You are on page 1of 32

LAPORAN KASUS BEDAH

TN. S, USIA 54 TAHUN DENGAN ILEUS OBSTRUKTIF


POST HERNIORRAPHY H+10

Disusun oleh :
dr. Stella Gracia Octarica
Dokter Internsip RSUD Ambarawa

Dokter Pembimbing
dr. Hery Unggul Wicaksono, SpB

Dokter Pendamping
Dr. Pratiknyo

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
KABUPATEN SEMARANG
JAWA TENGAH
2018
LAPORAN KASUS ILEUS OBSTRUKTIF

Topik : Medik
Kasus : Ileus Obtruktif Post Herrniorraphy H+10
Oleh : dr. Stella Gracia Octarica
Pendamping : dr. Kemalasari
Objektif : Medik
Deskripsi : Tn S., 54 tahun dengan nyeri pada seluruh lapang perut
Tujuan : Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan awal pada kasus
Ileus Obstruktif
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus
Cara Membahas : Diskusi

Mengetahui,
Dokter Pendamping Dokter Pembimbing

dr. Pratiknyo dr. Hery Unggul Wicaksono, Sp.B.

1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn S
Jenis kelamin : Laki - Laki
Umur : 54 th
Alamat : Sambiroto 3/5 Wonorejo, Pringapus
Agama : Islam
MRS : 29 Juli 2018
Tanggal Pemeriksaan : 29 Juli 2018

B. SUBYEKTIF
1. Keluhan Utama:
Nyeri Perut
2. Keluhan Penyerta:
Perut membesar, muntah-muntah, tidak bisa BAB dan buang angin 6 hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang diantar keluarganya pada hari
Minggu, 29 Juli 2018 dengan keluhan nyeri perut hebat. Nyeri perut
dirasakan di seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan hilang timbul, namun saat
nyeri terasa seperti dipuntir-puntir. Keluhan dirasakan 5 hari sebelum pasien
masuk IGD RS, dan dirasakan semakin berat. Pasien juga mengeluh muntah-
muntah berisi makanan warna kekuningan dan tidak bisa BAB dan buang
angina sejak 6 hari sebelumnya. Pasien juga merasa badan lemas, sedangkan
demam disangkal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Pasien memiliki riwayat dirawat di RSUD Ambarawa dari tanggal 13
Juli 2018 hingga 17 Juli 2018 karena keluhan benjolan di selangkangan
yang dirasakan nyeri dan tidak dapat dimasukan kembali, selain itu
pasien tidak bisa BAB dan buang angin selama 3 hari, pada tanggal 14
Juli 2018 pasien menjalani operasi Herrniorraphy. Sebelumnya

2
benjolan tersebut dapat keluar dan masuk dengan sendirinya sejak 1
tahun SMRS dan tidak nyeri. Benjolan pertama muncul saat pasien
sedang menangkat beban berat saat sedang bekerja.
b. Pasien riwayat penurunan berat badan, BAB seperti kotoran kambing,
BAB bercambur darah disangkal.
c. Riwayat trauma, penyakit jantung, diabetes, dan ginjal disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga:


a. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
b. Riwayat penyakit atau keganasan lainnya disangkal.

6. Sosial Ekonomi:
a. Pekerjaan : Buruh bangunan
b. Pendidikan : Sekolah Dasar
c. Lifestyle : merokok (-)

C. OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: tampak kesakitan berat
b. Kesadaran: compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
c. Tanda Vital
1) TD : 127/83 mmHg
2) RR : 26 x/menit
3) Nadi : 108 x/menit, regular
4) Suhu : 36,3o C (axiler)
d. Status Generalis
1) Kepala : mesocephal
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
3) Hidung : nasal discharge (-), nafas cuping hidung (-)
4) Mulut : bibir pucat (-), bibir sianosis (-)
5) Telinga : discharge (-)
6) Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
7) Thoraks

3
a) Inspeksi : simetris, retraksi (-/-)
b) Perkusi
Pulmo : seluruh lapang pulmo sonor
Cor : batas cor dan pulmo
kiri atas SIC II linea parasternal sinistra
kanan atas SIC II linea parasternal dextra
kiri bawah SIC IV linea parasternal sinistra
kanan bawah SIC V linea midclavicula sinistra
c) Palpasi : vocal fremitus simetris, thrill ictus cordis (-)
d) Auskultasi
Pulmo : suara dasar vesikuler +/+ ronki -/- wheezing -/-
Cor : suara I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)
8) Abdomen
a) Inspeksi : cembung, Darm Contour (+), Darm Steifung
(+), tampak luka post operasi di regio inguinal sinistra
b) Auskultasi : bising usus (+) meningkat, Metallic Sound
(-)
c) Perkusi : hipertimpani
d) Palpasi : distensi (+), defans muscular (-), nyeri tekan
seluruh lapang abdomen.

4
9) Ekstremitas:
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Sianosis -/- -/-
Anemis -/- -/-
Clubbing finger -/- -/-
Capillary refill <1 detik <1 detik

10) Rectal Touhcer


Mukosa licin, ampula recti kolaps, sfingter ani (+) kuat, Massa
(-), Lendir/Darah (-)

5
2. Pemeriksaan Penunjang Awal
a. Laboratorium
LABORATORIUM DARAH
29 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 15,7 g/dl 13,2-17,5
Leukosit 6800 sel/uL 3.600-11.000
Trombosit 356.000 sel/uL 150.000-440.000
Eritrosit 5,54 juta sel/uL 4,4 juta – 5,0 juta
Hematokrit 47,8 % 35-47
Indeks Eritrosit
MCH 28,7 Pg 26-34
MCV 88,7 fL 80-100
MCHC 32,3 g/dL 32-36
Hitung Jenis
Limfosit 1,45 103 1,0-4,5
Monosit 0,25 103 0,2-1,0
Neutrofil 5,03 103 1,8-7,5
3
Eosinofil 0,01 L 10 0,04-0,8
Basofil 0,03 103 0-0,2
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 89 mg/dl 74-100
SGOT 18 U/L 0-50
SGPT 13 U/L 0-50
Ureum 48,6 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,20 H mg/dl 0,062-1,1
Serologi
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Koagulasi
PTT 11,4 detik 9,3-11,4
APTT 35,2 H Detik 24,5-32,8

6
b. Elektrokardiografi

7
c. Radiografi
1. Foto Abdomen 3 Posisi (29 Juli 2018)
Udara Intestine prominen. Distensi (+)
Coil spring (+). Step Ladder app (+)
Udara bebas (-)
Udara colon distal minimal
Pre peritoneal fat line (+)
Kesan: Ileus Obstruktif

8
9
D. ASSESMENT AWAL
Colic Abdominal Pain

E. DIAGNOSIS KERJA
Ileus Obstruksi

F. PLAN
1. IVFD RL 20 tpm
2. NGT
3. DC
4. Injeksi Ketorolac 2x1 amp IV
5. Injeksi Ranitidine 2x1 amp IV
6. Monitoring : Vital sign, Keluhan
7. Edukasi : Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, tindakan
yang akan dikukan, prognosis dan pengobatan setelah operasi
8. Konsultasi : Konsul dr Hery Unggul W., Sp.B:
Jawaban: Laparotomi Eksplorasi Cito Besok

10
G. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Senin, 30 Juli 2018
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Nyeri perut masih KU/Kes: sakit sedang/CM Ileus Obstruktif post  IVFD RL 20 tpm
belum berkurang Tanda Vital Herniorraphy H+11  Inj Ranitidin 2x1 amp IV
 Muntah (+) warna TD: 110/80 mmHg HR: 100x/menit ireguler  Inj Ketorolac 2x1 amp IV
kuning kehijauan RR: 24x/menit S: 36,2oC  NGT, DC
 Flatus (-) Status Generalis  Inj Cefazoline pre operasi
 Demam (-) Abdomen: cembung, Darm contour (+), Darm Steifung  Laparotomi eksplorasi hari ini
(+), BU (+) meningkat, Hipertimpani, distensi, nyeri
tekan (+) seluruh lapang perut. Instruksi Pasca Operasi
NGT: 250 cc warna hijau pekat  IVFD Futrolit 20 tpm
DC: 250 cc / 12 jam warna kuning pekat
 Inj Vicillin 3x1500 mg
(diuresis:0,416cc/kg/jam)
 Inj Ranitidin 2x1 amp IV
 Inj Ketorolac 2x1 amp IV

Laporan Operasi
Jam Operasi Dimulai : pk 12.00
Jam Operasi Selesai : pk 13.30
Diagnosa Pre-Operasi : Ileus obstruktif
Diagnosa Post-Operasi : Ileus obstruksi e.c adhesi usus
Nama Tindakan Bedah : Laparotomi + Reseksi usus
Hasil Temuan Operasi : Adhesi pada usus kecil

11
Penyempitan lumen usus Adhesi

Dokumentasi saat dilakukan laparotomi eksplorasi.

12
Selasa, 1 Agustus 2018 (Post Laparatomi Eksplorasi)
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Nyeri perut sudah KU/Kes: sedang/CM Post operasi H+1 a.i. ileus  IVFD Futrolit II + Valamin II 20 tpm
berkurang Tanda Vital obstruktif ec adesi dan  Inj Vicillin 3x1500 mg
 Flatus (+) TD: 100/80 mmHg HR: 88x/menit penyempitan lumen usus  Inj Ranitidin 2x1 amp IV
 BAB (-) RR: 22x/menit S: 36,5oC  Inj Ketorolac 2x1 amp IV
 Nyeri pada luka Status Generalis  Aff NGT
bekas operasi (+) Abdomen: datar, BU (+) meningkat, timpani, terpasang  Puasa
 Muntah (-) balut post operasi, darah (-), nyerti tekan (+) pada luka  Mobilisasi miring kanan dan kiri
post operasi.
Drain: 20 cc / 24 jam warna kemerahan, pus (-)
DC: 700 cc / 24 jam warna kuning muda
(diuresis: 0,583 cc/kg/jam)

Rabu, 2 Agustus 2018


Subjektif Objektif Assessment Plan
 Nyeri pada luka KU/Kes: sedang/CM Post operasi H+2 a.i. ileus  IVFD Futrolit II + Valamin II 20 tpm
bekas operasi Tanda Vital obstruktif ec adhesi dan  Inj Vicillin 3x1500 mg
 BAB (-) TD: 120/80 mmHg HR: 80x/menit penyempitan lumen usus  Inj Ranitidin 2x1 amp IV
 Flatus (+) RR: 20x/menit S: 36,1oC  Inj Ketorolac 2x1 amp IV
Status Generalis  Puasa
Abdomen: datar, BU (+) meningkat, timpani, terpasang  Mobilisasi miring, duduk
balut post operasi, darah (-), nyerti tekan (+) pada luka
 Ganti balut
post operasi.
Drain: 20 cc / 48 jam warna kemerahan, pus (-)
DC: 1300 cc / 24 jam warna kuning muda
(diuresis: 1,083 cc/kg/jam)

13
Kamis, 3 Agustus 2018
 Subjektif Objektif Assessment  Plan
 Nyeri pada luka KU/Kes: sedang/CM Post operasi H+3 a.i. ileus  IVFD Futrolit II + Valamin II 20 tpm
bekas operasi Tanda Vital obstruktif ec adhesi dan  Inj Vicillin 3x1500 mg
 BAB (+) frekuensi TD: 120/70 mmHg HR: 84x/menit penyempitan lumen usus  Inj Ranitidin 2x1 amp IV
1x, volume sedikit, RR: 20x/menit S: 36,2oC  Inj Ketorolac 2x1 amp IV
konsistensi lembek, Status Generalis  Diet cair
L/D (-) Abdomen: datar, BU (+) meningkat, timpani, terpasang  Mobilisasi jalan
 Flatus (+) balut post operasi, darah (-), nyerti tekan (+) pada luka
post operasi.
Drain: minimal, warna kemerahan
DC: 1100 cc / 24 jam warna kuning muda
(diuresis: 0,91 cc/kg/jam)

Jumat, 4 Agustus 2018


 Subjektif Objektif Assessment  Plan
 Nyeri pada luka KU/Kes: sedang/CM Post operasi H+4 a.i. ileus  IVFD Futrolit II + Valamin II 20 tpm
bekas operasi Tanda Vital obstruktif ec adhesi dan  Inj Vicillin 3x1500 mg
 BAB (-) TD: 110/70 mmHg HR: 72x/menit penyempitan lumen usus  Inj Ranitidin 2x1 amp IV
 Flatus (+) RR: 18x/menit S: 36,3oC  Inj Ketorolac 2x1 amp IV
Status Generalis  Diet cair
Abdomen: datar, BU (+) meningkat, timpani, terpasang  Mobilisasi jalan
balut post operasi, darah (-), nyerti tekan (+) pada luka
post operasi.
Drain: minimal, warna kemerahan
DC: 1200 cc / 24 jam warna kuning muda
(diuresis: 1 cc/kg/jam)

14
Sabtu, 5 Agustus 2018
Subjektif Objektif Assessment Plan
 Nyeri pada luka KU/Kes: sedang/CM Post operasi H+5 a.i. ileus  IVFD Futrolit II + Valamin II 20 tpm
bekas operasi Tanda Vital obstruktif ec adhesi dan  Inj Vicillin 3x1500 mg
minimal TD: 120/80 mmHg HR: 78x/menit penyempitan lumen usus  Inj Ranitidin 2x1 amp IV
 BAB (-) RR: 18x/menit S: 36,2oC  Inj Ketorolac 2x1 amp IV
 Flatus (+) Status Generalis  Diet biasa
Abdomen: datar, BU (+) meningkat, timpani, terpasang  Pulang sewaktu-waktu
balut post operasi, darah (-), nyerti tekan (+) pada luka
post operasi.
Drain: minimal, warna kemerahan
DC: 1300 cc / 24 jam warna kuning muda
(diuresis: 1,083 cc/kg/jam)

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ileus merupakan keadaan absennya motilitas fisiologi dari usus yang
menyebabkan terjadinya gangguan pasase isi usus dalam traktus gastrointestinal
(Dhupar & Ochoa, 2012). Ileus merupakan keadaan oklusi atau paralisis dari usus
yang mencegah pergerakan dari isi usus, menyebabkan adanya akumulasi di bagian
proksimal sumbatan. Kedua tipe ileus, baik obstruktif atau paralisis menyebabkan
akumulasi cairan dan gas yang mengakibatkan tekanan intra abdomen meningkat,
disfungsi mikrosirkulasi dari dinding usus, dan adanya disrupsi dari barrier mukosa.
Hal ini dapat menyebabkan perpindahan cairan, peritonitis transmigrasi dan
hipovolemik (Viz, et al., 2017).

B. Klasifikasi
Ileus secara umum diklasifikasikan sebagai dinamik (obstruktif atau mekanik)
dan adinamik (paralitik atau pseudo-obstruktif). Obstruksi atau mekanis ditandai
dengan adanya sumbatan dari usus yang menyebabkan meningkatnya kontraktilitas
usus sebagai respon fisiologis untuk mengeluarkan sumbatan. Paralitik atau pseudo-
obstruktif ditandai dengan tidak adanya kontraktilitas usus, sering dikaitkan dengan
menurunnya atau ketiadaan motilitas dari usus halus dan lambung (Fry, et al., 2016).
Ileus obstruktif dibedakan kembali berdasarkan onset, lokasi obstruksi, dan
bentuk dari obstruksi (Ellis, et al., 2016):
1) Onset
Onset dari ileus obstruktif dibedakan menjadi akut, kronis, atau acute on chronic.
Pada obstruksi akut, onset cepat dan gejala yang muncul berat. Pada obstruksi
kronis, gejala muncul secara progresif lambat (mis. karsinoma colon). Obstruksi
kronis dapat menyebabkan munculnya gejala akut apabila obstruksi menjadi
komplit secara tiba-tiba. Hal ini yang disebut dengan obstruksi acute on chronic.
2) Lokasi
Lokasi obstruksi dibedakan menjadi obstruksi letak tinggi dan letak rendah.
Obstruksi letak tinggi terjadi pada usus halus, sedangkan obstruksi letak rendah
terjadi pada usus besar atau colon.
3) Bentuk

16
Bentuk dari obstruksi dibedakan menjadi simpel atau strangulasi. Obstruksi
simpel terjadi tanpa adanya kerusakan atau penurunan suplai darah. Sedangkan
obstruksi strangulasi terjadi ketika suplai darah dari segmen usus yang
mengalami obstruksi mengalami penurunan atau sama sekali tidak mendapatkan
suplai darah. Obstruksi strangulasi terjadi pada kasus hernia strangulasi,
volvulus, intususepsi, atau adanya lilitan. Obstruksi strangulasi dapat menjadi
gangren apabila tidak ditangani segera.
Selain simpel atau strangulasi, bentuk obstruksi juga dapat dibedakan menjadi
parsial atau komplit. Cairan dan gas masih dapat melewati obstruksi parsial,
sedangkan pada obstruksi komplit terjadi hambatan total dari isi usus.

C. Etiologi
Obstruksi pada saluran apapun dalam tubuh, etiologi dibagi ke dalam tiga
kelompok antara lain (Ellis, et al., 2016):
1) Luminal
Impaksi feses, ileus ‘gallstone’, bolus makanan, parasite (mis. cacing ascaris
dalam usus halus), intususepsi.
2) Mural
Atresia kongenital, Crohn’s disease, tumor, diverkulitis dari colon, karsinoma
colon.
3) Ekstramural
Hernia strangulasi, volvulus, obstruksi karena adesi atau adanya lilitan.
Etiologi obstruksi saluran cerna juga dibagi berdasarkan kelompok usia,
antara lain (Ellis, et al., 2016):
1) Neonatus
Atresia kongenital, stenosis, anus imperforate, volvulus neonatorum,
Hirschprung’s disease, dan ileus meconium.
2) Infan
Intususepsi, Hirschprung’s disease, hernia strangulasi, dan diverticulum Meckel.
3) Dewasa
Hernia strangulasi, adesi dan lilitan, Crohn’s disease
4) Lanjut usia
Hernia strangulasi, karsinoma colon, diverticulitis kolon, impaksi feses.

17
D. Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis
Empat gejala kardinal dari obstruksi saluran cerna antara lain nyeri perut
yang bersifat colic, adanya distensi, konstipasi, dan muntah. Tidak semua gejala
muncul bersamaan pada kasus obstruksi saluran cerna (Ellis, et al., 2016).
a) Nyeri Abdomen
Nyeri merupakan gejala pertama dari obstruksi saluran cerna dan pada
umumnya bersifat colic. Pada obstruksi letak tinggi, nyeri umumnya terjadi di
regio periumbilical, dan pada obstruksi letak rendah, lebih ke arah nyeri
suprapubik (Ellis, et al., 2016)
b) Distensi
Distensi usus terutama terjadi pada obstruksi letak rendah yang bersifat kronis,
dan juga pada volvulus di colon sigmoid. Pada obstruksi letak tinggi, hanya
sebagian kecil usus yang berada di proksimal obstruksi, dan umumnya distensi
tidak terlalu jelas (Elli, et al., 2016).
c) Konstipasi
Konstipasi terjadi akibat kegagalan menyalurkan flatus atau feses. Meskipun
konstipasi merupakan tanda umum dari obstruksi akut, obstruksi kronik atau
parsial dapat disertai dengan adanya flatus meskipun jarang. Konstipasi
absolut merupakan gejala awal dari obstruksi letak rendah, tetapi merupakan
gejala akhir dari obstruksi letak tinggi (Ellis, et al., 2016)
d) Muntah
Muntah terutama terjadi di awal pada obstruksi letak tinggi, tetapi pada
obstruksi letak rendah jarang terjadi atau bahkan mungkin tidak ada gejala
muntah. Pada fase akhir dari obstruksi saluran cerna, muntah bersifat
faeculent tetapi bukan feses. Muntah faeculent ini terjadi karena dekomposisi
bakteri dari isi usus yang stagnan dan adanya peningkatan flora usus. Muntah
feses hanya terjadi pada pasien dengan fistula gastrocolic (mis. pada
karsinoma gaster, karsinoma colon, atau ulkus gaster yang mencapai colon)
(Ellis, et al., 2016).
Selain gejala atau keluhan yang dirasakan, riwayat adanya neoplasia pada
abdomen, hernia atau operasi hernia, dan adanya penyakit usus lainnya harus
ditanyakan, karena kondisi-kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya
obstruksi karena kemungkinan adanya adesi atau lilitan pasca operasi (Stoffels, et
al., 2017).

18
2) Pemeriksaan Fisik
Distensi abdomen ditemukan pada 60% pasien dengan ileus obstruktif
letak tinggi. Obstruksi pada bagian proksimal usus halus atau duodenum kurang
mengalami distensi jika dibandingkan dengan obstruksi di bagian distal. Auskultasi
abdomen akan ditemukan bunyi peristaltik yang meningkat sebagai usaha untuk
mengeluarkan obstruksi. Bunyi peristaltik usus yang menurun menandai fase akhir
dari perjalanan penyakit (Ramnarine, 2017).
Pada ileus obstruktif letak rendah, distensi abdomen menjadi tanda yang
dominan. Palpasi abdomen dapat ditemukan adanya nyeri tekan. Adanya demam,
nyeri tekan, dan dinding yang tegang menandakan peritonitis sekunder akibat
perforasi. Perforasi cenderung sering terjadi di daerah cecum karena diameter yang
lebar dan dinding yang tipis.
Pada pemeriksaan rektal dapat ditemuan adanya darah atau bekuannya,
yang menandakan adanya strangulasi atau keganasan, selain itu dapat ditemukan
juga adanya massa, yang menandakan hernia obturator. Selain itu perlu dicari tanda
iskemik atau strangulasi usus, seperti adanya demam, takikardi, dan tanda
peradangan peritoneum seperti dinding abdomen yang tegang, rebound tenderness,
nyeri seluruh lapang (Ramnarine, 2017).

Gambar 1. Gambaran kontur usus pada pasien suspek ileus obstruktif.

19
3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dari pasien yang dicurigai obstruksi harus
meliputi pemeriksaan darah rutin dan metabolik. Alkalosis metabolic karena
hipokalemik, hipokloremik dapat ditemukan pada pasien dengan kondisi muntah
yang parah. Pasien dengan dehidrasi dapat ditemukan peningkatan kadar nitrogen
urea darah, juga peningkatan hemoglobin dan level hematokrit. Jumlah leukosit
dapat meningkat apabila bakteri usus mengalami translokasi ke dalam aliran darah,
menyebabkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) atau sepsis.
Adanya kondisi asidosis metabolic disertai dengan peningkatan kadar laktat serum
dapat menandai adanya iskemia usus (Jackson & Raiji, 2011).
4) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan awal dari pasien dengan tanda dan gejala ileus obstruktif
harus meliputi foto polos abdomen. Radiografi dapat dengan cepat menentukan
apakah perforasi usus telah terjadi, dengan ditemukannya udara bebas di atas hepar,
pada posisi erect atau pada posisi left lateral decubitus. Radiografi dapat
mendiagnosis secara akurat pada 60% kasus. Tetapi pada obstruksi di duodenum
atau jejunum, hasil pemeriksaan dapat ditemukan normal. Oleh sebab itu, ketika
pemeriksaan radiologi menunjukkan hasil negatif pada pasien dengan kecurigaan
ileus obstruksi, harus dilakukan pemeriksaan CT-scan tanpa kontras (Jackson &
Raiji, 2011).
Pada pasien dengan ileus obstruksi letak tinggi, dari posisi supine dapat
ditemukan dilatasi dari usus halus, dan colon yang kosong tanpa udara. Sedangkan
pada pasien dengan ileus obstruksi letak rendah akan tampak dilatasi colon, dengan
dekompresi usus halus pada pasien dengan katup ileocecum yang kompeten. Posisi
erect atau left lateral decubitus dapat ditemukan gambaran air fluid level yang
bertingkat (Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan CT-scan merupakan pemeriksaan lanjutan pada pasien yang
dicurigai ileus obstruksi tetapi pemeriksaan foto polos abdomen belum dapat
menegakkan diagnosis. CT-scan sensitive untuk mendeteksi ileus obstruksi hingga
90%, dan memiliki keuntungan tambahan untuk mengidentifikasi sebab dan level
obstruksi. Pemeriksaan CT-scan juga dapat memberikan gambaran penyebab
seperti volvulus atau strangulasi. Hasil temuan CT-scan pada pasien dengan
obstruksi usus meliputi dilatasi usus proksimal dari lokasi obstruksi, dengan
dekompresi usus bagian distal. Adanya gambaran lokasi transisional dapat menjadi

20
panduan dalam tindakan operatif. Pada CT-scan dengan kontras, ketiadaan kontras
di rektum juga menjadi tanda dari obstruksi total (Jackson & Raiji, 2011).
Meskipun CT-scan sangat sensitif dan spesifik untuk obstruksi komplit,
tetapi CT-scan kurang baik mendeteksi obstruksi parsial. Pada pasien obstruksi
parsial, bahan kontras dapat melewati usus dan mencapai rektum, dan tidak tampak
lokasi transisional. Obstruksi parsial lebih bagus jika dideteksi dengan fluoroskopi
(Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan fluoroskopi berguna untuk mendiagnosis obstruksi parsial
pada pasien yang stabil secara klinis. Penggunaan materi kontras laarut air tidak
hanya untuk fungsi diagnostik, tetapi juga memiliki fungsi terapetik pada ileus
obstruksi letak tinggi yang parsial (Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) memiliki sensitifitas yang cukup tinggi
dalam mendeteksi obstruksi komplit, mencapai 85%. Pemeriksaan USG terutama
digunakan untuk pasien yang tidak stabil dan pada pasien yang dikontraindikasikan
terkena paparan radiasi seperti wanita hamil (Jackson & Raiji, 2011).
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) lebih sensitif
dibandingkan dengan CT-scan dalam evaluasi obstruksi. Tetapi pemeriksaan CT-
scan lebih mudah dan lebih murah, sehingga CT-scan lebih direkomendasikan
dibandingkan MRI.

Gambar 2. Dilatasi usus pada pasien ileus obstruktif, posisi supine

21
Gambar 3. Air fluid level multiple pada posisi left lateral decubitus.

Gambar 4. Gambaran CT-scan potongan aksial pada ileus obstruktif.

22
Gambar 5. Dilatasi pada colon.

Gambar 6. Dilatasi colon dan ileum karena tumor colon distal.

E. Patofisiologi
Obstruksi usus terjadi karena adanya sumbatan, dan usus di bagian distal
sumbatan akan menjadi kosong dan kolaps. Usus di atas sumbatan akan mengalami
dilasi, sebagian oleh gas dan sebagian oleh cairan yang dihasilkan oleh sekresi gaster,

23
bilier, pankreas dan dinding usus yang meningkat. Adanya obstruksi juga akan
menyebabkan meningkatnya peristalsis sebagai usaha untuk mengeluarkan sumbatan,
yang muncul sebagai nyeri colic. Karena usus yang mengalami dilasi, suplai darah ke
bagian usus yang mengalami distensi akan terganggu, dan pada beberapa kasus dapat
menyebabkan terjadinya ulserasi mukosa yang berujung pada perforasi. Perforasi juga
dapat terjadi karena adanya tekanan dari lilitan yang menyebabkan nekrosis akibat
iskemik lokal, atau dari tekanan dalam lumen usus, misal oleh massa feses (ulserasi
sterkoral) (Ellis, et al., 2016).
Pada obstruksi strangulasi, integritas dari barrier mukosa hilang karena
adanya iskemia yang progresif, sehingga bakteria dan toksin tidak lagi berada di dalam
lumen. Terjadi transudasi organisme ke dalam peritonium secara cepat, yang
menyebabkan peritonitis sekunder. Strangulasi usus yang tidak ditangani
menyebabkan terjadinya gangren dari usus yang iskemik dengan perforasi. Toksemia
terjadi karena migrasi toksin dan bakteri usus ke dalam kavitas peritoneum, baik
melalui usus yang intak tapi iskemik, atau melalui usus yang perforasi (Ellis, et al.,
2016).
Dampak berbahaya dari obstruksi usus akibat dari adanya deplesi cairan dan
elektrolit karena adanya muntah yang terus-menerus. Tekanan intra abdomen yang
meningkat juga berpengaruh pada turunnya absorpsi air dan natrium di lumen usus
sehingga terjadi penumpukan air, natrium dan kalium di lumen usus. Selain itu terjadi
edema dari dinding usus dan kebocoran protein dari sel-sel epitel usus. Kondisi
dehidrasi pada tubuh akibat muntah dan penurunan absorpsi usus, disertai dengan
kondisi usus yang stasis dapat menyebabkan overgrowth dari flora usus sehingga
terjadi feculent emesis (Jackson & Raiji, 2011).

24
Hernia Strangulata

Gangguan perfusi usus yang terjepit

infark dinding usus

gangren

Jaringan ikat: dinding


usus menebal dan kaku,
lumen sempit

Lapisan serous yang menempel pada dinding usus yang rusak akan membentuk
jar. ikat yang akan membentuk dinding tebal untuk melindungi jaringan usus
yang rusak

Adhesi

25
F. Tatalaksana
1) Resusitasi Cairan
Pasien dengan ileus obstruktif sering mengalami hipovolemik, sehingga
perlu diberikan resusitasi cairan. Apabila pasien mengalami muntah, kehilangan
cairan dan elektrolit yang dialami pasien semakin parah, dan pemasangan nasal-
gastric tube(NGT) harus dipertimbangkan. Resusitasi dan terapi suportif harus
dilakukan segera setelah pasien masuk, meskipun belum ada diagnosis kerja (Yeo
& Lee, 2013).
Pemasangan NGT berguna untuk dekompresi, dan juga untuk kepentingan
diagnostik, untuk melihat isi lambung, dan juga untuk mencegah terjadinya
pneumonia aspirasi. Adanya cairan NGT yang bersifat faeculent merupakan ciri
khas dari ileus obstruktif letak tinggi bagian distal. Selain itu dilakukan
pemasangan kateter urin untuk memonitor output urin. Output urin yang kurang
dari 0,5 ml/kg/jam menandakan adanya dehidrasi dan resusitasi cairan yang
kurang adekuat (Yeo & Lee, 2013).
2) Tindakan operatif
Ileus obstruksi letak tinggi parsial hampir 90% sembuh spontan dengan
terapi konservatif contohnya seperti obstruksi akut dari Crohn’s disease sering
mengalami perbaikan klinis dengan terapi. Obstruksi yang berasal dari impaksi
makanan, bezoar, corpus alienum atau batu empedu dapat diterapi dengan
endoskopi, ketika sumber obstruksi dapat dijangkau oleh alat endoskopi dan
didorong ke dalam usus yang lebih distal. Obstruksi mekanik kurang dari 30 hari
setelah operasi biasanya disebabkan oleh adesi dan dapat ditangani secara
konservatif karena adesi post-operatif cenderung tipis dan dapat hilang dengan
sendirinya (Cappell & Batke, 2011).
Jika obstruksi letak tinggi tidak membaik dalam 24-48 jam setelah terapi
konservatif, maka obstruksi cenderung lebih parsial dan laparotomi diindikasikan.
Menunda tindakan operatif lebih dari 24 jam pada pasien dengan gejala
strangulasi akan meningkatkan risiko mortalitas tiga kali lipat (Cappell & Batke,
2011)
Pasien dengan tanda-tanda perforasi, iskemik, atau peritonitis
membutuhkan tindakan laparotomi segera. Beberapa persiapan pre-operatif harus
dilakukan seperti resusitasi cairan, dan pemberian antibiotik profilaksis yang
mencakup bakteri aerobik dan gram negatif (Yeo &Lee, 2013).

26
Gambar 7. Algoritma Ileus Obstruktif Letak Tinggi

27
Gambar 8. Teknik operasi pada Ileus letak rendah

28
G. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas dari ileus obstruktif sering terkait dengan tindakan
operatif dan penyakit yang menyebabkan kondisi obstruksi. Komplikasi yang dapat
terjadi antara lain (Hopkins, 2017):
1) Perforasi
2) Peritonitis sekunder akibat perforasi usus
3) Sepsis
4) Abses intra abdomen akibat kebocoran anastomosis
5) Pneumonia aspirasi terutama saat muntah
6) Dehidrasi
7) Gangguan elektrolit
8) Kematian.

29
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien


ini didiagnosis sebagai Ileus Obstruksi sebagai akibat dari penyakit Hernia yang diderita
pasien sebelumnya. Terapi suportif awal yang dilakukan adalah pemasangan NGT yang
bertujuan untuk dekompresi dan mencegah aspirasi ketika operasi. Kemudian dilakukan
tindakan operatif eksplorasi laparotomi, dan ditemukan adhesi dan penyempitan lumen usus
sebagai sumber obstruksi, dilanjutkan dengan reseksi usus dan anastomosis. Setelah tindakan
operasi pasien merasa lebih baik dan dijinkan pulang pada hari perawatan keenam yakni Sabtu,
5 Agustus 2018.

30
DAFTAR PUSTAKA

Cappell MS, Batke M. Mechanical Obstruction of the Small Bowel and Colon. Medical
Clinics of North America 2011 pp: 575-597.

Dhupar R, Ochoa JB. 2012. Ileus and Mechanical Bowel Obstruction. In: Textbook of
Critical Care 6th edition. Edited by: Vincent JL, Abraham E, Moore FA, Kochanek
PM, Fink MP. Philadelphia: Elsevier Saunders.

Ellis H, Calne SR, Watson C. 2016. General Surgery Lecture Notes. Oxford: Willey
Blackwell.

Fry RD, Mahmoud NN, Maron DJ, Bleier JIS. 2016. Colon and Rectum. In: Sabiston
Textbook of Surgery 20th edition. Edited by: Townsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders.

Hopkins C. 2017. Large-Bowel Obstruction. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/774045-overview (Diakses pada: 20 Mei
2018).

Jackson PG, Raiji M. Evaluation and Management of Intestinal Obstruction. American


Family Physician 2011 Volume 83 Number 2 pp: 159-165.

Ramnarine M. 2017. Small-Bowel Obstruction. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/774140-overview (Diakses pada: 21 Mei
2018).

Viz TO, Stoffels B, Strassburg C, Schild HH, Kalff JC. Ileus in Adults: Pathogenesis,
Investigation and Treatment. Dutch Arzteblatt International 2017 Volume 114 pp:
508-518.

Yeo HL, Lee SW. Colorectal Emergencies: Review and Controversies in the Management
of Large Bowel Obstruction. Journal of Gastrointestinal Surrgeon 2013 Volume
17 pp: 2007-2012.

31

You might also like