You are on page 1of 41

LAPORAN KASUS

NEUROPATI
DIABETES MELITUS

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono

Pembimbing :
dr. Hardi Suryaatmadja, Sp.PD

Disusun oleh :
ANDYA YUDHI WIRAWAN
1410221008

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

NEUROPATI
DIABETES MELITUS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Tk.II dr. Soedjono Magelang

Oleh :

ANDYA YUDHI WIRAWAN


1410221008

Magelang, September 2015


Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Dokter pembimbing

dr. Hardi Suryaatmadja, Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatanya kadar gula darah) yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Neuropati diabetika adalah suatu gangguan pada syaraf perifer, otonom dan
syaraf cranial yang ada hubunganya dengan diabetes melitus. Keadaan ini
disebabkan oleh kerusakan mikrovaskuler yang disebabkan oleh diabetes yang
meliputi pembuluh darah yang kecil-kecil yang memperdarahi syaraf (vasa
nervorum). Gangguan neuropati ini termasuk manifestasi somatik dan atau
otonom dari sistem saraf perifer.
Neuropati diabetik merupakan komplikasi diabetes melitus jangka panjang
yang paling sering ditemukan serta menimbulkan morbiditas dan mortalitas tinggi
pada penderita diabetes. Bahkan saat ini telah diketahui juga bahwa neuropati
diabetik dapat terjadi pada kondisi gangguan toleransi glukosa dan sindrom
metabolik tanpa adanya hiperglikemia.
Neuropati diabetik merupakan sekumpulan gejala klinis yang
mempengaruhi berbagai sistem saraf baik secara tunggal maupun bersama-sama.
Gejala dan tanda klinis dapat bersifat non-spesifik, tersembunyi dan berkembang
secara lambat serta tidak terdeteksi atau dapat bermanifestasi dengan gejala dan
tanda klinis yang menyerupai penyakit lain. Karena itu diagnosis neuropati
diabetik didapat dengan menyingkirkan penyebab neuropati lainnya.
Neuropati diabetik meningkatkan resiko amputasi sebesar 1.7 kali, 12 kali
lipat bila ada deformitas dan 36 kali lipat jika ada riwayat ulserasi sebelumnya.
Neuropati diabetik juga menganggu kualitas hidup penderita diabetes. Saat
neuropati diabetik otonom ditegakkan maka kehidupan akan berlangsung suram
dan angka mortalitas akan mencapai 25% hingga 50% dalam waktu 5 hingga 10
tahun. Penatalaksanaan terpadu dalam mencegah kejadian neuropati diabetik
sangat diperlukan.
LAPORAN KASUS
Indentitas Pasien
Nama : Ny. T K
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Perum Jambewangi Indah II, RT 003/RW 015, Jambewangi,
Secang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Agama : Islam

Datang ke Rumah Sakit pada tanggal : 13 Agustus 2015 pukul 15.30 WIB
Anamnesis dilakukan secara : Autoanamnesis pada tanggal 22 Agustus 2015 di
Ruang Bougenvile RST Dr. Soedjono Magelang

Subjektif
Keluhan Utama :
Nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri ulu hati dirasakan kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu, nyeri dirasa
menjalar sampai ke punggung kanan bagian belakang dan tembus hingga bagian
atas kemaluan sebelah kanan, nyeri yang dirasakan hilang timbul, terkadang
dengan perubahan posisi duduk atau tidur nyeri dapat timbul.
Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 3 hari yang lalu, makan dan minum hanya
sedikit karena tiap makan dan minum rasanya mual. Badan terasa menggigil 3 hari
ini. Di IGD di periksa GDS dengan hasil 440 mg/dL. Jari serta telapak tangan dan
kaki terasa kesemutan dan baal. Jika di pegang terkadang terasa namun juga
kadang tidak terasa, hanya kesemutan saja. Pasien mengaku dalam pengobatan
insulin namun selama 3 hari ini tidak menggunakan insulinnya.
Keluhan mual (+), muntah (+), nyeri perut (-), batuk (-), demam (-), sakit kepala
(-), makan dan minum (N), BAB dan BAK (N).
Riwayat Alergi : -

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memiliki riwayat penyakit batu ginjal sejak tahun 1989, namun belum
pernah dioperasi atau di keluarkan
Pasien memilik riwayat DM kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu, terkontrol
dengan obat dari poli penyakit dalam Humalog 20.0.20, ketokonazol, meloxicam
7,5 mg, lansoprazole. Awalnya pasien tidak mengetahui penyakitnya, sebelumnya
pasien hanya sering buang air kecil dan sering makan terutama nasi pada malam
hari. Pasien mengeluh kedua kakinya terutama bagian jari sering kesemutan
terkadang mati rasa. Terkadang keluhan ini juga di rasakan di kedua tangannya.
Kesulitan untuk melangkah atau menaiki tangga, menggerakan jari-jarinya
disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Hipertensi : Ayah
DM : Ibu

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan :


Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
Olahraga : tidak rutin
Gizi : kurang terkontrol

Objektif
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2015 di Ruang Bougenvile
9.00 WIB
Keadaan Umum : Sakit Ringan
Kesadaran/GCS : Compos Mentis / E4 M6 V5
Tanda Vital :
• Tekanan Darah : 120/90 mmHg
• Nadi : 88 x/menit
• Suhu : 36,3 0C
• Respirasi : 16 x/menit

Kepala :
• Rambut merata, tidak terdapat alopesia
• Tidak terdapat deformitas atau hematom
• Wajah simetris, tidak terdapat oedem maupun parese

Mata :
• Menggunakan kacamata spheris negatif
• Eksoftalmus (-), enoftalmus (-), edema (-), TIO tidak meningkat
• Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
• Pupil isokor, RCL +/+, Reflek kornea +/+

Leher :
• Tidak ada pembesaran KGB leher
• Tidak terdapat pembesaran Kelenjar Tiroid
• JVP : 5 + 2 cm H2O

Thorax :
• Cor
Inspeksi : Simetris bagian dada kanan dan kiri, tidak tampak ictus cordis
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea mid clavicularis kiri ICS V
Heave (-), ventricular lift (-)
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternal kanan ICS IV,
Batas jantung kiri di linea midclavicularis kiri ICS V
Pinggang Jantung di linea parasternal kiri ICS III
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vocal fremitus (+/+)
Perkusi : Terdengar sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+), Hepar Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA +/-

Ekstremitas :
• Edema -/-/-/-
• Sianosis -/-/-/-
• Akral hangat
• CRT < 2 detik
Ekstremitas atas
Gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), turgor kembali lambat(-), sianosis (-), parestesia (+).
Ekstremitas Bawah
Gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal, telapak kaki pucat (-), jari
tabuh (-), turgor kembali lambat (-), edema pretibia dan pergelangan kaki (-),
parestesia (+).

Daftar Masalah
Dari anamnesis
1. Nyeri perut hilang timbul
2. Nyeri menjalar ke punggung kanan
3. Riwayat DM
4. Penggunaan insulin
5. Kaki baal
6. Kaki kesemutan
7. Riwayat keluarga DM
Dari Pemeriksaan Fisik
8. Parestesia kedua kaki
9. Diastole 90 mmHg
Assesment sementara
Kolik abdomen, DM tipe 2, Neuropati, Hipertensi gr I
Planning Diagnostik
1. Darah lengkap
2. Glukosa, Ureum, kreatinin
3. SGOT, SGPT

Hasil lab darah lengkap 13 Agustus 2015

Jenis Pemeriksaan Hasil

WBC 9,8 103/mm3

RBC 4,51 106/mm3

HB 13,5 g/dl

HCT 39,7 %

PLT 282 103/mm3

PCT 0.24 %

MCV 88 um3

MCH 29,9 pg

MCHC 34,4 g/dl

RDW 10,4 %

MPV 8,6 um3

PDW 16,7 %

Diff Count
Jenis Hasil Referensi Jenis Hasil Referensi

% Lym 18 % 20-40 # Lym 1,8 103/mm3 1,2-3,2

% Mid 9,3 % ↑ 1-15 # Mid 0,9 103/mm3 0,1-0,8

% Gra 72,7 % 50-70 # Gra 7,1 103/mm3 2,0-7,8

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

Gula darah puasa 272 mg/dl ↑ 70-115

Ureum 48 mg/dl 0-50

Creatinin 1,2 mg/dl 0-1,3

SGOT 30 U/l 3-35

SGPT 19 U/l 8-41

Diagnosis
Kolik abdomen, Diabetes Mellitus Tipe 2 + Neuropati diabetika
Hipertensi gr I
Planning
Planning Diagnostik
1. USG Abdomen
2. CT-Scan Adomen
Planning terapi
1. Infus RL 20 tpm
2. Ranitidin
3. Ondansentron
4. Humalog
5. Lansoprazole
Planning Edukasi
1. Kontrol gula darah
2. Olahraga

Tgl 14/08/2015
USG Abdomen
Kesan: - hepatomegali dengan multiple abses hepar dd hepatoma
- Cholecystitis ringan dengan susp small cholelithiasis
- Susp. Agenesis ren dextra DD CKD DD ectopic
- Gambaran subchronic renal disease sinistra dengan simple cyst ren
sinistra
- Tak tampak kelainan pada lien, VU
Tgl 18/0/2015
Scan upper abdomen potongan tegak lurus sumbu tubuh, IS 10 mm, tanpa dan
dengan kontras
Klinis: hepatomegaly, DD: Hepatoma absces hepar
Kesan: - tak tampak gambaran hepatomegaly, hepatoma, maupun abses hepar
- Severe hidronefrosis dextra
- Tak tampak kelainan pada morfologi hepar, VF, ren sinistra, lien dan
pankreas
- Tak tampak lymphadenopaty para-aortici

KONSUL: dr. Zamroni Sp.U (Urologi)

Tgl 19/08/2015
BNO
Kesan: - Udara usus dan fecal material prominent
- Tampak opasitas bentuk tubuler di proyeksi cavum pelvis apeks dextra,
susp. Ureterolithiasis dextra DD batu di UVJ
- Tampak opasitas bentuk tubuler di proyeksi paravertebra sinistra
setinggi VL 5 susp, ureterolithiasis sinistra
- Sistema tulang baik
FOLLOW UP
Hari/Tanggal/ Hasil Pemeriksaan Instruksi Dokter
Jam
Senin S: Rasa kebas di kaki sudah tidak Therapy:
24 Agustus 2015 dirasa, nyeri perut sudah tidak 1. RL 20 tpm
7.30 WIB dirasa 2. Inj Ketorolac 2 x 1
O: KU/KS : tampak sakit ringan / 3. Inj Omeprazole 1 x 1
Compos mentis 4. Inf Matro 3 x 1
5. Vomitas PO 3 x 1
VS : TD : 120/80 mmHg
6. Hyperit 2,5 PO 1 x ½
N : 84 x/menit
R : 18 x/menit 7. Humalog mix SC 2x
S : 36,0o C pagi (30) dan malam
(28)
Kepala : normochepal

Mata : CA -/- SI -/-

Leher : KGB (–) membesar

Thorax : Simetris, statis &


dinamis, retraksi (-)

Pulmo : Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Cor : BJ I–II regular, murmur (–),


gallop (-)

Abdomen: BU (+) normal

Ekstremitas : akral hangat


edem
– – Kesemutan (-)
– – Baal (-)

A : DM
Neuropati
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

NEUROPATI DIABETIKUM
Definisi
International Consensus Meeting for the Outpatient Management of
Neuropathy menyetujui definisi sederhana dari neuropati diabetik dalam praktek
klinis sebagai adanya gejala dan/atau tanda disfungsi saraf perifer pada pasien
diabetes setelah eksklusi penyebab lainnya. Diagnosis tidak dapat dibuat tanpa
pemeriksaan klinis yang seksama pada anggota gerak, hilangnya gejala bukan
berarti mengindikasikan hilangnya tanda.

Epidemiologi
Epidemiologi dan perjalanan alamiah neuropati diabetik masih belum
banyak diketahui. Prevalensi neuropati diabetik meningkat sesuai usia dan lebih
sering dijumpai pada pasien diabetes melitus tipe 2 dibandingkan diabetes melitus
tipe 1. Prevalensi tertinggi neuropati diabetik terjadi pada penderita diabetes lebih
dari 25 tahun.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa prevalensi neuropati diperkirakan
yaitu sebesar 30% dari semua pasien rawat inap. Sementara pada sampel populasi
hampir mendekati 20%. Prevalensi neuropati diabetik pada usia lanjut sekitar
50%, bervariasi dari 14% hingga 63% tergantung pada tipe populasi yang
dipelajari dan kriteria yang digunakan untuk definisi neuropati diabetik.
Prevalensi keseluruhan neuropati diabetik perifer pada National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) sebesar 14.8% yang lebih dari tiga
perempat di antaranya asimptomatik. Ziegler dan kawan-kawan mendapatkan
prevalensi neuropati otonom diabetik sebesar 16.8% pada penderita DM tipe 1
dan 22.1% pada penderita DM tipe 2. Penelitian diabetes multisenter di Perancis
menemukan hampir 25% penderita memiliki gejala neuropati otonom diabetik.
Klasifikasi
Neuropati simetris
a. Neuropati diabetik perifer
Neuropati diabetik perifer merupakan sindrom neuropati yang paling umum
ditemukan. Secara klinis didapatkan kehilangan sensoris pola length-related
dengan bermula dari jari kaki dan meluas ke telapak kaki dan tungkai dalam
distribusi kaus kaki.

Gambar 1. Distribusi “sarung tangan


dan kaus kaki” pada neuropati diabetik perifer.

Dalam kasus yang berat sering juga didapatkan keterlibatan pada anggota
gerak atas. Neuropati otonom subklinis biasanya didapatkan timbul bersamaan.
Tetapi jarang ditemukan neuropati otonom klinis yang jelas. Manifestasi motorik
secara klinis tidak tampak jelas pada tahap awal penyakit. Tetapi, seiring
perkembangan penyakit, manifestasi motorik akan semakin tampak seperti
berkurangnya otot kecil tangan dan kelemahan anggota gerak.
Gambaran klinis utama dari neuropati diabetik perifer adalah kehilangan
rasa sensorik yang tidak disadari oleh pasien, atau digambarkan sebagai mati rasa.
Beberapa pasien mengalami gejala sensoris progresif seperti :
 Mengelitik (parestesia)
 Nyeri yang membakar
 Nyeri tungkai bawah paroksismal
 Nyeri seperti ditusuk atau diiris pisau
 Nyeri kontak, sering diasosiasikan dengan wearing day-time clothes and
bedclothes (stimulus tidak menyakitkan tetapi sering diasosiasikan sebagai
menyakitkan, dikenal sebagai alodinia)
 Stimulus nyeri ringan dipersepsikan sebagai nyeri yang sangat menyakitkan
(hiperalgesia)
 Nyeri waktu jalan, sering digambarkan sebagai ‘berjalan tanpa alas kaki di atas
kelereng’, atau ‘berjalan tanpa alas kaki pada pasir panas’
 Sensasi panas atau dingin pada telapak kaki
 Rasa gatal yang persisten pada telapak kaki dan sensasi cramp-like pada betis.
Nyeri dapat meluas ke dorsum pedis dan menyebar ke seluruh tungkai.
Beberapa pasien mungkin hanya mengeluhkan kesemutan pada satu atau dua jari
kaki, yang lain mungkin mengalami komplikasi lebih seperti kaki mati rasa atau
nyeri neuropati berat dan tidak dapat respon dengan terapi obat.
Neuropati diabetik perifer yang menyakitkan sering ditemukan,
mempengaruhi sekitar 16-26% dari pasien diabetes, semakin terasa pada malam
hari dan menyebabkan gangguan tidur. Nyeri neuropati yang berat dan
menyakitkan biasanya ditandai dengan pembatasan kegiatan fisik sehari-hari
sehingga tidak mengejutkan jika gejala depresif merupakan hal yang umum
terjadi. Pada neuropati lanjut terjadi ataxia sensoris, yang menimbulkan gangguan
kemampuan berjalan dan sering terjatuh terutama jika ada gangguan penglihatan
karena retinopati.
Penderita neuropati diabetik perifer bisa saja tidak memiliki berbagai gejala
diatas, tetapi datang dengan ulkus kaki. Keadaan ini memaksa perlunya
pemeriksaan kaki semua penderita diabetes secara seksama untuk
mengidentifikasi berkembangnya ulserasi kaki. Kaki yang mati rasa merupakan
risiko terjadinya luka karena suhu atau mekanik, karena itu pasien harus
diingatkan akan hal ini dan diberikan nasehat untuk perawatan kaki.
Kehilangan sensasi saraf sensoris yang berat melibatkan semua hal (sensasi
suhu, tekanan dan nyeri) termasuk proprioseptif juga akan berkurang ditandai
tanda Romberg yang positif. Refleks tendon ankle hilang dan dengan semakin
beratnya neuropati, refleks lutut juga berkurang atau tidak ada.
Gambar 2. Contoh distribusi tipikal defisit sensorik (titik : sensasi suhu, garis: sensasi
nyeri, garis silang: sensasi sentuh)
Kekuatan otot pada awalnya akan normal walaupun kelemahan ringan dapat
ditemukan pada ekstensor jari kaki. Semakin progresif akan ditemukan gangguan
muskular generalisata khususnya pada otot kecil tangan dan kaki. Pergerakan
halus jari juga terkena dan timbul kesulitan dalam memegang benda kecil.
Deformitas seperti bunion dapat membentuk fokus ulserasi dan deformitas yang
lebih ekstrim seperti artropati Charcot semakin meningkatkan resiko.

b. Nyeri neuropati akut


Nyeri neuropati akut merupakan suatu sindrom neuropati sementara yang
ditandai dengan nyeri akut pada tungkai bawah. Neuropati akut tampak dalam
bentuk simetris dan relatif jarang terjadi. Nyeri selalu membuat stres penderita
dan kadang membuat tidak mampu bekerja. Terdapat dua sindrom yang berbeda,
pertama yang terjadi dalam kontrol glikemik yang buruk dan kedua akibat
perbaikan cepat kontrol metabolik setelah memulai insulin (neuritis insulin).
Biasanya gejala sembuh dalam waktu 12 bulan.

c. Neuropati otonom
Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, tekanan darah
dan kadar gula darah. Selain itu mengenai organ dalam yang menyebabkan
gangguan pada pencernaan, miksi, respon seksual dan penglihatan. Juga
mempengaruhi sistem yang memperbaiki kadar gula darah ke normal, sehingga
tanda-tanda hipoglikemia seperti keringat dingin, gemetar dan palpitasi
menghilang. Secara keseluruhan kerusakan terjadi difus pada saraf parasimpatik
dan simpatik terutama pada penderita diabetes dengan neuropati perifer difus.
 Sistem pencernaan
Kerusakan saraf pada saluran pencernaan biasanya menyebabkan konstipasi.
Selain itu dapat juga menyebabkan hilangnya motilitas dan pengosongan
lambung yang terlalu lambat sehingga menimbulkan gastroparesis.
Gastroparesis berat menyebabkan nausea dan muntah persisten, sendawa dan
tidak nafsu makan.

Gambar 3. Radiografi menunjukkan retensi makanan disebabkan oleh


gastroparesis.

Gastroparesis juga menyebabkan fluktuasi gula darah akibat pencernaan


makanan abnormal. Kerusakan esofagus dapat juga menimbulkan kesukaran
menelan, sedangkan akibat gangguan pada usus dapat timbul konstipasi
bergantian dengan diare yang sering tidak terkonrol terutama pada malam hari dan
keseluruhan menimbulkan penurunan berat badan.

 Sistem kardiovaskuler
Jantung dan sistem sirkulasi merupakan bagian dari sistem kardiovaskuler
untuk mengontrol sirkulasi darah. Kerusakan saraf otonom pada sistem
kardiovaskuler menganggu kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah
dan denyut jantung sehingga timbul hipotensi postural setelah duduk atau
berdiri dan pasien akan merasakan kepala yang ringan, melayang atau bahkan
terjadi sinkop. Kerusakan saraf otonom yang mengatur denyut jantung dapat
menyebabkan denyut jantung takikardi sebagai respon terhadap fungsi tubuh
saat normal dan latihan.
 Kelenjar keringat
Neuropati otonom dapat mengenai saraf yang mengatur kelenjar keringat
sehingga tubuh tidak dapat mengatur suhu dengan baik dan biasanya timbul
keringat berlebihan saat makan dan malam hari. Jika hal ini didapatkan maka
gejala biasanya akan menetap. Anhidrosis kaki akibat denervasi simpatis
merupakan faktor kontribusi terjadinya kaki diabetik karena kulit kering dan
mudah tergores.
• Mata
Neuropati otonom juga bisa menyebabkan gangguan pada pupil sehingga
menjadi kurang responsif terhadap cahaya dan mengalami penglihatan yang
kurang jelas bila cahaya dinyalakan mendadak pada kamar yang gelap atau
mengalami kesukaran mengemudikan kendaraan pada malam hari.
 Traktus urinarius dan organ seks
Neuropati otonom seringkali mempengaruhi organ yang mengontrol miksi
dan fungsi seksual. Kerusakan saraf menghalangi pengosongan sempurna
kandung kemih dan menimbulkan retensio urin sehingga bakteri dapat
tumbuh dalam kandung kemih dan ginjal akibatnya sering terjadi infeksi pada
traktus urinarius. Selain itu dapat juga terjadi inkontinensia urin karena pasien
tidak dapat merasakan kapan kandung kemih penuh dan tidak dapat
mengontrol otot-otot untuk miksi. Neuropati otonom dapat mengurangi
respon seksual pada pria dan wanita. Pria akan mengalami gangguan ereksi
atau bisa mencapai klimaks seksual tanpa ejakulasi sedangkan pada wanita
akan mengalami kesukaran lubrikasi dan orgasme.
 Kurang respon terhadap hipoglikemia
Umumnya bila kadar gula darah menurun di bawah 70% akan timbul gejala
seperti gemetar, palpitasi, keringat dingin namun pada penderita diabetes
dengan gangguan neuropati otonom ini tidak akan merasakan gejala
hipoglikemia sehingga hipoglikemia akan sulit dideteksi.
Neuropati asimetris
Neuropati asimetris atau neuropati fokal adalah komplikasi yang sudah
dikenal pada komplikasi diabetes. Biasanya onsetnya cepat dan cepat pula
sembuh. Hal ini berbeda dengan neuropati diabetik perifer kronis, dimana tidak
ada perbaikan atas gejala pada beberapa tahun setelah onset.
a. Amiotrofi diabetik (neuropati motorik proksimal)
Sindrom dari kelemahan dan atropi tungkai asimetris proksimal progresif
pertama kali digambarkan oleh Garland sebagai amiotrofi diabetik. Istilah ini
juga dikenal sebagai “neuropati motorik proksimal, neuropati diabetik
lumbosakral radikulopleksus atau neuropati femoral”. Penderita merasakan
nyeri yang berat pada paha bagian dalam, kadang dirasakan seperti terbakar
dan meluas sampai ke lutut. Penderita diabetes melitus tipe 2 diatas usia 50
tahun sering terkena.
Pada pemeriksaan ditemukan kerusakan otot quadriceps ditandai
kelemahan fungsi kelompok otot ini meskipun otot fleksor dan abduktor
panggul dapat juga terpengaruh. Adductor paha, gluteus, dan otot hamstring
juga terkait. Gerakan lutut biasanya berkurang atau tidak ada. Kelemahan dapat
berakibat pada kesulitan untuk bangkit dari kursi yang randah atau menaiki
tangga. Gangguan sensorik jarang terjadi dan jika ada biasanya bersamaan
dengan neuropati diabetik perifer.
Penyebab dari amiotrofi diabetik tidak diketahui. Biasanya cenderung
terjadi bersamaan neuropati diabetik perifer. Beberapa orang menyatakan
bahwa kombinasi gambaran fokal tumpang tindih dengan neuropati perifer
difus menunjukkan kerusakan vaskular pada akar saraf femoral sebagai
penyebab kondisi ini.
Gambar 4. Amiotrofi diabetik (proksimal neuropati)

Pengelolaan nyeri amiotrofi diabetik tidak berbeda untuk neuropati


diabetik perifer. Pasien seharusnya diedukasi dan diyakinkan bahwa kondisi ini
dapat disembuhkan. Beberapa pasien mengalami perbaikan dengan fisioterapi
untuk memperkuat otot quadriceps.
b. Mononeuropati kranial
Mononeuropati kranial yang paling sering ditemukan adalah kelumpuhan
saraf ketiga kranial. Pasien datang dengan nyeri tiba-tiba di belakang dan atas
mata mendahului ptosis dan diplopia. Proses penyembuhan memerlukan waktu
lebih dari tiga bulan.
c. Radikulopati trunkal
Radikulopati trunkal atau neuropati torako abdominal pada penderita
diabetes ditandai dengan onset nyeri akut pada distribusi dermatomal di atas
toraks atau abdomen diikuti gangguan sensoris kutaneus atau hiperestesi. Nyeri
biasanya unilateral dan herniasi otot abdomen dapat terjadi walaupun jarang.

Gambar 5. Neuropati diabetik trunkal (neuropati atau radikulopati/torakoabdominal)


Beberapa pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen dan menjalani
berbagai pemeriksaan yang tidak perlu seperti barium enema, kolonoskopi dan
bahkan laparotomi. Penyembuhan biasanya dalam beberapa bulan meskipun
gejala dapat menetap dalam beberapa tahun.
d. Pressure palsies
 Sindrom Carpal Tunnel
Beberapa saraf penderita diabetes rentan terhadap tekanan pada
diabetes. Pasien biasanya mengeluh nyeri dan parestesi pada tangan yang
kadang menyebar ke seluruh lengan khususnya pada malam hari. Pada kasus
yang berat pemeriksaan klinis dapat menunjukkan berkurangnya sensasi
daerah tengah tangan dan kerusakan pada otot thenar.
Diagnosis klinis dikonfirmasi dengan mudah menggunakan
pemeriksaan konduksi saraf medianus dan penatalaksanaan melibatkan
pembedahan dekompresi pada carpel tunnel di bagian pergelangan tangan.
Respons atas pembedahan biasanya bagus, meskipun gejala nyeri sering
berulang dibandingkan pasien yang tidak diabetes.
 Entrapment saraf ulnaris dan saraf terisolir lainnya
Saraf ulnaris juga rentan terhadap tekanan pada siku, berakibat pada
kerusakan dorsal interossei khususnya pada dorsal interosseous yang
pertama. Pada anggota tubuh bagian bawah, peroneal (lateral popliteal)
adalah saraf yang paling sering terkena. Kompresi pada kepala fibula yang
menyebabkan foot drop. Sayangnya penyembuhan secara menyeluruh
jarang terjadi. Saraf lateral kutaneus pada paha biasanya juga terkena akibat
entrapment neuropati diabetik.

Patogenesis
Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang
berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance
glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi
protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurang
nya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf berkurang dan bersama rendahnya
mioinositol dalam sel terjadilah ND dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan lama dan
beratnya DM.
a. Faktor metabolik
Proses terjadinya ND berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan.
Teori ini mengemukakan, bahwa hiperglikemia menyebabkan kadar glucose intra
seluler yang meningkat, sehingga terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur
glikolitik yang biasa digunakan (normal usedglycolitic pathway). Hiperglikemia
persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi
enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian
dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol
dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum
jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf
menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edem
saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke
dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara langsung
menimbulkan stress osmotik yang akan merusak mitokondria dan akan
menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-
K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat
terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan
transduksi sinyal pada saraf.
Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf
yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH
merupakan kofaktor penting untuk glutathione dan nitric oxide synthase (NOS),
pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi
radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide (NO).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia
berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end
products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh,
termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan
fungsi NO menurun. Yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf
menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND.
Kerusakan aksonal metabolic awal masih dapat kembali pulih dengan kendali
glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolic ini berlanjut menjadi
kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi.
b. Kelainan Vaskular
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan
dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi
radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas
ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek
menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular
tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis, thrombosis pada arteriol
intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas
eritrosit, berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vascular,
stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.
Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vascular masih bisa dicegah
dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang
tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.
c. Mekanisme imun
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22% dari 120 penyandang DM tipe 1
memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe 2
memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut
berperan pada pathogenesis ND. Bukti lain yang menyokong peran antibodi
dalam mekanisme patogenik ND adalah adanya antineural antibodies pada serum
sebagian penyandang DM. Autoantibody yang beredar ini secara langsung dapat
merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa di deteksi dengan
imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan antibody dan
komplemen pada berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan kemungkinan
peran proses imun pada pathogenesis ND.
d. Peran Nerve Growth Factor (NGF)
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan
saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan
berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen
substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP). Peptida ini mempunyai
efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu
mengalami gangguan pada ND.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Melalui anamnesis dapat dicari keluhan atau gejala yang berhubungan
dengan neuropati diabetik seperti :
 Gangguan sensorik, gejala negatif muncul berupa rasa baal, rasa geli,
seperti memakai sarung tangan, sering menyerang distal anggota gerak,
terutama anggota gerak bawah. Rasa nyeri dapat timbul bersama-sama atau
tanpa gejala di atas.
 Penilaian nyeri merupakan aspek penting dalam menentukan diagnosis
nyeri neuropati diabetik. Pada tahap awal diperlukan riwayat nyeri, lokasi
nyeri, kualitas nyeri, distribusi nyeri, bagaimana pengaruh terhadap rabaan atau
sentuhan, faktor yang meringankan atau memperberat. Pasien dapat memberi
keluhan lebih dari satu tipe nyeri, riwayat nyeri dapat membantu penderita
untuk mengumpulkan keterangan mengenai nyeri apakah tipe neuropati atau
nosiseptif yaitu terjadinya nyeri yang merupakan respon dari aktivitas reseptor
nyeri terhadap stimulus noksisous.Untuk menentukan tingkat beratnya nyeri
atau yang berhubungan dengan karakteristik, pola nyeri dapat menggunakan
kuesioner nyeri McGill (MPQ). Sementara untuk menentukan ada atau
tidaknya nyeri dapat menggunakan Visual Analog Scale.
 Gangguan motorik dapat berupa gangguan koordinasi, parese proksimal
dan atau distal, manifestasinya berupa sulit naik tangga, sulit bangkit dari kursi
atau lantai, sering terjatuh, sulit bekerja atau mengangkat lengan ke atas bahu,
gerakan halus tangan terganggu, mudah tersandung, kedua kaki mudah
bertabrakan.
 Gejala otonom berupa gangguan berkeringat, perasaan melayang pada
posisi berdiri, sinkop saat buang air besar, batuk atau bersin, impotensi, sulit
ejakulasi, ejakulasi retrograde, sulit menahan buang air besar atau kecil, diare
saat malam hari, konstipasi, gangguan adaptasi dalam gelap dan terang.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien neuropati diabetik dilakukan pada semua
sistem tubuh, berkaitan dengan komplikasi yang mungkin terjadi pada DM.
termasuk pemeriksaan tekanan darah dan denyut jantung. Pasien dengan gejala
atau tanda gangguan pada ekstremitas perlu dilakukan pemeriksaan bising dan
denyut nadi perifer karena ada kemungkinan terjadi gangguan vaskuler oklusif.
Bila ada keluhan lapang pandang dilakukan pemeriksaan oftalmologi.
Pemeriksaan kulit dilakukan terutama pada daerah kaki, apakah ada luka yang
sembuhnya lambat atau ulkus.
Pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan saraf kranial, tonus otot,
kekuatan, adanya fasikulasi, atrofi, pemeriksaan refleks tendon dalam patella dan
Achilles. Observasi mengenai cara berjalan, berjalan di tempat, berjalan dengan
jari kaki dan tumit. Pemeriksaan sensorik dilakukan dengan pemeriksaan vibrasi,
temperatur, raba dan pemeriksaan propioseptif.

Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium
Semua pasien dengan neuropati diabetik harus dilakukan pemeriksaan gula
darah, urinalisis, kadar HbA1c, kolesterol total, kolesterol HDL dan LDL,
trigliserida, asam urat, serta pemeriksaan lain bila ada indikasi seperti elektrolit,
hitung jenis sel darah, serum protein elektroforesis, vitamin B12, folat, keratin
kinase, laju endap darah, antibodi antinuclear, fungsi tiroid dan elektrokardiografi.
 Radiologis
Pemeriksaan radiologis dapat berupa pemeriksaan MRI servikal, torakal dan
atau lumbal untuk menyingkirkan kausa sekunder dari neuropati, CT mielogram
merupakan suatu pemeriksaan alternatif untuk menyingkirkan lesi kompresi dan
keadaan patologis lain di kanalis spinal pada radikulopleksopati lumbosakral dan
neuropati torakoabdominal, MRI otak digunakan untuk menyingkirkan aneurisma
intrakranial lesi kompresi dan infark pada kelumpuhan nervus okulomotorius.
Consensus Development Conference pada Standarized Measure in Diabetic
Neuropathy merekomendasikan lima pengukuran yang dilakukan dalam diagnosis
neuropati diabetik sebagai berikut :
1. Pengukuran klinis
2. Analisis morfologi
3. Pengukuran elektrodiagnostik
4. Tes kuantitatif sensoris dan
5. Tes sistem saraf otonom

1. Alat skrining klinis


Kebanyakan instrumen skrining untuk neuropati diabetik bersifat non-
invasif, murah, sensitif dan endpoint prediktif klinis tinggi. Sejumlah sistem
skoring diajukan untuk menilai secara klinis defisit neurologis sehingga dapat
diketahui adanya dan beratnya neuropati. Pendekatan ini dimulai oleh Dyck dkk
pada Mayo Clinic yang membuat Neuropathy Disability Score (Mayo NDS).
Tetapi sistem skoring tersebut memerlukan keahlian seorang neurolog. Modifikasi
NDS pertama dibuat oleh Young dkk dapat dilakukan oleh non-spesialis dan
mempunyai jumlah total 28 terhadap defisit sensoris dan refleks. Skor sensoris
merupakan evaluasi nyeri (pin prick), sentuh (wol katun), dingin (garpu tala yang
dimasukkan ke dalam air es), vibrasi (garpu tala 128 Hz), digradasikan sesuai
lokasi anatomi yang terganggu (tidak ada abnormalitas [0], ibu jari [1], kaki
tengah [2], ankle [3], tengah tungkai bawah [4], dan lutut [5]). Rerata kedua
tungkai untuk setiap modalitas dihitung jumlah dari keempat defisit
menggambarkan skor sensoris. Skor refleks berasal dari refleks lutut dan ankle
(normal=0, ada=1 dan tidak ada=2). Skor 1-5=neuropati ringan, 6-16= neuropati
sedang dan 17-28=neuropati berat.

Tabel 1. Modified Neuropathy Disability Score


Neuropathy disability score Kanan Kiri
Ambang batas persepsi getaran
Garpu tala 128-Hz; apeks ibu Normal = 0
jari: Abnormal = 1
Normal = dapat membedakan
getaran/tidak
Persepsi suhu dorsum kaki
Menggunakan garpu tala dengan Ada = 0
pecahan es atau air hangat Ada dengan bantuan = 1
Pin-prick Tidak ada = 2
Melakukan tusuk jarum
proksimal ibu jari
Normal = dapat membedakan
tajam/tumpul
Refleks Achilles

Metode alternatif untuk mendiagnosis dan menentukan derajat neuropati


diabetik pada pasien rawat jalan termasuk Michigan Neuropathy Sreening
Instrument, yang terdiri atas 15 pertanyaan “ya atau tidak” untuk gejala yang
berhubungan dengan sensasi, kelelahan umum dan penyakit vaskuler perifer
selain inspeksi kaki, penilaian sensasi vibrasi dan refleks ankle. Beberapa metode
lainnya seperti Neuropathy Symptom Profile, Neuropathy Symptom Score
Diabetic Neuropathy Symptom Score dan UT Abbreviated Neuropathy
Questionnaire.
2. Penilaian morfologi
 Biopsi nervus suralis
Biopsi nervus suralis bukan metode rutin dalam diagnosis neuropati diabetik.
Biasanya digunakan untuk menegakkan diagnosis ketika etiologi neuropati
diragukan. Keterbatasan teknik ini adalah informasi dari biopsi tidak
langsung menguntungkan pasien dan prosedurnya berhubungan dengan
morbiditas dan menyebabkan banyak komplikasi. 1,2,36-37
 Biopsi tusuk kulit
Biopsi kulit secara luas digunakan untuk meneliti saraf sensoris kecil
termasuk intra-epidermal nerve fibers (IENF) tak bermielin, serabut saraf
dermal bermielin dan serabut saraf otonom pada neuropati perifer serta
kondisi lainnya. European Federation of Neurological Societies
merekomendasikan guideline untuk penggunaan biopsi kulit dalam diagnosis
neuropati perifer yaitu menggunakan 3 mm biopsi tusuk kulit tungkai bawah
dan mengukur densitas linier IENF pada sedikitnya tiga potongan setebal 50
mμm per biopsi. Efisiensi diagnosis dan nilai prediktif teknik ini sangat
tinggi. Penelitian longitudinal densitas IENF dan laju regenerasi dipastikan
berhubungan dengan perubahan neuropatologis dan progresi neuropati serta
untuk menilai kegunaan potensial biopsi kulit sebagai pengukuran outcome
pada penelitian neuropati perifer.

Gambar 7. Biopsi nervus suralis normal dibandingkan neuropati diabetik sedang dan
berat.

3. Tes kuantitatif sensoris (Quantitative Sensory Testing)


Tes kuantitatif sensoris (QST) memiliki intensitas dan karakteristik stimulus
yang terkontrol baik dan ambang deteksi ditentukan dalam unit parameter yang
dapat dibandingkan dengan nilai normal sehingga penting untuk pengukuran
akurat neuropati.
Alat ini mengukur :
1. Evaluasi serial terstandarisasi pada lokasi tubuh multipel.
2. Kontrol akurat karakteristik dalam range dinamik luas
3. Penilaian sensoris multipel
4. Perbandingan hasil uji individual dengan database normatif dan bersifat
non-invasif.
Kerugian utama yaitu kurangnya objektivitas dan respon yang diperiksa
tergantung pada kerjasama dan konsentrasi mereka seperti yang diharapkan. QST
mengukur vibrasi menggunakan Biothesiometer atau Neurothesiometer.
Gambar 9. Neurothesiometer

4. Elektrodiagnostik
Elektromiografi digunakan untuk membedakan penyakit otot dari gangguan
neurologis. Pada tes ini, beberapa jarum diletakkan pada otot kemudian dilakukan
pencatatan sewaktu istirahat dan kontraksi. Prosedur ini terasa sangat nyeri untuk
beberapa pasien dan mungkin memerlukan analgesik pasca-prosedur. Pemeriksaan
kecepatan hantar saraf menyempurnakan pemeriksaan elektromiografi (EMG),
membantu pemeriksa untuk mengevaluasi keberadaan dan luasnya patofisiologi
saraf perifer.
Pemeriksaan hantaran mencatat respon listrik otot terhadap rangsangan ke
saraf motoriknya pada dua titik atau lebih di sepanjang jalurnya menuju otot.
Pemeriksaan hantaran saraf sensorik menentukan kecepatan hantaran dan
amplitudo potensial aksi dalam serabut sensorik dengan merangsang serabut pada
satu titik dan merekam responnya pada titik lain di sepanjang akson saraf.
Pemeriksaan hantaran saraf sangat berguna dalam membedakan antara gangguan
demielinisasi dari denervasi dengan hilangnya akson dan dalam mendiagnosis
gangguan hantaran neuromuskular. Pemeriksaan ini juga dapat membantu
membedakan antara mononeuropati dan polineuropati.

Gambar 9. Elektrodiagnostik
5. Tes saraf otonom
a. Kardiovaskuler
- Evaluasi hipotensi ortostatik dengan postural blood pressure
- Denyut jantung istirahat
- Manuver Valsava
- Variabilitas denyut jantung
b. Mata
- Ukuran pupil adaptasi gelap setelah uji parasimpatis total
c. Sudomotor (kelenjar keringat)
- Thermoregulatory sweat test (semikuantitatif)
Penderita diberi bedak indikator yang menjadi ungu bila basah
- Potensial kulit
Potensial kulit dapat direkam dengan alat EMG terutama dari telapak
tangan dan telapak kaki.
- Rangsangan kulit dengan pilocarpin, diperhatikan tetesan keringat baik
diameter maupun distribusinya
- Quantitative Sudomotor Axon Reflex Test (QSART)
Mengukur respon keringat setelah dirangsang dengan transcutaneus
iontoforesis asetilkolin.
d. Gastrointestinal
- Scintigrafi
Merupakan baku emas pengukuran gastrointestinal. Menggunakan putih
telur rendah lemak yang dilabel dengan technetium-99.
- Uji nafas menggunakan 13-C-acetat atau asam octanoit nonradioaktif.
- Ultrasonografi
- Elektrogastrografi permukaan digunakan untuk mendeteksi abdominal
aktivitas slow-wave lambung.

Dalam mendiagnosis neuropati diabetik, guideline membutuhkan gejala dan


tanda klinis yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik atau satu dari
pemeriksaan penunjang abnormal (konduksi saraf, tes kuantitatif sensoris atau tes
otonom). Neuropati subklinis diidentifikasi melalui pemeriksaan penunjang yang
abnormal.

TERAPI
Kontrol glikemik
Langkah pertama dalam pengobatan neuropati diabetik adalah menurunkan
gula darah ke kadar normal untuk mencegah terjadinya kerusakan saraf lebih
lanjut; karena itu diperlukan monitoring gula darah, pengaturan diet, latihan atau
olahraga dan anti diabetika oral atau insulin untuk mengontrol gula darah.
Perubahan gula darah yang fluktuatif dianggap dapat memperburuk dan
menyebabkan nyeri neuropati sehingga stabilitas nilai kontrol glikemik lebih
penting untuk menghilangkan nyeri neuropati diabetik. Kontrol glikemik yang
ketat dapat menurunkan resiko neuropati sebesar 60% dalam waktu 5 tahun pada
penelitian Diabetes Control and Complication Trial.

Terapi simptomatik
a. Polineuropati diabetik
Nyeri merupakan manifestasi dini neuropati diabetik dan sering mendahului
diagnosis diabetes. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa hampir
sepertiga pasien dengan gangguan toleransi glukosa (pre-diabetes) mencari
pertolongan medis karena sindrom nyeri yang identik dengan polineuropati
diabetik. Polineuropati diabetik merupakan gejala persisten pada penelitian
epidemiologi pasien dengan DM tipe 2 tetapi jarang pada diabetes tipe 1.
Kurangnya pengertian patogenesis kelainan ini menyebabkan terbatasnya
perkembangan terapi mekanisme spesifik. Termasuk didalamnya penggunaan
antikonvulsan, antidepresan, agen topikal dan opioid.
Gambar 10. Mekanisme kerja anti nyeri neuropati

 Antidepresan
- Antidepresan trisiklik dan tetrasiklik
Antidepresan trisiklik dan tetrasiklik dianggap sebagai pengobatan
first line nyeri neuropati. Antidepresan mengontrol nyeri dan gejala akibat
nyeri seperti insomnia dan depresi. Kerja terapeutik agen ini adalah melalui
inhibisi reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada penelitian yang
dilaporkan oleh Max dan kawan-kawan, amitriptilin (150 mg/hari) lebih
superior dibandingkan plasebo dalam mengurangi polineuropati diabetik
setelah pengobatan selama 6 minggu. Tetapi amitriptilin berhubungan
dengan efek samping signifikan termasuk mulut kering, sedasi dan
penglihatan kabur.
Desipramine lebih baik ditoleransi dan sama efektifnya dalam
mengobati polineuropati diabetik. Uji klinis acak untuk imipramin
menyatakan bahwa dosis 50 mg dan 75 mg per hari secara signifikan
memperbaiki polineuropati diabetik Clomipramide juga menghilangkan
gejala polineuropati diabetik. Penggunaan antidepresan terbatas karena efek
sampingnya.
Secara keseluruhan amino sekunder (nortriptilin, desipramin) lebih
baik ditoleransi dibandingkan amino tersier (amitriptilin, imipramin).
Antidepresan trisiklik tidak ditoleransi dengan baik pada pasien tua. Dosis
antidepresan trisiklik awalnya 10 hingga 25 mg, dititrasi hingga 100 atau
150 mg dosis tunggal. Efek analgesiknya memerlukan beberapa minggu
untuk menimbulkan dampak sehingga membatasi penggunaannya untuk
nyeri akut.
- Inhibitor reuptake serotonin selektif dan inhibitor reuptake serotonin-
norepinefrin
Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) merupakan antidepresan
paling baru dalam menggantikan antidepresan trisiklik untuk pengobatan
depresi karena ditoleransi lebih baik. Kebalikan dengan antidepresan
trisiklik, efek SSRI sangat terbatas dalam pengobatan polineuropati
diabetik. Dosis fluoexetine 40 mg/hari dan citalopram 40 mg/hari.
Tramadol merupakan agonis lemah μ-reseptor yang menghambat
reuptake serotonin. Pada penelitian didapatkan bahwa tramadol 200-400
mg/hari secara signifikan mengurangi polineuropati diabetik dibandingkan
plasebo. Mual, konstipasi, sakit kepala dan dispepsia merupakan efek
samping yang paling sering. Selain itu, kombinasi tramadol/asetaminofen
(37.5/325 mg) 1-2 tablet empat kali sehari efektif dalam memperbaiki
polineuropati diabetik.
Inhibitor reuptake serotonin norepinephrine (SNRI) mempunyai
efikasi lebih besar dalam pengobatan polineuropati diabetik dibandingkan
SSRI. Duloxetine telah disetujui FDA dalam mengobati polineuropati
diabetik berdasarkan tiga uji klinis plasebo-kontrol acak yang besar. Dari
penelitian tersebut duloxetine 60 mg dan 120 mg perhari memberikan hasil
signifikan dalam pengobatan polineuropati diabetik. Dosis lebih tinggi
memberikan hasil lebih baik tetapi dengan efek samping yang lebih besar.
Secara umum, duloxetine lebih baik ditoleransi dalam hal efek samping
jantung dan gastrointestinal dibandingkan SNRI lainnya. Venlafaxine 150-
225 mg/hari mengurangi polineuropati diabetik tetapi dengan efek samping
terhadap jantung seperti peningkatan resiko perubahan elektrokardiografi.
 Antikonvulsan
Antikonvulsan mengontrol eksibilitas neuronal dengan
penghambatan saluran natrium dan/atau kalsium. Secara luas obat ini
digunakan untuk mencegah kejang tetapi dapat juga digunakan dalam
pengobatan nyeri neuropati. Fenitoin dan karbamazepin secara primer
memblok voltage gated sodium channel. Dengan dosis antara 200 dan 600
mg/hari, keduanya dapat mengurangi polineuropati diabetik dibandingkan
plasebo.
Sodium valproat meningkatkan kadar GABA pada susunan saraf
pusat, menghambat saluran T T-type calsium dan meningkatkan masuknya
potasium. Efek samping yang ada seperti kerontokan rambut, pertambahan
berat badan, hepatotoksisitas dan disfungsi kognitif dalam penggunaan
jangka panjang membatasi penggunaannya walaupun dosis 500 mg/hari
dapat menurunkan nyeri polineuropati diabetik. Lamotrigine merupakan
antikonvulsan baru yang memblok voltage gated sodium channel,
menurunkan arus kalsium presinaptik untuk menghambat pelepasan
glutamat dan penurunan kadar GABA dalam otak.
Topiramate mempunyai beberapa aksi seperti pemblokan activity-
dependent voltage gated sodium channel; menghambat L-type voltage gated
calcium channel dan memblok reseptor kainite/α-amino-3-hydorxxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) excitatory amino acid receptor.
Topiramate ≤ 400 mg/hari biasanya ditoleransi baik dan secara signifikan
mengurangi polineuropati diabetik pada 1 dari 6 pasien.Oxcarbazepine
merupakan keto-analog karbamazepine yang memblok sodium channel.
Oxcarbazepine mempunyai profil efek samping yang baik dan ditoleransi
dengan baik.
 Calcium channel α2-δ ligan
Gabapentin digunakan secara luas untuk nyeri neuropati karena
efektivitasnya dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
antidepresan trisiklik dan antikonvulsan lainnya. Gabapentin menghasilkan
efek analgesia dengan terikat pada α2-δ L-type voltage gated calcium
channel dan menurunkan influks kalsium. Gabapentin ≤400mg lebih efektif
dalam mengobati polineuropati diabetik dibandingkan amitriptilin (≤ 90
mg/hari). Gabapentin dapat ditoleransi dengan baik pada titrasi lambat. Efek
samping gabapentin termasuk dizziness, ataksia, sedasi, euforia, edema
ankle dan pertambahan berat badan. Biasanya dibutuhkan titrasi berminggu-
minggu untuk mencapai dosis maksimal yang efektif hingga 3 g/hari.
Pregabalin juga bekerja dengan mengikat subunit α2-δ calcium
channel. Pada empat penelitian uji klinis plasebo kontrol acak, pregabalin
(300-600 mg/hari) secara signifikan lebih efektif dalam meringankan
polineuropati diabetik dibandingkan plasebo. Tidak seperti gabapentin,
pregabalin memiliki absorpsi gastrointestinal yang lebih baik dan dapat
diberikan dua kali perhari. Efek farmakokinetik linearnya menyebabkan
onset maksimal hilangnya nyeri yang cepat. Tetapi efek sampingnya sama
dengan gabapentin. Diantara efek samping tersebut, pertambahan berat
badan perlu diperhatikan pada pasien DM tipe 2.
 Metixiline
Metixline merupakan anti-aritmia dan telah digunakan untuk
mengobati berbagai macam nyeri neuropati termasuk polineuropati diabetik.
Beberapa uji klinis plasebo kontrol acak telah dilakukan tetapi tidak satupun
penelitian menunjukkan pengurangan skor nyeri lebih dari 50%. Tetapi
pasien dengan keluhan nyeri yang menusuk dan membakar dan sensasi
panas dapat dikurangi dengan terapi metixiline.
 Opioid
Oxycodon lepas lambat 20mg/hari mengurangi polineuropati diabetik
pada periode 6 minggu. Walaupun opioid efektif terhadap polineuropati
diabetik, penggunaan jangka panjang akan mempunyai efek samping
termasuk konstipasi, retensio urin, gangguan fungsi kognitif, gangguan
fungsi imun dan masalah yang berhubungan dengan toleransi dan adiksi.
Baru-baru ini penelitian menggunakan kombinasi terapi opioid dan
gabapentin membuktikan bahwa ada efek pengurangan nyeri. Kombinasi
obat lebih efektif dalam mengurangi nyeri dibandingkan obat tunggal.
 Non-steroidal anti inflamatory drug (NSAID)
NSAID merupakan kelompok pengobatan yang menghambat
siklooksigenase dan mencegah pembentukan prostaglandin. Biasanya
NSAID tidak direkomendasikan untuk pengobatan polineuropati diabetik
akibat efeknya terhadap fungsi gastrointestinal, ginjal dan jantung. Resiko
overdosis juga tinggi pada pasien nyeri kronik. Pada penelitian kecil
didapatkan ibuprofen 2400 mg/hari dan sulindac 400 mg/hari secara
signifikan mengurangi skor parestesia polineuropati diabetik pada 24
minggu.
 N-methyl D-aspartate receptor antagonist.
Dua antagonis reseptor NDMA, dekstrometrofan dan mematine telah
diuji pada polineuropati diabetik. Dekstrometrofan mempunyai efek
penurunan polineuropati diabetik signifikan yang tergantung pada dosis.
Walaupun begitu inhibitor NMDA mempunyai efek samping termasuk
sedasi, mulut kering dan distres gastrointestinal.
 Agen topikal
Capsaicin merupakan ekstrak dari capsicum. Capsaicin terikat pada
reseptor TRPV1 dan memakai substansi P pada saraf perifer untuk
mendapatkan efek analgesiknya. Pada penelitian oleh Capsaicin Study
Group, 0.075 krim capsaicin dioleskan tiga kali sehari selama 6 minggu
lebih efektif dalam mengurangi polineuropati diabetik dibandingkan
plasebo. Rasa terbakar merupakan efek samping paling sering yang
cenderung menurun jika terapi diteruskan. Efek terapeutik capsaicin dimulai
mingguan setelah pemakaian krim. Baru-baru ini patch yang mengandung
capsaicin dosis tinggi menunjukkan efek menjanjikan dalam pengobatan
nyeri diabetik.
Karena gangguan pembentukan NO menyebabkan penurunan aliran
darah terlibat dalam polineuropati diabetik, penelitian kecil menggunakan
isosorbid dinitrat dilakukan. Pada 12 minggu penelitian crossover, double-
blind, placebo controlled dengan 22 pasien didapatkan semprotan isosorbid
dinitrat secara signifikan mengurangi polineuropati diabetik. Pasien dalam
percobaan ini melaporkan nyeri kepala ringan dan dibutuhkan penelitian
lebih besar untuk mengevaluasi efek potensial pengobatan ini dalam
polineuropati diabetik.
Patch lidokain topikal 5% dilaporkan pada beberapa penelitian
mengurangi nyeri polineuropati diabetik. Pada penelitian open label hingga
empat patch lidokain 5% diberikan hingga 18 jam/hari dapat ditoleransi
dengan baik pada pasien dengan nyeri diabetik polineuropati. Patch lidokain
secara signifikan memperbaiki nyeri dan angka kualitas hidup.

b. Neuropati diabetik otonom


Seperti didiskusikan sebelumnya, langkah pertama dalam pengobatan semua
bentuk neuropati diabetik adalah kontrol glikemik. Gejala neuropati diabetik
otonom mungkin bermanifestasi pada berbagai organ sehingga pengobatan
simptomatik ditujukan untuk organ dan sistem tubuh yang terkena.
Hipotensi ortostatik sangat sulit untuk untuk ditatalaksana karena tekanan
darah berdiri akan meningkat tanpa menyebabkan hipertensi ketika pasien
berbaring. Pilihan pengobatan hipotensi ortostatik dicantumkan pada tabel 2 di
bawah.
Pengobatan non-farmakologis merupakan pendekatan awal. Untuk
meningkatkan venous return kaos kaki suportif harus digunakan selama seharian
dan dilepaskan saat tidur. Pasien juga dinasehati untuk menghindari mandi air
panas, bangkit dari tidur atau berdiri dengan lambat dan tidur dengan kepala
ditinggikan.
Mineralikortikoid seperti fludrokortison bersama dengan suplemen garam
meningkatkan volume plasma tetapi tidak efektif karena meningkatkan resiko
gagal jantung kongestif dan hipertensi. Agonis adrenergik campuran seperti
efedrin, agonis adrenergik α-1 seperti midodrine dan agonis adrenergik α-2 yaitu
clonidine ditemukan efektif pada beberapa pasien tetapi penting untuk memulai
dengan dosis rendah dan titrasi untuk meminimalkan berbagai macam gejala
berhubungan dengan penggunaannya. Analog somastostatin yaitu octreotide
membantu pasien yang mengalami hipotensi ortostatik refrakter setelah makan.
Gejala gastrointestinal juga menyertai neuropati otonom diabetik,
diantaranya adalah gastroparesis. Gastroparesis harus dipertimbangkan pada
pasien dengan kontrol glukosa yang tidak pasti. Tabel 2 menunjukkan pengobatan
gastroparesis.
Kontrol glukosa darah yang baik penting dalam memperbaiki fungsi
motorik lambung. Makan dengan porsi kecil dan sering direkomendasikan,
penderita harus membatasi makanan berlemak dan menghindari diet serat
berlebihan. Jejunostomi dapat dilakukan pada kasus gastroparesis yang berat, agar
perut “beristirahat” hingga fungsinya membaik.
Diare diabetik juga sering ditemukan yang bersifat intermiten. Langkah
pertama dalam mengobati diare diabetik adalah menyingkirkan penyebab penyerta
yang dapat diobati. Diare diakibatkan oleh obat (terapi metformin atau acarbose)
dan intoleransi laktose harus dipertimbangkan..

Terapi Farmakologis Neuropati Otonom Diabetik


Obat Golongan Dosis Efek Samping
HIPOTENSI ORTOSTATIK
9α Mineralocorti 0.5-2 mg/hari Gagal jantung
Fluorohydrocortisone coid kongestif,hipertensi
Clonidine α2-Adrenergic 0.1-0.5 mg Hipotensi, sedasi,
agonist (malam) mulut kering
Octreotide Analog 0.1-0.5 Nyeri tempat
Somatostatin μg/kg/hari suntikan, diare
GASTROPARESIS
Metoclopromid D2-Receptor 10 mg 30-60 Galactorrhea,
e antagonist mnt sebelum makan extrapiramidal
dan tidur
Domperidon D2-Receptor 10-20 mg 30-60 Galactorrhea
antagonist menit sblm makan
dan tidur
Erythromycin Motilin 250 mg 30 Kram perut, mual,
receptor agonist menit sebelum makan diare, rash
Levosulfide D2-Receptor 25 mg tid Galactorrhea
antagonist
DIARE DIABETIK
Metranidazole Antibiotik 250 mg tid, Hipotensi
spektrum luas minimal 3 minggu ortostatik
Clonidine α2-Adrenergic 0.1 mg bid atau Megakolon toksik
Obat Golongan Dosis Efek Samping
agonist tid
Cholestyramine Bile acid 4 γ 1-6 kali/hari Malabsorpsi
sequestrant nutrien (dosis tinggi)
Loperamide Opiate- 2 mg qid
receptor agonists
Octreotide Analog 50 μg tid
somatostatin
CYSTOPATHY
Bethanechol Acetylcholine 10 mg, 4
receptor agonist kali/hari
Doxazosin α1-Adrenergic 1-2 mg, 2-3 Hipotensi, sakit
antagonist kali/hari kepala, palpitasi
DISFUNGSI EREKSI
Sildenafil GMP type-5 50 mg sebelum Hipotensi dan
phosphodiesterase aktivitas seksual, kejadian kardiak fatal,
inhibitor sekali sehari sakit kepala, flushing,
kongesti hidung,
dispepsia, nyeri otot,
pandangan kabur.

Pengobatan harus dimulai dengan kontrol glikemik yang baik. Antibiotika


spektrum luas seperti metronidazol dapat digunakan untuk mengobati diare yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Klonidine memperbaiki
diare dengan menekan aktivitas berlebihan adrenergik. Kolestiramin digunakan
untuk mengikat garam empedu jika uji nafas hidrogen normal dan pasien gagal
diobati dengan antiobiotika. Loperamide dapat digunakan untuk mengurangi
jumlah feses tetapi harus digunakan dengan hati-hati karena resiko megakolon
toksik. Diare yang resisten terhadap pendekatan di atas mungkin respon terhadap
octreotide.
Pengobatan kandung kemih neurogenik harus dimulai dengan berkemih
terjadwal, kadang bersamaan dengan tekanan manual pada kandung kemih untuk
memulai urinasi (Crede’ manuver). Agen parasimpatomimetik, bethanecol (10
mg,QID) dapat membantu dan relaksasi sfingter didapatkan juga dengan
antagonis adrenergik α-1, doxazosin (1-2 mg, BID atau TID). Kateterisasi sangat
berguna dan dapat mengurangi resiko infeksi saluran kemih. Biasanya kateterisasi
kronis atau pembedahan transuretral leher kandung kemih mungkin diperlukan.
Disfungsi ereksi merupakan gejala awal diabetes dan petanda
berkembangnya penyakit vaskuler generalisata. Pengobatan disfungsi ereksi harus
dimulai dengan optimalisasi kontrol glukosa dan mengurangi alkohol serta
tembakau. Fosfodiesterase inhibitor saat ini sudah tersedia dengan farmakokinetik
dan profil efek samping aman dalam mengobati disfungsi ereksi. Sildenafil (50
mg, 60 menit sebelum aktivitas seksual) atau tadalafil (5 hingga 20 mg, 60 menit
sebelum aktivitas seksual) efektif dalam mengobati disfungsi ereksi. Pengobatan
dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat nitrogliserin atau obat yang
mengandung nitrat. Injeksi prostasiklin ke dalam corpus kavernosum dan prostesa
implan penis juga sudah tersedia.

Terapi Non-Farmakologis pada Nyeri Neuropati Diabetik


Karena tidak ada farmakoterapi yang memuaskan dalam terapi nyeri
diabetik, plihan pengobatan non-farmakologis harus dipertimbangkan.
Pembahasan sistematik terbaru menilai bukti uji klinis yang nyata dan meta-
analisis terapi komplementer dan alternatif dalam pengobatan nyeri neuropati dan
neuralgia. Pengobatan komplementer dan alternatif diidentifikasi sebagai
akupuntur, elektrostimulasi, obat herbal, magnet, suplemen makanan dan
penyembuhan spritual.

a. Dukungan psikologik
Komponen psikologik terhadap nyeri tidak boleh diremehkan. Oleh sebab
itu penjelasan bahwa nyeri yang berat juga dapat berkurang harus diberikan
terutama pada pasien dengan nyeri neuropati akut yang tidak terkontrol. Jadi
pendekatan empati terhadap kecemasan penderita dengan nyeri neuropati penting
untuk keberhasilan terapinya.
b. Akupuntur
Pada penelitian 10 minggu tidak terkontrol pada pasien diabetes dengan
terapi strandar, 77% menunjukkan kurangnya nyeri secara signifikan setelah
akupuntur tradisional Cina selama 6 sesi tanpa adanya efek samping. Pada periode
follow-up 18-52 minggu, 67% berhasil mengurangi atau menghentikan
pengobatan medisnya dan hanya 24% yang memerlukan pengobatan lanjutan.
c. Stimulasi elektrik
 Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation mempengaruhi transmisi
neuronal aferen dan kecepatan konduksi, peningkatan ambang refleks fleksi
nosiseptif dan pengubahan potensial awal somatosensoris. Pada penelitian 4
minggu TENS terhadap tungkai bawah, selama 30 menit sehari, hilangnya rasa
nyeri tercatat pada 83% pasien dibandingkan dengan 38% yang diobati secara
pura-pura. Pada pasien yang awalnya respon terhadap amitriptilin, berkurangnya
rasa nyeri secara signifikan lebih besar bila diikuti dengan TENS selama 12
minggu. Jadi TENS dapat digunakan sebagai modalitas tambahan yang
dikombinasikan dengan farmakoterapi untuk memperkuat hilangnya rasa nyeri.
 Mid-frequency external muscle stimulation
Satu penelitian randomized controlled menunjukkan dampak lebih baik
mid-frequency external muscle stimulation dibandingkan TENS terhadap gejala
neuropati setelah 1 minggu tetapi penelitian yang lebih panjang belum ada.
 Frequency-modulated electromagnetic nerve stimulation
Frequency-modulated electromagnetic nerve stimulation yang dilakukan
sebanyak 10 sesi lebih dari 3 minggu menyebabkan berkurangnya nyeri secara
signifikan dibandingkan stimulasi plasebo. Penelitian multisenter skala besar saat
ini sedang berlangsung.
 Electrical spinal cord stimulation
Secara umum disetujui bahwa electrical spinal cord stimulation (ESCS)
efektif dalam pembentukan nyeri neurogenik. Percobaan mengindikasikan bahwa
stimulasi elektrik diikuti oleh penurunan asam amino glutamat dan aspartat pada
tanduk dorsal. Efek ini diperantarai oleh mekanisme GABAergik. Pada nyeri
neuropati diabetik yang tidak respon terhadap obat, ESCS dengan elektrode yang
diimplan antara T9 dan T11 menyebabkan pengurangan rasa nyeri sebesar > 50%
8 dari 10 pasien. Selain itu toleransi latihan akan mengalami perbaikan secara
signifikan juga. Komplikasi ESCS termasuk infeksi kuman superfisial pada dua
pasien, migrasi lead memerlukan reinsersi pada dua pasien dan late failure setelah
4 bulan pada pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi penghilang rasa
nyeri. Pilihan terapi invasif ini dilakukan jika pasien tidak respon terhadap obat
yang diberikan.
 Energi infrared monokromatik
Energi infrared monokromatik menunjukkan berkurangnya gejala dan tanda
neuropati pada penelitian tidak terkontrol pasien diabetes. Kebalikannya dua
penelitian terkontrol menunjukkan bahwa energi infrared monokromatik tidak
lebih efektif dibandingkan plasebo pada pasien polineuropati diabetik, hal tersebut
menekankan perlunya penelitian terkontrol untuk mendapatkan keputusan
pengobatan evidence-based.
d. Dekompresi bedah
Dekompresi bedah pada lokasi anatomis yang mengalami penyempitan
merupakan pengobatan altenatif untuk pasien dengan polineuropati diabetik
simptomatis. Literatur mengatakan bahwa hanya penelitian Kelas IV yang
menekankan kegunaan pendekatan terapeutik ini. Berdasarkan bukti yang ada,
pengobatan alternatif ini dianggap belum terbukti. Prospective randomized
controlled trial dengan definisi standar dan pengukuran outcome perlu untuk
menentukan nilai dari intervensi terapeutik ini.

You might also like