You are on page 1of 46

BLOCK ENDOKRIN

GONDOK

Ketua : Muhammad Chairul Syah (1102016126)


Sekertaris: Repa Sulistiawati (1102016184)
Anggota : Syifa Melati Putri (1102016214)
Rianty fadiah (1102014226)
Muhammad Siswo Prabowo (1102016140)
Tuti Ulfah Zakiyyah (1102015242)
Zahra Aruma Puspita (1102016233)
Rafidah Hanina Ashil (1102016176)
Much. Hasyim Asyari (1102015142)

FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI


UNIVERSITAS YARSI
2018

.
SKENARIO 1
GONDOK

Ny.S, berusia 36 tahun, mengeluh terdapat benjolan di leher depan yang semakin membesar sejak
6 bulan yang lalu. Tidak ada keluluhan nyeri menelan. Perubahan suara ataupun gangguan
pernafasan. Pasien juga tidak mengeluh berdebar – debar, banyak berkeringat dan perubahan berat
badan. Pada leher depan sebelah kanan teraba nodul berukuran 5x4 cm, berbatas tegas, tidak nyeri
tekan dan turut bergerak saat menelan, Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan
laboratium funsgi tiroid, USG tiroid, sidik tiroid (thyroid scintigraphy) dan pemeriksaan aspirasi
jarum halus.

Hasil sitology yang diperoleh menunjukkan tidak didapatkannya sel ganas, sehingga pasien
diberikan terapi homon tiroksin sambil dimonitor fungsi tiroidnya. Pasien juga diingatkan bahwa
bila nodulnya makin membesar maka perlu dilakukan operasi tiroidektomi. Mendengar penjelasan
dokter, pasien yang merupakan seorang muslimah merasa cemas menghadapi kemungkinan akan
dilakukannya tindakan operasi.

.
KATA – KATA SULIT

1. Sidik Tiroid : Pemeriksaan untuk menilai gambaran mortologi dengan


menggunakan dengan menggunakan zat lodin.
2. Tiroiddektomi : Operasi untuk mengangkat sebagian / semua benjolan
dikelenjar tiroid.
3. Sitologi : ilmu yang mempelajari tentang sel.
4. Gondok : Pembesaran kelenjar tiroid.
5. Nodul : Benjolan pada kulit / bawa kulit yang berurukan kurang
dari 1,5cm.
6. USG Tiroid : Pemeriksaan untuk menilai bentuk / ukuran / gerakan dan
hubungan dengan jaringan sekitar kelenjar tiroid.
7. Pemeriksaan Jarum Halus : Pemeriksaan dengan aspirasi sel dan cairan dar suatu tumor
atau massa yang terdapat pada tempat yang mudah di
palpasi.
8. Hormon Tiroksin : Hormon utama kelenjar tiroid yang terdiri dari T3 & T4
yang penting dalam metabolism tubuh.

.
PERTANYAAN

1. Kenapa tidak terdapat nyeri tekan ?


2. Mengapa tidak ada keluhan nyeri menelan ?
3. Mengapa berat badan tidak menurun ?
4. Kenapa benjolan di leher depan semakin membesar ?
5. Mengapa pasien tidak berkeringat ?
6. Apa penyebab benjolan di leher ?
7. Apa faktor resiko dari penyakit ini ?
8. Apa indicator dan efek samping tiroidektomi ?
9. Mengapa diberi hormone tiroksin ?
10. Bagaimana menghadapi rasa lemas menurut pandangan islam ?
11. Apa saja yang diperiksa untuk mengetahui fungsi tiroid ?
12. Bagaimana manifestasi klinis penyakit gondok ?
13. Apa penyebab gondok ?
14. Apakah ada penatalaksanaan selain pemberian tiroksin dan tiroidektomi ?
15. Apa pemerikaaan penunjang ?
16. Apa perbedaan gondok dan gondongan ?

.
JAWABAN

1. Karena benjolannya tidak menekan organ lain ataupun saraf = N.reggesus laryngeus.
2. Tidak menekan laryng dan pharyng.
3. Karena tidak ada nyeri menelan.
4. Karena resistan hormon tiroksin dan kekurangan lodium.
5. Karena tidak hipertiroid dan metabolism menurun.
6. Defisiensilodium dan autoimun.
7. Usia, jenis kelamin (wanita lebih beresiko), faktor keturunan, menopause.
8. Efek samping : Hipoparatiroid
Indikasi : Jika terus membengkak, jika pemberian hormon tiroksin tidak adekuat.
9. Untuk mengembalikan fungsi hormon tiroksin ke keadaan normal.
10. Berdoa, sholat. tawakal, sabar, ikhlas, khuznudzon, istigfar.
11. Pemeriksaan FT3, FT4, TSH.
12. Hipotiroid : Laju metabolisme t, kontrasksi jantung t.
Hipertiroid : Berkeringat, tak, kardi, tremor.
13. Hipertiroid dan hiptiroid karena kekuranga iodium.
14. Terapi iodium, obat anti tiroid.
15. Blopsi, EKG, rontgen thoraks.
16. Gondongan : Karena infeksi virus di parotis.
Gondok : Karen kekurangan iodium.

.
HIPOTESIS

Kekurangan iodium, autoimun dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Faktor


resiko yang mempengaruhi usia, umur, jenis kelamin. Untuk mendiagnosis dilakukan Anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti biopsi, ekg dan rontgen thorax. Skenario
tatalaksana yang dapat dilakukan dengan cara terapi iodium dan antiriroid. Apabila pengobatan
tidak adekuat maka dilakukan operasi, maka pasien dianjurkan bersikap sabar.

.
SASARAN BELAJAR

1. MM kelenjar Tiroid.
1.1 Makroskopis
1.2 Mikroskopis
2. MM Fisiologis dan Blokimia Kelenjar Tiroid.
3. MM Kelainan Kelenjar Tiroid.
3.1 Definisi
3.2 Epidemiologi
3.3 Etiologi
3.4 Klasifikasi
3.5 Patofisiologi
3.6 Manifestasi Klinis
3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
3.8 Tatalaksana
3.9 Komplikasi
3.10 Prognosis
3.11 Pencegahan
4. MM Pandangan Islam Mengatasi Cemas Saat Operasi

.
1. MM kelenjar Tiroid.
1.1 Makroskopis
Tiroid adalah suatu kelenjar berbentuk kupu-kupu yang menempel seperti pelana diatas
trakea pada leher bagian depan. Kelenjar ini berkembang dari evaginasi dasar faring &
duktus tiroglosus menandai jalur perjalanan tiroid dari lidah ke leher, yang kadang-kadang
menetap sampai dewasa. Kedua lobus kelenjar tiroid pada manusia dihubungkan oleh suatu
jembatan jaringan, istmus tiroid & kadang-kadang terdapat lobus piramidalis yang muncul
dari istmus di depan laring.

Kata “thyroid” berarti organ berbentuk perisai segi empat. Kelenjar ini merupakan kelenjar
endokrin yang paling banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh capsula yang berasal dari lamina
pretracheal fascia profunda. Capsula ini melekatkan thyroid ke larynx dan trachea. Kelenjar
thyroid terletak di leher depan setentang vertebra cervicalis 5 sampai thoracalis 1, terdiri dari lobus
kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus. Setiap lobus berbentuk seperti buah pear, dengan
apex di atas sejauh linea oblique lamina cartilage thyroidea, dengan basis di bawah pada cincin
trachea 5 atau 6.
Tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan satu
dengan lainnya oleh suatu jaringan ikat. Setiap folikel dibatasi oleh epitel kubus dan diisi oleh
bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut koloid. Isthmus adalah bagian kelenjar
yang terletak di garis tengah dan menghubungkan bagian bawah lobus dextra dan sinistra (isthmus
mungkin juga tidak ditemukan). Diameter transversa dan vertical ± 1,25 cm.
Pada permukaan anterior isthmus dijumpai (dari superficial ke profunda) :
- Kulit dan fascia superficialis
- V. Jugularis anterior
- Lamina superficialis fascia cervicalis profunda
- Otot-otot : M. Sternohyoideus dan M. Sternothyroideus.

.
Permukaan posterior berhubungan dengan cincin trachea ke 3 dan 4. Pada margo superiornya
dijumpai anastomose kedua A. Thyroidea superior, lobus pyramidalis dan Levator glandulae. Di
margo inferior didapati V. Thyroidea inferior dan A. Thyroidea ima.

Vascularisasi
Sistem Arteri
a. A.Thyroidea superior, adalah cabang A. Carotis externa yang masuk ke jaringan superficial
kelenjar, mendarahi jaringan connective dan capsule.
b. A.Thyroidea inferior adalah cabang trunchus thyreocervicalis dan masuk ke lapisan dalam
kelenjar, mendarahi jaringan parenkim dan propia kelenjar.
c. A.Thyroidea ima, Arteri ini kadang-kadang dijumpai merupakan cabang arcus aorta atau A.
Brachiocephalica dan mendarahi istmus.
d. A.Thyroidea acessorius, adalah cabang-cabang A. Oesophageal dan Tracheal yang masuk ke
facies posteromedial.

Sistem Vena
a. V. Thyroidea superior; muncul dari polus superior dan berakhir pada vena jugularis interna
(kadang-kadang V. Facialis)
b. V. Thyroidea inf.; muncul dari margo bawah istmus dan berakhir pada V. Brachiocephalica
sin.
c. V. Thyroidea media; muncul dari pertengahan lobus lateralis dan berakhir di V. Jugularis int.

Aliran Lymphatic
a. Ascending Lymphatic
Media, mengalir ke prelaryngeal lymph node yang terletak pada membrane cricothyroidea.
Lateral, mengalir ke Jugulo-digastric grup dari deep cervical lymph node.
b. Descending Lymphatic
Medial, mengalir ke pretracheal grup di trachea.
Lateral, mengalir ke Gl. Recurrent chain pada N. Laryngeus recurrent.

1.2 Mikroskopis
2. Bagian yang berkaitan dengan pembentukan hormone tiroid terdiri dari asinus (folikel)
multiple. Masing-masing folikel sferis dikelilingi oleh suatu lapisan sel terpolarisasi &
diisi oleh bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut koloid. Koloid
terutama terdiri dari glikoprotein, tiroglobulin. Saat kelenjar tidak aktif, koloid berjumlah
banyak, folikel berukuran besar & sel-sel yang membatasinya tipis. Bila kelenjar aktif,
folikel menjadi kecil, sel-selnya kuboid / kolumnar & daerah tempat koloid diserap
secara aktif ke dalam tirosit tampak sebagai “lacuna reabsorpsi”.
3. Dari apeks sel tiroid terdapat mikrovili yang menonjol ke dalam koloid, dan di dalam
mikrovili terdapat kanalikuli. Reticulum endoplasma tampak menonjol, suatu gambaran
yang lazim terdapat pada sebagian besar sel kelenjar, dan tampak granula sekretorik yang
mengandung tiroglobulin. Masing-masing sel tiroid terdapat diatas lamina basalis yang

.
memisahkan sel-sel ini dari kapiler di sekitarnya. Kapiler mengalami fenestrasi
(berlubang-lubang) seperti kapiler di kelenjar endokrin lain
4.

5.

6.
7.
8. Kelenjar tiroid terdiri dari lobus-lobus, masing-masing lobus mempunyai ketebalan lebih
kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus tersusun oleh 30 – 40 sel
folikel (thyrocyte) dan parafolikuler. Unit struktural dari tiroid adalah folikel, yang
tersusun rapat, berupa ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk
gepeng, kubus sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini
dipengaruhi oleh aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar
dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau
kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel
menjadi kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid.
9. Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen eosinofilik. Variasi
densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan gambaran fungsional yang
signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan dengan aktivitas fungsional,
sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam keadaan
inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui
penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma
banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai
oncocytes (bulky cells) atau Hürthle cells.
10. Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan
pelepasannya dalam sirkulasi. Zat koloid, triglobulin, merupakan tempat hormon tiroid
disintesis dan pada akhirnya disimpan. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh
folikel-folikel adalah tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain

.
dalam kelenjar tiroid yaitu sel parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan
berhubungan dengan membran folikel, sel ini mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon
yang dapat merendahkan kadar kalsium serum dan dengan demikian ikut berperan dalam
pengaturan homeostasis kalsium.
11. Tiroksin (T4) mengandung empat atom yodium dan triiodotironin (T3) mengandung tiga
atom yodium. T4 disekresi dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan T3, tetapi
apabila dibandingkan milligram per milligram, T3 merupakan hormon yg lebih aktif
daripada T4.

12. MM Fisiologis dan Blokimia Kelenjar Tiroid.


Sintesis Hormon Tiroid

Biosinteis hormon tiroid dimulai dengan pengambilan unsur yodium dari plasma dan
berakhir dengan sekresi ke darah, menmpuh beberapa langkah, yakni: trapping, oksidasi
dan yodinisasi, coupling, penyimpanan, deyodinisasi, proteolisis dan sekresi hormone.
Langkah-langkah sintesis hormon tiroid:
1. Tahap pengambilan yodium dari plasma (trapping)
Tahap ini merupakan tahap pengambilan yodium dari plasma yang merupakan
transport aktif, berhubungan dengan Na, K ATP-ase melalui Na-Iodine symporter
(NIS) yang terletak di membran basalis sel folikel. Proses ini dipicu oleh TSH
sehingga mampu meningkatkan konsentrasi yodium intrasel lebih tinggi dibanding
kadar ekstrasel. Dan dipengaruhi juga oleh tersedianya yodium dan aktivitas tiroid.

.
Beberapa anion menghambat pompa yodium, dengan urutan paling kuat:
Pertechnetate (TcO4), NO2, dan Br. Ada bahan lain yang menghambat, yaitu SCN-
(tiosanat) dan ClO4- (perklorat). Perklorat sering digunakan untuk diagnosis defek
yodinisasi yang bersifat kongenital.

2. Oksidasi dan Yodisasi (Organifikasi)


Proses ini terjadi di apeks yang melibatkan iodide, Tg (tiroglobulin) TPO
(tiroperoksidase, atau biasa disebut protein kunci) dan H2O2 (hydrogen
peroksida). Produksi H2O2 membutuhkan kalsium, NADPH, dan NADPH
oksidase.
Intraseluler, iodine mengalami proses okisdasi oleh H2O2 dan TPO dan
selanjutnya bergabung dengan residu tyrosil (yodinasi tyrosil) yang merupakan
residu Tg, membentuk monoiodotirosin (MIT) dan Diiodotirosine (DIT) dengan
perantaraan enzim TPO. 1 MIT dan 1 DIT akan membentuk grup diiodofenil DIT
dan MIT akseptor dan menghasilkan T3. Sedangkan 2 DIT akan membentuk grup
diiodofenil DIT donor dan DIT akseptor yang menghasilkan T4. Kedua proses tadi
dibantu oleh diphenyl ether link.

3. Proses Coupling
Setelah proses trapping, tiroglobulin akan dikembalikan ke ekstrasel yaitu lumen
folikel tiroid yang akan dikeluarkan apabila dibutuhkan. Sehingga T3 dan T4
hanya sepertiga dari yodium yang ada, dan MIT dan DIT dua per tiga dari yodium
yang ada.Selanjutnya hormon tiroid yang sudah selesai dibentuk ini dibentuk
dalam thyroglobuline dilumen folikel tiroid.

4. Proteolisis
Bila diperlukan dengan stimulasi TSH terjadi proteolisis Tg untuk melepaskan
hormon tiroid ke dalam sirkulasi bebas. Proteolisis Tg melepaskan hormon tiroid
dalam bentuk T3 dan T4 kedalam sirkulasi bebas, sedangkan Tg-MIT dan Tg-DIT
mengalami deyodinasi kembali dan iodidanya masuk kembali ke simpanan yodium
intratiroid sebagai cadangan yodium. Sebagian besar hormon yang disekresikan
dalam bentuk T4 (100nmol/hari), sejumlah kecil dalam bentuk T3 (5nmol/hari).
Kelenjar tiroid juga mensekresi calsitonin yang diproduksi oleh sel C.
Gangguan sintesis hormon tiroid merupakan penyebab yang jarang untuk
terjadinya hipotiroidisme kongenital. Kelainan paling sering disebabkan adanya
mutasi resesif pada TPO atau Tg, tetapi dapat pula terjadi gangguan pada TSH-
R, NIS, pendrin, dan hidrogen peroksidase. Karena adanya gangguan biosintesis,
kelenjar tidak mampu memproduksi hormon sehingga menimbulkan peningkatan
TSH dan pembesaran struma.

TSH mengatur fungsi kelanjar tiroid melalui TSH-R, suatu reseptor transmembran
G- protein-coupled (GPCR) sehingga mengaktifkan adenylyl cyclase sehingga
meningkatkan produksi cyclic AMP. Berbagai growth factor yang diproduksi oleh kelenjar
tiroid juga mempengaruhi sintesis hormon tiroid, termasuk insulin like growth factor ( IGF-
1), epidermal growth factor, transforming growth factor β (TGF- β), endotelin, dan

.
berbagai sitokin. Sitokin dan interleukin ( IL) tertentu dihasilkan dan berhubungan dengan
penyakit tiroid autoimun, sedangkan yang lain berhubungan dengan apoptosis. Adanya
defisiensi iodin akan meningkatkan aliran darah tiroid dan mempengaruhi NIS untuk
melakukan pengambilan lebih efektif.

Sekresi Hormon Tiroid

T4 disekresi 20x lipat lebih banyak daripada T3. Kedua hormone ini diikat oleh
protein pengikat dalam serum (binding protein). Hanya 0,35% T4 total dan 0,25% T3 total
dalam keadaan bebas. Walaupun T3 lebih sedikit, dan ikatannya kurang kuat disbanding
T4, T3 memiliki efek hormone lebih kuat dan turn overnya cepat sehingga sangat penting.
Kadar normal T4 ± 80-100 mg, sedangkan T3 ± 26-39 mg, dan 30-40% T3 endogen
berasal dari konversi ekstratiroid T4.

Ikatan hormon dari yang terlemah: Albumin, TBPA (thyroxin binding pre-albumin)
/ TTR (transtirenin) dan paling kuat TBG (thyroxin binding globulin). Walaupun
konsentrasinya rendah, TBG sangat diperlukan karena afinitasnya yang tinggi. Kadar
yodotironin total menggambarkan kadar hormone bebas, namun jumlah binding protein
bisa berubah
TBG membawa 80% dari jumlah hormone, TTR membawa 10% T4 tetapi hanya sedikit
T3, dan albumin (konsentrasi paling banyak) membawa 10% T4 dan 30% T3. Karena
kadar T3 kurang afinitasnya, maka T3 bebas banyak dan hanya hormone bebas yang
biologis aktif bisa ke jaringan.

Transportasi hormone berubah pada keadaan :

MENINGKAT MENURUN
Neonatus Sakit berat
Pemakaian estrogen (termasuk Obat : salisilat, hidantonin, fenklofenak
kontrasepsi oral estrogen) → mengikat protein → binding protein
sedikit
Pemakaian kortikosteroid Sindrom nefrotik
Kehamilan Pemakaian androgen dan steroid
anabolic
Penyakit hati kronik dan akut → Penyakit hati dan ginjal kronik
sintesis di hati meningkat

.
Mekanisme Umpan Balik

Waktu paruh T4 di plasma: 6 hari, T3: 24-30 jam. T4 endogen anan korvesi lewat
proses monodeyodinisasi menjadi T3. Jaringan yang mampu mengonversi: hati, ginjal,
jantung, dan hipofisis. Dalam proses konversi, terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3,5’
triiodotironin) yang secara metabolik tidak aktif, tetapi mengatur metabolik secara seluler.
Ada 3 macam deyodinase:
1. DI: konversi T4 à T3 di perifer (tidak berubah saat hamil)
2. D II: konversi T4 à T3 di local (terjadi di plasenta, otak, SSP dan penting untuk
pertahanan T3 lokal)
3. D III: konversi T4 menjadi rT3 dan T3 à T2 (terjadi di plasenta, sehingga hormone
ibu ke fetus menurun)
Penurunan konversi bisa pada saat fetal, restriksi kalori, penyakit hati, penyakit
sistemik berat, defisiensi selenium, pengaruh obat (propiltiourasil, glukokortikoid,
propranolol, amiodaron, atau bahan kontras seperti asam yopanoat dan natrium ipodas).

LO.2.4 Memahami dan Menjelaskan Fungsi Hormon Tiroid


Efek metabolik:
1. Termoregulasi dan kalorigenik.
Mengatur panas dengan cara meningkatkan panas saat metabolisme tiroid juga
meningkat.
2. Metabolisme karbohidrat

.
Glukosa memberi efek diabetogenik yaitu resorpsi intestinal meningkat, cadangan
glikogen hati menurun, glikogen hati menurun, degradasi insulin meningkat. Bila
glukosa berubah menjadi glikogen (pada gluconeogenesis) maka hormon tiroid
berkurang dan bila glikogen diubah menjadi glukosa (gluconeogenesis) maka
hormone akan meningkat. Hipertiroidisme akan meningkatkan glukoneogenesis
dan glikogenolisis dan juga absorbsi glukosa di usus.
3. Metabolisme protein
Bersifat anabolic untuk sintesis protein dan katabolic untuk penguraian protein bila
hormon berlebihan.
4. Metabolisme lipid
Sintesis kolestrol akan meningkat tetapi degradasi kolestrol dan ekskresi lewat
empedu akan lebih cepat. Kolestrol yang berlebihan akan menyebabkan
hipertiroidisme (hipofungsi tiroid) dan kekurangan kolestrol juga akan
menyebabkan hipotiroidisme (hipofungsi tiroid).
5. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati sehingga pada hipotiroid bisa
terjadi karotenemia dan kulit kuning.

Efek fisiologis :
1. Perkembangan fetus
Sebelum minggu ke-11: D III berlebihan, sehingga plasenta tidak dimasuki oleh
hormon dan menyebabkan bayi kretin (retardasi mental dan cebol). Namun
setelah minggu ke-11, tiroid dan TSH aktif sehingga fT3 dan T4 melewati plasenta
dan membantu perkembangan awal otak fetus.
2. T3 akan dirangsang lewat Na-K-ATPase di jaringan, kecuali otak, testis, dan limpa
untuk:
o meningkatkan basal metabolic rate (BMR) sebagai regulator utama
o menurunkan kadar superoksida dismutase sehingga radikal bebas anion
superoksida meningkat
o konsumsi O2 (pada hipotiroid, kebutuhan O2 meningkat sehingga
eritropoesis meningkat
3. Kardiovaskular
T3 akan menstimulasi transkripsi retikulum sarkoplasma Ca2+ATPase sehingga
meningkatan waktu relaksasi diastolik, depolarisasi dan repolarisasi SA sehingga
meningkatkan denyut jantung. Hormon tiroid juga akan meningkatan sensitivitas
adrenergik, menurunkan resistensi vaskular.
4. Simpatis
Hormon tiroid akan meningkatkan respeptor β adrenergik pada jantung dan otot
skeletal, jaringan lemak, dan limfosit serta meningkatkan sensitivitas katekolamin.
5. Gastrointestinal
Hormon tiroid akan meningkatkan motilitas usus dan terkadang menyebabkan
diare.
6. Skeletal
Hormon tiroid akan menstimulasi turn over tulang, meningkatkan resorpsi tulang
serta pembentukannya. Sehingga pada hipertiroidisme, bisa terjadi osteopenia
dan pada hiperkalsemia terjadi hiperkalsiuria.
7. Neuromuskular

.
Pada hipertiroidisme akan terjadi peningkatan turn over dan hilangnya protein
pada otot sehingga terjadi miopati proksimal. Terjadi pula peningkatan kontraksi
dan relaksasi otot sehingga terjadi hiperrefleksia.
8. Endokrin
Hormon tiroid mempengaruhi produksi, respon, dan bersihan berbagi hormon.
Pada anak dengan hipotiroidisme akan terjadi gangguan hormon pertumbuhan,
menghambat puberitas dengan menganggu GnRH. Hipotiroidisme dapat
menimbulkan hiperprolaktinemia. Pada hipertiroidisme terjadi peningkatan
aromatisasi androgen menjadi estrogen sehingga dapat terjadi ginekomastia.
9. Pertumbuhan
GH (growth hormone) dan IGF-1 (Somatomedin, mirip insulin) akan menyebabkan
pertumbuhan tulang dan protein structural baru. Bila GH terhambat, maka harus
terapi sulih tiroid, namun bila berlebihan masih tidak masalah.

Peranan Yodium dalam Kelenjar Tiroid


Kelenjar thyroid membutuhkan iodine untuk membuat hormon thyroid. Hormon ini
mengatur pertumbuhan dan metabolisme tubuh dan penting dalam perkembangan otak
bayi dan anak kecil. Tanpa iodine yang cukup, kelenjar thyroid tidak dapat memproduksi
hormon yang cukup dan dapat menyebabkan masalah yang serius.

Kelainan defisiensi iodine dapat terjadi di semua usia, tetapi bayi yang paling
berisiko. Bayi yang kadar iodinenya tidak tercukupi akan mengalami gangguan intelektual
dan perkembangan fisik. Kadang, retardasi mental (kretinism) berkembang mengikuti
defisiensi iodine selama masa perkembangan awal. Iodine dapat menyebabkan bengkak
pada kelenjar thyroid (Goiter), kondisinya disebut dengan hypotiroid). Ciri hypothyroid
adalah lelah, denyut jantung lemah, kulit kering, nyeri otot dan sendi, depresi, konstipasi.

Pembesaran thyroid atau Goiter merupakan salah satu tanda awal defisiensi
iodine yang dapat dilihat. Thyroid membesar sebagai respon dari stimulasi TSH yang
persisten. Efek dari defisiensi iodine menurut masa perkembangan:
a. Perkembangan prenatal
Defisiensi iodine pada fetus disebabkan oleh defisiensi iodine pada ibu. Efek
yang paling berbahaya adalah hypothyroidisme kongenital. Hypothyroidisme
kongenital berat dapat menjadi kondisi kretinisme dan berakhir menjadi
retadarsi mental yang ireversibel.
b. Bayi baru lahir dan balita
Masa balita adalah masa pertumbuhan dan perkembangan otak. Kurangnya
hormone thyroid, yang bergantung pada intake iodine, sangat esensial bagi
perkembangan otak normal. Meskipun tidak terdapat hypothyroidisme
kongenital, defisiensi iodine selama masa balita dapat menghasilkan
perkembangan otak yang abnormal dan lama-lama dapat merusak
perkembangan intelektual
c. Anak-anak dan Dewasa muda
Defisiensi Iodine pada masa anak dan dewasa berhubungan dengan goiter.
Anak sekolah dalam lingkungan yang defisiensi iodine menunjukkan tempat
sekolah yang buruk, IQ yang rendah dan keadaan belajar yang tidak bagus.

.
d. Dewasa
Defisiensi iodine pada dewasa dapat menyebabkan goiter dan
hypothyroidisme. Gejalanya adalah gangguan fungsi mental, lemas, naik berat
badan, tidak tahan dingin dan konstipasi.
e. Masa kehamilan dan menyusui
Kebutuhan iodine meningkat pada masa kehamilan dan menyusui. Dapat
menyebabkan keguguran, dan kelainan saat melahirkan. Defisiensi iodine
berat selama kehamilan dapat menyebabkan hypothyroidisme yang kongenital
dan deficit neurokognitif. Defisiensi iodine pada ibu menyusui dapat
menyebabkan kurangnya kadar iodine pada anaknya dan menyebabkan
defisiensi iodine.

13. MM Kelainan Kelenjar Tiroid.


13.1 Definisi

Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja secara berlebihan,
sehingga menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid. Hipertiroid dapat ditemukan dalam
bentuk penyakit graves, gondok noduler toksik atau hipertiroidisme sekunder.
Hipotiroidisme ialah sekresi tiroid yang tidak adekuat selama perkembangan janin dan
neonatus yang nantinya akan menghambat pertumbuhan fisik dan mental (kretinisme), karena
penekanan aktivitas metabolic tubuh secara umum.
Eutiroid adalah keadaan dimana besar dan fungsi kelenjar gondok dalam keadaan normal.
Hipertiroid, berarti kelenjar gondok bekerja meleb ihi kerja normaal sehingga biasanya
kelenjar gondok membesar dan juga akan didapatkan hasil laboratorium untuk hormon TSH,
T3 dan T4 yang berada di atas ambang normal.
Istilah nodul thyroid sering digunakan pula istilah adenoma thyroid. Istilah adenoma
mempunyai arti yang lebih spesifik yaitu suatu pertumbuhan jinak jaringan baru dari struktur
kelenjar, sedangkan istilah nodul tidak spesifik karena dapat berupa kista, karsinoma, lobul
dari jaringan normal, atau lesi fokal lain yang berbeda dari jaringan normal.

13.2 Epidemiologi

Hipertiroidisme
Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari berbagai
klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1 : 1 di
RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1 dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan
distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 – 30 tahun
(41,73%), tetapi menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30–40 tahun. Jumlah
penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1960 diperkirakan 200 juta, 12 juta di
antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik
di Indonsia berkisar antara 44,44% — 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar
gondok. Di AS diperkirakan 0,4% populasi menderita hipertiroid, biasanya sering pada usia di
bawah 40 tahun.

.
Hipotiroidisme
Insidens berbagai penyebab hipotiroidisme akan berbeda-beda tergantung faktor-faktor
geografis dan lingkungan seperti diet iodida dan asupan bahan-bahan goitrogenik, ciri-ciri
genetika dan populasi dan distribusi umur populasi (anak atau dewasa). Hipotiroidisme
terutama terjadi pada usia setelah 40 tahun. Sesudah 65 tahun prevalensinya meningkat sebesar
10% pada wanita dan 83% pada pria.

Nodul tiroid

Prevalensi nodul tiroid bervariasi menurut negara dan kawasan yang berbeda, prevalensi
nodul tiroid meningkat sesuai dengan umur dengan puncaknya pada usia antara 20-40 tahun,
keterpajanan terhadap radiasi pengion dan defisiensi iodium. Penderita wanita lebih banyak
dari pria, ratio pria terhadap wanita adalah 1:2-4. Belum ada data epidemiologi mengenai
prevalensi nodul tiroid diberbagai daerah di Indonesia yang dikenal memiliki tipologi
geografis dan konsumsi iodium yang bervariasi.

13.3 Etiologi
 Hipotiroid
1. Waktu kejadian
a. Kongenital
Agenesis ataudisgenesis kelenjar tiroid atau gangguan sintesis hormon tiroid.
Disgenesis kelenjar tiroid berhubungan dengan mutasi pada gen PAX 8 dan thyroid
transcription factor 1 dan 2.
b. Akuisital
Tiroiditis autoimun yang sering disebut tiroiditas Hashimoto.Peran autoimun pada
penyakit ini didukung adanya gambaran infiltrasi limfosit pada kelenjar tiroid dan
adanya antibodi tiroid dalam sirkulasi darah. Hipotiroid akuisital juga
dapatdisebabkan oleh jejas pada kelenjar tiroid sebelumnya oleh karena operasi atau
radiasi (misalnya : radioterapi eksternal pada penderita head and neck cancer, terapi
yodium radioaktif pada tirotoksikosis, paparan yodium radioaktif yang tidak
disengaja.
2. Disfungsi organ yang terjadi
a. Primer
Defek pada kelenjar tiroid itu sendiri yang berakibat penurunan sintesis dan sekresi
hormon tiroid.
b. Sentral
Berhubungan dengan penyakit penyakit yang mempengaruhi produksi hormone
thyrotropin releasing hormone (TRH) oleh hipothalamus atau produksi
tirotropin(TSH) oleh hipofisis.
b.1 Sekunder bila kelainannya terjadi di hipofisis
b.2 Tersier bila kelainannya terjadi di hipotalamus
3. Jangka waktu
a. Transient
Penggunaan obat obatan yang mempengaruhi produksi hormon tiroid (mis :
amiodaron, lithium, interferon). Hipotiroid transient juga ditemukan pada dua

.
kondisi peradangan yaitu tiroiditis subakut (deQuervain’s thyroiditis) dan tiroiditis
limfositik (tiroiditis post partum).
b. Permanent
4. Gejala yang terjadi
a. Bergejala/ klinis
b. Tanpa gejala/ subklinis

Kondisi di mana kadar serum T4 dan T3 dalam batas normal, tetapi ada kegagalan tiroid ringan
yangditandai dengan peningkatan kadar TSH. Kondisi ini sering juga disebut sebagai hipotiroid
kompensata, hipotiroid tahap awal, hipotiroid laten, hipotiroid ringan, hipotiroid simptomatik
minimal, atau hipotiroid preklinik

 Hipertiroid
Dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Hipertiroid Primer : Terjadinya hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid itusendiri,
contohnya :
a. Grave’s disease
b. Functioning adenoma
c. Toxic multinodular goiter
d. Tiroiditis
2. Hipertiroid Sekunder : Jika penyebab hipertiroid berasal dari luar kelenjar
tiroid,contohnya :
a. Tumor hipofisis
b. Pemberian hormone tiroid dalam jumlah besar
c. Pemasukan iodium berlebihan

 Struma
 Struma non toxic nodusa
Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi
pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Kekurangan iodium:
Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50
mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d
dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
c. Goitrogen :
- Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants
yang mengandung yodium
- Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal
dari tambang batu dan batubara.
- Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
d. Dishormonogenesis:
Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid

.
e. Riwayat radiasi kepala dan leher :
Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan
maligna

 Struma Non Toxic Diffusa


a. Defisiensi Iodium
b. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) dengan penurunan pelepasan hormon
tiroid.
d. Stimulasi reseptor TSH dari tumor hipofisis
e. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
f. Terpapar radiasi
g. Penyakit deposisi
h. Resistensi hormon tiroid
i. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
j. Silent thyroiditis
k. Agen-agen infeksi
l. Suppuratif Akut : bacterial
m. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
 Struma Toxic Nodusa
a) Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
b) Aktivasi reseptor TSH
c) Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
d) Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like
growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor

 Struma Toxic Diffusa


Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang
merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya
13.4 Klasifikasi

GOITER TOKSIK DIFUSA (Penyakit Graves)


Penyakit Graves adalah bentuk tirotoksikosis yang paling umum dan dapat terjadi pada
segala umur, lebih sering pada wanita dengan pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari
hal-hal ini : (1) tirotoksikosis (2) goiter (3) oftalmopati (eksoftalmos) dan (4) dermopati
(miksedema pretibial).
Keadaan-keadaan yang Berkaitan dengan Tirotoksikosis
1. Toksik goiter difusa (penyakit Graves)
2. Toksik adenoma (penyakit Plummer)
3. Toksik goiter multinodular
4. Tiroiditis subakut
5. Fase hipertiroid pada tiroiditis Hashimoto
6. Tiroksikosis factitia

.
7. Bentuk tirotoksikosis yang jarang: struma ovarium, metastasis karsinoma tiroid (folikular),
mola hidatidiformis, tumor hipofisis yang mensekresi TSH, resistensi hipofisis terhadap
T3 dan Ta.

Klasifikasi Hipertiroidisme berdasarkan penyebab


Hipertiroidisme Tirotoksikosis tanpa
Hipertiroidisme Primer
Sekunder Hipertiroidisme
1. Grave’s disease 1. hormon tiroid
2. Gondok multinodula 1. TSH secreting tumor berlebihan
toksik chGH 2. tiroiditis subakut
3. Adenoma toksik 2. Tirotoksikosis gestasi 3. silent thyroiditis
4. Obat: yodium lebih, litium trimester pertama 4. destruksi kelenjar
5. Ca tiroid yang berfungsi 3. resistensi hormon tiroid 5. adenoma, infark,
6. Struma ovarii radiasi

Nodul Tiroid
1. Berdasarkan jumlah nodul .
Bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari
satu disebut struma multinodosa.

.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium aktif, dikenal 3 bentuk nodul tiroid yaitu :
nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas.
3. Berdasarkankonsistensinya:
Nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.

13.5 Patofisiologi
HIPOTIROIDISME
1. Hipotiroidisme sentral (HS)
Keluhan klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi
juga karena produksi hormon yang berlebih, penyakit Cushing, hormon pertumbuhan
akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria).Urutan kegagalan
hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH,
hormon hipofisis lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid.Hormon berkurang akibat anatomi
kelenjar.Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme
kongenital di negara barat.Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan
tiroid dapat terjadi karena:
a) Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total.
Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme.
Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40%
mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat
proses autoimun yang mendasarinya.
b) Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari 40-
50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus
toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga dapat terjadi pada radiasi
eksternal di usia <20 tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26 tahun pascaradiasi, namun
tergantung juga dari dosis radiasi.
c) Tiroiditis autoimun
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid,
yaitu antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, Atg-Ab).
Kerusakan yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi
toksin, yodium, hormon (estrogen meningkatkan respon imun, androgen dan supresi
kortikosteroid), stres mengubah interaksi sistem imun dengan neuroendokrin. Pada
kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat
tiroiditis Hashimoto tidak permanen.
3. Tiroiditis Subakut(De Quervain)
Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Akibat nekrosis jaringan, hormon merembes
masuk sirkulasi dan terjadi tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme). Penyembuhan didahului
dengan hipotiroidisme sepintas.
4. Dishormogenesi

.
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormogenesis. Keadaan ini
diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus sudah dapat ditemukan pada
skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan, baru pada usia lanjut.
5. Karsinoma. Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.

HIPERTIROIDISME
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari
ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke
dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan
pembesaran kelenjar.Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat
dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan -bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut
TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran yang
sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi
cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme.Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini
mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam,
berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid
yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar
hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar batas,
sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.Gejala
klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon
tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal.
Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme
mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot
sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan
frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang
abnormal.Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon
tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi
autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya
bola mata terdesak keluar.

STRUMA
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur
dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor
Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan
struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase
ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma.

.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan
produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel
kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan
terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon
tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk
stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten
terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang
memproduksi human chorionic gonadotropin

13.6 Manifestasi Klinis


Hipertiroidisme (pembentukan hormone tiroid yang berlebihan)
1) Penyakit Graves
Pada penyakit ini terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu:
 Tirodial
Lelah, tremor, tidak tahan nafas, keringan semakin banyak apabila panas, kulit
lembab, berat badan menurun disertai nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardia,
diare, kelemahan & atrofi otot.

 Ekstratirodial
Mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), kegagalan konvergensi, eksoftalmos
dengan edema periorbital
 Goiter nodular toksik
Aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapiterapi digitalis, berat badan
menurun, lemah, atropi otot, mata melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata
berkurang. Tidak terdapat manifestasi dramatis oftalmopati infiltratif seperti yang
terlihat pada penyakit graves

Hipotiroidisme (defisiensi hormone tiroid)


1) Hipotiroidisme dewasa/miksidema dan Hipotiroidisme juvenius
- Lelah
- Suara parau
- Tidak tahan dingin dan sedikit berkeringat
- Kulit dingin dan kering
- Wajah bengkak
- Gerakan lamban
- Relaksasi lambat dari reflex tendon
- Pada perempuan sering mengeluh hipermenore
2) Hipotiroidisme kongenital/kreatinin
- Ikterus fisiologik yang menetap
- Tangisan parau
- Konstipasi
- Somnolen
- Kesulitan makan

.
- Anak menunjukkan ksulitan untuk mencapai perkembangan normal
- Tubuh pendek
- Lidah menjulur keluar
- Mata yang jaraknya jauh
- Rambut jarang
- Kulit kering
- Perut menonjol
- Hernia umbilikalis
Gejala dini hipotiroid tidak spesifik, namun terdapat tanda-tanda dan gejala yang
meliputi:
a. Kelelahan yang ekstrim
b. Kerontokan rambut
c. Kuku rapuh
d. Kulit kering
e. Rasa baal
f. Parestasia pada jari-jari tangan
g. Suara kasar atau parau
h. Gangguan haid (menoragia atau menorrhea) disamping hilangnya libido
Pada hipotiroid berat mengakibatkan:
a. Suhu tubuh dan frekuensi nadi subnormal
b. Kenaikan berat badan
c. Kulit menjadi tebal
d. Rambut menipis dan rontok
e. Wajah tampak tanpa ekspresi dan mirip topeng
f. Rasa dingin meski lingkungan hangat
g. Apatis
h. Konstipasi
i. Kenaikan kadar kolesterol serum, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, fungsi
ventrikel kiri jelek.

Pada hipotiroidisme lanjut dapat menyebabkan dimensia disertai perubahan kognitif


dan kepribadian yang khas.Respirasi dan apnea dapat terjadi.Serta efusi pleura dan efusi
pericardial.
Koma miksedema menggambarkan stadium hipotiroidisme yang paling ekstrim dan
berat, dimana pasien mengalami hipotermi dan tak sadarkan diri.

Nodul Tiroid
1. Pembengkakan, mulai dari ukuran sebuah nodul kecil untuk sebuah benjolan besar, di
bagian depan leher tepat di bawah Adam’s apple.
2. Perasaan sesak di daerah tenggorokan.
3. Kesulitan bernapas (sesak napas), batuk, mengi (karena kompresi batang tenggorokan).
4. Kesulitan menelan (karena kompresi dari esofagus).
5. Suara serak.
6. Distensi vena leher.
7. Pusing ketika lengan dibangkitkan di atas kepala

.
8. Kelainan fisik (asimetris leher)

Dapat juga terdapat gejala lain, diantaranya :


1. Tingkat peningkatan denyut nadi
2. Detak jantung cepat
3. Diare, mual, muntah
4. Berkeringat tanpa latihan
5. Goncangan
6. Agitasi
13.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

1. Anamnesis
Ditanyakan apakah ada manifestasi klinis dari yang tertera diatas, obat atau terapi apa yang
sudah pernah dilakukan. Dan apakah pernah terjadi penyakit yang sama pada keluarga
Indeks Wayne :
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau
No. Nilai
Bertambah Berat
1. Sesak saat kerja +1
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +3
4. Suka udara panas -5
5. Suka udara dingin +5
6. Keringat berlebihan +3
7. Gugup +2
8. Nafsu makan naik +3
9. Nafsu makan turun -3
10. Berat badan naik -3
11. Berat badan turun +3

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada
posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta
untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.

b. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam
posisi fleksi.Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

No Tanda Ada Tidak


1. Tyroid Teraba +3 -3
2. Bising Tyroid +2 -2

.
3. Exoptalmus +2 -
4. Kelopak Mata Tertinggal +1 -
Gerak Bola Mata
5. Hiperkinetik +4 -2
6. Tremor Jari +1 -
7. Tangan Panas +2 -2
8. Tangan Basah +1 -1
9 Fibrilasi Atrial +4 -
10. Nadi Teratur
<80 x/menit - -3
80-90 x/menit - -
>90 x/menit +3 -

Interpretasi hasil :
 Hipertiroid : ≥ 20
 Eutiroid: 11 – 18
 Hipotiroid : <11

3. Pemeriksaan Laboratorium
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantaraan tes-tes fungsi
hormone tiroid. Tes-tes berikut ini sekarang digunakan untuk mendiagnosis penyakit
tiroid:
a. Kadar Tiroksin dan triyodotironin serum diukur dengan radioligand assay. Pengukuran
termasuk hormon terikat dan hormon yang bebas.Kadar normal tiroksin adalah 4
sampai 11 mg/dl; untuk triyodotironin kadarnya berkisar dari 80 sampai 160 mg/ dl.
Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik
aktif.
b. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik; nilai normal dengan
assay generasi ketiga, berkisar dari 0,02 hingga 5,0 mU/ml. Kadar TSH plasma sensitif
dan dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Terdapat kadar yang tinggi pada
pasien dengan hipotiroidisme primer, yaitu pasien yang memiliki kadar tiroksin rendah
akibat timbal balik peningkatan pelepasan TSH hipofisis. Sebaliknya, kadar akan
berada di bawah normal pada pasien dengan peningkatan autonom pada fungsi tiroid
(penyakit Graves, hiperfungsi nodul tiroid) atau pada pasien yang menerima dosis

.
penekan hormon tiroid eksogen. Dengan adanya assay radioimunometrik yang sangat
sensitif terhadap TSH, uji ini sendiri dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang
diduga memiliki penyakit tiroid.
c. Beberapa uji dapat digunakan untuk mengukur respons metabolik terhadap kadar
hormon tiroid dalam sirkulasi namun uji-uji ini tidak digunakan secara rutin dalam
menilai fungsi tiroid secara klinis. Uji-uji ini terdiri dari laju metabolisme basal (BMR)
yang mengukur jumlah penggunaan oksigen pada keadaan istirahat; kadar kolesterol
serum; dan tanda respons refleks tendon Achilles. Pada pasien dengan hipotiroidisme,
BMR menurun dan kadar kolesterol serumnya tinggi.Refleks tendon Achilles
memperlihatkan relaksasi yang lambat. Keadaan sebaliknya ditemukan pada pasien
dengan hipertiroid.
d. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI ) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar
tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida. Pasien menerima dosis RAI yang akan
ditangkap oleh tiroid dan dipekatkan setelah melewati 24 jam. Kemudian radioaktivitas
yang ada dalam kelenjar tiroid tersebut dihitung. Normalnya, jumlah radioaktif yang
diambil berkisar dari 10% hingga,35% dari dosis pemberian. Pada hipertiroidisme
nilainya tinggi dan akan rendah bila kelenjar tiroid ditekan.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hipotiroid
 T3 dan T4 serum rendah
 TSH meningkat pada hipotiroid primer
 TSH rendah pada hipotiroid sekunder
- Kegagalan hipofisis : respon TSH terhadap TRH mendatar
- Penyakit hipotalamus : TSH dan TRH meningkat
 Titer autoantibody tiroid tinggi pada > 80% kasus
 Peningkatan kolesterol
 Pembesaran jantung pada sinar X dada
 EKG menunjukkan sinus bradikardi, rendahnya voltase kompleks QRS& gelombang T
datar atau inversi

Hipertiroid
• TSH serum menurun
• Tiroksin bebas, T4 dan T3 serum, T3 resin atau T4 uptake, free thyroxine index semua
meningkat
• Ambilan Yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid meningkat
• Basal metabolic rate (BMR) meningkat
• Kadar kolesterol serum menurun

Hipotiroidisme Hipertiroidisme
Hormon Normal
Primer Sentral Subklinis Primer Sentral

.
T3 60-118 ↓ ↑ N ↑ ↓
mg/dl
T4 4,5mg/ ↓ ↑ N ↑ ↓
dl
TSH 0,4- ↑ ↓ ↑ ↓ ↑
5,5 mI
U/l

Disfungsi tiroid penyebab konsentrasi Gondok?


Hipotiroidisme primer ↓T3-T4, ↑TSH Ya
sekunder ↓T3-T4, ↓TRH Tidak
dan/atau↓TSH
Defisiensi iodium ↓T3-T4, ↑TSH Ya
makanan
Hipertiroidisme Primer (Grave’s ↑T3-T4, ↓TSH Ya
disease)
Sekunder ↑T3-T4, ↑TRH Ya
dan/atau ↑TSH
Hipersekresi tumor ↑T3-T4, ↓TSH Tidak
tiroid

4. Pemeriksaan Penunjang
Gambar 3.2
a. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Sebagian besar ahli endokrin sepakat menggunakan biopsy aspirasi jarum halus sebagai
langkah diagnostik awal daalm pengelolaan nodul thyroid, dengan catatan harus
dilakukan oleh operator dan di nilai oleh ahli sitologi yang berpengalaman. Ditangan
ahli, ketetapan diagnosis BAJAH berkisar antara 70-80%, dengan hasil negatif palsu
keganasan antara 1-6% sekitar 10% hasil sitologi positif ganas dan sepertiganya (3-
6%) positif palsu, yang sering kali disebabkan tiroiditis Hashimoto. Sebagian besar
(80%) nodul demikian memberikan gambaran nodul dingin pada sidik thyroid.
Ketepatan diagnonostik BAJAH akan meningkat bila sebelum biopsy dilakukan
penyidikkan isotopic atau ultrasonografi. Sidik thyroid diperlukan untuk
menyingkirkan nodul thyroid otonom dan nodul fungsional hiperplastik, sedangkan
ultrasonografi selain untuk membedakan nodul kistik dari padat dan menetukan ukuran
nodul, juga berguna untuk menuntun biopsy.
Teknik BAJAH aman, murah, dan dapat dipercaya, serta dapat dilakukan pada pasien
rawat jalan dengan resikoyang kecil. Dengan BAJAH, tindakan bedah dapat di kurangi
sampai 50% kasus nodul thyroid, dan pada waktu bersamaan meningkakan ketepatan
kasus kegansan pada tiroidektomi.

Hasil sitologi diagnostik BAJAH tiroid


Jinak (negatif)
Tiroid normal
Nodul koloid
Kista
Tiroiditis subakut

.
Tiroiditis Hashimoto
Curiga (indeterminate)
Neoplasma sel folikuler
Neoplasma sel Hurthle
Temuan kecurigaan keganasan tapi tidak pasti
Ganas (positif)
Karsinoma tiroid papiler
Karsinoma tiroid medular
Karsinoma tiroid anplastik

Termografi
Termografi adalah suatu metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada
suatu tempat. Alatnya adalah Dynamic Tele-Thermography. Hasilnya disebut n panas
apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9°C dan dingin apabila <0,9°C. Pada
penelitian Alves dkk didapatkan bahwa yang ganas semua hasilnya panas. Dibandingkan
dengan cara pemeriksaan yang lain ternyata termografi ini adalah paling sensitif dan
spesifik.

Petanda Tumor ( Tumor Marker)


Sejak tahun 1985 telah dikembangkan pemakaian antibodi monoklonal sebagai petanda
tumor. Dari semua petanda tumor yang telah diuji hanya peninggian tiroglobulin (Tg)
serum yang mempunyai nilai yang bermakna. Hashimoto dkk mendapatkan bhwa 58,6%
kasus keganasan tiroid memberikan kadar Tg yang tinggi. Kadar Tg serum normal ialah
antara 1,5-30 ng/ml. Tampaknya tidak ada korelasi yang jelas antara kelainan
histopatologik dan kadar Tg serum.

b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) tiroid merupakan salah satu pencitraan diagnostik (imaging
diagnostic) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh (dalam hal ini, tiroid), dimana kita dapat
mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan
sekitarnya.
Ultrasonografi medis (sonografi) adalah sebuah teknik diagnostik pencitraan
menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi yang digunakan untuk mencitrakan
organ internal dan otot, ukuran, struktur, dan luka patologi, sehingga membuat teknik
ini berguna untuk memeriksa organ.
Akhir-akhir ini pemeriksaan USG tiroid menjadi semakin populer dan berkembang
terutama dengan digunakannya alat USG yang dilengkapi atau mempunyai daya
resolusi yang tinggi.
Selain penggunaannya yang semakin populer, peran USG pada pemeriksaan kelenjar
tiroid juga berkembang pesat, antara lain:
 Dengan cepat dapat menentukan apakah tonjolan pada daerah leher berada di dalam
atau di luar tiroid.
 Dengan cepat dan akurat dapat membedakan lesi kistik atau lesi solid.
 Dengan lebih mudah dapat dikenali apakah tonjolan tersebut tunggal atau lebih dari
satu.
 Dapat membantu penilaian respon pengobatan pada terapi supresif.

.
 Dapat membantu mencari keganasan tiroid pada metastasis yang tidak diketahui tumor
primernya.
 Sebagai pemeriksaan penyaring terhadap golongan risiko tinggi untuk menemukan
keganasan tiroid.
 Sebagai pengarah pada biopsi aspirasi tiroid.
Umumnya tidak diperlukan persiapan khusus dalam melakukan USG tiroid.
Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan posisi supine serta bahu diganjal sehingga
didapat ekstensi leher yang maksimal. Untuk mendapatkan kontak yang baik antara kulit
dan transduser maka dipakai minyak nabati atau jelly, atau real time scannner dengan
transduser berfrekuensi 5 MHz yang dilengkapi dengan echo coupler. Dapat juga
digunakan acoustic jelly apabila echo coupler tidak tersedia.
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi transducer ke arah transversal mulai dari pole bawah
digeser ke arah cephalad sampai pole atas, sehingga seluruh tiroid dapat dinilai. Kemudian
dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi transducer longitudinal atau oblik dimulai dari
lateral ke arah medial. Dilakukan pemotretan dengan foto polaroid atau film multiformat,
serta diambil ukuran tiroid dan ukuran lesi yang tampak.

Gambaran Normal USG Tiroid


Tiroid adalah organ endokrin yang terletak berpasangan dangkal di bagian bawah leher.
Biasanya, terdiri dari dua lobus, kanan dan kiri, dihubungkan dengan istmus. Kelenjar
tiroid dipisahkan dari kulit yang hiperekogenik hanya oleh lapisan otot tipis yang hipoekoik
(sternohyoid, sternotiroid), yang menyusun dinding anterior tiroid. Pembuluh darah besar
di leher, yaitu common carotid artery dan vena jugular, terletak pada dinding lateral
kelenjar tiroid. Pada dinding posterolateral, terdapat otot sternokleidomastoideus yang
sangat mudah dilihat pada laki-laki dan pasien yang kurus. Kedua lobus tiroid terletak
lateral disamping trakea. Kerongkongan, yang sering keliru digambarkan sebagai nodul
tiroid, terletak di dinding posteromedial tiroid, tersering pada sisi kiri. Biasanya berbentuk
oval atau bulat dan ukurannya sekitar 10 mm. Namun dapat dengan mudah dibedakan dari
lesi tiroid, yaitu dengan meminta pasien untuk menelan, sehingga memungkinkan
seseorang untuk mengamati adanya konsentris terjepit di dalamnya berupa air liur yang
hiperekoik.
Leher anterior digambarkan cukup baik dengan sonografi skala standar abu-abu.
Kelenjar tiroid sedikit lebih padat daripada struktur yang berdekatan karena kandungan
yodium dari tiroid itu sendiri, memiliki gambaran homogen dengan penampilan seperti
kaca yang mengkilap. Setiap lobus memiliki kontur bulat berbentuk halus dan tidak lebih
dari 3 - 4 cm tingginya, 1 - 1,5 cm lebar, dan kedalaman 1 cm. Istmus diidentifikasi dengan
sangat baik, terletak di anterior trakea sebagai struktur yang homogen yang kira-kira 0,5
cm dan 2 - 3 mm kedalamannya. Lobus piramidal tidak terlihat, kecuali diperbesar secara
signifikan. Otot-otot sekitarnya ekogenisitasnya lebih rendah daripada jaringan tiroid.
Trakea berisi udara tidak mengirimkan sinyal USG dan hanya bagian anterior dari cincin
tulang rawan memiliki gambaran yang cerah. Arteri karotis dan pembuluh darah lainnya
memiliki gambaran echo-free kecuali jika terjadi kalsifikasi.
Ada sekitar 1-2 mm zona free echo di permukaan dan di dalam tiroid yang diwakili
pembuluh darah. Sifat vaskular dari semua daerah dapat ditunjukkan oleh pencitraan
Doppler berwarna untuk membedakan mereka dari struktur kistik. Kelenjar getah bening
dapat diamati dan saraf umumnya tidak terlihat. Kelenjar paratiroid yang diamati hanya

.
ketika organ tersebut diperbesar dan kurang padat daripada jaringan tiroid karena tidak
adanya yodium.

Gambaran Kelainan pada USG Tiroid


1. Nodul Tiroid
Nodul tiroid dapat diidentifikasi dengan sonografi karena mereka dapat mengubah
bentuk seragam atau pola echo kelenjar tiroid. Nodul tiroid mungkin besar atau kecil.
Mereka mungkin mendistorsi/mengubah arsitektur tiroid di sekitarnya atau mungkin
tinggal di dalam lobus dan akan mengganggu bentuk sebenarnya. Gambaran yang
paling mungkin berupa jaringan padat atau terdiri dari daerah padat diselingi dengan
echofree zone yang berisi cairan hemoragik atau zona degeneratif. Sebagian besar
nodul tiroid memiliki penampilan USG kurang padat dari jaringan tiroid normal dan
beberapa lebih echo-padat. Terkadang ditemukan tepi sonolucent, yang disebut halo,
mungkin tampak di sekitar nodul. Hal ini merupakan kapsul atau jenis lain, seperti
peradangan atau edema, memisahkan nodul dan sisanya dari kelenjar. Teknik Doppler
dapat menunjukkan vaskularisasi meningkat dalam nodul atau halo. Nodul bukan
penyakit tunggal tetapi merupakan manifestasi penyakit yang berbeda termasuk
adenoma, karsinoma, radang, kista, daerah fibrosis, daerah pembuluh darah, dan
akumulasi koloid.

2. Goiter
Pada saat ini, sonografi berguna untuk mengetahui gambaran ultrasonik nodul yang
dominan dalam gondok, wilayah yang mengalami pembengkakan karena mungkin
memberikan petunjuk tentang patologi. Sebagai contoh, sonografi dapat
mengidentifikasi satu wilayah dalam tiroid dengan pola echo berbeda dari tiroid,
terutama jika wilayah ini dikelilingi oleh plak sonoleucent tidak lengkap dan tidak

.
teratur, memiliki microcalcifications atau pemeriksaan Doppler mengungkapkan
vaskularitas internal.. Kegunaan lain dari sonografi pada pasien berhubungan dengan
tiroid meliputi diferensiasi tiroid, pembesaran dari jaringan adiposa atau otot,
mengidentifikasi massa yang dan asimetris, membenarkan ekstensi substernal, dan
obyektif mendokumentasikan perubahan volume dalam respon terhadap terapi penekan
dengan tiroid hormon, dimana informasi ini yang sangat berguna ketika pasien ingin
mengetahui perubahan penyakitnya dari seorang dokter.

3. Keganasan
Gambaran radiologi untuk karsinoma tiroid sangat beraneka ragam, sehingga
dibutuhkan interpretasi yang tepat untuk menggambarkan suatu tumor/kanker.
Terkadang kejadian nodul tiroid sering bersamaan dengan karsinoma tiroid. Beberapa
tanda-tanda lesi ganas dan jinak secara USG adalah :
 Batas Tak tegas, ireguler Tegas, reguler (teratur)
 Internal Inhomogen, dominan hipoekoik, tunggal Homogen, hiperekoik, multiple
 Penampak lesi Solid, mikrokalsifikasi Kistik campur solid
 Halo Negatif Komplit
 Vaskularisasi Sentral Perifer

4. Unpalpable Thyroid Nodule


Sonografi menunjukkan mikronodul (insidentaloma) dar kelenjar tiroid yang
berdiameter kurang dari 1 cm, tidak teraba, biasa dijumpai, namun memiliki
signifikansi klinis yang dipertanyakan. Kalau nodul tiroid teraba terjadi kira-kira 1,5-
6,4% dari populasi umum, insiden dari nodul yang tidak teraba sedikitnya sepuluh kali
lebih besar dari populasi yang dapat di screening oleh ultrasonografi. Nodul yang tak
teraba meningkat seiring dengan pertambahan usia yang melibatkan kira-kira 50% dari
orang dewasa terutama wanita.1
Dengan USG yang canggih dengan resolusi yang tinggi sekarang, nodul yang
berukuran lebih kecil dari 2 mm dapat terlihat. Dan kelenjar tiroid yang normal
mempunyai nodul yang tidak teraba atau murupakan gejal subklinis dari gondok. USG
dapat menemukan nodul soliter yang dapat diraba memang merupakan suatu nodul
yang dapat dipalpasi yang secara klinins merupakan suatu multi nodular.

5. Limfadenopati
Ultrasonografi mungkin berguna untuk mendiagnosa dan mengikuti limfadenopati
pada pasien dengan sejarah kanker tiroid atau jika ada riwayat paparan radiasi terapi
pada remaja. USG dengan resolusi tinggi yang dilengkapi dengan 12-14 MHz
transduser, B-mode, sinyal Doppler, pengalaman yang panjang, dan ketekunan adalah
kunci untuk menemukan limfadenopati.
c. Sidik thyroid
Sidik tiroid dilakukan dengan menggunakan dua macam isotop yaitu iodium
radioaktif (I-123) dan teknetium perteknetat (Tc-99m dengan cara melihat kemampuan
tiroid menangkap radiofarmaka. Cara ini berguna untuk menetapkan apakah nodul
dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi, hipofungsi, atau normal yang umumnya
disebut berturut-turut nodul panas, nodul dingin, atau nodul normal.Kemungkinan

.
keganasan ternyata lebih besar pada nodul yang menunjukkan hipofungsi, meskipun
karsinoma tiroid dapat juga ditemukan pada nodul yang berfungsi normal.
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi NaCl
per oral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif
yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk seperti telah
disinggung diatas:
1. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya.
Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan
ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
3. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi
nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
4. Nodul normal jika distribusi penangkanap difus/rata di kedua lobi
Dari hasil pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat dibedakan apakah yang kita hadapi
itu suatu keganasan atau sesuatu yang jinak. Keganasan biasanya terekam sebagai
nodul dingin dan soliter tetapi tidak berarti bahwa semua nodul dingin adalah
keganasan. Liecthy mendapatkan bahwa 90% dari nodul dingin adalah jinak dan 70 %
dari semua nodul jinak adalah juga nodul dingin. Nodul yang hangat biasanya bukan
keganasan. Namun Alves dkk pada penelitiannya mendapatkan 2 keganasan di antara
24 nodul hangat. Apabila ditemukan nodul yang panas ini hampir pasti bukan suatu
keganasan.

.
d. CT scan atau MRI
Seperti halnya ultrasonografi, CT scan atau MRI merupakan pencitraan anatomi
dan tidak digunakan secara rutin untuk evaluasi nodul thyroid. Penggunaannya lebih
diutamakan untuk mengetahui posisi anatomi dan nodul atau jaringan thyroid terhadap
organ sekitarnya seperti diagnosis struma sub-sternal dan kompresi trathea karena
nodul

e. Studi in-vitro
Penentuan kadar hornon thyroid dan TsHs diperlukan untuk mengetahui fungsi
thyroid. Nodul yang fungsional (nodul autonom) dengan kadar TsHs tersupresi dan
hormone thyroid normal dapat menyingkirkan kegansan. Kadar kalsitoni perlu
diperiksa bila ada riwayat keluarga dengan thyroid medulase atau multiple endocrine
neopasia tipe 2.

13.8 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang


diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :

a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, 
 memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi 
 akut. 

b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat 
 progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati. 

c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan 
 pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis
dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat
diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan
dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder atau Tersier. 


Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri
tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari

.
upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik (B). Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi
edukasi tingkat lanjutan.

a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang
meliputi:

1) Materi tentang perjalanan penyakit DM.
2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.
3) Penyulit DM dan risikonya.

4) Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

5) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral atau
insulin serta obat-obatan lain.

6) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri
(hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
7) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
8) Pentingnya latihan jasmani yang teratur.

9) Pentingnya perawatan kaki.

10) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan (B).
b. Materiedukasipadatingkatlanjutdilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder dan /
atau Tersier, yang meliputi:
1) Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
2) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
3) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.

4) Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
5) Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).

6) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM.

7) Pemeliharaan/perawatan kaki. Elemen perawatan kaki dapat dilihat pada tabel.

Elemen edukasi perawatan kaki

1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas, kemerahan,
atau luka.
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering.
5. Potong kuku secara teratur.
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung-ujung
jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.

.
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/ batu untuk menghangatkan kaki.

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:

a. Mengikuti pola makan sehat. 


b. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang 
 teratur 


c. Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan 
 khusus secara aman dan teratur.

d. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) 
 dan memanfaatkan


hasil pemantauan untuk menilai 
 keberhasilan pengobatan. 


e. Melakukan perawatan kaki secara berkala. 


f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi 
 keadaan sakit akut dengan
tepat. 


g. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang 
 sederhana, dan mau


bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk
mengerti pengelolaan penyandang DM. 


h. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah: 


a. Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta 
 hindari terjadinya


kecemasan. 


b. Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan 
 hal-hal yang sederhana


dan dengan cara yang mudah 
 dimengerti. 


c. Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan 
 melakukan simulasi. 


d. Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, 
 perhatikan keinginan pasien.


Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang

.
diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium. 


e. Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima. 


f. Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan. 


g. Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi. 


h. Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat 
 pendidikan pasien dan
keluarganya. 


i. Gunakan alat bantu audio visual. 


Terapi Nutrisi Medis (TNM)

TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif.


Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai
sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang
DM.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau
terapi insulin itu sendiri.

Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak
disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan
secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan
total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut (A).
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani.
Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani.
Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari- hari bukan termasuk dalam latihan jasmani
meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-
70% denyut jantung maksimal)(A) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220

.
dengan usia pasien.

Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi yang tidak


terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan
beban) 2-3 kali/perminggu (A) sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Intensitas latihan
jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada
penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu.

Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Sulfonylurea (insulin secretagogues)


a. Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan
b. Mekanisme kerja : Berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada membrane sel
beta depolarisasi membrane dan keadaan ini membuka kanal Ca. sehingga Ca masuk sel
beta, merangsang sekresi insulin.
c. Farmakokinetik : Masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1 sangat bervariasi.
Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui ginjal, sediaan ini
tidak boleh diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
d. ES : Hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare, hematologic (leukopenia,
agranulositosis), susunan saraf pusat (vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.
e. Indikasi : Untuk pasien DM yang diabetesnya diperoleh pada usia diatas 40 tahun.
Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik obat, misalnya penghancuran yang
terlalu cepat.
f. Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile,
pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan
keadaan gawat.
g. Interaksi : Meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide, probenezid,
kloramfenikol)

2. Meglitinid
a. Pemberian : Sesaat sebelum makan
b. Mekanisme kerja : Sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya berbeda.
Merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-independent di sel beta
pankreas.
c. Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam.
Masa paruh 1 jam, sehingga harus diberikan beberapa kali sehari sebelum makan.
d. Farmakokinetik : Metabolisme utama di hepar, 10% di ginjal.
e. ES : Hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.

3. Biguanid

.
a. Pemberian : Sebelum/saat/sesudah makan
b. Terdiri dari : Fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis laktat),
buformin, metformin.
c. Mekanisme kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat menurunkan
produksi glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adipose
terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated
protein kinase). Pada DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB.
d. Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah tidak terikat
protein plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh sekitar 2 jam.
e. Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr. Diminum saat makan.
f. Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonylurea dapat diatasi
dengan metformin, atau kombinasi dengan insulin atau sulfonylurea.
g. ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang mutlak dengan insulin
eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit cairan tubuh.
h. KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi dan penyakit jantung
kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia kronik, pemberian zat kontras intravena
atau yang akan di operasi harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.

4. Tiazolidinedion
a. Pemberian : Tidak bergantung pada jadwal makan
b. Mekanisme kerja : Berikatan pada peroxisome proliferators activated receptor ɣ (PPAR
ɣ) suatu resptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer.
c. ES: Peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan memperburuk gagal jantung
kongestif, hipoglikemi.
d. KI : Gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
e. Interaksi : Dengan insulin dapat menyebabkan edem.

5. Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose)


a. Pemberian : bersama makan suapan pertama
b. Mekanisme kerja : memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin, dan
disakarida) di usus halus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin.
c. ES : kembung, flatulens.
d. Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.

6. DPP-4 Inhibitor
a. Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
b. Mekanisme kerja : glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide
yang dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1 merupakan perangsang kuat

.
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun,
sekresi GLP-1 menurun pada DM-2

Terapi Insulin
a. Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan insulin dulakukan
dengan IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin akan berdifusi ke sirkulasi perifer
yang seharusnya langsung masuk ke sirkulasi portal, karena efek langsung hormone ini
pada hepar menjadi kurang.
b. Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak dapat diatasi
dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin adalah selain untuk
menormalkan kadar insulin juga untuk memperbaiki semua aspek metabolism.
c. Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung dari keadaan
pasien.
a) Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB
b) Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-30mnt sblm makan
pagi, dan 4-5 U sebelum makan malam.
c) DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.
d. ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem, kembung,dll.
e. Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin, GH, Tiroid,
estrogen, glucagon,dll)

13.9 Komplikasi
Komplikasi akut:
1. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai denganpeningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan
plasmaketon(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap

2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangattinggi (600-1200 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, os-molaritas plasma sangat meningkat (330-380
mOs/mL), plasmaketon (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.Catatan : kedua
keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angkamorbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.

3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
a. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosadarah < 60 mg/dL
b. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandangdiabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinyahipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan

.
olehpenggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibatsulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus dia-wasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obattelah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lamauntuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama padapasien dengan gagal ginjal kronik
atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada
usialanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingatdampaknya yang fatal
atau terjadinya kemunduran mentalbermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada
DM usialanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
c. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat,
gemetar, dan rasa lapar) dan gejalaneuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma).
d. Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yangmemadai. Bagi pasien
dengan kesadaran yang masih baik,diberikan makanan yang mengandung karbohidrat
atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra
vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulangglukosa darah 15 menit setelah pemberian
glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
e. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementaradapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu se-bagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebabmenurunnya kesadaran.

Komplikasi kronik:
1. Makroangiopati
a. Pembuluh darah jantung
b. Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
c. Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati:
a. Retinopati diabetic
b. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya
retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
c. Nefropati diabetic
d. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati
e. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko
terjadinya nefropati
f. Neuropati
g. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
h. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa
sakit di malam hari.
i. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana,
dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
j. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi.

.
k. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.

Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan


edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan
penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.
13.10 Prognosis
HIPOTIROID

Perjalanan miksedema yang tidak diobati menyebabkan penurunan keadaan secara


lambat yang akhirnya menjadi koma miksedema dan kematian.Namun, denganterapi
sesuai, prognosis jangka panjang sangat menggembirakan.Karena waktuparuh tiroksin
yang panjang (7 hari), diperlukan waktu untuk mencapaikeseimbangan pada suatu dosis
yang tetap. Jadi, perlu untuk memantau FT4 atauFT4I dan kadar TSH setiap 4-6 minggu
sampai suatu keseimbangan normaltercapai. Setelah itu, FT4 dan TSH dapat dipantau
sekali setahun.Dosis T4 harusditingkatkan kira-kira 25% selama kehamilan dan laktasi.
Pasien lebih tuamemetabolisir T4 lebih lambat, dan dosis akan diturunkan sesuai dengan
umur
Pada suatu waktu angka mortalitas koma miksedema mencapai kira-kira80%.Prognosis
telah sangat membaik dengan diketahuinya pentingnya respirasiyang dibantu secara
mekanis dan penggunaan levotiroksin intravena.Pada saatini, hasilnya mungkin
tergantung pada seberapa baiknya masalah penyakit dasar dapat dikelola.

HIPERTIROID
Secara umum, perjalanan penyakit Graves ditandai oleh remisi dan eksaserbasi
jangka lama kecuali bila kelenjar dirusak melalui pembedahan atau iodin radioaktif.
Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid untuk jangka waktu lama setelah terapi,
banyak yang akhirnya menjadi hipotiroidisme.Jadi, follow-up seumur hidup merupakan
indikasi untuk semua pasien dengan penyakit Graves.

STRUMA
Kebanyakan pasien yang diobati memiliki prognosis yang baik.Prognosis yang jelek
berhubungan dengan hipertiroidsm yang tidak terobati. Pasien harusnya mengetahui jika
hipertiroid tidak diobati maka akan menimbulkan osteoporosis, arrhythmia, gagal
jantung, koma, dan kematian. Ablasi dari Na131 I menghasilkan hipertiroid yang
kontiniu dan membutuhkan terapi ulang dan pembedahan untuk mengangkat kelenjar
tiroid.
13.11 Pencegahan
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :

.
 Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan
dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
 Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
 Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan
 Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil.Iodisasi dilakukan dengan yodida diberikan
dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang mengalir, dan
penambahan yodida dalam sediaan air minum.
 Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui
yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang.Dosis pemberiannya
bervariasi sesuai umur dan kelamin.
 Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun
sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk
anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit

 Pencegahan Tersier
Bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial penderita setelah proses
penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.
b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan
bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui melakukan
fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi
kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu
yang berhubungan dengan kecantikan.

14. MM Pandangan Islam Mengatasi Cemas Saat Operasi


1. Tawakal Kepada Allah
Terlepas ada yang bisa dilakukan atau tidak, tawakal akan mengurangi kecemasan. Kita
yakin, bahwa apa yang akan terjadi adalah ketentuan Allah dan Allah pasti memberikan yang
terbaik bagi kita. Untuk itu, serahkan semuanya kepada Allah, mintalah bantuan,
pertolongam, dan bimbingan Allah agar kita menemukan solusi, mampu menghadapi yang
kita cemaskan, dan lebih baik lagi jika terhindar dari apa yang kita cemaskan.
2. Tadabbur Quran
3. Berdzikir

.
4. Selalu berpikir bahwa apa yang terjadi, adalah yang terbaik bagi kita

Satu ayat yang langsung menghilangkan kehawatirsan adalah :

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 216)

Bisa jadi, kita memang tidak suka dengan rasanya, padahal itu yang terbaik bagi kita.Sebagai
contoh kehilangan uang memang pahit, apalagi dalam jumlah yang besar.Kita tidak suka,
padahal bisa jadi Allah sudah punya rencana yang lebih baik dibalik kehilangan uang
tersebut.Kita hanya tidak mengetahui dan tidak menyadarinya. Kadang, kesadaran akan
manfaatnya kita ketahui belakangan.
Masalahnya banyak orang yang menolak ini.Mereka lebih memilih mendapatkan keinginan
dia (hawa nafsu) ketimbang pilihan Allah yang pastinya jauh lebih baik.Ini tentang keimanan,
apakah Anda yakin Allah memberikan yang terbaik atau tidak. Jika yakin, maka insya Allah,
kecemasan itu akan hilang.
5. Cari Pilihan Ikhtiar Yang Optimal
Saat merasa panik karena kecemasan berlebihan, sering kali pikiran menjadi buntu. Kita
tidak bisa memikirkan apa yang harus kita lakukan. Paling gawat saat kita memilih solusi
jalan pintas yang akan disesali bahkan tidak sesuai dengan ajaran agama. Dengan dua sikap
diatas, yaitu yakin bahwa Allah akan memberikan terbaik dan kita menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah, insya Allah kita akan lebih tenang dan bisa berpikir lebih jernis.
Kemampuan Anda berpikir jernih, akan membuka jalan untuk menemukan solusi terbaik. Ada
beberapa kemungkinan solusi, jangan paksakan dengan 1 solusinya saja. Kebanyakan orang yang
cemas, dia hanya ingin apa yang dia cemaskan hilang. Itu mungkin solusi terbaik, tapi bukan hanya
itu solusi yang bisa kita dapatkan.

.
DAFTAR PUSTAKA
Bland, KI, WG Cioffi, dan MG Sarr. (2001). Praktek Bedah Umum. Philadelphia, PA: Saunders
Ganong, W. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22. Jakarta : EGC

Guyton dan Hall. (2007). Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. Jakarta: EGC

Ketua Kelompok Studi Tiroid Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof Johan S
Masjhur :http://kesehatan.rmol.co/read/2012/07/27/72471/Waspada,-Wanita-Lebih-Rentan-
Kena-Kanker-Tiroid- (Diakses: September 2015)

Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3.Jakarta: Media Aesculapius
FKUI

McDermott MT, Woodmansee WW, Haugen BR, Smart A,Ridgway EC. The Management of
subclinical hyperthyroidism by thyroid specialists. Thyroid 2004,90-110

Murray, Robert K.,dkk. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: EGC

Price SA, Wilson ML. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol (2).
Alih Bahasa. Brahm, Huriawati Hartono, Pita Wulansari, Dewi Asih. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed.Pediatric
Endocrinology – The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-
90.4.
Sherwood. L. 2013. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC
Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin. Jakarta : EGC 2005:2:683-695
Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics – Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.3.
Sudoyo,Aru W. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI.
Van Sande J, Parma J, Tonacchera M, Swillens S, Dumont J,Vassart G. Somatic and clinical in
thyroid diseases.2003, 201-22
http://quran.com/2

You might also like