You are on page 1of 22

Bed Side Teaching

Erosi Kornea et causa Trauma Kimia Grade I

Oleh :

Delila Maharani 1740312269


Sylvia Restu Mayestika 1740312267
Widiya Tussakinah 1410312097

Preseptor :
dr. M. Hidayat, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi

Gambar 1.1 Bola mata 20

Bola mata tidak sepenuhnya bulat; radius kurvatura kornea (8 mm) lebih

kecil dibandingkan dengan sclera (12 mm) sehingga membuat bentuk bola mata

sedikit lonjong. Kornea terletak di bagian tengah anterior bola mata. Kornea

dewasa rata-rata mempunyai diameter horizontal 12 mm dan diameter vertical 11

mm. Bagian perifer kornea lebih tebal dibandingkan bagian sentral, dimana

bagian perifer mempunyai ketebalan 1 mm dan bagian sentral 0,5 mm. Limbus,

yang membatasi kornea dan sclera, berwarna keabuan dan jernih. Bagian kornea
yang terekspos dengan dunia luar dilindungi oleh precorneal tear film, yang terdiri

dari 3 lapisan: superficial oily layer yang diproduksi oleh kelenjar meibom;

middle aqueous layer yang diproduksi oleh kelenjar lakrimal utama dan aksesori;

dan deep mucin layer yang berasal dari sel goblet konjungtiva. Peranan precorneal

tear film ini sangat vital bagi fungsi normal kornea. Selain untuk lubrikasi

permukaan kornea dan konjungtiva, tear film juga menyediakan oksigen dan

nutrisi, serta mengandung immunoglobulin, lisosim, dan laktoferin. 21

Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai 5 lapisan:

Gambar 1.2 Lapisan Kornea 22

1. Lapisan epitel: lapisan ini mempunyai lima atau enam lapis sel dan

berbatasan dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris.


2. Lapisan Bowman: merupakan lapisan jernih aselular, yang terletak di

bawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang

tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma: lapisan ini menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Bagian ini

tersusun atas jalinan lamella serat-serat kolagen dengan lebar sekitar 10-

250 µm dan tinggi 1-2 µm yang mencakup hampir seluruh diameter

kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan dengan permukaan kornea, dan

karena ukuran dan kerapatannya menjadikan kornea jernih secara optic.

4. Membran Descemet: merupakan lamina basalis endotel kornea. Saat lahir,

tebalnya sekitar 3 µm dan terus menebal selama hidup, mencapai 10-12

µm.

5. Lapisan endotel: hanya memiliki satu lapis sel yang berperan dalam

mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Endotel kornea rentan

terhadap trauma dan kehilangan sel-selnya seiring dengan penuaan.

Reparasi endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran

sel, dengan sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan

menimbulkan edema kornea. 21

1.2 Definisi

Kornea berfungsi sebagai membrane pelindung dan “jendela” yang dilalui

oleh berkas cahaya saat menuju retina. Kornea memiliki banyak serat nyeri,

kebanyakan lesi kornea baik superfisial maupun dalam menimbulkan rasa nyeri

dan fotofobia.21 Erosi kornea adalah lepasnya lapisan permukaan epitel kornea.

Biasanya erosi kornea terjadi karena diawali dengan terjadinya abrasi kornea.18
1.3 Epidemiologi

Abrasi kornea yang dapat berujung kepada terjadinya erosi kornea

merupakan keadaan paling sering pada pengguna lensa kontak. Erosi kornea

terjadi pada 12 -13% pada dua unit gawat darurat di United Kingdom. Unit gawat

darurat di United Kingdom memperlihatkan bahwa dari 66% kasus trauma,

terdapat 80% erosi kornea atau benda asing kornea maupun konjungtiva. Erosi

kornea dapat terjadi pada setiap usia, namun angka tertinggi didapatkan pada usia

produktif.4

1.4 Etiologi dan Faktor Resiko

Beberapa penyebab yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan epitel

kornea:8

 Trauma (jari, kuku jari, kertas, kuas mascara, ranting pohon,

menggosok mata, pepper-spray, dll)

 Trauma kimia basa maupun asam

 Dry eyesi

 Debu atau pasir

 Pemakaian jangka panjang lensa kontak

 Benda asing dibawah kelopak mata

 Iatrogenik – Pasien tidak sadar, eyelid patching yang tidak benar

oada oasien dengan Bell palsy, dan pasien neuropati lainnya yang

tidak dapat menutup kelopak mata sendiri.

 Benda asing kornea – benda yang sulit dilihat (pecahan kaca)8


1.5 Patofisiologi

Erosi kornea yang merupakan terlepasnya lapisan permukaan epitel

kornea, sering terjadi pada daerah yang sebelumnya terjadi abrasi kornea. Dapat

terjadi spontan, pada mata kering dan dapat juga disebabkan oleh trauma kimia

pada mata.16

Trauma kimia pada mata merupakan keadaan darurat oftalmologi. Bahan

kimia penyebab trauma mata adalah paparan asam dan basa (alkali).11,12 Trauma

kimia mata dapat menyebabkan kerusakan pada kelopak mata, konjungtiva,

kornea, dan kamera okuli anterior. Kerusakan yang terjadi berpotensi

menyebabkan gangguan penglihatan sementara atau permanen tergantung pada

volume, pH, durasi paparan, tingkat penetrasi bahan kimia, serta kecepatan

tatalaksana. Secara umum, trauma basa menimbulkan reaksi yang lebih berat

daripada trauma asam.2,12,13

Patofisiologi terjadinya trauma asam dan basa pada mata adalah sebagai

berikut:

a. Trauma Asam

Asam memiliki pH yang lebih rendah dari nilai pH normal mata

manusia.14 Asam berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan anion di permukaan

anterior mata. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah

pH, sementara anion menyebabkan degradasi, denaturasi, pengendapan, dan

koagulasi protein jaringan (nekrosis koagulasi) yang menyebabkan kekeruhan

permukaan okular. Koagulasi protein membentuk penghalang (barier) insoluble

acid albumintes yang mencegah penetrasi asam lebih dalam. Hal ini

mengakibatkan terbentuknya ground glass appearance pada stroma kornea. Oleh


karena itu kerusakan terbatasi pada anterior mata, lesi menjadi berbatas tegas dan

tidak progresif.11,12,13

Cedera asam bersifat kurang merusak dibandingkan cedera basa, kecuali

pada asam hidrofluorik. Asam hidrofluorik bersifat menyerupai basa karena ion

fluoride-nya memiliki kemampuan yang cepat untuk melewati membran sel serta

berpenetrasi ke lapisan okuler yang lebih dalam hingga memasuki kamera okuli

anterior, meskipun telah terjadi koagulasi protein. Oleh karena itu, kerusakan yang

dihasilkan lebih invasif daripada senyawa asam lainnya, hampir sebanding dengan

kerusakan yang disebabkan oleh basa.11,13,14

b. Trauma Basa

Basa memiliki pH yang lebih tinggi dari nilai pH normal mata manusia.

Basa bersifat lipofilik.11 Basa berdisosiasi menjadi ion hidroksil dan kation di

permukaan anterior mata. Molekul hidroksil dengan cepat mengendap di kornea

menyebabkan terjadinya saponifikasi barier seluler (membran sel) yang

mengandung lemak dan protein. Peristiwa ini menyebabkan nekrosis liquefaktif.

Kation berinteraksi dengan kolagen dan glikosaminoglikan stroma sehingga

terbentuklah kolagenase yang menyebabkan denaturasi mukoid, pembengkakan

dan kerusakan kolagen kornea, pemendekan serabut kolagen, defek sintesis

kolagen, ulserasi kornea, fogging stroma, dan gangguan berat pada

mukopolisakarida stroma. Kerusakan jaringan yang luas di dalam kornea secara

signifikan merugikan karena memfasilitasi penetrasi yang progresif dan lebih

dalam. Basa dapat berpenetrasi secara cepat ke stroma, kamera okuli anterior,

bahkan hingga jaringan retina. Jaringan yang rusak mengeluarkan enzim

proteolitik sebagai bagian dari respons peradangan yang menyebabkan kerusakan


lebih lanjut. Oleh karena itu, trauma basa cenderung lebih merusak mata

dibanding trauma asam.2,11,12,13,14

1.6 Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Menurut McCulley, perjalanan klinis trauma kimia mata dibagi menjadi

empat fase:5

1. Fase segera (immediate)

Gambaran klinis yang muncul segera setelah agen kimia berkontak dengan

permukaan okular dan terjadilah trauma kimia.14 Gambaran klinis trauma kimia

mata diklasifikasikan menurut klasifikasi Ballen dan Roper-Hall. Sistem

klasifikasi ini merupakan modifikasi dari klasifikasi Hughes yang didasarkan pada

perubahan kornea serta konjuntiva-limbus.13,14,15 Derajat trauma kimia dapat

dilihat pada tabel 2.3 dan gambar 2.2.

Tabel 2.3. Derajat Trauma Kimia menurut Klasifikasi Ballen dan Roper- Hall13,4,15
Derajat Perubahan Kornea Perubahan Prognosis
(Grade) Konjungtiva- Penglihatan
Limbus
I Hanya kerusakan epitel Kemosis Baik
Tidak ada iskemia
II Kornea keruh namun Kemosis Baik
iris masih terlihat Kongesti
Iskemia <1/3
limbus
III Epitel hilang Iskemia 1/3 – 1/2 Meragukan
Kornea keruh limbus
Iris tidak terlihat Tidak ada nekrosis
/ terdapat nekrosis
ringan
IV Kornea opaq Iskemia dan Buruk
Iris dan pupil tidak nekrosis >1/2
terlihat limbus
Gambar 2.2 Klasifikasi Derajat Keparahan Trauma Kimia (a) derajat 1 (b)
derajat 2 (c) derajat 3 (d) derajat 4

Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi empat

kategori. Klasifikasi Thoft didasarkan pada area nekrosis konjungtiva perilimbus

dan seberapa banyak hilangnya epitel kornea.11 Klasifikasi Thoft adalah sebagai

berikut:12

Derajat 1: Hiperemi konjungtiva disertai keratitis pungtata

Derajat 2: Hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea

Derajat 3: Hiperemi disertai nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea

Derajat 4: Kongjuntiva perilimal nekrosis sebanyak 50%

2. Fase akut (hari ke-1 hingga ke-7)

Tujuh hari pertama setelah trauma kimia mata merupakan fase pemulihan akut.

Selama fase ini, jaringan membersihkan diri dari kontaminan serta membentuk

kembali lapisan pelindung superfisial epitel kornea. Hal ini juga memodulasi
reepitelisasi kornea, regenerasi serta perbaikan stroma. Mekanisme inflamasi yang

signifikan mulai ada untuk membantu perkembangan permukaan okular dan

bagian dalam mata. Inflamasi intraokular dapat menyebabkan meningkatkan

TIO.14

3. Fase perbaikan awal (hari ke-8 hingga ke-20)

Fase ini merupakan periode transisi penyembuhan okular, di mana terjadi

regenerasi segera epitel permukaan okular. Selama fase ini epitel kornea dan

konjungtiva serta keratosit terus berproliferasi untuk memperbaiki struktur dan

fungsi permukaan dan stroma. Selama tahap ini, peradangan akut dapat berlanjut

menjadi peradangan kronis, perbaikan stroma, dan jaringan parut. Di tahap ini,

cenderung terjadi ulserasi kornea. Ulserasi stroma diakibatkan oleh aksi enzim

pencernaan seperti kolagenase, metalloproteinase, dan protease lain yang

dilepaskan dari regenerasi epitel kornea dan leukosit polimorfonuklear.14

Migrasi epitel berlanjut selama ini. Pada trauma ringan dapat terjadi

epitelisasi sempurna, sedangkan paa trauma grade II defek epitel yang persisten

bergantung pada stem cell daerah limbus yang mengalami kerusakan. Pada kasus

yang lebih parah, reepitelisasi hanya terjadi sedikit atau bahkan tidak terjadi sama

sekali. Mata dengan grade IV biasanya akan tetap menunjukkan tanda iskemia

pada fase ini. Inflamasi permukaan kornea masih belum terjadi reepitelisasi.16

4. Fase perbaikan lambat dan gejala sisa (hari ke-21 hingga beberapa bulan)

Fase ini merupakan fase penuntasan proses penyembuhan dengan

prognosis visual yang baik (Grade I dan II) atau prognosis visual yang buruk

(Grade III dan IV) beserta komplikasinya.14


1.7 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,

meliputi:

a. Anamnesis

Pasien yang mengalami erosi kornea akan mengeluh terasa terganjal di mata, mata

terasa perih, dan kabur penglihatan. Pasien juga dapat merasa sensitif terhadap

cahaya dan mata berair.16

Pasien yang datang dengan keluhan terpapar bahan kimia atau tampak

pada matanya tampilan terkena trauma kimia, pasien tersebut harus segera diberi

irigasi mata. Anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik dapat ditunda setelah

irigasi selesai.,12,16 Jika pasien yang dibawa ke fasilitas kesehatan dalam keadaan

yang tidak sadar atau kurang sadar sehingga sulit dianamnesis, dokter dapat

melakukan anamnesis kepada orang yang menemani pasien berobat

(aloanamnesis).16 Dokter juga dapat menanyakan apakah mata yang terkena telah

mendapatkan irigasi sebelum sampai ke fasilitas kesehatan.13

Hal-hal yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis meliputi:12,13,16

1. Jenis dan bentuk bahan kimia (asam atau basa), jika diketahui oleh pasien

tanyakan kuantitas, konsentrasi, durasi paparan, mekanisme cedera, dan

kejadian yang terjadi dari saat cedera sampai hingga sampai di tempat

pengobatan.

2. Waktu dan tempat kejadian pasien terkena trauma

3. Riwayat kondisi mata pasien sebelum terkena trauma, termasuk ketajaman

penglihatan premorbid dan penggunaan lensa korektif

4. Obat-obatan mata yang pernah digunakan sebelumnya


5. Alergi obat

6. Imunisasi tetanus atau status tetanus

7. Riwayat operasi mata sebelumnya. Pasien dengan riwayat operasi mata

sebelumnya beresiko terjadi ruptur kornea atau sklera, bahkan dengan trauma

kecil.

Selain untuk menentukan etiologi dan faktor resiko pasti, pertanyaan-

pertanyaan ini juga membantu dokter menilai tingkat keparahan cedera serta

menentukan pemeriksaan oftalmolgi dan tatalaksana apa yang diperlukan

selanjutnya.

b. Pemeriksaan Fisik

Bila tersedia, dapat dilakukan tes dengan kertas lakmus (Tes Schirmer)

untuk mengetahui secara pasti zat kimia penyebab. Uji kertas lakmus akan

menunjukkan hasil:6

1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka zat penyebab bersifat asam

2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat penyebab bersifat basa.

pH permukaan okular diuji secara berkala dan irigasi harus dilanjutkan

sampai pH mencapai netral fisiologis.13

Dengan menggunakan penlight dan lup, dapat ditemukan kelainan berikut ini:6

1. Hiperemia dan kemosis konjungtiva

2. Defek epitel kornea dan konjungtiva

3. Iskemia limbus kornea

4. Kekeruhan kornea dan lensa

Pemeriksaan okular lengkap disarankan untuk menilai secara keseluruhan

cedera yang terjadi pada mata. Pemeriksaan okular tersebut meliputi:12,13


1. Pemeriksaan mata harus dimulai dengan penilaian visus. Snellen Chart

dapat digunakan. Menghitung jari, gerakan tangan, atau persepsi cahaya

dilakukan jika pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada Snellen

Chart. Dilakukan pemeriksaan visus untuk mencari apakah ada

penurunan ketajaman penglihatan.

2. Slit lamp dengan pewarnaan kornea menggunakan Fluoresens dan cahaya

biru Cobalt. Pemeriksaan ini memungkinkan dokter untuk menentukan

keberadaan dan luasnya setiap cacat atau abrasi epitel kornea. Kedalaman

penetrasi kornea dapat diperkirakan dengan mengevaluasi hilangnya

kejernihan stroma. Kedalaman penetrasi konjungtiva dapat dinilai dengan

mengamati tanda-tanda iskemia vaskular dan nekrosis konjungtiva limbal

dan bulbar. Derajat iskemia limbus memiliki penampilan pucat. Selain

itu, angiografi Fluoresens segmen anterior dapat membantu dalam

memperkirakan penetrasi konjungtiva dan intraokular dengan

menggambarkan tingkat keparahan iskemia vaskular segmen anterior.

3. Pemeriksaan funduskopi dilakukan untuk memeriksa status retina,

makula, diskus optik, dan pembuluh darah okular.

4. Pemeriksaan tonometri untuk menilai tekanan intraokular.

5. Pemeriksaan pupil. Perhatikan bentuk, ukuran, simetri, dan refleks pupil

langsung terhadap cahaya, dan tes RAPD (Relative Afferent Pupillary

Defect).

6. Evaluasi kelopak mata jika terdapat laserasi atau kelainan lainnya.

Periksa forniks konjungtiva untuk mencari retensi partikel kimia,

terutama partikel ledakan kimia. Palpasi tulang orbital mencari


kemungkinan adanya fraktur atau krepitasi, terutama jika pasien terlibat

dalam ledakan kimia yang traumatis. Evaluasi fungsi otot ekstraokuler ke

semua arah pandang. Perhatikan keterlibatan sistem lakrimal.

c. Pemeriksaan Penunjang

Untuk mendeteksi erosi dan abrasi kornea, dapat dilakukan tes fluoresensi

dibawah lampu biru cobalt. Pewarnaan fluoresensi dilakukan dengan pertama

mengaplikasikan anestesi topical (propacaine 0,5%) langsung pada mata atau pada

strip fluoresensi. Kelopak mata bawah pasien di Tarik ke bawah dan strip

fluoresensi akan menyentuh konjungtiva bulbi. Pewarna akan menyebar ke

seluruh kornea akibat dari kedipan mata pasien, dan dan mewarnai tiap membrane

basement dari epitel. Dalam cahaya normal, bagian yang alami abrasi dan erosi

akan tampak terwarna kuning.16

1.8 Tatalaksana

Tujuan dari penatalaksanaan pada erosi kornea adalah untuk reepitelisasi.

Kornea memiliki kemampuan untuk sembuh sendiri, jadi tatalaksan berguna untuk

meminimalisir agar komplikasi tidak terjadi. Jika erosi nya kecil, maka pasien

cukup diberikan eye lubricant dan follow-up di hari berikutnya.17,18

 Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan

menghilangkan rasa sakit yang sangat berat. Hati-hati bila memberikan

anestetik topikal untuk meghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena

dapat menambah kerusakan epitel.19

 Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk

mencegah infeksi bakteri diberiksan antibiotika seperti antibiotik

spektrum luas neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata.


Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan

sikloplegik aksi pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih

tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan

tertutup kembali setelah 48 jam.19

1.9 Prognosis

Prognosis erosi kornea baik karena kornea memiliki kemampuan untuk

sembuh sendiri. Proses reepitelisasi dapat terjadi dalam 48 jam hingga beberapa

hari. Jika erosi kornea hanya mengenai lapisan epitelnya saja, maka ini dapat

sembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut. Akan tetapi, jika erosi kornea

mencapai lapisan membran descement maka ini akan meninggalkan jaringan parut

saat sembuh. Apabila erosi kornea tidak smbuh dengan tepat, maka erosi kornea

rekuren dapat terjadi beberapa bulan atau tahun kemudian.17


BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. Y

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 32 tahun

Negeri asal : Pesisir Selatan

Anamnesa (Autoanamnesa)

Keluhan Utama :

Mata kanan pasien ter tetes Kalpanax cair (asam salisilat) 1hari sebelum masuk

Rumah Sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

 Mata kanan pasien ter tetes Kalpanax cair (asam salisilat) 1 hari sebelum

masuk Rumah Sakit

 Sebelumnya, pasien hendak meneteskan obat tetes mata ke kedua matanya

karena merasa mata kering, namun pasien meneteskan Kalpanax cair (asam

salilsilat) pada mata kanan pasien, mata kemudian langsung terasa perih dan

pandangan menjadi kabur kemudian pasien langsung membasuh dengan air

tapi tetap perih, dan pandangan tetap kabur

 Mata kanan merah (+),

 Mata kanan perih (+)

 Mata kanan berair (+),

 Pandangan kabur pada mata sebelah kanan (+)


Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat penggunaan kacamata (-), Riwayat penggunaan lensa kontak (-)

 Riwayat operasi mata sebelumnya (-)

 Tidak pernah mengalami penyakit mata lain sebelumnya

 Hipertensi (-)

 DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama

Pemeriksaan Umum :

Keadaan umum : sakit ringan Suhu : afebris

Kesadaran : composmentis Sianosis :-

Tekanan Darah : 120/80 mmHg Ikterus :-

Nadi : 88x/mnt Edema :-

Napas : 18x/mnt Anemis :-

Kulit : Tidak ada kelainan

Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB

Kepala : Normosefal

Rambut : Hitam , tidak mudah rontok

Mata : Status lokalis

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Dalam batas normal

Tenggorok : Dalam batas normal


Gigi dan mulut : Diharapkan dalam batas normal

Leher : dalam batas normal

Dada

Paru : SN vesikuler, rhonki -/-. Wheezing -/-

Jantung : Dalam batas normal

Perut : supel, bising usus ada

Punggung : tidak diperiksa

Geitalia : Tidak diperiksa

Anggota gerak : Tidak ditemukan kelainan

Status Oftalmikus

Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 20/30 F 20/20
Visus dengan koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks fundus + +
Silia/supersilia Madarosis (-) Madarosis (-)
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
Massa (-) Massa (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)
Massa (-) Massa (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Margo palpebra Dalam batas normal Dalam batas normal
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva tarsalis Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Kemosis (-) Kemosis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Konjungtiva fornics Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Kemosis (-) Kemosis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Konjungtiva bulbi Hiperemis(+) Hiperemis (-)
Injeksi Konjungtiva (+)
Injeksi siliar (+)
Sklera Putih putih
Kornea Erosi kedalaman epitel 2x3 Bening
mm
Kamera Okuli Cukup dalam Cukup dalam
Anterior
Iris Coklat Coklat
Rugae (+) Rugae (+)
Pupil Bulat Bulat
Rf +/+ Rf +/+
Diameter 3 mm Diameter 3 mm
Lensa Bening Bening
Korpus vitreus Jernih Jernih
Fundus:
- Media Bening Bening
- Papil optik Bulat, batas tegas , c/d 0,3 Bulat, batas tegas , c/d 0,3
- Retina Perdarahan (-), eksudat(-) Perdarahan (-), eksudat(-)
- Arteri/vena Arteri: Vena 2:3 Arteri: Vena 2:3
- Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
Tekanan bulbus okuli Dalam batas normal Dalam batas normal (palpasi )
(palpasi )
Posisi Bola mata Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas Bebas
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gambar

Hasil Pemeriksaan Slit Lamp:


Pemeriksaan mata khusus :

Kertas Lakmus (pH normal)

Pemeriksaan lab :

Diagnosis Kerja :

Erosi kornea OD e.c trauma kimia asam grade I

Diagnosis banding :

Anjuran terapi :

Medikamentosa

Anjuran edukasi :

 Menjaga higiene

 Pemberian tetes mata teratur

Prognosa :

Bonam

Penatalaksanaan :
- LFX 0,5% ED
- Vitamin C 1 x 1
- Paracetamol 3 x 500mg
- Eye patching OD
DAFTAR PUSTAKA

1. Randleman JB.2006. Chemical department of ophthalmology. diakses dari


http://www.emedicine.com
2. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2015.
3. Haring RS, et al. Epidemiologic trends of chemical ocular burns in the
United State. JAMA Ophthalmol. Oktober 2016; 134(10): 1119-1124.
4. Djelantik AS, Andayana A, Widiana IGR. The relation of onset of trauma
and visual aculty on traumatic patient. Journal Oftalmologi Indonesia. Juni
2010; 7(3): 85-90.
5. Riordan-Eva P. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17.
Jakarta: EGC; 2009. p. 1-27.
6. IDI. Panduan Praktek Klinis bagi Dokter di Fasilitas Layanan Primer.
Jakarta: IDI; 2014: 197-9.
7. Mashige K. 2015. Chemical and thermal ocular burns: a review of causes,
clinical features and management protocol. S Afr Fam Pract. 2016; 58(1):
1-4.
8. Venkatesh R, Trivedi HL. Ocular trauma - chemical injuries. Bombay
Hospital Journal. 2009; 51(2): 215- 20.
9. Lecuona K. Assessing and managing eye injury. Community Eye Health
Journal. 2005; 18(55): 101-4.
10. Colby K. Chemical injuries of the cornea. Focal Points. American
Academy of Ophthalmology. 2010; 28(1): 1-14.
11. Maskati QB. Chemical burns of the eye. JSM Burns Trauma 2017: 2(2);
1014-17.
12. Eastridge CB, Savitsky E. Combat casualty care. USA: Borden Institute,
2012; 307-31.
13. Kosoko A, Vu Q, Kosoko-Lasaki O. Chemical ocular burns: A case
review. American Journal of Clinical Medicine 2009: 6(3); 41-49
14. Singh P, Tyagi M, Kumar Y, Gupta KK, Sharma PD. Ocular chemical
injuries and their management. Oman J Ophthalmol 2013: 6(2); 83-6.
15. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th Edition. New Delhi:
New Age International (P) Limited, 2007; 414-5.
16. Allen RC, Harper RA. Basic ophthalmology. 10th Edition. San Fransisco:
American Academy of Ophthalmology, 2016; 146-7.
17. The Gale Encylopedia of Medicine. 2002. Corneal Erosion. Gale Group.
18. American Academy of Ophthalmology. Corneal Erosion. American
Academic of Ophthalmology. San Francisco. 2014-2015.
19. Ilyas, Sidarta. 2014. Ilmu penyakit mata. Balai penerbit FKUI. Jakarta.
20. American Academy of Opthalmology. 2011- 2012. External Disease and
Cornea. San Fransisco: AAO.
21. Vaughan, DG. Asbury, T. 2008. Oftalmologi Umum edisi 17. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
22. Perhimpunan Dokter Spesislis Mata Indonesia. 2002. Ilmu Penyakit Mata
Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Edisi ke- 2. Sagung
Seto: Jakarta.
23.

You might also like