You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chlamydia tergolong salah satu penyakit menular seksual (sexual transmitted diseases),
seperti kencing nanah, sifilis, dan tentu HIV/AIDS. Bedanya dengan HIV, chlamydia masih bisa
disembuhkan. Manusia adalah inang alami untuk C trachomatis.

Infeksi Chlamydia trachomatis pada banyak negara merupakan penyebab utama infeksi yang
ditularkan melalui hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi
oleh C. trachomatis diperkirakan 89 juta orang. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada
angka yang pasti mengenai infeksi C. trachomatis

Infeksi C. trachomatis sampai saat ini masih merupakan problematik karena keluhan ringan,
kesukaran fasilitas diagnostik, mudah menjadi kronis dan residif, dan mungkin menyebabkan
komplikasi yang serius seperti infertilitas dan kehamilan ektopik.

Selain menular pada kelamin, chlamydia tak jarang pula bisa ditularkan lewat liang dubur jika
melakukan sodomi. Dapat pula melalui rongga mulut jika melakukan oral seks dengan pasangan
seks yang positif chlamydia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari penyakit chlamydia
2. Apa penyebab penyakit chlamydia
3. Bagaimana gejala dan diagnosis dari penyakit chlamydia
4. Bagaimana cara penularan penyakit chlamydia
5. Bagaimana cara pengobatan dan pencegahan penyakit Chlamydia

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyakit chlamydia
2. Untuk mengetahui penyebab penyakit chlamydia
3. Untuk mengetahui gejala dan diagnosis penyakit chlamydia
4. Untuk mengetahui cara penularan penyakit chlamydia
5. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pencegahan penyakit chlamydia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Clamydia merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri chlamydia


trachomatis. Biasanya penyakit ini tidak terdapat gejala apa-apa, walaupun begitu tetap saja
gejala-gejala ringan seperti nanah atau keputihan pada penis atau vagina dan adanya rasa
sakitsaat buang kecil, ini merupakan infeksiyang terjadi pada uretra (laki-laki) dan serviks (mulut
rahim) pada perempuan. Chlamydia merupakan penyakit menular seksual yang di kenal sebagai
penyakit peradangan pada perviks (panggul) sehingga menyebabkan invertilisasi kemandulan
pada perempuan.

Chlamydia trachomatis merupakan bakteri obligat intraseluler, hanya dapat berkembang


biak di dalam sel eukariot hidup dengan membentuk semacam koloni atau mikrokoloni yang
disebut badan inklusi (BI). Chlamydia membelah secarabenary fision dalam badan
intrasitoplasma.

C. trachomatis berbeda dari kebanyakkan bakteri karena berkembang mengikuti suatu siklus
pertumbuhan yang unik dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu berupa Badan Inisial. Badan
Elementer (BE) dan Badan Retikulat (BR) atau Badan Inisial. Badan elementer ukurannya lebih
kecil dan terletak ekstraselular dan merupakan bentuk yang infeksius, sedangkan badan retikulat
lebih besar, terletak intraselular dan tidak infeksius.

2.2 Etiologi
Clamydia adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri C. trachomatis yang ditularkan
melalui hubungan seks .Chlamydia trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada
35 – 50 % dari kasus uretritis non gonokokus di AS.

2.3 Gejala Dan Diagnosis


 Gejala
Gejala mula timbul dalam waktu 3-12 hari atau lebih setelah terinfeksi. Pada penis
atau vagina muncul lepuhan kecil berisi cairan yang tidak disertai nyeri. Lepuhan ini
berubah menjadi ulkus (luka terbuka) yang segera membaik sehingga seringkali tidak
diperhatikan oleh penderitanya. Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar getah bening
pada salah satu atau kedua selangkangan.

Kulit diatasnya tampak merah dan teraba hangat, dan jika tidak diobati akan terbentuk
lubang (sinus) di kulit yang terletak diatas kelenjar getah bening tersebut. Dari lubang ini
akan keluar nanah atau cairan kemerahan, lalu akan membaik; tetapi biasanya
meninggalkan jaringan parut atau kambuh kembali. Gejala lainnya adalah demam, tidak
enak badan, sakit kepala, nyeri sendi, nafsu makan berkurang, muntah, sakit punggung
dan infeksi rektum yang menyebabkan keluarnya nanah bercampur darah. Akibat
penyakit yang berulang dan berlangsung lama, maka pembuluh getah bening bisa
menyebabkan pembentukan jaringan parut yang selanjutnya mengakibatkan penyempitn.

 Diagnosis
Diagnosis infksi C. trachomatisditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik dan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium merupakan dasar dalam menegakkan
diagnosis. Pada pemeriksaan laboratorium, infeksi C. trachomatis pada genital ditegakkan bila
dijumpai suatu tes chlamydial yang positif, serta tidak dijumpai kuman penyebab spesifik. Untuk
laboratorium dengan fasilitas yang terbatas, sebagai pedoman infeksi C.trachomatis pada pria
memberi gejala berupa sekret uretraeropurulen/mukopurulen serta ditemukan sel PMN > 5 Ipb
dan tidak ditemukan diplokok negatif Gram intra/ekstra sel pada pemeriksaan sediaan apus
sekret uretra. Sedangkan pada wanita adanya sekret serviks sero/mukopurulen dan sel PMN > 30
Ipb serta tidak ditemukan kuman diplokok Gram negatif intra/ekstraseluler pada sediaan apus
atau T. vaginalis.

2.4 Cara Penularan


Bakteri chlamydia merupakan penyebab penyakit chlamydia. Bakteri ini hanya dapat
bertahan di sel hidup yang kemudian akan dibunuhnya. Pertukaran cairan tubuh akan berpotensi
menjadi sarana penyebaran penyakit chlamydia.

2.5 Pencegahan
Cara yang paling baik untuk mencegah penularan penyakit ini adalah abstinensia (tidak
melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang diketahui menderita penyakit ini).
Untuk mengurangi resiko tertular oleh penyakit ini, sebaiknya menjalani perilaku seksual yang
aman (tidak berganti-ganti pasangan seksual atau menggunakan kondom).

2.6 Pengobatan
Penting untuk dijelaskan pada pasien dengan infeksi genital oleh C. trachomatis,
mengenai resiko penularan kepada pasangan seksualnya, Contact tracing (pemeriksaandan
pengobatan partner seksual) diperlukan untuk keberhasilan pengobatan.

Untuk pengobatan, Tetrasiklin adalah antibodi pilihan yang sudah digunakan sejak lama
untuk infeksi genitalia yang disebabkan oleh C.Trachomatis. Dapat diberikan dengan dosis 4 x
500 mg/h selama 7 hari atau 4 x 250 mg/hari selama 14 hari. Analog dari tetrasiklin seperti
doksisiklin dapat diberikan dengan dosis 2 x l00 mg/h selama 7 hari. Obat ini yang paling
banyak dianjurkan dan merupakan drug of choice karena cara pemakaiannya yang lebih mudah
dan dosisnya lebih kecil. Azithromisin merupakan suatu terobosan baru dalam pengobatan masa
sekarang. Diberikan dengan dosis tunggal l gram sekali minum.

Regimen alternatif dapat diberikan :

 Erythromycin 4 x 500 mg/hari selama 7 hari atau 4 x 250 mg/hari selama l4 hari.
 Ofloxacin 2 x 300 mg/hari selama 7 hari
Regimen untuk wanita hamil :

Erythromycin base 4 x 500 mg/hari selama 7 hari


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. HASIL
Kelompok usia terbanyak adalah 20-24 tahun, yaitu sebanyak 39 orang (70,90%). Hasil
penelitian terdahulu oleh Pandjaitan-Sirait pada tahun 2001 di tempat yang sama, kelompok usia
terbanyak adalah 25-45 tahun (43,3%).3 Usia 20-24 tahun ini sesuai dengan usia wanita yang
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan untuk infeksi CT oleh CDC. Karakteristik
sosiodemografik subyek penelitian (SP) pada penelitian ini terangkum di tabel 1. Didapatkan SP
termuda berusia 18 tahun, sebanyak dua orang. Rerata usia SP 21,65

Pada penelitian ini sebagian besar SP berpendidikan rendah, yaitu sebanyak 37 orang
(67,27%). Di tempat yang sama pada tahun 2001, Pandjaitan-Sirait mendapatkan kelompok
pendidikan menengah sedikit lebih banyak (48,9%) dibandingkan dengan pendidikan rendah
(46,8%).3 Demikian pula penelitian oleh Nilasari (2002) juga mendapatkan SP terbanyak dengan
kelompok pendidikan menengah (87.2%),21 dan Nasution (2006) pun mendapatkan kelompok
dengan pendidikan menengah merupakan kelompok terbanyak (62,3%).22 Hasil penelitian ini
memperlihatkan tingkat pendidikan rendah lebih banyak dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, sesuai dengan makin mudanya rerata usia SP, dan hal tersebut kemungkinan
berhubungan pula dengan makin tingginya tingkat kesulitan ekonomi. Sebagian besar SP belum
menikah (63,64%). Hal tersebut sebenarnya kurang sesuai dengan rerata usia SP, tetapi bila
melihat jumlah SP yang berusia 18-20 tahun cukup banyak, maka sewajarnya sebagian besar
belum menikah. Sebagian besar SP (72,73%) menggunakan alat kontrasepsi pil. Hal tersebut
dapat dimengerti sebab pil lebih mudah didapat dan cara pemakaiannya mudah tanpa melakukan
tindakan invasif. Hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi pada WPS di 10 kota
Indonesia (2005) mendapatkan cara kontrasepsi terbanyak yang digunakan berupa cara suntik
(40%) dan yang paling jarang digunakan adalah kondom (1%).23 Pada penelitian ini SP
pengguna kondom sebanyak 3,64%. Sedikitnya penggunaan kondom secara umum
meningkatkan risiko tertular IMS khususnya infeksi CT. Kecilnya angka penggunaan kondom
kemungkinan adalah akibat keengganan tamu menggunakan kondom namun WPS tidak mampu
membujuk tamu karena khawatir kehilangan pelanggan.
Tabel 1. Distribusio karakter sosiodemografik WPS di PSK Mulya jaya Maret – Juni 2006(n=55
orang )

Karakteristik n %

Kelompok umur

≤ 19 tahun 9 16,36

20-24 tahun 39 70,90

25-45 tahun 7 12,72

≥ 45 tahun 9 0

Tingkat pendidikan

Rendah 37 67,27

Menengah 18 32,73

Status penikahan

Belum menikah 35 63.64

Menikah 5 9,09

Janda / cerai 15 27,27

Jenis alat kontrasepsi yang dipakai

Tidak ada 2 3,64

Pil 40 72,73

Suntik 11 20,00
Kondom 2 3,64

AKDR 0 0

Susuk 0 0

n=jumlah; %=persen, AKDR=alat kontrasepsi dalam rahim, WPS=wanita pekerja seksual

Data karakteristik perilaku seksual dan keluhan genital yang didapatkan dari anamnesis
disajikan pada tabel 2. Usia termuda berhubungan seks untuk pertama kali pada yaitu 15 tahun
didapati pada delapan orang (14,54%), dan usia tertua berhubungan seks pertama kali yaitu pada
usia 22 tahun terdapat pada satu orang (1,82%). Rerata umur melakukan hubungan seks untuk
pertama kali pada usia 17,67 + 1,62 tahun. Hal ini sesuai dengan salah satu faktor risiko
kemungkinan terkena infeksi CT, yaitu aktif secara seksual di usia <20 tahun. Terdapat 4 orang
(7,27%) SP yang baru bekerja sebagai WPS selama satu bulan. Sedangkan satu orang memiliki
waktu kerja sebagai WPS terlama yaitu 84 bulan (1,82%). Rerata lama bekerja sebagai WPS
adalah selama 15,75 + 16,40 bulan.

Dalam satu bulan terakhir, didapatkan seorang SP yang menerima satu orang tamu dan
satu orang lainnya yang menerima tamu sebanyak 92 orang. Rerata jumlah tamu keseluruhan
dalam satu bulan terakhir sebanyak 31,11 + 21,36 orang. Rerata jumlah tamu satu bulan terakhir
tersebut mendukung salah satu faktor risiko terjadinya infeksi CT yaitu memiliki >1 pasangan
seksual dalam 3 bulan terakhir. Pandjaitan-Sirait mendapatkan rerata jumlah tamu per minggu 1-
5 orang, yaitu sebesar 87,8%3 sedangkan Jacoeb pada tahun 1995, pada lokasi yang sama,
mendapatkan persentase terbesar pada kelompok yang menerima 6-10 orang perminggu (46%).

Keputihan dikeluhkan oleh 44 orang (80,00%) SP, sedangkan dengan keluhan disuria
sebanyak 4 orang (7,27%), perdarahan setelah koitus 1 orang (1,82%), nyeri pada saat
berhubungan seksual, dan nyeri panggul, masing-masing berjumlah 9 orang (16,36%). Keluhan
keputihan tersebut bisa disebabkan oleh infeksi IMS maupun bukan IMS karena gejala infeksi
genitalia wanita yang tersering adalah keputihan.

Tabel 2. Distribusi karakteristikperilaku seksual dan keluhan genital WPS di PSKW Mulya Jaya,
Maret-Juni2006 (n=55 orang)
Karakteristik N %

Usia pertama kali melakukan hubungan seksual

≤ 15 tahun 8 14,54

16-19 tahun 42 76,36

>19 tahun 5 9,09

Lama kerja sebagai WPS

≤12 bulan

12 bulan 35 63,64

20 36,36

Jumlah tamu dalam 1 bulan terakhir

≤ 10 orang 4 7,27

11-30 0rang 31 56,36

31-50 orang 14 25,45

< 50 orang 6 10,90

Keluhan keputihan

Tidak ada 11 20,00

Ada 44 80,00

Keluhan disuria
Tidak ada 51 92,73

Ada 4 7,27

Keluhan perdarahan setelah koitus

Tidak ada 54 98,18

Ada 1 1,82

Keluhan nyeri pada saat hubungan seksual

Tidak ada 46 83,64

Ada 9 16,36

Keluhan nyeri panggul

Tidak ada 46 83,64

Ada 9 16,36

n= jumlah, %= persen, WPS= wanita pekerja seksual

Hasil pemeriksaan PCR Amplicor®, menunjukkan 23 orang (41,8%) SP terinfeksi Chlamydia


trachomatis. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi WPS
di 10 kota Indonesia pada tahun 2005, yang juga menggunakan pemeriksaan PCR Amplicor®,
dengan klamidiosis di Jakarta Barat sebesar 40%.23 Sedangkan deteksi asam nukleat dengan
teknik hibridisasi probe DNA (PACE 2®) yang dilakukan oleh Pandjaitan-Sirait di tahun 2001
pada tempat yang sama dengan penelitian ini mendapatkan 31,1% WPS positif terinfeksi CT.3
Perbedaan hasil tersebut terjadi karena perbedaan sensitivitas, pemeriksaan PCR Amplicor®
memberi hasil lebih tinggi dibandingkan deteksi asam nukleat dengan teknik hibridisasi probe
DNA (PACE 2®) . Hubungan manifestasi klinis yang didapatkan dari pemeriksaan venereologis
dibandingkan dengan kepositivan PCR disajikan di tabel3.
Tabel 3. Hubungan manifestasi klinis dengan kepositivan Chlamydia trachomatis secara PCR
pada WPS (n=55) di PSKW Mulya Jaya, Maret- Juni 2006

Chlamydia
(Amplicor®)
Nilai Sensitivitas Spesifisitas Akurasi
Positif Negatif p (IK 95%) (IK 95%) (IK 95%)

Serviks mudah
berdarah (Fr)
56,5% 62,5% 60,0%
Ada 13 12
(41,1%- (51,4%- (47,1%-
Tidak ada 10 20 0,162 70,6%) 72,6%) 71,8%)

Duh serviks
mukopurulen
(Mp)
78,3% 31,3% 50,9%
Ada 18 22
(64,4%- (21,3%- (39,3%-
Tidak ada 5 10 0,545 89,4%) 39,2%) 60,2%)

Mp dan Fr
56,5% 62,5% 60,0%
Ada 13 12
(41,1%- (51,4%- (47,1%-
Tidak ada 10 20 0,162 70,6%) 72,6%) 71,8%)

IK= Interval kepercayaan; nilai p= nilai prediktif

Serviks yang mudah berdarah terdapat pada 13 orang dengan hasil PCR positif di antara 23
orang SP, dengan sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 62,5%, akurasi sebesar
60%. Diallo (1998) mendapatkan hasil 45% di antara 239 orang SP mengalami serviks mudah
berdarah sebagai salah satu gejala infeksi CT pada serviks.25 Hasil ini menunjukkan bahwa
gejala serviks mudah berdarah tidak dapat digunakan sebagai kriteria diagnosis. Duh tubuh
mukopurulen didapatkan pada 18 orang dari 23 orang SP dengan hasil PCR positif (sensitivitas
78,3%) dan 10 orang SP tanpa duh tubuh mukopurulen di antara 32 orang dengan hasil PCR
negative (spesifisitas 31,3%). Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Diallo (1998) yang mendapatkan 37% mengalami duh tubuh mukopurulen.25Alary
(1998) juga mendapatkan 14,3% SP memberi gejala duh tubuh mukopurulen diantara 192
orang SP.26 Pada penelitian ini walaupun angka sensitivitas terlihat agak tinggi, tetapi akurasi
yang didapat hanya sebesar 50,9% sehingga tetap dianggap rendah. Hasil ini menunjukkan gejala
duh tubuh mukopurulen tidak dapat digunakan sebagai criteria diagnosis. Bila serviks mudah
berdarah dan duh mukopurulen secara bersama dihubungkan dengan hasil pemeriksaan PCR
diperoleh hasil sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 62,5% dengan akurasi 60%,
sehingga sebagai gabungan kedua manifestasi klinis tersebut juga tidak dapat digunakan sebagai
kriteria diagnosis. Bila ditinjau hubungan antara manifestasi klinis dengan hasil pemeriksaan
PCR, perolehan sensitivitas terbesar terlihat pada duh tubuh mukopurulen (78,3%), dan spesifitas
terbesar bila didapatkan serviks yang mudah berdarah (62,5%). Terlihat bahwa duh tubuh
mukopurulen memiliki sensitivitas yang tampak tinggi, walaupun harus diingat bahwa infeksi N.
gonorrhoeae juga dapat memperlihatkan duh tubuh mukopurulen, dan sering terjadi infeksi
silang antara keduanya. Sedangkan serviks mudah berdarah dapat digunakan untuk membedakan
individu sehat dengan yang sakit, atau bila tidak ditemukan kerapuhan serviks, maka
kemungkinan bukan infeksi CT.

Tabel 4. Hubungan temuan pemeriksaan sediaan apus serviks dengan pewarnaan Gram dan
kepositivan CT secara PCR pada WPS (N=55) di PSKW Mulya Jaya Maret – Juni 2006

Clamedia (
Amplicor ) Nilai Sensitifitas Sensitifitas Akurasi

Positif Negative P ( IK 95%) ( IK 95%) ( IK 95%)

Jumlah

> 30 /
LPB
52,2% 78,1% 67,3%
Ya 12 7
(37,3- (67,4%- (54,8%-
Tidak 11 25 0,020 64,6%) 87,1%) 77,7%)
PMN= polimononuklear, LPB= Lapang pandang besar, IK= interval kepercyaan; nilai p= nilai
prediktif

CT= clamedia trachomatis, PCR= polymerase chain reaction, WPS= wanita pekerja seksual,
PSKW= panta social karya wanita

Bila dari hasil laboratorium apusan serviks dengan pewarnaan Gram ditemukan jumlah PMN >
30/LPB, didapatkan sensitivitas sebesar 52,2%. Dengan demikian variabel ini tidak dapat
digunakan untuk melihat kepositivan infeksi CT. Walaupun spesifisitas tampak tinggi, yaitu
78,1%, tetap belum memenuhi ketentuan untuk digunakan sebagai tolok ukur apalagi angka
akurasi hanya sebesar 67,3%, sedangkan angka yang dianggap bermakna harus > 80%.

Tabel 5. Hubungan temuan klinis dan laboratorium sederhana dengan kepositivan CT secara
PCR pada WPS (n=55) di PSKW Mulya Jaya, Maret-Juni 2006

Clamedia (
Amplicor ) Nilai Sensitifitas Sensitifitas Akurasi

Positif Negative P ( IK 95%) ( IK 95%) ( IK 95%)

Mp & PMN
>30 /LPB
43,6% 84,4% 67,4%
Ada 10 5
(29,5%- (74,3%- (55,6%-
Tidak ada 13 27 0,032 54,4%) 92,2%) 76,4%)

Fr & PMN

>30/LPB
Ada 10 12 0,162 56,5% 62,5% 60,0%

Tidak ada 13 20 (41,1%- (51,4%- (47,1%-


70,6%) 72,6%) 71,8%)

Mp & PMN
>30 /LPB
56,5% 65,6% 61,8%
Ada 13 11
(41,1%- (48,9%- (48,9%-
Tidak ada 10 21 0,102 70,4%) 73,4%) 73,4%)

PMN= polimononuklear, LPB= Lapang pandang besar, IK= interval kepercyaan; nilai p= nilai
prediktif

CT= clamedia trachomatis, PCR= polymerase chain reaction, WPS= wanita pekerja seksual,
PSKW= panta social karya wanita

Data hasil pemeriksaan gejala klinis dan laboratorium sederhana pada tabel 4 memperlihatkan
hubungan antara duh tubuh mukopurulen dan jumlah PMN >30 / LPB pada pewarnaan Gram
dengan kepositivan secara PCR didapatkan sensitivitas sebesar 43,6% dan spesifisitas sebesar
84,4%, dengan nilai p 0,032, tetapi akurasi yang didapatkan hanya sebesar 67,3%, sehingga tetap
tidak dapat digunakan sebagai sebuah indikator infeksi CT. Demikian pula dari hubungan antara
gejala serviks yang mudah berdarah dan jumlah PMN >30/LPB diperoleh sensitivitas sebesar
56,5% dengan spesifisitas sebesar 62,5% dan nilai akurasi 60%. Hubungan antara duh tubuh
mukopurulen, serviks yang mudah berdarah dan jumlah PMN >30/LPB dengan kepositivan
PCR, diperoleh sensitivitas sebesar 56,5% dan spesifisitas sebesar 65,6%, dengan nilai akurasi
61,8%. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa gejala klinis ditemukannya duh tubuh
mukopurulen, serviks mudah berdarah dan jumlah PMN >30 / LPB tidak dapat digunakan
sebagai indikator infeksi CT.

3.2. Pembahasan
3.2.1. Distribusi
Infeksi clhamydia trachomas pada banyak Negara merupakan penyebab utama penularan adalah
hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi oleh C.Trachomatis
85 juta orang. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum da angka yang pasti mengenai ini.

3.2.2. Frekuensi
Di Amerika 25-50% kasus olek C. trachomatis dan meliputi 5-8% wanita muda dan
merupakan carier C. trachomatis. Infeksi C. trachomatis tersering yang dilaporkan dan terbanyak
mengenai wanita remaja dan dewasa muda, yaitu sekitar 10-40%.1 Berdasarkan hasil penelitian
infeksi klamidia pada kelompok wanita pekerja seksual (WPS) pada tahun 1992, prevalensi
infeksi CT di Jakarta sebesar 35,48% dan di Medan sebesar 45%.2 Penelitian tahun 2001
terhadap WPS jalanan yang dibina di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya
mendapatkan angka kejadian infeksi CT sebesar 31,1% dengan metode probe DNA PACE 2®
dan 27,8% dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) Chlamydiazime®.3
Data tahun 2004 hingga 2005 di PSKW Mulya Jaya menunjukkan prevalensi infeksi genital
nonspesifik sebesar 11,1% berdasarkan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear (PMN)
>30/lapang pandang besar (LPB) tanpa ditemukan penyebab spesifik dengan pewarnaan gram
pada sediaan apus serviks

3.3.3. Factor determinan


1. host

Penyakit ini biasanya menyerang laki – laki maupun perempuan. Semua usia terutama
usia dewasa muda.

2. agent

Clamydia merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri chlamydia


trachomatis. Biasanya penyakit ini tidak terdapat gejala apa-apa, walaupun begitu tetap saja
gejala-gejala ringan seperti nanah atau keputihan pada penis atau vagina dan adanya rasa
sakitsaat buang kecil, ini merupakan infeksiyang terjadi pada uretra (laki-laki) dan serviks (mulut
rahim) pada perempuan. Chlamydia merupakan penyakit menular seksual yang di kenal sebagai
penyakit peradangan pada perviks (panggul) sehingga menyebabkan invertilisasi kemandulan
pada perempuan.
C. trachomatis berbeda dari kebanyakkan bakteri karena berkembang mengikuti suatu siklus
pertumbuhan yang unik dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu berupa Badan Inisial. Badan
Elementer (BE) dan Badan Retikulat (BR) atau Badan Inisial. Badan elementer ukurannya lebih
kecil dan terletak ekstraselular dan merupakan bentuk yang infeksius, sedangkan badan retikulat
lebih besar, terletak intraselular dan tidak infeksius.

3. enviretmen

Penyakit ini dapat menyerang orang – orang yang suka melakukan hubungan seks yang
tidak sehat, melakukan hubungna seks tanpa menggunakan pengaman ( kondom ), suka
menggonta ganti pasangan, serta menyerang laki – laki yang biasa menggunakan jasa PSK.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Chlamydia Trachomatis merupakan penyebab infeksi genital non spesifik yang terbanyak
sekarang ini dibandingkan dengan organisma lain, baik di negara maju maupun negara
berkembang. Diperlukan indentifikasi/diagnosis dini dan pengobatan yang cepat dan
tepat dalam usaha memutus mata rantai penularan dalam masyarakat dan mencegah
sequele jangka panjang.
 Penyakit ini juga dapat menyerang bayi hal itu di karenakan ditularkan oleh ibu bayi
tersebut
 Penyakit ini ditularkan dengan cara seksual
 Penyakit ini juga banyak menyerang orang – orang yang suka menggonta ganti pasangan
seks, melakuakan hubungan seks yang tidak sehat, serta laki – laki atau perempuan yang
biasa memakai jasa PSK
3.2 Saran
Cara yang paling baik untuk mencegah penularan penyakit ini adalah:

 Abstensia ( tidak melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang diketahui
menderita penyakit ini ).
 Hindari oral seks dengan pasangan yang positif chlamydia karenainfeksiini dapat
ditularkan melalui rongga mulut.
 Chlamydia tak jarang pula bisa di tularkan lewat liang dubur jika melakukan sodomi dan
disarankan perilaku tersebut tidak dilakukan.
 Untuk mengurangi resiko tertular oleh penyakit ini sebaiknya menjalani perilaku seksual
yang aman (tidak berganti – ganti pasangan seksual atau menggunakan kondom).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004, Klamidia, http://www.pppl.depkes.go.id, diakses tanggal 11 Mei 2008.
Anonim, 2006, Limfogranuloma Venereum,http://www.indonesiaindonesia.com, diakses tanggal
11 Mei 2008.
Geo.F. Brooks,dkk, 1996, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta.

Yudarsono. 1987. Infeksi Chlamydia pada Genitalia. Bali: Kursus Penyegar Penyakit Seksual
PADVI

You might also like