocephalidea
Family : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia

Telur cacing ini memiliki dinding tebal, berbentuk irregural ( tri or


quadrangular). Telur cacing berembrio dengan apparatus piriformis . telur
cacing ini berukuran 50 m sampai 60 m.

Siklus Hidup Moniezia sp


Telur atau proglotid akan keluar bersama feses dan akan mencemari
rumput yang ada pada lapangan, telur yang berada pada feses akan termakan
oleh tungau dari jenis galumna, orbatid. Didalam tubuh tungau telur yang
ermakan akan berkembang menjadi L4 dan tungau akan termakan bersama
rumput pada saat sapi atau domba, kambing merumput dan pada usus halus
ternak cacing akan berkembang menjadi cacing dewasa yang akan menempel
pada mukosa usus ternak.

3.3. Kambing

Berdasarkan hasil pemeriksaan feses kambing menggunakan semua metode


didapatkan jenis tipe telur yaitu tricostrongiloides.
Berikut adalah klasifikasi Trichostrongylus Sp. :

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Genus : Trichostrongylus

Spesies : Trichostrongylus Sp.

Telur cacing ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

- Ukuran 40 x 90 mikron,
- Bentuk ellipsoidal, ujung agak
runcing
- Warna hyaline,
- Tanpa operculum,
- Dinding telur tipis dan memiliki
lapisan ganda
- Mengandung morula pada sediaan
segar.

Trichostrongylus Sp. (Cacing Rambut)

Cacing ini ukurannya sangat kecil dan hidup di dalam usus kambing dan
domba. Dinamakan cacing rambut karena tebalnya kurang lebih sama dengan rambut,
sedangkan panjangnya kurang dari 10 mm. telur cacingnya keluar bersama tinja akan
berkembang menjadi larva apabila kelembaban, suhu, oksigen cukup menguntungkan
bagi kehidupannya misalnya adanya tumpukan feses. Pada keadaan tersebut larva
akan berkembang menjadi infektif. Di tempat penggembalaan, larva dapat hidup
sampai 6 bulan.
Gejala klinis yang bisa diamati adalah ternak muda terlihat pertumbuhan
terhambat, mencret dengan warna tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian.
Ternak bisa tertular cacing ini dengan cara menelan telur berembrio yang ada di
rumput atau dengan cara menelan larva infektif atau larva menembus kulit.

Patogenesis

Menyebabkan radang mukosa usus halus hingga radang kantong empedu pada
infeksi berat, anemia, eosinofilia. Walaupun begitu cacing ini sering menginfeksi
tanpa menimbulkan gejala.

Morfologi dan Siklus Hidup

Trichostrongylus Spp. memiliki tuan rumah definitive binatang memamah


biak, dapat pula mengenai manusia. Manusia tertulari karena memakan atau
meminum yang terkontaminasi tinja. Habitatnya di usus halus, yaitu duodenum dan
jejunum bagian atas. Nematode ini halus seperti benang tanpa rongga mulut dengan
ukuran sekitar 5-10 mm. Cacing jantan mempunyai bursa yang sempurna. Telur
hamper menyerupai cacing tambang dengan ukuran yang lebih besar, yaitu sekitar
(75-96) x 40 m. Waktu keluar bersama tinja telur ini sudah bersegmen. Di luar tubuh
dalam waktu 24 jam, telur menetas, keluar larva rhabditiform berbentuk khas, yaitu
ada benjolan pada ekornya. Pada suhu panas dan lembab, pada tempat teduh dan
berumput atau tanaman yang menutupi tanah, dalam waktu 3-4 hari, larva
rhabditiform akan berubah menjadi larva pseudofilariform. Larva ini jika telah
tertelan bersama rumput atau sayuran yang terkontaminasi akan masuk ke dinding
usus, kemudian keluar ke rongga usus untuk menjadi dewasa dalam waktu 21 hari.
Parasit ini akan migrasi ke dalam aliran darah dan bersiklus ke paru-paru.
3.4 Kuda

Berdasarkan hasil pemeriksaan feses kambing menggunakan metode apung,


metode sedimen, dan metode natif didapatkan jenis telur cacing Strongyloides
stercoralis .

Menurut (Carnevale, 2005), klasifikasi Strongyloides stercoralis adalah


sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Secernentea

Ordo : Rhabditida

Family : Strongyloididae

Genus : Strongyloides

Spesies : Strongyloides stercoralis

Morfologi Strongyloides stercoralis

Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong


mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur terdapat dalam
mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform, yang menembus sel
epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja.

Larva Rabditiform Panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut terbuka, pendek dan
lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing, larva filariform. Bentuk infektif,
panjangnya ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esophagus
menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk. Cacing
dewasa betina yang hidup bebas panjangnya ± 1 mm, esophagus pendek dengan 2
bulbus, uterus berisi telur dengan ekor runcing. Cacing dewasa jantan yang hidup
bebas panjangnya ± 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar
dengan spikulum (Hillyer, 2005).
BAB III

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Dari hasil yang didapat, maka telah ditemukan Strongyloides


stercoralis pada kuda; Trichostrongylus Sp. pada kambing; Trichuris Sp. pada
ayam; Strongyloides ransomi dan, Oesophagustomum dentatum pada babi.
Ada pula Moniezia sp yang ditemukan dalam feses babi. Namun telur
Moniezia sp ini kemungkinan muncul karena penggunaan alat penyaring yang
digunakan bersama-sama untuk menyaring feses.
DAFTAR PUSTAKA

Kusumamihardja S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan


Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Biokteknologi. IPB. Bogor.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated


Animal. Ed ke-7. Bailliere Tindal. London.

Natadisastra, D & R. Agoes. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari


organ tubuh yang diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Rismawati, dkk. 2013. ENDOPARASIT PADA USUS AYAM KAMPUNG
(Gallus domesticus) DI PASAR TRADISIONAL PEKANBARU. Universitas Riau.
Riau
Onggowaluyo J S. 2001. Parasitologi Medik I Helmintologi. Pendekatan
Aspek Identifikasi Diagnosis dan Klinik. Jakarta.
https://www.scribd.com/doc/33821421/Oesophagostomum-spp

https://www.scribd.com/doc/258259006/Pembahasan-Diagnostik-Ayam
LAMPIRAN

Feses dimasukkan ke dalam Feses diberi aquades dan diaduk


gelas ukur menggunakan batang penggaduk

Feses dimasukkan kedamalm


Feses setelah dimasukkan ke
tabung reaksi sebanyak ¾
dalam sentrifuge
tabung
Feses di homogenkan di Feses dimasukkan ke mc
mortal dan ditambahkan master
aquades

Metode pengapungan Slide mc master

You might also like