You are on page 1of 13

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Ditunjukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Disusun oleh:

Disusun Oleh : Faiz Rizki Rivaldy

NIM: 11010113140592

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
bentukperundang-undangan Republik Indonesia.1 Indonesia merupakan negara yang
menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum
agama dan hukum adat. Dalam prakteknya sebagian masyarakatmasih menggunakan hukum
adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Secara resmi, hukum adat diakui
keberadannya namun dibatasi dalam peranannya.
Berkaitan dengan keberadaan sistem hukum adat, dimana merupakan seperangkat
norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah yang sebagian besar dalam
bentuk aturan tidak tertulis dan tersebar di berbagi masyarakat indonesia, sebenarnya
merupakan suatu kekhasan dan kekayaan dari kemajemukan bangsa Indonesia yang
seharusnya kita jaga. Upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi dengan sendirinya tidak
akan terlepas dari upaya mempertahankan norma dan aturan adat atau kebiasaan tersebut.
Keberadaan hukum adat dan hukum pidana sebagai hukum positif akan memunculkan
persmasalahan mengenai bagaimana penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelanggaran
norma dan aturan adat atau kebiasaan dalam kaitannya dengan berlakunya hukum pidana.
Terlebih lagi jika dikaitkan dengan asas legalitas yang menentukan bahwa hukum pidana
harus didasarkan pada hukum yang tertulis agar dapat dicapai suatu kepastian hukum,
sedangkan hukum (pidana) adat sebagian besar tidak tertulis.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum adat dan masyarakat hukum adat ?
2. Apa peraturan yang mengatur masyarakat hukum adat ?
3. Bagaimana dampak penerapan peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat
hukum adat ?

1
Kesimpulan Seminar Hukum Adat Dan Pembinaan Hukum Nasional Padatanggal 17 Januari 1975
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Menjelaskan pengertian hukum adat dan masyarakat hukum adat.
2. Menjelaskan peraturan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat di Indonesia.
3. Menjelaskan dampak penerapan peraturan-peraturan terhadap eksistensi masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat


Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum.2
Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara
unsur-unsur untuk adanya pengakuansebagai berikut.
1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).
2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas.
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.
Membaca pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan siapa yang
dimaksud sebagai masyarakat hukum adat. Sementara unsur-unsur yang akumulatif,
masih diragukan kebenaran unsurnya. Sebagai contoh, terdapat kesalahan fatal dalam
membuat persamaan antara paguyuban dengan rechtsgemeenschap. Paguyuban tidak
bisa disamakan dengan rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah berarti persekutuan
hukum, karena sifat dari unsur tersebut akumulatif, maka jika salah satu unsur diragukan
kebenarannya, ia akan menggugurkan pengakuan meski telah memenuhi ke empat unsur
lainnya.
Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat, kita
menjadi sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan kuburan bagi masyarakat
hukum adat menuju kepunahan sosial, politik dan budayanya. Akibat ketidakjelasan
pengaturan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum, akibat kekaburan dalam
penentuan kriteria dan unsur pengakuan, maka keberadaan masyarakat hukum adat tidak
memiliki jaminan hukum apapun dari negara.

2
UU No.32/2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
B. Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Tentang Masyarakat Hukum Adat
Jumlah Undang-Undang yang diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun 1950
sampai dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah 1137 Undang-Undang. Ribuan
lainnya berupa peraturan pelaksana dari mulai PP sampai Peraturan Presiden. Sementara
pada tingkat Perda, hanya dalam waktu 7 tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD. Dari sumber-sumber data yang
tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur
mengenai lembaga adat dari2 639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh HuMa
(CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung menunjuk
masyarakat hukum adat tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk) sebagai
pemegang otoritas atas wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui
peraturan perundang-undangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat
mengakibatkan lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah.
Sementara pada tingkat Undang-Undang, sebagaimana telah disinggung di atas, justru
menempatkan masyarakat hukum adat berada dalam ketidakjelasan status hukumnya.

C. Dampak Penerapan Peraturan Perundangan Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat


Meskipun tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah anggota/jiwa
masyarakat hukum adat dari 40-60 juta masyarakat, berdasarkan pendampingan di
sejumlah tempat, menunjukkan bahwa hampir seluruh anggota masyarakat hukum adat
hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum
adat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai
kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat. Data luas
kawasan hutan menurut pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah luasan tersebut didapatkan
melalui proses penunjukkan kawasan oleh pemerintah. Dengan demikian, UU Kehutanan
menjadikan kawasan hutan dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek pengaturan.
Selanjutnya menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa provinsi dan
kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada di atas hak ulayat yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Tumpang tindih ini sesungguhnya tidak terjadi
begitu saja, tetapi disadari dan di dasari oleh klaim negara sebagai pemegang kuasa atas
seluruh kekayaan alam di Indonesia, termasuk hutan (HMN). HMN yang juga dianut oleh
UU Kehutanan dijadikan justifikasi untuk menguasai seluruh kawasan hutan yang
ditunjuk secara sepihak, termasuk di dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat hukum
adat. Huma menemukan fakta-fakta lapangan mengenai dampak-dampak penerapan UU
Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya, Diantaranya :
1. Putusnya Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Hutan
Karena hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi kawasan hutan
negara, maka negara memiliki kewenangan untuk membuat aturan di atasnya.
Termasuk aturan yang membatasi dan bahkan melarang orang untuk memasuki dan
beraktivitas di dalam kawasan hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannya
memberikan hak kepada orang atau badan hukum tertentu untuk mengambil manfaat
atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan atau bahkan pengusiran masyarakat hukum
adat dari kawasan hutan berawal dari kewenangan ini. Didalam kawasan pelestarian
alam dan kawasan suaka alam, pada zona dan blok tertentu dilarang untuk melakukan
kegiatan apapun, sementara pada zona dan blok lain hanya diperbolehkan melakukan
kegiatan tertentu saja.
Pada kawasan yang telah dibebani izin atau hak, pemerintah memberikan hak
kepada pemegang izin atau hak untuk melarang setiap orang yang memanfaatkan
kawasan tersebut tanpa seizin pemegang izin atau hak tersebut. Tidak bisa disangkal
bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakat hukum adat untuk masuk ke dalam
kawasan hutan telah memenggal relasi mereka dengan hutan. Dalam bentuk yang
sederhana, pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan
akses dalam mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun.
Pelarangan yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti Tapau, Kecamatan
Entikong, Kabupaten Sanggau. Masyarakat di Desa Maholo, Watutau, Tamadue,
Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di Kecamatan Lore Utara, bahkan dilarang
untuk memasuki kebun dan sawahnya. Kejadian lebih ironis dialami oleh warga
Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80-an, penduduk Nagari ini diperintahkan oleh
pegawai Dinas Kehutanan Propinsi untuk menanam pohon pinus. Karena
menganggap bahwa lahan yang akan ditanami pinus tersebut termasuk ke dalam hak
ulayat nagari, penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang ditanam
mencapai 100Ha. Ternyata, setelah besar dan siap panen, penduduk dilarang
mengambil kayu tersebut dengan alasan bahwa pohon pinus tersebut berada di dalam
kawasan hutan lindung. Larangan memasuki kawasan hutan bukan hanya
menghilangkan akses untuk mengelolahutan tetapi juga menyebabkan punahnya situs-
situs budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat hukum adat tidak bisa lagi
merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yang terjadi di Kampung
Banglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Sementara di
sejumlah desa di Kabupaten Donggala dan Poso, kepunahan situs-situs budaya
ditandai dengan kenyataan-kenyataan berikut ini:
a. Hilangnya situs-situs megalith;
b. Rusaknya kuburan-kuburan tua;
c. Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua, kuburan leluhur,
tempat - tempat ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan.
Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup (lebensraum)
masyarakat hukum adat, pemisahannya dengan masyarakat hukum adat selalu
menyebabkan perubahan atau pergeseran pada faham, nilai dan tatanan sosial. Faham,
nilai dan tatanan sosial masyarakat lokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan
alam, termasuk hutan. Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama artinya
meniadakan sumber lahirnya faham, nilai dan tatanan sosial tersebut. Mengambil
hutan dari mereka identik dengan mengambil faham, nilai dan tatanan sosial mereka.
Kini, masyarakat hukum adat di Melawi (Kalbar) berpotensi meninggalkan faham
komunal mereka yang mengibaratkan rimba sebagai ibu yang mampu menyediakan
dan memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat. Bersamaan dengan hilangnya hutan
dari kehidupan mereka, orientasi nilai juga turut berubah. Hutan tidak lagi dilihat
sebagai manifestasi simbolik (misalnya hutan sebagai Ibu) melainkan komoditas.
Begitu juga dengan tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan. Bila sebelumnya
hutan rimba dipandang sebagai milik bersama yang memiliki fungsi religi dan
ekologis, saat ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan dengan
pertimbangan keuntungan ekonomi semata. Bahkan, tanah-tanah yang tidak berhutan
lagi dijual kepada perusahaan kelapa sawit atau kepada perusahaan pertambangan.
Masyarakat dengan mudah melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun
perusahaan hanya menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat
terintegrasi ke dalam budaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka
seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun karena Kerusakan Sosial dan
Biofisik. 3
Sementara dalam Penjelasan UUD 1945, dinyatakan bahwa dalam teritori
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelf besturende land schappen dan volksgemeen
shappen, seperti Desa di jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di

3
Asep Yunan Firdaus 2007.Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia?.
Makalah.Yogyakarta.
Palembang dan sebagainya. Daerah- daerah mempunyai susunan asli dan oleh
karenanya dapat diaggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kemudian
dinyatakan pula “Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak asal usul daerah. Eksistensi masyarakat hukum adat dapat diuraikan
menurut aspek teoritis dan aspek yuridis.
a. Aspek teoritis
Ter Haar (1981), mendiskripsikan persekutuan-persekutuan hukum atau untuk
mudahnya disebut saja masyarakat hukum adat yaitu: “……gerombolan-
gerombolan yang teratur, bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, dan
mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud.4 Hazairin (dalam
Soerjono Soekanto, 1981), menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah
seperti Desa di jawa, marga di sumatera, Selatan Nagaridi Minangkabau Kuria
diTapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat
yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesataun penguasa dan kesatuan lingkungan hidup
berdasar hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum
kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, dan bilateral) mempengaruhi sistem
pemerintahanya. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Ada 4 (empat) faktor untuk memastikan adanya masyarakat hukum adat yaitu:
1) Adanya satu kesatuan manusia yang teratur.
2) Menetap di suatu daerah tertentu.
3) Mempunyai penguasa.
4) Mempunyai kekayaan berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota
kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal
yang sewajarnya menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para
angota itu mempunyai pikiran atau kecederungan untuk membubarkan ikatan
yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari
ikatan itu untuk selama-lamanya.
Ciri-ciri dan model sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin di atas sudah
sejak lama dikenal di Propinsi Maluku dengan ukuran dan nama yang beragam..
Kesatuan masyarakat hukum adat ini dari dahulu eksistensinya sangat berpengaruh

4
Haar, Ter. 1981. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.
dalam berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi, pengelolaan dan pengendalian
sumber daya alam. 5
R.Z Titahelu (2005), menyatakan diperlukan konsep yang jelas mengenai
masyarakat hukum adat, menurutnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa
masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang masih menggunakan hukum adat
di dalam pergaulan hidup sehari-hari tidak saja di dalam lapangan keagamaan,
akan tetapi juga di dalam lapangan pemerintahan, sosial, ekonomi maupun budaya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Titahelu,ada tiga kriteria untuk dapat
membantu menetapkan ada tidaknya masyarakat hukum adat yaitu sebagai berikut.
1) Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai
masyarakat adat.
2) Adanya susunan khas dan turun temurun dalam lingkup sosial maupun
pemerintahan masyarakat itu.
3) Adanya wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan (umumnya
sangat berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan di bidang social, politik,
budaya maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan di atas wilayah
tertentu yang cukup luas bukan sekedar suatu wilayah pemukiman dan sumber
kehidupan seadanya. 6
Dengan demikian, adanya masyarakat tertentu dengan wilayah petuanan (ulayat)
dimana mereka menjalani kehidupan di bidang politik, sosial, ekonomi maupun
budaya secara teratur dan menjadi satu kesatuan dengan dirinya, merupakan tanda
adanya masyarakat hukum adat.

b. Aspek Yuridis
Secara yuridis formal pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat serta
hak-haknya di Indonesia diakui. Disadari pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat itu sangat beragam dari sektor satu dengan sektor lainnya. Demikian
pula bentuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh daerah-daerah
juga berbeda-beda.
Untuk pertama kalinya , Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA), telah memuat
5
Soerjono Soekanto.1981.Pengantar penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta
6
R.Z Titahelu 2005, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Hak Asasi Manusia: Pendekatan Analitis,
Konseptual danFungsional, Ambon, Makalah, disampaikan dalam Kuliah Umum pada tanggal 3 September
2005, dalam rangka Pebukaan Tahun Akademik 2005/2006 Universitas Pattimura Ambon
ketentuan yang menyatakan bahwa undang-undang ini berdasarkan hukum adat
(Pasal 5) , dan mengakui salah satu aspek hak masyarakat adat yang terpenting
terkait dengan ruang hidupnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, yakni
apa yang disebut sebagai hak ulayat. Pasal 3: “Dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataanya masih ada harus sedemikian rupa
sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan yang lebih tinggi”. Dengan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hak ulayat
memang diakui, tetapi dengan pembatasan tertentu mengenai eksistensinya yakni
bila sepanjang kenyataannya masih ada, dan pelaksanaannya harus memenuhi
syarat-syarat limitatif. 7
UUPA sendiri tidak menjelaskan tentang hak ulayat itu, kecuali menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht sebagaimana
dipahami dalam kepustakaan hukum adat. suatu beschikkingsrecht meliputi
berbagai kewenangan seperti mengambil hasil-hasil alam dari hutan atau air,
berburu hewan-hewan liar, mengambil dan memiliki pohon-pohon tertentu dalam
hutan, dan membuka tanah dalam hutan dengan seizin kepala masyarakat hukum
adat (lihat Ter Haar).

7
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum Agraria
(UUPA)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum.
Beberapa peraturan yang mengatur masyarakat adat, dari sumber-sumber data yang
tersedia, perda-online (www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur
mengenai lembaga adat dari2 639 Perda. Sementara data Perda yang disajikan oleh
HuMa (CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3 buah Perda yang langsung
menunjuk masyarakat hukum adat tertentu (misal Baduy,Rejang dan Desa Guguk)
sebagai pemegang otoritas atas wilayah adatnya. Minimnya pengakuan langsung melalui
peraturan perundang-undangan khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat
mengakibatkan lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah.
Dampak dari penerapan peraturan antara lain putusnya hubungan masyarakat adat
dengan hutan, karena hutan yang ditempati masyarakat adat diakui oleh negara, sehingga
status masyarakat dalam hutan tersebut tidak jelas bahkan hilang.
Dengan adanya pengakuan secara hukum (Juridicial Recognation). Terhadap
masyarakat hukum adat dan hak-haknya melalui berbagai peraturan perundang-undangan
sebagaimana dikemukakan di atas, itu menandakan bahwa eksistensi masyarakat hukum
adat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah legal menurut hukum. Hak-
hak tradisional yang dimaksud adalah termasuk hak-hak masyarakat atas sumber daya
alam di wilayah ulayatnya. Pengakuan konstitusi kita terhadap keberadaan kelompok
masyarakat yang memakai hukum adat dalam kehidupannya merupakan sesuatu yang
baru, karena selama kurun waktu lebih setengah abad, minimal masa diberlakukan UUD
1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) pasca kemerdekaan dan
kedua sebelum perubahan kedua konstitusi (5 Juli 1959 s/d 18 Agustus 2000) hampir
dilupakan. Keberadaan masyarakat hukum adat dan hukum adat sendiri belum mendapat
tempat yang semestinya, karena alam pemikiran kita dimonopoli dengan pendekatan
hukum positivis dan legalistik.
Keberadaan masyarakat hukum adat tidak saja telah mendapatkan perlindungan secara
yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2), melainkan
perlindungannya lebih kuat lagi karena dipertegas dalam Pasal 28I tentang HAM. Di satu
pihak, secara yuridis, otonomi desa yang bersifat otonom asli diakui oleh negara. Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara. mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang.

B. Saran
1. Pemerintah hendaknya merubah ketentuan tentang ”hutan adat” yang dimuat di dalam
UUKehutanan.
2. Perlu dibuat UU yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat sesuai dengan
amanat UUD NRI Pasal 18 B. Bahkan bila perlu UU yang bersifat ”memayungi”
seluruh ketentuan tentang hak-hak masyarakat adat.
3. Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Hukum Agraria (UUPA).
Daftar Pustaka

Asep Yunan Firdaus 2007.Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia?.
Makalah.Yogyakarta

Haar, Ter. 1981. Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.

R.Z Titahelu 2005, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Hak Asasi Manusia:
Pendekatan Analitis, Konseptual danFungsional, Ambon, Makalah, disampaikan dalam
Kuliah Umum pada tanggal 3 September 2005, dalam rangka Pebukaan Tahun Akademik
2005/2006 Universitas Pattimura Ambon

Soerjono Soekanto.1981.Pengantar penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta

Undang- Undang:

Undang-undang No.32/2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Hukum
Agraria (UUPA)

You might also like