You are on page 1of 7

OPTIMALISASI PENERAPAN KONSELING PASIEN

DENGAN SISTEM PUNISHMENT DAN REWARD


DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN INDONESIA

dibuat oleh:

Hana Ghina Chairunnisa / 1306396896

Fakultas Farmasi

Universitas Indonesia

September 2016
OPTIMALISASI PENERAPAN KONSELING PASIEN
DENGAN SISTEM PUNISHMENT DAN REWARD
DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEHATAN INDONESIA

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian di bidang klinis saat ini telah bergeser
orientasinya dari obat ke pasien atau biasa disebut pharmaceutical care.
Program pharmaceutical care adalah paradigma baru pelayanan
kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan dan
bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, aman, dan
efisien demi mencapai peningkatan kualitas hidup manusia. Apoteker saat
ini harus menjalankan praktik sesuai standar dan tidak sekedar berorientasi
pada drug oriented tetapi juga patient oriented. Adanya pergeseran orientasi
ini menjadi tantangan tersendiri untuk apoteker dalam meningkatkan
kompetensinya meliputi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
berkomunikasi langsung dengan pasien dalam bentuk konseling (patient
counseling) sehingga tujuan dari pengobatan pasien tercapai.1
Konseling merupakan bagian dari aspek pelayanan kefarmasian di
apotek. Konseling berperan dalam memperbaiki kualitas hidup pasien dan
menyediakan pelayanan yang bermutu kepada pasien.2 Efektivitas
penyediaan informasi dan pemberian konseling oleh apoteker telah banyak
diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa keduanya sangat bermanfaat untuk
pasien terutama dalam meningkatkan kepatuhan dan mencegah kegagalan
terapi obat. Salah satu penelitian tersebut dilakukan di Memphis, Tenesse,
yang menemukan bahwa tingkat kepatuhan pada pasien penerima konseling
mengenai antibiotik adalah 84,7%, sedangkan kepatuhan pasien yang tidak
mendapatkan informasi atau konseling hanya 63%3. Hal ini menunjukkan
bahwa konseling sangat penting dilakukan.
Berdasarkan data hasil penelitian di Surakarta tahun 2011, hanya 58,6%
yang melaksanakan konseling di apotek sedangkan 40,4% apoteker lainnya
masih belum menerapkan konseling4. Hal ini menunjukkan bahwa
penerapan konseling di Indonesia masih belum merata. Padahal apoteker
berada dalam posisi strategis untuk meminimalkan medication errors, baik
dilihat dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses
pengobatan. Melihat pentingnya patient counseling dalam pelayanan
kefarmasian yang optimal, maka perlu adanya pemerataan sistem atau
regulasi yang dapat membuat apoteker lebih bertanggung jawab dalam
melaksanakan konseling pasien.

1.2 Identifikasi Masalah


1.2.1 Penerapan Hukum Profesi Apoteker Belum Maksimal
Saat ini, sulit ditemukan adanya apoteker yang berada di
apotek untuk melayani pasien. Padahal menurut PP No. 51
Tahun 2009 pasal 24, yang harus menyerahkan obat kepada
pasien adalah apoteker. Peran apoteker di apotek sangat penting,
terutama untuk memberikan penjelasan mengenai obat kepada
pasien agar terapi yang diinginkan tercapai, tetapi kenyataannya
banyak apoteker yang tidak hadir di apotek. Salah satu
penyebabnya adalah pemberian upah yang tidak sesuai dan
mencukupi. Selain itu, pengetahuan apoteker yang berkaitan
dengan komunikasi langsung dengan pasien cukup lemah karena
tidak diasah saat perguruan tinggi.

1.2.2 Sistem Pengawasan Pemerintah yang Masih Belum Optimal


Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas Matematika
Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana di enam
apotek di Denpasar dan Bandung yang dipilih secara acak
ditemukan hasil survey persentase kehadiran apoteker di apotek
pada saat pembelian obat keras atau pada saat jam buka apotek
oleh pasien rata-rata persentase kehadiran, ironisnya, hanya
sebesar 20,54%. Hal ini tentu saja sangat menunjukkan bahwa
masih banyak apoteker yang tidak bertanggung jawab dan
kurangnya pengawasan dari pemerintah sehingga angka
kejadiannya cukup memprihatinkan.5
1.2.3 Terjadinya Medication Error Akibat Pemberian Informasi
Obat Tidak Berjalan dengan Baik
Apoteker mempunyai otentisitas dan profesionalitas
sendiri di dalam pelayanan obat-obatan dan mencegah
penggunaan obat yang tidak rasional.6 Akibat pemberian
informasi obat yang tidak berjalan dengan baik, masih banyak
kasus medication error terjadi dimasyarakat. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh mahasiswa di Denpasar, kehadiran apoteker
yang memenuhi standar pelayanan kefarmasian hanya mencapai
20,6%.5 Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan.
Pemberian informasi obat yang tidak berjalan dengan
baik dapat terjadi karena jumlah apoteker yang tidak sebanding
dengan jumlah pasien, sehingga adanya keterbatasan waktu
membuat apoteker tidak menjalankan konseling dengan baik.
Padahal konseling sangat penting dilakukan terutama untuk
pasien dengan kondisi khusus, polifarmasi, pasien dengan terapi
jangka panjang, dan lain-lain.7

2. Analisis Sintesis
2.1 Penerapan Sistem Punishment dan Reward dalam Mengoptimalisasi
Penerapan Konseling Pasien
Hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur penalti dan
kompensasi yang diterima apoteker berkaitan dengan kehadiran dan
penerapan konseling pasien oleh apoteker pengelola apotek (APA).
Padahal standar kesepakatan yang berisi hak dan kewajiban apoteker
pengelola apotek dengan pemilik modal apotek (PMA) sangat penting
guna meningkatkan standar pelayanan apoteker, salah satunya kehadiran
apoteker yang menunjang penerapan konseling pasien. Regulasi
penerapan sistem punishment dan reward dapat dimulai dari
merekomendasikan sistem kepada Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). IAI
berperan dalam memediasi APA dan PMA dalam membuat nota
kesepahaman yang berisi hak dan kewajiban keduanya. Regulasi ini
sebaiknya diatur di perundang-undangan sehingga lebih terarah dan
terjamin. Oleh karena itu, adanya rekomendasi ini perlu diketahui oleh
Kementrian Kesehatan. Setelah pengajuan rekomendasi, diharapkan
kementrian kesehatan membuat suatu kelompok kerja yang berfungsi
untuk menyusun adanya regulasi ini. Kelompok kerja berisi apoteker,
kementrian kesehatan itu sendiri, BPOM, ahli ekonomi dan ahli
teknologi. Ketika regulasi telah disusun, disosialisasikan ke apoteker
dan BPOM mengenai regulasi yang akan dilaksanakan agar apoteker
sadar akan pentingnya penerapan payung hukum kefarmasian.
Pengawasan penerapan hak dan kewajiban yang dilakukan APA
dan PMA dilakanakkan secara langsung dan membutuhkan sistem
pengawasan berbasis online yang terintegrasi secara nasional, sehingga
memudahkan pengawasan dan memberikan efek jera dan patuh terhadap
APA. Sistem berbasis online tersebut juga membutuhkan peran pasien
dalam memberikan feedback terhadap pelayanan yang dilakukan
apoteker, terutama dalam penerapan penjelasan informasi melalui
konseling.
Saat apoteker datang ke apotek, apoteker melakukan konfirmasi
kehadiran dengan sidik jari melalui suatu alat. Konfirmasi kehadiran ini
menjadi acuan kompensasi yang diterima oleh apoteker. Dalam
mengawasi kehadiran apoteker sesuai waktunya, dibutuhkan peran
pasien dalam mengkonfirmasi kehadiran apoteker. Setelah apoteker
menerima resep dan meraciknya, diharapkan apoteker dapat melakukan
konseling obat yang sebaiknya dilakukan pada ruangan tertutup yang
nyaman untuk pasien. Konseling secara lengkap ini dilakukan terutama
kepada pasien dengan syarat tertentu yang diatur dalam peraturan
kementrian kesehatan. Setelah melakukan konseling, pasien diharapkan
mengisi angket singkat secara online yang terdapat pada layar yang
terletak di meja konseling. Angket ini berisi konfirmasi nama apoteker
yang melakukan konseling dan kepuasan pasien dalam mendapatkan
pelayanan tersebut. Adanya angket tersebut diharapkan menjadi acuan
kompensasi dan penalti yang diterima oleh apoteker. Apabila ada
ketidaksesuaian jumlah resep dengan konseling yang diberikan,
misalnya konseling tidak diberikan oleh apoteker yang bertugas, maka
apoteker akan mendapat penalti, misalnya 5% dari upah yang diterima
dan apabila apoteker melaksanakan konseling sesuai dengan peraturan
maka diberikan kompensasi 1% dari upah yang diterima per harinya.
Sistem sebaiknya dilakukan di ibukota provinsi terlebih dahulu
agar efektivitas dari sistem dapat lebih terlihat. Evaluasi diadakan tiap
bulan untuk melihat efektivitas sistem. Jika sistem dirasa efektif, sistem
dapat diterapkan di kota lain.
Analisis SWOT Penerapan Sistem Punishment dan Reward
Strength: Memberikan efek jera untuk apoteker dalam menerapkan
peraturan perundang-undangan dan memudahkan pemerintah dalam
mengawasi kinerja apoteker
Weakness: Apoteker yang bertugas sebaiknya mengerti atau sadar akan
teknologi
Opportunities: Sistem dapat diterapkan dengan mudah mengingat
teknologi yang sudah ada sekarang sangat canggih
Threats: Dibutuhkan penyediaan minimal 2 komputer di setiap apoteker
sehingga membutuhkan penggunaan dana APBN yang cukup besar

2.2 Praktik Asuhan Kefarmasian Berorientasi Kepada Pasien (patient


oriented) melalui Pemberian Informasi Obat dan Patient Counseling
Pharmaceutical care yang dikemas dalam bentuk pemberian
informasi obat yang diberikan apoteker dalam meminimalisasi
terjadinya medication error. Pemberian informasi obat tersebut menjadi
langkah awal dalam mengedukasi pasien dalam mengkonsumsi obat
yang memiliki beberapa proses, yaitu gathering information atau
penggalian informasi kepada pasien pengguna obat resep maupun non
resep; identifying problems atau mengkorelasikan adanya interaksi obat
yang akan diberikan kepada pasien agar hasil pengobatan maksimal;
giving information atau pemberian iinformasi mengenai pengobatan
yang dilakukan baik indikasi, nama obat dan lain-lain; serta final
verification dimana apoteker meminta feedback pasien untuk
mengetahui pemahaman pasien

3. Kesimpulan
Sistem kompensasi dan penalti dalam pelaksanaan konseling tentu akan
menjadi solusi cerdas dalam mengoptimalisasi penerapan praktek pelayanan
kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker sehingga kesehatan Indonesia dapat
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2004. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta.


2. Rantucci, M.J., 2009, Komunikasi Apoteker-Pasien, EGC, Jakarta, 49, 51,
56, 57
3. Kessler, S. 1992. Psychological aspects of genetic counseling. VII:
Thoughts on directiveness. Journal of Clinical Counseling l(1):9-17
4. Setiawan, Dedi. 2011. Persepsi Apoteker Terhadap Konseling dan
Pelaksanaannya di Apotek-apotek Wilayah Surakarta. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah : Surakarta.
5. Gunawan, Ray. et. al. 2011. Farmasi Forensik Tingkat Kehadiran Apoteker
Serta Pembelian Obat Keras Tanpa Resep Di Apotek. Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
6. Linda MS. 2013. Disampaikan dalam seminar Positioning Apoteker Dalam
Penjaminan Cost- Efectiveness Pengobatan di Era SJSN : Jakarta
7. Standar Pelayanan di Apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2014 p. 14.

You might also like