You are on page 1of 27

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang hijau di Indonesia menempati urutan ketiga terpenting sebagai

tanaman pangan legum, setelah kedelai dan kacang hijau. Penggunaan kacang

hijau sangat beragam, dari olahan sederhana hingga produk olahan teknologi

industri. Produk terbesar hasil olahan kacang hijau di pasar berupa taoge

(kecambah), bubur, makanan bayi, industri minuman, kue, bahan campuran soun

dan tepung hunkue. Kacang hijau juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan,

kacang hijau juga mempunyai manfaat sebagai tanaman penutup tanah dan pupuk

hijau. Kandungan gizi dalam 100 g kacang hijau meliputi karbohidrat 62,9 g,

protein 22,2 g, lemak 1,2 g juga mengandung Vitamin A 157 U, Vitamin B1 0,64

g, Vitamin C 6,0 g dan mengandung 345 kalori (Yulia, 2013).

Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) merupakan tanaman kacang-

kacangan yang banyak di budidayakan di Indonesia, menempati peringkat ketiga

setelah kedelai dan kacang hijau. Luas panen kacang hijau di Indonesia pada

tahun 2001 mencapai 339.252 ha, dengan produksi 301.404 ton atau produktivitas

± 0.89 t/ha (Termizi, 2010).

Penurunan produktifitas dari tanaman kacang kedelai dan kacang hijau di

Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hama – hama utama seperti

Spodoptera litura F., Riptortus linearis, Nezara viridula, Etiela zinchenella dan

Ophiomiya phaseoli. Belum tercapainya target produktifitas tanaman kacang

kedelai dan kacang hijau disebabkan karena meningkatnya luas serangan

organisme pengganggu tanaman (OPT) hingga 2,25 % dari total luas tanam atau

sekitar 13.571 ha (Sinaga, 2015).


2

Penggunaan pestisida dilingkungan pertanian menjadi masalah yang

sangat besar, terutama pada tanaman sayuran yang sampai saat ini masih

menggunakan insektisida kimia. Disatu pihak dengan digunakannya pestisida

maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme penggangu tanaman (OPT)

dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan

seperti berkembangnya ras hama yang resisten terhadap insektisida, resurjensi

hama, munculnya hama sekunder, terbunuhnya musuh alami hama dan hewan

bukan sasaran lainnya serta terjadinya pencemaran lingkungan (Tambunan, 2010).

Timbulnya masalah akibat penggunaan insektisida kimia ini merangsang

penggunaan insektisida non sintetik sebagai insektisida yang aman bagi

lingkungan dengan memanfaatkan senyawa beracun dari tumbuhan (insektisida

botani), mikroba ataupun jamur entomopatogen dimana konsep ini sesuai dengan

konsep PHT yang mengutamakan pengendalian hama yang memelihara

lingkungan dan mengurangi penggunaan insektisida kimia (Termizi, 2010).

Tujuan Praktikum

Adapun tujuan praktikum untuk mengetahui pengendalian hama ulat

grayak ( Spodoptera litura L.) pada tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.)

secara terpadu.

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk

dapat mengikuti praktikum selanjutnya di Laboratorium Pengelolaan Hama dan

Penyakit Terpadu Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai sumber informasi bagi pihak

yang membutuhkan.
3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.)

Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Adapun klasifikasi

botani tanaman kacang hijau sebagai berikut ; divisi : Spermatophyta ; subdivisi :

Angiospermae ; kelas : Dicotyledonae ; ordo : Rosales ; family : Leguminosae

(Fabaceae) ; genus : Vigna ; spesies : Vigna radiata L. ( Jasmani, 2006).

Tanaman ini mempunyai batang tegak dengan cabang-cabang menyebar.

Tinggi tanaman antar varietas mempunyai variasi ketinggian tersendiri. Kisaran

ketinggian kacang hijau mencapai 30-110 cm, sedangkan umurnya berkisar antara

50-120 hari tergantung pada lama penyinaran dan temperatur udara sekitar

temperatur tumbuh tanaman ini (Sumarji, 2013).

Bunganya besar, berdiameter 1 – 2 cm kehijauan sampai kuning cerah,

terletak pada tandan ketiak yang tersusun atas 5 – 25 kuntum bunga, panjang

tandan bunga 2 – 20 cm. Polongnya menyebar dan menggantung berbentuk

silinder, panjangnya mencapai 15 cm, sering lurus berbulu atau tanpa bulu dan

berwarna hitam atau coklat soga (towny brown) berisi sampai 20 butir biji yang

bundar. Biji berwarna hijau, memiliki warna yang kusam atau berkilap.

Perkecambahannya secara epigeal (Putra, 2011).

Pasangan daun pertama berhadapan dan berupa daun tunggal, daun

berikutnya berseling-seling serta beranak daun tiga, anak daunnya bundar telur

sampai berbentuk delta. Tangkai daunya cukup panjang dan lebih panjang dari

daunnya.Warna daun hijau muda sampai hijau tua (Jasmani, 2006).


4

Kacang hijau berakar tunggang dan mempunyai akar lateral yang banyak

serta agak berbulu. Biasanya kacang hijau mempunyai akar dengan cabang-

cabang sempurna dan meluas (Sumarji, 2013).

Syarat Tumbuh

Iklim

Keadaan iklim yang ideal untuk tanaman kacang hijau adalah daerah yang

bersuhu 25°C-27°C dengan kelembaban udara 50%- 80% curah hujan antara 50

mm -200 mm perbulan, dan cukup mendapat sinar matahari (tempat terbuka).

Jumlah curah hujan dapat mempengaruhi produksi kacang hijau. Tanaman ini

cocok ditanam pada musim kering (kemarau) yang rata-rata curah hujannya

rendah. Didaerah curah hujan tinggi, pertanaman kacang hijau mengalami banyak

hambatan dan gangguan, misalnya mudah rebah dan terserang penyakit

(Jasmani, 2006).

Kacang hijau dapat ditanam di daerah iklim hangat dan di daerah

subtropik. Sebagian besar genotipnya memperlihatkan tanggapan terhadap hari

pendek. Kacang hijau adalah tanaman musim hangat dan tumbuh dibawah suhu

rata-rata yang berkisar 20 – 40 °C dengan suhu optimumnya 20 – 30 °C

(Sumarji, 2013).

Tanaman kacang- kacangan membutuhkan air yang cukup selama

pertumbuhannya (kondisi tanah yang lembab). Kondisi air yang berlebihan

(tergenang) tidak baik bagi pertumbuhan tanaman. Apabila air irigasi tidak

tersedia, maka curah hujan 100 – 200 mm /bulan dinilai cukup bagi pertumbuhan

tanaman (Putra, 2011).


5

Tanah

Jenis tanah yang dikehendaki tanaman kacang hijau adalah liat

berlempung atau tanah lempung yang banyak mengandung bahan organik, seperti

tanah podsolik merah kuning (pmk) dan latosol. Kacang hijau dapat tumbuh pada

ketinggian < 2000 m dpl, dan tumbuh subur pada tanah liat atau liat berpasir yang

cukup kering, dengan pH 5.5 – 7.0 (Putra, 2011).

Lahan pertanaman kacang hijau sebaiknya di dataran yang rendah hingga

500 m dpl. Curah hujan yang rendah cukup di toleransi tanaman ini apalagi pada

tanah yang diairi seperti padi. Tanah yang ideal adalah tanah ber pH5,8 dengan

kandungan fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang yang cukup agar

bisa maksimalkan produksi (Jasmani, 2006).

Tanaman kacang hijau merupakan tanaman satu musim dan dapat tumbuh

di segala macam jenis tanah yang mempunyai drainase baik, akan tetapi kacang

hijau 4 dapat tumbuh lebih baik pada tanah lempung sampai yang mempunyai

bahan organik tinggi. Biasanya jenis tanah yang bagi jagung, padi, kedelai, juga

baik bagi pertumbuhan kacang hijau. Keasaman tanah (pi I) tanah yang ideal bagi

pertumbuhan tanaman kacang hijau adalah sedikit asam (5,8-6,5) pada tanah yang

sangat asam baik karena akan menghambat penyediaan makanan bagi tanaman

(Sumarji, 2013).
6

HAMA ULAT GRAYAK ( Spodoptera litura F.) PADA TANAMAN


KACANG HIJAU (Vigna radiata L.)

Hama Ulat Grayak ( Spodoptera litura F.)

Biologi Hama

Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : filum :

Arthropoda; kelas : Insecta; ordo : Lepidoptera; famili : Noctuidae; subfamili :

Amphipyrinae; genus : Spodoptera; species : Spodoptera litura F.

(Halimah, 2010).

Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun

(kadangkadang tersusun dua lapis, berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

berkelompok (masing-masing berisi 25-500 butir) Kelompok telur tertutup bulu

seperti beludru yang berasal dari bulu-bulu tubuh bagian ujung ngengat betina.

Lama stadium telur 3-5 hari setelah diletakkan (Arobi, 2011).

Larva S. litura F. yang baru keluar memiliki panjang tubuh 2 mm. Ciri

khas larva S. litura F. adalah terdapat 2 buah bintik hitam berbentuk bulan sabit

pada tiap ruas abdomen terutama ruas ke-4 dan ke-10 yang dibatasi oleh garis-

garis lateral dan dorsal berwarna kuning yang membujur sepanjang badan.

Sebelum telur menetas, larva yang baru keluar dari telur tidak segera

meninggalkan kelompoknya tetapi tetap berkelompok. Pada stadium larva terdiri

dari enam instar dan berlangsung selama 13-17 hari dengan rata-rata 14 hari

(Tobing, 2014).

Pupa berwarna kecoklatan berada dalam tanah atau pasir. Pupa

Spodoptera litura F. berwarna merah gelap dengan panjang 15-20 mm dan

bentuknya meruncing ke ujung dan tumpul pada bagian kepala. Pada bagian

ventral, abdomen segmen terakhir pupa jantan, dijumpai dua titik yang agak
7

berjauhan. Titik yang ada di sebelah atas adalah calon alat kelamin jantan sedang

titik yang di bawahnya adalah calon anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang

saling berdekatan (Arobi, 2012).

Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat atau keperakan, dan sayap

belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Ngengat aktif pada malam

hari dan serangga betina bila meletakkan telur dalam bentuk paket dan satu paket

bisa mencapai 200-300 butir. Seekor betina bisa meletakkan telur mencapai 800-

1000 butir. Dan lama masa hidup imago 5-9 hari. Lama siklus dari hama ini

adalah 24 - 41 hari (Tobing, 2014).

Gambar 1. Larva ulat grayak (Spodoptera litura F.)


Sumber : Foto langsung

Gambar 2. Introduksi larva ulat grayak (Spodoptera litura F.)


Sumber : Foto langsung
Gejala Serangan

Larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa

epidermis bagian atas/transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Larva instar

lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang buah. Biasanya larva
8

berada di permukaan bawah daun menyerang secara serentak berkelompok,

serangan berat dapat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis

dimakan ulat. Serangan berat umumnya terjadi pada musim kemarau

(Supriadi, 2011).

Kerusakan daun yang diakibatkan larva yang masih kecil merusak daun

dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal

tulang-tulang daun saja. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun,

umumnya terjadi pada musim kemarau. Larva instar lanjut merusak tulang daun

dan buah. Pada serangan berat menyebabkan gundulnya tanaman (Arobi, 2014)

Ngengat meletakkan telur dalam satu paket pada permukaan daun bagian

bawah sejak tanaman baru menghasilkan 4 – 5 daun. Saat keluar dari telur, ulat

hidup bergerombol disekitar paket sampai dengan instar ke-3, dan fase ini ulat

memakan daun dengan gejala transparan. Pada instar ke-4 ulat menyebar ke

bagian tanaman atau ke tanaman sekitarnya (Halimah, 2010).

Gambar 3. Gejala serangan larva ulat grayak (Spodoptera litura F.)


Sumber : Foto langsung
9

Pengendalian

Pengendalian hama secara biologis atau pengendalian hayati mendapat

perhatian yang cukup besar. Hal ini antara lain disebabkan oleh kesadaran

masyarakat yang semakin tinggi akan bahayanya efek samping penggunaan

insektisida kimia, baik terhadap manusia maupun lingkungan. Dampak negatif

penggunaan insektisida yang kurang bijaksana akan menimbulkan resistensi

hama, resurgensi hama, munculnya hama kedua, terbunuhnya jasad bukan sasaran

(parasitoid, predator dan serangga berguna lainnya), residu insektisida dan

pencemaran lingkungan (Embriani, 2010).

Insektisida nabati dapat dibuat dari bahan tumbuhan yang mengandung

bahan aktif insektisida. Insektisida nabati relatif mudah terurai di alam sehingga

tidak mencemari lingkungan dan aman bagi manusia dan ternak, karena residunya

mudah hilang. Bahan aktif insektisida nabati mampu meracuni hama hingga 2- 3

hari, tergantung kondisi lapangan dan keadaan cuaca (Tobing, 2014).

Agen hayati yang berperan penting sebagai pengendali hama secara

alamiah adalah Nucleopolyhedrovirus (NPV) yang merupakan agensi hayati ulat

grayak. Virus memiliki sifat yang menguntungkan antara lain: 1. memiliki inang

spesifik dalam genus/famili yang sama, sehingga aman terhadap organisme bukan

sasaran, 2. tidak mempengaruhi parasitoid, predator dan serangga berguna lainnya

3. dapat mengatasi masalah resistensi ulat grayak terhadap insektisida kimia, 4.

kompatibel dengan insektisida kimiawi yang tidak bersifat basa kuat

(Embriani, 2010).
10

Predator Semut Api (Solenopsis invicta)

Biologi Predator

Semut api mampu bertelur 240 s/d 700 butir per hari dalam bentuk

gundukan sebesar setengah tetes air, terus-menerus selama 12 bulan sebelum

akhirnya mati. Telur-telur ini akan didistribusikan keseluruh sarang dalam koloni

oleh semut pekerja dengan menempelkan setiap telur ke dinding sarang. Dengan

mengabsorsi oksigen di udara sekitarnya, kandungan protein dalam telur akan

tumbuh menjadi embrio yang dibantu (Riyanto, 2007).

Semut api merujuk kepada semut yang bewarna merah dan mampu

mengigit makhluk hidup lain. Tubuh semut api terdiri atas tiga bagian, yaitu

kepala, mesosoma (dada), dan metasoma (perut). Morfologi semut api cukup jelas

dibandingkan dengan serangga lain yang juga memiliki antena, kelenjar

metapleural, dan bagian perut yang berhubungan ke tangkai semut membentuk

pinggang sempit (pedunkel) di antara mesosoma (bagian rongga dada dan daerah

perut) dan metasoma (perut yang kurang abdominal segmen dalam petiole).

Petiole yang dapat dibentuk oleh satu atau dua node (hanya yang kedua, atau yang

kedua dan ketiga abdominal segmen ini bisa terwujud) (Taib, 2013).

Peran semut di alam dapat memberikan pengaruh positif dan negatif

terhadap hewan dan manusia. Manfaat segi positif tidak dapat secara langsung

dinikmati oleh manusia misalnya perannya sebagai predator, menguraikan bahan

organik, mengendalikan hama dan bahkan membantu penyerbukan. Semut secara

ekonomi kurang bermanfaat langsung bagi manusia, namun bila dilihat secara

ekologi dapat bermanfaat untuk hewan lain dan tumbuhan, karena dalam rantai
11

makanan memiliki peran yang sangat penting. Semut dapat dimanfatkan menjadi

predator untuk mengurangi hama di perkebunan (Riyanto, 2007).

Gambar 4. Pengaplikasian Predator


Sumber : Foto langsung
Mekanisme Kerja

Semut Api yang kecil dengan warna coklat kemerahan dan hijau ini

terkenal dengan gigitannya yang amat menyakitkan. Gigitan yang terasa pedas

menyengat dan gatal. Meskipun semut Api berukuran relatif kecil, namun mampu

membuat lawannya kesakitan. Hal ini karena gigitannya mengandung racun yang

dikeluarkanya mampu menyerang saraf (Yustiani, 2014).

Aktivitas pencarian makan dilakukan semut Api hanya di daerah

teritorinya. Suhu lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh secara langsung

terhadap aktivitas pencarian makan. Semut ini mencari makan saat suhu udara

23- 30ºC, pada saat suhu udara diatas 30ºC aktivitas pencarian makan berkurang.

Aktivitas semut api lebih besar dibandingkan dengan aktivitas nokturnalnya ,

yaitu antara pukul 09.00 - 10.30 dan 15.00 - 18.00 merupakan waktu yang paling

banyak digunakan semut Api untuk mencari makan, selebihnya waktu digunakan

di dalam sarang. Selain kebutuhan nutrisi, ketersediaan makanan sekitar sarang

dan tingkat pertumbuhan koloni juga mempengaruhi aktivitas pencarian makan

(Mele dan Cuc, 2004).


12

Pelestarian Predator

Semut api merupakan salah satu jenis musuh alami. Semut ini memiliki

cara hidup yang khas yaitu merajut daun-daun pada pohon untuk membuat sarang.

Semut api menyukai udara yang segar sehingga tidak mungkin ditemukan di

dalam rumah. Hal itu pula yang menyebabkan mengapa mereka tidak membuat

sarang di dalam tanah melainkan pada pohon. Selain perilakunya yang khas dalam

membuat sarang, tubuh semut api lebih besar dan perilakunya lebih agresif

daripada semut lainnya (Mele dan Cuc, 2004).

Semut ini efektif pada beberapa ulat diperkebunan kelapa sawit terutama

ulat dengan kematian 83 %. Selain itu, semut Api juga mampu membentuk sarang

sendiri dari beberapa benda tidak tembus cahaya guna mendapatkan intensitas

cahaya yang tepat, dijalin dengan menggunakan bahan benang sutera yang

dikeluarkan dari larva, dicampur feromon dari mulut semut Api dewasa dan

dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Sarang bersifat polydomous, yang

artinya satu koloni mendiami banyak sarang dalam satu tempat atau dalam tempat

yang berbeda dalam satu koloni (Yustiani, 2014).

Pembuatan sarang turunan dilakukan jika sarang utama/induk tidak lagi

dapat menampung ratusan sampai ribuan semut pekerja. Penyebaran koloni semut

Api dari suatu kebun kakao ke kebun kakao lain dapat dilakukan dengan cara

memindahkan sarang semut ini dari kebun yang mempunyai banyak populasi

semut (Mele dan Cuc, 2004).

Pemanfaatan Predator Semut Api (Solenopsis invicta) Terhadap


Pengendalian Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F. ) Pada Tanaman
Kacang Hijau (Vigna radiata L. )
13

Semut Api menjadi musuh alami pada sekitar 16 spesies hama. Semut Api

dikenal sebagai predator yang agresif dan aktif memburu mangsa. Mangsa semut

yang beraneka macam, mulai macam serangga, termasuk PBK. Pengamatan

dilapangan menunjukkan bahwa semut ini juga sering ditemui berkumpul dalam

jumlah banyak (Yustiani, 2014).

Semut api melindungi kebun dari serangan hama dan penyakit.

Semut ini memangsa hama baik yang merusak secara langsung maupun yang

menularkan penyakit pada tanaman. Hasil penelitian dan pengalaman

menunjukkan bahwa semut api dapat memangsa berbagai hama misalnya kepik

hijau, ulat pemakan daun, ulat pemakan buah dan kutu-kutuan pada coklat,

mete,jeruk. Bahkan semut api mengusir tikus. (Mele dan Cuc, 2004).

Selain itu Api juga dapat memangsa larva PBK yang akan berpupa, Api

dapat mengganggu imago PBK untuk meletakkan telurnya sehingga semut ini

merupakan agens hayati yang potensial untuk mengendalikan PBK

(Yustiani, 2014).

Entomopatogen

Entomopatogen (Bacillus thuringiensis)

Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan bakteri gram-positif yang

mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3-5 μm dan

lebar 1,0- 1,2 μm serta memiliki flagella. Spora Bt berbentuk oval, letaknya

subterminal, berwarna hijau kebiruan, dan berukuran 1,0-1,3 μm. Spora

mengandung asam dipikolinik dan terbentuk dengan cepat pada suhu 35°-37°C.

Suhu optimum untuk pertumbuhan Bt berkisar antara 10°-50°C

(Abdulah et al., 2005).


14

Ciri khas yang terdapat pada Bt adalah kemampuannya membentuk Kristal

(parasporal body) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel

mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang

mengandung toksin yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase

eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah

sporulasi sempurna (Bai et al., 2015).

Endospora yang dihasilkan oleh Bacillus mempunyai ketahanan yang

tinggi terhadap faktor kimia dan fisika, seperti suhu ekstrim, alkohol, dan

sebagainya. Jenis-jenis tersebut seluruhnya mengandung Dipicolinic Acid (DPA)

dan mereka mempunyai derajat dormansi unparalel pada bentuk kehidupan yang

lain. Spora tersebut membawa siklus perkembangan dimana sel vegetatif dapat

membentuk spora dan spora kemudian dapat tumbuh berkecambah menjadi sel

vegetative (Effendy et al., 2010).

Mekanisme Kerja

B. thuringiensis tidak dapat memusnahkan seluruh populasi serangga

sasaran, namun daya kerjanya cukup kuat untuk menekan kerugian ekonomi

akibat serangan serangga hama. Untuk menjaga agar lingkungan tetap bersih dan

tidak tercemari telah dilakukan berbagai penelitian untuk mengendalikan serangga

hama secara hayati. Diantara berbagai agens pengendali hayati, B. thuringiensis

menjadi mikrobia pilihan karena tidak membahayakan manusia, hewan, tumbuhan

serta serangga berguna (Bahagiawati, 2012).

Pengendali hayati. B. thuringiensis adalah bakteri gram positif yang

berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini

yang menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Bakteri tersebut


15

mempunyai serangga inang yang spesifik, tidak berbahaya bagi musuh alami dan

organisme bukan sasaran, serta dapat ditingkatkan patogenisitasnya dengan teknik

rekayasa genetic (Khaeruni et al., 2012).

Bacillus thuringiensis merupakan salah satu agensia hayati yang paling

menonjol dan potensial. B. thuringiensis mempunyai kemampuan membentuk

badan inklusi parasporal sewaktu bersporulasi. Dalam badan inklusi parasporal ini

diakumulasikan δ-endotoksin. Bila termakan oleh larva serangga yang peka,

δ-endotoksin yang berupa protoksin ini dalam saluran pencernaan insekta yang

berlingkungan basa diubah menjadi toksin aktif. Saluran pencernaan larva

serangga juga mengandung protease yang berperan dalam pengubahan toksin

menjadi toksin aktif. Selain itu, protease mengubah daya ikat reseptor dalam

saluran pencernaan sehingga toksin dapat berikatan dengan reseptor untuk

memulai daya toksiknya (Bahagiawati, 2012).

Pemanfaatan Entomopatogen Bacillus thuringiensis Terhadap Pengendalian


Hama Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kacang Hijau
(Vigna radiata L.)
Pemilihan B. thuringiensis sebagai bioinsektisida didasarkan pada

berbagai pertimbangan keuntungan dan kelemahannya. Keuntungan : 1. tidak

bersifat toksik terhadap vertebrata serta tanaman dan tidak mengganggu predator

dan serangga berguna ; 2. Seleksi B. thuringiensis dapat menghasilkan strain

dengan´δ-endotoksin yang lebih ampuh serta kisaran serangga sasaran yang

berbeda dengan preparat komersial yang ada. 3. Proses pertumbuhan dan

pembentukan kristal protein dapat diatur ; 4. Persistensi yang rendah di alam.

Aplikasi B. thuringiensis biasanya dilakukan berulang kali.. Kelemahan ; 1.

Kisaran serangga sasaran yang sempit menyebabkan insektisida kimiawi menjadi

pilihan untuk menanggulangi serangga hama. 2. Aplikasi B. thuringiensis harus


16

tepat, sedangkan insektisida kimiawi dapat diberikan sebagai pencegahan terhadap

serangga hama ; 3. B. thuringiensis harus dimakan oleh serangga sasaran ; 4.

Sampai saat ini, preparat komersial B. thuringiensis lebih mahal dibandingkan

insektisida kimiawi ; 5. Penyemprotan bioinsektisida pada daun mudah tercuci

oleh hujan (Bahagiawati, 2012).

B. thuringiensis yang memiliki tingkat patogenisitas dan virulensi yang

tinggi. Kematian larva sudah mulai terjadi satu hari setelah aplikasi

B. thuringiensis dan persentase kematian meningkat sampai tujuh hari setelah

aplikasi, dimana hampir seluruh larva yang diuji mengalami kematian. Semua

isolat yang diuji memiliki nilai mortalitas antara 60-100% pada pengamatan tujuh

hari setelah aplikasi (Khaeruni et al., 2012).

B. thuringhiensis merupakan agensia yang mempunyai daya toksisitas terhadap

berbagai serangga karena organisme ini menghasilkan toksin selama sporulasi.

Bahan aktif yang mempunyai aktivitas larvisidal ini adalah δ-endotoksin yaitu

suatu protein yang terkandung dalam inklusi parasporal pada B. thuringiensis H-

14 dan struktur-struktur sel termasuk spora dan dinding sel pada B. sphaericus

(Bahagiawati, 2012).

Pestisida Nabati

Pestisida Nabati Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.)

Biopestisida adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahan

hidup. Yang akan diuraikan disini adalah biopestisida yang terbuat dari tanaman

sehingga disebut Pestisida Nabati. Kandungan bahan kimia dalam tanaman

tersebut menunjukkan bioaktivitas pada serangga, seperti bahan penolak

,penghambat makan , penghambat perkembangan , dan penghambat peneluran .


17

Biopestisida sekarang mulai banyak diminati oleh petani karena harga pestisida

kimia sangat mahal. Selain itu penyemprotan pestisida kimia yang tidak bijaksana

menyebabkan kekebalan terhadap hama dan menimbulkan pencemaran

lingkungan(Wiryawan, 2004).

Salah satu tanaman yang bersifat sebagai insektisida nabati adalah

mengkudu (Morinda citrifolia L.). Mengkudu mengandung minyak atsiri,

alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol dan antrakuinon. Kandungan lainnya

adalah terpenoid, asam askorbat, scolopetin, serotonin, damnacanthal, resin,

glikosida, eugenol dan proxeronin (Hasnah dan Nasril, 2009).

Gambar 4. Pengaplikasian pestisida


Sumber : Foto langsung
Mekanisme Kerja

Dari beberapa penelitian yang telah di lakukan, dengan menggunakan

ekstrak buah mengkudu yang digunakan sebagai pestisida alami menyebabkan

mortalitas terhadap beragam jenis insekta yang menyerang tanaman. Kandungan

senyawa kimia Senyawa antifungi yang terkandung dalam ekstrak buah

mengkudu adalah Anthraquinon, Scopoletin (hidroksi– metoksi-kumarin dan

Terpenten yang termasuk dalam senyawa golongan alkaloid, flavonoid dan

terpenoid. Senyawa-senyawa inilah yang diduga mempunyai aktivitas. karena


18

mengandung senyawa meatabolit sekunder yang dapat menyebabkan gangguan

terhadap Adanya penghambatan pertumbuhan hama berupa insekta. Disamping itu

adanya senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak buah mengkudu

yang mempunyai sifat anti jamur maupun antimikroba. (Riyanto, 2014).

Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tumbuhan asli indonesia, buah

mengkudu mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol dan

antrakuinon. Kandungan lainnya adalah terpenoid, asam askorbat, scolopetin,

serotonin, damnacanthal, resin, glikosida, eugenol dan proxeronin. Hama

merupakan organisme parasit yang merugikan tanaman, hama dapat dikendalikan

dengan penggunaan insektisida alami. senyawa flavonoid dan saponin dapat

menimbulkan kelayuan pada saraf serta kerusakan pada spirakel yang

mengakibatkan serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati

(Hasnah dan Nasril, 2009).

Senyawa kimia pertahanan tumbuhan terpenoid mengakibatkan akibatnya

pertumbuhan serangga akan terganggu. Senyawa kimia pertahanan tumbuhan

merupakan metabolik sekunder atau aleleokimia yang dihasilkan pada jaringan

tumbuhan, dan dapat bersifat toksit, menurunkan kemampuan serangga dalam

mencerna makanan dan pada akhirnya mengganggu pertumbuhan serangga

(Riyanto, 2009).
19

METODE PERCOBAAN
Tempat dan Waktu Percobaan

Adapun percobaan ini dilakukan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan

selesai di Laboratorium Pengendalian Hama Terpadu Program Studi

Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada ketinggian

± 25 meter dpl.

Bahan dan Alat Percobaan

Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tanah sebagai

media tanam yang digunakan, polibag sebagai wadah tanaman untuk tumbuh,

benih kacang hijau sebagai sumber bahan tanam, air untuk disiram ke tanaman,

ulat grayak sebagai hama yang digunakan, bakteri Bacillus thuringiensis sebagai

sumber entomopatogen, buah mengkudu sebagai sumber bahan pestisida nabati.

Adapun alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah cangkul yang

digunakan untuk membersihkan lahan, sungkup yang digunakan untuk menutupi

tiap tanaman agar hama yang diaplikasikan tidak keluar, hand sprayer sebagai

tempat untuk menyemprotkan pestisida nabati dan entomopatogen pada tanaman,

pacak untuk menopang sungkup, blender untuk menghaluskan bahan pestisida

nabati, gembor untuk menyiram tanaman,saringan untuk menyaring larutan

pestisida nabati dari ampasnya, bak kecambah untuk wadah perkecambahan benih

kedelai, dan buku catatan untuk mencatat pengamatan yang dilakukan.

Prosedur Percobaan

Adapun prosedur percobaan yang dilakukan adalah:

- Disiapkan media perkecambahan benih kacang hijau yang berisi pasir

- Di rendam benih dalam air, yang tenggelam digunakan sebagai bahan tanam,

sedangkan yang terapung dibuang


20

- Ditanam benih kacang hijau pada bak kecambah

- Dibersihkan lahan percobaan dari tanaman yang tumbuh diatasnya dengan

menggunakan cangkul

- Diisi polibag dengan tanah, kemudian diletakkan pada areal lahan percobaan

yang telah ditentukan

- Dipindahkan bibit kacang hijau yang siap tanam ke polibag yang ada di lahan

- Dipasang sungkup pada tiap tanaman, digunakan pacak sebagai penopang

sungkup

- Dimasukkan hama ulat grayak ke dalam tiap sungkup tanaman kacang hijau

sebanyak 10 ekor tiap tanaman yang telah disungkup tersebut

- Dibuat pestisida nabati dengan menggunakan bahan yaitu buah mengkudu

sebagai sumber bahan nabati kemudian dimasukkan ke dalam hands prayer

- Dilarutkan bahan entomopatogen kemudian dimasukkan ke dalam hands

prayer

- Disemprotkan larutan pestisida nabati dan entomopatogen dalam tiap tanaman

yang berbeda sesuai dengan yang telah ditetapkan.

- Dimasukkan predator capung ke dalam tanaman yang lainnya.

- Diamati pertumbuhan hama dalam tiap tanaman yang disungkup sesuai

dengan parameter pengaplikasian yang telah dilakukan


21

Pengamatan Parameter

Mortalitas Hama= Jumlah yang terserang x 100%


Total hama aplikasi

Tingkat Kerusakan = Jumlah daun terserang x 100%


Total daun termakan
22

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Tabel 1. Data Mortalitas Hama
Perlakuan Mortalitas Hama Rata-Rata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kontrol 0% 0% 10% 10% 20% 20% 30% 30% 30% 30% 18%

Musuh Alami 0% 10% 20% 20% 40% 40% 50% 60% 70% 70% 38%

Pestisida Nabati 0% 0% 10% 10% 10% 30% 30% 40% 50% 50% 23%

Tabel 2. Data Intensitas Serangan


Skoring
0% -30% = Ringan
31%-60% = Sedang
60%-90% = Berat
100% = Sangat Berat

Perlakuan Intensitas Serangan Rata-Rata


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kontrol 5,5 12,5 16% 16% 31% 44% 44% 48% 53% 61% 39 %
% % (Sedang)
Musuh Alami 5% 12,5 18,7 25% 25% 25% 25% 28% 31% 31% 24%
% % (Ringan)
Pestisida Nabati 9% 13% 14% 19% 25% 28% 35% 42% 42% 42% 27%
(Ringan)
23

Pembahasan

Dari hasil pengamatan yang telah di lakukan , rata - rata persentase

mortalitas hama yang tertinggi yaitu pada perlakuan musuh alami sebanyak 38%

dikarena semut api merupakan merupakan predator bagi kebanyakan hama ulat

sehingga mampu memangsa seluruh mangsanya dengan cepat dengan cara

berkelompok .Hal ini sesuai dengan literatur Riyanto (2007) yang menyatakan

bahwa, peran semut di alam dapat memberikan pengaruh positif dan negatif

terhadap hewan dan manusia. Manfaat segi positif tidak dapat secara langsung

dinikmati oleh manusia misalnya perannya sebagai predator, menguraikan bahan

organik, mengendalikan hama dan bahkan membantu penyerbukan.

Dari hasil pengamatan yang telah di lakukan , rata - rata persentase

mortalitas hama yang terendah yaitu pada perlakuan kontrol sebanyak 18%

dikarenakan pada perlakuan kontrol tidak ada diterapkannya PHT sehingga hama

yang ada didalam sedikit yang mati. Hal ini sesuai dengan literatur Termizi (2010)

yang menyatakan bahwa, yang menyatakan bahwa PHT merupakan suatu cara

pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada

dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan

agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, rata-rata presentase intensitas

serangan paling tinggi yaitu pada perlakuan kontrol sebanyak 39% dikarenakan

hama yang ada didalam tidak ada diberikan tindakan pengendalian sehingga hama

yang ada lebih leluasa memakan daun kacang hijau yang ada. Hal ini sesuai

dengan literatur Sinaga (2015) yang menyatakan bahwa, belum tercapainya target

produktifitas tanaman kacang kedelai dan kacang hijau disebabkan karena


24

meningkatnya luas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) hingga 2,25

% dari total luas tanam atau sekitar 13.571 ha.

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, rata-rata presentase intensitas

serangan paling rendah yaitu pada perlakuan predator sebanyak 24% dikarenakan

hama yang diberi predator akan dimangsa oleh predator sehingga intensitas

serangan hama akan berkurang hal ini sesuai dengan literatur Riyanto (2007) yang

menyatakan bahwa, peran semut di alam dapat memberikan pengaruh positif dan

negatif terhadap hewan dan manusia. Manfaat segi positif tidak dapat secara

langsung dinikmati oleh manusia misalnya perannya sebagai predator,

menguraikan bahan organik, mengendalikan hama dan bahkan membantu

penyerbukan.

Dari hasil pengamatan yang dilakaukan bahwa perlakuan yang paling

efektif adalah pengendalian dengan musuh alami karena musuh alami dapat

langsung memakan hama yang berada pada tanaman, seperti musuh alami yang

digunakan pada praktikum ini yaitu semut api. Semut api dapat memakan hama

yang menyerang tanaman dengan berkelompok, tingkat keberhasilan dengan

menggunakan semut api pun cukup tinggi hal ini sesuai dengan literatur Riyanto

(2007) yang menyatakan bahwa, peran semut di alam dapat memberikan pengaruh

positif dan negatif terhadap hewan dan manusia. Manfaat segi positif tidak dapat

secara langsung dinikmati oleh manusia misalnya perannya sebagai predator,

menguraikan bahan organik, mengendalikan hama dan bahkan membantu

penyerbukan.
25

KESIMPULAN

1. Rata - rata persentase mortalitas hama yang tertinggi yaitu pada perlakuan

musuh alami sebanayak 38% .

2. Rata - rata persentase mortalitas hama yang terendah yaitu pada perlakuan

kontrol sebanayak 18% .

3. Rata-rata presentase intensitas serangan paling tinggi yaitu pada perlakuan

kontrol sebanyak 39%.

4. Rata-rata persentase intensitas serangan paling rendah yaitu pada perlakuan

Predator sebanyak 24%.

5. Perlakuan yang paling efektif adalah pada perlakuan musuh alami dengan

menggunakan Semut Api (Solenopsis invicta).


26

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S.K., Mustafa, R.A, and Assaf, L.H. 2015. Isolation


ofEntomopathogenic and Opportunistic Fungi from Soil in Duhok
Province,Kurdistan Region of Iraq by Different Selective Isolation
Media. Journal ofBiology, Agriculture and Healthcare. 5 (4) : 73-79.

Arobi, Y. 2012. Daya Predasi Cecopet ( Forficula auricularia ) (Dermaptera:


Nisolabididae) Pada Berbagai Instar Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura
F.) (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium. Universitas Sumatera
utara. Medan.

Bai, N. S, Sasidharan, T.O., Remadevi, O.K., Dharmarajan, P., Pandian, S.K., and
Balaji, K. 2015. Morphology and RAPD Analysis of Certain Potentially
Entomopathogenic Isolates of Metarhizium anisopliae Metsch.
(Deuteromycotina: Hypocreales). J. Microbiol Biotech. 5(1) : 34-40.

Bahagiawati. 2012. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida.


Balai Peneletian Bioteknologi Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor

Effendy, T.A. Septiadi, R., Salim, A dan Mazid, A. 2010. Jamur


EntomopatogenAsal Tanah Lebak di Sumatera Selatan dan Potensinya
sebagai AgensiaHayati Walang Sangit (Leptocorisa orotorius (F.). Jurnal
HPT Tropika. 10 (2) : 154-161.

Halimah. 2010. Pengaruh Biopestisida Untuk Mengendalikan Ulat Grayak


Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Tembakau
Deli (Nicotiana tabacum L.) Di Rumah Kasa. Universitas Sumatera utara.
Medan.

Hasnah dan Nasril. 2009. Efektivitas Ekstrak Buah Mengkudu


(Morinda citrifolia L.) Terhadap Mortalitas Plutella xylostella L. Pada
Tanaman Sawi. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Jasmani. 2006. Respon Kacang Hijau (Phaseolus radiatus) Varietas Walet


terhadap Jarak Tanam dan Pemupukan Phospor. Universitas Mercu
Buana.Yogyakarta.

Khaeruni, A. Rahayu dan Purnamaningrum, N,T. 2012. Isolasi Bacillus

Mele, P. dan N. Cuc. 2004. Semut Sahabat Petani. World Agroforestry Centre
(ICRAF).

Putra,A.S. 2011. Evaluasi Varietas Kacang Hijau (Vigna radiata L. Wilczek)


Untuk Kecambah (Tauge). Universitas Sumatera utara. Medan.

Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di
Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Universitas Sriwijaya, Palembang.
27

Riyanto, W. 2014. Pemanfaatan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Sebagai


Pestisida Alami Untuk Mengendalikan Hama Kelas (Insecta) Yang
Menyerang Tanaman Petani.

Sinaga, R. A. 2015. Uji Preferensi Kepik Coklat Riptortus linearis


Fabr.(Hemiptera : Alydidae) Pada Tanaman Kacang Kedelai, Kacang Hijau
Dan Orok – Orok ( Crotolaria pallida Aiton.) Di Rumah Kassa. Universitas
Sumatera Utara, Medan.

Sumarji.2013. Teknik Budidaya Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.)


. Universitas Islam Kediri. Kediri.

Supriadi, D. 2011. Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Dan Daun Tomat Sebagai
Insektisida Nabati Dalam Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura L.
(Lepidoptera: Noctuidae) Pada Tanaman Sawi. Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Taib, M. 2013. Ekologi Semut Api (Solenopsis invicta). Gorontalo.

Tambunan, C. B. S. N. 2010. Penggunaan Beberapa Serbuk Biji Tanaman Untuk


Mengendalikan Callosobruchus chinensis L. (Coleoptera: Bruchidae) Pada
Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Di Laboratorium. Universitas Sumatera
Utara, Medan.

Termizi, A. 2010. Studi Karakter Beberapa Varietas Kacang Hijau (Phaseolus


radiatus L.) Dengan Sistem Pertanian Organik. Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Tobing, S. S.L. 2014. Uji Efektivitas Metarhizium anisopliae Metch. Dan


Beauveria bassiana Bals. Terhadap Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada
Tanaman Kedelai (Glicyne max L.) Di Rumah Kassa. Universitas Sumatera
Utara, Medan.

Wiryawan. 2004. Teknologi Sederhana Pembuatan Biopestisida. Yogyakarta.

Yulia, E. 2013. Pertumbuhan Dan Hasil Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Pada
Beberapa Konsentrasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. Fakultas Pertanian
Universitas Tamansiswa, Padang.

Yustiani, V. 2014. Semut Api Sang Predator Alami. BBPPTP. Surabaya.

You might also like